PANDUAN PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM CLIMATE RISK ASSESSMENT (CRA) Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 1 Mercy Corps Indonesia merupakan lembaga nirlaba lokal yang berpusat di Jakarta. Mercy Corps Indonesia membantu masyarakat Indonesia membangun komunitas yang sehat, produktif, dan tangguh. Mercy Corps Indonesia berfokus pada isu kesehatan dan nutrisi, air dan sanitasi, pemberdayaan ekonomi, pengurangan risiko bencana, adaptasi perubahan iklim, serta tanggap darurat bencana. Melalui berbagai programnya, Mercy Corps Indonesia telah membantu masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai daerah di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua, Papua Barat dan Maluku. Kontributor: Shinta Michiko Puteri Fanni Harliani Latifa Sitadevi Editor: Aniessa Delima Sari Nyoman Prayoga Ratri Sutarto Layout: Philco Aritonang Kevin Simon Diberu Karina PANDUAN PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM CLIMATE RISK ASSESSMENT (CRA) Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 3 PENGANTAR Dokumen ini merupakan salah satu panduan dari dokumen Perencanaan Ketahanan Iklim – Climate Risk Planning (CRP) tentang cara mengidentiikasi kondisi kerentanan dan risiko dari perubahan iklim yang berdampak ke kota sehingga selanjutnya dapat disusun aksi-aksi strategis dalam membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Dokumen panduan ini memiliki metodologi yang dapat terus diperbarui serta dikembangkan untuk menilai risiko iklim yang direkomendasikan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Dokumen Climate Risk Assessment – Kajian Risiko Iklim (CRA) ini merupakan panduan untuk menilai kerentanan suatu kota, bahaya iklim yang dihadapi, serta risiko yang dimiliki sebagai dampak dari perubahan iklim. Hal ini meliputi cara kota itu sendiri dalam merespon dampak perubahan iklim yang dilihat berdasarkan elemen sosial, lingkungan, ekonomi, dan pemerintahan. Kajian risiko iklim, yang akan dibahas lebih lanjut dalam dokumen ini, memiliki beberapa tujuan di antaranya: • Menyediakan gambaran umum tentang kerentanan kota, potensi bahaya iklim, dan dampaknya terhadap sistem perkotaan dan pembangunan kota. • Menilai peluang dan kesenjangan kapasitas yang dimiliki kota dalam menghadapi kerentanan dan bahaya iklim. • Menyusun informasi dasar mengenai kerentanan yang dapat ditinjau kembali secara berulang dan mengintegrasikannya ke dalam perencanaan dan proses penganggaran pemerintah daerah. Perencanaan Ketahanan Kota; Mengapa Penting? Isu perubahan iklim sebagai ancaman terhadap kota-kota di Indonesia Perubahan iklim merupakan implikasi dari pemanasan global yang semakin nyata dirasakan oleh masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Dampak perubahan iklim stendiri sudah dirasakan banyak masyarakat perkotaan, namun banyak yang belum paham betul tentang apa yang terjadi. Maka, pemahaman mengenai perubahan iklim secara ilmiah maupun praktis perlu ditingkatkan. Perlu diketahui, yang paling rentan terhadap perubahan iklim adalah negara pesisir pantai, kepulauan, dan negara berkembang dan Indonesia termasuk dalam ketiga tipe tersebut. Kajian BNPB tahun 2011 menyebutkan bahwa frekuensi bencana terkait iklim dan cuaca di Indonesia terus meningkat dalam 10 tahun terakhir. Di tahun 2013 saja, setidaknya terdapat 1.254 kejadian bencana iklim dan cuaca yang memberikan dampak pada lebih dari 800 ribu orang dan menyebabkan lebih dari 300 ribu orang mengungsi. Perubahan iklim telah berdampak pada semakin tingginya intensitas dan jenis bencana perubahan iklim yang terjadi seperti banjir, rob, kekeringan, angin puting beliung, ketidakpastian musim, penurunan produktivitas pertanian, serta wabah penyakit. Hal ini mengakibatkan besarnya kerugian yang dialami masyarakat di perkotaan baik secara material maupun immaterial. Langkah antisipatif sebaiknya mulai dilakukan dari sekarang sebelum keadaan semakin memburuk. Maka dari itu, dibutuhkan suatu perencanaan ketahanan iklim yang dapat dilakukan melalui penyusunan Kajian Risiko Iklim serta Strategi Ketahanan Kota. Instrumen Kebijakan Nasional yang Mendukung Perencanaan Ketahanan Kota Pemerintah pusat telah mendukung berbagai upaya untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Di antaranya ada beberapa kebijakan nasional yang mendukung kebutuhan agar kota-kota mulai bergerak dalam konteks perubahan iklim. • RAN-API (Rencana Aksi Nasional – Adaptasi Perubahan Iklim) yang dikeluarkan oleh Bappenas tahun 2014 memberi arahan bagi kota dan wilayah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim untuk menyusun kajian kerentanan dan risiko iklim; • RAN-GRK (Rencana Aksi Nasional – Gas Rumah Kaca) disusun untuk memberikan kerangka kebijakan untuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak swasta dan para pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca; • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang menyusun sistem kajian kerentanan online bernama SIDIK (Sistem Inventarisasi Data Indeks Kerentanan Perubahan Iklim) yang akan memberi kesempatan ke kota untuk dapat melihat dan menilai secara mandiri kerentanan dan risiko daerahnya masing-masing; • Saat ini di dalam SDGs (Sustainable Development Goals) yang juga harus diikuti oleh Indonesia telah mencantumkan salah satu fokus untuk menghadapi perubahan iklim, yaitu “take urgent action tocombat climate change and its impacts” dalam aksi ke-13 Climate Action. • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini telah mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.33/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim yang memberikan arahan untuk setiap kota-kota di Indonesia menyusun dokumen Adaptasi Perubahan Iklim. Apa itu Kajian Risiko Iklim dan Strategi Ketahanan Kota? Kajian Risiko Iklim – Climate Risk Assessment (CRA) Dokumen Kajian Risiko Iklim atau sering disebut Climate Risk Assessment (CRA) berisi analisis risiko perubahan iklim kota yang terdiri dari dua konten utama, yaitu analisis kerentanan dan analisis bencana iklim. Dokumen ini dapat menunjukkan karakter isik, sosial, ekonomi kota lokasi-lokasi yang rawan atau yang membutuhkan peningkatan kapasitas kota terhadap bahaya perubahan iklim. Dengan mengetahui sektor-sektor dan area yang rentan terdampak perubahan iklim, maka diharapkan dapat menjadi acuan kota untuk melakukan aksi adaptasi perubahan iklim. Dokumen ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah daerah dan bagi stakeholder lainnya seperti kalangan akademisi, LSM, kelompok masyarakat, dan dunia usaha untuk berkontribusi dalam usaha membangun ketahanan terhadap perubahan iklim. Dokumen ini bukanlah dokumen yang statis karena dapat disesuaikan dengan perkembangan metode dan kebutuhan kota. PENGANTAR Strategi Ketahanan Kota – City Resilience Strategy (CRS) Setelah kota memiliki Kajian Risiko Iklim atau CRA, maka selanjutnya kota perlu memiliki dokumen Strategi Ketahanan Kota atau sering disebut dengan City Resilience Strategy (CRS). Dokumen ini berisi kumpulan strategi aksi yang merespon perubahan iklim dan penjabaran rencana aksi atau kegiatan yang perlu dilakukan sehingga dapat berkontribusi untuk meningkatkan ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Dokumen ini dapat menjadi dasar bagi kota untuk mengakses pendanaan baik melalui sistem pendanaan daerah dan nasional, maupun dari pendanaan eksternal lainnya seperti swasta, donor, maupun bentuk kerjasama lainnya di bidang pembangunan. Dokumen ini diharapkan dapat diakses oleh publik sehingga dapat mendorong kontribusi berbagai pihak secara lebih luas. Dengan begitu diharapkan kota dapat mengakselerasi terwujudnya kota yang berketahanan iklim. CRA dan CRS merupakan dokumen yang terintegrasi dan saling terkait dan disebut sebagai CRP atau Climate Resilience Planning (Perencanaan Ketahanan Kota). Pemerintah Kota dapat menggunakan dokumen tersebut untuk diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan dan proses penganggaran pemerintah. Terbatasnya anggaran pemerintah sering menjadi kendala dalam pelaksanaan pembangunan kota. Dokumen CRP ini dapat menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk mengajak stakeholder yang lebih luas untuk berkontribusi dalam aksi-aksi pembangunan kota dan sekaligus menyelesaikan permasalahan perkotaan. Gambar 01. Konsep Penyusunan Perencanaan Ketahanan Iklim - Climate Resilience Planning DAFTAR ISI DAFTAR ISI I DAFTAR TABEL II DAFTAR GAMBAR III GLOSARIUM IV 1. KONTEKS 1 1.1 Ketahanan Kota Terhadap Perubahan Iklim 1 1.2 Tujuan dari Dokumen CRA 3 1.3 Proses Penyusunan Dokumen CRA dan CRS 4 2. DEFINISI DAN KONSEP DASAR 6 2.1 Deinisi yang Berkaitan dengan Konsep Umum 6 2.2 2.3 2.1.1 Fenomena Perubahan Iklim 2.1.2 Adaptasi Perubahan Iklim 2.1.3 Ketahanan Deinisi & Konsep yang Berhubungan dengan Kajian Risiko Iklim 2.2.1 Risiko 2.2.2 Bahaya 2.2.3 Kerentanan Kajian Risiko Iklim: Tidak Ada Framework yang Standar 6 6 6 7 7 8 9 10 3. ELEMEN DASAR (BUILDING BLOCKS) KAJIAN RISIKO IKLIM 14 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 Kajian Risiko Iklim dalam Sistem Perencanaan dan Pemerintahan Tim Kota Tim Kajian Risiko Iklim (Risk Assessment Team) Shared Learning Dialogues/Konsultasi Publik Pengumpulan Data : Sumber dan Metode 15 15 17 18 21 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM 24 A. ProilKota A.1 Informasi Umum A.2 Aspek Fisik dan Lingkungan A.3 Aspek Sosial A.4 Aspek Ekonomi Fenomena Perubahan Iklim B.1 Kondisi Iklim Saat Ini B.2 Proyeksi Iklim 25 26 26 26 26 27 27 28 B Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim I DAFTAR ISI C Analisis Bahaya Iklim C.1 Identiikasi Bahaya C.2 Matriks Bahaya C.3 Skoring Bahaya C.4 Tingkat Bahaya Gabunga 34 34 35 37 37 D Analisis Kerentanan D.1 Identiikasi dan Kategorisasi Indikator D.2 Pengolahan Data D.3 Normalisasi D.4 Pembobotan D.5 Penentuan Kuadran 38 38 39 39 39 40 E F Analisis Risiko E.1 Analisis Risiko Iklim Saat Ini E.2 Analisis Risiko Iklim di Masa Depan Kapasitas Tata Kelola dan Kapasitas Pelaku F.1 Pilihlah Institusi/Organisasi yang Akan di Nilai F.2 Wawancara Stakeholder F.3 Analisis Hasil Wawancara 42 43 44 44 45 45 46 5. REKOMENDASI UNTUK MENDUKUNG PROSES 50 5.1 5.2 5.3 Bagaimana Cara Menyusun Dokumen? Bagaimana Cara Membuat Dokumen Advokasi? Mengupdate Kajian Risiko Iklim 50 52 53 DAFTAR TABEL Tabel 2. 1 Daftar Bahaya Meteorologi Tabel 3. 1 Peran Kelompok Stakeholder dalam Tim Kota Tabel 4. 1 Skenario dalam Proyeksi Iklim Kota Tabel 4. 2 Hubungan Nilai Peluang dan Periode Ulang Kejadian Iklim Tabel 4. 3 Contoh Tampilan Keluaran Hasil Pengolahan Data Per Skenario Tabel 4. 4 Matriks Peluang Terjadinya Iklim Ekstrim Tabel 4. 5 Skala Kemungkinan Bahaya Tabel 4. 6 Penentuan Skala Konsekuensi Bahaya Tabel 4. 7 Matriks Penentun Tingkat Bahaya Tabel 4. 8 Contoh Skoring Bahaya Tabel 4. 9 Kategorisasi Tingkat Kerentanan Berdasarkan Nilai IKS dan IKA Tabel 4. 10 Matriks Penentuan Tingkat Risiko Tabel 4. 11 Contoh Kajian Peraturan-Peraturan II Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 8 16 30 31 32 33 35 36 36 37 40 43 47 DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Konsep Umum Kajian Risiko Iklim 7 Gambar 4.1 Tahapan Menyusun Kajian Risiko Iklim (Risk Assessment) Gambar 4.2 Skenario SRES 24 30 Gambar 4.3 Posisi Kuadran Tingkat Kerentanan 41 Gambar 4.4 Konsep Risiko Iklim 42 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim III GLOSARIUM ACCCRN (Asian Cities Climate Change Resilience Network – Jejaring Ketahanan Kota-Kota Asia terhadap Perubahan Iklim) Jejaring kota-kota di 6 negara (Indonesia, India, Thailand, Bangladesh, Filipina, dan Vietnam) untuk menghasilkan contoh-contoh praktik bagaimana kota dengan tantangan urbanisasi yang pesat, serta dengan kondisi penduduk di tingkat pendapatan menengah ke bawah, mampu membangun kota yang berketahanan terhadap berbagai dampak dari perubahan iklim. (ARUP, 2014) Adaptasi Proses penyesuaian terhadap kondisi iklim aktual atau kondisi iklim di masa mendatang terhadap dampaknya. Di dalam sistem manusia, adaptasi bertujuan untuk menghindari bahaya yang bersifat moderat dan/atau memanfaatkan peluang yang ada. Di dalam sistem alam, adaptasi berbentuk intervensi dari manusia yang dapat memfasilitasi penyesuaian terhadap kondisi iklim yang diharapkan dan dampaknya. (IPCC, 2014) CBVA Community Based Vulnerability Assessment (Kajian Kerentanan Berbasis Masyarakat) CRA Climate Risk Assessment – Kajian Risiko Iklim. Merupakan dokumen yang memberikan panduan mengenai bagaimana cara menilai kerentanan suatu kota, bahaya iklim yang dihadapi, serta risiko yang dimiliki sebagai dampak dari perubahan iklim. (CRA Guidelines ACCCRN, 2015) CRS City Resilience Strategy – Strategi Ketahanan Kota. Merupakan dokumen perencanaan kota yang menggambarkan roadmap spesiik, rincian strategi, dan rencana aksi adaptasi perubahan iklim, serta menyediakan dasar-dasar untuk proyek intervensi di masa depan dan aktivitas-aktivitas untuk meningkatkan ketahanan kota terhadap dampak perubahan iklim. Keterpaparan (Exposure) Kondisi dan keberadaan aset-aset seperti penduduk, mata pencaharian, spesies, ekosistem, sumber daya lingkungan, infrastruktur, ekonomi, sosial, atau budaya di daerah-daerah yang mungkin terpengaruh atau terdampak. (IPCC, 2014) Bahaya (Hazard) Potensi terjadinya bencana akibat ulah manusia atau alam yang dapat mengakibatkan kehilangan jiwa, kecelakaan, atau dampak lainnya seperti kerusakan dan kehilangan tempat tinggal, infrastruktur, pelayanan sosial serta sumber daya lingkungan. Berkaitan dengan perubahan iklim, hal ini mengacu pada kejadian isik yang berhubungan dengan iklim. (IPCC, 2014) IV Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim G GLOSARIUM FGD Focus Group Discussion. Diskusi kelompok yang berfokus pada satu tema tertentu ICCSR Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap. Acuan atau arahan dari Bappenas yang disusun secara sektoral dalam menghadapi isu perubahan iklim dan dipublikasikan pada tahun 2010. IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change atau Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim adalah suatu panel ilmiah yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia untuk mengevaluasi risiko perubahan iklim akibat aktivitas manusia, dengan meneliti semua aspek berdasarkan pada literatur teknis/ilmiah yang telah dikaji dan dipublikasikan. LSM (NGO) Non-Government Organization atau Lembaga Swadaya Masyarakat RAN-API (Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim) RAN-API merupakan dokumen rencana pembangunan nasional yang disusun dalam periode 20132025 untuk membantu publik dalam mempersiapkan upaya beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. RAN-MAPI (Rencana Aksi Nasional Mitigasi Adaptasi Perubahan Iklim) RAN-MAPI merupakan dokumen rencana pembangunan nasional yang dapat membantu publik dalam mempersiapkan upaya untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Ketahanan (Resilience) Kapasitas stakeholder, sistem, atau kelembagaan untuk secara dinamis dan efektif merespon dampak dari perubahan iklim yang berupa guncangan dan tekanan. (Asian Cities Climate Change Resilience Network, 2009). Risiko (Risk) Risiko adalah kemungkinan kerusakan maupun kehilangan pada jiwa, harta benda dan/atau lingkungan yang dapat terjadi apabila ancaman dari bahaya menjadi kenyataan, termasuk tingkat keparahan yang perlu diantisipasi. (IPCC, 2007) Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim V GLOSARIUM SLD Shared Learning Dialogue, merupakan wadah untuk saling berbagi pengetahuan antar pemangku kepentingan dan merupakan proses untuk mengidentiikasi kendala dan peluang untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim, dengan memahami kompleksitas kondisi perkotaan. (ISET, 2013) UCCR (Urban Climate Change Resilience – Ketahanan Kota terhadap Perubahan Iklim) Upaya untuk menghadapi perubahan dan ketidakpastian menggunakan berbagai sumber daya dan kemampuan yang memungkinkan pembangunan untuk tetap berfungsi dan berjalan di tengah dampakdampak perubahan iklim yang terjadi (ISET, 2013). Kerentanan (Vulnerability) Kecenderungan untuk terkena dampak negatif/kerugian. Kerentanan meliputi berbagai konsep termasuk sensitivitas, keterpaparan terhadap bahaya, dan kurangnya kapasitas untuk menghadapi serta beradaptasi. (IPCC, 2014) VI Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 1. KONTEKS Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan bahwa rata-rata suhu permukaan bumi meningkat sebanyak 0.76˚C selama 150 tahun dan akan terus meningkat hingga mencapai 4˚C dalam tahun 2100. Peningkatan suhu tersebut menyebabkan perubahan pola curah hujan, cuaca ekstrim, dan kenaikan muka air laut dan berakibat pada beberapa bahaya iklim. Beberapa bahaya yang berkaitan dengan perubahan iklim meliputi banjir, longsor, dan kekeringan dalam periode yang lebih lama. Bahaya ini menyebabkan dampak negatif juga terhadap hal-hal lain seperti ketahanan pangan, ketersediaan air, dan perkembangan penyakit vektor. Seluruh hal tersebut tentu tidak terlepas dari mata pencaharian, aset properti, infrastruktur, dan lain sebagainya yang terkait dengan pembangunan. Tanpa adanya langkah apapun untuk menghadapi situasi tersebut, bukan tidak mungkin kondisinya akan semakin memburuk di masa depan. Di waktu yang sama, dunia sedang mengalami proses urbanisasi yang pesat. Hasil laporan dari World Bank menyatakan bahwa populasi perkotaan akan meningkat dari 3,5 miliar penduduk menjadi 5 miliar di tahun 2030, yang mencakup 2/3 dari total populasi dunia. Fenomena migrasi dari perdesaan ke perkotaan akan lebih banyak terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Penduduk miskin perkotaan merupakan yang paling banyak tinggal di daerah rawan dan memiliki keterbatasan terhadap sumber daya dalam mengatasi bencana. Oleh karena itu, penduduk miskin perkotaan akan menjadi pihak yang paling rentan dan dipaksa untuk mampu beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. 1.1 Ketahanan Kota Terhadap Perubahan Iklim Istilah Ketahanan Kota terhadap Perubahan Iklim lebih dikenal di dunia internasional dengan istilah Urban Climate Change Resilience (UCCR). The Institute for Social and Environmental Transition (ISET), sebuah lembaga penelitian mendeinisikan UCCR sebagai upaya untuk menghadapi perubahan dan ketidakpastian menggunakan berbagai sumber daya dan kemampuan yang memungkinkan pembangunan untuk tetap berfungsi dan berjalan di tengah dampak-dampak perubahan iklim yang terjadi (ISET, 2013). Melalui konsep Urban Climate Resilience Planning Framework (UCRPF), ketahanan dideinisikan dengan bagaimana sistem perkotaan, agen sosial, dan tata kelola berinteraksi untuk ‘menyerap gangguan dan belajar dari gangguan’ dalam menghadapi dampak dari perubahan iklim. Sistem perkotaan adalah “apa” saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat keputusan dan kemudian bertindak berdasarkan keputusannya (baik itu organisasi dan perorangan); dan institution/tata kelola merupakan pedoman “bagaimana” suatu tindakan diperbolehkan atau dilarang (hukum, peraturan, perundang-undangan, dan struktur). Ketika kota mengalami kejadian bencana, hal yang penting adalah bagaimana sistem pelayanan di kota dapat tetap berfungsi, bisa pulih dan beradaptasi dengan cepat. Ini dipengaruhi oleh kapasitas dari kota tersebut berdasarkan leksibilitasnya (termasuk pengetahuan dan pengalaman dari peristiwa sebelumnya), kemampuan mengelola kapasitas dan kemampuan untuk mengalihkan sebagian sistem yang mengalami kerusakan, serta kemampuan menghindari efek bola salju (snowball effect). Hal ini juga bergantung kepada interdependensi dari sistem itu sendiri. Kegagalan dari sistem yang kritis seperti energi dan ketersediaan air, contohnya, dapat memberikan dampak terhadap sistem lainnya seperti pelayanan kesehatan. Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 1 1. KONTEKS Agen (para pelaku) merupakan kunci terpenting karena merekalah yang membuat keputusan berdasarkan motivasi dan informasi yang berbeda-beda, dan memiliki kapasitas untuk mengantisipasi isu-isu dan memvisualisasikan solusi berdasarkan pengalamannya. Tindakan-tindakan para pelaku bersifat dinamis meskipun sistem bersifat tetap dari waktu ke waktu. Para pelaku yang memiliki kapasitas pelengkap-seperti dunia usaha dengan sumber daya inansial dan kelompok masyarakat dengan kekuatan untuk mengorganisir dapat meningkatkan ketahanan kota melalui kolaborasi antar pelaku. Reformasi tata kelola sangat penting dilakukan untuk meningkatkan ketahanan dari sistem perkotaan karena dapat juga melatih para pelaku kota untuk dapat bertindak lebih leksibel. Tata kelola yang mendukung kebijakan terkait dengan inklusivitas gender, contohnya, dapat menurunkan marginalisasi sosial dan meningkatkan kapasitas dari para pelaku untuk membangun ketahanan. Analisis hubungan dan keterkaitan diantara sistem perkotaan, para pelaku, dan sistem tata kelola dapat menentukan ketahanan suatu kota. Keterkaitan dan hubungan saling ketergantungan yang positif diantara ketiga komponen tersebut dan juga pembelajaran yang terus terjadi dapat meningkatkan ketahanan kota itu sendiri. Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) – Jejaring Ketahanan Kota-Kota Asia Terhadap Perubahan Iklim Saat ini berbagai isu yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pembangunan perkotaan banyak menarik perhatian baik pihak masyarakat, komunitas, pemerintah, dan swasta (private sector). ACCCRN merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Rockefeller Foundation yang berjalan dari tahun 2008 sampai tahun 2016. ACCCRN bertujuan untuk membangun jaringan ketahanan kota-kota Asia terhadap dampak perubahan iklim melalui fokus pendanaan dan kegiatan dengan perhatian kepada kebutuhan masyarakat yang miskin dan rentan. Di awal, ACCCRN bekerja di 10 kota dengan jumlah penduduk berkisar 2 juta jiwa yang mencakup di Gorakhpur, Indore dan Surat (India), Semarang dan Bandar Lampung (Indonesia), Hat Yai dan Chiang Rai (Thailand), Da Nang, Quy Nhon, dan Can Tho (Vietnam), dan saat ini masih terus berkembang. Dampak perubahan iklim terparah kemungkinan besar akan terjadi di kawasan perkotaan karena perkotaan merupakan lokasi terkonsentrasinya penduduk, sumber daya dan infrastruktur (World Bank, 2008). Di Indonesia, diperkirakan sekitar 67.5% dari total populasi akan tinggal di area perkotaan pada tahun 2025 dan sebagian besar penduduk perkotaan di Indonesia tinggal di daerah pesisir sehingga rentan terhadap bencana banjir, kenaikan muka air laut, dll (UN-Habitat, 2012). Urbanisasi yang pesat memberikan tekanan terhadap pelayanan perkotaan seperti penyediaan air bersih, sanitasi, sistem kesehatan, kelistrikan, dan infrastruktur transportasi. Selain itu, urbanisasi juga memberikan tekanan sosial seperti jumlah angka pengangguran yang terkonsentrasi di area perkotaan dan terus meningkat dari 55,2% di tahun 2008 menjadi 60,2% di tahun 2012 (Depnakertrans, 2012). Mercy Corps Indonesia (berdiri sejak tahun 1999) merupakan implementer untuk program ACCCRN di Indonesia. Beberapa lingkup kerja Mercy Corps Indonesia selain untuk program adaptasi perubahan iklim yaitu pengembangan ekonomi, kesehatan, sanitasi, dan pengurangan risiko bencana. Program ACCCRN mencoba untuk mencapai tiga hal, di antaranya: 2 • Pengembangan kapasitas: Meningkatkan kapasitas untuk merencanakan, mencari peluang pendanaan, berkordinasi, dan melaksanakan strategi ketahanan terhadap perubahan iklim. • Mengembangkan jejaring untuk pengetahuan dan pembelajaran: Berbagi pengalaman dan pengetahuan praktik dalam membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim (urban climate change resilience). Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 1. • KONTEKS Perluasan dan peningkatan: Memperkuat ketahanan di kota-kota yang telah berpartisipasi, dan memperluas dampak melalui replikasi/transfer praktek kepada kota baru dan stakeholder yang beragam Dokumen ini menyediakan bagian dari proses, penjelasan bagaimana kajian risiko iklim (CRA) dan strategi ketahanan kota (CRS) dapat disusun berdasarkan pengalaman dan pembelajaran mengenai ‘apa yang bekerja’ dan ‘apa yang dibutuhkan’ untuk terus berimprovisasi. 1.2 Tujuan dari Dokumen CRA Panduan Kajian Risiko Iklim (CRA Guideline) ini menyediakan arahan dan langkah-langkah panduan mengenai bagaimana cara mengidentiikasi dan mendeskripsikan kajian risiko iklim di kota-kota. Hal ini dimulai dengan mendeinisikan elemen dasar (building blocks) yang sederhana mengenai kerentanan dengan kompleksitas yang dapat bertambah sesuai dengan konteks lokal kota. Tujuan dari proses ini adalah mengembangkan dokumen dasar untuk memahami kondisi kota terkait dengan dampak dari perubahan iklim yang terjadi. Hal ini memerlukan penilaian terhadap tren masa lalu, saat ini, dan masa depan dan mengidentiikasi siapa dan apa yang akan terpapar di kota (ditambah adanya dampak negatif dari urbanisasi), serta mengeksplor elemen-elemen apa saja yang lebih rentan dan kurang rentan. Dokumen ini juga akan memberikan penjelasan mengenai sumber daya yang dapat digunakan untuk merekomendasikan langkah-langkah untuk beradaptasi, meliputi pengetahuan dari komunitas, data-data kota, dan proyeksi iklim. Semuanya diharapkan dapat membantu menginformasikan solusi untuk kota dalam merespon perubahan iklim. Dokumen CRA (Climate Risk Assessment) berisi mengenai kondisi kota yang dilihat dari analisis kerentanan dan analisis bencana iklim sehingga menunjukkan risiko perubahan iklim yang memberi dampak pada kota tersebut. Dokumen ini dapat menunjukkan lokasi-lokasi yang rawan atau yang membutuhkan peningkatan kapasitas kota terhadap bahaya perubahan iklim. Konteks kajian di sini juga meliputi aspek sosial, lingkungan, ekonomi, dan pemerintahan yang dinilai tingkat kerentanan dan responnya. Tujuan utama dari kajian risiko iklim adalah untuk menyediakan informasi mengenai proil, pola, dan perubahan risiko, agar ke depannya dapat digunakan untuk mendeinisikan prioritas, menentukan strategi alternatif, atau memformulasikan strategi sebagai respon baru. Kajian risiko iklim memiliki beberapa tujuan diantaranya: • Menyediakan gambaran umum mengenai kerentanan kota, bahaya iklim yang berpotensi di kota, serta • kecenderungannya dalam memberikan dampak terhadap perkembangan kota dan sistem perkotaan; • Menilai kapasitas yang dimiliki kota serta kesenjangannya (gap) dengan kerentanan serta dengan bahaya iklim yang berpotensi terjadi di kota tersebut; • Memberikan dasar untuk tindakan-tindakan spesiik yang dapat diambil di dalam sektor prioritas, • komunitas atau lokalitas di dalam Strategi Ketahanan Kota (City Resilience Strategy); • Menetapkan informasi-informasi dasar mengenai risiko yang kemudian dapat ditinjau kembali secara berulang dan menginformasikannya terhadap proses perencanaan dan penganggaran oleh pemerintah. Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 3 1. KONTEKS 1.3 PROSES PENYUSUNAN DOKUMEN CRA DAN CRS SLD 1 Pengenalan CRA Workshop Penyusunan CRS (Perencanaan Partisipatif) Diskusi dan Penyusunan Strategi secara partisipatif 4 Membentuk Tim Penyusun Penyusunan Kebutuhan Data CRS Penyusunan Kebutuhan Data CRA Workshop Penyusunan CRA SLD 3 Pengenalan CRS Finalisasi CRA SLD 4 Review Strategi dengan para expert (konsultasi publik) Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim Penyusunan Rencana Aksi Finalisasi CRS Menyusun dan Melengkapi CRA SLD 2 Review CRA 2 DEFINISI DAN KONSEP DASAR Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 5 2. DEFINISI DAN KONSEP DASAR Bagian ini akan menjelaskan tentang konsep kunci dan deinisi dari adaptasi perubahan iklim serta isuisu ketahanan dalam konsep umum dan spesiik dalam hubungannya dengan kajian risiko iklim. Hal ini akan membantu tim kota untuk memahami ide dari isu-isu dan hubungannya dengan opininya sendiri mengenai apa yang sedang terjadi di kotanya. PERSENTASI SLIDE MENGENAI KONSEP KUNCI DAN DEFINISI TERSEDIA DI DALAM TRAINING TOOLS 0.1 2.1DeinisiyangBerkaitandenganKonsepUmum 2.1.1 Fenomena Perubahan Iklim Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mendeinisikan perubahan iklim sebagai perubahan yang terjadi terhadap iklim dari waktu ke waktu, baik itu karena faktor alam maupun dampak dari aktiitas manusia. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) menambahkan bahwa perubahan iklim yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan aktiitas manusia mampu merubah komposisi dari atmosir bumi yang mengakibatkan perubahan variasi iklim dan dapat diamati dan dibandingkan selama kurun waktu tertentu. Dalam pedoman ini, perubahan iklim mengacu pada adanya perubahan dari hasil observasi dan hasil proyeksi terhadap komponen iklim rata-rata bumi (suhu udara, curah hujan, dll). 2.1.2 Adaptasi Perubahan Iklim Adaptasi perubahan iklim adalah proses penyesuaian dan respon terhadap dampak perubahan iklim dari kondisi iklim aktual atau di masa depan. Di dalam sistem manusia, adaptasi bertujuan untuk menghindari bahaya yang bersifat moderat dan/atau termasuk memanfaatkan peluang yang ada. Di dalam sistem alam, adaptasi yang berbentuk intervensi dari manusia dapat memfasilitasi penyesuaian terhadap kondisi iklim yang diharapkan dan dampaknya (IPCC, 2014). 2.1.3 Ketahanan Ketahanan adalah kapasitas dari individu, komunitas, dan sistem untuk bertahan, beradaptasi, dan berkembang dalam menghadapi tekanan dan bencana (shocks & stresses), dan juga bertransformasi ketika kondisi membutuhkannya (Rockefeller Foundation, 2013). Shocks/fast onset /bencana merupakan dampak perubahan iklim yang terjadi secara cepat contohnya bajir, gelombang panas, angin topan, dan cuaca ekstrim lainnya. Stress/slow onset/tekanan merupakan dampak perubahan iklim yang terjadi secara perlahan-lahan contohnya kenaikan muka air laut, perubahan waktu periode musim. Sementara itu, IPCC (2007) mendeinisikan ketahanan sebagai kemampuan dari sistem sosial dan ekologi untuk menyerap gangguan, kemampuan untuk mengorganisasikan secara mandiri, dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap tekanan dan perubahan. Ketahanan membuat individu, komunitas, dan sistem dapat mempersiapkan dengan lebih baik untuk bertahan dari peristiwa isik – baik alam maupun buatan – dan dapat bangkit kembali dengan lebih cepat dan lebih kuat dari tekanan dan bencana (shocks & stresses) tersebut. 6 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 2. DEFINISI DAN KONSEP DASAR 2.2 Deinisi & Konsep yang Berhubungan dengan Kajian Risiko Iklim (Climate Risk Assessment) Dalam tujuan untuk menilai risiko, klariikasi mengenai konsep umum yang berhubungan dengan risiko iklim berikut ini dapat membantu untuk memahami dengan lebih baik terhadap konsep dan aplikasinya: FENOMENA PERUBAHAN IKLIM ANALISIS BAHAYA ANALISIS RISIKO ANALISIS KERENTANAN Strategi & Aksi Adaptasi (CRS) Gambar 2. 1 Konsep Umum Kajian Risiko Iklim Secara komprehensif, pengembangan framework mengenai kajian risiko iklim (climate risk assessment) terbagi kedalam 4 tahapan. Tahap pertama merupakan analisis mengenai perubahan iklim atau analisis iklim kota; analisis ini menggambarkan fenomena perubahan iklim di kota. Tahap kedua yaitu analisis bahaya dari dampak perubahan iklim yang dihadapi oleh masyarakat, tahap ketiga adalah analisis kerentanan kota, dan tahap keempat adalah analisis risiko yang merupakan overlay dari hasil tahap kedua dan ketiga. Setelah menghasilkan analisis risiko iklim kemudian dilanjutkan dengan penyusunan strategi dan aksi adaptasi untuk merespon dampak perubahan iklim yang terjadi dalam dokumen selanjutnya yaitu dokumen strategi ketahanan kota/city resilience strategy (CRS). 2.2.1 Risiko Risiko dideinisikan sebagai suatu ukuran dari kemungkinan kerusakan jiwa, harta benda dan/atau lingkungan, yang dapat terjadi apabila ancaman menjadi kenyataan, termasuk tingkat keparahan yang diantisipasi dari konsekuensi terhadap manusia (IPCC, 2007). Risiko merupakan hasil overlay antara bahaya dan kerentanan (Affeltranger et al., 2006 dalam Kementerian Lingkungan Hidup, 2010). Kerangka kajian risiko menurut Wisner (2004) dapat dinotasikan sebagai berikut (Jones et al., 2004). Risk = f (Bahaya, Kerentanan) Terdapat perbedaan yang jelas antara risiko bencana dan risiko iklim. Risiko di dalam framework bencana dibedakan berdasarkan setiap bahayanya. Komponen kerentanan dalam risiko bencana terdiri dari indikator sederhana, seperti populasi dan kepadatan bangunan. Berbeda dengan framework bencana, risiko iklim menggabungkan banyak indikator yang dapat dikategorisasikan. Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 7 2. DEFINISI DAN KONSEP DASAR 2.2.2 Bahaya Bahaya merupakan potensi kerugian bagi manusia atau kerusakan tertentu bagi lingkungan hidup yang dapat memberikan dampak yang merugikan terhadap elemen-elemen yang rentan dan terpapar (IPCC, 2012). Meskipun dalam waktu yang sama, bahaya sering disamakan dengan pengertian risiko, namun perlu diperjelas bahwa bahaya merupakan komponen dari risiko dan tidak sama dengan risiko itu sendiri (IPCC, 2012). Peristiwa isik dapat menjadi bahaya ketika elemen sosial (atau sumber daya lingkungan yang mendukung kesejahteraan dan keamanan manusia) terpapar terhadap dampak yang merugikan dan terjadi di bawah kondisi ketika mereka mudah terkena dampaknya. Dengan demikian, bahaya merupakan ancaman atau potensi terjadinya dampak yang merugikan, bukan peristiwa isik itu sendiri (IPCC, 2012). Terdapat dua jenis bahaya, bahaya geologis dan bahaya meteorologis. Akan tetapi bahaya yang dipertimbangkan dalam kajian risiko iklim adalah bahaya meteorologis yang disebabkan oleh faktor perubahan iklim. Di bawah ini merupakan daftar contoh-contoh dari bahaya meteorologis. Tidak Langsung (non-bencana) Tabel 2. 1 Daftar Bahaya Meteorologi Tipe Bahaya Parameter Utama Gagal tanam & panen Produksi pertanian, hasil panen, lahan pertanian Penyakit tular vektor Curah hujan, temperatur, tingkat pengaruh ISPA Langsung (bencana) Kebakaran hutan Banjir Curah hujan, SLR, jenis tanah, perubahan tata guna lahan, kenaikan muka air laut Longsor Curah hujan, temperatur, jenis tanah, perubahan tata guna lahan Kekeringan Curah hujan, temperatur, jenis tanah, perubahan tata guna lahan, jumlah run-off, populasi, tata guna lahan, akuifer geometric, permeabilitias, ketersediaan air Angin ribut Abrasi Genangan 8 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim Angin topan, La Nina, gelombang pasang, SLR 2. DEFINISI DAN KONSEP DASAR Daerah yang berbeda akan terpapar oleh bahaya iklim yang berbeda pula; hal ini akan bergantung pada kondisi geograis, jenis permukiman, demograi, dan jenis infrastruktur. Penting untuk mengidentiikasi daerah mana yang paling terpapar untuk dijadikan prioritas dimana bahaya iklim akan memberikan dampak yang paling besar. 2.2.3 Kerentanan Kerentanan dalam pengertian umumnya mengacu pada potensi untuk mengalami kerugian. Akan tetapi, tidak jarang kerentanan diidentiikasi dan dideinisikan melalui sudut pandang spesiik secara sektoral atau tematik, misalnya hanya berfokus pada lingkungan, ketahanan pangan, gender, dll. Dalam membangun Urban Climate Change Resilience (UCCR) – ketahanan kota terhadap dampak perubahan iklim, dibutuhkan pendeinisian konsep kerentanan dalam sudut pandang target atau dalam hal ini masyarakat yang terdampak. Ini dibutuhkan agar masyarakat nantinya dapat terlibat dan memahami apa tantangan yang mereka hadapi sebenarnya. Terlebih lagi, ancaman dari perubahan iklim dapat beragam pada masing-masing kota sehingga setiap daerah memiliki isu kerentanan yang berbedabeda pula dan tidak tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya. Dalam konteks perubahan iklim, IPCC (2007) mendeinisikan kerentanan sebagai tingkatan dimana suatu sistem rawan, dan tidak mampu mengatasi dampak dari perubahan iklim, termasuk kaitannya dengan variabilitas iklim dan iklim ekstrim. Konteks kerentanan dapat dilihat pada berbagai skala dan aspek yang berbeda dalam masyarakat seperti rumah tangga, lingkungan, kota, negara, dan sektor ekonomi atau sektor sosial. Dalam cara yang lebih mudah, kerentanan dapat dideinisikan sebagai kondisi isik, sosial, ekonomi di suatu daerah yang mungkin dapat terkena dampak dari bahaya perubahan iklim. Dengan demikian, meskipun terdapat suatu daerah dengan lokasi administratif dan area rawan bencana yang sama, tetapi kondisi dan tingkat kerentanannya belum tentu sama. Sebagai contoh, jika suatu daerah berada di lereng bukit, daerah tersebut mungkin termasuk ke dalam daerah yang sangat terpapar dari bencana/bahaya, akan tetapi tidak dalam kondisi yang rentan jika seluruh populasi penduduknya memiliki tingkat penghasilan yang tinggi sehingga memiliki kemampuan untuk membangun tempat tinggal dengan fondasi yang kuat, dan didukung infrastruktur tahan bencana longsor yang memadai. Kerentanan terdiri dari tiga komponen yaitu keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif. Dalam contoh ilustrasi di atas, daerah lereng tinggi mengindikasikan komponen keterpaparan, jenis perumahan mengindikasikan komponen sensitiitas, dan tingkat pendapatan & fasilitas publik mengindikasikan komponen kapasitas adaptif. Kerentanan (V) = f (E, S, AC) Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 9 2. DEFINISI DAN KONSEP DASAR Komponen Keterpaparan (E),sangat tergantung dari fungsi geografis berdasarkan variasi iklim yang dapat menyebabkan bencana. Contohnya, penduduk yang tinggal di lereng bukit lebih rawan terkena longsor, sedangkan yang tinggal di pesisir memiliki peluang terekspos lebih tinggi terhadap kenaikan permukaan air laut. Komponen Sensitivitas (S),sejauh mana suatu kota dipengaruhi oleh bencana akibat perubahan iklim. Dampaknya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat namun ada juga yang tidak langsung dirasakan. Contohnya, masyarakat yang sama-sama tinggal di tepi sungai, namun memiliki perbedaan tipe rumah, ada yang rumahnya non-permanen (kayu, seng), ada juga yang permanen (batu bata). Tipe rumah non-permanen lebih rawan (sensitif) karena lebih mudah terbawa arus banjir. Komponen Kapasitas Adaptif (AC),kemampuan kota untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim dengan mengurangi potensi kerusakan, memanfaatkan sumber daya dan kesempatan yang ada atau dengan mengatasi konsekuensinya. Sebagai contoh, penduduk dengan tingkat penghasilan yang tinggi akan semakin memiliki kemampuan untuk mengatasi konsekuensi dan merespon perubahan iklim atau setelah bencana iklim terjadi. 2.3 Kajian Risiko Iklim: Tidak Ada Framework yang Standar Sebelum dilakukan pengumpulan data, ruang lingkup analisis penting untuk disusun. Kota-kota yang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi perlu mempertimbangkan kerentanan kota baik kota tersebut sudah memiliki kapasitas dan pendanaan, maupun tidak. Kajian risiko iklim dapat disebut sebagai landasan dari penelitian kota yang berketahanan terhadap perubahan iklim (Urban Climate Change Resilience), yang dapat direvisi tahunan (atau kapanpun) sesuai kebutuhan. Pemahaman dalam membangun UCCR akan meningkatkan justiikasi untuk melaksanakan aksi-aksi mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim di dalam pembangunan dan juga pengarusutamaan di dalam lingkup pemerintahan. Mengingat bahwa ada beberapa pilihan metode dalam menyelesaikan kajian risiko iklim, mulai dari kajian risiko iklim yang sederhana hingga ke tingkat kedetilan dan kedalaman yang lebih, maka kota perlu menyesuaikan metode yang dipilih dengan kondisi kota itu sendiri. Hal ini bergantung pada sumber daya yang dimiliki oleh kota meliputi kapasitas sumber daya manusia, ketersediaan waktu, ketersediaan data, dan tingkat kepentingan dalam menyusun analisis yang mendalam. Kajian risiko iklim dapat bersifat informatif di tingkat-tingkat tertentu, meskipun sesederhana apapun bentuknya. Walaupun dimulai dengan penilaian berbasis komunitas (community-based assessment), pembelajarannya dapat diaplikasikan dalam tingkat kota. Penilaian secara sektoral juga dapat menghantarkan kota untuk memperoleh tujuan yang sama. 10 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 2. DEFINISI DAN KONSEP DASAR Penyusunan kajian risiko iklim akan sangat bergantung pada ukuran kota dan jenis informasi yang tersedia. Kajian tersebut bisa dibuat dalam skala cakupan wilayah yang berbeda, seperti di tingkat kecamatan atau kelurahan. Memilih salah satu skala dari yang lain akan sangat mempengaruhi jenis analisis dan jenis kesimpulan yang dapat ditarik dari penilaian. Salah satu cara terbaik untuk memutuskan cakupan dan metode yang dipilih adalah dengan mengevaluasi seberapa besar ukuran kota; dalam kasus kota-kota kecil, dengan kecamatan yang sedikit, lebih baik untuk melakukan penilaian di level kelurahan. Jika ukuran kota sangat besar, dengan banyak kelurahan, pilihan yang terbaik adalah untuk melakukan penilaian di tingkat kecamatan. Terdapat berbagai macam pendekatan dan teknik untuk kajian risiko iklim mulai dari penilaian berdasarkan indikator nasional atau global hingga pendekatan partisipatori di tingkat lokal., Semuanya memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda tetapi dapat digunakan selama dapat mencapai tujuan utama dan kebutuhan kota dari kajian risiko iklim (IPCC, 2012). Pendekatan kuantitatif untuk menilai risiko perlu dilengkapi dengan pendekatan kualitatif untuk melihat kompleksitas dan aspek tangible maupun intangible risiko dari dimensi yang berbeda. Sistem yang kompleks dengan mencakup variabel yang banyak (isik, sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan) perlu memperhatikan variasi metode yang relevan dan terintegrasi. Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 11 2. 12 DEFINISI DAN KONSEP DASAR Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 3 ELEMEN DASAR KAJIAN RISIKO IKLIM Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 13 3. ELEMEN DASAR (BUILDING BLOCKS) KAJIAN RISIKO IKLIM Kajian risiko iklim (CRA) harus dapat mengkomunikasikan secara efektif risiko prioritas suatu kota untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Ini berguna untuk mendukung upaya fasilitasi keterlibatan pemerintah dan berbagai stakeholder yang merepresentasikan kota dalam membangun UCCR. Agar dapat memberikan informasi yang bisa digunakan oleh kota-kota, maka identiikasi terhadap elemen dasar dari kajian risiko iklim perlu dilakukan. Jika pengidentiikasian ini tidak dilakukan dengan tepat, maka kajian risiko iklim akan cenderung diabaikan dari waktu ke waktu. Elemen dasar yang diperlukan dalam penyusunan kajian risiko iklim (Climate Risk Assessment) ada lima elemen yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. Sistem Perencanaan & Pemerintahan 1. Sistem perencanaan & pemerintahan, yaitu mengidentiikasi kedudukan kajian risiko iklim dalam mekanisme pembangunan kota untuk mencapai pengarusutamaan isu adaptasi perubahan iklim dalam pembangunan daerah. Tim Kota 2. Tim kota, yaitu suatu kelompok kerja yang merepresentasikan seluruh stakeholder di perkotaan mulai dari pemerintah, masyarakat, LSM, akademisi, dan dunia usaha. Tim CRA SLD Pengumpulan Data 3. Tim penyusun CRA, yaitu kelompok lebih kecil yang memiliki fokus untuk menyusun dokumen kajian risiko iklim secara teknis dan operasional. 4. SLD, atau shared learning dialogue merupakan wadah untuk berkomunikasi dan berdiskusi antar seluruh pemangku kepentingan di kota terkait penyusunan kajian risiko iklim. 5. Pengumpulan data, meliputi metode-metode yang digunakan untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dalam menganalisis termasuk sumber data yang diperoleh serta cara pengumpulan datanya. Perlu dipahami bahwa elemen dasar dan tahapan penyusunan kajian risiko iklim yang akan dijelaskan dalam pedoman ini didasari oleh kondisi pembangunan kota yang berketahanan di kota-kota Indonesia dengan konteks struktur pemerintahannya saat ini. Dengan demikian jika rekomendasi dalam pedoman ini akan diaplikasikan di luar konteks yang telah disebutkan, maka perlu dilakukan penyelarasan dengan konteks baru. 14 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 3. ELEMEN DASAR (BUILDING BLOCKS) KAJIAN RISIKO IKLIM 3.1 Kajian Risiko Iklim dalam Sistem Perencanaan dan Pemerintahan Salah satu dari tujuan disusunnya kajian risiko iklim adalah agar perubahan iklim dapat diarusutamakan (mainstreamed) ke dalam mekanisme pembangunan. Dengan demikian, salah satu elemen dasar dari kajian risiko iklim adalah dengan memanfaatkan sistem perencanaan dan pemerintahan yang sesuai pada tempatnya. Dari hasil pembelajaran sebelumnya, terlihat bahwa kota-kota yang cenderung berhasil dalam menyusun kajian risiko iklim memiliki motivasi dan tingkat partisipasi pemerintah kota yang tinggi. Oleh karena itu jika kota-kota dari awalnya kurang memiliki tingkat ketertarikan terhadap isu perubahan iklim itu sendiri, maka akan sulit untuk mencapai keberhasilan penyusunan kajian tersebut. Sebagai informasi, di antara negara-negara yang terlibat dalam program ACCCRN, terdapat sistem dan struktur pemerintahan yang berbeda-beda sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Proses ACCCRN harus dapat leksibel dalam berbagai sistem dan struktur pemerintahan, tetapi juga tetap dibutuhkan dukungan aktif dari pemerintah itu sendiri. 3.2 Tim Kota Tim kota dalam konteks ini adalah tim manajemen eksekutif yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan program ketahanan perubahan iklim di kotanya, bisa dibentuk baru ataupun menggunakan tim kota yang sudah ada (yang relevan). Di Indonesia, tim kota (city team) sering disebut sebagai ‘kelompok kerja’ seperti contohnya Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL), Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP), dsb. Secara struktur, sangat direkomendasikan untuk memiliki dasar hukum (biasanya dengan keberadaan SK/ Surat Keputusan dari pemerintah daerah setempat) dan harus merepresentasikan elemen pemerintahan dengan unsur berbagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) seperti Bappeda, BLH, dan sebagainya, serta merepresentasikan LSM lokal atau kelompok masyarakat, universitas, atau bahkan sektor swasta. Tim kota untuk mengimplementasikan program ketahanan perubahan iklim sendiri di kota-kota sering disebut dengan Pokja Ketahanan Perubahan Iklim. PANDUAN LANGKAH-LANGKAH MEMBENTUK TIM KOTA A. KENALI STAKEHOLDER. Salah satu komponen kunci dari stakeholder yang harus ikut serta dalam Tim Kota adalah pemerintah. Komponen pemerintah bisa meliputi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Lingkungan Hidup (BLH), Dinas Kesehatan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Sosial, dan lainnya sesuai dengan konteks kebutuhan kota. Selain itu, komponen stakeholder juga sebaiknya berasal dari sektor lain seperti akademisi, lembaga non-pemerintah seperti LSM, serta tidak menutup kemungkinan adanya representatif dari dunia usaha. Keragaman ini dibutuhkan karena isu perubahan iklim perlu dipikirkan secara bersamasama mengingat dampaknya yang bisa ditanggapi berbeda-beda juga oleh berbagai komponen stakeholder tersebut. Ini juga untuk mendorong kapasitas yang lebih beragam dan sekaligus merepresentasikan komunitas tertentu yang terkait dan tertarik dengan isu perubahan iklim. Contohnya, pimpinan komunitas, dan lembaga penelitian atau tim dari universitas yang dapat mengaplikasikan bidang keilmuan yang relevan dengan isu kota. Tim kota harus dapat mereleksikan berbagai kepentingan, kekuatan untuk mengambil keputusan, dan saling melengkapi kapasitas yang dibutuhkan untuk menyusun dokumen termasuk dokumen kajian kerentanan (CRA) dan strategi ketahanan kota (CRS). Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 15 3. ELEMEN DASAR (BUILDING BLOCKS) KAJIAN RISIKO IKLIM Tabel 3. 1 Peran Kelompok Stakeholder dalam Tim Kota Kelompok Stakeholder Peran Pemerintah Merumuskan dan melaksanakan kebijakan; Mengoordinasikan fungsi dan peran antar lembaga; Menyediakan akses data pemerintahan; Melakukan proses penganggaran daerah LSM/ NGO Memberikan keahlian pendampingan di masyarakat; Menyediakan kapasitas pelaksanaan teknis di lapangan; Melaksanakan fungsi advokasi, monitoring dan evaluasi ; Menyediakan keahlian penelitian atau pengetahuan pada bidang tertentu; Memberikan peningkatan kapasitas materi atau teknis pada bidang tertentu; Akademisi Memberikan fasilitasi pada forum diskusi sesuai kebutuhan; Membantu proses publikasi melalui hasil penelitian atau pendokumentasian pembelajaran, serta monitoring dan evaluasi suatu aksi; Dunia Usaha Menyediakan sumber pendanaan alternatif; Menyediakan peluang kolaborasi dengan mekanisme kerjasama lainnya; B. IDENTIFIKASIKAN LEADING AGENCY. Dalam tim kota, dibutuhkan fungsi koordinasi yang baik mengingat keragaman komponen stakeholder yang ada. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, Bappeda dan BLH sering kali menjadi stakeholder kunci yang dianggap memiliki kapasitas untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan terkait perubahan iklim di kota. Bappeda memiliki kapasitas untuk mengkoordinasikan SKPD-SKPD di kota dan mengintegrasikan perencanaan perubahan iklim ke dalam proses perencanaan kota. Di sisi lain, BLH sering lebih diasosiasikan dengan isu-isu perubahan iklim sehingga dianggap cocok untuk mengoordinir kegiatan-kegiatan yang terkait. Setiap kota dapat memiliki leading agency yang berbeda-beda tergantung pada struktur pemerintahan dan kebijakan kotanya sendiri. TIPS • Cari champion yang proaktif Seorang “champion” adalah orang yang proaktif dan memiliki passion dan otoritas untuk membawa kerja tim kota terus maju. Para champion menjadi salah satu hal yang membedakan tim yang hanya memenuhi kriteria, dan suatu tim yang menciptakan perubahan signifikan. Para champion harus dibimbing mengenai pengetahuan ketahanan terhadap perubahan iklim baik mengenai konsep maupun aplikasinya. • Tim kota yang inklusif Untuk membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim, tim kota harus bersifat inklusif dan memanfaatkan pengetahuan dari pemimpin dan anggota komunitas. Keterlibatan mereka akan meningkatkan kemungkinan program-program ketahanan kota relevan dan tercapai dengan baik. • Saling berbagi Tim kota dari seluruh Indonesia harus bisa terhubung dan dapat saling berbagi pembelajaran dan pengalaman. Tim kota juga dapat menerima manfaat dengan membuat hubungan/ jejaring dengan pihak dari luar wilayah, negara, dan internasional yang juga fokus kepada urbanisasidalam konteks perubahan iklim dan ketahanan kota. 16 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 3. ELEMEN DASAR (BUILDING BLOCKS) KAJIAN RISIKO IKLIM C. MENDEFINISIKAN STRUKTUR. Tahapan ini bergantung pada kebutuhan dan komposisi dari tim kota. Salah satu bentuk struktur dari tim kota yang berhasil yaitu terdiri dari tim eksekutif kecil (tim teknis) dengan adanya peran dari pemimpin yang aktif dan juga terdapat tim yang lebih besar yang lebih berperan sebagai penasehat (advisory). Sekali lagi, setiap kota dapat memiliki bentuk struktur yang berbeda-beda tergantung pada kebijakan kotanya sendiri. D. MEMFORMALKAN PARTISIPASI. Leading agency harus mengirimkan surat undangan yang formal kepada SKPD-SKPD yang turut berpartisipasi di tim kota. Tim kota juga harus dapat mengidentiikasi alat birokrasi yang dapat melegalkan/memformalkan tim kota di dalam struktur pemerintahan. Jika diperlukan, tambahkan persetujuan atau himbauan dari pimpinan kota (Walikota) yang akan mewajibkan anggota-anggota dari tim kota untuk fokus bekerja di tim kota. E. PAHAMI GAP KAPASITAS Kapasitas dari tim kota merupakan faktor penting penentu keberhasilan program. Tim kota memerlukan berbagai sumber daya yang dapat membantu mereka untuk mengkaji, mengembangkan aktivitas, rencana, pendanaan, dan mengidentiikasi peluang pendanaan untuk implementasi strategi-strategi ketahanan kota terhadap dampak perubahan iklim. Ketika gap kapasitas teridentiikasi, maka tim kota juga harus dapat mengidentiikasi langkah-langkah selanjutnya untuk menutup gap dan meningkatkan kapasitas tim. Kapasitas yang dimaksud bisa mencakup pengetahuan, keahlian, keterampilan dalam membangun jaringan (networking), sarana dan prasarana, dll. F. TENTUKAN JADWAL. Untuk memastikan adanya pertemuan dan keterlibatan rutin dari tim kota, buatlah jadwal pertemuan/rapat yang teratur contoh setiap 3-6 bulan sekali untuk tim penasehat dan 1 bulan sekali untuk tim eksekutif. Jika ingin mengikuti model tim eksekutif kota, pertemuan harus dijadwalkan baik itu untuk tim eksekutif maupun untuk tim penasehat. Tim kota mungkin akan membutuhkan keterlibatan dari setiap perwakilan SKPD untuk secara konsisten hadir dan berpartisipasi dalam setiap pertemuan. G. BUATLAH MEKANISME DISEMINASI. Stakeholder-stakeholder yang sudah diidentiikasi akan membutuhkan informasi mengenai kerentanan kota terhadap perubahan iklim dan diskusi yang sedang berjalan mengenai bagaimana hal tersebut berdampak terhadap kota sehingga mereka dapat terlibat dalam diskusi untuk menentukan solusi-solusinya. Maka dari itu, tim kota perlu mengembangkan mekanisme untuk mendiseminasikan informasi kepada mereka. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan milis (mailing list), penyebaran publikasi, menambahkan info terbaru di website/sosial media lainnya (jika ada), atau melalui adanya pertemuan untuk menyebarkan informasi secara berkala. Anggota dari tim kota juga dapat memberikan persentasi atau paparan, yang berfokus pada program kerja yang dilakukan oleh setiap SKPD pemerintah atau institusi terkait melalui adanya SLD (Shared Learning Dialogue). 3.3 Tim Kajian Risiko Iklim (Risk Assessment team) Tim penyusun Kajian Risiko Iklim dapat diambil dari anggota Tim Kota yang sudah terbentuk. Sebaiknya, mereka yang memiliki dedikasi dan kemampuan teknis yang lebih dapat diarahkan untuk menghasilkan kajian risiko iklim tersebut. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan mengumpulkan, mengorganisasikan, dan menganalisis data, serta kemampuan dalam mengartikulasikan temuantemuan. Maka dari itu tim penyusun harus mampu mengelola informasi dari berbagai stakeholder kota, seperti pemerintah kota, anggota parlemen, organisasi masyarakat, dan masyarakat umum. Anggota Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 17 3. ELEMEN DASAR (BUILDING BLOCKS) KAJIAN RISIKO IKLIM dari tim kajian risiko iklim harus bisa menulis, mengartikulasikan, dan mendiseminasikan informasi dari hasil temuannya secara jelas. Hal yang penting bahwa tim kota juga harus memiliki pengalaman dengan isu-isu pembangunan, administrasi publik, perubahan iklim, dan perencanaan perkotaan. Di bawah ini merupakan kemampuan-kemampuan yang penting untuk dimiliki oleh tim kajian risiko iklim: • Kemampuan untuk mengumpulkan data dari berbagai instansi pemerintahan dan juga mengumpulkan sumber-sumber data lainnya yang relevan. • Kemampuan untuk menstandarisasikan dan mensintesiskan data dari sumber data-data numerik dan dipresentasikan dalam bentuk peta serta format lainnya, yang dapat dikomunikasikan secara sederhana dan efektif kepada stakeholder lain. • Kemampuan untuk memilih dan mewawancarai stakeholder-stakeholder serta memfasilitasi FGD (Focus Group Discussion) atau SLD dengan keterlibatan kelompok dari komunitas yang beragam. • Kemampuan untuk mereview dokumen perencanaan dan penganggaran pemerintah serta regulasi dan kebijakan yang ada. • Kemampuan untuk menganalisis dan mensintesiskan informasi ke dalam dokumen. TIPS Tim Kajian risiko iklim bisa terdiri dari individu-individu yang berasal dari pemerintah kota, akademisi, LSM lokal, dan individu yang kompeten. Pemerintah kota bisa memimpin proses ini atau menyederhanakan tugas ini, dengan suatu panduan yang mereka berikan kepada lembaga atau universitas yang mengerjakannya. 3.4 SHARED LEARNING DIALOGUES/KONSULTASI PUBLIK SLD merupakan sebuah metode untuk membagikan informasi dan mengumpulkan masukan dari stakeholder internal maupun eksternal dalam suatu kota. Beberapa stakeholder tersebut contohnya seperti tenaga ahli, pemerintah, universitas, LSM, pihak swasta, dan kelompok komunitas. SLD harus bisa mendorong diskusi untuk berbagi pengetahuan sektoral dari peserta forum dalam rangka untuk meningkatkan realibilitas dan relevansi kajian kerentanan. Dengan begitu, kualitas dan efektiitas dari pembuatan keputusan akan lebih meningkat. Proses SLD juga dapat membantu memecahkan batasan-batasan sosial yang dapat menyebabkan suatu kelompok tertentu memiliki perspektif yang sempit terhadap kelompok lainnya. Bentuk dari SLD bisa bermacam-macam mulai dari pertemuan seperti rapat, workshop, pameran, atau acara kreatif lainnya. 18 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 3. ELEMEN DASAR (BUILDING BLOCKS) KAJIAN RISIKO IKLIM PANDUAN LANGKAH-LANGKAH • Pilihlah tim kendali. Dari tim kota, pilihlah tim kendali atau pengontrol untuk mengorganisasikan SLD. Tim kendali ini bertanggung jawab untuk merancang dan mengelola proses SLD. • Bentuklah SLD Pertama. Tim kendali harus menentukan prioritas dari topik-topik SLD berdasarkan kebutuhan kota. Beberapa contoh misalnya: • SLD 1: Pengenalan program dan mendeinisikan terminologi kunci dan memahami komponen-komponen dari penilaiain risiko. Pertemuan pertama harus bisa memberikan pemahaman kepada seluruh partisipan mengenai proses kajian risiko iklim dan kenapa hal tersebut penting dilakukan. • SLD 2: Meninjau kembali dan mendiskusikan hasil-hasil dari draft kajian risiko yang sudah disusun. • SLD 3: Mengembangkan strategi-strategi dan pilot project untuk merespon hasil dari kajian risiko iklim dan mengidentiikasi peluang untuk mengarusutamakan strategi-strategi tersebut ke dalam perencanaan daerah. • Tentukan peran. Tentukan peran dari tim kendali mencakup siapa yang akan memimpin dan memfasilitasi pertemuan, dan siapa yang bertugas menjadi sekretaris/notulensi. Perwakilan dari tim kendali yang memiliki peran-peran tersebut harus konsisten menjalankan perannya selama proses SLD. Tim kota dapat mengimprovisasi proses dan bentuk dari SLD berdasarkan kebutuhan kota, alokasi dana, dan ketersediaan waktu dari tim kota dan stakeholder terkait. • Identiikasi partisipan. Berdasarkan topik yang telah ditentukan, perlu diidentiikasi tenaga ahli lokal, nasional dan bisa juga dari internasional untuk memfasilitasi dan berpartisipasi dalam setiap SLD. Partisipan tersebut bisa meliputi pemimpin komunitas lokal, pemerintah kota, atau akademisi dari universitas. Walikota atau pejabat kota lainnya jika perlu untuk diundang dalam salah satu pertemuan untuk dapat mendelegasikan tugas dan tanggung jawabnya. • Pastikan adanya dukungan penuh dari berbagai lembaga. Dukungan dari berbagai lembaga penting untuk diberikan secara resmi untuk memastikan bahwa setiap orang memahami proses kajian risiko iklim dan memiliki kemauan untuk berkolaborasi. • Penyelenggaraan SLD. Selenggarakan SLD sesuai dengan tanggal, waktu, dan agenda untuk SLD yang telah disosialisasikan kepada para partisipan sebelumnya. Pada saat penyelenggaraan SLD ini diharapkan para partisipan sudah mempersiapkan bahan untuk didiskusikan sesuai agenda yang telah ditentukan. • Diseminasikan hasil. Tentukan strategi yang tepat dan efektif untuk mensosialisasikan hasil dari SLD, paling tidak untuk memastikan pemangku kepentingan dan publik yang terkait memahami keberadaan kajian risiko iklim tersebut. Metode diseminasi bisa dilakukan dengan menyelenggarakan suatu forum atau melalui media komunikasi publikasi seperti pamlet, website pemerintah, radio, televisi, atau koran lokal. Akan tetapi sebelumnya perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa seluruh partisipan dalam SLD sudah memahami ruang lingkupnya. Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 19 3. PRINSIP DASAR (BUILDING BLOCKS) KAJIAN RISIKO IKLIM 20 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 3. PRINSIP DASAR (BUILDING BLOCKS) KAJIAN RISIKO IKLIM TIPS SLD harus bisa memfasilitasi kebutuhan terhadap informasi mengenai ACCCRN dan kajian kerentanan risiko iklim. Hal ini dapat membantu mendorong partisipasi dan rasa memiliki dari partisipan. Terkadang stakeholder akan mengirimkan perwakilan yang berbeda untuk datang pada setiap SLD. Jika memungkinkan, cobalah untuk tetap mempertahankan perwakilan yang sama dalam berpartisipasi pada setiap SLD untuk memastikan bahwa mereka familiar dengan terminologi dan konsep. Hal ini akan meningkatkan pemahaman serta pembuatan keputusan. 3.5 Pengumpulan Data : Sumber dan Metode Sebelum mengumpulkan data, perlu disusun ruang lingkup analisis. Pengumpulan sumber data statistik, pemetaan dan dokumen relevan lainnya dari berbagai lembaga merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Pengumpulan data harus dimulai paling awal dan membutuhkan koordinasi dari antar lembaga. Metode dalam pengumpulan data bisa beragam, bergantung pada jenis-jenis data yang diperlukan. Dalam kasus ini, sebagian besar data dikumpulkan dari survei terhadap instansi-instansi. Dokumen-dokumen di bawah ini dibutuhkan untuk mendukung penyusunan kajian risiko iklim yang komprehensif dan tersedia di berbagai lembaga pemerintahan yang berbeda-beda. Data-data dapat berbentuk hard copy maupun soft copy. Ketersediaan dalam bentuk soft copy akan mempermudah proses penyusunan kajian. Lalu dalam membuat peta dibutuhkan ile dalam bentuk GIS (Geographic Information System) yang membutuhkan program ArcGIS, ArcView, QGIS ataupun program lainnya untuk mengoperasikannya. • Kota dalam Angka dari Badan Pusat Statistik (BPS); • Kecamatan dalam Angka dari Badan Pusat Statistik (BPS); • Potensi Desa (PODES) dari Kelurahan atau Badan Pusat Statistik (tahun terbaru); • Survei Sosial Ekonomi Daerah (SUSEDA) dari Badan Perencanaan Daerah (jika tersedia); • Dokumen Mitigasi Bencana dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (jika tersedia); • Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (tahun terbaru); • Data Kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (tahun terbaru); • Rencana Tata Ruang Wilayah Kota dari Badan Perencanaan Daerah; • Batas Administrasi Kelurahan/Kecamatan (ile .shp atau .dwg untuk penggunaan GIS); • Data Curah Hujan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geoisika (20 tahun terakhir); • KNMI Climate Explorer (dapat ditemukan dengan analisis di: http://climexp.knmi.nl/ ; akan dibahas pada bagian pembahasan selanjutnya). Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 21 22 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 4 PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM Dalam menyusun kajian risiko, tim kota harus memahami keseluruhan proses dan bagaimana satu tahapan berkaitan dengan tahapan lainnya. Penjelasan singkat untuk para trainer disediakan dalam / Training Tools CRA 0.2 (terlampir) dan penjelasan untuk setiap tahapan dijelaskan dalam Training Tools CRA 1 – 7 (terlampir). Training tools untuk latihan praktik juga disediakan untuk tim kota. 4.1 Langkah-Langkah Menyusun Kajian Risiko Iklim Kajian risiko iklim dirancang untuk menganalisis dan membangun pemahaman mengenai kerentanan terhadap perubahan iklim guna mendukung dan memberi informasi dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan di suatu kota. Tujuan utama dari pendekatan kajian risiko iklim adalah untuk menyediakan informasi mengenai proil, pola, dan perubahan risiko dengan tujuan untuk mendeinisikan prioritas, memilih alternatif strategi, atau memformulasikan respon strategi baru (IPCC, 2012). Kajian risiko iklim distrukturkan sebagai suatu proses identiikasi dan deskripsi yang terdiri dari dua komponen yaitu bahaya dan kerentanan. Proses ini dimulai dengan mengumpulkan dan menganalisis data untuk membentuk framework dan konteks penilaian (assessment), dan juga menilai kondisi kerentanan saat ini. Tahapan berikutnya adalah melihat kondisi di masa depan; seperti skenario/ prediksi di masa depan yang berhubungan dengan bagaimana kondisi kerentanan dan risiko iklim mungkin dapat berubah dari waktu ke waktu. Metodologi untuk menyusun penilaian ini disimpulkan dalam diagram berikut. Gambar 4. 1 Tahapan Menyusun Kajian Risiko Iklim (Risk Assessment) A.1 Informasi Umum A.2 Aspek Fisik dan Lingkungan A.3 Aspek Sosial A.4 Aspek Ekonomi B B B.1 Kondisi Iklim Saat Ini B.2 Proyeksi Iklim C E E B C.1 Iden>fikasi Bahaya C.2 Matriks Bahaya C.3 Skoring Bahaya C.4 Tingkat Bahaya Gabungan EE EE E E.1 Analisis Risiko Iklim Saat Ini E.2 Analisis Risiko Iklim di Masa Depan EE E E D E F.1 Pemilihan ins>tusi/organisasi yang akan dinilai F.2 Wawancara stakeholder terpilih F.3 Analisis hasil wawancara 24 D D.1 Iden>fikasi & Kategorisasi Indikator D.2 Pengolahan Data D.3 Normalisasi D.4 Pembobotan D.5 Penentuan Kuadran Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM TAHAPAN DALAM MENYUSUN KAJIAN RISIKO IKLIM (RISK ASSESSMENT) A. PROFIL KOTA D. ANALISIS KERENTANAN Merupakan gambaran kondisi umum wilayah perkotaan yang dapat dideskripsikan berdasarkan gambaran kondisi isik dan lingkungan perkotaan, kondisi sosial perkotaan, dan kondisi ekonomi perkotaan. Proil kota dapat diperoleh dari dokumendokumen perencanaan pembangunan kota maupun dokumen statistik perkotaan. Merupakan gambaran kondisi internal perkotaan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Analisis ini dilakukan dengan menentukan indikatorindikator dan komponen kerentanan wilayah yaitu indikator keterpaparan (E), sensitiitas (S), dan kapasitas adaptif (AC). B. FENOMENA PERUBAHAN IKLIM E. ANALISIS RISIKO Merupakan analisis kondisi iklim perkotaan di masa kini dan masa yang akan datang untuk memprediksi bahaya yang akan terjadi jika kondisi iklim berubah. Kondisi iklim di masa yang akan datang diperoleh dengan melakukan proyeksi iklim. Risiko merupakan hasil overlay antara bahaya dan kerentanan (Affeltranger et al., 2006). Maka, pada tahap ini dilakukan overlay dari hasil analisis pada langkah C dan langkah D. C. ANALISIS BAHAYA F. KAPASITAS INSTITUSI DAN MASYARAKAT Pada tahap ini mengidentiikasi bahaya iklim (langsung maupun tidak langsung) yang terjadi di perkotaan berdasarkan karakter, besaran, dan dampaknya di masa kini dan masa yang akan datang dengan mengacu pada historis terjadinya bencana. Pada bagian ini menjelaskan terkait kapasitas adaptasi yang dimiliki oleh perkotaan saat ini baik dari elemen institusi, maupun masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Tahapan-tahapan tersebut dapat dimodiikasi menjadi check list panduan implementasi analisis kajian risiko iklim berdasarkan elemen dasar dan persiapan sebelumnya. A. PROFIL KOTA Perubahan iklim tidak terbatas pada batasan administrasi kota/daerah. Beberapa dimensi solusi yang ditawarkan akan terbatas pada batasan administrasi suatu daerah, akan tetapi yang lainnya mungkin berkaitan dengan wilayah yang lebih luas seperti aliran sungai lintas wilayah. Proil mengenai kondisi iklim mikro pada tingkat lokal seperti kerapatan bangunan, kondisi vegetasi, kondisi tanah I K II II K I I ! II II juga tidak boleh terlupakan. Bagian lain dari proil kota adalah ringkasan mengenai kecenderungan dan perubahan paling besar dalam aspek ekonomi, lingkungan, demograi, dan sosial. Berikut ini merupakan informasi yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan proil kota. IK IKIKI !K Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 25 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM A1. Informasi umum. Lengkapi informasi spesiik seperti koordinat kota, unit administratif, area, dan pemetaan dalam skala wilayah dan juga skala kota, sertakan tabel mengenai informasi dasar mengenai kota. Jelaskan pula mengenai kondisi politik/pemerintahan (seperti periode pemerintahan kota saat ini) dan batasan administratif kota yang lebih rinci (jumlah kecamatan, kelurahan, RW, RT, dll). A.2 Aspek Fisik dan Lingkungan. Meliputi kondisi isik buatan dan isik alam dari kota. Proil lingkungan mencakup deskripsi mengenai sungai utama, topograi, luasan ruang terbuka hijau, serta karakter isik alam lainnya. Proil isik buatan mencakup deskripsi mengenai pelayanan dasar yang terdapat di kota. Datadata infrastruktur dari PLN, PDAM dan Pekerjaan Umum, mendeskripsikan cakupan area yang dilayani oleh pelayanan dasar publik di kota. Informasi tersebut harus bisa mendeskripsikan secara numerik dan visual berapa banyak penduduk kota yang dapat mengakses pelayanan dasar tersebut dan juga sebaran geograis penduduk kota. Pelayanan publik meliputi akses terhadap sanitasi, air bersih, listrik, dan pengelolaan limbah padat. Informasi tersebut disertai dengan peta yang menggambarkan distribusi dari pelayanan dasar tersebut. A.3 Aspek Sosial. Meliputi kondisi demograi, pendidikan, dan kesehatan. Kondisi demograi memberikan gambaran mengenai populasi saat ini di kota. Jika memungkinkan, disediakan dalam bentuk tabel dan peta dari jumlah populasi dalam tingkat kelurahan/kecamatan dan dibuat pertumbuhan rata-rata penduduk dalam kurun waktu 20 tahun terakhir untuk diproyeksikan dalam 20 hingga 30 tahun yang akan datang. Akses terhadap pendidikan dan kesehatan juga merupakan hal yang penting untuk mendeskripsikan akses terhadap pelayanan dasar. Beberapa data yang menarik seperti rata-rata ketidakhadiran partisipasi sekolah, distribusi daerah yang terkena wabah penyakit, dan lokasi dari pusat-pusat pelayanan kesehatan dan pendidikan dapat ditampilkan jika tersedia. A.4 Aspek Ekonomi. Meliputi kondisi ekonomi dan kemiskinan. Proil ekonomi kota menggambarkan sektor-sektor ekonomi yang berbeda-beda yang berkontribusi terhadap ekonomi kota (dalam bentuk diagram lingkaran), dan juga mendeskripsikan sektor ekonomi yang paling berperan besar dalam ekonomi kota. Data yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan kondisi tersebut adalah data PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto). Untuk tiga sektor ekonomi utama, jelaskan mengapa sektor tersebut berperan besar terhadap kota dan jelaskan pula kecenderungannya di masa lalu dan saat ini apakah meningkat atau menurun. Untuk proil kemiskinan, kumpulkan data mengenai jumlah keluarga miskin di kota dan hubungkan data tersebut dengan jumlah keluarga total di kota untuk mendapatkan proporsi tingkat kemiskinannya. Jika tersedia informasi mengenai distribusi jumlah keluarga miskin, data tersebut harus dipetakan untuk menggambarkan konsentrasi daerah miskin. Jelaskan dimana saja daerah-daerah yang terdapat keluarga miskin di kota. TIPS Lihat bagian sumber data untuk membantu mencari informasi data yang dibutuhkan tersebut. Ingat, bahwa daftar data disini belum lengkap! Jika anda menemukan data lainnya yang belum disertakan di pedoman ini, sertakanlah pada dokumen CRA kota anda. 26 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM Contoh data proil kota yang dapat digunakan untuk menilai kerentanan kota diantaranya: 1. Peta area kota dengan format dasar GIS (.shp atau yang lainnya) 2. Data Potensi Desa 3. Data lainnya: a. Data Millennium Development Goals (MDG’s) kota. Target MDG’s tahun 2015 atau target Sustainable Development Goals (SDG’s) untuk setelah tahun 2015 b. Dokumen perencanaan yang berlaku di kota: RPJMD, RTRW, RPJPD, master plan, dll. Prioritaskan target dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan hal tersebut tidak tercapai c. Data Ruang Terbuka Hijau d. Data Provinsi dalam Angka dan data Kabupaten dalam Angka e. Data jumlah pengguna PDAM, cakupan pelayanan (dalam beberapa tahun) dan rencana penambahan pengguna serta cakupan pelayanannya f. Dan lain-lain B. FENOMENA PERUBAHAN IKLIM B.1 Kondisi Iklim Saat Ini )# *+'$.0 /'3) "# $%&'(%&) *%+,")-)& 2# )&)0.1.1 ./0.( /%+%&3)&)& 4# )&)0.1.1 ")-)5) %# )&)0.1.1 +.1./' $# /)*)1.3)1 .&13.3 ,1. 2)& ()15)+)/)3 Pada bagian fenomena perubahan iklim dapat dijelaskan dengan mendeskripsikan kondisi iklim saat ini yang terjadi di perkotaan. Keluaran dari analisis ini dapat berupa graik yang menjelaskan rata-rata suhu, suhu maksimum, dan rentang suhu harian yang terjadi di perkotaan saat ini atau dalam kurun waktu tertentu (misalnya 10 tahun terakhir) berdasarkan data historis yang tersedia. Data-data yang dikumpulkan dapat diperoleh dari data sekunder yang terdapat dalam dokumen statistik kota maupun dari data-data atau dokumen BMKG. Berikut ini beberapa data terkait iklim yang dapat menjelaskan kondisi iklim perkotaan: 1. Jumlah Hari Hujan per tahun, dapat menghasilkan analisis perkembangan jumlah hari hujan di perkotaan setiap tahunnya serta menganalisis dampaknya terhadap kegiatan atau aktiitas penduduk. Sebagai contoh, jumlah hari hujan yang luktuatif berdapak negative terhadap aktivitas perekonomian kota terutama di sektor pertanian yang sangat bergantung pada intensitas hujan. 2. Curah Hujan per tahun, sama seperti data jumlah hari hujan dapat menghasilkan analisis perkembangan curah hujan dalam beberapa tahun terakhir serta dampaknya terhadap aktivitas di sektor-sektor yang sangat bergantung atau berdampak dari intensitas hujan. 3. Suhu Rata-Rata per tahun, menunjukkan perubahan dan perkembangan suhu rata-rata tahunan yang terjadi di perkotaan serta dapat menganalisis dampaknya terhadap sektor-sektor tertentu. Sebagai contoh suhu rata-rata yang semakin meningkat berpengaruh terhadap sektor kesehatan, sektor air bersih, serta sektor pertanian (seperti terjadinya perubahan musim panen dan kegagalan panen). Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 27 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM B.2 Proyeksi Iklim Bagian kedua pada fenomena perubahan iklim yaitu analisis proyeksi iklim yang dapat memperkirakan kejadian iklim ekstrim yang akan terjadi di perkotaan pada masa yang akan datang. Tahapan pertama dalam proyeksi iklim adalah menganalisis kecenderungan kondisi iklim dalam skala makro: di tingkatan regional dan nasional. Kecenderungan perubahan iklim di tingkat regional untuk Indonesia mengacu pada wilayah Asia Tenggara. Sementara dalam konteks kota, maka iklim makro mengacu pada kondisi iklim tingkat nasional atau mengacu pada apa yang terjadi terhadap iklim di Indonesia. Penting untuk memeriksa ketersediaan sumber data karena kecenderungan perubahan iklim dapat berubah. Berikut ini beberapa kecenderungan kondisi iklim di tingkat regional berdasarkan data dari Laporan Penilaian ke-4 IPCC (2007): • Terjadi peningkatan kejadian iklim ekstrim seperti gelombang panas dan curah hujan yang tinggi. • Terjadi peningkatan suhu rata-rata, yang dibuktikan dengan semakin bertambahnya jumlah siang yang panas dan malam yang hangat dibandingkan siang dan malam yang dingin diantara tahun 1961 dan 1998. • Keanekaragaman hayati di tingkat regional terpapar oleh penambahan suhu rata-rata. • Keterpaparan terhadap ENSO (El Niño Southern Oscillation), atau dikenal dengan “El Nino” dan “La Nina”. Di Indonesia, perubahan iklim diproyeksikan memberikan dampak: • Menghangatnya suhu udara yang terus meningkat dari 0.2 ke 0.30C per dekade. • Adanya sedikit peningkatan curah hujan tahunan di sebagian besar pulau-pulau di Indonesia, terutama di bagian utara. • Terjadi penundaan pergantian musim tahunan hingga 30 hari. Oleh karena itu perlu untuk merubah fokus kecenderungan iklim ke tingkatan kota, sehingga bisa menganalisis kecenderungan dan proyeksi iklim di kota. Proyeksi iklim dapat diperoleh dari data meteorologi untuk kota, seperti curah hujan dan pola perubahan suhu permukaan dalam 20 hingga 30 tahun terakhir, dan membandingkan data tersebut dengan model iklim, sehingga kita dapat melihat iklim kota di masa depan melalui data iklim global di masa depan (downscale). Hal yang mungkin membingungkan yaitu terkait dengan perubahan cuaca di periode yang pendek (variabel iklim) dengan perubahan iklim dalam periode waktu yang panjang. Cuaca dapat berubah setiap tahun di daerah tertentu; sebagai contoh, di suatu daerah memiliki musim hujan yang panjang, tetapi hal ini tidak menjamin akan terjadi secara periodik (terus menerus). Tren iklim dibuktikan dalam periode yang panjang, seperti periode 20 hingga 30 tahun. Dengan demikian sangat penting untuk mendapatkan data historis. Kasus-kasus pengecualian jika tidak terdapat data historis di kota tersebut, dapat menggunakan proyeksi iklim tingkat nasional atau regional. 28 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM Jika memungkinkan, kumpulkan informasi historis dan pengetahuan dari berbagai stakeholder mengenai tren iklim yang terjadi sebanyak mungkin, seperti pola musim hujan, suhu, kenaikan muka air laut, dan angin. Tujuannya bukan untuk memprediksi cuaca tetapi untuk meningkatkan pemahaman terhadap rentang skenario cuaca yang memungkinkan berdasarkan ketersediaan informasi. Apa yang anda perlu ketahui sebelum membuat proyeksi iklim? Model Iklim Model iklim merupakan gambaran dari kejadian iklim yang mencakup berbagai aspek dari terjadinya iklim tersebut, seperti curah hujan, temperatur, dsb. Model iklim yang sering digunakan untuk kajian perubahan iklim adalah GCM (Global Climate Model). Pada dokumen ini, model iklim didapat dari ClimeXP (www.climex.knmi.com). Model ini menjadi preferensi yang sering digunakan karena kemudahan akses untuk memperoleh hasil analisis model iklim yang dibutuhkan (tersedia secara online). Dengan adanya model iklim, kita dapat meramalkan kondisi iklim di masa depan berdasarkan skenario iklim yang kita pilih. Skenario tersebut digunakan untuk menganalisis bagaimana kondisi/aktivitas kehidupan masa kini akan mempengaruhi emisi di masa depan. SKENARIO IKLIM - SRES (Special Report on Emissions Scenarios) SRES merupakan laporan khusus yang dikeluarkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) pada tahun 2001 untuk mengambarkan berbagai kemungkinan (skenario) perubahan tingkat emisi yang dapat terjadi di masa depan. Model-model sirkulasi global seperti GCM (Global Climate Model) digunakan untuk mengetahui kemungkinan perubahan iklim yang akan terjadi akibat adanya peningkatan emisi GRK sesuai dengan skenario yang disusun oleh IPCC. Dalam SRES, skenario emisi GRK dikelompokkan berdasarkan sistem pembangunan dan kerjasama yang dikembangkan oleh berbagai negara. Ada dua skenario sistem pembangunan yaitu A dan B. Skenario A lebih menitikberatkan pada pembangunan ekonomi, sedangkan skenario B lebih menitikberatkan pada kepentingan kondisi ekologi atau lingkungan. Kemudian pola kerjasama dikelompokan menjadi dua yaitu pola 1, kerjasama global berjalan dengan baik sehingga kesenjangan pembangunan antara negara baik dari sisi teknologi dan lain-lain tidak terlalu signiikan, sedangkan pola 2 kerjasama lebih bersifat regional. Pada pola 2 ini transfer teknologi, kerjasama ekonomi dan lainnya antara negara maju dan negara berkembang tidak berjalan baik. Jadi secara umum, skenario emisi dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu A1, A2, B1, dan B2 seperti gambar di atas. Scenario A1 dibagi menjadi tiga berdasarkan penggunaan teknologi dan bahan bakar fosil. Selain itu ada skenario emisi antara seperti skenario A1B, yaitu antara skenario A1 dan Skenario yaitu Antara skenario A1. Namun ada suatu keadaan khusus di mana suatu negara menitikberatkan pembangunan ekonominya, namun karena adanya alih teknologi yang baik dan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan (rendah emisi, dsb), skenario tersebut adalah skenario A1B. Maka, skenario yang digunakan untuk analisis dalam dokumen ini adalah skenario A1B, skenario A2, dan skenario B1. Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 29 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM Gam bar 4. 2 Sk enar i o S R ES ECONOMIC A2 GLOBAL REGIONAL B1 B2 ENVIROMENTAL AGRICULTURE POPULATION ECONOMY LAND-USE TECHNOLOGY ENERGY D R I V I N G REGIONALISASI GLOBALISASI A1 Skenario SRES Ta b e l 4 .1 Skenario Dalam Proyeksi Iklim Kota Kategori Emisi Stabilisasi Karbon (Tahun 2100) A2 Emisi Tinggi Tidak mencapai stabilisasi A 1B Emisi Sedang A 1B 1 Emisi Rendah 750 ppm 550 ppm (kondisi ideal) F O R C E S (Sumber: IPCC, 2000) SRES belum mempertimbangkan kebijakan global untuk penurunan emisi gas rumah kaca. Maka dari itu, dalam IPCC 5th Assessment Report, dikeluarkan skenario baru, yaitu RCP (Representative Concentration Pathways). RCP merupakan skenario yang sudah mempertimbangkan target global agar perubahan iklim yang terjadi tidak melebihi suhu 2°C. PANDUAN LANGKAH-LANGKAH PROYEKSI IKLIM Terdapat 4 langkah utama untuk membuat analisis bahaya perubahan iklim dengan skenario SRES, yaitu: (1) Penetapan peluang kejadian iklim ekstrim dari pengolahan data iklim historis; (2) Pengolahan data iklim proyeksi (KMNI-GCM); (3) Membandingkan hasil pengolahan data curah hujan observasi dan proyeksi; (4) Menghitung peluang terjadinya iklim ekstrim. 1. Penetapan Peluang Kejadian Iklim Ekstrim dari Pengolahan Data Historis Untuk menentukan periode ulang atau peluang terjadinya kejadian iklim ekstrim yang dapat menimbulkan bencana, diperlukan data historis yang panjang. Semakin panjang rentang data historis maka akan semakin handal hasil analisis yang dihasilkan. Menurut WMO (World Meteorological Organization), panjang data ideal untuk analisis peluang ialah 30 tahun. Untuk mengetahui tinggi hujan yang dapat menimbulkan bencana, maka diperlukan informasi tentang kejadian bencana, baik waktu terjadi maupun intensitasnya. Dengan analisis statistik akan dapat ditetapkan pada kondisi iklim yang seperti apa bencana iklim biasanya terjadi. Misalkan diketahui bahwa hari-hari dimana banjir besar terjadi pada bulan dengan curah hujan wilayah di atas 300 mm. Apabila dari data seri 30 tahun kita mendapatkan hujan bulanan yang tingginya di 30 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM atas 300 mm terjadi 3 kali, maka dapat dikatakan bahwa periode ulang terjadinya ialah sekali dalam 10 tahun atau peluangnya 0.1 (3/30). Dengan deinisi ini, apabila peluang terjadinya (P) suatu kejadian becana iklim 0.2, maka periode ulang dihitung dengan cara 1/P atu 1/0.2 = 5. Jadi artinya becana tersebut biasanya terjadi lima tahun sekali atau bisa juga disebut bencana iklim dengan siklus 5 tahunan (Tabel 4.7). Tabel 4.2 Hubungan Nilai Peluang dan Periode Ulang Kejadian Iklim Peluang Periode Ulang 20% 1/(0.2) = 5 --> Terjadi 1 x dalam 5 tahun 10% 1/(0.1) = 10 --> Terjadi 1 x dalam 10 tahun Dalam kajian ini, analisis penetapan tinggi hujan yang dapat menimbulkan bencana tidak dilakukan. Namun digunakan asumsi, bahwa tinggi hujan yang periode ulang 5 dan 10 tahun sekali akan menimbulkan bencana iklim sedang dan besar. Untuk mendapatkan tinggi hujan dengan peluang kejadian seperti Tabel 4.7 di atas, dilakukan dengan cara mengurutkan data historis dari nilai yang terbesar sampai nilai terkecil. Tinggi hujan terendah dengan peluang ulang kejadian sekali lima tahun (20%) akan berada pada urutan data yang ke 0,2 x 30 = 6 dari nilai terbesar, sedangkan yang periode ulang kejadian sekali 10 tahun akan berada pada urutan data ke 0,1 x 30 = 3 dari nilai terbesar. Karena data diurut dari terbesar sampai terkecil, maka data tinggi hujan ini merupakan tinggi hujan yang dapat menimbulkan banjir sedang dan besar. Untuk mendapatkan tinggi hujan yang menimbulkan bencana kekeringan, maka peluang yang digunakan ialah nilai peluang sebaliknya yaitu 1,0 – 0,2 = 0,8 dan 1,0 – 0,1 = 0,9. Artinya, tinggi hujan yang akan menimbulkan bencana kekeringan sedang dan berat akan berada pada urutan data ke 0,8 x 30 = 24 dan 0,9 x 30 = 27 dari yang terbesar (dari atas). Nilai hujan yang diperoleh tersebut dapat dideinisikan sebagai tinggi hujan batas kritis yang berpotensi menimbulkan bencana iklim. 2. P er hit ungan Pe luang K e ja d ia n Ik lim E k s trim da r i Da ta Pr oyeksi (KM NI- GCM ) Untuk mendapatkan peluang kejadian bencana masa depan, diperlukan data iklim proyeksi yang dapat diperoleh dari model-model iklim yang dijalankan dengan menggunakan berbagai skenario emisi yang dijelaskan pada sub-bab sebelumnya. Dalam kajian ini digunakan skenario emisi A1B, B1 dan A2 yang merepresentasikan skenario emisi sedang, rendah dan tinggi. Data proyeksi iklim dari ke tiga skenario diperoleh dari situs www.climexp.knmi.nl (penjelasan rinci dapat dilihat di lampiran - Modul Pelatihan). Data yang tersedia di situs ialah data proyeksi tahun 2011 sampai 2050 (data 40 tahun). Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 31 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM Misalkan dari hasil analisis kejadian iklim ekstrim dari data historis, tinggi hujan dengan peluang 0,2 ialah 200 mm. Dengan menggunakan data iklim proyeksi hasil download, ditetapkan besar peluang terjadinya kejadian iklim ekstrim. Untuk analisis ini periode masa depan yang dianalisis ialah untuk periode 2011-2030 dan 2031-2050. Analisis dilakukan dengan cara mengurutkan kembali data proyeksi iklim dari nilai terbesar sampai terkecil. Dari urutan data tersebut, tentukan pada urutan ke berapa tinggi hujan dengan nilai minimal 200 mm. Apabila berada pada urutan ke 5, maka artinya peluang terjadinya ialah 5/20 = 0,4. Dengan demikian pada masa depan peluang terjadinya hujan yang melewati 200 mm meningkat dari 0,2 menjadi 0,4. Dengan kata lain, frekuensi terjadinya hujan dengan tinggi hujan minimal 200 mm menjadi lebih sering, yaitu dari frekuensi lima tahun sekali menjadi 2-3 tahun sekali. 3. Tren Kejadian Bencana: Perbandingan Data Observasi dan Proyeksi Untuk menilai apakah frekuensi kejadian iklim ekstrim meningkat atau menurun di masa depan, kita tidak bisa hanya mengandalkan hasil dari satu model. Dibutuhkan banyak model karena setiap model memiliki ketidakpastian (tidak pasti benar). Apabila digunakan banyak model dan sebagian besar dari model menyatakan bahwa peluang kejadian bencana meningkat di masa depan, maka semakin besar tingkat kepercayaan bahwa hal itu akan terjadi. Misalkan kita menggunakan 10 model, dan 7 model mengatakan bahwa peluang terjadinya bencana iklim meningkat, maka tingkat kepastian bahwa hal itu akan terjadi tinggi yaitu sekitar 7/10 x 100% = 70%. Contoh analisis tren kejadian bencana akibat perubahan iklim disajikan pada Tabel 4.8. Langkah terakhir adalah dengan menghitung peluang terjadinya bencana. Peluang terjadinya bencana dapat dihitung dengan membagi jumlah model yang memiliki tren kejadian bencana positif dengan total jumlah model yang digunakan untuk setiap skenario. Tabel 4.3 Contoh Tampilan Hasil Pengolahan Data Per Skenario Skenario emisi SRES A1B SRES A2 SRES B1 32 Model Nilai Peluang Kejadian Iklim melewati batas kritis berdasarkan data Historis Nilai Peluang Kejadian Iklim melewati batas kritis berdasarkan data proyeksi Frekuensi kejadian bencana Model 1 0.2 0.1 - Model 2 0.2 0.3 + Model 3 0.2 0.4 + Model 4 0.2 0.1 - Model 5 0.2 0.5 + Model 6 0.2 0.3 + Model 1 0.2 0.1 - Model 2 0.2 0.05 - Model 3 0.2 0.44 + Model 4 0.2 0.1 - Model 5 0.2 0.14 + Model 6 0.2 0.24 + Model 1 0.2 0.1 - Model 2 0.2 0.1 - Model 3 0.2 0.12 - Model 4 0.2 0.08 - Model 5 0.2 0.5 + Model 6 0.2 0.4 + Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim Peluang Kejadian Bencana 4/6 = 67% Tingkat kepastian meningkatnya kejadian bencana di masa depan sebesar 67% 3/6 = 50% Tingkat kepastian meningkatnya kejadian bencana di masa depan sebesar 50% 2/6 = 33% Tingkat kepastian meningkatnya kejadian bencana di masa depan sebesar 33% 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM 4. Peluang Terjadinya Iklim Ekstrim (Bencana) Berdasarkan data hasil analisis tren kejadian bencana (Tabel 4.8), ditentukan dari hasil perhitungan peluang kejadian iklim ekstrim di atas, maka hasilnya dapat dikategorikan dengan melihat matriks berikut. Tabel 4.4 Matriks Peluang Terjadinya Iklim Ekstrim Nilai peluang Kejadian Bencana Kemungkinan Terjadinya Iklim Ekstrim > 0.91 0.66 – 0.90 0.33 – 0.65 0.11 – 0.32 < 0.10 Sangat Bahaya; Bahaya; Agak Bahaya; Kurang Bahaya; Kemungkinan Kemungkinan terjadi Kemungkinan terjadi Kemungkinan terjadi Kemungkinan Tinggi Sedang terjadi Sangat Rendah Tidak Bahaya; terjadi Sangat Tinggi Rendah Latihan (lihat lampiran - Training Tools 1): Praktikan bagaimana membuat proyeksi iklim dengan instruksi yang terdapat dalam Training Tools 3: Lakukan langkah-langkah di bawah ini dalam membuat proyeksi iklim. • Tentukan peluang kejadian iklim ekstrim (bencana) berdasarkan data historis • Hitung peluang kejadian iklim ekstrim berdasarkan data proyeksi • Turunkan tren kejadian iklim ekstrim (bencana); dengan membandingkan data historis dan proyeksi TIPS Proyeksi iklim cukup kompleks. Jika perlu ada pendampingan untuk tim kota yang menyusun tugas ini agar selesai, dan lihat masukan dari stakeholder yang mungkin ahli di bidang ini, seperti dari LSM, universitas, dan pihak swasta. Hati-hati untuk tidak mengekstrapolasikan data iklim secara berlebihan dan perhatikan bahwa hasil proyeksi memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi. Gunakan common sense dalam menggunakan data untuk kebutuhan, dengan didampingi oleh pihak yang lebih memahami keterbatasan dari proyeksi iklim. Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 33 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM C. ANALISIS BAHAYA IKLIM =7 >?;8FH G;M= 67 89:;<9:= >9?@6=A=: L7 =:=HFJFJ FGHF< G9?9:M=:=: N7 =:=HFJFJ 6=A=O= 97 =:=HFJFJ ?FJFG; 87 G=>=JFM=J F:JMFM@JF L=: <=JO=?=G=M Bahaya merupakan potensi kerugian bagi manusia atau kerusakan tertentu bagi lingkungan atau infrastruktur. Bahaya bersifat spesiik kepada area tertentu. Contohnya hujan deras di area lereng yang tinggi akan menyebabkan longsor, sedangkan untuk daerah sekitar sungai akan menyebabkan bencana banjir. Beberapa contoh dari bahaya akibat perubahan iklim (yang sudah dijelaskan lebih rinci di sub-bab 2.2.2) di antaranya: banjir, kekeringan, angin ribut, longsor, badai, dan penyakit vektor. Analisis ini bertujuan untuk mengidentiikasi dampak perubahan iklim yang negatif berupa bencana, mencakup besaran, lokasi, waktu, kemungkinan terjadi, dan sebagainya. Untuk melakukan analisis bahaya dalam kajian risiko perubahan iklim ada dua opsi. Opsi pertama untuk perumusan bahaya adalah dengan menggunakan data sekunder peta bencana dari instansi yang memiliki kewenangan untuk menerbitkan peta tersebut; yang penyusunannya menggunakan proses dan prosedur tersendiri berdasarkan kriteria dan parameter berbeda untuk tiap bahaya bencana. Apabila opsi pertama tidak tersedia maka opsi kedua adalah dengan melakukan analisis bahaya secara kualitatif dengan mengumpulkan data primer. PANDUAN LANGKAH-LANGKAH ANALISIS BAHAYA Seperti yang disebutkan sebelumnya. Langkah ini dilakukan jika opsi pertama (ketersediaan peta bencana) sebelumnya tidak ada. Analisis bahaya kualitatif mengacu pada data historis terjadinya bahaya atau berdasarkan hasil survey primer dengan masyarakat setempat. Keluaran dari analisis bahaya kualitatif pada dokumen ini adalah tingkat bahaya gabungan yang didapat dari matriks bahaya per bencana untuk tiap kelurahan. Berikut merupakan langkah-langkah untuk melakukan analisis bahaya secara kualitatif: Identiikasi Bahaya Matriks Bahaya Skor Bahaya Tingkat Bahaya Gabungan C.1IdentiikasiBahaya Identiikasi bahaya iklim yang pernah terjadi pada kota dalam 20 tahun terakhir. Apa bahaya iklim yang paling penting/berdampak dan paling sering terjadi? Tujuan dari tahapan pertama ini adalah untuk mengungkapkan peristiwa bahaya iklim yang pernah terjadi di kota, untuk digunakan sebagai kemungkinan terjadinya bahaya tersebut di masa datang. Pengumpulan data dapat melalui kajian historis dokumen (laporan dokumen pemerintah, liputan media), FGD, wawancara, atau kuesioner. Untuk menampilkan hasilnya, buatlah dalam bentuk tabel yang mendata bahaya- 34 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM bahaya yang pernah terjadi, area mana saja yang terdampak, penduduk/komunitas mana yang terdampak (kelompok lansia, etnis minoritas, anak-anak, dll) beserta populasi terdampak, bagaimana cara mereka terdampak, kurun waktu terjadinya, dampaknya terhadap sistem perkotaan. Sebaiknya mencantumkan informasi sumber atau stakeholder yang mengusulkan bahaya yang diidentiikasi agar mempermudah menindaklanjuti pengumpulan informasi atau klariikasi mengenai bahaya tersebut. C.2 Matriks Bahaya: Kemungkinan terjadi dan Konsekuensi yang ditimbulkan Setelah mendapatkan deskripsi mengenai bahaya di setiap kelurahan (atau menyesuaikan batasan administrasi yang disepakati), kemudian kita dapat menentukan tingkatan dari setiap bahaya dengan metode matriks. Matriks bahaya dibentuk dari dua komponen yaitu (1) kemungkinan terjadinya bahaya; dan (2) konsekuensi yang ditimbulkan dengan skala sesuai kebutuhan. Berikut ini merupakan formula untuk menentukan skala konsekuensi, skala kemungkinan, dan tingkatan bahaya. Formula dapat dimodiikasi oleh tim kajian risiko iklim bergantung pada jenis-jenis bahayanya. Skala Kemungkinan Merupakan peluang terjadinya suatu bahaya akibat perubahan iklim dengan menimbang perkiraan perubahan variabel iklim terjadi. Tab el 4.5 Sk ala K e mung kina n Ba ha y a Skala Hampir pasti Mungkin Jarang Kejadian Berulang Kejadian Tunggal Dapat terjadi beberapa kali dalam 1 tahun Peluang terjadi lebih dari 50% Terjadi sekali dalam 10 tahun Peluang terjadi < 50% tapi masih cukup tinggi Terjadi sekali dalam kurun >25 tahun Peluang terjadi mendekati nol (Sumber: diadaptasi dari ICLEI-OCEANIA, 2008) Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 35 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM Skala Konsekuensi Konsekuensi yang dimaksud adalah besarnya kerusakan yang disebabkan suatu kejadian (bahaya, bencana dan non-bencana) akibat perubahan iklim terhadap kota, khususnya terhadap kapasitas adaptif pemerintah kota dalam menghadapi perubahan iklim. Skala konsekuensi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tidak nyata, menengah, luar biasa (katastropik). Tabel 4.6 Penentuan Skala Konsekuensi Bahaya Skala Tidak Nyata (Insigniicant) Menengah Luar Biasa (Katastropik) Keterangan • Dampak kerusakan hampir tidak ada • Tidak menghalangi pencapaian target pembangunan pemerintah • Tidak membutuhkan tambahan kapasitas tertentu • Tidak membutuhkan biaya tambahan • Dampak kerusakan terjadi di sebagian kecil wilayah kota • Dapat mengganggu pencapaian target pembangunan pemerintah • Membutuhkan tambahan kapasitas tertentu • Membutuhkan biaya tambahan dari anggaran sendiri (realokasi) • Dampak kerusakan terjadi di sebagian besar wilayah kota • Dapat menghalangi pencapaian target pembangunan pemerintah • Membutuhkan tambahan kapasitas khusus, dalam jangka waktu yang panjang • Membutuhkan biaya tambahan yang sangat besar (bantuan pemerintah pusat) (Sumber: Adaptasi ICLEI-OCEANIA, 2008) Penentuan Tingkat Bahaya Dengan memperhatikan hasil dari skala kemungkinan dan skala konsekuensi maka dapat diketahui seberapa besar ancaman suatu bencana terhadap kota. Kajian risiko untuk dampak perubahan iklim akan menggunakan metode kualitatif dengan alat berupa matriks bahaya; dimana tingkat bahaya merupakan kombinasi antara tingkat kemungkinan dan konsekuensi dengan dasar penilaian seperti tercantum dalam matriks berikut. Tabel 4.7 Matriks Penentuan Tingkat Bahaya KONSEKUENSI MATRIKS BAHAYA Hampir Pasti KEMUNGKINAN Luar Biasa Menengah Sangat Bahaya Bahaya Agak Bahaya Bahaya Agak Bahaya Kurang Bahaya Agak Bahaya Kurang Bahaya Tidak Bahaya Mungkin Jarang Tidak Nyata (Sumber: Adaptasi dari ICLEI-OCEANIA, 2008) 36 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM C.3 Skoring Bahaya: Konversi tingkatan bahaya ke dalam skoring Skor bahaya dinilai berdasarkan kategori bahaya yang didapat dari matriks bahaya. Tiap kelurahan/ wilayah akan memiliki beberapa bahaya dengan kategori bahaya yang berbeda-beda. Kategori tersebut perlu dikonversi menjadi suatu nilai untuk proses selanjutnya. Nilai yang ditentukan untuk tiap kategori adalah sebagai berikut: (SB) Sangat Bahaya = 5; (B) Bahaya = 4; (AB) Agak Bahaya = 3; (KB) Kurang Bahaya = 2; (TB) Tidak Bahaya = 1. Buatlah tabel dengan kolom pertama merupakan nama Kelurahan/wilayah dan kolom lainnya diisi dengan jenis-jenis bahaya atau bencana yang terjadi di kota. Tabel tersebut kemudian diisi dengan skor dari 1 – 5 (mengacu pada nilai yang disebutkan di atas) untuk setiap bahaya dari setiap kelurahan. Jika dijumlahkan, maka akan terlihat kelurahan mana yang paling terpapar dari bahaya. Tim kota juga dapat memberikan pembobotan terhadap setiap bahaya sebelum skor total dijumlahkan. Jika tim kota ingin memprioritaskan bahaya tertentu, contohnya banjir karena lebih memberikan dampak yang besar dibanding bahaya lainnya, maka bahaya banjir dikalikan dengan bobot yang diberikan lebih besar dibandingkan bobot dari bahaya lainnya. Tabel 4.8 Contoh Skoring Bahaya Kelurahan Banjir Kekeringan Longsor Jumlah Skoring Kebon Jeruk 1 2 4 7 Arjasari 2 4 2 8 Campaka 5 3 1 9 C.4 Tingkat Bahaya Gabungan Tingkat bahaya gabungan dihitung dari total skor bahaya-bahaya untuk tiap kelurahan/ wilayah. Berdasarkan total nilai tersebut pada akhirnya dilakukan kategorisasi tingkat bahaya gabungan. Kategorisasi tingkat bahaya gabungan merujuk pada rentang yang dibagi menjadi lima kategori. Latihan (lihat lampiran - Training Tools 2): Praktekkan bagaimana cara untuk menganalisis bahaya dengan mengikuti langkah-langkah di bawah ini yang juga terdapat dalam Training Tools: 1. Identifikasi bahaya 2. Matriks bahaya • Coba untuk menggunakan skala kemungkinan dan konsekuensi 3. Skoring bahaya 4. Tingkat bahaya gabungan Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 37 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM D ANALISIS KERENTANAN WQ XYUR\^ ]UaW PQ RSTUVSTW XSYZPW[WT `Q WTW^\_\_ \]^\V ]SYSTaWTWT bQ WTW^\ _\_ PW[WcW SQ WTW^\_\_ Y\_\]U RQ ]WXW_\aW_ \T_a\aZ_\ `WT VW_cWYW]Wa Bagian ini untuk mengidentiikasi daerah mana, penduduk mana, dan sistem apa saja yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim di kota. Terdapat tiga komponen untuk hal ini – keterparapan - exposure (E), sensitiitas – sensitivity (S), dan kapasitas adaptif – adaptive capacity (AC), yang dapat mendeinisikan kerentanan - vulnerability (V). Komponen-komponen tersebut saling berhubungan membentuk suatu formula (IPCC, 2007): Kerentanan (V) = f (E, S, AC) PANDUAN LANGKAH-LANGKAH ANALISIS KERENTANAN Tahapan-tahapan di bawah ini memberikan nilai terhadap setiap komponen agar selanjutnya dapat ditempatkan dalam pemetaan kota. Kita dapat menghitung setiap komponen tersebut dengan memasukkannya ke dalam formula di atas untuk mengidentiikasi distribusi tingkat kerentanan suatu daerah di satu kota. D.1IdentiikasidanKategorisasiIndikator Untuk melihat tingkat kerentanan suatu kota diperlukan data-data kondisi sosial-bioisik yang mewakili keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi kota tersebut. Indikator dipilih dengan mempertimbangkan ketersediaan, kontinuitas, dan relevansi dari datanya dalam mendeskripsikan tingkat ketiga komponen kerentanan di atas. Indikator pada kajian kerentanan kota dapat ditentukan berdasarkan justiikasi para ahli yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kota. Indikator juga harus merupakan data yang dinamis (time series), sehingga dapat diukur perubahannya dari waktu ke waktu terlebih dibutuhkan saat meninjau ulang atau memperbaharui kajian kerentanan di masa depan. Seperti yang sempat disebutkan sebelumnya, data-data yang dibutuhkan dapat diperoleh dari instansiinstansi pemerintah atau dari dokumen potensi desa yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Selain potensi desa, BPS juga mengeluarkan Data Dalam Angka (DDA) seperti Kecamatan Dalam Angka yang merupakan himpunan data kelurahan yang tercakup dalam wilayah administrasi kecamatan. Semua data yang telah diperoleh digunakan sebagai masukan untuk menentukan indikator kota. Beberapa contoh dari indikator diantaranya seperti jumlah populasi, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan kapasitas pendidikan. (Lihat lampiran presentasi - training tools 1). Pengkategorisasian indikator-indikator akan menyederhanakan proses penghitungan. Komponen keterpaparan dan sensitiitas berkaitan dengan tingkat kerentanan; semakin tinggi tingkat kedua 38 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM komponen ini, maka semakin tinggi pula tingkat kerentanannya. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat kapasitas adaptif maka semakin rendah tingkat kerentanannya. Dalam mendeinisikan setiap indikator termasuk ke dalam komponen keterpaparan, sensitiitas, atau kapasitas adaptif, bergantung pada karakteristik dari indikator tersebut di kota anda (ikuti deinisi untuk setiap komponen pada sub pembahasan 2.2.3). Tidak ada aturan baku untuk mengidentiikasi indikator termasuk ke dalam komponen keterpaparan, sensitiitas, atau kapasitas adaptif, karena setiap indikator dapat diinterpretasikan berbeda dalam kota yang berbeda. Akan tetapi, indikator-indikator yang biasanya digunakan dalam menentukan tingkat kerentanan kota dapat dilihat pada lampiran presentasi - training tools 1. D.2 Pengolahan Data Terdapat berbagai cara untuk pengolahan data yang digunakan sebagai indikator karena bergantung dari jenis data yang tersedia. Terdapat dua metode yang berbeda untuk mengolah data yaitu menghitung nilai rasio dan memberikan skoring; (1) Menghitung nilai rasio untuk indikator, dengan membagi nilai dari indikator dengan jumlah total nilainya. Sebagai contoh, untuk menemukan nilai rasio dari keluarga miskin dihitung dengan cara jumlah keluarga miskin dibagi jumlah keluarga keseluruhan. Nilai rasionya berkisar dalam rentang 0 – 1; (2) Memberi skor untuk indikator, gunakan skor 1 untuk nilai tertinggi dan 0 untuk nilai terendah. Sebagai contoh, jika indikator yang digunakan adalah kondisi permukaan jalan, berikan skor 1 untuk jalan dengan kualitas terbaik, aspal = 1, semen = 0.75, dan tanah = 0.5. Jika di suatu daerah didominasi oleh jalan tanah, maka nilai dari indikator permukaan jalan di daerah tersebut bernilai 0.5. (Lihat lampiran presentasi - training tools 1) D.3 Normalisasi Setiap indikator perlu untuk dinormalisasi jika nilai rasionya lebih besar dari 1 dan lebih rendah dari 0. Hal ini diperlukan agar dapat dibandingkan dengan indikator lainnya. Normalisasi perlu dilakukan sebelum tahapan pembobotan. Untuk memperoleh data yang telah dinormalisasi, kita harus membagi setiap data yang terdapat dalam satu indikator dengan nilai maksimum dari indikator tersebut. (Lihat lampiran presentasi - training tools 1) D.4 Pembobotan Setelah menyusun indikator-indikator yang telah dinormalisasikan, diperlukan proses pembobotan untuk membandingkan satu indikator dengan indikator lainnya. Setiap kota mungkin dapat memberikan pembobotan yang berbeda-beda karena memiliki prioritas yang berbeda pula. Sebagai contoh, sektor pertanian untuk suatu kota lebih rendah prioritasnya dibandingkan sektor penyediaan air sehingga memiliki nilai pembobotan yang lebih rendah. Hal ini mungkin dapat berbeda dengan kota lain. Jumlah dari total seluruh pembobotan dalam seluruh indikator harus sama dengan 1 (satu). Terdapat beberapa cara untuk menentukan pembobotan dari setiap indikator tersebut diantaranya; (1) Expert judgement, keputusan/saran dari tenaga ahli (orang yang paling memahami kondisi kota) atau; (2) Metode Rangking, keputusan pembobotan indikator ditentukan berdasarkan ketersediaan data, kondisi masa lalu dan proyeksi masa depan tentang kejadian bahaya. Nilai indikator yang sudah dikalikan dengan nilai pembobotannya disebut dengan indikator yang dibobotkan Jumlah dari indikator yang sudah dinormalisasi dan dibobotkan akan menjadi Indeks Keterpaparan dan Sensitiitas (IKS) dan Indeks Kapasitas Adaptif (IKA). Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 39 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM D.5 Penentuan Kuadran Setelah melakukan perhitungan indikator untuk masing-masing Indeks Keterpaparan dan Sensitiitas (IKS) dan Indeks Kapasitas Adaptif (IKA), maka akan diperoleh nilai IKS dan IKA untuk masingmasing kelurahan (menyesuaikan dengan tingkat administrasi yang disepakati). Nilai IKS dan IKA dikalikan dengan bobot masing-masing indikator dan dinormalisasi untuk mendapatkan indeks IKS dan IKA pada rentang 0 – 1. Setelah itu, kedua indeks dikombinasikan untuk menentukan posisi kelurahan dalam kuadran mengikuti ketentuan sebagai berikut: Tabel 4. 9 Kategorisasi Tingkat Kerentanan Berdasarkan Nilai IKS dan IKA Hasil perhitungan Kuadran Kategori Ano.IKS<0, Ano.IKA>0, Ano IKS-IKA<-0,25 1 Tidak Rentan Ano.IKS>0, Ano.IKA>0, Ano IKS+IKA>0,25 2 Kurang Rentan Ano IKS+IKA<0,25, Ano.IKS+IKA>-0,25, Ano IKS-IKA<0,25, Ano.IKS-IKA>-0,25 3 Agak Rentan Ano.IKS<0, Ano.IKA<0, Ano IKS+IKA<-0,25 4 Rentan Ano.IKS>0, Ano.IKA<0, Ano IKS-IKA>0,25 5 Sangat Rentan (Sumber CCROM, 2013) Anomali ialah deviasi dari nilai rata-rata. Nilai rata adalah 0,5. Misalnya nilai IKS sebesar 0,1 untuk menghitung Ano IKS adalah 0,1 – 0,5 ; maka nilai Ano IKS adalah -0,4. • Kuadran 1 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas rendah; kapasitas adaptasi tinggi. • Kuadran 2 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas tinggi; kapasitas adaptasi tinggi. • Kuadran 3 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas; kapasitas adaptasi menengah. • Kuadran 4 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas rendah; kapasitas adaptasi rendah. • Kuadran 5 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas tinggi; kapasitas adaptasi rendah. 40 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM Gambar 4.3 Posisi Kuadran Tingkat Kerentanan IKS Tinggi KUADRAN 5 IKA Rendah KUADRAN 2 KUADRAN 3 IKA Tinggi KUADRAN 4 KUADRAN 1 IKS Rendah (Sumber CCROM, 2013) Latihan (lihat Training Tools 1): Praktekkan bagaimana cara menurunkan data kerentanan dari data profil kota dengan mengikuti instruksi yang terkandung dalam Training Tools: 1. Hitunglah data kerentanan menggunakan dua metode: a. Metode rasio b. Metode skoring 2. Tentukan nilai maksimum dan minimum untuk mendapatkan batasan 3. Normalisasikan data untuk dibandingkan dengan data lain dari indikator yang berbeda 4. Temukan nilai anomalinya 5. Kategorikan data berdasarkan nilai kerentanannya Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 41 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM E. ANALISIS RISIKO ke lmifpr qiuk de fghijghk lgmndkokh te khkrpsps pqrp j qgmghukhkh ve khkrpsp s dkokwk ge khkrpsps mpspqi fe q klkspuks phsupunsp tkh jkswkmkqku Risiko adalah suatu ukuran dari kemungkinan kerusakan maupun kehilangan pada harta benda, lingkungan, maupun manusia, yang dapat terjadi apabila ancaman menjadi kenyataan, termasuk tingkat keparahan yang perlu diantisipasi (IPCC, 2007). Secara teknis, risiko merupakan hasil overlay antara bahaya dan kerentanan (Affeltranger et al., 2006 dalam Kementerian Lingkungan Hidup, 2010). Kerangka kajian risiko menurut Wisner (2004) dapat dinotasikan sebagai berikut (Jones et al., 2004). Risiko = Kemungkinan Kejadian Bahaya x Kerentanan PROYEKSI MASA DEPAN KONDISI SEKARANG Risiko merupakan produk dari tingkat ancaman/bahaya (H) dan kerentanan (V). Analisis ini diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat risiko bagi masing-masing sektor rentan, kemungkinan risiko tersebut terjadi, dan seberapa besar dampaknya terhadap sistem kota. Analisis Kerentanan Analisis Risiko (Sekarang) Analisis Bahaya Analisis Kerentanan* Analisis Risiko (Masa Depan) Analisis Bahaya (Proyeksi Iklim) *Analisis kerentanan di masa depan dapat menggunakan data saat ini jika tidak bisa diproyeksikan, dengan asumsi, tidak ada perubahan kondisi kota di masa mendatang. Gambar 4.4 Konsep Risiko Iklim 42 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM E.1 Analisis Risiko Iklim Saat Ini Untuk memperoleh analisis risiko iklim saat ini, tidak perlu melakukan pengumpulan data lagi, karena analisisnya hanya menggunakan keluaran yang sudah ada, yaitu dari yang telah dilakukan sebelumnya. Analisis risiko ini merupakan overlay antara analisis bahaya dan kerentanan. Metode yang dilakukan untuk melakukan overlay pada dokumen ini ialah metode matriks risiko. Berikut merupakan matriks yang digunakan untuk melakukan overlay. Tabel 4.10 Matriks Penentuan Tingkat Risiko Kerentanan Kemungkinan Terjadi Bahaya Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rentan SST SST ST T S Rentan SST ST T S R Agak Rentan ST T S R SR Kurang Rentan T S R SR SSR Tidak Rentan S R SR SSR SSR Sangat Rendah Kategori Risiko SST = Sangat Sangat Tinggi; ST = Sangat Tinggi; T = Tinggi; S = Sedang; R = Rendah; SR = Sangat Rendah; SSR = Sangat Sangat Rendah Kajian risiko kota perubahan iklim juga harus disinkronkan dengan penanggulangan bencana dalam bingkai adaptasi perubahan iklim. Di sini dibutuhkan adanya pemahaman yang utuh antara kedua hal tersebut untuk mengidentiikasi praktik pengurangan risiko dan dampak bencana dalam kerangka adaptasi perubahan iklim. Hal tersebut merupakan hal yang coba disampaikan juga oleh IPCC (2012) dalam dokumen special report. Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 43 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM E.2 Analisis Risiko Iklim di Masa Depan Analisis risiko dibentuk dari dua komponen, kerentanan dan bahaya di masa depan. Hasil dari analisis ini adalah untuk menggambarkan risiko iklim di masa depan dalam skala kota. Menilai Kerentanan di Masa Depan Langkah-langkah untuk menghitung kerentanan di masa mendatang sama dengan menghitung kerentanan saat ini, namun data yang digunakan haruslah data yang diproyeksikan untuk tahun tertentu di masa mendatang yang telah ditentukan. Misalnya ingin menganalisis untuk tahun 2020, maka data populasi diproyeksikan untuk tahun tersebut, begitu juga dengan jumlah fasilitas pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Data-data proyeksi ini dapat dilakukan oleh tim sendiri, ataupun bisa mengambil data dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Namun, jika kesulitan untuk memproyeksikan data dan terpaksa, maka kita dapat menggunakan data saat ini dengan menyepakati asumsi bahwa tidak ada perubahan yang terjadi di kota. Menilai Bahaya di Masa Depan Perhitungan bahaya di masa mendatang cukup rumit. Pada bagian ini kita akan menggunakan hasil dari bagian sebelumnya, yang merupakan probabilitas iklim yang ekstrim. Probabilitas iklim yang ekstrim membantu kita untuk memprediksi bahaya banjir dan kekeringan di masa depan dalam skala kota. Untuk bahaya lain, berbagai metode lain dapat digunakan; contoh adalah pemodelan untuk penyakit tular vektor dengan mempertimbangkan perubahan iklim. Akan tetapi kekurangan untuk bagian ini, kita tidak bisa membuat peta bahaya masa depan per kelurahan/kecamatan, karena semua hasil analisis dalam skala kota. F. KAPASITAS TATA KELOLA DAN KAPASITAS PELAKU y }z } xy z{|}~{| {x| y | ~ {{||| y | x {y | } zy | | ~ Peta kerentanan mungkin tidak bisa mencakup seluruh aspek yang terdapat di dalam kota selama hanya menggunakan data kuantitatif. Informasi lainnya yang dapat menjelaskan aspek lain sehingga bisa menunjukkan kapasitas adaptif kota juga dapat bermanfaat. Info lain yang diperlukan tersebut seperti kapasitas yang ditunjukkan oleh stakeholder atau komunitas, antisipasi serta respon dari pemerintah, kearifan lokal, dan insititusi yang memiliki akses terhadap sistem perkotaan dan juga sistem sosial. Informasi mengenai kapasitas yang lebih rinci dari berbagai macam stakeholder akan lebih membantu nantinya dalam menyusun strategi ketahanan kota (CRS – City Resilience Strategy) untuk memastikan adanya kolaborasi antara agen-agen dengan kapasitas, keahlian, dan pengalaman yang relevan. Lalu, informasi mengenai kearifan lokal dapat memberikan pengetahuan mengenai cara atau praktik beradaptasi yang mandiri dan sederhana yang telah dilakukan oleh masyarakat lokal dalam 44 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM menghadapi bahaya iklim. Kemudian, informasi mengenai regulasi-regulasi yang terdapat di dalam kota juga perlu dideskripsikan untuk mendukung penyusunan strategi dalam membangun ketahanan kota. PANDUAN LANGKAH-LANGKAH IDENTIFIKASI KAPASITAS PELAKU F.1 Pilihlah institusi/organisasi yang akan dinilai Penilaian kapasitas institusi dapat ditentukan dari 5 – 8 institusi atau organisasi yang memiliki keterkaitan dengan bahaya iklim. Dalam pemilihan institusi diusahakan untuk seimbang antara dinas pemerintah kota, lembaga non-pemerintah, lembaga akademis, LSM, dan organisasi komunitas lainnya. Beberapa contoh dinas pemerintahan yanvg relevan yaitu: Departemen PU, BLH, PDAM, Bappeda, BPBD, dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Contoh untuk organisasi kemasyarakatan yang dapat dipilih diantaranya LSM lokal atau organisasi masyarakat lainnya yang bergerak di bidang isuisu lingkungan, pembangunan, atau penyediaan fasilitas publik (seperti air). Kategori lainnya yang dapat dipilih yaitu dari akademisi atau lembaga penelitian, sektor swasta, dll. TIPS Kota mungkin akan mempertimbangkan untuk memasukkan pemerintah kota lain sebagai stakeholder eksternalnya dalam rangka berkolaborasi. Sebagai contoh, suatu kota terlibat dengan kota lainnya dalam mengelola DAS atau memiliki sister city dalam pembelajaran untuk melindungi wilayah pesisir. Jika dalam bagian ini sudah mencakup informasi yang rinci mengenai kapasitas insititusi, maka dapat digunakan dalam menyusun strategi ketahanan kota. F.2 Wawancara stakeholder Wawancara dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang standar; metodologi dari penilaian kapasitas organinisasi ini berfokus pada perbedaan kapasitas dari setiap organisasi dalam merespon dampak dari perubahan iklim. Hal ini dapat dilakukan dengan diadakannya pertemuan dengan setiap perwakilan dari organisasi dan mewawancarainya dengan sekumpulan pertanyaan mengenai aktivitas saat ini yang mereka lakukan dan apa saja hambatan untuk mencapai visinya saat ini. Beberapa daftar pertanyaan yang dapat ditanyakan diantaranya: • Apa fungsi dari organisasi ini? Tanyakan apa visi dan misi dari organisasi mereka sehingga dapat menjelaskan ruang lingkup tindakan yang dilakukan di dalam kota. • Apa saja keberhasilan atau pekerjaan terbaik yang pernah dilakukan oleh organisasi tersebut (terkait perubahan iklim)? Idenya adalah untuk mendata pekerjaan-pekerjaan yang pernah dilakukan dan cerita sukses atau pembelajarannya. • Apa saja bahaya iklim yang paling relevan dengan bidang organisasi ini? Tanyakan bagaimana organisasi berinteraksi dan memberikan dampak terhadap lingkungan sekitar. Mereka Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 45 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM harus mendata bahaya-bahaya akibat perubahan iklim yang paling relevan dengan lingkup pekerjaannya. • Apa saja tantangan yang dirasakan oleh organisasi dalam menghadapi isu-isu yang berkaitan dengan perubahan iklim? Tanyakan tantangan yang dihadapi oleh organisasi baik secara internal maupun eksternal. Tantangan ini harus berhubungan dengan visi misi dan kegiatan yang dilakukan organisasi; hal ini dapat membantu dalam mengidentiikasi cara untuk meningkatkan kapasitas dan efektiitasnya. • Apa tujuan yang harusnya dapat dicapai melalui inisiasi Pengembangan Kapasitas? Kapasitas apa yang ingin ditingkatkan? Tanyakan kepada organisasi tujuan-tujuan yang ingin dicapai jika memiliki peluang untuk mendapatkan pelatihan pengembangan kapasitas yang berhubungan dengan bahaya iklim. F.3 Analisis hasil wawancara Tim peneliti harus dapat menghasilkan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dari setiap organisasi yang diwawancarai. Analisis SWOT harus dapat menjawab pertanyaan dan menilai situasi dari setiap organisasi berikut ini: • Apakah organisasi memiliki kelemahan atau keterbatasan dalam pemahaman? Contohnya kurangnya akses terhadap informasi, teknologi, dan sumber daya. • Apa kekuatan yang dimiliki oleh setiap organisasi? Contohnya hubungan rekanan saat ini, kapasitas stafnya, program, kebijakan, hubungan baik dengan masyarakat atau komunitas, dll. • Apa peluang yang hadir terhadap adanya organisasi? Apakah mengenai inisiasi lain, sumber daya, kapasitas, program nasional yang mungkin bermanfaat bagi mereka? Apa ancaman yang dihadapi oleh organisasi saat ini? • 46 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 4. PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM PANDUAN LANGKAH-LANGKAH IDENTIFIKASI KAPASITAS TATA KELOLA, KEARIFAN LOKAL 1. Lakukan Kajian untuk Mengetahui Berbagai Peraturan Lakukanlah kajian untuk mengetahi peraturan-peraturan apa saja yang sudah ada dan dapat mendukung aksi-aksi perubahan iklim di kota baik secara eksplisit maupun tidak. Tabel 4.11 Contoh Kajian Peraturan-Peraturan Nama/No. Peraturan 1. Permen KLHK No.33/Menlhk/Setjen/ Kum.1/3/2016 tentang pedoman penyusunan aksi adaptasi perubahan iklim 2. Perda no... tahun .. Lingkup Isi Nasional Mengatur penyusunan kajian risiko iklim dan kerentanan serta strategi adaptasi perubahan iklim di kota. Kota Mengatur instalasi biopori/sumur resapan di kota. 2. Lakukan Kajian untuk Mengetahui Berbagai Peraturan Saat melakukan wawancara dengan para pelaku kota dan observasi lapangan, kenali dan jelaskan kearifan lokal yang mendukung kegiatan-kegiatan perubahan iklim. Kearifan lokal menurut UU No. 32 tahun 2009 adalah nilai-nilai luhur yang berlaku di dalam tata kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk melindungi sekaligus mengelola lingkungan hidup secara lestari. Contohnya seperti penggunaan kentongan untuk memberikan informasi bencana secara cepat kepada warga merupakan salah satu bentuk early warning system dalam menghadapi bencana berdasarkan kearifan lokal setempat. Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 47 48 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 5 REKOMENDASI UNTUK MENDUKUNG PROSES Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 49 5. REKOMENDASI UNTUK MENDUKUNG PROSES 5.1 Bagaimana Cara Menyusun Dokumen? Kajian risiko iklim harus dapat mengikuti panduan di bawah ini. Panduan ini menyediakan format standar yang dapat membantu untuk menyusun struktur konten dan analisis dari CRA. 1. Executive summary Executive summary terdiri dari fakta dan tabel yang dapat menyimpulkan isi dari dokumen dan poinpoin penting 2. Pendahuluan Latar Belakang a. Kenapa penting untuk menyusun kajian risiko iklim? b. Penjelasan umum mengenai perubahan iklim di Indonesia (dapat mengacu pada ICCSR (Indonesia Climate Change Sectoral) c. Inisiatif kota dalam menghadapi dampak dari perubahan iklim Tujuan Kalimat yang menjelaskan tujuan dari penyusunan dokumen CRA, biasanya mencakup: a. Penilaian variabel iklim kota b. Identiikasi kerentanan dan kapasitas adaptif dari daerah tertentu (kecamatan/kelurahan) c. Identiikasi dampak langsung dan tidak langsung dari perubahan iklim di tingkat kelurahan d. Identiikasi daerah dan komunitas tertentu yang rentan, dan ukuran kerentanan termasuk kapasitas adaptif dari komunitas terhadap perubahan iklim e. Identiikasi institusi yang dapat berdampak pada rekomendasi ketahanan dan pembangunan kota dalam membangun ketahanan kota. Hasil a. Karakteristik iklim kota b. Bahaya iklim dan kerentanan terhadap kejadian ekstrim, dan kapasitas adaptif saat ini c. Peta kerentanan dan kapasitas adaptif di tingkat kelurahan d. Sistem pemerintahan yang dapat berdampak terhadap efektiitas dari pelaksanaan program perubahan iklim e. Rekomendasi untuk membangun kota yang berketahanan terhadap perubahan iklim 50 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 5. REKOMENDASI UNTUK MENDUKUNG PROSES 3.ProilKota a. Informasi umum (posisi geograi, berdasarkan dokumen kota, dan menampilkan peta kota dan posisinya di peta Indonesia, administratif kota, sumber daya termasuk SDA, wilayah pesisir, dan tata guna lahan. Tambahkan jika diperlukan) b. Kondisi isik dan lingkungan c. Kondisi demograi dan sosial d. Kondisi ekonomi 4. Metodologi a. Metode proyeksi iklim b. Metode analisis bahaya c. Metode analisis kerentanan d. Metode analisis risiko 5. Kondisi iklim historis dan kejadian ekstrim a. Iklim historis dan kejadian ekstrim b. Analisis tren perubahan iklim c. Tren curah hujan d. Tren suhu/temperatur • Analisis proyeksi perubahan iklim • Dampak perubahan iklim terhadap bioisik dan sosial ekonomi 6. Analisis bahaya a. Data bahaya yang terjadi di kota beserta penjelasannya dari setiap bahaya b. Skoring setiap bahaya dan jumlahnya untuk bahaya gabungan c. Sertakan peta bahaya gabungan 7. Analisis kerentanan a. Penjelasan indikator terpilih, deinisi dari setiap indikator yang sudah dikategorikan sebagai IKA atau IKS b. Tabel perhitungan indikator c. Klasiikasi kelurahan berdasarkan tingkat kerentanan dan kapasitas adaptifnya • Peta IKS, IKA, dan IKR (Indeks Kerentanan) • Klasiikasi kelurahan berdasarkan kerentanan dan kapasitas adaptifnya • Peta analisis Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 51 5. REKOMENDASI UNTUK MENDUKUNG PROSES 8. Analisis Risiko Iklim a. Klasiikasi kelurahan berdasarkan keterpaparannya terhadap risiko iklim b. Sertakan: Peta risiko iklim 9. Aspek Kapasitas Institusi a. Peran dan tanggung jawab institusi • Pemetaan stakeholder yang berkaitan dengan perubahan iklim • Analisis peran, tanggung jawab dan ruang lingkup pekerjaan masing-masing institusi, dan peluang keterlibatan dalam isu perubahan iklim b. Inisiasi program dalam menghadapi dampak perubahan iklim • Apa saja peraturan, kebijakan, dan mekanisme untuk mempertimbangkan dampak perubahan iklim terhadap agenda kota • Analisis pendanaan untuk pemerintah kota dan nasional serta institusi lainnya 5.2 Bagaimana Cara Membuat Dokumen Advokasi? Dokumen advokasi meningkatkan kepedulian dan kesadaran untuk melakukan tindakan. Hal ini berdasarkan fakta dan analisis, tetapi juga menampilkan penjelasan naratif yang mendorong aktoraktor untuk membuat perubahan. Meskipun penjelasan ilmiahnya terdapat di CRA, dokumen advokasi juga menjelaskan pentingnya dampak perubahan iklim terhadap kota. Dengan demikian dokumen advokasi perlu disusun dengan jelas, dan berisi data dan analisis ilmiah, serta penjelasan singkat dan jelas mengenai informasi yang kompleks. Meskipun isi dari dokumen CRA cenderung leksibel, penyusun dokumen CRA harus hati-hati dalam mempertimbangkan target pembaca. Dokumen ini akan menjadi alat utama yang digunakan oleh anggota tim kota untuk mengembangkan strategi ketahanan kota. Penyusun juga harus mempertimbangkan hal-hal seperti pengetahuan ilmiah mereka, waktu yang dibutuhkan oleh pembaca untuk membaca dan memahami dokumen dengan informasi yang cukup panjang, dan ketersediaan tim penyusun CRA untuk membantu pembaca dalam memahami dokumen. Hal-hal tersebut akan menentukan struktur dokumen itu sendiri. Tim penyusun dokumen CRA juga harus memikirkan bagaimana dokumen dapat digunakan dan bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai contoh, jika dokumen akan berguna sebagai alat bagi para praktisi lingkungan untuk memahami kerentanan di suatu kawasan, tim penyusun harus dapat menyesuaikan dengan cara berpikir mereka. Hal ini dikarenakan para praktisi lingkungan biasanya tidak terlalu membutuhkan dokumen yang bersifat ilmiah, sehingga bahasa dalam dokumen harus singkat, jelas, dan mudah dipahami. Atau, jika universitas lokal atau LSM mungkin ingin menggunakan informasi dari CRA, maka dokumen CRA harus memiliki analisis ilmiah yang kuat, mengutip sumber data, dan informasi lainnya secara rinci. 52 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 5. REKOMENDASI UNTUK MENDUKUNG PROSES 5.3 Mengupdate Kajian risiko iklim Kondisi kota dan lingkungan akan terus berubah, sehingga kajian risiko iklim harus tetap relevan dengan kondisi yang berkembang. Kajian risiko iklim atau CRA adalah dokumen yang bersifat dinamis, hal ini berarti bahwa data yang digunakan harus terus diperbarui, sehingga analisis dan peta juga akan berubah. Untuk kerangka global dan metode penilaian risiko (CRA), dapat dilihat dalam referensi internasional dari: Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) Working Group II http://www.ipcc-wg2.gov/ IPCC adalah lembaga internasional yang menjadi acuan utama dalam penilaian perubahan iklim. IPCC didirikan oleh dua lembaga PBB (UN); Program Lingkungan PBB (UNEP) dan Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization - WMO) pada tahun 1988. Tujuan IPCC adalah untuk memberikan dasar ilmiah tentang perubahan iklim, termasuk dampaknya terhadap lingkungan dan sosial-ekonomi, sehingga kota yang dapat memantau perkembangan kerangkanya. Pada tahun 2012, IPCC merilis Laporan Khusus tentang Mengelola Risiko Kejadian Ekstrim dan Bencana untuk Meningkatkan Adaptasi Perubahan Iklim (SREX) dokumen: http://ipcc-wg2.gov/SREX/. Dokumen ini dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan kerangka kerja tentang konsepsi kerentanan, dampak iklim dan bahaya, dan adaptasi perubahan iklim. SREX telah menggabungkan pendekatan pengurangan risiko bencana dengan adaptasi perubahan iklim. Kemungkinan besar, kerangka kerja yang akan diterapkan dalam Laporan Penilaian 5 (AR 5) dari IPCC Kelompok Kerja II Februari 2014. Untuk referensi nasional, dapat melihat metode lanjutan dari Kementerian Lingkungan Hidup di tingkat pusat atau Pusat Penelitian Perubahan Iklim Nasional (jika ada). Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 53 5. REKOMENDASI UNTUK MENDUKUNG PROSES FAQ (FREQUENTLY ASKED QUESTIONS) 1. Apa korelasi antara analisis proyeksi iklim dengan analisis bahaya? Analisis proyeksi iklim dapat digunakan untuk mendeinisikan analisis bahaya di masa mendatang, namun hanya untuk dua jenis bahaya, yaitu banjir dan kekeringan. Kekurangannya yaitu skalanya dalam skala kota, bukan kelurahan/kecamatan. 2. Bagaimanamendeinisikanbahayadikota?Kriteriatiapjenisbahaya? Standar/kriteria bahaya dapat dilihat di Perka BNPB Nomor 2 Tahun 2012, atau mengikuti standar lembaga/instansi/SKPD setempat. 3. Apa keterbatasan dari analisis proyeksi iklim? Analisis proyeksi iklim ini hanya melihat satu dari banyak komponen iklim, yaitu presipitasi (curah hujan). Padahal komponen iklim ada banyak, antara lain temperatur, angin, kelembaban, dsb. Selain itu, skalanya juga skala kota, bukan kelurahan/kecamatan. 4. Mengapa analisis proyeksi iklim itu penting? Apa prinsip dasarnya? Penting dilakukan untuk menggambarkan kondisi iklim di masa mendatang untuk kota. Apakah kota akan mengalami iklim ekstrim yang dapat menyebabkan suatu bencana atau tidak. 5. Apakah kita dapat menganalisis / proyeksi komponen iklim yang lain selain curah hujan? Ya bisa, misalnya temperatur, angin, kelembaban, dan sebagainya. Untuk penjelasan lebih lanjut bisa menghubungi CCROM IPB. 6. Bagaimana menentukan indikator yang tepat untuk menghitung indeks keterpaparan dan sensitivitas, dan indikator kemampuan adaptasi? a. IndikatorKeterpaparan(E)umumnyabanyakmerujukpadakondisiisiksuatuwilayah. Contoh: Jumlah bangunan di bantaran sungai, luas lahan pertanian sawah b. Indikator Sensitivitas (S), umumnya banyak merujuk pada kondisi internal masyarakat/ isikdisuatuwilayah. Contoh: Jumlah keluarga pra-sejahtera, sumber mata pencaharian penduduk c. Komponen Kapasitas Adaptif (AC), merujuk pada kondisi internal masyarakat maupun isiksuatuwilayahyangsifatnyapositifataumerupakankekuatanwilayahtersebut. Contoh: Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, mereka akan semakin memiliki kemampuan untuk mengatasi konsekuensi perubahan iklim. 54 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 5. REKOMENDASI UNTUK MENDUKUNG PROSES 7. Apa dasar utama dalam menentukan nilai bobot masing-masing indikator pada analisis kerentanan? Indikator pada analisis kerentanan diberikan bobot berdasarkan justifikasi para ahli dan kesepakatan pemangku tanggung jawab (stakeholders) kota. Semakin sensitif suatu indikator untuk menggambarkan kondisi kota, maka bobotnya semakin besar dan berlaku sebaliknya. 8. Bagaimana sesungguhnya korelasi antar proses (analisis proyeksi, bahaya, dan kerentanan) dalam Kajian Risiko Iklim? Hasil analisis kerentanan dan analisis bahaya diperlukan untuk melakukan analisis risiko. Pada prinsipnya, kerentanan suatu kota dipahami sebagai “kondisi internal” dan bahaya sebagai “kondisi eksternal”. Kondisi internal tersebut mengikat pada proil kota, sedangkan kondisi eksternal adalah semua komponen yang ada di luar kontrol kota yang dapat mempengaruhi kota tersebut. Kondisi internal yang rentan apabila dikenai kondisi eksternal yang berbahaya, maka dapat meningkatkan risiko terkena dampak negatif dari bahaya tersebut. Tingkat risiko yang ditimbulkan inilah yang diperhitungkan dalam analisis risiko iklim. Misalnya, pada suatu kota yang proilnyatergolongrentanterjadibanjir,makatingkatrisikokotatersebutterhadapdampakbanjir lebihtinggidaripadakotadenganproiltidakrentanataukurangrentan.Selanjutnya,proyeksi iklim dilakukan untuk memperhitungkan pengaruh kondisi iklim masa depan terhadap tingkat bahaya masa depan (future hazard). Tingkat bahaya masa depan apabila di-overlay dengan tingkat kerentanan kota maka dapat menghasilkan perkiraan risiko masa depan (future risk). 9. Sejauh mana dokumen kajian risiko iklim ini selaras dengan Sistem Inventarisasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) dari KLHK? SIDIK merupakan instrumen untuk mengakses informasi mengenai tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim di suatu daerah secara online. Hasil keluaran dari SIDIK sama dengan hasil keluaran dalam dokumen kajian risiko iklim (CRA) seperti sistem kuadran yang menunjukkan tingkatkerentanandaerah,indeksketerpaparandansensitiitas(IKS),sertaindekskemampuan adaptif (IKA) melalui perhitungan secara otomatis oleh sistem yang sudah dikembangkan. Oleh karena itu, SIDIK dapat digunakan untuk mengolah data yang hasilnya dapat dideskripsikan dan dianalisis lebih lanjut di dalam dokumen kajian risiko iklim (CRA). Dengan adanya SIDIK, dapat mempermudah untuk memperbaharui dokumen kajian risiko iklim (CRA) kota pada tahun-tahun selanjutnya. Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 55 AD PREMIER BUILDING, 3RD FLOOR SUITE 01 JL. TB. SIMATUPANG NO. 5, RAGUNAN PASAR MINGGU, JAKARTA SELATAN 12550 PHONE : +62.21.22708939 FAX : +62.21.22708940 INDONESIA.MERCYCORPS.ORG Mercy Corps Indonesia MercycorpsID Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 56