kajian risiko iklim climate risk assessment (cra)

advertisement
PANDUAN PENYUSUNAN
KAJIAN RISIKO IKLIM
CLIMATE RISK ASSESSMENT (CRA)
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
1
Mercy Corps Indonesia merupakan lembaga nirlaba lokal yang berpusat di Jakarta. Mercy Corps
Indonesia membantu masyarakat Indonesia membangun komunitas yang sehat, produktif, dan
tangguh. Mercy Corps Indonesia berfokus pada isu kesehatan dan nutrisi, air dan sanitasi,
pemberdayaan ekonomi, pengurangan risiko bencana, adaptasi perubahan iklim, serta tanggap
darurat bencana. Melalui berbagai programnya, Mercy Corps Indonesia telah membantu
masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai daerah di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan,
Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua, Papua Barat dan Maluku.
Kontributor:
Shinta Michiko Puteri
Fanni Harliani
Latifa Sitadevi
Editor:
Aniessa Delima Sari
Nyoman Prayoga
Ratri Sutarto
Layout:
Philco Aritonang
Kevin Simon
Diberu Karina
PANDUAN PENYUSUNAN
KAJIAN RISIKO IKLIM
CLIMATE RISK
ASSESSMENT (CRA)
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
3
PENGANTAR
Dokumen ini merupakan salah satu panduan dari dokumen Perencanaan Ketahanan Iklim – Climate
Risk Planning (CRP) tentang cara mengidentiikasi kondisi kerentanan dan risiko dari perubahan iklim
yang berdampak ke kota sehingga selanjutnya dapat disusun aksi-aksi strategis dalam membangun
ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Dokumen panduan ini memiliki metodologi yang dapat terus
diperbarui serta dikembangkan untuk menilai risiko iklim yang direkomendasikan oleh Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC).
Dokumen Climate Risk Assessment – Kajian Risiko Iklim (CRA) ini merupakan panduan untuk menilai
kerentanan suatu kota, bahaya iklim yang dihadapi, serta risiko yang dimiliki sebagai dampak dari
perubahan iklim. Hal ini meliputi cara kota itu sendiri dalam merespon dampak perubahan iklim yang
dilihat berdasarkan elemen sosial, lingkungan, ekonomi, dan pemerintahan.
Kajian risiko iklim, yang akan dibahas lebih lanjut dalam dokumen ini, memiliki beberapa tujuan di
antaranya:
•
Menyediakan gambaran umum tentang kerentanan kota, potensi bahaya iklim, dan dampaknya
terhadap sistem perkotaan dan pembangunan kota.
•
Menilai peluang dan kesenjangan kapasitas yang dimiliki kota dalam menghadapi kerentanan
dan bahaya iklim.
•
Menyusun informasi dasar mengenai kerentanan yang dapat ditinjau kembali secara berulang
dan mengintegrasikannya ke dalam perencanaan dan proses penganggaran pemerintah daerah.
Perencanaan Ketahanan Kota; Mengapa Penting?
Isu perubahan iklim sebagai ancaman terhadap kota-kota di Indonesia
Perubahan iklim merupakan implikasi dari pemanasan global yang semakin nyata dirasakan oleh
masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Dampak perubahan iklim stendiri sudah dirasakan banyak
masyarakat perkotaan, namun banyak yang belum paham betul tentang apa yang terjadi. Maka,
pemahaman mengenai perubahan iklim secara ilmiah maupun praktis perlu ditingkatkan.
Perlu diketahui, yang paling rentan terhadap perubahan iklim adalah negara pesisir pantai, kepulauan,
dan negara berkembang dan Indonesia termasuk dalam ketiga tipe tersebut. Kajian BNPB tahun 2011
menyebutkan bahwa frekuensi bencana terkait iklim dan cuaca di Indonesia terus meningkat dalam
10 tahun terakhir. Di tahun 2013 saja, setidaknya terdapat 1.254 kejadian bencana iklim dan cuaca
yang memberikan dampak pada lebih dari 800 ribu orang dan menyebabkan lebih dari 300 ribu orang
mengungsi.
Perubahan iklim telah berdampak pada semakin tingginya intensitas dan jenis bencana perubahan
iklim yang terjadi seperti banjir, rob, kekeringan, angin puting beliung, ketidakpastian musim, penurunan
produktivitas pertanian, serta wabah penyakit. Hal ini mengakibatkan besarnya kerugian yang dialami
masyarakat di perkotaan baik secara material maupun immaterial. Langkah antisipatif sebaiknya
mulai dilakukan dari sekarang sebelum keadaan semakin memburuk. Maka dari itu, dibutuhkan suatu
perencanaan ketahanan iklim yang dapat dilakukan melalui penyusunan Kajian Risiko Iklim serta
Strategi Ketahanan Kota.
Instrumen Kebijakan Nasional yang Mendukung Perencanaan Ketahanan Kota
Pemerintah pusat telah mendukung berbagai upaya untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Di
antaranya ada beberapa kebijakan nasional yang mendukung kebutuhan agar kota-kota mulai bergerak
dalam konteks perubahan iklim.
•
RAN-API (Rencana Aksi Nasional – Adaptasi Perubahan Iklim) yang dikeluarkan oleh Bappenas
tahun 2014 memberi arahan bagi kota dan wilayah yang rentan terhadap dampak perubahan
iklim
untuk menyusun kajian kerentanan dan risiko iklim;
•
RAN-GRK (Rencana Aksi Nasional – Gas Rumah Kaca) disusun untuk memberikan kerangka
kebijakan untuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak swasta dan para pemangku
kepentingan lainnya dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan langsung atau tidak
langsung dengan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca;
•
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang menyusun sistem kajian kerentanan
online bernama SIDIK (Sistem Inventarisasi Data Indeks Kerentanan Perubahan Iklim) yang
akan memberi kesempatan ke kota untuk dapat melihat dan menilai secara mandiri kerentanan
dan risiko daerahnya masing-masing;
•
Saat ini di dalam SDGs (Sustainable Development Goals) yang juga harus diikuti oleh Indonesia
telah mencantumkan salah satu fokus untuk menghadapi perubahan iklim, yaitu “take urgent
action tocombat climate change and its impacts” dalam aksi ke-13 Climate Action.
•
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.33/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2016
tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim yang memberikan arahan untuk
setiap kota-kota di Indonesia menyusun dokumen Adaptasi Perubahan Iklim.
Apa itu Kajian Risiko Iklim dan Strategi Ketahanan Kota?
Kajian Risiko Iklim – Climate Risk Assessment (CRA)
Dokumen Kajian Risiko Iklim atau sering disebut Climate Risk Assessment (CRA) berisi analisis
risiko perubahan iklim kota yang terdiri dari dua konten utama, yaitu analisis kerentanan dan analisis
bencana iklim. Dokumen ini dapat menunjukkan karakter isik, sosial, ekonomi kota lokasi-lokasi yang
rawan atau yang membutuhkan peningkatan kapasitas kota terhadap bahaya perubahan iklim. Dengan
mengetahui sektor-sektor dan area yang rentan terdampak perubahan iklim, maka diharapkan dapat
menjadi acuan kota untuk melakukan aksi adaptasi perubahan iklim.
Dokumen ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah daerah dan bagi stakeholder lainnya
seperti kalangan akademisi, LSM, kelompok masyarakat, dan dunia usaha untuk berkontribusi dalam
usaha membangun ketahanan terhadap perubahan iklim. Dokumen ini bukanlah dokumen yang statis
karena dapat disesuaikan dengan perkembangan metode dan kebutuhan kota.
PENGANTAR
Strategi Ketahanan Kota – City Resilience Strategy (CRS)
Setelah kota memiliki Kajian Risiko Iklim atau CRA, maka selanjutnya kota perlu memiliki dokumen
Strategi Ketahanan Kota atau sering disebut dengan City Resilience Strategy (CRS). Dokumen ini berisi
kumpulan strategi aksi yang merespon perubahan iklim dan penjabaran rencana aksi atau kegiatan
yang perlu dilakukan sehingga dapat berkontribusi untuk meningkatkan ketahanan kota terhadap
perubahan iklim.
Dokumen ini dapat menjadi dasar bagi kota untuk mengakses pendanaan baik melalui sistem
pendanaan daerah dan nasional, maupun dari pendanaan eksternal lainnya seperti swasta, donor,
maupun bentuk kerjasama lainnya di bidang pembangunan. Dokumen ini diharapkan dapat diakses
oleh publik sehingga dapat mendorong kontribusi berbagai pihak secara lebih luas. Dengan begitu
diharapkan kota dapat mengakselerasi terwujudnya kota yang berketahanan iklim.
CRA dan CRS merupakan dokumen yang terintegrasi dan saling terkait dan disebut sebagai
CRP atau Climate Resilience Planning (Perencanaan Ketahanan Kota). Pemerintah Kota dapat
menggunakan dokumen tersebut untuk diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan dan
proses penganggaran pemerintah. Terbatasnya anggaran pemerintah sering menjadi kendala dalam
pelaksanaan pembangunan kota. Dokumen CRP ini dapat menjadi peluang bagi pemerintah daerah
untuk mengajak stakeholder yang lebih luas untuk berkontribusi dalam aksi-aksi pembangunan kota
dan sekaligus menyelesaikan permasalahan perkotaan.
Gambar 01. Konsep Penyusunan Perencanaan Ketahanan Iklim - Climate Resilience Planning
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
I
DAFTAR TABEL
II
DAFTAR GAMBAR
III
GLOSARIUM
IV
1.
KONTEKS
1
1.1
Ketahanan Kota Terhadap Perubahan Iklim
1
1.2
Tujuan dari Dokumen CRA
3
1.3
Proses Penyusunan Dokumen CRA dan CRS
4
2.
DEFINISI DAN KONSEP DASAR
6
2.1
Deinisi yang Berkaitan dengan Konsep Umum
6
2.2
2.3
2.1.1 Fenomena Perubahan Iklim
2.1.2 Adaptasi Perubahan Iklim
2.1.3 Ketahanan
Deinisi & Konsep yang Berhubungan dengan Kajian Risiko Iklim
2.2.1 Risiko
2.2.2 Bahaya
2.2.3 Kerentanan
Kajian Risiko Iklim: Tidak Ada Framework yang Standar
6
6
6
7
7
8
9
10
3.
ELEMEN DASAR (BUILDING BLOCKS) KAJIAN RISIKO IKLIM
14
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
Kajian Risiko Iklim dalam Sistem Perencanaan dan Pemerintahan
Tim Kota
Tim Kajian Risiko Iklim (Risk Assessment Team)
Shared Learning Dialogues/Konsultasi Publik
Pengumpulan Data : Sumber dan Metode
15
15
17
18
21
4.
PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM
24
A.
ProilKota
A.1 Informasi Umum
A.2 Aspek Fisik dan Lingkungan
A.3 Aspek Sosial
A.4 Aspek Ekonomi
Fenomena Perubahan Iklim
B.1 Kondisi Iklim Saat Ini
B.2 Proyeksi Iklim
25
26
26
26
26
27
27
28
B
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
I
DAFTAR ISI
C
Analisis Bahaya Iklim
C.1 Identiikasi Bahaya
C.2 Matriks Bahaya
C.3 Skoring Bahaya
C.4 Tingkat Bahaya Gabunga
34
34
35
37
37
D
Analisis Kerentanan
D.1 Identiikasi dan Kategorisasi Indikator
D.2 Pengolahan Data
D.3 Normalisasi
D.4 Pembobotan
D.5 Penentuan Kuadran
38
38
39
39
39
40
E
F
Analisis Risiko
E.1 Analisis Risiko Iklim Saat Ini
E.2 Analisis Risiko Iklim di Masa Depan
Kapasitas Tata Kelola dan Kapasitas Pelaku
F.1
Pilihlah Institusi/Organisasi yang Akan di Nilai
F.2
Wawancara Stakeholder
F.3
Analisis Hasil Wawancara
42
43
44
44
45
45
46
5.
REKOMENDASI UNTUK MENDUKUNG PROSES
50
5.1
5.2
5.3
Bagaimana Cara Menyusun Dokumen?
Bagaimana Cara Membuat Dokumen Advokasi?
Mengupdate Kajian Risiko Iklim
50
52
53
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Daftar Bahaya Meteorologi
Tabel 3. 1 Peran Kelompok Stakeholder dalam Tim Kota
Tabel 4. 1 Skenario dalam Proyeksi Iklim Kota
Tabel 4. 2 Hubungan Nilai Peluang dan Periode Ulang Kejadian Iklim
Tabel 4. 3 Contoh Tampilan Keluaran Hasil Pengolahan Data Per Skenario
Tabel 4. 4 Matriks Peluang Terjadinya Iklim Ekstrim
Tabel 4. 5 Skala Kemungkinan Bahaya
Tabel 4. 6 Penentuan Skala Konsekuensi Bahaya
Tabel 4. 7 Matriks Penentun Tingkat Bahaya
Tabel 4. 8 Contoh Skoring Bahaya
Tabel 4. 9 Kategorisasi Tingkat Kerentanan Berdasarkan Nilai IKS dan IKA
Tabel 4. 10 Matriks Penentuan Tingkat Risiko
Tabel 4. 11 Contoh Kajian Peraturan-Peraturan
II
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
8
16
30
31
32
33
35
36
36
37
40
43
47
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Konsep Umum Kajian Risiko Iklim
7
Gambar 4.1 Tahapan Menyusun Kajian Risiko Iklim (Risk Assessment)
Gambar 4.2 Skenario SRES
24
30
Gambar 4.3 Posisi Kuadran Tingkat Kerentanan
41
Gambar 4.4 Konsep Risiko Iklim
42
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
III
GLOSARIUM
ACCCRN (Asian Cities Climate Change Resilience Network – Jejaring Ketahanan
Kota-Kota Asia terhadap Perubahan Iklim)
Jejaring kota-kota di 6 negara (Indonesia, India, Thailand, Bangladesh, Filipina, dan Vietnam) untuk
menghasilkan contoh-contoh praktik bagaimana kota dengan tantangan urbanisasi yang pesat, serta
dengan kondisi penduduk di tingkat pendapatan menengah ke bawah, mampu membangun kota yang
berketahanan terhadap berbagai dampak dari perubahan iklim. (ARUP, 2014)
Adaptasi
Proses penyesuaian terhadap kondisi iklim aktual atau kondisi iklim di masa mendatang terhadap
dampaknya. Di dalam sistem manusia, adaptasi bertujuan untuk menghindari bahaya yang bersifat
moderat dan/atau memanfaatkan peluang yang ada. Di dalam sistem alam, adaptasi berbentuk
intervensi dari manusia yang dapat memfasilitasi penyesuaian terhadap kondisi iklim yang diharapkan
dan dampaknya. (IPCC, 2014)
CBVA
Community Based Vulnerability Assessment (Kajian Kerentanan Berbasis Masyarakat)
CRA
Climate Risk Assessment – Kajian Risiko Iklim. Merupakan dokumen yang memberikan panduan
mengenai bagaimana cara menilai kerentanan suatu kota, bahaya iklim yang dihadapi, serta risiko yang
dimiliki sebagai dampak dari perubahan iklim. (CRA Guidelines ACCCRN, 2015)
CRS
City Resilience Strategy – Strategi Ketahanan Kota. Merupakan dokumen perencanaan kota yang
menggambarkan roadmap spesiik, rincian strategi, dan rencana aksi adaptasi perubahan iklim,
serta menyediakan dasar-dasar untuk proyek intervensi di masa depan dan aktivitas-aktivitas untuk
meningkatkan ketahanan kota terhadap dampak perubahan iklim.
Keterpaparan (Exposure)
Kondisi dan keberadaan aset-aset seperti penduduk, mata pencaharian, spesies, ekosistem, sumber
daya lingkungan, infrastruktur, ekonomi, sosial, atau budaya di daerah-daerah yang mungkin terpengaruh
atau terdampak. (IPCC, 2014)
Bahaya (Hazard)
Potensi terjadinya bencana akibat ulah manusia atau alam yang dapat mengakibatkan kehilangan
jiwa, kecelakaan, atau dampak lainnya seperti kerusakan dan kehilangan tempat tinggal, infrastruktur,
pelayanan sosial serta sumber daya lingkungan. Berkaitan dengan perubahan iklim, hal ini mengacu
pada kejadian isik yang berhubungan dengan iklim. (IPCC, 2014)
IV
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
G
GLOSARIUM
FGD
Focus Group Discussion. Diskusi kelompok yang berfokus pada satu tema tertentu
ICCSR
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap. Acuan atau arahan dari Bappenas yang disusun secara
sektoral dalam menghadapi isu perubahan iklim dan dipublikasikan pada tahun 2010.
IPCC
Intergovernmental Panel on Climate Change atau Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim
adalah suatu panel ilmiah yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia untuk mengevaluasi risiko
perubahan iklim akibat aktivitas manusia, dengan meneliti semua aspek berdasarkan pada literatur
teknis/ilmiah yang telah dikaji dan dipublikasikan.
LSM (NGO)
Non-Government Organization atau Lembaga Swadaya Masyarakat
RAN-API (Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim)
RAN-API merupakan dokumen rencana pembangunan nasional yang disusun dalam periode 20132025 untuk membantu publik dalam mempersiapkan upaya beradaptasi terhadap dampak perubahan
iklim.
RAN-MAPI (Rencana Aksi Nasional Mitigasi Adaptasi Perubahan Iklim)
RAN-MAPI merupakan dokumen rencana pembangunan nasional yang dapat membantu publik dalam
mempersiapkan upaya untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Ketahanan (Resilience)
Kapasitas stakeholder, sistem, atau kelembagaan untuk secara dinamis dan efektif merespon dampak
dari perubahan iklim yang berupa guncangan dan tekanan. (Asian Cities Climate Change Resilience
Network, 2009).
Risiko (Risk)
Risiko adalah kemungkinan kerusakan maupun kehilangan pada jiwa, harta benda dan/atau lingkungan
yang dapat terjadi apabila ancaman dari bahaya menjadi kenyataan, termasuk tingkat keparahan yang
perlu diantisipasi. (IPCC, 2007)
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
V
GLOSARIUM
SLD
Shared Learning Dialogue, merupakan wadah untuk saling berbagi pengetahuan antar pemangku
kepentingan dan merupakan proses untuk mengidentiikasi kendala dan peluang untuk beradaptasi
terhadap perubahan iklim, dengan memahami kompleksitas kondisi perkotaan. (ISET, 2013)
UCCR (Urban Climate Change Resilience – Ketahanan Kota terhadap Perubahan
Iklim)
Upaya untuk menghadapi perubahan dan ketidakpastian menggunakan berbagai sumber daya dan
kemampuan yang memungkinkan pembangunan untuk tetap berfungsi dan berjalan di tengah dampakdampak perubahan iklim yang terjadi (ISET, 2013).
Kerentanan (Vulnerability)
Kecenderungan untuk terkena dampak negatif/kerugian. Kerentanan meliputi berbagai konsep
termasuk sensitivitas, keterpaparan terhadap bahaya, dan kurangnya kapasitas untuk menghadapi
serta beradaptasi. (IPCC, 2014)
VI
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
1.
KONTEKS
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan bahwa rata-rata suhu permukaan
bumi meningkat sebanyak 0.76˚C selama 150 tahun dan akan terus meningkat hingga mencapai 4˚C
dalam tahun 2100. Peningkatan suhu tersebut menyebabkan perubahan pola curah hujan, cuaca
ekstrim, dan kenaikan muka air laut dan berakibat pada beberapa bahaya iklim. Beberapa bahaya yang
berkaitan dengan perubahan iklim meliputi banjir, longsor, dan kekeringan dalam periode yang lebih
lama. Bahaya ini menyebabkan dampak negatif juga terhadap hal-hal lain seperti ketahanan pangan,
ketersediaan air, dan perkembangan penyakit vektor. Seluruh hal tersebut tentu tidak terlepas dari
mata pencaharian, aset properti, infrastruktur, dan lain sebagainya yang terkait dengan pembangunan.
Tanpa adanya langkah apapun untuk menghadapi situasi tersebut, bukan tidak mungkin kondisinya
akan semakin memburuk di masa depan.
Di waktu yang sama, dunia sedang mengalami proses urbanisasi yang pesat. Hasil laporan dari World
Bank menyatakan bahwa populasi perkotaan akan meningkat dari 3,5 miliar penduduk menjadi 5 miliar
di tahun 2030, yang mencakup 2/3 dari total populasi dunia. Fenomena migrasi dari perdesaan ke
perkotaan akan lebih banyak terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Penduduk
miskin perkotaan merupakan yang paling banyak tinggal di daerah rawan dan memiliki keterbatasan
terhadap sumber daya dalam mengatasi bencana. Oleh karena itu, penduduk miskin perkotaan akan
menjadi pihak yang paling rentan dan dipaksa untuk mampu beradaptasi dengan dampak perubahan
iklim.
1.1 Ketahanan Kota Terhadap Perubahan Iklim
Istilah Ketahanan Kota terhadap Perubahan Iklim lebih dikenal di dunia internasional dengan istilah
Urban Climate Change Resilience (UCCR). The Institute for Social and Environmental Transition (ISET),
sebuah lembaga penelitian mendeinisikan UCCR sebagai upaya untuk menghadapi perubahan
dan ketidakpastian menggunakan berbagai sumber daya dan kemampuan yang memungkinkan
pembangunan untuk tetap berfungsi dan berjalan di tengah dampak-dampak perubahan iklim
yang terjadi (ISET, 2013).
Melalui konsep Urban Climate Resilience Planning Framework (UCRPF), ketahanan dideinisikan
dengan bagaimana sistem perkotaan, agen sosial, dan tata kelola berinteraksi untuk ‘menyerap
gangguan dan belajar dari gangguan’ dalam menghadapi dampak dari perubahan iklim. Sistem
perkotaan adalah “apa” saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah
“siapa” saja yang dapat membuat keputusan dan kemudian bertindak berdasarkan keputusannya (baik
itu organisasi dan perorangan); dan institution/tata kelola merupakan pedoman “bagaimana” suatu
tindakan diperbolehkan atau dilarang (hukum, peraturan, perundang-undangan, dan struktur).
Ketika kota mengalami kejadian bencana, hal yang penting adalah bagaimana sistem pelayanan di
kota dapat tetap berfungsi, bisa pulih dan beradaptasi dengan cepat. Ini dipengaruhi oleh kapasitas
dari kota tersebut berdasarkan leksibilitasnya (termasuk pengetahuan dan pengalaman dari peristiwa
sebelumnya), kemampuan mengelola kapasitas dan kemampuan untuk mengalihkan sebagian sistem
yang mengalami kerusakan, serta kemampuan menghindari efek bola salju (snowball effect). Hal ini
juga bergantung kepada interdependensi dari sistem itu sendiri. Kegagalan dari sistem yang kritis
seperti energi dan ketersediaan air, contohnya, dapat memberikan dampak terhadap sistem lainnya
seperti pelayanan kesehatan.
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
1
1.
KONTEKS
Agen (para pelaku) merupakan kunci terpenting karena merekalah yang membuat keputusan
berdasarkan motivasi dan informasi yang berbeda-beda, dan memiliki kapasitas untuk mengantisipasi
isu-isu dan memvisualisasikan solusi berdasarkan pengalamannya. Tindakan-tindakan para pelaku
bersifat dinamis meskipun sistem bersifat tetap dari waktu ke waktu. Para pelaku yang memiliki
kapasitas pelengkap-seperti dunia usaha dengan sumber daya inansial dan kelompok masyarakat
dengan kekuatan untuk mengorganisir dapat meningkatkan ketahanan kota melalui kolaborasi antar
pelaku.
Reformasi tata kelola sangat penting dilakukan untuk meningkatkan ketahanan dari sistem perkotaan
karena dapat juga melatih para pelaku kota untuk dapat bertindak lebih leksibel. Tata kelola yang
mendukung kebijakan terkait dengan inklusivitas gender, contohnya, dapat menurunkan marginalisasi
sosial dan meningkatkan kapasitas dari para pelaku untuk membangun ketahanan.
Analisis hubungan dan keterkaitan diantara sistem perkotaan, para pelaku, dan sistem tata kelola dapat
menentukan ketahanan suatu kota. Keterkaitan dan hubungan saling ketergantungan yang positif
diantara ketiga komponen tersebut dan juga pembelajaran yang terus terjadi dapat meningkatkan
ketahanan kota itu sendiri.
Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) – Jejaring Ketahanan Kota-Kota Asia
Terhadap Perubahan Iklim
Saat ini berbagai isu yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pembangunan perkotaan banyak
menarik perhatian baik pihak masyarakat, komunitas, pemerintah, dan swasta (private sector).
ACCCRN merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Rockefeller Foundation yang berjalan dari tahun
2008 sampai tahun 2016. ACCCRN bertujuan untuk membangun jaringan ketahanan kota-kota Asia
terhadap dampak perubahan iklim melalui fokus pendanaan dan kegiatan dengan perhatian kepada
kebutuhan masyarakat yang miskin dan rentan. Di awal, ACCCRN bekerja di 10 kota dengan jumlah
penduduk berkisar 2 juta jiwa yang mencakup di Gorakhpur, Indore dan Surat (India), Semarang dan
Bandar Lampung (Indonesia), Hat Yai dan Chiang Rai (Thailand), Da Nang, Quy Nhon, dan Can Tho
(Vietnam), dan saat ini masih terus berkembang.
Dampak perubahan iklim terparah kemungkinan besar akan terjadi di kawasan perkotaan karena
perkotaan merupakan lokasi terkonsentrasinya penduduk, sumber daya dan infrastruktur (World Bank,
2008). Di Indonesia, diperkirakan sekitar 67.5% dari total populasi akan tinggal di area perkotaan pada
tahun 2025 dan sebagian besar penduduk perkotaan di Indonesia tinggal di daerah pesisir sehingga
rentan terhadap bencana banjir, kenaikan muka air laut, dll (UN-Habitat, 2012). Urbanisasi yang pesat
memberikan tekanan terhadap pelayanan perkotaan seperti penyediaan air bersih, sanitasi, sistem
kesehatan, kelistrikan, dan infrastruktur transportasi. Selain itu, urbanisasi juga memberikan tekanan
sosial seperti jumlah angka pengangguran yang terkonsentrasi di area perkotaan dan terus meningkat
dari 55,2% di tahun 2008 menjadi 60,2% di tahun 2012 (Depnakertrans, 2012).
Mercy Corps Indonesia (berdiri sejak tahun 1999) merupakan implementer untuk program ACCCRN di
Indonesia. Beberapa lingkup kerja Mercy Corps Indonesia selain untuk program adaptasi perubahan
iklim yaitu pengembangan ekonomi, kesehatan, sanitasi, dan pengurangan risiko bencana. Program
ACCCRN mencoba untuk mencapai tiga hal, di antaranya:
2
•
Pengembangan kapasitas: Meningkatkan kapasitas untuk merencanakan, mencari peluang
pendanaan, berkordinasi, dan melaksanakan strategi ketahanan terhadap perubahan iklim.
•
Mengembangkan jejaring untuk pengetahuan dan pembelajaran: Berbagi pengalaman dan
pengetahuan praktik dalam membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim (urban climate
change resilience).
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
1.
•
KONTEKS
Perluasan dan peningkatan: Memperkuat ketahanan di kota-kota yang telah berpartisipasi, dan
memperluas dampak melalui replikasi/transfer praktek kepada kota baru dan stakeholder yang
beragam
Dokumen ini menyediakan bagian dari proses, penjelasan bagaimana kajian risiko iklim (CRA) dan
strategi ketahanan kota (CRS) dapat disusun berdasarkan pengalaman dan pembelajaran mengenai
‘apa yang bekerja’ dan ‘apa yang dibutuhkan’ untuk terus berimprovisasi.
1.2 Tujuan dari Dokumen CRA
Panduan Kajian Risiko Iklim (CRA Guideline) ini menyediakan arahan dan langkah-langkah panduan
mengenai bagaimana cara mengidentiikasi dan mendeskripsikan kajian risiko iklim di kota-kota. Hal ini
dimulai dengan mendeinisikan elemen dasar (building blocks) yang sederhana mengenai kerentanan
dengan kompleksitas yang dapat bertambah sesuai dengan konteks lokal kota.
Tujuan dari proses ini adalah mengembangkan dokumen dasar untuk memahami kondisi kota terkait
dengan dampak dari perubahan iklim yang terjadi. Hal ini memerlukan penilaian terhadap tren masa
lalu, saat ini, dan masa depan dan mengidentiikasi siapa dan apa yang akan terpapar di kota (ditambah
adanya dampak negatif dari urbanisasi), serta mengeksplor elemen-elemen apa saja yang lebih rentan
dan kurang rentan. Dokumen ini juga akan memberikan penjelasan mengenai sumber daya yang dapat
digunakan untuk merekomendasikan langkah-langkah untuk beradaptasi, meliputi pengetahuan dari
komunitas, data-data kota, dan proyeksi iklim. Semuanya diharapkan dapat membantu menginformasikan
solusi untuk kota dalam merespon perubahan iklim.
Dokumen CRA (Climate Risk Assessment) berisi mengenai kondisi kota yang dilihat dari analisis
kerentanan dan analisis bencana iklim sehingga menunjukkan risiko perubahan iklim yang memberi
dampak pada kota tersebut. Dokumen ini dapat menunjukkan lokasi-lokasi yang rawan atau yang
membutuhkan peningkatan kapasitas kota terhadap bahaya perubahan iklim. Konteks kajian di sini
juga meliputi aspek sosial, lingkungan, ekonomi, dan pemerintahan yang dinilai tingkat kerentanan dan
responnya.
Tujuan utama dari kajian risiko iklim adalah untuk menyediakan informasi mengenai proil, pola, dan
perubahan risiko, agar ke depannya dapat digunakan untuk mendeinisikan prioritas, menentukan strategi
alternatif, atau memformulasikan strategi sebagai respon baru. Kajian risiko iklim memiliki beberapa
tujuan diantaranya:
•
Menyediakan gambaran umum mengenai kerentanan kota, bahaya iklim yang berpotensi di kota,
serta
•
kecenderungannya dalam memberikan dampak terhadap perkembangan kota dan sistem
perkotaan;
•
Menilai kapasitas yang dimiliki kota serta kesenjangannya (gap) dengan kerentanan serta dengan
bahaya iklim yang berpotensi terjadi di kota tersebut;
•
Memberikan dasar untuk tindakan-tindakan spesiik yang dapat diambil di dalam sektor prioritas,
•
komunitas atau lokalitas di dalam Strategi Ketahanan Kota (City Resilience Strategy);
•
Menetapkan informasi-informasi dasar mengenai risiko yang kemudian dapat ditinjau kembali
secara berulang dan menginformasikannya terhadap proses perencanaan dan penganggaran oleh
pemerintah.
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
3
1.
KONTEKS
1.3 PROSES PENYUSUNAN DOKUMEN CRA DAN CRS
SLD 1
Pengenalan
CRA
Workshop
Penyusunan CRS
(Perencanaan
Partisipatif)
Diskusi dan
Penyusunan
Strategi secara
partisipatif
4
Membentuk
Tim Penyusun
Penyusunan
Kebutuhan
Data CRS
Penyusunan
Kebutuhan
Data CRA
Workshop
Penyusunan
CRA
SLD 3
Pengenalan
CRS
Finalisasi CRA
SLD 4
Review Strategi
dengan para
expert (konsultasi
publik)
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
Penyusunan
Rencana Aksi
Finalisasi CRS
Menyusun dan
Melengkapi
CRA
SLD 2
Review CRA
2
DEFINISI DAN
KONSEP DASAR
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
5
2.
DEFINISI DAN KONSEP DASAR
Bagian ini akan menjelaskan tentang konsep kunci dan deinisi dari adaptasi perubahan iklim serta isuisu ketahanan dalam konsep umum dan spesiik dalam hubungannya dengan kajian risiko iklim. Hal ini
akan membantu tim kota untuk memahami ide dari isu-isu dan hubungannya dengan opininya sendiri
mengenai apa yang sedang terjadi di kotanya.
PERSENTASI SLIDE MENGENAI KONSEP KUNCI DAN DEFINISI TERSEDIA DI DALAM
TRAINING TOOLS 0.1
2.1DeinisiyangBerkaitandenganKonsepUmum
2.1.1 Fenomena Perubahan Iklim
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mendeinisikan perubahan iklim sebagai perubahan
yang terjadi terhadap iklim dari waktu ke waktu, baik itu karena faktor alam maupun dampak dari aktiitas
manusia. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) menambahkan bahwa
perubahan iklim yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan aktiitas manusia
mampu merubah komposisi dari atmosir bumi yang mengakibatkan perubahan variasi iklim dan dapat
diamati dan dibandingkan selama kurun waktu tertentu. Dalam pedoman ini, perubahan iklim mengacu
pada adanya perubahan dari hasil observasi dan hasil proyeksi terhadap komponen iklim rata-rata
bumi (suhu udara, curah hujan, dll).
2.1.2 Adaptasi Perubahan Iklim
Adaptasi perubahan iklim adalah proses penyesuaian dan respon terhadap dampak perubahan iklim
dari kondisi iklim aktual atau di masa depan. Di dalam sistem manusia, adaptasi bertujuan untuk
menghindari bahaya yang bersifat moderat dan/atau termasuk memanfaatkan peluang yang ada. Di
dalam sistem alam, adaptasi yang berbentuk intervensi dari manusia dapat memfasilitasi penyesuaian
terhadap kondisi iklim yang diharapkan dan dampaknya (IPCC, 2014).
2.1.3 Ketahanan
Ketahanan adalah kapasitas dari individu, komunitas, dan sistem untuk bertahan, beradaptasi, dan
berkembang dalam menghadapi tekanan dan bencana (shocks & stresses), dan juga bertransformasi
ketika kondisi membutuhkannya (Rockefeller Foundation, 2013). Shocks/fast onset /bencana merupakan
dampak perubahan iklim yang terjadi secara cepat contohnya bajir, gelombang panas, angin topan, dan
cuaca ekstrim lainnya. Stress/slow onset/tekanan merupakan dampak perubahan iklim yang terjadi
secara perlahan-lahan contohnya kenaikan muka air laut, perubahan waktu periode musim. Sementara
itu, IPCC (2007) mendeinisikan ketahanan sebagai kemampuan dari sistem sosial dan ekologi untuk
menyerap gangguan, kemampuan untuk mengorganisasikan secara mandiri, dan kemampuan untuk
beradaptasi terhadap tekanan dan perubahan. Ketahanan membuat individu, komunitas, dan sistem
dapat mempersiapkan dengan lebih baik untuk bertahan dari peristiwa isik – baik alam maupun buatan
– dan dapat bangkit kembali dengan lebih cepat dan lebih kuat dari tekanan dan bencana (shocks &
stresses) tersebut.
6
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
2.
DEFINISI DAN KONSEP DASAR
2.2 Deinisi & Konsep yang Berhubungan dengan Kajian Risiko Iklim
(Climate Risk Assessment)
Dalam tujuan untuk menilai risiko, klariikasi mengenai konsep umum yang berhubungan dengan risiko
iklim berikut ini dapat membantu untuk memahami dengan lebih baik terhadap konsep dan aplikasinya:
FENOMENA PERUBAHAN IKLIM
ANALISIS BAHAYA
ANALISIS
RISIKO
ANALISIS KERENTANAN
Strategi
& Aksi
Adaptasi
(CRS)
Gambar 2. 1 Konsep Umum Kajian Risiko Iklim
Secara komprehensif, pengembangan framework mengenai kajian risiko iklim (climate risk assessment)
terbagi kedalam 4 tahapan. Tahap pertama merupakan analisis mengenai perubahan iklim atau analisis
iklim kota; analisis ini menggambarkan fenomena perubahan iklim di kota. Tahap kedua yaitu analisis
bahaya dari dampak perubahan iklim yang dihadapi oleh masyarakat, tahap ketiga adalah analisis
kerentanan kota, dan tahap keempat adalah analisis risiko yang merupakan overlay dari hasil tahap
kedua dan ketiga.
Setelah menghasilkan analisis risiko iklim kemudian dilanjutkan dengan penyusunan strategi dan aksi
adaptasi untuk merespon dampak perubahan iklim yang terjadi dalam dokumen selanjutnya yaitu
dokumen strategi ketahanan kota/city resilience strategy (CRS).
2.2.1 Risiko
Risiko dideinisikan sebagai suatu ukuran dari kemungkinan kerusakan jiwa, harta benda dan/atau
lingkungan, yang dapat terjadi apabila ancaman menjadi kenyataan, termasuk tingkat keparahan
yang diantisipasi dari konsekuensi terhadap manusia (IPCC, 2007). Risiko merupakan hasil overlay
antara bahaya dan kerentanan (Affeltranger et al., 2006 dalam Kementerian Lingkungan Hidup, 2010).
Kerangka kajian risiko menurut Wisner (2004) dapat dinotasikan sebagai berikut (Jones et al., 2004).
Risk = f (Bahaya, Kerentanan)
Terdapat perbedaan yang jelas antara risiko bencana dan risiko iklim. Risiko di dalam framework
bencana dibedakan berdasarkan setiap bahayanya. Komponen kerentanan dalam risiko bencana
terdiri dari indikator sederhana, seperti populasi dan kepadatan bangunan. Berbeda dengan framework
bencana, risiko iklim menggabungkan banyak indikator yang dapat dikategorisasikan.
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
7
2.
DEFINISI DAN KONSEP DASAR
2.2.2 Bahaya
Bahaya merupakan potensi kerugian bagi manusia atau kerusakan tertentu bagi lingkungan hidup
yang dapat memberikan dampak yang merugikan terhadap elemen-elemen yang rentan dan terpapar
(IPCC, 2012). Meskipun dalam waktu yang sama, bahaya sering disamakan dengan pengertian risiko,
namun perlu diperjelas bahwa bahaya merupakan komponen dari risiko dan tidak sama dengan risiko
itu sendiri (IPCC, 2012).
Peristiwa isik dapat menjadi bahaya ketika elemen sosial (atau sumber daya lingkungan yang
mendukung kesejahteraan dan keamanan manusia) terpapar terhadap dampak yang merugikan
dan terjadi di bawah kondisi ketika mereka mudah terkena dampaknya. Dengan demikian, bahaya
merupakan ancaman atau potensi terjadinya dampak yang merugikan, bukan peristiwa isik itu sendiri
(IPCC, 2012).
Terdapat dua jenis bahaya, bahaya geologis dan bahaya meteorologis. Akan tetapi bahaya yang
dipertimbangkan dalam kajian risiko iklim adalah bahaya meteorologis yang disebabkan oleh faktor
perubahan iklim. Di bawah ini merupakan daftar contoh-contoh dari bahaya meteorologis.
Tidak Langsung
(non-bencana)
Tabel 2. 1 Daftar Bahaya Meteorologi
Tipe Bahaya
Parameter Utama
Gagal tanam & panen
Produksi pertanian, hasil panen, lahan pertanian
Penyakit tular vektor
Curah hujan, temperatur, tingkat pengaruh
ISPA
Langsung (bencana)
Kebakaran hutan
Banjir
Curah hujan, SLR, jenis tanah, perubahan tata guna
lahan, kenaikan muka air laut
Longsor
Curah hujan, temperatur, jenis tanah, perubahan
tata guna lahan
Kekeringan
Curah hujan, temperatur, jenis tanah, perubahan
tata guna lahan, jumlah run-off, populasi, tata
guna lahan, akuifer geometric, permeabilitias,
ketersediaan air
Angin ribut
Abrasi
Genangan
8
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
Angin topan, La Nina, gelombang pasang, SLR
2.
DEFINISI DAN KONSEP DASAR
Daerah yang berbeda akan terpapar oleh bahaya iklim yang berbeda pula; hal ini akan bergantung pada
kondisi geograis, jenis permukiman, demograi, dan jenis infrastruktur. Penting untuk mengidentiikasi
daerah mana yang paling terpapar untuk dijadikan prioritas dimana bahaya iklim akan memberikan
dampak yang paling besar.
2.2.3 Kerentanan
Kerentanan dalam pengertian umumnya mengacu pada potensi untuk mengalami kerugian. Akan
tetapi, tidak jarang kerentanan diidentiikasi dan dideinisikan melalui sudut pandang spesiik secara
sektoral atau tematik, misalnya hanya berfokus pada lingkungan, ketahanan pangan, gender, dll. Dalam
membangun Urban Climate Change Resilience (UCCR) – ketahanan kota terhadap dampak perubahan
iklim, dibutuhkan pendeinisian konsep kerentanan dalam sudut pandang target atau dalam hal ini
masyarakat yang terdampak. Ini dibutuhkan agar masyarakat nantinya dapat terlibat dan memahami
apa tantangan yang mereka hadapi sebenarnya. Terlebih lagi, ancaman dari perubahan iklim dapat
beragam pada masing-masing kota sehingga setiap daerah memiliki isu kerentanan yang berbedabeda pula dan tidak tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.
Dalam konteks perubahan iklim, IPCC (2007) mendeinisikan kerentanan sebagai tingkatan dimana
suatu sistem rawan, dan tidak mampu mengatasi dampak dari perubahan iklim, termasuk kaitannya
dengan variabilitas iklim dan iklim ekstrim. Konteks kerentanan dapat dilihat pada berbagai skala dan
aspek yang berbeda dalam masyarakat seperti rumah tangga, lingkungan, kota, negara, dan sektor
ekonomi atau sektor sosial. Dalam cara yang lebih mudah, kerentanan dapat dideinisikan sebagai
kondisi isik, sosial, ekonomi di suatu daerah yang mungkin dapat terkena dampak dari bahaya
perubahan iklim.
Dengan demikian, meskipun terdapat suatu daerah dengan lokasi administratif dan area rawan bencana
yang sama, tetapi kondisi dan tingkat kerentanannya belum tentu sama. Sebagai contoh, jika suatu
daerah berada di lereng bukit, daerah tersebut mungkin termasuk ke dalam daerah yang sangat terpapar
dari bencana/bahaya, akan tetapi tidak dalam kondisi yang rentan jika seluruh populasi penduduknya
memiliki tingkat penghasilan yang tinggi sehingga memiliki kemampuan untuk membangun tempat
tinggal dengan fondasi yang kuat, dan didukung infrastruktur tahan bencana longsor yang memadai.
Kerentanan terdiri dari tiga komponen yaitu keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif. Dalam
contoh ilustrasi di atas, daerah lereng tinggi mengindikasikan komponen keterpaparan, jenis perumahan
mengindikasikan komponen sensitiitas, dan tingkat pendapatan & fasilitas publik mengindikasikan
komponen kapasitas adaptif.
Kerentanan (V) = f (E, S, AC)
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
9
2.
DEFINISI DAN KONSEP DASAR
Komponen Keterpaparan (E),sangat tergantung dari fungsi geografis berdasarkan variasi iklim
yang dapat menyebabkan bencana. Contohnya, penduduk yang tinggal di lereng bukit lebih rawan
terkena longsor, sedangkan yang tinggal di pesisir memiliki peluang terekspos lebih tinggi terhadap
kenaikan permukaan air laut.
Komponen Sensitivitas (S),sejauh mana suatu kota dipengaruhi oleh bencana akibat perubahan
iklim. Dampaknya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat namun ada juga yang tidak langsung
dirasakan. Contohnya, masyarakat yang sama-sama tinggal di tepi sungai, namun memiliki perbedaan
tipe rumah, ada yang rumahnya non-permanen (kayu, seng), ada juga yang permanen (batu bata). Tipe
rumah non-permanen lebih rawan (sensitif) karena lebih mudah terbawa arus banjir.
Komponen Kapasitas Adaptif (AC),kemampuan kota untuk menyesuaikan diri terhadap
perubahan iklim dengan mengurangi potensi kerusakan, memanfaatkan sumber daya dan kesempatan
yang ada atau dengan mengatasi konsekuensinya. Sebagai contoh, penduduk dengan tingkat penghasilan
yang tinggi akan semakin memiliki kemampuan untuk mengatasi konsekuensi dan merespon perubahan
iklim atau setelah bencana iklim terjadi.
2.3 Kajian Risiko Iklim: Tidak Ada Framework yang Standar
Sebelum dilakukan pengumpulan data, ruang lingkup analisis penting untuk disusun. Kota-kota yang
memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi perlu mempertimbangkan kerentanan kota baik kota tersebut
sudah memiliki kapasitas dan pendanaan, maupun tidak. Kajian risiko iklim dapat disebut sebagai
landasan dari penelitian kota yang berketahanan terhadap perubahan iklim (Urban Climate Change
Resilience), yang dapat direvisi tahunan (atau kapanpun) sesuai kebutuhan. Pemahaman dalam
membangun UCCR akan meningkatkan justiikasi untuk melaksanakan aksi-aksi mitigasi maupun
adaptasi perubahan iklim di dalam pembangunan dan juga pengarusutamaan di dalam lingkup
pemerintahan.
Mengingat bahwa ada beberapa pilihan metode dalam menyelesaikan kajian risiko iklim, mulai dari
kajian risiko iklim yang sederhana hingga ke tingkat kedetilan dan kedalaman yang lebih, maka kota
perlu menyesuaikan metode yang dipilih dengan kondisi kota itu sendiri. Hal ini bergantung pada
sumber daya yang dimiliki oleh kota meliputi kapasitas sumber daya manusia, ketersediaan waktu,
ketersediaan data, dan tingkat kepentingan dalam menyusun analisis yang mendalam.
Kajian risiko iklim dapat bersifat informatif di tingkat-tingkat tertentu, meskipun sesederhana apapun
bentuknya. Walaupun dimulai dengan penilaian berbasis komunitas (community-based assessment),
pembelajarannya dapat diaplikasikan dalam tingkat kota. Penilaian secara sektoral juga dapat
menghantarkan kota untuk memperoleh tujuan yang sama.
10
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
2.
DEFINISI DAN KONSEP DASAR
Penyusunan kajian risiko iklim akan sangat bergantung pada ukuran kota dan jenis informasi yang
tersedia. Kajian tersebut bisa dibuat dalam skala cakupan wilayah yang berbeda, seperti di tingkat
kecamatan atau kelurahan. Memilih salah satu skala dari yang lain akan sangat mempengaruhi jenis
analisis dan jenis kesimpulan yang dapat ditarik dari penilaian.
Salah satu cara terbaik untuk memutuskan cakupan dan metode yang dipilih adalah dengan
mengevaluasi seberapa besar ukuran kota; dalam kasus kota-kota kecil, dengan kecamatan yang
sedikit, lebih baik untuk melakukan penilaian di level kelurahan. Jika ukuran kota sangat besar, dengan
banyak kelurahan, pilihan yang terbaik adalah untuk melakukan penilaian di tingkat kecamatan.
Terdapat berbagai macam pendekatan dan teknik untuk kajian risiko iklim mulai dari penilaian
berdasarkan indikator nasional atau global hingga pendekatan partisipatori di tingkat lokal., Semuanya
memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda tetapi dapat digunakan selama dapat mencapai tujuan utama
dan kebutuhan kota dari kajian risiko iklim (IPCC, 2012). Pendekatan kuantitatif untuk menilai risiko
perlu dilengkapi dengan pendekatan kualitatif untuk melihat kompleksitas dan aspek tangible maupun
intangible risiko dari dimensi yang berbeda. Sistem yang kompleks dengan mencakup variabel yang
banyak (isik, sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan) perlu memperhatikan variasi metode yang
relevan dan terintegrasi.
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
11
2.
12
DEFINISI DAN KONSEP DASAR
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
3
ELEMEN DASAR
KAJIAN RISIKO
IKLIM
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
13
3.
ELEMEN DASAR (BUILDING BLOCKS)
KAJIAN RISIKO IKLIM
Kajian risiko iklim (CRA) harus dapat mengkomunikasikan secara efektif risiko prioritas suatu kota
untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Ini berguna untuk mendukung upaya fasilitasi keterlibatan
pemerintah dan berbagai stakeholder yang merepresentasikan kota dalam membangun UCCR. Agar
dapat memberikan informasi yang bisa digunakan oleh kota-kota, maka identiikasi terhadap elemen
dasar dari kajian risiko iklim perlu dilakukan. Jika pengidentiikasian ini tidak dilakukan dengan tepat,
maka kajian risiko iklim akan cenderung diabaikan dari waktu ke waktu.
Elemen dasar yang diperlukan dalam penyusunan kajian risiko iklim (Climate Risk Assessment) ada
lima elemen yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
Sistem
Perencanaan &
Pemerintahan
1. Sistem
perencanaan
&
pemerintahan,
yaitu
mengidentiikasi kedudukan kajian risiko iklim dalam
mekanisme pembangunan kota untuk mencapai
pengarusutamaan isu adaptasi perubahan iklim dalam
pembangunan daerah.
Tim Kota
2. Tim kota, yaitu suatu kelompok kerja yang
merepresentasikan seluruh stakeholder di perkotaan
mulai dari pemerintah, masyarakat, LSM, akademisi,
dan dunia usaha.
Tim CRA
SLD
Pengumpulan
Data
3. Tim penyusun CRA, yaitu kelompok lebih kecil yang
memiliki fokus untuk menyusun dokumen kajian risiko
iklim secara teknis dan operasional.
4. SLD, atau shared learning dialogue merupakan wadah
untuk berkomunikasi dan berdiskusi antar seluruh
pemangku kepentingan di kota terkait penyusunan
kajian risiko iklim.
5. Pengumpulan data, meliputi metode-metode yang
digunakan untuk mengumpulkan data-data yang
dibutuhkan dalam menganalisis termasuk sumber data
yang diperoleh serta cara pengumpulan datanya.
Perlu dipahami bahwa elemen dasar dan tahapan penyusunan kajian risiko iklim yang akan dijelaskan
dalam pedoman ini didasari oleh kondisi pembangunan kota yang berketahanan di kota-kota Indonesia
dengan konteks struktur pemerintahannya saat ini. Dengan demikian jika rekomendasi dalam pedoman
ini akan diaplikasikan di luar konteks yang telah disebutkan, maka perlu dilakukan penyelarasan dengan
konteks baru.
14
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
3.
ELEMEN DASAR (BUILDING BLOCKS)
KAJIAN RISIKO IKLIM
3.1 Kajian Risiko Iklim dalam Sistem Perencanaan dan Pemerintahan
Salah satu dari tujuan disusunnya kajian risiko iklim adalah agar perubahan iklim dapat diarusutamakan
(mainstreamed) ke dalam mekanisme pembangunan. Dengan demikian, salah satu elemen dasar dari
kajian risiko iklim adalah dengan memanfaatkan sistem perencanaan dan pemerintahan yang sesuai
pada tempatnya. Dari hasil pembelajaran sebelumnya, terlihat bahwa kota-kota yang cenderung
berhasil dalam menyusun kajian risiko iklim memiliki motivasi dan tingkat partisipasi pemerintah kota
yang tinggi. Oleh karena itu jika kota-kota dari awalnya kurang memiliki tingkat ketertarikan terhadap
isu perubahan iklim itu sendiri, maka akan sulit untuk mencapai keberhasilan penyusunan kajian
tersebut.
Sebagai informasi, di antara negara-negara yang terlibat dalam program ACCCRN, terdapat sistem
dan struktur pemerintahan yang berbeda-beda sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda
pula. Proses ACCCRN harus dapat leksibel dalam berbagai sistem dan struktur pemerintahan, tetapi
juga tetap dibutuhkan dukungan aktif dari pemerintah itu sendiri.
3.2 Tim Kota
Tim kota dalam konteks ini adalah tim manajemen eksekutif yang bertanggung jawab untuk
mengimplementasikan program ketahanan perubahan iklim di kotanya, bisa dibentuk baru ataupun
menggunakan tim kota yang sudah ada (yang relevan). Di Indonesia, tim kota (city team) sering
disebut sebagai ‘kelompok kerja’ seperti contohnya Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan
Lingkungan (Pokja AMPL), Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP), dsb.
Secara struktur, sangat direkomendasikan untuk memiliki dasar hukum (biasanya dengan keberadaan
SK/ Surat Keputusan dari pemerintah daerah setempat) dan harus merepresentasikan elemen
pemerintahan dengan unsur berbagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) seperti Bappeda, BLH,
dan sebagainya, serta merepresentasikan LSM lokal atau kelompok masyarakat, universitas, atau
bahkan sektor swasta. Tim kota untuk mengimplementasikan program ketahanan perubahan iklim
sendiri di kota-kota sering disebut dengan Pokja Ketahanan Perubahan Iklim.
PANDUAN LANGKAH-LANGKAH MEMBENTUK TIM KOTA
A. KENALI STAKEHOLDER. Salah satu komponen kunci dari stakeholder yang harus ikut serta
dalam Tim Kota adalah pemerintah. Komponen pemerintah bisa meliputi Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Lingkungan Hidup (BLH), Dinas Kesehatan, Dinas
Perikanan dan Kelautan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang, Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD), Dinas Sosial, dan lainnya sesuai dengan konteks kebutuhan kota. Selain
itu, komponen stakeholder juga sebaiknya berasal dari sektor lain seperti akademisi, lembaga
non-pemerintah seperti LSM, serta tidak menutup kemungkinan adanya representatif dari dunia
usaha. Keragaman ini dibutuhkan karena isu perubahan iklim perlu dipikirkan secara bersamasama mengingat dampaknya yang bisa ditanggapi berbeda-beda juga oleh berbagai komponen
stakeholder tersebut. Ini juga untuk mendorong kapasitas yang lebih beragam dan sekaligus
merepresentasikan komunitas tertentu yang terkait dan tertarik dengan isu perubahan iklim.
Contohnya, pimpinan komunitas, dan lembaga penelitian atau tim dari universitas yang dapat
mengaplikasikan bidang keilmuan yang relevan dengan isu kota. Tim kota harus dapat mereleksikan
berbagai kepentingan, kekuatan untuk mengambil keputusan, dan saling melengkapi kapasitas yang
dibutuhkan untuk menyusun dokumen termasuk dokumen kajian kerentanan (CRA) dan strategi
ketahanan kota (CRS).
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
15
3.
ELEMEN DASAR (BUILDING BLOCKS)
KAJIAN RISIKO IKLIM
Tabel 3. 1 Peran Kelompok Stakeholder dalam Tim Kota
Kelompok Stakeholder
Peran
Pemerintah
Merumuskan dan melaksanakan kebijakan;
Mengoordinasikan fungsi dan peran antar lembaga;
Menyediakan akses data pemerintahan;
Melakukan proses penganggaran daerah
LSM/ NGO
Memberikan keahlian pendampingan di masyarakat;
Menyediakan kapasitas pelaksanaan teknis di lapangan;
Melaksanakan fungsi advokasi, monitoring dan evaluasi ;
Menyediakan keahlian penelitian atau pengetahuan pada bidang tertentu;
Memberikan peningkatan kapasitas materi atau teknis pada bidang tertentu;
Akademisi
Memberikan fasilitasi pada forum diskusi sesuai kebutuhan;
Membantu proses publikasi melalui hasil penelitian atau pendokumentasian
pembelajaran, serta monitoring dan evaluasi suatu aksi;
Dunia Usaha
Menyediakan sumber pendanaan alternatif;
Menyediakan peluang kolaborasi dengan mekanisme kerjasama lainnya;
B. IDENTIFIKASIKAN LEADING AGENCY. Dalam tim kota, dibutuhkan fungsi koordinasi yang baik
mengingat keragaman komponen stakeholder yang ada. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, Bappeda
dan BLH sering kali menjadi stakeholder kunci yang dianggap memiliki kapasitas untuk mengkoordinasikan
kegiatan-kegiatan terkait perubahan iklim di kota. Bappeda memiliki kapasitas untuk mengkoordinasikan
SKPD-SKPD di kota dan mengintegrasikan perencanaan perubahan iklim ke dalam proses perencanaan
kota. Di sisi lain, BLH sering lebih diasosiasikan dengan isu-isu perubahan iklim sehingga dianggap
cocok untuk mengoordinir kegiatan-kegiatan yang terkait. Setiap kota dapat memiliki leading agency yang
berbeda-beda tergantung pada struktur pemerintahan dan kebijakan kotanya sendiri.
TIPS
•
Cari champion yang proaktif
Seorang “champion” adalah orang yang proaktif dan memiliki passion dan otoritas untuk
membawa kerja tim kota terus maju. Para champion menjadi salah satu hal yang membedakan
tim yang hanya memenuhi kriteria, dan suatu tim yang menciptakan perubahan signifikan.
Para champion harus dibimbing mengenai pengetahuan ketahanan terhadap perubahan iklim
baik mengenai konsep maupun aplikasinya.
•
Tim kota yang inklusif
Untuk membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim, tim kota harus bersifat inklusif
dan memanfaatkan pengetahuan dari pemimpin dan anggota komunitas. Keterlibatan mereka
akan meningkatkan kemungkinan program-program ketahanan kota relevan dan tercapai
dengan baik.
•
Saling berbagi
Tim kota dari seluruh Indonesia harus bisa terhubung dan dapat saling berbagi pembelajaran
dan pengalaman. Tim kota juga dapat menerima manfaat dengan membuat hubungan/
jejaring dengan pihak dari luar wilayah, negara, dan internasional yang juga fokus kepada
urbanisasidalam konteks perubahan iklim dan ketahanan kota.
16
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
3.
ELEMEN DASAR (BUILDING BLOCKS)
KAJIAN RISIKO IKLIM
C. MENDEFINISIKAN STRUKTUR. Tahapan ini bergantung pada kebutuhan dan komposisi dari tim
kota. Salah satu bentuk struktur dari tim kota yang berhasil yaitu terdiri dari tim eksekutif kecil (tim
teknis) dengan adanya peran dari pemimpin yang aktif dan juga terdapat tim yang lebih besar yang
lebih berperan sebagai penasehat (advisory). Sekali lagi, setiap kota dapat memiliki bentuk struktur
yang berbeda-beda tergantung pada kebijakan kotanya sendiri.
D. MEMFORMALKAN PARTISIPASI. Leading agency harus mengirimkan surat undangan yang formal
kepada SKPD-SKPD yang turut berpartisipasi di tim kota. Tim kota juga harus dapat mengidentiikasi
alat birokrasi yang dapat melegalkan/memformalkan tim kota di dalam struktur pemerintahan.
Jika diperlukan, tambahkan persetujuan atau himbauan dari pimpinan kota (Walikota) yang akan
mewajibkan anggota-anggota dari tim kota untuk fokus bekerja di tim kota.
E. PAHAMI GAP KAPASITAS Kapasitas dari tim kota merupakan faktor penting penentu keberhasilan
program. Tim kota memerlukan berbagai sumber daya yang dapat membantu mereka untuk
mengkaji, mengembangkan aktivitas, rencana, pendanaan, dan mengidentiikasi peluang pendanaan
untuk implementasi strategi-strategi ketahanan kota terhadap dampak perubahan iklim. Ketika
gap kapasitas teridentiikasi, maka tim kota juga harus dapat mengidentiikasi langkah-langkah
selanjutnya untuk menutup gap dan meningkatkan kapasitas tim. Kapasitas yang dimaksud bisa
mencakup pengetahuan, keahlian, keterampilan dalam membangun jaringan (networking), sarana
dan prasarana, dll.
F. TENTUKAN JADWAL. Untuk memastikan adanya pertemuan dan keterlibatan rutin dari tim kota,
buatlah jadwal pertemuan/rapat yang teratur contoh setiap 3-6 bulan sekali untuk tim penasehat
dan 1 bulan sekali untuk tim eksekutif. Jika ingin mengikuti model tim eksekutif kota, pertemuan
harus dijadwalkan baik itu untuk tim eksekutif maupun untuk tim penasehat. Tim kota mungkin
akan membutuhkan keterlibatan dari setiap perwakilan SKPD untuk secara konsisten hadir dan
berpartisipasi dalam setiap pertemuan.
G. BUATLAH MEKANISME DISEMINASI. Stakeholder-stakeholder yang sudah diidentiikasi akan
membutuhkan informasi mengenai kerentanan kota terhadap perubahan iklim dan diskusi yang
sedang berjalan mengenai bagaimana hal tersebut berdampak terhadap kota sehingga mereka
dapat terlibat dalam diskusi untuk menentukan solusi-solusinya. Maka dari itu, tim kota perlu
mengembangkan mekanisme untuk mendiseminasikan informasi kepada mereka. Hal ini dapat
dilakukan melalui pembentukan milis (mailing list), penyebaran publikasi, menambahkan info terbaru
di website/sosial media lainnya (jika ada), atau melalui adanya pertemuan untuk menyebarkan
informasi secara berkala. Anggota dari tim kota juga dapat memberikan persentasi atau paparan,
yang berfokus pada program kerja yang dilakukan oleh setiap SKPD pemerintah atau institusi terkait
melalui adanya SLD (Shared Learning Dialogue).
3.3 Tim Kajian Risiko Iklim (Risk Assessment team)
Tim penyusun Kajian Risiko Iklim dapat diambil dari anggota Tim Kota yang sudah terbentuk.
Sebaiknya, mereka yang memiliki dedikasi dan kemampuan teknis yang lebih dapat diarahkan untuk
menghasilkan kajian risiko iklim tersebut. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan mengumpulkan,
mengorganisasikan, dan menganalisis data, serta kemampuan dalam mengartikulasikan temuantemuan. Maka dari itu tim penyusun harus mampu mengelola informasi dari berbagai stakeholder kota,
seperti pemerintah kota, anggota parlemen, organisasi masyarakat, dan masyarakat umum. Anggota
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
17
3.
ELEMEN DASAR (BUILDING BLOCKS)
KAJIAN RISIKO IKLIM
dari tim kajian risiko iklim harus bisa menulis, mengartikulasikan, dan mendiseminasikan informasi
dari hasil temuannya secara jelas. Hal yang penting bahwa tim kota juga harus memiliki pengalaman
dengan isu-isu pembangunan, administrasi publik, perubahan iklim, dan perencanaan perkotaan.
Di bawah ini merupakan kemampuan-kemampuan yang penting untuk dimiliki oleh tim kajian risiko
iklim:
•
Kemampuan untuk mengumpulkan data dari berbagai instansi pemerintahan dan juga
mengumpulkan sumber-sumber data lainnya yang relevan.
•
Kemampuan untuk menstandarisasikan dan mensintesiskan data dari sumber data-data numerik
dan dipresentasikan dalam bentuk peta serta format lainnya, yang dapat dikomunikasikan
secara sederhana dan efektif kepada stakeholder lain.
•
Kemampuan untuk memilih dan mewawancarai stakeholder-stakeholder serta memfasilitasi
FGD (Focus Group Discussion) atau SLD dengan keterlibatan kelompok dari komunitas yang
beragam.
•
Kemampuan untuk mereview dokumen perencanaan dan penganggaran pemerintah serta
regulasi dan kebijakan yang ada.
•
Kemampuan untuk menganalisis dan mensintesiskan informasi ke dalam dokumen.
TIPS
Tim Kajian risiko iklim bisa terdiri dari individu-individu yang berasal dari pemerintah
kota, akademisi, LSM lokal, dan individu yang kompeten. Pemerintah kota bisa memimpin
proses ini atau menyederhanakan tugas ini, dengan suatu panduan yang mereka berikan
kepada lembaga atau universitas yang mengerjakannya.
3.4 SHARED LEARNING DIALOGUES/KONSULTASI PUBLIK
SLD merupakan sebuah metode untuk membagikan informasi dan mengumpulkan masukan dari
stakeholder internal maupun eksternal dalam suatu kota. Beberapa stakeholder tersebut contohnya
seperti tenaga ahli, pemerintah, universitas, LSM, pihak swasta, dan kelompok komunitas. SLD harus
bisa mendorong diskusi untuk berbagi pengetahuan sektoral dari peserta forum dalam rangka untuk
meningkatkan realibilitas dan relevansi kajian kerentanan. Dengan begitu, kualitas dan efektiitas
dari pembuatan keputusan akan lebih meningkat. Proses SLD juga dapat membantu memecahkan
batasan-batasan sosial yang dapat menyebabkan suatu kelompok tertentu memiliki perspektif yang
sempit terhadap kelompok lainnya. Bentuk dari SLD bisa bermacam-macam mulai dari pertemuan
seperti rapat, workshop, pameran, atau acara kreatif lainnya.
18
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
3.
ELEMEN DASAR (BUILDING BLOCKS)
KAJIAN RISIKO IKLIM
PANDUAN LANGKAH-LANGKAH
•
Pilihlah tim kendali. Dari tim kota, pilihlah tim kendali atau pengontrol untuk mengorganisasikan
SLD. Tim kendali ini bertanggung jawab untuk merancang dan mengelola proses SLD.
•
Bentuklah SLD Pertama. Tim kendali harus menentukan prioritas dari topik-topik SLD
berdasarkan kebutuhan kota. Beberapa contoh misalnya:
•
SLD 1: Pengenalan program dan mendeinisikan terminologi kunci dan memahami
komponen-komponen dari penilaiain risiko. Pertemuan pertama harus bisa memberikan
pemahaman kepada seluruh partisipan mengenai proses kajian risiko iklim dan kenapa hal
tersebut penting dilakukan.
•
SLD 2: Meninjau kembali dan mendiskusikan hasil-hasil dari draft kajian risiko yang sudah
disusun.
•
SLD 3: Mengembangkan strategi-strategi dan pilot project untuk merespon hasil dari kajian
risiko iklim dan mengidentiikasi peluang untuk mengarusutamakan strategi-strategi tersebut
ke dalam perencanaan daerah.
•
Tentukan peran. Tentukan peran dari tim kendali mencakup siapa yang akan memimpin dan
memfasilitasi pertemuan, dan siapa yang bertugas menjadi sekretaris/notulensi. Perwakilan dari
tim kendali yang memiliki peran-peran tersebut harus konsisten menjalankan perannya selama
proses SLD. Tim kota dapat mengimprovisasi proses dan bentuk dari SLD berdasarkan kebutuhan
kota, alokasi dana, dan ketersediaan waktu dari tim kota dan stakeholder terkait.
•
Identiikasi partisipan. Berdasarkan topik yang telah ditentukan, perlu diidentiikasi tenaga
ahli lokal, nasional dan bisa juga dari internasional untuk memfasilitasi dan berpartisipasi dalam
setiap SLD. Partisipan tersebut bisa meliputi pemimpin komunitas lokal, pemerintah kota, atau
akademisi dari universitas. Walikota atau pejabat kota lainnya jika perlu untuk diundang dalam
salah satu pertemuan untuk dapat mendelegasikan tugas dan tanggung jawabnya.
•
Pastikan adanya dukungan penuh dari berbagai lembaga. Dukungan dari berbagai lembaga
penting untuk diberikan secara resmi untuk memastikan bahwa setiap orang memahami proses
kajian risiko iklim dan memiliki kemauan untuk berkolaborasi.
•
Penyelenggaraan SLD. Selenggarakan SLD sesuai dengan tanggal, waktu, dan agenda untuk
SLD yang telah disosialisasikan kepada para partisipan sebelumnya. Pada saat penyelenggaraan
SLD ini diharapkan para partisipan sudah mempersiapkan bahan untuk didiskusikan sesuai
agenda yang telah ditentukan.
•
Diseminasikan hasil. Tentukan strategi yang tepat dan efektif untuk mensosialisasikan hasil
dari SLD, paling tidak untuk memastikan pemangku kepentingan dan publik yang terkait
memahami keberadaan kajian risiko iklim tersebut. Metode diseminasi bisa dilakukan dengan
menyelenggarakan suatu forum atau melalui media komunikasi publikasi seperti pamlet, website
pemerintah, radio, televisi, atau koran lokal. Akan tetapi sebelumnya perlu dipastikan terlebih
dahulu bahwa seluruh partisipan dalam SLD sudah memahami ruang lingkupnya.
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
19
3.
PRINSIP DASAR (BUILDING BLOCKS)
KAJIAN RISIKO IKLIM
20
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
3.
PRINSIP DASAR (BUILDING BLOCKS)
KAJIAN RISIKO IKLIM
TIPS
SLD harus bisa memfasilitasi kebutuhan terhadap informasi mengenai ACCCRN dan kajian
kerentanan risiko iklim. Hal ini dapat membantu mendorong partisipasi dan rasa memiliki dari
partisipan. Terkadang stakeholder akan mengirimkan perwakilan yang berbeda untuk datang
pada setiap SLD. Jika memungkinkan, cobalah untuk tetap mempertahankan perwakilan yang
sama dalam berpartisipasi pada setiap SLD untuk memastikan bahwa mereka familiar dengan
terminologi dan konsep. Hal ini akan meningkatkan pemahaman serta pembuatan keputusan.
3.5 Pengumpulan Data : Sumber dan Metode
Sebelum mengumpulkan data, perlu disusun ruang lingkup analisis. Pengumpulan sumber data
statistik, pemetaan dan dokumen relevan lainnya dari berbagai lembaga merupakan hal yang penting
untuk dilakukan. Pengumpulan data harus dimulai paling awal dan membutuhkan koordinasi dari antar
lembaga. Metode dalam pengumpulan data bisa beragam, bergantung pada jenis-jenis data yang
diperlukan. Dalam kasus ini, sebagian besar data dikumpulkan dari survei terhadap instansi-instansi.
Dokumen-dokumen di bawah ini dibutuhkan untuk mendukung penyusunan kajian risiko iklim yang
komprehensif dan tersedia di berbagai lembaga pemerintahan yang berbeda-beda. Data-data dapat
berbentuk hard copy maupun soft copy. Ketersediaan dalam bentuk soft copy akan mempermudah
proses penyusunan kajian. Lalu dalam membuat peta dibutuhkan ile dalam bentuk GIS (Geographic
Information System) yang membutuhkan program ArcGIS, ArcView, QGIS ataupun program lainnya
untuk mengoperasikannya.
•
Kota dalam Angka dari Badan Pusat Statistik (BPS);
•
Kecamatan dalam Angka dari Badan Pusat Statistik (BPS);
•
Potensi Desa (PODES) dari Kelurahan atau Badan Pusat Statistik (tahun terbaru);
•
Survei Sosial Ekonomi Daerah (SUSEDA) dari Badan Perencanaan Daerah (jika tersedia);
•
Dokumen Mitigasi Bencana dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (jika tersedia);
•
Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (tahun terbaru);
•
Data Kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (tahun terbaru);
•
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota dari Badan Perencanaan Daerah;
•
Batas Administrasi Kelurahan/Kecamatan (ile .shp atau .dwg untuk penggunaan GIS);
•
Data Curah Hujan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geoisika (20 tahun terakhir);
•
KNMI Climate Explorer (dapat ditemukan dengan analisis di: http://climexp.knmi.nl/ ; akan dibahas
pada bagian pembahasan selanjutnya).
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
21
22
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
4
PENYUSUNAN
KAJIAN RISIKO
IKLIM
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
Dalam menyusun kajian risiko, tim kota harus memahami keseluruhan proses dan bagaimana satu
tahapan berkaitan dengan tahapan lainnya. Penjelasan singkat untuk para trainer disediakan dalam /
Training Tools CRA 0.2 (terlampir) dan penjelasan untuk setiap tahapan dijelaskan dalam Training Tools
CRA 1 – 7 (terlampir). Training tools untuk latihan praktik juga disediakan untuk tim kota.
4.1 Langkah-Langkah Menyusun Kajian Risiko Iklim
Kajian risiko iklim dirancang untuk menganalisis dan membangun pemahaman mengenai kerentanan
terhadap perubahan iklim guna mendukung dan memberi informasi dalam proses perencanaan dan
pengambilan keputusan di suatu kota. Tujuan utama dari pendekatan kajian risiko iklim adalah untuk
menyediakan informasi mengenai proil, pola, dan perubahan risiko dengan tujuan untuk mendeinisikan
prioritas, memilih alternatif strategi, atau memformulasikan respon strategi baru (IPCC, 2012).
Kajian risiko iklim distrukturkan sebagai suatu proses identiikasi dan deskripsi yang terdiri dari dua
komponen yaitu bahaya dan kerentanan. Proses ini dimulai dengan mengumpulkan dan menganalisis
data untuk membentuk framework dan konteks penilaian (assessment), dan juga menilai kondisi
kerentanan saat ini. Tahapan berikutnya adalah melihat kondisi di masa depan; seperti skenario/
prediksi di masa depan yang berhubungan dengan bagaimana kondisi kerentanan dan risiko iklim
mungkin dapat berubah dari waktu ke waktu. Metodologi untuk menyusun penilaian ini disimpulkan
dalam diagram berikut.
Gambar 4. 1 Tahapan Menyusun Kajian Risiko Iklim (Risk Assessment)
A.1 Informasi Umum
A.2 Aspek Fisik dan Lingkungan
A.3 Aspek Sosial
A.4 Aspek Ekonomi
B B
B.1 Kondisi Iklim Saat Ini
B.2 Proyeksi Iklim
C
E E B
C.1 Iden>fikasi Bahaya
C.2 Matriks Bahaya
C.3 Skoring Bahaya
C.4 Tingkat Bahaya Gabungan
EE EE E
E.1 Analisis Risiko Iklim Saat Ini
E.2 Analisis Risiko Iklim di Masa Depan
EE E E D E
F.1 Pemilihan ins>tusi/organisasi yang akan dinilai
F.2 Wawancara stakeholder terpilih
F.3 Analisis hasil wawancara
24
D
D.1 Iden>fikasi & Kategorisasi Indikator
D.2 Pengolahan Data
D.3 Normalisasi D.4 Pembobotan
D.5 Penentuan Kuadran
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
TAHAPAN DALAM MENYUSUN KAJIAN RISIKO IKLIM (RISK ASSESSMENT)
A. PROFIL KOTA
D. ANALISIS KERENTANAN
Merupakan gambaran kondisi umum wilayah
perkotaan
yang
dapat
dideskripsikan
berdasarkan gambaran kondisi isik dan
lingkungan
perkotaan,
kondisi
sosial
perkotaan, dan kondisi ekonomi perkotaan.
Proil kota dapat diperoleh dari dokumendokumen perencanaan pembangunan kota
maupun dokumen statistik perkotaan.
Merupakan gambaran kondisi internal perkotaan
dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Analisis ini dilakukan dengan menentukan indikatorindikator dan komponen kerentanan wilayah yaitu
indikator keterpaparan (E), sensitiitas (S), dan
kapasitas adaptif (AC).
B. FENOMENA PERUBAHAN IKLIM
E. ANALISIS RISIKO
Merupakan analisis kondisi iklim perkotaan
di masa kini dan masa yang akan datang
untuk memprediksi bahaya yang akan terjadi
jika kondisi iklim berubah. Kondisi iklim di
masa yang akan datang diperoleh dengan
melakukan proyeksi iklim.
Risiko merupakan hasil overlay antara bahaya dan
kerentanan (Affeltranger et al., 2006). Maka, pada
tahap ini dilakukan overlay dari hasil analisis pada
langkah C dan langkah D.
C. ANALISIS BAHAYA
F. KAPASITAS INSTITUSI DAN MASYARAKAT
Pada tahap ini mengidentiikasi bahaya iklim
(langsung maupun tidak langsung) yang
terjadi di perkotaan berdasarkan karakter,
besaran, dan dampaknya di masa kini dan
masa yang akan datang dengan mengacu
pada historis terjadinya bencana.
Pada bagian ini menjelaskan terkait kapasitas
adaptasi yang dimiliki oleh perkotaan saat ini baik
dari elemen institusi, maupun masyarakat dalam
menghadapi dampak perubahan iklim.
Tahapan-tahapan tersebut dapat dimodiikasi menjadi check list panduan implementasi analisis kajian
risiko iklim berdasarkan elemen dasar dan persiapan sebelumnya.
A. PROFIL KOTA
Perubahan iklim tidak terbatas pada batasan administrasi kota/daerah. Beberapa dimensi solusi
yang ditawarkan akan terbatas pada batasan administrasi suatu daerah, akan tetapi yang lainnya
mungkin berkaitan dengan wilayah yang lebih luas seperti aliran sungai lintas wilayah. Proil mengenai
kondisi iklim mikro pada tingkat lokal seperti kerapatan bangunan, kondisi vegetasi, kondisi tanah
I K
II
II
K
I I !
II II
juga tidak boleh terlupakan. Bagian
lain dari proil kota adalah ringkasan
mengenai
kecenderungan
dan
perubahan paling besar dalam aspek
ekonomi, lingkungan, demograi,
dan sosial. Berikut ini merupakan
informasi yang dibutuhkan untuk
mendeskripsikan proil kota.
IK IKIKI !K
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
25
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
A1. Informasi umum.
Lengkapi informasi spesiik seperti koordinat kota, unit administratif, area, dan pemetaan dalam
skala wilayah dan juga skala kota, sertakan tabel mengenai informasi dasar mengenai kota.
Jelaskan pula mengenai kondisi politik/pemerintahan (seperti periode pemerintahan kota saat
ini) dan batasan administratif kota yang lebih rinci (jumlah kecamatan, kelurahan, RW, RT, dll).
A.2 Aspek Fisik dan Lingkungan.
Meliputi kondisi isik buatan dan isik alam dari kota. Proil lingkungan mencakup deskripsi
mengenai sungai utama, topograi, luasan ruang terbuka hijau, serta karakter isik alam lainnya.
Proil isik buatan mencakup deskripsi mengenai pelayanan dasar yang terdapat di kota. Datadata infrastruktur dari PLN, PDAM dan Pekerjaan Umum, mendeskripsikan cakupan area yang
dilayani oleh pelayanan dasar publik di kota. Informasi tersebut harus bisa mendeskripsikan
secara numerik dan visual berapa banyak penduduk kota yang dapat mengakses pelayanan
dasar tersebut dan juga sebaran geograis penduduk kota. Pelayanan publik meliputi akses
terhadap sanitasi, air bersih, listrik, dan pengelolaan limbah padat. Informasi tersebut disertai
dengan peta yang menggambarkan distribusi dari pelayanan dasar tersebut.
A.3 Aspek Sosial.
Meliputi kondisi demograi, pendidikan, dan kesehatan. Kondisi demograi memberikan gambaran
mengenai populasi saat ini di kota. Jika memungkinkan, disediakan dalam bentuk tabel dan
peta dari jumlah populasi dalam tingkat kelurahan/kecamatan dan dibuat pertumbuhan rata-rata
penduduk dalam kurun waktu 20 tahun terakhir untuk diproyeksikan dalam 20 hingga 30 tahun
yang akan datang. Akses terhadap pendidikan dan kesehatan juga merupakan hal yang penting
untuk mendeskripsikan akses terhadap pelayanan dasar. Beberapa data yang menarik seperti
rata-rata ketidakhadiran partisipasi sekolah, distribusi daerah yang terkena wabah penyakit, dan
lokasi dari pusat-pusat pelayanan kesehatan dan pendidikan dapat ditampilkan jika tersedia.
A.4 Aspek Ekonomi.
Meliputi kondisi ekonomi dan kemiskinan. Proil ekonomi kota menggambarkan sektor-sektor
ekonomi yang berbeda-beda yang berkontribusi terhadap ekonomi kota (dalam bentuk diagram
lingkaran), dan juga mendeskripsikan sektor ekonomi yang paling berperan besar dalam ekonomi
kota. Data yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan kondisi tersebut adalah data PDRB
(Pendapatan Domestik Regional Bruto). Untuk tiga sektor ekonomi utama, jelaskan mengapa
sektor tersebut berperan besar terhadap kota dan jelaskan pula kecenderungannya di masa lalu
dan saat ini apakah meningkat atau menurun. Untuk proil kemiskinan, kumpulkan data mengenai
jumlah keluarga miskin di kota dan hubungkan data tersebut dengan jumlah keluarga total di kota
untuk mendapatkan proporsi tingkat kemiskinannya. Jika tersedia informasi mengenai distribusi
jumlah keluarga miskin, data tersebut harus dipetakan untuk menggambarkan konsentrasi
daerah miskin. Jelaskan dimana saja daerah-daerah yang terdapat keluarga miskin di kota.
TIPS
Lihat bagian sumber data untuk membantu mencari informasi data yang dibutuhkan tersebut.
Ingat, bahwa daftar data disini belum lengkap! Jika anda menemukan data lainnya yang belum
disertakan di pedoman ini, sertakanlah pada dokumen CRA kota anda.
26
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
Contoh data proil kota yang dapat digunakan untuk menilai kerentanan kota diantaranya:
1. Peta area kota dengan format dasar GIS (.shp atau yang lainnya)
2. Data Potensi Desa
3. Data lainnya:
a. Data Millennium Development Goals (MDG’s) kota. Target MDG’s tahun 2015 atau target
Sustainable Development Goals (SDG’s) untuk setelah tahun 2015
b. Dokumen perencanaan yang berlaku di kota: RPJMD, RTRW, RPJPD, master plan, dll.
Prioritaskan target dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan hal tersebut tidak tercapai
c. Data Ruang Terbuka Hijau
d. Data Provinsi dalam Angka dan data Kabupaten dalam Angka
e. Data jumlah pengguna PDAM, cakupan pelayanan (dalam beberapa tahun) dan rencana
penambahan pengguna serta cakupan pelayanannya
f. Dan lain-lain
B. FENOMENA PERUBAHAN IKLIM
B.1 Kondisi Iklim Saat Ini
)# *+'$.0 /'3)
"# $%&'(%&) *%+,")-)&
2# )&)0.1.1
./0.(
/%+%&3)&)&
4# )&)0.1.1 ")-)5)
%# )&)0.1.1 +.1./'
$# /)*)1.3)1 .&13.3 ,1. 2)& ()15)+)/)3
Pada bagian fenomena perubahan
iklim dapat dijelaskan dengan
mendeskripsikan kondisi iklim
saat ini yang terjadi di perkotaan.
Keluaran dari analisis ini dapat
berupa graik yang menjelaskan
rata-rata suhu, suhu maksimum,
dan rentang suhu harian yang
terjadi di perkotaan saat ini atau dalam kurun waktu tertentu (misalnya 10 tahun terakhir) berdasarkan
data historis yang tersedia.
Data-data yang dikumpulkan dapat diperoleh dari data sekunder yang terdapat dalam dokumen statistik
kota maupun dari data-data atau dokumen BMKG. Berikut ini beberapa data terkait iklim yang dapat
menjelaskan kondisi iklim perkotaan:
1. Jumlah Hari Hujan per tahun, dapat menghasilkan analisis perkembangan jumlah hari hujan
di perkotaan setiap tahunnya serta menganalisis dampaknya terhadap kegiatan atau aktiitas
penduduk. Sebagai contoh, jumlah hari hujan yang luktuatif berdapak negative terhadap aktivitas
perekonomian kota terutama di sektor pertanian yang sangat bergantung pada intensitas hujan.
2. Curah Hujan per tahun, sama seperti data jumlah hari hujan dapat menghasilkan analisis
perkembangan curah hujan dalam beberapa tahun terakhir serta dampaknya terhadap aktivitas
di sektor-sektor yang sangat bergantung atau berdampak dari intensitas hujan.
3. Suhu Rata-Rata per tahun, menunjukkan perubahan dan perkembangan suhu rata-rata
tahunan yang terjadi di perkotaan serta dapat menganalisis dampaknya terhadap sektor-sektor
tertentu. Sebagai contoh suhu rata-rata yang semakin meningkat berpengaruh terhadap sektor
kesehatan, sektor air bersih, serta sektor pertanian (seperti terjadinya perubahan musim panen
dan kegagalan panen).
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
27
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
B.2 Proyeksi Iklim
Bagian kedua pada fenomena perubahan iklim yaitu analisis proyeksi iklim yang dapat
memperkirakan kejadian iklim ekstrim yang akan terjadi di perkotaan pada masa yang akan
datang. Tahapan pertama dalam proyeksi iklim adalah menganalisis kecenderungan kondisi
iklim dalam skala makro: di tingkatan regional dan nasional. Kecenderungan perubahan iklim
di tingkat regional untuk Indonesia mengacu pada wilayah Asia Tenggara. Sementara dalam
konteks kota, maka iklim makro mengacu pada kondisi iklim tingkat nasional atau mengacu
pada apa yang terjadi terhadap iklim di Indonesia. Penting untuk memeriksa ketersediaan
sumber data karena kecenderungan perubahan iklim dapat berubah.
Berikut ini beberapa kecenderungan kondisi iklim di tingkat regional berdasarkan data dari
Laporan Penilaian ke-4 IPCC (2007):
•
Terjadi peningkatan kejadian iklim ekstrim seperti gelombang panas dan curah hujan yang
tinggi.
•
Terjadi peningkatan suhu rata-rata, yang dibuktikan dengan semakin bertambahnya jumlah
siang yang panas dan malam yang hangat dibandingkan siang dan malam yang dingin
diantara tahun 1961 dan 1998.
•
Keanekaragaman hayati di tingkat regional terpapar oleh penambahan suhu rata-rata.
•
Keterpaparan terhadap ENSO (El Niño Southern Oscillation), atau dikenal dengan “El
Nino” dan “La Nina”.
Di Indonesia, perubahan iklim diproyeksikan memberikan dampak:
•
Menghangatnya suhu udara yang terus meningkat dari 0.2 ke 0.30C per dekade.
•
Adanya sedikit peningkatan curah hujan tahunan di sebagian besar pulau-pulau di
Indonesia, terutama di bagian utara.
•
Terjadi penundaan pergantian musim tahunan hingga 30 hari.
Oleh karena itu perlu untuk merubah fokus kecenderungan iklim ke tingkatan kota, sehingga
bisa menganalisis kecenderungan dan proyeksi iklim di kota. Proyeksi iklim dapat diperoleh dari
data meteorologi untuk kota, seperti curah hujan dan pola perubahan suhu permukaan dalam 20
hingga 30 tahun terakhir, dan membandingkan data tersebut dengan model iklim, sehingga kita
dapat melihat iklim kota di masa depan melalui data iklim global di masa depan (downscale).
Hal yang mungkin membingungkan yaitu terkait dengan perubahan cuaca di periode yang pendek
(variabel iklim) dengan perubahan iklim dalam periode waktu yang panjang. Cuaca dapat berubah
setiap tahun di daerah tertentu; sebagai contoh, di suatu daerah memiliki musim hujan yang
panjang, tetapi hal ini tidak menjamin akan terjadi secara periodik (terus menerus). Tren iklim
dibuktikan dalam periode yang panjang, seperti periode 20 hingga 30 tahun. Dengan demikian
sangat penting untuk mendapatkan data historis. Kasus-kasus pengecualian jika tidak terdapat
data historis di kota tersebut, dapat menggunakan proyeksi iklim tingkat nasional atau regional.
28
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
Jika memungkinkan, kumpulkan informasi historis dan pengetahuan dari berbagai stakeholder mengenai
tren iklim yang terjadi sebanyak mungkin, seperti pola musim hujan, suhu, kenaikan muka air laut, dan
angin. Tujuannya bukan untuk memprediksi cuaca tetapi untuk meningkatkan pemahaman terhadap
rentang skenario cuaca yang memungkinkan berdasarkan ketersediaan informasi.
Apa yang anda perlu ketahui sebelum membuat proyeksi iklim?
Model Iklim
Model iklim merupakan gambaran dari kejadian iklim yang mencakup berbagai aspek dari terjadinya
iklim tersebut, seperti curah hujan, temperatur, dsb. Model iklim yang sering digunakan untuk kajian
perubahan iklim adalah GCM (Global Climate Model). Pada dokumen ini, model iklim didapat dari ClimeXP
(www.climex.knmi.com). Model ini menjadi preferensi yang sering digunakan karena kemudahan akses
untuk memperoleh hasil analisis model iklim yang dibutuhkan (tersedia secara online). Dengan adanya
model iklim, kita dapat meramalkan kondisi iklim di masa depan berdasarkan skenario iklim yang kita
pilih. Skenario tersebut digunakan untuk menganalisis bagaimana kondisi/aktivitas kehidupan masa
kini akan mempengaruhi emisi di masa depan.
SKENARIO IKLIM - SRES (Special Report on Emissions Scenarios)
SRES merupakan laporan khusus yang dikeluarkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate
Change) pada tahun 2001 untuk mengambarkan berbagai kemungkinan (skenario) perubahan tingkat
emisi yang dapat terjadi di masa depan. Model-model sirkulasi global seperti GCM (Global Climate
Model) digunakan untuk mengetahui kemungkinan perubahan iklim yang akan terjadi akibat adanya
peningkatan emisi GRK sesuai dengan skenario yang disusun oleh IPCC.
Dalam SRES, skenario emisi GRK dikelompokkan berdasarkan sistem pembangunan dan kerjasama
yang dikembangkan oleh berbagai negara. Ada dua skenario sistem pembangunan yaitu A dan B.
Skenario A lebih menitikberatkan pada pembangunan ekonomi, sedangkan skenario B lebih
menitikberatkan pada kepentingan kondisi ekologi atau lingkungan. Kemudian pola kerjasama
dikelompokan menjadi dua yaitu pola 1, kerjasama global berjalan dengan baik sehingga kesenjangan
pembangunan antara negara baik dari sisi teknologi dan lain-lain tidak terlalu signiikan, sedangkan
pola 2 kerjasama lebih bersifat regional. Pada pola 2 ini transfer teknologi, kerjasama ekonomi dan
lainnya antara negara maju dan negara berkembang tidak berjalan baik.
Jadi secara umum, skenario emisi dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu A1, A2, B1, dan B2 seperti
gambar di atas. Scenario A1 dibagi menjadi tiga berdasarkan penggunaan teknologi dan bahan bakar
fosil. Selain itu ada skenario emisi antara seperti skenario A1B, yaitu antara skenario A1 dan Skenario
yaitu Antara skenario A1. Namun ada suatu keadaan khusus di mana suatu negara menitikberatkan
pembangunan ekonominya, namun karena adanya alih teknologi yang baik dan penggunaan teknologi
yang ramah lingkungan (rendah emisi, dsb), skenario tersebut adalah skenario A1B. Maka, skenario
yang digunakan untuk analisis dalam dokumen ini adalah skenario A1B, skenario A2, dan skenario B1.
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
29
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
Gam bar 4. 2 Sk enar i o S R ES
ECONOMIC
A2
GLOBAL
REGIONAL
B1
B2
ENVIROMENTAL
AGRICULTURE
POPULATION
ECONOMY
LAND-USE
TECHNOLOGY ENERGY
D R I V I N G
REGIONALISASI
GLOBALISASI
A1
Skenario SRES
Ta b e l 4 .1 Skenario Dalam
Proyeksi Iklim Kota
Kategori Emisi
Stabilisasi Karbon (Tahun 2100)
A2
Emisi Tinggi
Tidak mencapai stabilisasi
A 1B
Emisi Sedang
A 1B 1
Emisi Rendah
750 ppm
550 ppm (kondisi ideal)
F O R C E S
(Sumber: IPCC, 2000)
SRES belum mempertimbangkan kebijakan global untuk penurunan emisi gas rumah kaca. Maka
dari itu, dalam IPCC 5th Assessment Report, dikeluarkan skenario baru, yaitu RCP (Representative
Concentration Pathways). RCP merupakan skenario yang sudah mempertimbangkan target global
agar perubahan iklim yang terjadi tidak melebihi suhu 2°C.
PANDUAN LANGKAH-LANGKAH PROYEKSI IKLIM
Terdapat 4 langkah utama untuk membuat analisis bahaya perubahan iklim dengan skenario SRES,
yaitu: (1) Penetapan peluang kejadian iklim ekstrim dari pengolahan data iklim historis; (2) Pengolahan
data iklim proyeksi (KMNI-GCM); (3) Membandingkan hasil pengolahan data curah hujan observasi
dan proyeksi; (4) Menghitung peluang terjadinya iklim ekstrim.
1. Penetapan Peluang Kejadian Iklim Ekstrim dari Pengolahan Data Historis
Untuk menentukan periode ulang atau peluang terjadinya kejadian iklim ekstrim yang dapat
menimbulkan bencana, diperlukan data historis yang panjang. Semakin panjang rentang data historis
maka akan semakin handal hasil analisis yang dihasilkan. Menurut WMO (World Meteorological
Organization), panjang data ideal untuk analisis peluang ialah 30 tahun.
Untuk mengetahui tinggi hujan yang dapat menimbulkan bencana, maka diperlukan informasi
tentang kejadian bencana, baik waktu terjadi maupun intensitasnya. Dengan analisis statistik akan
dapat ditetapkan pada kondisi iklim yang seperti apa bencana iklim biasanya terjadi. Misalkan
diketahui bahwa hari-hari dimana banjir besar terjadi pada bulan dengan curah hujan wilayah di
atas 300 mm. Apabila dari data seri 30 tahun kita mendapatkan hujan bulanan yang tingginya di
30
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
atas 300 mm terjadi 3 kali, maka dapat dikatakan bahwa periode ulang terjadinya ialah sekali dalam
10 tahun atau peluangnya 0.1 (3/30). Dengan deinisi ini, apabila peluang terjadinya (P) suatu
kejadian becana iklim 0.2, maka periode ulang dihitung dengan cara 1/P atu 1/0.2 = 5. Jadi artinya
becana tersebut biasanya terjadi lima tahun sekali atau bisa juga disebut bencana iklim dengan
siklus 5 tahunan (Tabel 4.7).
Tabel 4.2 Hubungan Nilai Peluang dan Periode Ulang Kejadian Iklim
Peluang
Periode Ulang
20%
1/(0.2) = 5 --> Terjadi 1 x dalam 5 tahun
10%
1/(0.1) = 10 --> Terjadi 1 x dalam 10 tahun
Dalam kajian ini, analisis penetapan tinggi hujan yang dapat menimbulkan bencana tidak dilakukan.
Namun digunakan asumsi, bahwa tinggi hujan yang periode ulang 5 dan 10 tahun sekali akan
menimbulkan bencana iklim sedang dan besar. Untuk mendapatkan tinggi hujan dengan peluang
kejadian seperti Tabel 4.7 di atas, dilakukan dengan cara mengurutkan data historis dari nilai yang
terbesar sampai nilai terkecil. Tinggi hujan terendah dengan peluang ulang kejadian sekali lima tahun
(20%) akan berada pada urutan data yang ke 0,2 x 30 = 6 dari nilai terbesar, sedangkan yang periode
ulang kejadian sekali 10 tahun akan berada pada urutan data ke 0,1 x 30 = 3 dari nilai terbesar. Karena
data diurut dari terbesar sampai terkecil, maka data tinggi hujan ini merupakan tinggi hujan yang dapat
menimbulkan banjir sedang dan besar.
Untuk mendapatkan tinggi hujan yang menimbulkan bencana kekeringan, maka peluang yang digunakan
ialah nilai peluang sebaliknya yaitu 1,0 – 0,2 = 0,8 dan 1,0 – 0,1 = 0,9. Artinya, tinggi hujan yang akan
menimbulkan bencana kekeringan sedang dan berat akan berada pada urutan data ke 0,8 x 30 = 24
dan 0,9 x 30 = 27 dari yang terbesar (dari atas). Nilai hujan yang diperoleh tersebut dapat dideinisikan
sebagai tinggi hujan batas kritis yang berpotensi menimbulkan bencana iklim.
2. P er hit ungan Pe luang K e ja d ia n Ik lim E k s trim da r i Da ta Pr oyeksi
(KM NI- GCM )
Untuk mendapatkan peluang kejadian bencana masa depan, diperlukan data iklim proyeksi yang
dapat diperoleh dari model-model iklim yang dijalankan dengan menggunakan berbagai skenario
emisi yang dijelaskan pada sub-bab sebelumnya. Dalam kajian ini digunakan skenario emisi A1B,
B1 dan A2 yang merepresentasikan skenario emisi sedang, rendah dan tinggi. Data proyeksi iklim
dari ke tiga skenario diperoleh dari situs www.climexp.knmi.nl (penjelasan rinci dapat dilihat di
lampiran - Modul Pelatihan). Data yang tersedia di situs ialah data proyeksi tahun 2011 sampai
2050 (data 40 tahun).
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
31
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
Misalkan dari hasil analisis kejadian iklim ekstrim dari data historis, tinggi hujan dengan peluang 0,2
ialah 200 mm. Dengan menggunakan data iklim proyeksi hasil download, ditetapkan besar peluang
terjadinya kejadian iklim ekstrim. Untuk analisis ini periode masa depan yang dianalisis ialah untuk
periode 2011-2030 dan 2031-2050. Analisis dilakukan dengan cara mengurutkan kembali data
proyeksi iklim dari nilai terbesar sampai terkecil. Dari urutan data tersebut, tentukan pada urutan ke
berapa tinggi hujan dengan nilai minimal 200 mm. Apabila berada pada urutan ke 5, maka artinya
peluang terjadinya ialah 5/20 = 0,4. Dengan demikian pada masa depan peluang terjadinya hujan
yang melewati 200 mm meningkat dari 0,2 menjadi 0,4. Dengan kata lain, frekuensi terjadinya hujan
dengan tinggi hujan minimal 200 mm menjadi lebih sering, yaitu dari frekuensi lima tahun sekali
menjadi 2-3 tahun sekali.
3. Tren Kejadian Bencana: Perbandingan Data Observasi dan Proyeksi
Untuk menilai apakah frekuensi kejadian iklim ekstrim meningkat atau menurun di masa depan,
kita tidak bisa hanya mengandalkan hasil dari satu model. Dibutuhkan banyak model karena setiap
model memiliki ketidakpastian (tidak pasti benar). Apabila digunakan banyak model dan sebagian
besar dari model menyatakan bahwa peluang kejadian bencana meningkat di masa depan, maka
semakin besar tingkat kepercayaan bahwa hal itu akan terjadi. Misalkan kita menggunakan 10
model, dan 7 model mengatakan bahwa peluang terjadinya bencana iklim meningkat, maka tingkat
kepastian bahwa hal itu akan terjadi tinggi yaitu sekitar 7/10 x 100% = 70%. Contoh analisis tren
kejadian bencana akibat perubahan iklim disajikan pada Tabel 4.8.
Langkah terakhir adalah dengan menghitung peluang terjadinya bencana. Peluang terjadinya
bencana dapat dihitung dengan membagi jumlah model yang memiliki tren kejadian bencana positif
dengan total jumlah model yang digunakan untuk setiap skenario.
Tabel 4.3 Contoh Tampilan Hasil Pengolahan Data Per Skenario
Skenario
emisi
SRES
A1B
SRES
A2
SRES
B1
32
Model
Nilai Peluang Kejadian
Iklim melewati batas kritis
berdasarkan data Historis
Nilai Peluang Kejadian
Iklim melewati batas kritis
berdasarkan data proyeksi
Frekuensi
kejadian
bencana
Model 1
0.2
0.1
-
Model 2
0.2
0.3
+
Model 3
0.2
0.4
+
Model 4
0.2
0.1
-
Model 5
0.2
0.5
+
Model 6
0.2
0.3
+
Model 1
0.2
0.1
-
Model 2
0.2
0.05
-
Model 3
0.2
0.44
+
Model 4
0.2
0.1
-
Model 5
0.2
0.14
+
Model 6
0.2
0.24
+
Model 1
0.2
0.1
-
Model 2
0.2
0.1
-
Model 3
0.2
0.12
-
Model 4
0.2
0.08
-
Model 5
0.2
0.5
+
Model 6
0.2
0.4
+
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
Peluang
Kejadian
Bencana
4/6 = 67%
Tingkat kepastian
meningkatnya
kejadian bencana
di masa depan
sebesar 67%
3/6 = 50%
Tingkat kepastian
meningkatnya
kejadian bencana
di masa depan
sebesar 50%
2/6 = 33%
Tingkat kepastian
meningkatnya
kejadian bencana
di masa depan
sebesar 33%
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
4. Peluang Terjadinya Iklim Ekstrim (Bencana)
Berdasarkan data hasil analisis tren kejadian bencana (Tabel 4.8), ditentukan dari hasil perhitungan
peluang kejadian iklim ekstrim di atas, maka hasilnya dapat dikategorikan dengan melihat matriks
berikut.
Tabel 4.4 Matriks Peluang Terjadinya Iklim Ekstrim
Nilai peluang Kejadian
Bencana
Kemungkinan
Terjadinya Iklim
Ekstrim
> 0.91
0.66 – 0.90
0.33 – 0.65
0.11 – 0.32
< 0.10
Sangat Bahaya;
Bahaya;
Agak Bahaya;
Kurang Bahaya;
Kemungkinan
Kemungkinan
terjadi
Kemungkinan
terjadi
Kemungkinan terjadi Kemungkinan
Tinggi
Sedang
terjadi
Sangat
Rendah
Tidak Bahaya;
terjadi
Sangat
Tinggi
Rendah
Latihan (lihat lampiran - Training Tools 1):
Praktikan bagaimana membuat proyeksi iklim dengan instruksi yang terdapat dalam Training
Tools 3:
Lakukan langkah-langkah di bawah ini dalam membuat proyeksi iklim.
•
Tentukan peluang kejadian iklim ekstrim (bencana) berdasarkan data historis
•
Hitung peluang kejadian iklim ekstrim berdasarkan data proyeksi
•
Turunkan tren kejadian iklim ekstrim (bencana); dengan membandingkan data historis
dan proyeksi
TIPS
Proyeksi iklim cukup kompleks. Jika perlu ada pendampingan untuk tim kota yang menyusun
tugas ini agar selesai, dan lihat masukan dari stakeholder yang mungkin ahli di bidang ini,
seperti dari LSM, universitas, dan pihak swasta. Hati-hati untuk tidak mengekstrapolasikan data
iklim secara berlebihan dan perhatikan bahwa hasil proyeksi memiliki tingkat ketidakpastian
yang tinggi. Gunakan common sense dalam menggunakan data untuk kebutuhan, dengan
didampingi oleh pihak yang lebih memahami keterbatasan dari proyeksi iklim.
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
33
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
C. ANALISIS BAHAYA IKLIM
=7 >?;8FH G;M=
67 89:;<9:= >9?@6=A=:
L7 =:=HFJFJ
FGHF<
G9?9:M=:=:
N7 =:=HFJFJ 6=A=O=
97 =:=HFJFJ ?FJFG;
87 G=>=JFM=J F:JMFM@JF L=: <=JO=?=G=M
Bahaya merupakan potensi kerugian
bagi manusia atau kerusakan tertentu
bagi lingkungan atau infrastruktur.
Bahaya bersifat spesiik kepada area
tertentu. Contohnya hujan deras
di area lereng yang tinggi akan
menyebabkan longsor, sedangkan
untuk daerah sekitar sungai akan
menyebabkan
bencana
banjir.
Beberapa contoh dari bahaya akibat perubahan iklim (yang sudah dijelaskan lebih rinci di sub-bab
2.2.2) di antaranya: banjir, kekeringan, angin ribut, longsor, badai, dan penyakit vektor. Analisis ini
bertujuan untuk mengidentiikasi dampak perubahan iklim yang negatif berupa bencana, mencakup
besaran, lokasi, waktu, kemungkinan terjadi, dan sebagainya.
Untuk melakukan analisis bahaya dalam kajian risiko perubahan iklim ada dua opsi. Opsi pertama
untuk perumusan bahaya adalah dengan menggunakan data sekunder peta bencana dari instansi yang
memiliki kewenangan untuk menerbitkan peta tersebut; yang penyusunannya menggunakan proses
dan prosedur tersendiri berdasarkan kriteria dan parameter berbeda untuk tiap bahaya bencana.
Apabila opsi pertama tidak tersedia maka opsi kedua adalah dengan melakukan analisis bahaya
secara kualitatif dengan mengumpulkan data primer.
PANDUAN LANGKAH-LANGKAH ANALISIS BAHAYA
Seperti yang disebutkan sebelumnya. Langkah ini dilakukan jika opsi pertama (ketersediaan peta bencana)
sebelumnya tidak ada. Analisis bahaya kualitatif mengacu pada data historis terjadinya bahaya atau
berdasarkan hasil survey primer dengan masyarakat setempat. Keluaran dari analisis bahaya kualitatif
pada dokumen ini adalah tingkat bahaya gabungan yang didapat dari matriks bahaya per bencana untuk
tiap kelurahan. Berikut merupakan langkah-langkah untuk melakukan analisis bahaya secara kualitatif:
Identiikasi
Bahaya
Matriks
Bahaya
Skor
Bahaya
Tingkat
Bahaya
Gabungan
C.1IdentiikasiBahaya
Identiikasi bahaya iklim yang pernah terjadi pada kota dalam 20 tahun terakhir. Apa bahaya
iklim yang paling penting/berdampak dan paling sering terjadi? Tujuan dari tahapan pertama ini
adalah untuk mengungkapkan peristiwa bahaya iklim yang pernah terjadi di kota, untuk digunakan
sebagai kemungkinan terjadinya bahaya tersebut di masa datang. Pengumpulan data dapat
melalui kajian historis dokumen (laporan dokumen pemerintah, liputan media), FGD, wawancara,
atau kuesioner. Untuk menampilkan hasilnya, buatlah dalam bentuk tabel yang mendata bahaya-
34
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
bahaya yang pernah terjadi, area mana saja yang terdampak, penduduk/komunitas mana yang
terdampak (kelompok lansia, etnis minoritas, anak-anak, dll) beserta populasi terdampak, bagaimana
cara mereka terdampak, kurun waktu terjadinya, dampaknya terhadap sistem perkotaan. Sebaiknya
mencantumkan informasi sumber atau stakeholder yang mengusulkan bahaya yang diidentiikasi agar
mempermudah menindaklanjuti pengumpulan informasi atau klariikasi mengenai bahaya tersebut.
C.2 Matriks Bahaya: Kemungkinan terjadi dan Konsekuensi yang ditimbulkan
Setelah mendapatkan deskripsi mengenai bahaya di setiap kelurahan (atau menyesuaikan batasan
administrasi yang disepakati), kemudian kita dapat menentukan tingkatan dari setiap bahaya dengan
metode matriks. Matriks bahaya dibentuk dari dua komponen yaitu (1) kemungkinan terjadinya bahaya;
dan (2) konsekuensi yang ditimbulkan dengan skala sesuai kebutuhan. Berikut ini merupakan formula
untuk menentukan skala konsekuensi, skala kemungkinan, dan tingkatan bahaya. Formula dapat
dimodiikasi oleh tim kajian risiko iklim bergantung pada jenis-jenis bahayanya.
Skala Kemungkinan
Merupakan peluang terjadinya suatu bahaya akibat perubahan iklim dengan menimbang perkiraan
perubahan variabel iklim terjadi.
Tab el 4.5 Sk ala K e mung kina n Ba ha y a
Skala
Hampir pasti
Mungkin
Jarang
Kejadian Berulang
Kejadian Tunggal
Dapat terjadi beberapa kali dalam 1
tahun
Peluang terjadi lebih dari 50%
Terjadi sekali dalam 10 tahun
Peluang terjadi < 50% tapi masih cukup tinggi
Terjadi sekali dalam kurun >25 tahun
Peluang terjadi mendekati nol
(Sumber: diadaptasi dari ICLEI-OCEANIA, 2008)
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
35
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
Skala Konsekuensi
Konsekuensi yang dimaksud adalah besarnya kerusakan yang disebabkan suatu kejadian (bahaya,
bencana dan non-bencana) akibat perubahan iklim terhadap kota, khususnya terhadap kapasitas
adaptif pemerintah kota dalam menghadapi perubahan iklim. Skala konsekuensi dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu tidak nyata, menengah, luar biasa (katastropik).
Tabel 4.6 Penentuan Skala Konsekuensi Bahaya
Skala
Tidak Nyata
(Insigniicant)
Menengah
Luar Biasa
(Katastropik)
Keterangan
• Dampak kerusakan hampir tidak ada
• Tidak menghalangi pencapaian target pembangunan pemerintah
• Tidak membutuhkan tambahan kapasitas tertentu
• Tidak membutuhkan biaya tambahan
• Dampak kerusakan terjadi di sebagian kecil wilayah kota
• Dapat mengganggu pencapaian target pembangunan pemerintah
• Membutuhkan tambahan kapasitas tertentu
• Membutuhkan biaya tambahan dari anggaran sendiri (realokasi)
• Dampak kerusakan terjadi di sebagian besar wilayah kota
• Dapat menghalangi pencapaian target pembangunan pemerintah
• Membutuhkan tambahan kapasitas khusus, dalam jangka waktu yang panjang
• Membutuhkan biaya tambahan yang sangat besar (bantuan pemerintah pusat)
(Sumber: Adaptasi ICLEI-OCEANIA, 2008)
Penentuan Tingkat Bahaya
Dengan memperhatikan hasil dari skala kemungkinan dan skala konsekuensi maka dapat diketahui
seberapa besar ancaman suatu bencana terhadap kota. Kajian risiko untuk dampak perubahan iklim
akan menggunakan metode kualitatif dengan alat berupa matriks bahaya; dimana tingkat bahaya
merupakan kombinasi antara tingkat kemungkinan dan konsekuensi dengan dasar penilaian seperti
tercantum dalam matriks berikut.
Tabel 4.7 Matriks Penentuan Tingkat Bahaya
KONSEKUENSI
MATRIKS BAHAYA
Hampir Pasti
KEMUNGKINAN
Luar Biasa
Menengah
Sangat Bahaya
Bahaya
Agak Bahaya
Bahaya
Agak Bahaya
Kurang Bahaya
Agak Bahaya
Kurang Bahaya
Tidak Bahaya
Mungkin
Jarang
Tidak Nyata
(Sumber: Adaptasi dari ICLEI-OCEANIA, 2008)
36
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
C.3 Skoring Bahaya: Konversi tingkatan bahaya ke dalam skoring
Skor bahaya dinilai berdasarkan kategori bahaya yang didapat dari matriks bahaya. Tiap kelurahan/
wilayah akan memiliki beberapa bahaya dengan kategori bahaya yang berbeda-beda. Kategori
tersebut perlu dikonversi menjadi suatu nilai untuk proses selanjutnya. Nilai yang ditentukan untuk
tiap kategori adalah sebagai berikut: (SB) Sangat Bahaya = 5; (B) Bahaya = 4; (AB) Agak Bahaya =
3; (KB) Kurang Bahaya = 2; (TB) Tidak Bahaya = 1.
Buatlah tabel dengan kolom pertama merupakan nama Kelurahan/wilayah dan kolom lainnya
diisi dengan jenis-jenis bahaya atau bencana yang terjadi di kota. Tabel tersebut kemudian diisi
dengan skor dari 1 – 5 (mengacu pada nilai yang disebutkan di atas) untuk setiap bahaya dari setiap
kelurahan. Jika dijumlahkan, maka akan terlihat kelurahan mana yang paling terpapar dari bahaya.
Tim kota juga dapat memberikan pembobotan terhadap setiap bahaya sebelum skor total dijumlahkan.
Jika tim kota ingin memprioritaskan bahaya tertentu, contohnya banjir karena lebih memberikan
dampak yang besar dibanding bahaya lainnya, maka bahaya banjir dikalikan dengan bobot yang
diberikan lebih besar dibandingkan bobot dari bahaya lainnya.
Tabel 4.8 Contoh Skoring Bahaya
Kelurahan
Banjir Kekeringan
Longsor
Jumlah Skoring
Kebon Jeruk
1
2
4
7
Arjasari
2
4
2
8
Campaka
5
3
1
9
C.4 Tingkat Bahaya Gabungan
Tingkat bahaya gabungan dihitung dari total skor bahaya-bahaya untuk tiap kelurahan/ wilayah.
Berdasarkan total nilai tersebut pada akhirnya dilakukan kategorisasi tingkat bahaya gabungan.
Kategorisasi tingkat bahaya gabungan merujuk pada rentang yang dibagi menjadi lima kategori.
Latihan (lihat lampiran - Training Tools 2):
Praktekkan bagaimana cara untuk menganalisis bahaya dengan mengikuti langkah-langkah di
bawah ini yang juga terdapat dalam Training Tools:
1. Identifikasi bahaya
2. Matriks bahaya
• Coba untuk menggunakan skala kemungkinan dan konsekuensi
3. Skoring bahaya
4. Tingkat bahaya gabungan
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
37
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
D ANALISIS KERENTANAN
WQ XYUR\^ ]UaW
PQ RSTUVSTW XSYZPW[WT
`Q WTW^\_\_
\]^\V
]SYSTaWTWT
bQ WTW^\ _\_ PW[WcW
SQ WTW^\_\_ Y\_\]U
RQ ]WXW_\aW_ \T_a\aZ_\ `WT VW_cWYW]Wa
Bagian ini untuk mengidentiikasi
daerah mana, penduduk mana, dan
sistem apa saja yang paling rentan
terkena dampak perubahan iklim di
kota. Terdapat tiga komponen untuk
hal ini – keterparapan - exposure
(E), sensitiitas – sensitivity (S), dan
kapasitas adaptif – adaptive capacity
(AC), yang dapat mendeinisikan
kerentanan - vulnerability (V).
Komponen-komponen tersebut saling berhubungan membentuk suatu formula (IPCC, 2007):
Kerentanan (V) = f (E, S, AC)
PANDUAN LANGKAH-LANGKAH ANALISIS KERENTANAN
Tahapan-tahapan di bawah ini memberikan nilai terhadap setiap komponen agar selanjutnya dapat
ditempatkan dalam pemetaan kota. Kita dapat menghitung setiap komponen tersebut dengan
memasukkannya ke dalam formula di atas untuk mengidentiikasi distribusi tingkat kerentanan suatu
daerah di satu kota.
D.1IdentiikasidanKategorisasiIndikator
Untuk melihat tingkat kerentanan suatu kota diperlukan data-data kondisi sosial-bioisik yang
mewakili keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi kota tersebut. Indikator dipilih dengan
mempertimbangkan ketersediaan, kontinuitas, dan relevansi dari datanya dalam mendeskripsikan
tingkat ketiga komponen kerentanan di atas. Indikator pada kajian kerentanan kota dapat ditentukan
berdasarkan justiikasi para ahli yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kota. Indikator
juga harus merupakan data yang dinamis (time series), sehingga dapat diukur perubahannya dari
waktu ke waktu terlebih dibutuhkan saat meninjau ulang atau memperbaharui kajian kerentanan di
masa depan.
Seperti yang sempat disebutkan sebelumnya, data-data yang dibutuhkan dapat diperoleh dari instansiinstansi pemerintah atau dari dokumen potensi desa yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS). Selain potensi desa, BPS juga mengeluarkan Data Dalam Angka (DDA) seperti Kecamatan
Dalam Angka yang merupakan himpunan data kelurahan yang tercakup dalam wilayah administrasi
kecamatan. Semua data yang telah diperoleh digunakan sebagai masukan untuk menentukan indikator
kota. Beberapa contoh dari indikator diantaranya seperti jumlah populasi, tingkat pengangguran,
tingkat kemiskinan, dan kapasitas pendidikan. (Lihat lampiran presentasi - training tools 1).
Pengkategorisasian indikator-indikator akan menyederhanakan proses penghitungan. Komponen
keterpaparan dan sensitiitas berkaitan dengan tingkat kerentanan; semakin tinggi tingkat kedua
38
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
komponen ini, maka semakin tinggi pula tingkat kerentanannya. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat
kapasitas adaptif maka semakin rendah tingkat kerentanannya. Dalam mendeinisikan setiap
indikator termasuk ke dalam komponen keterpaparan, sensitiitas, atau kapasitas adaptif, bergantung
pada karakteristik dari indikator tersebut di kota anda (ikuti deinisi untuk setiap komponen pada
sub pembahasan 2.2.3). Tidak ada aturan baku untuk mengidentiikasi indikator termasuk ke
dalam komponen keterpaparan, sensitiitas, atau kapasitas adaptif, karena setiap indikator dapat
diinterpretasikan berbeda dalam kota yang berbeda. Akan tetapi, indikator-indikator yang biasanya
digunakan dalam menentukan tingkat kerentanan kota dapat dilihat pada lampiran presentasi - training
tools 1.
D.2 Pengolahan Data
Terdapat berbagai cara untuk pengolahan data yang digunakan sebagai indikator karena bergantung
dari jenis data yang tersedia. Terdapat dua metode yang berbeda untuk mengolah data yaitu
menghitung nilai rasio dan memberikan skoring; (1) Menghitung nilai rasio untuk indikator,
dengan membagi nilai dari indikator dengan jumlah total nilainya. Sebagai contoh, untuk menemukan
nilai rasio dari keluarga miskin dihitung dengan cara jumlah keluarga miskin dibagi jumlah keluarga
keseluruhan. Nilai rasionya berkisar dalam rentang 0 – 1; (2) Memberi skor untuk indikator,
gunakan skor 1 untuk nilai tertinggi dan 0 untuk nilai terendah. Sebagai contoh, jika indikator yang
digunakan adalah kondisi permukaan jalan, berikan skor 1 untuk jalan dengan kualitas terbaik, aspal
= 1, semen = 0.75, dan tanah = 0.5. Jika di suatu daerah didominasi oleh jalan tanah, maka nilai dari
indikator permukaan jalan di daerah tersebut bernilai 0.5. (Lihat lampiran presentasi - training tools 1)
D.3 Normalisasi
Setiap indikator perlu untuk dinormalisasi jika nilai rasionya lebih besar dari 1 dan lebih rendah dari
0. Hal ini diperlukan agar dapat dibandingkan dengan indikator lainnya. Normalisasi perlu dilakukan
sebelum tahapan pembobotan. Untuk memperoleh data yang telah dinormalisasi, kita harus membagi
setiap data yang terdapat dalam satu indikator dengan nilai maksimum dari indikator tersebut. (Lihat
lampiran presentasi - training tools 1)
D.4 Pembobotan
Setelah menyusun indikator-indikator yang telah dinormalisasikan, diperlukan proses pembobotan
untuk membandingkan satu indikator dengan indikator lainnya. Setiap kota mungkin dapat
memberikan pembobotan yang berbeda-beda karena memiliki prioritas yang berbeda pula. Sebagai
contoh, sektor pertanian untuk suatu kota lebih rendah prioritasnya dibandingkan sektor penyediaan
air sehingga memiliki nilai pembobotan yang lebih rendah. Hal ini mungkin dapat berbeda dengan
kota lain. Jumlah dari total seluruh pembobotan dalam seluruh indikator harus sama dengan 1 (satu).
Terdapat beberapa cara untuk menentukan pembobotan dari setiap indikator tersebut diantaranya;
(1) Expert judgement, keputusan/saran dari tenaga ahli (orang yang paling memahami kondisi kota)
atau; (2) Metode Rangking, keputusan pembobotan indikator ditentukan berdasarkan ketersediaan
data, kondisi masa lalu dan proyeksi masa depan tentang kejadian bahaya. Nilai indikator yang
sudah dikalikan dengan nilai pembobotannya disebut dengan indikator yang dibobotkan Jumlah
dari indikator yang sudah dinormalisasi dan dibobotkan akan menjadi Indeks Keterpaparan dan
Sensitiitas (IKS) dan Indeks Kapasitas Adaptif (IKA).
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
39
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
D.5 Penentuan Kuadran
Setelah melakukan perhitungan indikator untuk masing-masing Indeks Keterpaparan dan Sensitiitas
(IKS) dan Indeks Kapasitas Adaptif (IKA), maka akan diperoleh nilai IKS dan IKA untuk masingmasing kelurahan (menyesuaikan dengan tingkat administrasi yang disepakati). Nilai IKS dan IKA
dikalikan dengan bobot masing-masing indikator dan dinormalisasi untuk mendapatkan indeks IKS
dan IKA pada rentang 0 – 1. Setelah itu, kedua indeks dikombinasikan untuk menentukan posisi
kelurahan dalam kuadran mengikuti ketentuan sebagai berikut:
Tabel 4. 9 Kategorisasi Tingkat Kerentanan Berdasarkan Nilai IKS dan IKA
Hasil perhitungan
Kuadran
Kategori
Ano.IKS<0, Ano.IKA>0, Ano IKS-IKA<-0,25
1
Tidak Rentan
Ano.IKS>0, Ano.IKA>0, Ano IKS+IKA>0,25
2
Kurang Rentan
Ano IKS+IKA<0,25, Ano.IKS+IKA>-0,25,
Ano IKS-IKA<0,25, Ano.IKS-IKA>-0,25
3
Agak Rentan
Ano.IKS<0, Ano.IKA<0, Ano IKS+IKA<-0,25
4
Rentan
Ano.IKS>0, Ano.IKA<0, Ano IKS-IKA>0,25
5
Sangat Rentan
(Sumber CCROM, 2013)
Anomali ialah deviasi dari nilai rata-rata. Nilai rata adalah 0,5. Misalnya nilai IKS sebesar 0,1 untuk
menghitung Ano IKS adalah 0,1 – 0,5 ; maka nilai Ano IKS adalah -0,4.
•
Kuadran 1 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas rendah; kapasitas adaptasi tinggi.
•
Kuadran 2 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas tinggi; kapasitas adaptasi tinggi.
•
Kuadran 3 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas; kapasitas adaptasi menengah.
•
Kuadran 4 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas rendah; kapasitas adaptasi rendah.
•
Kuadran 5 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas tinggi; kapasitas adaptasi rendah.
40
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
Gambar 4.3 Posisi Kuadran Tingkat Kerentanan
IKS Tinggi
KUADRAN 5
IKA Rendah
KUADRAN 2
KUADRAN 3
IKA Tinggi
KUADRAN 4
KUADRAN 1
IKS Rendah
(Sumber CCROM, 2013)
Latihan (lihat Training Tools 1):
Praktekkan bagaimana cara menurunkan data kerentanan dari data profil kota dengan mengikuti
instruksi yang terkandung dalam Training Tools:
1. Hitunglah data kerentanan menggunakan dua metode:
a. Metode rasio
b. Metode skoring
2. Tentukan nilai maksimum dan minimum untuk mendapatkan batasan
3. Normalisasikan data untuk dibandingkan dengan data lain dari indikator yang berbeda
4. Temukan nilai anomalinya
5. Kategorikan data berdasarkan nilai kerentanannya
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
41
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
E. ANALISIS RISIKO
ke lmifpr qiuk
de fghijghk lgmndkokh
te khkrpsps
pqrp j
qgmghukhkh
ve khkrpsp s dkokwk
ge khkrpsps mpspqi
fe q klkspuks phsupunsp tkh jkswkmkqku
Risiko adalah suatu ukuran dari
kemungkinan kerusakan maupun
kehilangan pada harta benda,
lingkungan, maupun manusia,
yang
dapat
terjadi
apabila
ancaman menjadi kenyataan,
termasuk tingkat keparahan yang
perlu diantisipasi (IPCC, 2007).
Secara teknis, risiko merupakan
hasil overlay antara bahaya dan kerentanan (Affeltranger et al., 2006 dalam Kementerian Lingkungan
Hidup, 2010).
Kerangka kajian risiko menurut Wisner (2004) dapat dinotasikan sebagai berikut (Jones et al., 2004).
Risiko = Kemungkinan Kejadian Bahaya x Kerentanan
PROYEKSI
MASA DEPAN
KONDISI
SEKARANG
Risiko merupakan produk dari tingkat ancaman/bahaya (H) dan kerentanan (V). Analisis ini diperlukan
untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat risiko bagi masing-masing sektor rentan, kemungkinan
risiko tersebut terjadi, dan seberapa besar dampaknya terhadap sistem kota.
Analisis Kerentanan
Analisis Risiko
(Sekarang)
Analisis Bahaya
Analisis Kerentanan*
Analisis Risiko
(Masa Depan)
Analisis Bahaya
(Proyeksi Iklim)
*Analisis kerentanan di masa depan dapat menggunakan data saat ini jika tidak bisa
diproyeksikan, dengan asumsi, tidak ada perubahan kondisi kota di masa mendatang.
Gambar 4.4 Konsep Risiko Iklim
42
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
E.1 Analisis Risiko Iklim Saat Ini
Untuk memperoleh analisis risiko iklim saat ini, tidak perlu melakukan pengumpulan data lagi, karena
analisisnya hanya menggunakan keluaran yang sudah ada, yaitu dari yang telah dilakukan sebelumnya.
Analisis risiko ini merupakan overlay antara analisis bahaya dan kerentanan. Metode yang dilakukan
untuk melakukan overlay pada dokumen ini ialah metode matriks risiko. Berikut merupakan matriks
yang digunakan untuk melakukan overlay.
Tabel 4.10 Matriks Penentuan Tingkat Risiko
Kerentanan
Kemungkinan
Terjadi
Bahaya
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat
Rentan
SST
SST
ST
T
S
Rentan
SST
ST
T
S
R
Agak
Rentan
ST
T
S
R
SR
Kurang
Rentan
T
S
R
SR
SSR
Tidak
Rentan
S
R
SR
SSR
SSR
Sangat Rendah
Kategori Risiko
SST = Sangat Sangat Tinggi; ST = Sangat Tinggi; T = Tinggi; S = Sedang; R = Rendah; SR = Sangat
Rendah; SSR = Sangat Sangat Rendah
Kajian risiko kota perubahan iklim juga harus disinkronkan dengan penanggulangan bencana dalam
bingkai adaptasi perubahan iklim. Di sini dibutuhkan adanya pemahaman yang utuh antara kedua
hal tersebut untuk mengidentiikasi praktik pengurangan risiko dan dampak bencana dalam kerangka
adaptasi perubahan iklim. Hal tersebut merupakan hal yang coba disampaikan juga oleh IPCC (2012)
dalam dokumen special report.
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
43
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
E.2 Analisis Risiko Iklim di Masa Depan
Analisis risiko dibentuk dari dua komponen, kerentanan dan bahaya di masa depan. Hasil dari analisis
ini adalah untuk menggambarkan risiko iklim di masa depan dalam skala kota.
Menilai Kerentanan di Masa Depan
Langkah-langkah untuk menghitung kerentanan di masa mendatang sama dengan menghitung
kerentanan saat ini, namun data yang digunakan haruslah data yang diproyeksikan untuk tahun
tertentu di masa mendatang yang telah ditentukan. Misalnya ingin menganalisis untuk tahun
2020, maka data populasi diproyeksikan untuk tahun tersebut, begitu juga dengan jumlah fasilitas
pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Data-data proyeksi ini dapat dilakukan oleh tim sendiri,
ataupun bisa mengambil data dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Namun, jika kesulitan
untuk memproyeksikan data dan terpaksa, maka kita dapat menggunakan data saat ini dengan
menyepakati asumsi bahwa tidak ada perubahan yang terjadi di kota.
Menilai Bahaya di Masa Depan
Perhitungan bahaya di masa mendatang cukup rumit. Pada bagian ini kita akan menggunakan hasil
dari bagian sebelumnya, yang merupakan probabilitas iklim yang ekstrim. Probabilitas iklim yang
ekstrim membantu kita untuk memprediksi bahaya banjir dan kekeringan di masa depan dalam
skala kota. Untuk bahaya lain, berbagai metode lain dapat digunakan; contoh adalah pemodelan
untuk penyakit tular vektor dengan mempertimbangkan perubahan iklim. Akan tetapi kekurangan
untuk bagian ini, kita tidak bisa membuat peta bahaya masa depan per kelurahan/kecamatan,
karena semua hasil analisis dalam skala kota.
F. KAPASITAS TATA KELOLA DAN KAPASITAS PELAKU
y €}z„† … }‰
xy z{|}~{| €{‚xƒ|
ˆy |†„‡„‡
„…†„~
… {{|‰||
Šy |†„‡„‡ xƒ‹
{y |†„‡„‡ „‡„… }
zy …€‡„‰‡ „|‡‰„‰‚‡„ ˆ| ~‡‹…‰
Peta kerentanan mungkin tidak
bisa mencakup seluruh aspek yang
terdapat di dalam kota selama hanya
menggunakan
data
kuantitatif.
Informasi lainnya yang dapat
menjelaskan aspek lain sehingga
bisa menunjukkan kapasitas adaptif
kota juga dapat bermanfaat. Info
lain yang diperlukan tersebut seperti
kapasitas yang ditunjukkan oleh stakeholder atau komunitas, antisipasi serta respon dari pemerintah,
kearifan lokal, dan insititusi yang memiliki akses terhadap sistem perkotaan dan juga sistem sosial.
Informasi mengenai kapasitas yang lebih rinci dari berbagai macam stakeholder akan lebih membantu
nantinya dalam menyusun strategi ketahanan kota (CRS – City Resilience Strategy) untuk memastikan
adanya kolaborasi antara agen-agen dengan kapasitas, keahlian, dan pengalaman yang relevan.
Lalu, informasi mengenai kearifan lokal dapat memberikan pengetahuan mengenai cara atau
praktik beradaptasi yang mandiri dan sederhana yang telah dilakukan oleh masyarakat lokal dalam
44
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
menghadapi bahaya iklim. Kemudian, informasi mengenai regulasi-regulasi yang terdapat di dalam kota
juga perlu dideskripsikan untuk mendukung penyusunan strategi dalam membangun ketahanan kota.
PANDUAN LANGKAH-LANGKAH IDENTIFIKASI KAPASITAS PELAKU
F.1 Pilihlah institusi/organisasi yang akan dinilai
Penilaian kapasitas institusi dapat ditentukan dari 5 – 8 institusi atau organisasi yang memiliki
keterkaitan dengan bahaya iklim. Dalam pemilihan institusi diusahakan untuk seimbang antara dinas
pemerintah kota, lembaga non-pemerintah, lembaga akademis, LSM, dan organisasi komunitas
lainnya. Beberapa contoh dinas pemerintahan yanvg relevan yaitu: Departemen PU, BLH, PDAM,
Bappeda, BPBD, dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Contoh untuk organisasi kemasyarakatan yang
dapat dipilih diantaranya LSM lokal atau organisasi masyarakat lainnya yang bergerak di bidang isuisu lingkungan, pembangunan, atau penyediaan fasilitas publik (seperti air). Kategori lainnya yang
dapat dipilih yaitu dari akademisi atau lembaga penelitian, sektor swasta, dll.
TIPS
Kota mungkin akan mempertimbangkan untuk memasukkan pemerintah kota lain sebagai
stakeholder eksternalnya dalam rangka berkolaborasi. Sebagai contoh, suatu kota terlibat
dengan kota lainnya dalam mengelola DAS atau memiliki sister city dalam pembelajaran
untuk melindungi wilayah pesisir.
Jika dalam bagian ini sudah mencakup informasi yang rinci mengenai kapasitas insititusi,
maka dapat digunakan dalam menyusun strategi ketahanan kota.
F.2 Wawancara stakeholder
Wawancara dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang standar; metodologi dari
penilaian kapasitas organinisasi ini berfokus pada perbedaan kapasitas dari setiap organisasi dalam
merespon dampak dari perubahan iklim. Hal ini dapat dilakukan dengan diadakannya pertemuan
dengan setiap perwakilan dari organisasi dan mewawancarainya dengan sekumpulan pertanyaan
mengenai aktivitas saat ini yang mereka lakukan dan apa saja hambatan untuk mencapai visinya
saat ini. Beberapa daftar pertanyaan yang dapat ditanyakan diantaranya:
•
Apa fungsi dari organisasi ini? Tanyakan apa visi dan misi dari organisasi mereka sehingga
dapat menjelaskan ruang lingkup tindakan yang dilakukan di dalam kota.
•
Apa saja keberhasilan atau pekerjaan terbaik yang pernah dilakukan oleh organisasi tersebut
(terkait perubahan iklim)? Idenya adalah untuk mendata pekerjaan-pekerjaan yang pernah
dilakukan dan cerita sukses atau pembelajarannya.
•
Apa saja bahaya iklim yang paling relevan dengan bidang organisasi ini? Tanyakan bagaimana
organisasi berinteraksi dan memberikan dampak terhadap lingkungan sekitar. Mereka
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
45
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
harus mendata bahaya-bahaya akibat perubahan iklim yang paling relevan dengan lingkup
pekerjaannya.
•
Apa saja tantangan yang dirasakan oleh organisasi dalam menghadapi isu-isu yang berkaitan
dengan perubahan iklim? Tanyakan tantangan yang dihadapi oleh organisasi baik secara
internal maupun eksternal. Tantangan ini harus berhubungan dengan visi misi dan kegiatan
yang dilakukan organisasi; hal ini dapat membantu dalam mengidentiikasi cara untuk
meningkatkan kapasitas dan efektiitasnya.
•
Apa tujuan yang harusnya dapat dicapai melalui inisiasi Pengembangan Kapasitas? Kapasitas
apa yang ingin ditingkatkan? Tanyakan kepada organisasi tujuan-tujuan yang ingin dicapai jika
memiliki peluang untuk mendapatkan pelatihan pengembangan kapasitas yang berhubungan
dengan bahaya iklim.
F.3 Analisis hasil wawancara
Tim peneliti harus dapat menghasilkan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat)
dari setiap organisasi yang diwawancarai. Analisis SWOT harus dapat menjawab pertanyaan dan
menilai situasi dari setiap organisasi berikut ini:
•
Apakah organisasi memiliki kelemahan atau keterbatasan dalam pemahaman? Contohnya
kurangnya akses terhadap informasi, teknologi, dan sumber daya.
•
Apa kekuatan yang dimiliki oleh setiap organisasi? Contohnya hubungan rekanan saat ini,
kapasitas stafnya, program, kebijakan, hubungan baik dengan masyarakat atau komunitas,
dll.
•
Apa peluang yang hadir terhadap adanya organisasi? Apakah mengenai inisiasi lain, sumber
daya, kapasitas, program nasional yang mungkin bermanfaat bagi mereka?
Apa ancaman yang dihadapi oleh organisasi saat ini?
•
46
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
4.
PENYUSUNAN KAJIAN
RISIKO IKLIM
PANDUAN LANGKAH-LANGKAH IDENTIFIKASI KAPASITAS TATA KELOLA,
KEARIFAN LOKAL
1. Lakukan Kajian untuk Mengetahui Berbagai Peraturan
Lakukanlah kajian untuk mengetahi peraturan-peraturan apa saja yang sudah ada dan dapat
mendukung aksi-aksi perubahan iklim di kota baik secara eksplisit maupun tidak.
Tabel 4.11 Contoh Kajian Peraturan-Peraturan
Nama/No. Peraturan
1. Permen KLHK No.33/Menlhk/Setjen/
Kum.1/3/2016 tentang pedoman
penyusunan aksi adaptasi perubahan
iklim
2. Perda no... tahun ..
Lingkup
Isi
Nasional
Mengatur penyusunan kajian risiko
iklim dan kerentanan serta strategi
adaptasi perubahan iklim di kota.
Kota
Mengatur instalasi biopori/sumur
resapan di kota.
2. Lakukan Kajian untuk Mengetahui Berbagai Peraturan
Saat melakukan wawancara dengan para pelaku kota dan observasi lapangan, kenali dan jelaskan
kearifan lokal yang mendukung kegiatan-kegiatan perubahan iklim. Kearifan lokal menurut UU
No. 32 tahun 2009 adalah nilai-nilai luhur yang berlaku di dalam tata kehidupan masyarakat yang
bertujuan untuk melindungi sekaligus mengelola lingkungan hidup secara lestari. Contohnya
seperti penggunaan kentongan untuk memberikan informasi bencana secara cepat kepada warga
merupakan salah satu bentuk early warning system dalam menghadapi bencana berdasarkan
kearifan lokal setempat.
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
47
48
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
5
REKOMENDASI
UNTUK
MENDUKUNG
PROSES
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
49
5.
REKOMENDASI UNTUK
MENDUKUNG PROSES
5.1 Bagaimana Cara Menyusun Dokumen?
Kajian risiko iklim harus dapat mengikuti panduan di bawah ini. Panduan ini menyediakan format standar
yang dapat membantu untuk menyusun struktur konten dan analisis dari CRA.
1. Executive summary
Executive summary terdiri dari fakta dan tabel yang dapat menyimpulkan isi dari dokumen dan poinpoin penting
2. Pendahuluan
Latar Belakang
a. Kenapa penting untuk menyusun kajian risiko iklim?
b. Penjelasan umum mengenai perubahan iklim di Indonesia (dapat mengacu pada ICCSR
(Indonesia Climate Change Sectoral)
c. Inisiatif kota dalam menghadapi dampak dari perubahan iklim
Tujuan
Kalimat yang menjelaskan tujuan dari penyusunan dokumen CRA, biasanya mencakup:
a. Penilaian variabel iklim kota
b. Identiikasi kerentanan dan kapasitas adaptif dari daerah tertentu (kecamatan/kelurahan)
c. Identiikasi dampak langsung dan tidak langsung dari perubahan iklim di tingkat kelurahan
d. Identiikasi daerah dan komunitas tertentu yang rentan, dan ukuran kerentanan termasuk
kapasitas adaptif dari komunitas terhadap perubahan iklim
e. Identiikasi institusi yang dapat berdampak pada rekomendasi ketahanan dan pembangunan
kota dalam membangun ketahanan kota.
Hasil
a. Karakteristik iklim kota
b. Bahaya iklim dan kerentanan terhadap kejadian ekstrim, dan kapasitas adaptif saat ini
c. Peta kerentanan dan kapasitas adaptif di tingkat kelurahan
d. Sistem pemerintahan yang dapat berdampak terhadap efektiitas dari pelaksanaan program
perubahan iklim
e. Rekomendasi untuk membangun kota yang berketahanan terhadap perubahan iklim
50
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
5.
REKOMENDASI UNTUK
MENDUKUNG PROSES
3.ProilKota
a. Informasi umum (posisi geograi, berdasarkan dokumen kota, dan menampilkan peta kota dan
posisinya di peta Indonesia, administratif kota, sumber daya termasuk SDA, wilayah pesisir,
dan tata guna lahan. Tambahkan jika diperlukan)
b. Kondisi isik dan lingkungan
c. Kondisi demograi dan sosial
d. Kondisi ekonomi
4. Metodologi
a. Metode proyeksi iklim
b. Metode analisis bahaya
c. Metode analisis kerentanan
d. Metode analisis risiko
5. Kondisi iklim historis dan kejadian ekstrim
a. Iklim historis dan kejadian ekstrim
b. Analisis tren perubahan iklim
c. Tren curah hujan
d. Tren suhu/temperatur
• Analisis proyeksi perubahan iklim
•
Dampak perubahan iklim terhadap bioisik dan sosial ekonomi
6. Analisis bahaya
a. Data bahaya yang terjadi di kota beserta penjelasannya dari setiap bahaya
b. Skoring setiap bahaya dan jumlahnya untuk bahaya gabungan
c. Sertakan peta bahaya gabungan
7. Analisis kerentanan
a. Penjelasan indikator terpilih, deinisi dari setiap indikator yang sudah dikategorikan sebagai
IKA atau IKS
b. Tabel perhitungan indikator
c. Klasiikasi kelurahan berdasarkan tingkat kerentanan dan kapasitas adaptifnya
•
Peta IKS, IKA, dan IKR (Indeks Kerentanan)
•
Klasiikasi kelurahan berdasarkan kerentanan dan kapasitas adaptifnya
•
Peta analisis
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
51
5.
REKOMENDASI UNTUK
MENDUKUNG PROSES
8. Analisis Risiko Iklim
a. Klasiikasi kelurahan berdasarkan keterpaparannya terhadap risiko iklim
b. Sertakan: Peta risiko iklim
9. Aspek Kapasitas Institusi
a. Peran dan tanggung jawab institusi
• Pemetaan stakeholder yang berkaitan dengan perubahan iklim
• Analisis peran, tanggung jawab dan ruang lingkup pekerjaan masing-masing institusi, dan
peluang keterlibatan dalam isu perubahan iklim
b. Inisiasi program dalam menghadapi dampak perubahan iklim
• Apa saja peraturan, kebijakan, dan mekanisme untuk mempertimbangkan dampak
perubahan iklim terhadap agenda kota
• Analisis pendanaan untuk pemerintah kota dan nasional serta institusi lainnya
5.2 Bagaimana Cara Membuat Dokumen Advokasi?
Dokumen advokasi meningkatkan kepedulian dan kesadaran untuk melakukan tindakan. Hal ini
berdasarkan fakta dan analisis, tetapi juga menampilkan penjelasan naratif yang mendorong aktoraktor untuk membuat perubahan.
Meskipun penjelasan ilmiahnya terdapat di CRA, dokumen advokasi juga menjelaskan pentingnya
dampak perubahan iklim terhadap kota. Dengan demikian dokumen advokasi perlu disusun dengan
jelas, dan berisi data dan analisis ilmiah, serta penjelasan singkat dan jelas mengenai informasi yang
kompleks.
Meskipun isi dari dokumen CRA cenderung leksibel, penyusun dokumen CRA harus hati-hati dalam
mempertimbangkan target pembaca. Dokumen ini akan menjadi alat utama yang digunakan oleh anggota
tim kota untuk mengembangkan strategi ketahanan kota. Penyusun juga harus mempertimbangkan
hal-hal seperti pengetahuan ilmiah mereka, waktu yang dibutuhkan oleh pembaca untuk membaca
dan memahami dokumen dengan informasi yang cukup panjang, dan ketersediaan tim penyusun CRA
untuk membantu pembaca dalam memahami dokumen. Hal-hal tersebut akan menentukan struktur
dokumen itu sendiri.
Tim penyusun dokumen CRA juga harus memikirkan bagaimana dokumen dapat digunakan dan
bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai contoh, jika dokumen akan berguna sebagai alat bagi para
praktisi lingkungan untuk memahami kerentanan di suatu kawasan, tim penyusun harus dapat
menyesuaikan dengan cara berpikir mereka. Hal ini dikarenakan para praktisi lingkungan biasanya
tidak terlalu membutuhkan dokumen yang bersifat ilmiah, sehingga bahasa dalam dokumen harus
singkat, jelas, dan mudah dipahami. Atau, jika universitas lokal atau LSM mungkin ingin menggunakan
informasi dari CRA, maka dokumen CRA harus memiliki analisis ilmiah yang kuat, mengutip sumber
data, dan informasi lainnya secara rinci.
52
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
5.
REKOMENDASI UNTUK
MENDUKUNG PROSES
5.3 Mengupdate Kajian risiko iklim
Kondisi kota dan lingkungan akan terus berubah, sehingga kajian risiko iklim harus tetap relevan
dengan kondisi yang berkembang. Kajian risiko iklim atau CRA adalah dokumen yang bersifat dinamis,
hal ini berarti bahwa data yang digunakan harus terus diperbarui, sehingga analisis dan peta juga
akan berubah. Untuk kerangka global dan metode penilaian risiko (CRA), dapat dilihat dalam referensi
internasional dari:
Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) Working Group II
http://www.ipcc-wg2.gov/
IPCC adalah lembaga internasional yang menjadi acuan utama dalam penilaian perubahan iklim. IPCC
didirikan oleh dua lembaga PBB (UN); Program Lingkungan PBB (UNEP) dan Organisasi Meteorologi
Dunia (World Meteorological Organization - WMO) pada tahun 1988. Tujuan IPCC adalah untuk
memberikan dasar ilmiah tentang perubahan iklim, termasuk dampaknya terhadap lingkungan dan
sosial-ekonomi, sehingga kota yang dapat memantau perkembangan kerangkanya.
Pada tahun 2012, IPCC merilis Laporan Khusus tentang Mengelola Risiko Kejadian Ekstrim dan Bencana
untuk Meningkatkan Adaptasi Perubahan Iklim (SREX) dokumen: http://ipcc-wg2.gov/SREX/. Dokumen
ini dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan kerangka kerja tentang konsepsi kerentanan,
dampak iklim dan bahaya, dan adaptasi perubahan iklim. SREX telah menggabungkan pendekatan
pengurangan risiko bencana dengan adaptasi perubahan iklim. Kemungkinan besar, kerangka kerja
yang akan diterapkan dalam Laporan Penilaian 5 (AR 5) dari IPCC Kelompok Kerja II Februari 2014.
Untuk referensi nasional, dapat melihat metode lanjutan dari Kementerian Lingkungan Hidup di tingkat
pusat atau Pusat Penelitian Perubahan Iklim Nasional (jika ada).
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
53
5.
REKOMENDASI UNTUK
MENDUKUNG PROSES
FAQ (FREQUENTLY ASKED QUESTIONS)
1. Apa korelasi antara analisis proyeksi iklim dengan analisis bahaya?
Analisis proyeksi iklim dapat digunakan untuk mendeinisikan analisis bahaya di masa
mendatang, namun hanya untuk dua jenis bahaya, yaitu banjir dan kekeringan. Kekurangannya
yaitu skalanya dalam skala kota, bukan kelurahan/kecamatan.
2. Bagaimanamendeinisikanbahayadikota?Kriteriatiapjenisbahaya?
Standar/kriteria bahaya dapat dilihat di Perka BNPB Nomor 2 Tahun 2012, atau mengikuti
standar lembaga/instansi/SKPD setempat.
3. Apa keterbatasan dari analisis proyeksi iklim?
Analisis proyeksi iklim ini hanya melihat satu dari banyak komponen iklim, yaitu presipitasi
(curah hujan). Padahal komponen iklim ada banyak, antara lain temperatur, angin,
kelembaban, dsb. Selain itu, skalanya juga skala kota, bukan kelurahan/kecamatan.
4. Mengapa analisis proyeksi iklim itu penting? Apa prinsip dasarnya?
Penting dilakukan untuk menggambarkan kondisi iklim di masa mendatang untuk kota.
Apakah kota akan mengalami iklim ekstrim yang dapat menyebabkan suatu bencana atau
tidak.
5. Apakah kita dapat menganalisis / proyeksi komponen iklim yang lain selain curah
hujan?
Ya bisa, misalnya temperatur, angin, kelembaban, dan sebagainya. Untuk penjelasan lebih
lanjut bisa menghubungi CCROM IPB.
6. Bagaimana menentukan indikator yang tepat untuk menghitung indeks keterpaparan
dan sensitivitas, dan indikator kemampuan adaptasi?
a. IndikatorKeterpaparan(E)umumnyabanyakmerujukpadakondisiisiksuatuwilayah.
Contoh: Jumlah bangunan di bantaran sungai, luas lahan pertanian sawah
b. Indikator Sensitivitas (S), umumnya banyak merujuk pada kondisi internal masyarakat/
isikdisuatuwilayah.
Contoh: Jumlah keluarga pra-sejahtera, sumber mata pencaharian penduduk
c. Komponen Kapasitas Adaptif (AC), merujuk pada kondisi internal masyarakat maupun
isiksuatuwilayahyangsifatnyapositifataumerupakankekuatanwilayahtersebut.
Contoh: Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, mereka akan semakin memiliki kemampuan
untuk mengatasi konsekuensi perubahan iklim.
54
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
5.
REKOMENDASI UNTUK
MENDUKUNG PROSES
7. Apa dasar utama dalam menentukan nilai bobot masing-masing indikator pada analisis
kerentanan?
Indikator pada analisis kerentanan diberikan bobot berdasarkan justifikasi para ahli dan
kesepakatan pemangku tanggung jawab (stakeholders) kota. Semakin sensitif suatu indikator untuk
menggambarkan kondisi kota, maka bobotnya semakin besar dan berlaku sebaliknya.
8. Bagaimana sesungguhnya korelasi antar proses (analisis proyeksi, bahaya, dan
kerentanan) dalam Kajian Risiko Iklim?
Hasil analisis kerentanan dan analisis bahaya diperlukan untuk melakukan analisis risiko. Pada
prinsipnya, kerentanan suatu kota dipahami sebagai “kondisi internal” dan bahaya sebagai
“kondisi eksternal”. Kondisi internal tersebut mengikat pada proil kota, sedangkan kondisi
eksternal adalah semua komponen yang ada di luar kontrol kota yang dapat mempengaruhi kota
tersebut. Kondisi internal yang rentan apabila dikenai kondisi eksternal yang berbahaya, maka
dapat meningkatkan risiko terkena dampak negatif dari bahaya tersebut. Tingkat risiko yang
ditimbulkan inilah yang diperhitungkan dalam analisis risiko iklim. Misalnya, pada suatu kota yang
proilnyatergolongrentanterjadibanjir,makatingkatrisikokotatersebutterhadapdampakbanjir
lebihtinggidaripadakotadenganproiltidakrentanataukurangrentan.Selanjutnya,proyeksi
iklim dilakukan untuk memperhitungkan pengaruh kondisi iklim masa depan terhadap tingkat
bahaya masa depan (future hazard). Tingkat bahaya masa depan apabila di-overlay dengan
tingkat kerentanan kota maka dapat menghasilkan perkiraan risiko masa depan (future risk).
9. Sejauh mana dokumen kajian risiko iklim ini selaras dengan Sistem Inventarisasi Data
Indeks Kerentanan (SIDIK) dari KLHK?
SIDIK merupakan instrumen untuk mengakses informasi mengenai tingkat kerentanan terhadap
perubahan iklim di suatu daerah secara online. Hasil keluaran dari SIDIK sama dengan hasil
keluaran dalam dokumen kajian risiko iklim (CRA) seperti sistem kuadran yang menunjukkan
tingkatkerentanandaerah,indeksketerpaparandansensitiitas(IKS),sertaindekskemampuan
adaptif (IKA) melalui perhitungan secara otomatis oleh sistem yang sudah dikembangkan. Oleh
karena itu, SIDIK dapat digunakan untuk mengolah data yang hasilnya dapat dideskripsikan dan
dianalisis lebih lanjut di dalam dokumen kajian risiko iklim (CRA). Dengan adanya SIDIK, dapat
mempermudah untuk memperbaharui dokumen kajian risiko iklim (CRA) kota pada tahun-tahun
selanjutnya.
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
55
AD PREMIER BUILDING, 3RD FLOOR SUITE 01
JL. TB. SIMATUPANG NO. 5, RAGUNAN
PASAR MINGGU, JAKARTA SELATAN 12550
PHONE : +62.21.22708939
FAX : +62.21.22708940
INDONESIA.MERCYCORPS.ORG
Mercy Corps Indonesia
MercycorpsID
Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim
56
Download