Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 Proses Pengambilan Keputusan untuk Mengatasi Masalah Pelayanan Perizinan di Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya Nadia Rizki Sabila Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga Abstract People want a public service which is fast, easy and inexpensive. It requires the Department of Human Settlements and Spatial Planning Surabaya to give priority for service quality through increased accountability, professionalism, effectiveness and efficiency. Balanced by a lean organizational structure, decentralized, and dynamic. Decision making becomes the most crucial step in determining each organization in addressing issues of public service. This study aims to describe how the decision making process in Department of Human Settlements and Spatial Planning Surabaya overcomes the licensing service issue. The methods of this study used qualitative methods with descriptive type. The results of this study indicate that the decision making process has been better than ever, it is characterized by the effort of the Department of Human Settlements and Spatial Planning Surabaya in correcting a previous decision by finding the root of the problems in licensing service so it gets the best alternative solution. Keywords: decision making process, service quality, licensing service problem. Pendahuluan Organisasi memiliki kecenderungan historis untuk bergerak ke arah diterapkannya birokrasi. Suatu organisasi yang besar menstimulus berkembangnya birokrasi karena menjadi mekanisme bagi pelaksanaan tugas-tugas administrasi. Dalam perkembangannya, muncul masalah administratif yang memerlukan pengambilan keputusan yang tepat untuk meminimalisir adanya patologi birokrasi dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Dalam penyelenggaraan pemerintahannya, Indonesia menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Asas desentralisasi memberi kewenangan bagi daerah untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahannya sendiri di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat seperti membuat kebijakan daerah, meningkatkan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Perwujudan dari pergeseran sistem pemerintahan yaitu sistem sentralisasi menuju sistem desentralisasi melahirkan otonomi daerah. Kebijakan yang mengatur tentang otonomi daerah tercantum pada Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam hal ini, pemerintah daerah dituntut untuk mengoptimalkan pembangunan daerah yang berorientasi pada masyarakat untuk mempercepat laju pembangunan daerah. Otonomi daerah diselenggarakan dengan prinsip - prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, partisipasi masyarakat dan memperhatikan potensi daerah. Daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengakomodasi kepentingan masyarakat mulai dari perencanaan hingga evaluasi sehingga senantiasa dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat secara berkesinambungan. Kualitas pelayanan yang baik sangat didambakan oleh segenap lapisan masyarakat tanpa diskriminasi status dan gender. Menurut Mardiasmo (2002: 185), lahirnya otonomi daerah yaitu pergeseran dari sistem sentralisasi menuju sistem desentralisasi mencakup beberapa misi yang terkandung dalam otonomi daerah antara lain: 1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. 2. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. 3. Menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk mensejahterakan rakyar agar memiliki kehidupan yang adil dan demokratis. Secara teoritis, otonomi daerah akan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik karena dengan adanya otonomi daerah dapat diciptakan adanya kesetaraan posisi tawar antara pemerintah daerah sebagai penyelenggara jasa pelayanan dengan masyarakat sebagai pengguna jasa. Akan tetapi temuan empiris di beberapa daerah Kabupaten dan Kota menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah belum dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik. Seiring dengan berjalannya otonomi daerah, good governance (pemerintahan yang baik) menjadi isu yang mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan harus 1 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 diganti dengan pola-pola baru dengan prinsip good governance tersebut. Hal ini sebagai langkah pemerintah untuk merespon tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik demi terlaksananya pembangunan secara berdaya guna, berhasil guna, bertanggungjawab, bersih dan bebas dari KKN. Namun pengaruh dari globalisasi menyebabkan good governance tidak lagi memadai untuk memenuhi tuntutan publik. Pelayanan publik masih sarat dengan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Meskipun secara teoritis otonomi daerah dan good governance merupakan konsep besar yang mendukung peningkatan pelayanan publik. Namun, hal ini tidak menjamin bahwa realisasinya sesuai dengan harapan. Buruknya kinerja aparatur pemerintah adalah salah satu faktor yang berpengaruh pada pencapaian keberhasilan dari diberlakukannya otonomi daerah, terutama dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang tepat merupakan faktor keberhasilan pelayanan publik. Permasalahan yang seringkali terjadi terkait lemahnya strategi dalam mengambil keputusan adalah terbenturnya kepentingan pemangku kepentingan yang satu dengan yang lainnya sehingga mengakibatkan buramnya misi dari suatu pelayanan, gagalnya mengantisipasi resiko, dan ketidaktepatan sasaran pada tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengambilan keputusan merupakan proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Pengambilan keputusan mempunyai arti penting bagi maju mundurnya suatu organisasi, terutama karena masa depan suatu organisasi banyak ditentukan oleh pengambilan keputusan sekarang. Unsur utama dalam proses pengambilan keputusan adalah problema atau masalah. Masalah harus segera dituntaskan melalui pengambilan keputusan. Pada umumnya, kesulitan bangsa Indonesia adalah ketidakmampuan mengidentifikasikan masalah yang sebenarnya. Masalah hanya sekadar diartikan sebagai penderitaan atau kesulitan belaka. Namun suatu penderitaan belum tentu masalah. Masalah lebih berarti sebagai bentuk penyimpangan atau ketidaksesuaian dengan apa yang telah kita rencanakan dan kita prediksikan. Masalah itulah yang menjadi langkah dalam pengambilan keputusan. Di dalam kerangka pengambilan keputusan, seseorang harus sadar akan posisinya, apakah sebagai decision maker (pembuat keputusan), decision taker (pengambil/ penentu keputusan) ataukah staffer (pelaksana keputusan). Dan selain itu harus sadar akan tingkatan posisinya: strategi, policy, peraturan, organisasional, operasional dan teknis. (Atmosudirdjo, 1987: 61). Bagi seorang pimpinan, masalah pengambilan keputusan adalah faktor penting yang menentukan kedudukan dan nasib organisasi. Tidak jarang ada pimpinan yang ingin selalu berada pada zona nyaman dan enggan mengambil resiko ketika dihadapkan pada pengambilan keputusan yang besar dan berat resikonya. Salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yaitu Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya memiliki permasalahan dalam pelayanan perizinan yang harus segera diselesaikan dengan pengambilan keputusan yang tepat. Isu strategis yang harus ditangani oleh DCKTR Surabaya adalah terkait implementasi program Surabaya Single Window (SSW) yang belum memuaskan. Tujuan dari diluncurkannya SSW adalah untuk memudahkan masyarakat sebagai pengguna jasa untuk mengurus perizinan dimana saja karena aksesnya mudah yaitu hanya dengan mengakses internet. Citra pelayanan perizinan yang notabene berbelit - belit dan memakan proses yang lama dan panjang secara perlahan diperbaiki sehingga sistem birokrasi yang cenderung hierarkis menjadi pelayanan yang berorientasi pada masyarakat. Perbedaan mendasar antara SSW dengan sistem sebelumnya terletak pada mekanisme pemrosesan izin SSW paralel yang berarti bahwa beberapa izin yang diajukan pemohon dapat diproses secara simultan dan tidak saling tunggu antara izin yang satu dengan izin lainnya. Sedangkan sistem sebelumnya masih menggunakan metode seri. Dengan mekanisme ini diharapkan siapapun dapat mengaksesnya dari mana saja, dengan kepastian mengenai persyaratan, waktu, serta biaya pengurusan. Seluruh proses menggunakan data elektronik. (Reformasi Birokrasi, 2013). Namun, masih banyaknya keluhan masyarakat terhadap program SSW. Sebab walaupun sistemnya online, pemohon perizinan masih diharuskan untuk datang ke UPTSA untuk melengkapi persyaratan yang sudah ditentukan. Selain itu, masih tumbuh suburnya praktek percaloan dan diberlakukannya biaya “settingan” dari oknum – oknum tertentu. UPTSA hanya berlokasi di Surabaya Timur, untuk masyarakat yang berada di luar Surabaya Timur sulit mengaksesnya berakibat pada keengganan masyarakat mengurus perizinan. Kedua permasalahan tersebut berpengaruh terhadap citra kinerja aparatur pelayanan publik tersebut. Keputusan yang telah diambil belum tertangani dengan strategi yang tepat. DCKTR memiliki misi yaitu menyediakan pelayanan publik yang prima berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Dalam hal ini, DCKTR dituntut untuk bekerja secara optimal dalam pelayanan publik. Optimalisasi kinerja tersebut dapat dicapai dengan adanya ketepatan dan kesesuaian pengambilan keputusan dalam mengatasi tantangan organisasi. Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Walikota Surabaya Nomor 28 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan secara Elektronik di Kota Surabaya. Studi terdahulu yang memberikan gambaran terhadap penelitian ini dilakukan oleh Alvin Havianto dan Citra Pandu Ardaneswari. Pertama, skripsi yang ditulis oleh Alvin Havianto dengan judul Studi Deskriptif tentang Strategi Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan 2 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 Publik. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh data bahwa masih banyaknya keluhan yang diterima oleh DCKTR selaku pemberi layanan. Strategi yang dominan digunakan oleh DCKTR guna meningkatkan kualitas pelayanan publik adalah strategi kualitas jasa, strategi penambahan nilai organisasi dan strategi kepuasan pelanggan. Hal yang membedakan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini terletak pada fokus. Pada penelitian sebelumnya, peneliti memfokuskan pada penerapan strategi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di DCKTR berangkat dari masalah keluhan masyarakat terhadap pelayanan perizinan yang diberikan sedangkan penelitian ini bertujuan mendeskripsikan proses pengambilan keputusan oleh DCKTR yang diketahui memiliki masalah terkait pengurusan perizinan. Penelitian ini menjadi pengembangan dari studi terdahulu. Kedua, skripsi yang ditulis oleh Citra Pandu Ardaneswari berjudul Studi Deskriptif tentang Relapse Prevention Strategy yang diterapkan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Jawa Timur. Dalam penelitian ini, strategi yang digunakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Jawa Timur adalah dengan menggunakan action plan dan evaluasi dampak. Hal yang membedakan dengan penelitian kali ini terletak pada fokus dan lokusnya. Pada penelitian sebelumnya dilaksanakan di Badan Pendidikan dan Pelatihan Jawa Timur. Sedangkan pada penelitian ini, lokus yang dipilih yaitu di Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya. Selain itu, pada penelitian sebelumnya peneliti memfokuskan pada penerapan Relapse Prevention Strategy dalam memantau kinerja PNS, sedangkan pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada proses pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah pelayanan perizinan. Ada beberapa alasan penting mengapa proses pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah pelayanan perizinan di DCKTR perlu diteliti lebih lanjut. Mengingat perlu adanya reformasi secara menyeluruh di segala bidang untuk mewujudkan clean government, untuk mewujudkan 3 misi yang terkandung dalam otonomi daerah, pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mengontrol keberhasilan maupun kegagalan strategi pemerintah dalam pelayanan publik dan untuk mewujudkan peningkatan pelayanan dengan aparatur pemerintah daerah yang bebas dari KKN. Jika penelitian ini tidak diteliti, maka kita tidak akan mengetahui apakah keputusan – keputusan yang telah diambil sejalan atau tidak dengan peningkatan kualitas pelayanan perizinan. Berbagai tuntutan dari masyarakat berkaitan dengan pelayanan yang baik dan berkualitas mendorong peneliti untuk melihat lebih jauh mengenai proses pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah pelayanan perizinan di DCKTR Kota Surabaya. Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini yaitu “Bagaimanakah proses pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah pelayanan perizinan di Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya.” Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah pelayanan perizinan di Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Teknik penentuan informan dilakukan secara purposive, dimana informan yang dipilih merupakan pihak yang dianggap paling mengetahui dan memahami tentang permasalahan dalam penelitian ini. Pihak yang paling mengetahui dalam hal ini adalah Kepala Dinas atau Sekretaris, Kepala Bidang Tata Ruang, Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian, Kepala Sub Bagian Keuangan, Kepala Seksi Program dan Perencanaan Teknis, dan Kepala Seksi Pelaksanaan dan Pengawasan. Lalu memilih informan lanjutan dalam rangka penggalian data untuk mendapatkan kedalaman informasi atas rujukan atau rekomendasi dari key person melalui teknik purposive. Dalam hal ini, informan lanjutan yang dimaksud yaitu Kepala Bidang Permukiman dan Kepala Seksi Perizinan Bangunan. Teknik pengumpulan data melalui dokumen, wawancara, dan observasi. Teknik analisis data menggunakan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Teknik pemeriksaan keabsahan data dengan triangulasi data. Proses Pengambilan Keputusan Menurut James A.F Stoner, pengambilan keputusan adalah proses yang digunakan untuk memilih suatu tindakan sebagai cara pemecahan masalah. Sedangkan menurut Sondang P. Siagian bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat. (Hasan, 2002: 10). Dari definisi pengambilan keputusan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengambilan keputusan adalah proses memilih salah satu alternatif terbaik yang dijadikan sebagai cara bertindak untuk menemukan dan menyelesaikan masalah organisasi. Hakikat dari pengambilan keputusan merupakan aspek yang paling penting dari manajemen sebagai suatu karakteristik yang fundamental bagi tindakan administratif. Adapun fungsi pengambilan keputusan antara lain sebagai pangkal permulaan dari semua aktifitas manusia yang sadar dan terarah, baik secara individual maupun kelompok, baik secara institusional maupun organisasional. Fungsi lainnya yaitu sebagai sesuatu yang bersifat futuristik dimana berkaitan dengan masa depan dan efek atau pengaruhnya berlangsung cukup lama. Sedangkan tujuan pengambilan keputusan dibagi menjadi dua bagian yaitu tujuan yang bersifat tunggal dan bersifat ganda. Tujuan yang bersifat tunggal terjadi apabila keputusan yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah. Tujuan lainnya yaitu yang bersifat ganda terjadi apabila keputusan yang dihasilkan menyangkut 3 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 lebih dari satu masalah yang bersifat kontradiktif atau tidak kontradiktif. Sedangkan proses pengambilan keputusan merupakan tahap – tahap yang harus dilalui atau digunakan untuk membuat keputusan. Tahap – tahap ini merupakan kerangka dasar sehingga setiap tahap dapat dikembangkan lagi menjadi beberapa sub tahap yang lebih spesifik dan lebih operasional. Ada tiga tahap proses pengambilan keputusan diantaranya sebagai berikut. A. Penemuan Masalah Tahap ini merupakan tahap dimana masalah harus didefinisikan dengan jelas sehingga perbedaan antara masalah dan bukan masalah menjadi jelas. B. Pemecahan Masalah Tahap ini merupakan tahap dimana masalah yang sudah ada atau sudah jelas kemudian diselesaikan. Langkah – langkah diambil adalah sebagai berikut. 1. Identifikasi alternatif – alternatif keputusan untuk memecahkan masalah 2. Perhitungan mengenai faktor – faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau di luar jangkauan manusia, identifikasi peristiwa – peristiwa di masa mendatang (state of nature) 3. Pembuatan alat untuk mengevaluasi atau mengukur hasil biasanya berbentuk tabel (pay off table) 4. Pemilihan dan penggunaan model pengambilan keputusan C. Pengambilan Keputusan Keputusan yang diambil adalah berdasarkan pada keadaan lingkungan atau kondisi yang ada, seperti kondisi pasti, kondisi tidak pasti, kondisi beresiko dan kondisi konflik. (Hasan, 2002: 22). Hingga saat ini berbagai model tentang pendekatan terhadap pengambilan keputusan telah diperkenalkan oleh para ahli teori pengambilan keputusan. Salah satunya adalah Model Brinckloe (1977) yang dikemukakan oleh Brinckloe. Seseorang eksekutif dapat membuat keputusan dengan menggunakan satu atau beberapa pendekatan sebagai berikut. (Salusu, 2002: 64-66). a. Fakta Seorang eksekutif yang selalu bekerja secara sistematis akan mengumpulkan semua fakta mengenai satu masalah dan hasilnya ialah kemungkinan keputusan akan lahir dengan sendirinya. Artinya fakta itulah yang akan memberi petunjuk keputusan apa yang akan diambil. b. Pengalaman Seorang eksekutif dapat memutuskan boleh tidaknya sesuatu dilaksanakan berdasarkan pengalamannya. Seseorang yang sudah menimba banyak pengalaman tentu lebih matang dalam membuat keputusan daripada eksekutif yang sama sekali belum mempunyai pengalaman apa – apa. c. Intuisi Tidak jarang eksekutif menggunakan intuisinya dalam mengambil keputusan dan tidak jarang keputusan – keputusan itu dikritik sebagai immoral karena kurang mengadakan analisis yang terkendali maka perhatian hanya ditujukan pada beberapa fakta, lalu melupakan banyak elemen penting. d. Logika Pengambilan keputusan yang berdasar logika ialah suatu studi yang rasional terhadap semua unsur pada setiap sisi dalam proses pengambilan keputusan. Unsur – unsur itu diperhitungkan secara matang, semua informasi yang masuk dipertimbangkan tingkat reliabilitasnya. Kemudian, untung rugi dari setiap tindakan yang direncanakan dianalisis secara komprehensif. e. Analisis Sistem Ada banyak pekerjaan yang melibatkan yang melibatkan data yang semakin bertumpuk dan rumit serta memiliki interelasi yang sangat kompleks. Analisis sistem merupakan instrumen tambahan yang tidak boleh dilupakan oleh setiap pejabat. Faktor – Faktor dalam Proses Pengambilan Keputusan Faktor – faktor dalam proses pengambilan keputusan merupakan faktor – faktor yang mempengaruhi jalannya proses yang ditempuh untuk mengambil suatu keputusan. Proses itu bisa terjadi singkat atau melalui analisis yang panjang, memakan waktu berhari – hari, bahkan berbulan – bulan. Sering pula terjadi suatu proses yang telah berjalan lama tiba – tiba dihentikan untuk suatu waktu yang tidak ditentukan, kemudian diteruskan lagi. (Hasan, 2002: 263). Dengan demikian, faktor – faktor dalam proses pengambilan keputusan ini dapat mengidentifikasi hal – hal yang mendukung dan menghambat pelaksanaan dari proses pengambilan keputusan. Adapun faktor – faktor dalam pengambilan keputusan, antara lain adalah keadaan intern organisasi, keadaan ekstern organisasi, akurasi pengambilan keputusan dan intelegensi, keterampilan serta kapasitas pembuat keputusan. Peningkatan Pelayanan Perizinan Untuk mengetahui makna peningkatan pelayanan perizinan, maka akan didefinisikan secara terpisah definisi pelayanan, perizinan dan pelayanan perizinan. Definisi pelayanan menurut Gronroos yaitu: “Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan” (Ratminto & Winarsih, 2005: 2). Sedangkan pengertian perizinan menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M Ten Berge adalah pengikatan – pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang – undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk 4 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 menghalangi keadaan – keadaan yang buruk dengan tujuan untuk mengatur tindakan – tindakan agar dapat melakukan pengawasan sekadarnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian pelayanan perizinan adalah upaya mengatur kegiatan – kegiatan yang memiliki peluang menimbulkan gangguan pada kepentingan umum. (Sutedi, 2011: 171). Banyak pelaku usaha yang mengeluh karena kekecewaan mereka terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh birokrasi perizinan, seperti tidak adanya transparansi biaya dan prosedur, prosedur yang berbelit, tingginya biaya yang dikeluarkan, dan diskriminasi terhadap golongan tertentu. Untuk itulah diperlukan sosialisasi – sosialisasi yang akan lebih menebalkan budaya dengan landasan – landasan etik moral yang kuat. Upaya – upaya ini memerlukan waktu lama dan mengharuskan adanya komitmen terhadap pendidikan yang paling mendasar. (Sutedi, 2011: 49). c. Koneksi Internet yang bermasalah Aktifitas kerja yang dilaksanakan oleh aparatur DCKTR menggunakan komputer dengan fasilitas internet untuk memproses pelayanan perizinan dan berkoordinasi dengan Dinas – Dinas terkait. Maka dari itu, sarana dan prasarana menjadi faktor utama penunjang kelancaran pengurusan perizinan. Koneksi internet harus cepat, lancar dan stabil sebab mempengaruhi kinerja masing – masing pegawai. d. Kurangnya Minat Warga terhadap Pelayanan Perizinan melalui SSW Hal ini disebabkan beberapa masyarakat belum mengerti alur proses perizinan SSW, tidak memahami penggunaan teknologi dan kurangnya sosialisasi yang menyeluruh pada warga Surabaya. Namun, perkembangan SSW sudah cukup baik dilihat dari semakin bertambahnya jumlah berkas yang masuk di DCKTR. Proses Pengambilan Keputusan Pengamatan Situasi Dengan diluncurkannya SSW, nyatanya masih ada keluhan masyarakat terhadap pelayanan perizinan yang lama, mahal dan rumit. Masalah ini merupakan implikasi dari ketidakpercayaan diri diantara pegawai membuat mereka begitu takut untuk membuat keputusan di luar peraturan yang ditetapkan. Sikap sangat patuh terhadap keadaan rutin merupakan mekanisme pertahanan terhadap perasaan tidak aman. Perubahan prosedur merupakan ancaman terhadap cara seseorang mengatasi kekhawatirannya sehingga harus sedapat mungkin ditolak. Itulah sebabnya meskipun para pegawai tahu bahwa prosedur yang ada bertele – tele dan sama sekali tidak efisien, mereka tetap tidak punya keberanian untuk menciptakan prosedur yang mudah. (Kumorotomo, 2013: 282-283). Dalam konteks penelitian ini, penyebab masalah pelayanan perizinan disebabkan oleh beberapa hal antara lain a. Pelayanan Perizinan yang Melibatkan Banyak SKPD Terkait Banyaknya dinas – dinas terkait yang memiliki andil dalam melaksanakan pengurusan perizinan. Satu dinas dengan dinas lainnya terkadang memiliki kebijakan yang berbeda, sehingga koordinasi menjadi faktor penting untuk menyelenggarakan pelayanan perizinan secara efektif. Sebagai contoh, SKPD lainnya tidak mengimbangi rekomendasi secara tepat waktu, hal ini yang menyebabkan pengurusan perizinan menjadi agak lama sebab harus menunggu rekomendasi dari dinas – dinas terkait. b. Pemohon Perizinan Diharuskan untuk Datang ke UPTSA Walaupun pendaftaran pengurusan perizinan berbasis online, namun untuk memprosesnya pemohon perizinan masih harus datang ke UPTSA untuk memberikan berkas – berkas persyaratan proses pengurusan perizinan (memverifikasi dan memvalidasi kebenaran data), hal ini yang menjadi keluhan masyarakat yang menginginkan pelayanan yang mudah dan cepat dengan proses online secara keseluruhan. Pengembangan Alternatif Setelah mengamati situasi dengan mendefinisikan masalah, mendiagnosis penyebabnya dan menentukan tujuan keputusan maka tahap selanjutnya dalam proses pengambilan keputusan adalah pengembangan alternatif. Pengembangan alternatif di DCKTR untuk mengatasi masalah pelayanan perizinan adalah dengan menyediakan fasilitas meeting point dan call center untuk menanyakan posisi berkasnya dan informasi tentang status tanah. Dengan adanya pelayanan perizinan berbasis online ini, jaringan internet dan server merupakan hal yang paling vital. Prosesnya lebih mudah daripada sebelum SSW terbentuk yaitu dengan men-scan dan mengirim file tersebut dari rumah, selanjutnya datang ke UPTSA untuk memverifikasi kebenaran dokumen lalu diproses dengan mengukur di bidang pemetaan, dibuatkan SKRK di bidang tata ruang, lalu mengurus IMB di bidang perizinan bangunan. Evaluasi Alternatif dan Pemilihan Solusi Terbaik Tahap selanjutnya dalam proses pengambilan keputusan yaitu evaluasi alternatif dan pemilihan solusi terbaik. Untuk mendapatkan solusi terbaik, salah satu langkahnya yaitu dengan mengevaluasi pengambilan keputusan sebelumnya dan keputusan saat ini sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mengefektifkan keputusan dengan hasil yang sesuai harapan. Berikut pengambilan keputusan sebelumnya dan pengambilan keputusan saat ini terkait implementasi SSW. Tabel III.1 Pengambilan Keputusan (Implementasi Surabaya Single Window SSW) Pengambilan Keputusan Pengambilan Keputusan Sebelumnya Saat Ini - Sosialisasi melalui - Mensosialisasikan radio, media massa, lebih jelas lagi kepada dan website. warga Surabaya - Menyediakan meeting point, sms gateway dan 5 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 alamat email untuk berinteraksi - Meluncurkan mobil pelayanan keliling Diolah dari: Hasil Wawancara Dilihat dari perkembangannya, SSW bisa dikatakan berhasil menarik minat warga Surabaya ditandai dengan adanya penambahan jumlah berkas perizinan yang masuk. Namun implementasi SSW masih dirasa kurang memuaskan, SSW sudah mensosialisasikan pelayanan perizinan berbasis online ini melalui radio, media massa dan website. Namun, nyatanya pemohon perizinan masih mengalami kesulitan dalam mengurus perizinan secara online. Evaluasi alternatif dan solusi terbaik yang dipilih oleh DCKTR yaitu pertama dengan mensosialisasikan lebih jelas lagi kepada masyarakat terkait pelayanan perizinan melalui SSW sebab inovasi pelayanan perizinan memang harus disosialisasikan secara terus menerus agar diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga layanan yang makin mempermudah pengurusan perizinan ini dapat diketahui dan digunakan oleh masyarakat pemohon perizinan. Kedua, dengan memperkuat koordinasi dengan Dinas – Dinas terkait. DCKTR bekerjasama dengan Dinas Pelayanan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Bina Marga, Dinas Perhubungan, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, rumah sakit, dan puskesmas. Ketiga yaitu dengan menggunakan keahlian dari tenaga kontrak untuk memperbaiki jaringan internet sebab internet menjadi salah satu sarana penunjang kegiatan kerja yang mempengaruhi kecepatan dan keefektifan pelayanan perizinan. Keempat, agar memudahkan masyarakat Surabaya dalam mengurus izin yaitu dengan berinovasi menghadirkan mobil pelayanan keliling untuk memudahkan akses masyarakat dalam pengurusan perizinan dan melayani pemohon perizinan yang mengalami kesulitan mendaftar dan mengurus perizinan secara online melalui SSW. Jika dilihat dari model pengambilan keputusan Brinckloe, maka pengambilan keputusan DCKTR dalam mengatasi masalah implementasi SSW cenderung menggunakan pendekatan pengalaman dan analisis sistem dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah pelayanan perizinan. Dalam hal ini Kepala Seksi Perizinan Bangunan menjelaskan bahwa pelayanan perizinan sebelumnya masih kurang efektif karena seringkali dikeluhkan masyarakat terkait prosesnya yang lama dan berbelit – belit. Dengan demikian DCKTR bersama dengan Pemkot Surabaya meluncurkan suatu sistem perizinan online yang dinamakan Surabaya Single Window (SSW) sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Implementasi SSW ini bergerak dalam suatu sistem yang menghubungkan Dinas yang satu dengan Dinas terkait lainnya. Selain itu juga semua pegawai difasilitasi dengan komputer dan jaringan internet untuk mempermudah dan mempercepat proses pelayanan perizinan. Proyeksi Implementasi Keputusan dan Monitor Hasil Proyeksi implementasi keputusan dan monitor hasil adalah pelaksanaan yang diharapkan dari suatu keputusan tertentu dan hasil yang diinginkan melalui tahap - tahap pengawasan. Proyeksi implementasi keputusan dan monitor hasil terdiri dari perencanaan implementasi, implementasi rencana dan monitor hasil. Perencanaan implementasi untuk mengatasi masalah pelayanan perizinan yaitu dengan sosialisasi terkait pengurusan perizinan SSW melalui media massa, membangun hubungan baik dengan Dinas – Dinas terkait, memperbaiki jaringan di setiap komputer, dan diluncurkannya mobil pelayanan keliling. Implementasi rencana yang diinginkan yaitu dengan sosialisasi dengan masyarakat, koordinasi dengan pihak – pihak terkait, perbaikan sarana dan prasarana penunjang kegiatan kerja, dan menghadirkan mobil pelayanan keliling bagi masyarakat yang kesulitan mengakses internet. Dengan demikian hasil yang ingin dicapai dari keputusan yang diambil yaitu agar masyarakat mendapatkan kemudahan mengurus perizinan di DCKTR. Faktor – Faktor dalam Proses Pengambilan Keputusan Faktor - faktor dalam proses pengambilan keputusan adalah faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan dalam mengambil sebuah keputusan. Faktor – faktor yang dimaksud mencakup faktor pendukung dan penghambat dalam proses pengambilan keputusan. Faktor pendukung diselaraskan dengan hasrat untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Sedangkan faktor penghambat merupakan segala hambatan yang mempengaruhi keberhasilan dalam mencapai tujuan dan sasaran, dengan demikian diperlukan pengambilan keputusan yang tepat agar faktor penghambat ini bisa menjadi langkah untuk mengevaluasi dan memperbaiki organisasi. Jika dikaitkan dengan teori pengambilan keputusan, faktor – faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan adalah keadaan intern organisasi, keadaan ekstern organisasi, ketersediaan informasi dan kecakapan pengambil keputusan. Untuk mengetahui keadaan intern organisasi di DCKTR, peneliti mengidentifikasi anggaran yang tersedia bahwa anggaran yang dialokasikan mengalami peningkatan, namun penyerapan anggaran masih belum memuaskan karena masih belum mencapai target yang diinginkan. Keadaan ekstern organisasi mencakup keadaan ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya yang berada di luar organisasi. Pemerintah kota Surabaya berencana untuk membangun sarana infrastruktur transportasi pada tahun 2014. Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi akselerasi pertumbuhan ekonomi di kota Surabaya, seiring dengan adanya harapan akan pemulihan kondisi perekonomian global. (Pemerintah Kota Surabaya, 2012). Keadaan sosial di 6 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 Surabaya dicerminkan oleh sikap pergaulan yang sangat egaliter, terbuka, berterus terang, kritik dan mengkritik merupakan sikap hidup yang dapat ditemui sehari-hari. Keadaan politik di Surabaya merupakan resonansi dari konsolidasi demokrasi di Indonesia. Sejak Indonesia menempuh jalur transisi demokrasi, kegiatan masyarakat sipil semakin meningkat. Iklim baru reformasi politik, telah mendorong bertumbuhnya organisasi kemasyarakatan baru, yayasan-yayasan, dan perkumpulan - perkumpulan warga. Keadaan hukum di Surabaya terkait peraturan daerah yang ada belum disusun secara komprehensif dan partisipatif sehingga mengakibatkan tumpang tindihnya kebijakan yang ada di Kota Surabaya dan menimbulkan interpretasi berbeda yang mengakibatkan terjadinya inkonsistensi. Akurasi Pengambilan Keputusan Dalam hal ini, peneliti mewawancarai enam informan yang diketahui memahami permasalahan penelitian dan dua lainnya merupakan rekomendasi dari informan kunci. Data primer yang digunakan adalah rencana kerja tahun anggaran 2012, laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah tahun anggaran 2012 dan 2013, peraturan walikota dan surat keputusan pembuat komitmen. Mengenal Intelegensi, Keterampilan dan Kapasitas Pembuat Keputusan Berdasarkan penelitian di lapangan bahwa integensi, keterampilan dan kapasitas pembuat keputusan berbeda – beda. Ada kepala bidang yang memahami seluk – beluk organisasi keseluruhan, ia menjawab berdasarkan pengalamannya dan informasi – informasi yang didapat dari anggota organisasi yang membuat informan tersebut memahami dengan jelas kondisi DCKTR. Selain itu, ada pula kepala bidang yang tidak mengerti apapun di luar pembahasan tentang bidangnya, hanya memahami sebatas cakupan pekerjaannya. Hal lain yang ditemukan yaitu ada kepala bidang yang baru menjabat tidak mengerti secara jelas dan spesifik kondisi organisasi secara keseluruhan bahkan di bidang yang ia tangani. Faktor – faktor dalam proses pengambilan keputusan ini menjadi aspek yang berpengaruh dalam menentukan keputusan di DCKTR. Dengan demikian, DCKTR berupaya untuk memanfaatkan faktor – faktor pendukung yang ada dan menjadikan faktor penghambat sebagai bahan koreksi dan perbaikan agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik. Peningkatan Pelayanan Perizinan Transparansi Biaya dan Prosedur Transparansi terkait biaya dan prosedur ditandai dengan adanya meeting point. Meeting point merupakan ruang khusus yang ditujukan oleh pemohon perizinan yang ingin berinteraksi perihal pelayanan perizinan (pengecekan berkas, pemberian saran dan kritik terhadap pelayanan yang diberikan, ketidakpahaman informasi pelayanan perizinan). Fasilitas ini memudahkan masyarakat karena masyarakat dapat bertanya secara langsung dengan petugas – petugas DCKTR yang siap membantu masyarakat pemohon perizinan. Adapun kesalahpahaman antara DCKTR dan pemohon perizinan terjadi karena kurangnya interaksi masyarakat terhadap DCKTR. Dinas ini sendiri sudah memberikan kemudahan dengan memberikan nomor, alamat email dan website yang bisa diakses. Kontak pemohon perizinan harus dipastikan lagi apakah benar – benar bisa dihubungi untuk menghubungkan antara pihak pemberi layanan dan penerima layanan. Perbaikan pelayanan masih perlu dilakukan seiring perkembangan jaman dan keterbukaan pola pikir masyarakat. Keluhan – keluhan masyarakat nantinya ditampung dan kemudian DCKTR mengevaluasi perbaikan dan perubahan pengambilan keputusan untuk mengefektifkan pelayanan perizinan yang diberikan. DCKTR secara terus menerus mengupayakan untuk memudahkan masyarakat terhadap pelayanan perizinan. Masing – masing aparatur sudah bekerja optimal. Prosedur – prosedur pelayanan perizinan sudah terbuka. Peraturan – peraturan dapat dibaca di website Pemkot Surabaya. Masyarakat dapat mengunduh sendiri dengan mudah. Kemudahan Prosedur Berdasarkan jurnal Doing Business (2012) di Indonesia, beberapa pemerintah daerah telah mempergunakan himbauan nasional untuk menyederhanakan persyaratan perizinan di daerah sebagai landasan untuk melakukan penggabungkan prosedur - prosedur, memberlakukan batasan waktu yang wajib dipatuhi dan meniadakan atau mengurangi biaya yang berlaku untuk perizinan di tingkat daerah. Surabaya Single Window (SSW) adalah inovasi baru pelayanan perizinan yang hadir sebagai tuntutan masyarakat terhadap pelayanan perizinan yang cepat, mudah dan terjangkau oleh masyarakat. Pengambilan keputusan sebelumnya masih kurang efektif dalam meningkatkan pelayanan publik yang berkualitas sebab walaupun sudah diluncurkannya SSW, nyatanya masih terdapat keluhan masyarakat terkait proses pengurusan perizinan yang lama dan berbelit – belit. Sebelum memulai pendaftaran perizinan online, pemohon perizinan harus melengkapi berkas – berkas antara lain: 1. Soft copy ktp, 2. Soft copy tanda lunas PBB dan SPPT tahun terakhir, 3. Soft copy tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah yang telah disahkan, 4. Soft copy surat pernyataan keabsahan dan kebenaran dokumen 5. Soft copy akta pendirian badan dan/ atau perubahannya yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang 6. Soft copy surat kuasa penunjuk batas dan KTP penerima kuasa 7 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 7. 8. Soft copy surat keterangan Lurah dan Camat Gambar rancang bangun yang terdiri dari gambar situasi, denah, dan tampak dengan format Auto CAD 9. Gambar rancang bangun yang ditandatangani oleh pemilik format Auto CAD, penanggung jawab format Auto CAD, tanpa gambar dan perhitungan konstruksi 10. Gambar rancang bangun terdiri dari gambar situasi, gambar lay out, denah, tampak, potongan (skala 1:100/ 1:200), gambar rencana pondasi, sanitasi, dan rencana atap (skala 1:100/ 1:200), gambar konstruksi (skala 1:100) dan detail (skala 1:50, 1:20, 1:10). 11. Foto bangunan yang sudah berdiri 12. Analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan 13. Rekomendasi Andalalin dari Dinas Perhubungan 14. Rekomendasi Drainage dari DPUBMP 15. Fotocopy berita acara serah terima administrasi prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial 16. Rekomendasi cagar budaya dari Dinas Pariwisata 17. Rekomendasi FKUB dan Depag untuk bangunan tempat ibadah Banyaknya persyaratan tersebut seringkali menjadi salah satu keluhan masyarakat terhadap pelayanan perizinan melalui SSW. Pemohon perizinan masih diharuskan untuk datang ke Kelurahan dan Kecamatan untuk mengurus surat keterangan dan juga harus menyertakan gambar rancang bangun dengan Auto CAD. Hal tersebut mengakibatkan kurangnya minat warga terhadap pelayanan perizinan online ini. Selain itu, berdasarkan data LAKIP 2013 menunjukkan bahwa surat berkas perizinan yang masuk lebih banyak dibandingkan dengan yang diterbitkan oleh DCKTR. Di sisi lain, permasalahan koneksi internet yang terputus atau tidak lancar pun seringkali masih dikeluhkan oleh DCKTR yang berakibat pada keterlambatan proses perizinan. Beberapa penyebab masalah pelayanan perizinan disebabkan oleh beberapa hal antara lain 1. Pelayanan Perizinan yang Melibatkan Banyak SKPD Terkait Banyaknya dinas – dinas terkait yang memiliki andil dalam melaksanakan pengurusan perizinan. Satu dinas dengan dinas lainnya terkadang memiliki kebijakan yang berbeda, sehingga koordinasi menjadi faktor penting untuk menyelenggarakan pelayanan perizinan secara efektif. Sebagai contoh, SKPD lainnya tidak mengimbangi rekomendasi secara tepat waktu, hal ini yang menyebabkan pengurusan perizinan menjadi agak lama sebab harus menunggu rekomendasi dari dinas – dinas terkait. 2. Pemohon Perizinan Diharuskan untuk Datang ke UPTSA Walaupun pendaftaran pengurusan perizinan berbasis online, namun untuk memprosesnya pemohon perizinan masih harus datang ke UPTSA untuk memberikan berkas – berkas persyaratan proses pengurusan perizinan (memverifikasi dan memvalidasi kebenaran data), hal ini yang menjadi keluhan masyarakat yang menginginkan pelayanan yang mudah dan cepat dengan proses online secara keseluruhan. Pelayanan perizinan melalui SSW memungkinkan adanya modifikasi dan perbaikan secara terus menerus agar dapat memenuhi perubahan lingkungan internal maupun eksternal organisasi. Hal ini dapat menjadi tantangan bagi DCKTR untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan perizinan lebih baik lagi yaitu dengan memangkas proses sehingga memudahkan persyaratan dan mampu mempercepat pelayanan perizinan. SSW masih memerlukan perbaikan secara terus menerus agar memiliki daya saing dan bisa menyetarakan kualitasnya dengan salah satu Best Practice pelayanan perizinan yaitu Singapura. Perlakuan Adil terhadap Pemohon Perizinan Tidak ada perlakuan khusus antara masyarakat pemohon perizinan, mereka diperlakukan adil. DCKTR berupaya agar pelayanan dapat memudahkan setiap masyarakat. Hambatan dari pelaksanaan pelayanan yang adil Sebagai contoh kasus untuk pelayanan perizinan, ketika dicek di lapangan yang semestinya tidak diperbolehkan namun nyatanya bisa. Setelah diusut ternyata ada biaya settingan oleh pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab. DCKTR sangat rawan terhadap kecurangan perilaku aparat. Maka dari itu, masing – masing pegawai harus saling mengingatkan agar semua masyarakat dapat mendapatkan pelayanan yang mudah, murah dan berkualitas tanpa memberikan imbalan. Kendala lainnya terkait pengurusan IMB yang seringkali tertunda dikarenakan oleh keterlambatan rekomendasi dari Dinas – Dinas terkait. Harus ada koordinasi yang kuat antara pihak – pihak terkait agar tidak merugikan masyarakat. Hubungan yang baik antara pemberi layanan dan penerima layanan juga harus dijaga sebab mempengaruhi kepercayaan publik terhadap birokrasi pelayanan. Kesimpulan Pada pengambilan keputusan sebelumnya, DCKTR sudah mensosialisasikan SSW melalui radio, media massa, dan website. Dilihat dari perkembangannya, SSW bisa dikatakan berhasil menarik minat warga ditandai dengan adanya penambahan jumlah berkas perizinan yang masuk. Namun implementasi SSW masih dirasa kurang memuaskan, SSW masih memerlukan perbaikan secara terus menerus agar memiliki daya saing dan bisa menyetarakan kualitasnya dengan salah satu Best Practice pelayanan perizinan yaitu Singapura. Model pengambilan keputusan yang digunakan oleh para pengambil keputusan di DCKTR 8 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 dalam mengatasi masalah pelayanan perizinan cenderung menggunakan pendekatan pengalaman dan analisis sistem dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah pelayanan perizinan. Dalam hal ini Kepala Seksi Perizinan Bangunan menjelaskan bahwa pelayanan perizinan sebelumnya masih kurang efektif karena seringkali dikeluhkan masyarakat terkait prosesnya yang lama dan berbelit – belit. Dengan demikian DCKTR bersama dengan Pemkot Surabaya meluncurkan suatu sistem perizinan online yang dinamakan Surabaya Single Window (SSW) sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Implementasi SSW ini bergerak dalam suatu sistem yang menghubungkan Dinas yang satu dengan Dinas terkait lainnya. Selain itu juga semua pegawai difasilitasi dengan komputer dan jaringan internet untuk mempermudah dan mempercepat proses pelayanan perizinan. Masalah pelayanan perizinan muncul karena masih adanya keluhan masyarakat akan pelayanan perizinan yang diberikan. Adapun beberapa keluhan yang muncul selama implementasi SSW antara lain melibatkan banyak SKPD terkait (proses pelayanan perizinan yang membutuhkan rekomendasi – rekomendasi dari Dinas – Dinas terkait seringkali molor), pemohon perizinan yang masih harus datang ke UPTSA sebagai persyaratan proses pengurusan perizinan (keseluruhan proses perizinan tidak secara online), koneksi internet yang merupakan fasilitas utama aktifitas kerja seringkali tidak lancar atau bahkan mati, dan kurangnya minat warga terhadap pelayanan perizinan melalui SSW. DCKTR sudah dapat mengamati situasi terhadap masalah pelayanan perizinan dengan mendiagnosis penyebabnya yaitu prosedur perizinan yang masih berbelit – belit, maka tujuan keputusan yang diambil adalah memberikan pelayanan perizinan yang dapat memudahkan masyarakat. Alternatif yang dikembangkan oleh DCKTR yaitu dengan mensosialisasikan lebih jelas lagi kepada masyarakat, memperkuat koordinasi dengan Dinas – Dinas terkait, menggunakan keahlian dari tenaga kontrak untuk memperbaiki jaringan internet dan menghadirkan mobil pelayanan keliling. Dengan keputusan – keputusan demikian diharapkan dapat memudahkan pengurusan perizinan di DCKTR. Secara garis besar, DCKTR sudah dapat memperhitungkan secara matang, semua informasi yang masuk yang kemudian mengidentifikasi untung rugi dari setiap tindakan yang direncanakan dan dianalisis secara komprehensif sehingga dapat menghasilkan suatu keputusan yang tepat. Saran Keputusan dalam mengatasi masalah pelayanan publik di DCKTR Kota Surabaya ini telah berkembang dengan baik daripada tahun - tahun sebelumnya, namun masih terdapat kekurangan yang perlu mendapatkan perbaikan untuk lebih meningkatkan kemampuan dalam pengambilan keputusan agar rencana kerja organisasi tercapai dengan baik. Hal - hal yang perlu diperbaiki adalah: Sosialisasi dengan masyarakat tentang SSW masih perlu dilakukan dan juga mensosialisasikan perihal pentingnya berkonsultasi dengan DCKTR sebelum membangun gedung atau permukiman. Pengawasan terhadap kinerja masing – masing individu harus tetap diutamakan, jika ada pegawai yang kurang kompeten maka harus segera diberikan pelatihan atau melakukan rolling pegawai. Selain itu komitmen, komunikasi, koordinasi dan konsistensi dari anggota organisasi DCKTR sudah cukup baik dan perlu dijaga dengan baik. Menyatukan pemikiran dengan Dinas – Dinas terkait sehingga koordinasi dapat diperkuat dalam rangka menyukseskan penyelenggaraan pelayanan publik yg prima. Merekrut pegawai masih perlu dilakukan agar komposisi pegawai seimbang dengan beban kerja yang ada. Agar pelaksanaan pelayanan perizinan melalui mobil pelayanan keliling dapat dijadwalkan dengan tersebar di semua wilayah Surabaya. Proses perizinan melalui SSW perlu lebih disederhanakan kembali sehingga memudahkan persyaratan dan mampu mempercepat pelayanan perizinan. Daftar Pustaka BUKU Atmosudirdjo, Prajudi. 1987. Beberapa Pandangan Ilmu tentang Pengambilan Keputusan (Decision Making). Jakarta: Ghalia Indonesia. Denhardt, Robert dan Janet. 2003. The New Public Service: Serving Not Steering. New York: M.E Sharpe. Inc. Hasan, Iqbal. 2002. Pokok – Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hasan, Iqbal. 2002. Teori Pengambilan Keputusan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Ibrahim, Amin. 2008. Teori dan Konsep Pelayanan Publik serta Implementasinya. Bandung: CV. Mandar Maju. Ivancevich, Donnelly, and Gibson. 2004. Fourth Edition Management (Principles and Function). Delhi: A.I.T.B.S Publishers & Distributors (Regd.). Koch, Richard. 2005. Pedoman dari The Financial Times, Strategi Cara Menciptakan dan Menyajikan Strategi yang Bermanfaat. Batam: Interaksara. Kumorotomo, Wahyudi. 2013. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : Andi Offset. 9 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 Moleong, J. Lexy. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Noorjaya, Tika., ed. 1993. Pendayagunaan Sumber Daya Manusia secara Manusiawi. Jakarta: Erlangga. Nugroho, Riant. 2012. Public Policy. Jakarta: PT. Elex Media Computindo. Ratminto dan Atik Septi Winarsih. 2005. Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter, dan Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Salusu, J. 2002. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta: Grasindo. Sudarso. 2010. Metode Penelitian Sosial. Suyanto dan Sutinah (Eds). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sutarto. 2006. Dasar-Dasar Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sutedi, Adrian. 2011. Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik. Jakarta: Sinar Grafika. Wahjono, Sentot Imam. 2010. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu. INTERNET Doing Business. Urus Izin Usaha di Singapura Cukup 1 Hari. (http://bahasa.doingbusiness.org/~/media/FPD KM/Doing%20Business/Documents/Subnatio nal-Reports/DB12-Indonesia-bahasa.pdf, diakses pada 12/4/14) Eko Prasojo. Yuk, Intip Bedanya PNS di Indonesia dengan Australia. (http://ekoprasojo.com/?p=671, diakses pada12/4/14) Herubudiana. 2010. ISO 9001:2008 Sistem Manajemen Mutu. (http://herubudiana.staff.umm.ac.id/2010/03/1 1/iso-9001-2008-sistem-manajemen-mutu/, diakses pada 19/4/14) Media Harian Tebengan. 2014. Membangun Aparatur sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik. (http://media.hariantabengan.com/index/detail /id/37414, diakses pada 27/3/14) Pemerintah Kota Surabaya. 2011a. Bab II. Keadaan Umum. (http://lh.surabaya.go.id/profile%20kehati/201 1/3.%20BAB%20II%20Keadaan%20Umum.p df, diakses pada 19/4/14). Pemerintah Kota Surabaya. 2011a. Bab III. Kondisi Umum. (http://www.surabaya.go.id/pdf/rpjp/BAB%20 III%20Kondisi%20Umum.pdf, diakses pada 19/4/14) Pemerintah Kota Surabaya. 2012b. Penetapan Indikator Kinerja Daerah. (www.surabaya.go.id/files.php?id=772, diakses pada 19/4/14). Suara Publik News. 2013. Pemkot Surabaya Terus Perbaiki Layanan Pengurusan Ijin. (http://suarapubliknews.net/index.php/pemerin tahan/item/1172-pemkot-surabaya-terusperbaiki-layanan-pengurusan-ijin, diakses pada 30/3/14) NASKAH PRODUK KEBIJAKAN Republik Indonesia. 2013. Peraturan Surabaya Nomor 28. Sekretariat Surabaya. Republik Indonesia. 2013. Peraturan Keuangan Republik Indonesia 32/PMK/.02/2013. Sekretariat Jakarta. Walikota Negara. Menteri Nomor Negara. LAPORAN PENELITIAN Ardaneswari, Citra Pandu. 2012. “Studi Deskriptif tentang Relapse Prevention Strategy yang diterapkan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Jawa Timur.” Jurnal Administrasi Negara. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Havianto, Alvin. 2013. “Studi Deskriptif tentang Strategi Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik.” Jurnal Administrasi Negara. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Steiss, Alan Walter. 2003. “Strategic Management for Public and Nonprofit Organizations (Organizational Decision Making: The Framework for Strategic Management).” Vol. No.102 Pg.21. Journal of The Public Administration and Public Policy. Virginia Polytechnic Institute and State University Blacksburg. USA. 10