REALITAS NIKAH SIRRI (Studi Empiris Masyarakat di Wilayah

advertisement
REALITAS NIKAH SIRRI
(Studi Empiris Masyarakat di Wilayah Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh :
AHMAD ZULFAHMI
NIM : 105043101292
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH
PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2010 M
REALITAS NIKAH SIRRI
(Studi Empiris Masyarakat di Wilayah Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
AHMAD ZULFAHMI
NIM. 105043101292
Di bawah Bimbingan
Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA
NIP. 1957 0312 1985 031003
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH
PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya pergunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 13 Desember 2010
Ahmad Zulfahmi
KATA PENGANTAR
‫ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ‬
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, segala puji dan syukur penulis hanturkan
kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, serta yang
telah memberikan hidayah dan ‘inayat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis hanturkan kepada Nabi Muhammad
SAW, manusia mulia lagi dimuliakan Rabb-Nya, rasul yang menjadi suri tauladan
bagi seluruh umat, dalam membuka gerbang jalan ilmu pengetahuan. Begitupun juga
semoga seluruh keluarga, sahabat, serta seluruh umat yang mengikuti jejak kebenaran
dan kebaikannya senantiasa tercurahkan keselamatan sampai tiba hari pembalasan
kelak.
Dengan tetesan keringat, basuhan air mata, serta beribu-ribu do’a, akhirnya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Realitas Nikah Sirri (Studi
Empiris Masyarakat di Wilayah Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat)”.
Penulisan skripsi ini guna memenuhi dan melengkapi persayaratan untuk mencapai
gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum,
Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebagai hamba yang lemah dan penuh salah, penulis menyadari dan
memaklumi, bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian,
i
skripsi ini merupakan buah atau hasil karya yang maksimal dari penulis, karena
dalam menyelesaikannya tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temui.
Untuk itulah perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada
pelbagai pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik secara moril
maupun materiil. Ucapan terimakasih ini penulis persembahkan kepada yang
terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum beserta para pembantu Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA sebagai ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum beserta Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag sebagai
Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulllah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA yang telah tulus ikhlas membantu dan
membimbing dengan penuh kesabaran, sehingga penyelesaian skripsi ini berjalan
baik.
4. Seluruh Dosen dan Civitas Akademi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Pimpinan dan seluruh pegawai Perustakaan di lingkungan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
6. Ibunda Hj. Umayah dan seluruh Keluarga yang selalu memberikan spirit dan do’a
serta dukungannya dalam menyelesaikan skripsi sekaligus studi di perguruan
tinggi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta..
7. Bapak Drs. H. Abd. Rachman selaku Kepala KUA Kecamatan Kebon Jeruk dan
seluruh staff Kelurahan Kebon Jeruk, yang telah memberikan waktu dan
kesempatan kepada penulis dalam mengadakan penelitian dan memperoleh
informasi.
8. Warga Kebon Jeruk (Ita, Karumi, dan Sari) beserta tokoh masyarakat Kebon
Jeruk (H. Urwah Salim) Dan Amil sekaligus tokoh masyarakat (H. Zarkasih)
yang telah bersedia untuk memberikan informasinya dalam penelitian yang
penulis lakukan.
9. Teman-teman yang telah mensupport penulis dalam menyusun skripsi ini yaitu
Firman, Ibnu, Boy, Hasan, Amarullah Beserta Tim Hadro ISPAM, Fadly dan
Dian Sari yang telah sabar menemani dalam proses penyelesaian skripsi ini.
10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah turut
serta membantu dalam penyusunan skripsi ini dari tahap awal hingga akhir.
Dengan segenap ketulusan dan keikhlasan dari hati yang paling dalam atas
jasa dan bantuan semua pihak, penulis
panjatkan do’a semoga Allah SWT
memberikan balasan pahala yang berlipat dan menjadikannya sebagai amal ibadah
yang tidak akan pernah berhenti mengalir pahalanya hingga akhir hayat.
iii
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
sendiri dan umumnya bagi para pembaca, serta Allah SWT senantiasa selalu
memberikan kemudahan bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 30 November M
Muharram 1431 H
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................... 7
D. Review Studi.............................................................................................. 8
E. Metode Penelitian ...................................................................................... 10
F. Sistematika penulisan................................................................................. 13
BAB II TINJAUAN TEORITIS.......................................................................... 15
A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan................................................... 15
B. Pengertian Nikah Sirri................................................................................ 28
C. Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Nikah Sirri
1) Nikah Sirri Menurut Hukum Islam ....................................................... 29
2) Nikah Sirri Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.... 38
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .................................. 44
A. Letak Geografis Wilayah Kelurahan Kebon Jeruk
Jakarta Barat .............................................................................................. 44
v
B. Kondisi Masyarakat Wilayah Kelurahan Kebon Jeruk
Jakarta Barat .............................................................................................. 45
BAB IV HASIL PENELITIAN ........................................................................... 53
A. Profil Informan Masyarakat Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat............. 53
B. Sekilas Tentang Masyarakat Kel. Kebon Jeruk
Jakarta Barat Terkait Pernikahan Sirri ........................................................ 54
C. Faktor yang menyebabkan pernikahan sirri di Wilayah Kel. Kebon Jeruk
Jakarta Barat................................................................................................ 61
D. Akibat Hukum Yang Ditimbulkan Dari Pernikahan Sirri ............................ 65
E. Analisa Tentang Realitas Nikah Sirri.......................................................... 67
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 70
A. Kesimpulan................................................................................................ 70
B. Saran-saran ................................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 73
LAMPIRAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia adalah mahluk “Zoon Politicon” artinya manusia
selalu bersama manusia lainnya dalam pergaulan hidup dan kemudian
bermasyarakat atau yang biasa disebut adalah makhluk sosial. Hidup bersama
dalam masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa bagi manusia dan hanya
manusia yang memiliki kelainan saja yang ingin hidup mengasingkan diri dari
orang lain. Salah satu bentuk hidup bersama yang terkecil adalah keluarga.
Keluarga ini terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang terbentuk karena
perkawinan
Perkawinan merupakan aspek penting dalam ajaran Islam. Di dalam AlQur’an dijumpai tidak kurang dari delapan puluh ayat yang berbicara soal
perkawinan, baik yang memakai kata nikah (berhimpun) maupun yang memakai
kata Zawwaja (berpasangan).1 Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntunan
kepada manusia bagaimana seharusnya menjalani jalan yang menghantarkan
manusia baik laki-laki maupun perempuan menuju kehidupan yang bahagia
dunia akhirat sesuai dengan ridha Illahi. Karena memang pada dasarnya tujuan
1
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), Cet. ke-1, hal. 1
1
2
daripada perkawinan adalah menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah.
Allah sangat menganjurkan manusia untuk menikah karena pernikahan
tersebut akan mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia. Di antaranya,
Allah akan melapangkan rizki yang baik dan halal untuk hidup berumah tangga,
sebagaimana firman Allah SWT Q.S Al-Nahl (16): 72.
          
(72…:16/ ‫ )اﻟﻨّﺤﻞ‬.    
Artinya: “ Dan Allah Menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagi mu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan
cucu-cucu dan memberimu rizki dari yang baik-baik” . (QS. Al-Nahl
(16): ...72
Proses pernikahan manusia akan menghasilkan regenerasi yang tumbuh
dan berkembang, sehingga dalam kehidupan umat manusia dapat dilestarikan.
Sebaliknya tanpa pernikahan generasi akan berhenti, kehidupan manusia akan
terputus dan duniapun akan berhenti, sepi, dan tidak berarti.2
Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan dinyatakan bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan maha
2
Chaeruddin, Perkawinan, Eksiklopedi Tematis DUNIA ISLAM, (Jakarta, PT. Lehtiar baru
Van Hoeve, t.t), Jilid-1, h. 65
3
esa). pernikahan adalah aqad atau ikatan yang menghalalkan seorang pria dan
wanita hidup bersama sebagai suami isteri” .
Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah “ Mitsaqan galizan” (Perjanjian
yang kuat) …… “dan mereka (Istri-istrimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat” (Surah Annisa’ ayat: 21), istilah ini pun digunakan oleh
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada BAB II pasal 2 yang berbunyi “ Perkawinan
menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
Mitsaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan Ibadah”.
Untuk menciptakan ikatan yang mitsaqan galizan seperti yang dimaksud di
atas selain harus memenuhi memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2) nya yakni
pencatatan pada tiap-tiap perkawinan dengan tujuan untuk menjalin ketertiban
dan kepastian hukum. Namun dalam prakteknya, tak dapat dipungkiri bahwa
sampai sekarang masih sering terjadi pernikahan-pernikahan yang bermasalah
biasanya masalah tersebut cacat atau kekurangan rukun-rukun dan syarat-syarat
perkawinan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh hukum islam dan hukum
Positif. salah satu pernikahan yang bermasalah itu adalah apa yang dikenal
dengan pernikahan Sirri atau nikah dibawah tangan. Biasanya sesuatu yang
sengaja disembunyikan mengandung atau menyimpan masalah, masalah itu
mungkin ada pada diri orang melakukan perkawinan. Mungkin pula pada
ketentuan hukum yang mereka tidak penuhi.
4
Dalam menegakkan supremasi hukum perlu kiranya membangun image
(pandangan) yang positif terhadap efektifitas hukum itu sendiri. Untuk itulah
perwujudan hukum yang baik sangat tergantung pada tiga pilar hukum, yaitu:
1) Aparat Hukum
2) Peraturan Hukum Yang Jelas
3) Kesadaran Hukum masyarakat3
Dilihat dari tiga pilar di atas, penulis tertarik untuk meneliti kesadaran
hukum dari salah satu aspeknya. Emile Durkheim mengemukakan dalam buku
Law In Society, yaitu situasi dimana norma sosial dasar yang memberikan sistem
yang berbeda dengan kebiasaan yang terdahulu, atau dimana mereka bukannya
tidak mengerti dengan jelas terhadap peraturan atau norma-norma yang ada.4
Di Indonesia perkawinan yang tidak bermasalah adalah perkawinan yang
dilakukan menurut perundang-undangan yang berlaku. Bagi orang islam
perkawinan yang tidak bermasalah itu adalah perkawinan yang diselenggarakan
menurut hukum islam seperti yang disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) Undangundang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta dicatat menurut ayat (2) pada
pasal yang sama. Sesuai dengan sunah Rasulullah SAW diumumkan melalui
walimah supaya diketahui orang banyak. Pernikahan yang diatas ketentuan
3
Bustanul Arifin, Kompilasi fiqih dalam Bahasa Undang-undang, (Bandung, CV.
Diponegoro, 1985), h. 28.
4
h. 200.
Adam podgorecki, Law in Society, (London, D van Nostrand Company, Inc, 1974), Cet-1,
5
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebiasaan tersebut diatas dapat
dikategorikan sebagai pernikahan rahasia yang menyimpan masalah. Masalah ini
tidak juga akan berimbas pada status pernikahan itu sendiri.
Nikah sirri adalah pernikahan yang sah menurut agama tetapi “cacat”
menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia karena pernikahannya tidak
dicatatkan oleh (Pegawai Pencatat Nikah) PPN secara resmi. Oleh karena itu
Pemerintah memberikan solusi bagi Umat Islam yang telah melakukan
pernikahannya tanpa atau belum dicatatkan secara resmi untuk segera
melegitmasi pernikahannya dengan yang disebut dengan itsbat nikah.
Akan tetapi di Indonesia pada masa sekarang ini sedang ramai
diperbincangkan tentang nikah sirri setelah pemerintah mengeluarkan peraturanperaturan baru tentang masalah nikah sirri, karena dalam Peraturan-peraturan
baru tersebut ditegaskan bahwa bagi siapa saja yang melakukan nikah sirri baik
yang menikahkan maupun yang di nikahkan akan mendapatkan sanksi pidana.
Oleh karena itu peraturan-peraturan baru itu membuat para pelaku nikah
sirri merasa terdesak dan dirugikan dengan adanya peraturan-peraturan baru
tersebut sehingga mereka menolak dengan berbagai macam alasan yang
membenarkan perbuatan mereka.
Kemudian
seiring
dikeluarkannnya
Pemerintah tentang nikah sirri
peraturan-peraturan
baru
oleh
banyak sekali pro dan kontra di dalam
masyarakat, karena bagi kelompok yang tidak setuju dengan praktik nikah sirri
itu sangat setuju sekali dengan peraturan-peraturan baru tersebut, namun
6
sebaliknya bagi kelompok yang melakukan nikah sirri sangat tidak setuju dengan
peraturan-peraturan baru tersebut.
Berdasarkan kenyataan itulah, mendorong penulis untuk membahas dan mencari
kejelasan mengenai “REALITAS NIKAH SIRRI (Studi Empiris Pada Masyarakat
Kel. Kebon Jeruk Jak-Bar)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Karena luasnya masalah pembahasan mengenai nikah sirri maka pada
pembahasan skripsi ini penulis membatasi hanya menyangkut realitas nikah
sirri yang terjadi pada masyarakat di wilayah kelurahan kebon Jeruk Jakarta
Barat. Adapun masyarakat yang penulis batasi dalam penelitian ini adalah
khusus pada warga masyarakat yang melakukan nikah sirri, Amil, tokoh
masyarakat dan kepala KUA.
2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah pokok yang akan diteliti dan diuraikan
dalam skripsi ini adalah:
1) Bagaimana pandangan masyarakat di wilayah kelurahan Kebon Jeruk
Jakarta Barat terhadap pernikahan sirri?
2) Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat di wilayah kelurahan
Kebon jeruk melakukan nikah sirri?
7
3) Apa akibat Hukum yang timbul dari nikah sirri di wilayah Kelurahan
Kebon Jeruk Jakarta Barat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini yaitu
a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat di wilayah Kel.
Kebon Jeruk Jakarta Barat.
b. Untuk mengetahui Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat di
wilayah kelurahan Kebon jeruk Jakarta Barat melakukan nikah sirri.
c. Untuk mengetahui apa akibat hukum yang timbul dari nikah sirri di
wilayah Kel. Kebon Jeruk Jakarta Barat.
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi Masyarakat
Memberikan serta menambah wawasan tentang nikah sirri bagi masyarakat
Kel. Kebon Jeruk Jakarta Barat.
b. Bagi Penulis
Menambah wawasan tentang Pengembangan dan pengaktualisasian dalam
konteks hukum perkawinan tentang praktik nikah sirri.
8
c. Bagi Pihak Lain
Dapat digunakan sebagai informasi dan sumber ilmu serta memberikan
gambaran tentang praktik nikah sirri yang terjadi pada masyarakat
Kelurahan Kebon Jeruk.
D. Studi Review Terdahulu
Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan
judul proposal, diantaranya adalah sebagai berikut:
Nama penulis / judul /
No
Substansi
Keterangan
Tahun
Siti Jubaedah, Praktek Berisikan
Nikah Sirri ditinjau dari nikah
bahwasanya Praktek nikah sirri dilihat
sirri
Hukum Islam dan UU mempunyai
1
tidak dari hukum Islam dan UU
kekuatan No.1
Th
1974,
serta
No.1 Th 1974 (Studi hukum, bila ditinjau dari perbandingannya.
Kasus Desa Lengkong UU No.1 Th 1974. Tetapi
Karya), 2006. Fakultas mempunyai
Syari’ah dan Hukum.
2
keabsahan
menurut hukum Islam.
Syarif
Hidayatullah, Skripsi ini menjelaskan Mengulas
Hukum
Pengulangan pengulangan Nikah Sirri pengulangan
Nikah Sirri, Perspektik yang
Hukum
Islam
oleh
masyarakat disebabkan
hukum
akad
oleh
yang
Nikah
dan Kedoya menurut hukum Sirri menurut Hukum Islam
9
Hukum Positif. (studi Islam dan hukum positif.
Kasus
Kedoya
dan Hukum Positif.
masyarakat
Kebon
Jeruk
Jak-Bar), 2006. Fakultas
Syari’ah dan Hukum.
Hafizh, Perkawinan di Disni
Bawah
Tangan
Pengaruh
Sengketa
membahas Perkawinan
dan perkawinan
di
di
bawah
bawah tangan dapat menimbulkan
Terhadap tangan berdampak pada persengketaan dikarenakan
Pengadilan sengketa
pengadilan tidak adanyan bukti-bukti
3
Agama Jak-Bar, 2005. Agama,
diantaranya akta surat pernikahan yang
Fakultas Syari’ah dan menuntut hak-hak isteri menguatkan
dan
Hukum.
anak
ketika menuntut hak di pengadilan
perceraian terjadi.
A. Syaadzali, mahalnya Skripsi
Biaya
ini
dalam
Agama.
mengulas, Disini
Pernikahan dengan mahalnya biaya dengan
hanya
membahas
mahalnya
biaya
Sebagai Faktor Pemicu pernikahan sebagai faktor sebagai pemicu seseorang
4
Nikah di Bawah Tangan seseorang
melakukan melakukan nikah di bawah
(studi kasus di KUA nikah si bawah tangan.
tangan,
Kec. Benda Tangerang),
perbandingan hukumnya.
2006. Fakultas Syari’ah
dan Hukum
tidak
ada
10
Berbeda dengan skripsi-skripsi terdahulu, skripsi ini lebih berfokus
pada pembahasan mengenai praktek nikah sirri yang terjadi pada masyarakat
dari aspek sosiologisnya, selain itu dalam skripsi ini lebih menonjolkan aspek
empirisnya dibandingkan aspek normatifnya.
Dari perbedaan tersebut, Penulis merasa yakin bahwa skripsi ini tidak
hanya bersifat normatif saja, akan tetapi lebih bersifat empiris. Namun, daripada
itu titik perbedaan yang penulis dapatkan dari karya tulis lain merupakan data
yang akan mendukung konsep pemikiran dari skripsi ini.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam rangka memperoleh data yang akurat dan valid maka diperlukan
metode yang representatif. Dalam hal ini, penulis menggunakan metode
penelitian dengan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan umum yang
menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif. Karena, pendekatan
kualitatif merupakan pendekatan yang berusaha memahami gejala tingkah
laku manusia menurut sudut pandang subjek penelitian, dan memungkinkan
peneliti memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, memfokuskan
pada proses-proses yang terjadi dalam individu, serta lingkungannya sebagai
satu kesatuan. Hal ini penting agar dapat diperoleh gambaran utuh dari
penghayatan subjek terhadap keadaan yang dialaminya. Metode kualitatif
11
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.5
2. Subyek Penelitian
Subjek atau responden dan narasumber yang dilibatkan dalam penelitian
ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Subyek penelitian adalah warga masyarakat yang mempunyai pengalaman
pribadi terkait dengan praktek nikah sirri.
b. Subyek penelitian bertempat tinggal di wilayah kelurahan Kebon Jeruk
Jakarta Barat.
Jumlah subyek penelitian ini sebanyak 6 orang, hal ini dikarenakan
keterbatasan waktu serta kesulitan peneliti dalam memperoleh kasus dan
informan yang banyak diantara warga masyarakat Kebon Jeruk yang
mempunyai pengalaman pribadi terkait praktek nikah sirri, dan pemilihan
narasumber dalam penelitian ini didasarkan atas tujuan tertentu.
3. Jenis Data dan Sumber Data
Adapun jenis dan sumber data yang digunakan adalah:
a. Data primer diperoleh melalui survey lapangan dan observasi.
b. Data skunder didapat dari studi pustaka yaitu pengumpulan data dengan
cara membaca dan mempelajari buku literature dan teori dibangku kuliah
5
hal. 3
Lexy. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004),
12
serta sumber lainya yang relevan dengan penelitian ini, seperti jurnal yang
terkait dengan penelitian, surat kabar, majalah dan sumber tertulis lainya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Agar di dalam penelitian ini penulis mendapatkan hasil yang sesuai
dengan variable yang akan diteliti, maka teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah:
Wawancara,
Penulis
menggunakan
teknik
wawancara
untuk
memperoleh informasi yang berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan
data-data tentang Realitas Nikah Sirri Pada Masyarakat Kel. Kebon Jeruk JakBar.
5. Teknis Analisis Data
Seluruh data yang penulis peroleh dari wawancara dan kepustakaan
yang diseleksi dan disusun, setelah itu penulis melakukan klasifikasi data,
yaitu usaha menggolong-golongkan data berdasarkan katagori tertentu.
Setelah data-data yang ada diklasifikasi lalu diadakan analisis data, dalam hal
ini data yang dikumpulkan penulis adalah kualitatif, maka teknik analisis data
yang digunakan adalah content analysis atau biasa yang disebut analisis isi.
13
Data-data
yang
telah
terkumpul
diperiksa
kembali
mengenai
kelengkapan jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau
informasi yang biasa disebut editing.
F.
SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penyusunan penelitian ini ialah berformat kerangka outline
dalam bentuk bab dan sub bab, secara ringkas terurai dalam penjelasan berikut :
BAB I
:Pendahuluan
Menerangkan latar belakang masalah, pembatasan-perumusan
masalah, tujuan-manfaat penelitian, studi pendahuluan,
metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II
:Tinjauan Teoritis
Menguraikan pengertian dan dasar hukum pernikahan,
pengertian nikah sirri, tinjauan hukum islam dan hukum
positif terhadap nikah sirri.
BAB III
:Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Bab ini menerangkan tentang letak geografis Kel. Kebon
Jeruk, kondisi Masyarakat Kel. Kebon Jeruk.
BAB IV
:Hasil Penelitian
Dalam bab ini penulis menganalisis tentang profil informan
masyarakat kelurahan kebon jeruk jakarta barat, sekilas
tentang masyarakat kel. kebon jeruk jakarta barat terkait
pernikahan sirri, faktor-faktor nikah sirri di wilayah kel.
14
kebon jeruk jakarta barat, akibat hukum yang ditimbulkan
dari pernikahan sirri, analisa tentang realitas nikah sirri.
BAB V
: PENUTUP
Menguraikan tentang kesimpulan dan saran-saran yang
menjadi penutup dari pembahasan skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian dan Dasar Hukum Nikah
1. Pengertian Hukum
Secara etimologis kata “hukum” berasal dari bahasa Arab yang berarti
“memutuskan” atau “menetapkan” dan “menyelesaikan”. Kata “hukum” dan
kata lain yang berakar pada kata tersebut terdapat dalam 88 tempat dalam AlQur’an, tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti tersebut. kata
hukum itu telah menjadi bahasa baku dalam bahasa Indonesia.1
Dalam memberikan arti secara definitive kepada kata “hukum” itu terdapat
beda rumusan yang begitu luas, termasuk dalam konteks siapa pembuat
hukum itu, apakah pembuat hukum (syar’i)nya Allah SWT, ataukah
sekelompok manusia yang disepakati seperti DPR dan lainnya. Meskipun
demikian dalam arti yang sederhana bahwa dalam konteks si pembuat hukum
sekelompok manusia, maka dapat dikatakan bahwa hukum adalah :
“Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan
1
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fikih dan Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta: Qalbun Salim, 2005), Hal. 9
15
16
diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat
untuk seluruh anggotanya.”2
Sedang dalam konteks pembuat hukumnya (syar’i) Allah, maka hukum itu
adalah :
Artinya: “Firman Allah Ta’ala yang berhubungan dengan perbuatan orang
mukalaf, yang mengandung tuntutan atau membolehkan memilih atau adanya
(suatu hukum) karena adanya yang lain.”3
2. Pengertian Hukum Islam
Istilah “hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia bagaikan
terjemahan Al-Fiqh Al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari Al-Syari’ah
Al-Islamiyah. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat digunakan nama
Islamic Law. Dalam Al-Qur’an maupun Al’Sunah, istilah hukum Al-Islam
tidak dijumpai. Yang digunakan adalah syari’at yang dalam penjabarannya
kemudian lahir istilah fiqh. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai
pengertian hukum Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian syari’ah
dan fiqh.4
2
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2000), Hal. 281
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul fiqh, (Semarang: Toha Putra, 1982), Hal. 19
4
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), Hal. 3
3
17
A. Pengertian syari’ah
secara etimologis syariah berarti “jalan ketempat pengairan” atau
“tempat lalu air sungai”.
5
menurut para ahli defenisi syari’ah adalah: segala
titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang
mengenai akhlak. Dengan demikian “syari’ah itu adalah nama bagi hukumhukum yang bersifat amaliah”.
Walaupun pada mulanya syari’ah itu diartikan “agama” sebagaimana
yang disinggung dalam surah al-Syura: 13 diatas, namun kemudian
dikhususkan penggunanya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini
dimaksudkan karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku universal,
sedangkan syari’ah berlaku untuk masing-masing umat yang berbeda dengan
umat sebelumnya. Dengan demikian syari’ah lebih khusus dari agama.6
B. pengertian fiqh
kata “Fiqh” secara etimologis berarti “paham yang mendalam.” Bila
“paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh
berarti faham yang menyampaikan ilmu zhahir pada ilmu batin, karena itulah
5
6
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul fiqh, (Semarang: Toha Putra, 1982), Hal. 20
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul fiqh, (Semarang: Toha Putra, 1982), Hal. 21
18
Al-Tarmizi menyebutkan, “Fiqh tentang sesuatu” berarti mengetahui batinnya
sampai kepada kedalamannya.7
Secara defenitif, fiqh berarti “Ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang
bersifat amaliah yang digali dan ditentukan dalil-dalil yang tafsili.8
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa, syari’ahlah adalah
segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang
mengenai akhlaq. Dengan kata lain syari’ah itu adalah nama bagi hukumhukum yang bersifat amaliah. Sedangkan fiqih ialah ilmu tentang hukumhukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali ditemukan dalil-dalil yang
tafsili.
Untuk lebih memperjelas dapat kita angkat beberapa pokok perbedaan antara
syari’at dengan fiqih, yakni:

Syari’at berpendapat dalam al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Kalau kita
berbicara tentang syari’at yang dimaksud adalh Firman Allah atau Sunnah
rasul. Fiqih terdapat dalam kitab-kitab fiqh, kalau berbicara tentang fiqih,
maka yang dimaksud adalah pemahaman manusia, dalam hal ini adalah
ahli hukum Islam (Mujtahid) yang memenuhi syarat-syarat berijtihad.
7
8
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul fiqh, (Semarang: Toha Putra, 1982), Hal. 22
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2000), Hal. 2
19

Syari’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup lebih luas dari
fiqh. Sedangkan fiqh bersifat instrumental, lingkupnya terbatas pada apa
yang biasanya disebut perbuatan hukum.

Syari’at adalah ciptaan Tuhan dan Rasulnya, karena itu berlaku abadi.
Sedangkan fiqh adalah karya manusia yang dapat berubah dari masa ke
masa atau sesuai zamannya.

Syari’at hanya satu, dan fiqh beragam (lebih dari satu), sesuai jumlah
aliran hukum yang disebut mazhab.

Syari’at
menunjukkan
kesatuan
dalam
islam.
Sedangkan
fiqh
menunjukkan keragamannya, sesuai dengan jumlah aliran-aliran hukum
atau mazhab-mazhab yang terdapat dalam Islam.
Dari penjelasan di atas, menggambarkan kepada kita bahwa syari’at
dan fiqh hubungannya sangat erat sekali, bias dibedakan tapi tidak dapat
dipisahkan, karena fiqh adalah hasil dari pemahaman dari syari’at, sedangkan
syari’at adalah landasan pemahaman fiqh. Dan untuk memahaminya harus
melalui ilmu fiqh.
Kalau ibarat hukum islam yang kategori syari’at disebutkan Islamic
law, sedangkan kategori fiqh disebut Islamic of yurisprudence. Tetapi di
20
Indonesia namanya hanya satu yakni hukum islam. Tidak ada istilah Indonesia
yang membedakannya.9
Istilah “ahkam” bentuk jamak dari “hukum”. Adapun arti “al-hukmu”
adalah: menetapkan suatu hal atau perkara. Ahkamul khamsah artinya
ketentuan atau lima ketetapan. Pada dasarnya “ahkamul khamsah” erat
kaitannya dengan perbuatan manusia. Menurut Syari’at Islam perbuatan
manusia dapat dihukumkan kepada ketetapan yang lima (ahkamul khamsah).
Menurut imam syafi’I susunan kaidah buruk baik itu ada lima, yaitu yang
terkenal dengan istilah “al-khamsah” (lima golongan hukum). Seluruh
perbuatan manusia dapat dimasukkan dalam satu golongan hukum yang lima
tersebut dan hukum itu adalah:
1. fardh (diharuskan) atau wajib (mesti dikerjakan, ia mendapatkan pahala,
sebaliknya bila ditinggalkan ia berdosa atau dikenakan hukuman. Contoh,
shalat 5 kali dalam sehari, puasa di bulan ramadhan dan sebagainya.
2. sunnah (sudah menjadi adat), mustahab (disukai) atau mandub (dianjurkan)
dengan ketentuan kalau perintah sunnah itu dikerjakan, ia dapat pahala;
sebaliknya jika tidak dikerjakan tidak berdosa. Contoh shalat hari raya,
member sedekah dan sebagainya.
9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2000), Hal. 30
21
3. Mubah ja’iz, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Kalau ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa, kalau dikerjakanpun
tidak berpahala dan tidak berdosa. Contoh, melakukan gerak badan di pagi
hari.
4. makruh (tercela) dengan ketentuan kalau perintah larangan dihentikan
mendapat pujian, sebaliknya jika dilanggar hanya dicela tidak sampai
dihukum. Contoh masuk rumah orang dengan tidak mengucapkan salam.
5. haram, yaitu larangan keras dengan pengertian kalau dikerjakan kita
berdosa atau dikenakan hukuman dan jika ditinggalkan kita mendapat
pahala. Contoh mencuri, menipu dan sebagainya.
3. Pengertian Nikah
Nikah ialah akad yang menghalalkan kedua belah pihak (suami dan
istri) menikmati pihak satunya, pernikahan sangat penting dalam kehidupan
manusia, karena hanyan dengan pernikahan pergaulan hidup manusia baik
secara individu maupun kelompok menjadi terhormat dan halal. Hal ini sesuai
dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat diantara
makhluk-makhluk tuhan yang lain. Dengan melaksanakan pernikahan,
manusia diharapkan dapat memperoleh keturunan yang dapat melanjutkan
kehidupan berikutnya.
22
Pernikahan atau perkawinan mempunyai nilai-nilai kemanusiaan,
untuk memenuhi naluri hidup umat manusia, juga untuk melangsungkan
kehidupan
dengan
menumbuhkan serta
jenisnya,
mewujudkan
ketentraman
hidup,
dan
memupukkan rasa kasih sayang dalam hidup
bermasyarakat. Perkawinan dapat saja berlangsung tanpa adanya kebutuhan
biologis semata, kemungkinan hidup bersama antara seorang laki-laki dan
perempuan, dilakukan tanpa berhubungan suami isteri. Hal ini biasa terjadi
karena kekuatan untuk melakukan hubungan badan tidak selalu ada pada
seseorang dan tidak merupakan syarat untuk bersama. Ini terbukti dan
kenyataan bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang
sudah lanjut usia, bahkan diperbolehkan pula suatu perkawinan “ In extreme”
yaitu pada waktu salah satu pihak sudah hampir meninggal dunia.10
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut
arti majazi atau arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal
hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang
wanita.11
Menurut Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, “perkawinan adalah akad antara
calon suami dengan calon isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang
10
Wirjono projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung, Sumur Bandung, 1981).
H. 7
11
Ramulya idris, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UU No. 1 Tahun 1947,
(Jakarta, Bumi Aksara, 1996), h. 1
23
diatur syari’at”.12 Menurut Sayuti Thalib, SH Berpendapat “Perkawinan itu
ialah perjanijan suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan
perempuan”.13 M. Idris Ramulyo, SH, berpendapat “Perkawinan menurut
Islam adalah suatu perjanjian suci yabg kuat dan kokoh untuk hidup bersama
secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk
keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram,
bahagia dan kekal.14 Wirjono Projodikoro, SH, berpendapat bahwa hidup
bersama sangat penting dalam masyarakat dan mempunyai akibat yang
penting pula. Oleh karena itu diperlukan suatu peraturan untuk hidup bersama
antara seorang laki-laki dengan perempuan yang memenuhi syarat-syarat
dalam peraturan tersebut.15
Prof. Subekti, SH juga menyatakan bahwa perkawinan adalah
pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
waktu yang lama. Kitab Undang-undang hukum perdata sendiri tidak
memberikan definisi secara jelas tentang perkawinan. Hanya dalam pasal 26
kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan bahwa Undang-undang
12
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta, PT. Hidakarya Agung, 1996),
cet-15, h. 1
13
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (berlaku bagi umat Islam), (Jakarta, UI
Press, 1974), Cet-1, h. 47
14
M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum
Perkawinan Islam, (Ja karta, Ind. Hill Co, 1985), Cet-4, h. 147
15
Wirjono Projodikoro. Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 9
24
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan saja. Hal ini
berarti bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang
memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam kitab Undang-undang
Hukum Perdata dan syarat serta peraturan agama dikesampingkan.16
Sedangkan menurut Ahmad Azhar Basyir, perkawinan dalam agama
Islam disebut “Nikah” yaitu melakukan akad atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka
rela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan
hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan
cara yang diridhoi Allah SWT.17
Kebanyakan Ulama Fiqh mendefinisikan nikah sedikit berbeda,
walaupun lebih banyak kemiripan:18
ِ‫ﺔ‬
ِ‫ﻔِ ﻣ‬
:ِ‫ﻔِ ﺔ‬
ِ‫ ﻣ‬-
Artinya: “Sebagian Ulama Hanafiyah : nikah adalah akad yang memberikan
faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang
secara sadar (sengaja)”.
ٍ‫ﺔِ ﺬﱡ ﺑِ ﻣِ ﺔ‬
16
‫ﻰ‬
:ِ‫ﺐِ ﻠِﻜِ ﺔ‬
ِ‫ ﻣ‬-
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta, PT. Intermasa, 1980), Cet-XV, h. 23
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta, UI Press, 2000), Cet-9, h.10
18
Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al- Mazahib al- Arbaah, (Beirut Libanon, Dar al- Fikr,
1990), juz- 4.
17
25
Artinya: “Sebagian mazhab Malikiyah : nikah adalah sebuah ungkapan atau
bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksud untuk meraih
kenikmatan (seksual) semata”.
ٍ‫ﺞ‬
ِ‫ﺊٍ ﺑِ ﻆ‬
ِ‫ﻣ‬
ِ‫ﺑ‬
: ِ‫ﺎﻓِﻌِ ﺔ‬
ِ‫ ﻋ‬‫ﺎ‬
Artinya: “Menurut ulama Syafi’iyah : nikah dirumuskan dengan akad yang
menjamin kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan
lafal “Inkah” atau “Tazwij” atau yang semakna dengan
keduanya”.
ِ‫ﺔِ ﻻِ ﺘ‬
‫ﻳﺞٍ ﻰ‬
ِ‫ﺑِ ﻆ‬
: ِ‫ﺎﺑِ ﺔ‬
ِ‫ ﻋ‬-
Artinya: “Ulama Hanabilah : nikah adalah akad (yang dilakukan dengan
menggunakan) kata “Inkah” atau “Tazwij” guna mendapatkan
kesenangan”.
Dari beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa nikah adalah akad antara pria dan wanita yang diikat melalui suatu
perjanjian suci, kuat dan kokoh untuk salin memiliki dan bersenang-senang
dan menghalalkan pergaulan suami isteri dalam rangka membentuk keluarga
atau rumah tangga, dengan menggunakan kata-kata menikahkan atau dengan
kata lain yang semakna dengan kata tersebut.
Dengan melakukan perkawinan, seseorang muslim berarti telah
mengikuti dan menghormati sunnah Rasul-nya, dan dengan perkawinan pula
maka membuat terang keturunan, sehingga tidak aka nada orang-orang yang
tidak jelas asal usulnya. Di samping itu perkawinan diharapkan dapat
26
melahirkan rasa kasih sayang sesame anggota keluarga dan menjauhkan
perbuatan maksiat yang dilarang oleh agama.
Islam memandang perkawinan sebagai fase pertama keluarga, karena
keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang dapat memberikan
manfaat bagi kehidupan sesama jenisnya untuk melakukan kebaikan dan
melarang kemunkaran, meninggikan derajat manusia dan mewujudkan fungsi
manusia sebagai khalifah dimuka bumi berdasarkan Ayat-ayat al- Quran :
         
.          
(21 :30/ ‫)اﻟﺮّوم‬
Artinya :“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia Menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. QS.
Al- Ruum (30): 21
1. Dasar-dasar Hukum Nikah
Dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan nikah adalah:
a. Surat An-Nisa ayat 3
27
           
           
(3 :4/ ‫ )اﻟﻨّﺴﺎء‬.     
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah)
seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
QS. An-Nisa (3): 3
b. Surat An-Nur Ayat 32
        
:24/ ‫ )اﻟﻨّﻮر‬.          
(32
Artinya :“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hambahamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui”. QS. An-Nuur (24): 32
c. Hadist dari‘Alqomah
28
19
(
)
Artinya :“Hai pemuda-pemuda, barang siapa diantara kamu yng mampu
serta berkeinginan hendak menikah, hendaklah menikah, karena
sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan
mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya dan akan
memeliharanya dari godaan-godaan syahwat dan barang siapa
yang tidak mampu menikah, hendaklah berpuasa, karena dengan
puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang”.
(H.R. Al- Bukhari).
Dari ayat dan hadist diatas, dapat penulis simpulkan di sini antara lain :
1. Nikah merupakan suatu perintah agama.
2. Nikah dihukumkan wajib bagi orang yang mampu lahir bathin.
3. Nikah untuk menjaga dirinya dari perbuatan yang dilarang Allah SWT.
B. Pengertian Nikah Sirri
Nikah sirri berasal dari kata sirriyyun yang berarti secara rahasia atau
secara sembunyi-sembunyi. Jadi perkawinan sirri adalah perkawinan yang
dilaksanakan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi, itu dimaksudkan bahwa
perkawinan itu dilakukan semata-mata untuk menghindari berlakunya hukum
negara yaitu Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam prakteknya perkawinan sirri ini adalah suatu perkawinan yang
dilakukan oleh orang-orang Islam di Indonesia, yang memenuhi baik rukun-
19
h. 117
Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail, Shohih al-Bukhari, (Semarang, Toha Putra tt), Juz 6,
29
rukun maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak didaftarkan atau dicatatkan
pada Pegawai Pencatat Nikah seperti yang diatur dan ditentukan oleh UndangUndang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.20
Menurut A. Zuhdi, nikah sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan diluar
pengetahuan petugas resmi (PPN/Kepala KUA), karenanya pernikahan itu tidak
tercatat di Kantor Urusan Agama, sehingga suami istri tersebut tidak mempunyai
surat nikah yang sah21.
H. masjfuk Zuhdi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan nikah sirri
adalah nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan syari’at islam saja
namun karena terbentur PP no. 10 / 1983 (tentang izin perkawinan dan perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil) jo. PP No. 45 / 1990, pernikahan tersebut dilakukan
secara diam-diam, dan dirahasiakan untuk menghindari hukuman disiplin.
Dilihat dari kata-katanya, sirri itu berarti sembunyi-sembunyi atau tidak
terbuka. Jadi nikah sirri bisa bararti nikah sesuai dengan ketentuan Agama, tetapi
tidak dicatat didalam pencatatan administrasi pemerintah (KUA dan lain-lain) ,
atau nikah sesuai dengan ketentuan agama islam dan dicatat oleh pencatat nikah,
tetapi tidak dipublikasikan dalam bentuk walimah.
C. Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Nikah Sirri
20
Ramulya Idris, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UU No. 1 Tahun 1947,
(Jakarta, Bumi Aksara, 1996), h. 239
21
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk).
(Bandung : Al-Bayan,1994), cet. 1, h. 22
30
1. Nikah Sirri Menurut Hukum Islam
Dalam Hukum Islam Nikah Sirri bukan masalah baru, sebab dalam kitab
Al- Muwatha karya Imam Malik telah mencatat, bahwa istilah nikah sirri
berasal dari ucapan Umar Ibnu al- Khattab r.a :
،
‫ﻪِ ﻻﱠ‬
22
ِ‫ﻓِ ﻪ‬
ِ‫ﺠ‬
ِّ‫ﺮ‬
:
Artinya :“Bahwasanya Umar dihadapkan kepadanya seorang laki-laki yang
menikah tanpa saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang
perempuan. Lalu Umar berkata : ini nikah sirri, aku tidak
membolehkannya, seandainya kamu melakukannya pasti aku
rajam”
Pengertian nikah sirri dalam persepsi Umar tersebut adalah bahwa
syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap
meskipun sudah ada yang datang, maka nikah semacam ini memakai kriteria
Umar dapat dipandang sebagai nikah sirri.23
Dilihat dari keterangan nikah sirri tersebut dapat ditarik suatu pengertian
bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan syaratsyarat pada saksi itu sendiri.
Mengenai saksi ini Para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Syafi’I dan
Maliki) telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan,
22
Abi Abdillah Malik bin Anas Al-Asbahi, Muwatha Imam Malik, (Kairo : Al-Maktabah AlIslamiyah, 1967), juz 2. H. 179
23
Mahful M. dan Herry Mohammad, Fenomena Nikah Sirri, (Jakarta : IKAPI, 1996), cet. 1.
H. 31
31
bahkan Syafi’I berpendapat bahwa saksi sebagai rukun nikah, dan tidak sah
pernikahan tanpa dihadiri saksi. Berdasarkan dalil :
ِ‫ﻌِ ﺪِ ﻦ‬
ِ‫ﻢ‬
ِ‫ﻦ‬
24
ِ‫ﻦ‬
ٍ‫ﻟِﻲِّ ﺷِﺪ‬
ِ‫ﺪ‬
ٍ‫ﻦِ ﺮِ ﺮ‬
‫ﺎ‬
ِ‫ﻌ‬
ٍ‫ﻠِ ﻦِ ﺎﻟِﺪ‬
:
‫ﺎ‬
ٍ‫ﺮ‬
Artinya :“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil
dan wali yang cakap”.
Menurut Jumhur Ulama, pernikahan yang tidak dihadiri saksi-saksi
tidak sah. Jika ketika ijab qabul tidak ada saksi yang menyaksikan, sekalipun
diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain, pernikahannya tidak sah.25
Beberapa syarat yang harus ada pada seseorang yang menjadi saksi
adalah : berakal sehat, dewasa, dan mendengar omongan kedua belah pihak
yang berakad, serta memahami bahwa ucapan-ucapannya itu maksudnya
adalah ijab qabul pernikahan. Bila para saksi itu buta, maka hendaklah
merekabisa mendengarkan suaranya dan mengenal betul suara tersebut adalah
suaranya kedua orang yang berakad.
Jika yang menjadi saksi itu anak-anak, atau orang gila, atau orang yang
sedang mabuk, maka nikahnya tidak sah, sebab mereka dipandang tidak ada.26
24
Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, juz 5, h. 19
Sayid Sabiq, Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 6, (Bandung, PT Alma’arif, 1973), cet. 1, h. 87
26
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1996), cet.
Ke-1, h. 101
25
32
Ibnu
Qudamah
membedakan
antara
saksi
dan
pengumuman.
Menurutnya saksi termasuk rukun nikah yang harus ada (wajib) ketika
melakukan akad nikah, sedangkan pengumuman adalah hal lain diluar akad
nikah, yang hukumnya hanya sunah.
Fungsi saksi dalam pernikahan oleh Ibnu qadamah disebut lebih rinci,
yakni ada dua : pertama ; untuk menghindari adanya tuduhan zina, dan kedua ;
untuk menghindari adanya fitnah, sebab dengan adanya saksi akan
menyebarluaskan berita tentang sudah terjadinya pernikahan antar pasangan.
Imam Abu Hanifah dan Syafi’i sependapat bahwa nikah sirri (rahasia)
tidak boleh.27 Kemudian mereka berselisih pendapat apabila terdapat dua
orang saksi dan keduanya diamanati untuk merasahasiakan pernikahan,
apakah hal ini dianggap nikah sirri atau tidak?
Imam Abu Hanifah dan Imam syafi’i berpendapat bahwa hal itu bukan
nikah sirri. Imam Malik berpendapat bahwa yang demikian itu adalah nikah
sirri dan dibatalkan.28
Perbedaan pendapat ini disebabkan, apakah kedudukan saksi dalam
pernikahan merupakan hukum syara’ , ataukah dengan saksi itu dimaksudkan
untuk menutup jalan perselisihan dan pengingakaran?
27
Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah M.A Abdurrahman dan A. Haris Abdullah,
(Semarang : CV. Asy-syifa’), cet. Ke-1, 1990, h. 383
28
Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, h. 383
33
Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syara’,
maka mereka mengatakan bahwa saksi menjadi salah satu syarat sahnya
pernikahan. Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kedudukan saksi
adalah untuk menguatkan pernikahan, maka mereka menganggap saksi
sebagai syarat kelengkapan.
Jumhur ulama mengatakan jika para saksi dipesan oleh pihak yang
mengadakan aqad nikah agar merahasiakan dan tidak memberitahukannya
kepada orang ramai, maka pernikahannya tetap sah, namun Imam Malik
memandang pernikahan tersebut batal.29
Alasan yang digunakan Jumhur Ulama adalah30 :
a) Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda :
ِ‫ﺑِ ﺮ‬
ِ‫ﻜ‬
ِ‫ﺘ‬
:
‫ﻠﱠ‬
ِ‫ﻪ‬
‫ﻠﱠ‬
ِ‫ﻦ‬
(
) .ٍ‫ﻴِّ ﺔ‬
Artinya : “Pelacur yaitu perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya
tanpa saksi”.
b) Dari Aisyah, Rasulullah bersabda :
29
30
Sayid Sabiq., h. 79
Sayid sabiq., h. 79
34
.
‫ﻠﱠ‬
ِ‫ﻪ‬
‫ﻠﱠﻰ‬
31
(
)
Artinya : “A’isyah r.a meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda “Tidak
sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi
yang adil”.
c) Dari Abu Zubair Al- Makkiy, Umar bin Khattab menerima pengaduan
adanya pernikahan yang disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan,
lalu
jawabnya
:
ini
kawin
gelap,
dan
aku
tidak
membenarkannya, dan andaikan saat itu aku hadir tentu akan kurajam.
(HR. Malik, dalam kitab Al- Muwatha).
Imam Malik, Ibnu Abi Laila dan Al- Batta menyatakan bahwa saksi
dalam pernikahan tidak wajib, baginya fungsi saksi adalah untuk
mengumumkan, yaitu cukup diumumkan saja sebelum terjadi persenggamaan.
Menurut golongan ini, jika waktu ijab qabul tidak dihadiri para saksi, tetapi
sebelum mereka bercampur sebagai suami istri kemudian dipersaksikan maka
pernikahannya tidak batal (sah). Akan tetapi jika suami istri sudah bercampur
tetapi belum dipersaksikan maka pernikahannya batal, meskipun pada waktu
ijab qabul dihadiri oleh para saksi.32
31
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nayl al-Authar VI, (Misr : Mustafa
I’Babi I’Halabi wa Auladuh, t.t), h. 256
32
Sayid Sabiq, h. 79
35
Alasan golongan yaitu bahwa jual beli yang didalamnya disebut soal
mempersaksikan ketika berlangsungnya jual beli sebagaimana yang disebut
dalam Al-Qur’an, yakni surat Al- Baqarah : 282, bukan merupakan syarat
yang wajib dipenuhi dalam jual beli. Sedangkan soal pernikahan Allah tidak
menyebut dalam Al- Qur’an adanya syarat mempersaksikan. Karena itu
tentulah lebih baik jika dalam pernikahan ini masalah mempersaksikan tidak
termasuk salah satu syaratnya, tetapi cukuplah diberitahukan dan disiarkan
saja guna memperjelas keturunan.
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik tentang seorang laki-lai
tetapi dipesan agar mereka merahasiakannya?
Jawabnya : keduanya harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh
menggaulinya, tetapi istrinya berhak atas maharnya yang telah diterimanya,
sedangkan kedua orang saksinya tidak dihukum.33
Menurut ajaran Islam, nikah tidak boleh secara sembunyi-sembunyi,
tetapi harus dipublikasikan, diwalimahkan, dan disebarluaskan kepada
keluarga dan tetangga. Bahkan beliau menganjurkan agar melaksanakan
walimah walaupun hanya seekor kambing.34
Diriwayatkan dalam sebuah hadist :
33
Sayid Sabiq, h. 187
K.H. Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, (Jakarta : Gema Insani Press,
1999), cet. 1, h. 54
34
36
‫ﺎ‬
:
‫ﺎ‬
35
‫ﺎ‬
‫ﺎ‬
‫ﺎ‬
‫ﻰ‬
‫ﻰ‬
.
‫ﻰ‬
‫ﻲ‬
Artinya :“Telah meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Abdah, telah
meriwayatkan kepada kami Hammad bin Zaid, telah
meriwayatkan kepada kami Tsabit bin Bunani, dari Anas bin
Malik, ia berkata : Sesungguhnya Nabi saw melihat
‘Abdurrahman bin Auf membawa benda kekuning-kuningan,
lalu nabi bertanya : ada apa gerangan ? kenapa kamu
melakukan ini ?” Lalu ia berkata : “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya saya telah menikah dengan seorang perempuan
dengan maskawin sekeping emas” Lalu rasulullah saw
bersabda : “Semoga Allah SWT. Memberikan berkah
kepadamu dan adakah walimah walau dengan menyembelih
hewan kambng”. (HR. Ibnu Majah)
Dasar lain yang mengharuskan adanya persyaratan I’lan (aqad
pernikahan harus diumumkan), yaitu hadist Nabi :
‫ﺎ‬
:
).
‫ﺎ‬
‫ﺎ‬
‫ﺎ‬
‫ﻰ‬
36
(
Artinya :“Telah kami meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Mani’,
telah meriwayatkan kepada kami Husyaim, telah memberitahukan kepada
kami Abu Baljin, dari Muhammad bin Hathib Al-Jumahiy, berkata :
Rasulullah saw, bersabda, “Sesungguhnya pembeda antara halal
(pernikahan) dan haram (perzinahan) adalah permainan rebana dan nyanyinyanyian dalam pernikahan. (HR. At-Tirmizi)
35
Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al- Qarwain, Sunan Ibnu Majah, (Beirut : Dar AlFikr), Juz 2, h. 559
36
Abi Isa Muhammad bin Isa Ibn Saurah, Sunan At-Tirmizi, (Beirut : Dar Al-Fikr, 1994), Juz
2, Jilid 3, h. 398
37
Hadist tersebut dapat diketahui bahwa unsur yang menjadi pembatas
boleh atau tidaknya pernikahan adalah ada atau tidaknya unsure merahasiakan
maka tergolong kelompok pernikahan yang tidak boleh (haram), maka agar
pernikahan tersebut sah harus diumumkan kepada khalayak ramai (i’lan).
Pengumuman tersebut berguna untuk menghindari akan tuduhan orang lain
atau keraguan orang lain.37
Hikmah yang dapat kita peroleh dari publikasi nikah itu adalah agar
terhindar dari fitnah dan buruk sangka orang lain kepada yang bersangkutan,
sekaligus menutup adanya kemungkinan yang besangkutan (khususnya istri)
diminati oleh orang lain.
Dari pembahasan diatas tampak, bahwa pada prinsipnya Imam Syafi’I,
Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal mewajibkan adanya saksi
dalam akad nikah. Hanya saja Imam Malik terlihat lebih menekankan fungsi
saksi, yakni sebagai sarana pengumuman dari pada hanya sekedar hadirnya
pada waktu akad nikah.
Dalam masalah saksi yang dipesan untuk merahasiakan, juga terdapat
perbedaan pendapat : Jumhur Ulama membolehkan pernikahan tersebut,
asalkan saksi itu hadir pada saat ijab dan qabul berlangsung.
37
Syamsuddin As-Sarakhsy, Al-Mabsuth, (Libanon : Darulqutub al-ilmiyah), jilid 5, h. 31
38
Akan tetapi, Ulama Mazhab Maliki mengatakan bahwa pernikahan
tersebut batal, karena menurut Maliki fungsi saksi adalah sebagai I’lan yaitu
pengumuman nikah. Karena itu kehadiran saksi pada waktu ijab dan qabul
tidak diwajibkan, tetapi dianjurkan saja. Oleh karena itu, saksi tersebut boleh
hadir ketika ijab dan qabul berlangsung atau sesudahnya, dan sebelum terjadi
ad-dukhul (pergaulan suami istri). Agar pernikahan tidak menimbulkan fitnah
maka sebaiknya diumumkan kepada orang lain.
Akad pernikahan adalah suatu batas dimana hubungan seorang lakilaki dengan seorang perempuan yang semula haram menjadi halal. Demikian
juga akad pernikahan merupakan ikatan baru yang menambah ikatan-ikatan
dalam masyarakat. karena itu akad pernikahan akan lebih sempurna jika tidak
hanya disaksikan oleh dua orang, melainkan juga oleh masyarakat luas.38
2. Nikah Sirri Menurut Undang-Undang Perkawinan No. Tahun 1974
Undang-undang di Indonesia yang membahas tentang perkawinan
adalah undang-undang No. 1 tahun 1974. Yang merupakan undang-undang
yang bersifat nasional (unifikasi). Artinya ada satu undang-undang yang
berlaku diseluruh Indonesia
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah nikah sirri dan
semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan.
38
A. Zuhdi Muhdlor, cet. 2, h. 64
39
Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi pernikahan yang tidak
dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan.
Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 mulai berlaku pada
tanggal 2 Januari 1974, dan pelaksanaanya secara efektif mulai berlaku pada
tanggal 1 oktober 1975 (pasal 67 UUP No. 1 /74 jo pasal 49 PP No. 9 /75).
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun
1974, sah tidaknya suatu pernikahan ditentukan oleh hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaanya itu.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam undang-undang ini.39
Dari ketentuan pasal 2 ayat (1) beserta penjelasannya itu Prof.
Hazairin, S.H menafsirkan bahwa dengan demikian hukum yang berlaku
menurut UU No. 1 / 1974 pertama-tama adalah hukum masing-masing agama
dan kepercayaan bagi masing-masing pemeluk-pemeluknya. Jadi bagi orang
39
h. 5
Hazairin, Tinjauan Mengenai UUP No. 1 / 1974, (Jakarta : PT Tinta Mas Indonesia, 1986),
40
Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar agamanya
sendiri.40
Pihak yang
melangsungkan pernikahan harus tunduk dan telah
memenuhi berbagai ketentuan serta persyaratan yang telah ditentukan oleh
hukum agama dan kepercayaanya masing-masing. Maka dengan sendirinya
perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak berdasarkan hukum masingmasing agamanya dan kepercayaanya itu adalah tidak sah.
Dilihat dari segi teori hukum yang menyatakan bahwa perbuatan
hukum adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan
hukum sehingga dapat menimbulkan akibat hukum.41 Sebaliknya suau
tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum tidak dapat dikatakan
sebagai perbuatan hukum, sekalipun tindakan itu belum tentu melawan hukum
Dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan
dilindungi oleh hukum.
Karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang secara otomatis
melahirkan akibat-akibat hukum serta diperlukan adanya kepastian hukum,
maka pasal 2 ayat (2) menegaskan : “Tiap-tiap pekawinan harus dicatatkan
menurut Undang-undang yang berlaku”.
40
Hazairin, Tinjauan Mengenai UUP No. 1 / 1974, (Jakarta : PT Tinta Mas Indonesia, 1986),
., h. 6
41
Soedjono Dirojosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994),
Cet. Ke-4, h. 126
41
Rumusan tersebut menegaskan bahwa dalam memenuhi jaminan
kepastian hukum, perkawinan harus dicatat sesuai dengan Undang-undang
yang berlaku guna memenuhi persyaratan administratif
Dalam Undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaanya
ditetapkan bahwa suatu perkawinan baru dapat dilaksanakan apabila telah
dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
Selain ketentuan tersebut diatas perkawinan pun memiliki syaratsyarat materil maupun formil42 yang harus dilaksanakan oleh warga Negara di
Indoesia yang ingin melaksanakan pernikahan.
Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat yang mengenai diri pribadi
calon mempelai ; sedangkan syarat formil menyangkut formalitas-formalitas
atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum pada saat dilangsungkannya
pernikahan.
a. Syarat-syarat materil, diantaranya :
1) pasal 6 ayat (1) ; harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.
2) pasal 7 ayat (2) ; usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan
wanita sudah mencapai 16 tahun.
3) pasal 9 ; tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.
42
Asmin SH, Status Perkawinan Antar Agama, (Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan
No. 1/1974),( Jakarta : PT Dian Rakyat, 1986), Cet. Ke-1, h.22
42
4) pasal 11 UU No. 1/1974 dan PP No. 9/1975 ; mengenai waktu tunggu
bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, yaitu :
a. 130 hari, bila perkawinan putus karena kematian
b. 3 kali suci atau minimal 90 hari, bila putus karena perceraian dan ia
masih berdatang bulan
c. 90 hari, bila putus karena perceraian, tapi tidak berdatang bulan
Waktu tunggu sampai melahirkan, bila si janda dalam keadaan
hamil
d. Tidak ada waktu tunggu, bila belum pernah terjadi hubungan
kelamin
e. Perhitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap baku suatu
perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena
kematian.
Tidak
dipenuhinya
syarat-syarat
tersebut
menimbulkan
ketidakwenangan untuk melangsungkan perkawinan dan berakibat
batalnya suatu perkawinan.
b. Syarat-syarat formil meliputi :
1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada
pegawai pencatat perkawinan
2) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan
43
3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaanya
masing-masing
4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan
Pengumuman dalam pernikahan wajib dilakukan, baik kepada sahabat
maupun anggota keluarga lainnya. Caranya dapat dilakukan menurut
kehendak yang bersangkutan.43 Dalam hukum positif, pengumuman tentang
pemberitahuan hendak nikah dilakukan oleh pegawai pencatat nikah apabila ia
telah meneliti apakah syarat-syarat pernikahan sudah dipenuhi dan apakah
tidak terdapat halangan pernikahan.44
Dari uraian tersebut, jika mengacu pada hukum islam, pernikahan siri
boleh saja dilakukan jika pernikahannya menghadirkan wali dan saksi
walaupun setelah akad tidak diumumkan kepada masyarakat umum, tetapi
apabila dihubungkan dengan undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974
pernikahan sirri belum memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum
berupa akta nikah, karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
Undang-undang perkawinan diantaranya tidak adanya unsur tatacara
pencatatan nikah.
43
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia, 1974), Cet. 1, h. 76
44
Asmin SH, h. 24
BAB III
KONDISI OBYEKTIF WILAYAH PENELITIAN
A. Letak Geografis Wilayah Kebon Jeruk Jakarta Barat
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta nomor : 1746 tahun 1987 tanggal 10 September 1987, luas wilayah
Kelurahan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat adalah : 262,36 Ha, kemudian
dengan adanya Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor : 1815 tahun 1989 tanggal 29 Desember, yang merupakan
perubahan dari Sk. Gubernur KDKI Jakarta nomor : 1746, tentang perubahan
batas wilayah Kelurahan diwilayah Kotamadya Jakarta Selatan, Kotamadya
Jakarta Barat dan Kotamadya Jakarta Utara, maka untuk Kelurahan Kebon Jeruk,
luas wilayah bertambah : 106,78 Ha. Sehingga luas keseluruhan menjadi : 369,15
Ha, dan sekaligus terjadi perubahan-perubahan, batas wilayah Kelurahan Kebon
Jeruk sebagai berikut :
Sebelah Utara
: Tol Jakarta Merak, Kel. Kedoya Selt, Kel. Duri Kepa
dan Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat
Sebelah Timur
: Jl. Budhi Raya, Kel. Kemanggisan dan Kecamatan
Palmerah Jakarta Barat
Sebelah Selatan
: Jl. Anggrek, Jl. H. Domang, Jl. E. Kel. Sukabumi Utara
dan Kel. Kelapa Dua
44
45
Sebelah Barat
: Kali Pesanggrahan Kel. Serengseng, dan Meruya
Utara Kecamatan Kembangan
Kelurahan Kebon Jeruk memiliki 13 Rw dan 132 Rt, adapun luas tanah di
kelurahan Kebon Jeruk terbagi atas:
Tabel 1
Pembagian Luas Tanah: Berdasarkan Status Tanah
No
Keterangan
Luas
1
Milik Adat
258,81 Ha
2
Girik Partikelir
68,42 Ha
3
Kavling
30,11 Ha
4
Kartu Sewa
- Ha
5
Garapan
11,81 Ha
Sumber data: Monografi Kelurahan Kebon Jeruk
B. Kondisi Masyarakat Wilayah Kebon Jeruk Jakarta Barat
Dalam pemerintahan, Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat dipimpin oleh
satu orang Lurah yang dibantu oleh beberapa orang staff yang berjumlah 17
(sebelas) orang di tingkat Kelurahan. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut
46
Tabel 2
Karyawan Kantor Kelurahan kebon Jeruk menurut Golongan/Pangkat
No
Jabatan
Golongan/Pangkat
Jumlah
1
LURAH
III D
1
2
WAKIL LURAH
III C
1
3
SEKRETARIS KELURAHAN
III C
1
4
KASUBSIE PEMERINTAHAN
III C
1
III B
1
KASUBSIE PEMBERDAYAAN
5
MASYARAKAT
6
STAFF PRASARANA UMUM
II C
2
7
STAFF PEMERINTAHAN
II A
2
ID
2
STAFF PEMBERDAYAAN
8
MASYARAKAT
9
KASUBSIE KEBERSIHAN
ID
1
10
KASUBSIE DUKCAPIL
III B
1
11
PKB
III B
2
12
PKB
III B
2
JUMLAH
17
Sumber data: Laporan Kelurahan Kebon Jeruk bulan Agustus 2010, hal. 20
Wilayah Kelurahan Kebon Jeruk sama halnya dengan Kelurahan lainnya,
dalam hal kependudukan, tiap tahun jumlah penduduk di Kelurahan Kebon Jeruk
47
terus bertambah, begitu juga dengan pembangunan fisik kian berkembang,
mengikuti arus perubahan dan perkembangan zaman. Data yang telah penulis
peroleh dari buku laporan Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat memperlihatkan
gambaran sebagai berikut:
1. Kondisi Penduduk.
Tabel 3
Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin dan RW
No
Rukun
Warga (RW)
Lakilaki
Perempuan
1
01
1599
1530
3129
2
02
1949
1779
3727
3
03
2339
2119
4458
4
04
1668
1759
3425
5
05
2546
2428
4974
6
06
726
670
1393
7
07
1905
1299
3194
8
08
849
808
1655
9
09
947
889
1830
10
010
2218
2879
5097
11
011
1169
1499
2668
12
012
849
849
1698
13
013
597
509
1094
Laki-laki +Perempuan
Jumlah
19.783
19.516
39.299
Sumber data: Laporan Kelurahan Kebon Jeruk bulan Agustus 2010, hal.5
48
Berdasarkan data statistik yang bersumber dari data laporan Kelurahan
Kebon Jeruk, saat ini jumlah penduduk Kelurahan Kebon Jeruk berjumlah
39.299 jiwa. Penduduk laki-laki berjumlah 19.783 orang (50.34%) dan
perempuan berjumlah 19.516 orang (49.66%)
Tabel 4
Penduduk Kelurahan Kebon Jeruk Menurut Kelompok Umur dan jenis
Kelamin
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Kelompok
Laki-laki +
Laki-laki Perempuan
Umur
Perempuan
0-4
2135
2782
4917
5-9
2074
1977
4051
10-14
2023
1817
3840
15-19
1660
1628
3288
20-24
1527
1462
2988
25-29
1291
1386
2677
30-34
1135
1304
2435
35-39
1405
1263
2666
40-44
1233
1008
2241
45-49
1185
992
2175
50-54
1076
894
1968
55-59
1027
869
1897
60-64
883
781
1662
65-69
501
576
1077
70-74
227
323
550
75 keatas
181
201
390
Jumlah
19.779
19.512
39.299
Sumber data: Laporan Kelurahan Kebon Jeruk bulan Agustus 2010, hal 6
Berdasarkan tabel di atas penduduk sebagian besar didominasi warga
yang berusia 20 tahun ke atas berjumlah 22.726 orang (57.83%). Hal ini,
menunjukkan bahwa penduduk Kelurahan Kebon Jeruk tersebut sudah
termasuk memasuki usia produktif.
49
2. Kondisi Ekonomi.
Mata pencaharian merupakan aktifitas penduduk untuk memperoleh
nafkah secara maksimal. Setiap aktifitas penduduk dalam memperoleh
nafkahnya mempunyai mata pencaharian yang berbeda-beda. Lingkungan
geografis meliputi iklim, tanah, dan sumber-sumber mineral yang terkandung
di dalamnya akan mempengaruhi sifat mata pencaharian penduduknya.
Sedangkan tingkat kebudayaan akan mempengaruhi kegiatan penduduk dalam
usahanya. Begitu pula mata pencaharian penduduk di wilayah Kebon Jeruk
berbeda-beda.
Berdasarkan dari buku monografi Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta
Barat Tahun 2009, kondisi ekonomi dan mata pencaharian penduduk dapat
kita lihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 5
Mata Pencaharian
No
1
3
4
5
6
7
8
9
10
Keterangan
Tani
Buruh
Pedagang
Karyawan Swasta
PNS
ABRI
Pensiunan
Swasta Lainnya
Lain-lain
Sumber data: Monografi Kelurahan Kebon Jeruk
Jumlah
159
2.750
3.890
8.879
4.015
368
1.512
6.989
10.739
50
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa perekonomian
penduduk di Kelurahan Kebon Jeruk sebagian besar bekerja pada sektor
swasta.
3. Kondisi Sosial Keagamaan
Secara obyektif agama yang dianut di wilayah Kebon Jeruk beraneka
ragam yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha dan aliran kepercayaan lainnya.
Akan tetapi dapat dikatakan bahwa mayoritas penduduk Kelurahan Kebon
Jeruk beragama Islam.
Dari segi sosial keagamaan, masyarakat Kebon Jeruk cukup ramah dan
bersahaja. Kepedulian mereka terhadap sesama sangatlah tinggi. Pada saat
merayakan Maulid, tahlilan dan kegiatan keagamaan lainnya, mereka
biasanya bergotong-royong dengan saling membawa berbagai jenis makanan
atau bahan pokok makanan seperti beras, minyak dan lain sebagainya.
Kepedulian mereka juga tampak disaat musibah datang, seperti banjir,
meninggalnya seorang warga, dan lain-lain. Mereka beramai-ramai membantu
korban musibah tersebut dengan mengumpulkan uang secara kolektif tanpa
adanya batasan materi. Bantuan yamg mereka tujukan kepada semua yang
membutuhkan tanpa melihat status sosial dan agama.
Pembinaan bidang keagamaan di kelurahan ini dapat berjalan dengan
baik karena ditopang oleh banyaknya tempat pendidikan, tempat ibadah dan
fasilitas lainnya yang cukup memadai.
51
Dari sumber yang didapatkan diketahui bahwa sarana peribadatan kebon jeruk
berjumlah 549 buah, dengan rincian masjid 4 buah, mushalla 65 buah, dan
majlis ta’lim 480 buah.
Tidak dapat dipungkiri, dalam hal keagamaan masyarakat Kebon Jeruk
ialah masyarakat yang agamis. Banyaknya masjid, mushalla, dan majlis ta’lim
menjadi wadah tersendiri atas kegiatan keagamaan mereka. Daerah yang
memiliki banyak kyai, ustadz, dan ustadzah, maupun guru ngaji ini
menjadikannya kental dengan nuansa Islam.
4. Kondisi Pendidikan
Salah satu penunjang keberhasilan tujuan pembangunan nasional adalah
dari sektor pendidikan dan sumber daya manusia. Dimana dengan majunya
tingkat dan mutu pendidikan serta sumber daya manusia akan mempengaruhi
suasana pembangunan. Begitu pula di wilayah Kelurahan Kebon Jeruk tingkat
pendidikan dan sumber daya manusia akan mempengaruhi suasana
pembangunan.
52
Tabel 5
Tingkat Pendidikan Formal Penduduk Kel. Kebon Jeruk
NO
1
2
3
4
5
6
7
JUMLAH
PERSENTASE
(%)
SD
SLTP
SLTA
AKADEMI
S1
S2
S3
9.543
11.874
12.248
1.564
4.010
54
8
24,28
30,21
31,16
3,98
10,21
0,14
0,02
Jumlah
39.301
100
KATEGORI
Sumber data: Monografi Kelurahan Kebon Jeruk
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan di
wilayah Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta barat sudah cukup tinggi dan
memadai sehingga sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan terutama
di bidang hukum. Pembangunan di bidang hukum dikatakan berhasil apabila
tercipta suasana baru yaitu penduduk yang mempunyai kesadaran hukum yang
tinggi. Kesadaran hukum akan melekat di hati masyarakat apabila masyarakat
memiliki pendidikan formal dan informal yang cukup baik. Karena tingkat
pendidikan yang cukup tinggi dan memadai, seharusnya warga di wilayah
Kelurahan Kebon Jeruk sudah tidak ada lagi yang melakukan pernikahan sirri.
53
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Profil Informan Masyarakat Kebon Jeruk
Data untuk tulisan ini bersumber dari wawancara yang penulis lakukan
kepada beberapa informan yang penulis dapatkan di wilayah Kebon Jeruk.
informan yang dimaksud adalah warga masyarakat Kebon Jeruk yang
mempunyai pengalaman pribadi terkait dalam hal nikah sirri. Dari sekian banyak
warga di wilayah Kebon Jeruk penulis mengambil sampel hanya 6 orang yang
penulis bagi menjadi empat kategori, 3 orang adalah pelaku pernikahan, 1 orang
tokoh masyarakat, 1 orang Amil, dan 1 orang aparatur hukum yaitu Kepala KUA.
6 orang informan yang penulis wawancarai yaitu:
a. Drs. H. Abdul Rachman, selaku Aparatur Hukum yaitu Kepala KUA.
b. al-Ustadz H. Urwah Salim, selaku Tokoh Masyarakat.
c. al-Ustadz H. Zarkasih, selaku Amil sekaligus Tokoh Masyarakat.
d. Ita (inisial), Karumi (inisial), Sari (inisial), selaku pelaku praktek pernikahan
sirri.
Sebagai tahap awal, penulis mengajukan pertanyaan yang berkenaan
dengan karakteristik informan, karena menurut pengamatan penulis identitas
informan khususnya yang berkaitan dengan pendidikan dan status dapat
mempengaruhi pola pikir informan dalam memandang praktek nikah
sirri.
Kemudian tahap selanjutnya adalah mengajukan pertanyaan yang berkenaan
53
54
dengan pengalaman pribadi dari masing-masing informan terhadap pernikahan
sirri yang dilakukannya..
Dalam hal pendidikan, sebagian informan mengenyam pendidikan sampai
di tingkat SLTP 2 orang, tingkat SLTA 3 orang dan tingkat sarjana S1 1 orang.
Sedangkan dari segi pekerjaan sebagian informan adalah wiraswasta 2 orang,
karyawan 2 orang, dan ibu rumah tangga 2 orang.1
B. Sekilas Tentang Masyarakat Kelurahan Kebon Jeruk Terkait Pernikahan
Sirri
Menanggapi masalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang dimana pernikahannya itu cacat menurut Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, dikarenakan pernikahannya tidak tercatat di Kantor Urusan Agama
atau disebut pernikahan sirri, Sesuai dengan namanya, perkawinan sirri ini
umumnya merupakan perkawinan yang dilakukan secara rahasia, terselubung,
atau sembunyi-sembunyi. Praktik nikah sirri ini telah banyak dikenal dan
dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Sementara itu jika dilihat dari
perspektif hukum pemerintahan dan norma sosial sering dinilai sebagai suatu
penyimpangan, beberapa informan memandang bahwa nikah sirri itu sah apabila
sesuai dengan syari’at Islam. Seorang informan (Amil), Ust. H. Zarkasih
menyatakan “Nikah sirri itu sah jika dilaksanakan sesuai dengan syari’at Islam
hanya
1
saja
pernikahan
tersebut
bersembunyi
dari
ketentuan
hukum
Hasil Wawancara Pada Warga Masyarakat Kebon Jeruk, 12 September-12 Oktober 2010
55
pemerintah”.2 Hal senada juga diungkapkan oleh salah seorang informan
(pelaku), sebut saja Ita. Dia mengungkapkan “Menurut Saya nikah sirri itu sahsah saja jika dilaksanakan sesuai dengan syari’at Islam hanya saja tidak dicatat
di KUA”.3
Sejalan dengan pendapat Ita, sebut saja Sari (informan) yang juga sebagai
pelaku menyatakan bahwa nikah sirri itu boleh-boleh saja asalkan sesuai dengan
Syari’at Islam. Katanya, “Klo menurut agama kan sah-sah saja asalkan sesuai
dengan syari’at Islam tapi klo menurut Negara yang saya tahu itu dilarang”.4
Namun, sebagian informan lainnya memandang bahwa nikah sirri itu tidak
diperbolehkan. Karena dari pernikahan tersebut yang paling dirugikan itu adalah
dari pihak perempuan, sebab tidak mendapatkan perlindungan hukum dan jika
terjadi suatu perceraian pihak perempuan tidak bisa menuntut haknya. Bahkan
penikahan tersebut adalah suatu pelanggaran terhadap Undang-undang
Perkawinan dan dapat dikenakan sanksi Pidana. Seorang informan (Kepala
KUA) Drs. H. Abd. Rachman menyatakan “Menurut saya nikah sirri itu tidak
sah dan tidak diperbolehkan, karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan dan
2
Zarkasih, Warga Masyarakat Kebon Jeruk, Wawancara Pribadi, Kel. Kebon Jeruk 19
November 2010
3
Ita, Warga Masyarakat Kebon Jeruk, Wawancara Pribadi, Kel. Kebon Jeruk 1November
4
Sari, Warga Masyarakat Kebon Jeruk, Wawancara Pribadi, Kel. Kebon Jeruk 7 November
2010
2010
56
merupakan suatu pelanggaran terhadap Undang-undang Perkawinan dan dapat
dikenakan sanksi Pidana”.5
Sejalan dengan pendapat seorang informan (tokoh masyarakat) yang juga
mempunyai pandangan terhadap nikah sirri, Ust. H. Urwah Salim mengatakan
“Sebenarnya
setiap
pernikahan
itu
dikatakan
sah
apabila
proses
pelaksanaannya sesuai dengan syari’at Islam dan resmi menurut Undangundang Perkawinan. Dan menurut Saya nikah sirri itu sah tapi sebaiknya jangan
dilakukan karena dibandingkan dengan mashlahatnya mudharatnya lebih
banyak, karena kita hidup didunia bukan hanya diatur oleh Syari’at Islam saja
tetapi juga diatur dalam Aturan-aturan Di Negara ini”.6
Dengan demikian Pernikahan sirri biasanya dilakukan tanpa ada
pemberitahuan resmi, pelaksanaan akad dengan cara ini adalah benar dan sah,
walaupun tidak tercatat resmi, mungkin timbul pertanyaan, “Mengapa sebagian
orang mencari cara perkawinan seperti ini, tanpa ada pemberitahuan dan catatan
resmi?”
Berdasarkan temuan penelitian ini penulis dapat melihat bahwa, pandangan
masyarakat Kebon Jeruk terhadap nikah sirri adalah saling berbeda pandangan.
Ada yang memandang nikah sirri adalah sah dan dibolehkan, asal saja sesuai
dengan syari’at Islam (khususnya pendapat Jumhur Ulama yang membolehkan
5
6
Abd. Rachman. Penghulu KUA, Wawancara Pribadi, Kec. Kebon Jeruk 28 Oktober 2010
Salim, Urwah, Warga Masyarakat Kebon Jeruk, Wawancara Pribadi, Kel. Kebon Jeruk 15
November 2010
57
nikah sirri, sekalipun aqad nikahnya dirahasiakan dan tidak memberitahukannya
kepada orang ramai). Tetapi, ada pula sebagian masyarakat yang tidak setuju
terhadap pernikahan tersebut karena dapat menimbulkan dampak sosial dan
psikologis yang besar. Perbedaan tersebut disebabkan karena tingkat pendidikan
yang mereka miliki serta kondisi sosial warga masyarakat Kebon Jeruk yang
saling berbeda, sehingga mempengaruhi cara berfikir dan memandang mereka
(informan) terhadap nikah sirri. Meskipun demikian orang yang melakukan nikah
sirri tersebut tetap saja ada di wilayah Kebon Jeruk sekalipun tidak banyak dan
itupun sangat rahasia sehingga tidak banyak orang yang tahu.
Masyarakat Kebon Jeruk juga memandang bahwa nikah sirri disebabkan
oleh beberapa faktor. Yang pertama, karena faktor sosial dan budaya diantaranya
: 1. Menginginkan mendapatkan keturunan, 2. Kepuasan seks, 3. Poligami, 4.
Tidak direstui keluarga.
Hasil wawancara dengan salah seorang pelaku pernikahan tersebut, Ita
menjelaskan bahwa “Alasan Saya melakukan Pernikahan sirri karena status
suami saya sudah beristri dan orang tua Saya tidak merestui hubungan kami,
tapi kami tetap melakukan pernikahan itu, karena daripada saya berzina ya saya
nikah sirri aja karena sudah terlanjur sayang dan cinta. Karena alasan itulah
saya tidak menikah di KUA, sekalipun awalnya saya tidak setuju nikah sirri”.7
7
2010
Ita, Warga Masyarakat Kebon Jeruk, Wawancara Pribadi, Kel. Kebon Jeruk 1November
58
Kedua, karena faktor Agama diantaranya : 1. Keyakinan tidak perlu
pencatatan, tapi cukup kepada Amil, 2. Pencatatan bukan syarat atau rukun
nikah, 3. Rendahnya kesadaran agama sehingga melakukan perzinahan atau
untuk melampiaskan syahwat dengan kedok nikah siri, Seperti yang dituturkan
oleh Karumi. Katanya, ”Menurut Saya banyak faktor yang menyebabkan
seseorang nikah sirri, contohnya saja Saya, faktor Saya nikah sirri karena
Pasangan saya Berbeda Agama dengan Saya, jadi tidak mungkin kan saya
menikah di KUA”.8
Ketiga, karena faktor hamil diluar nikah akibat zina yang menyebabkan
seseorang lebih memilih melakukan nikah sirri daripada nikah resmi, karena
alasan malu dikhawatirkan akan mencemarkan nama baik keluarga. Salah
seorang pelaku lainnya, Sari berkata “Waktu itu saya sudah terlanjur hamil
duluan jadi orang tua saya malu kalau harus menikahkan Saya di KUA”.9
Kemudian, pernikahan sirri telah banyak terjadi di wilayah Kebon Jeruk.
Menurut keterangan warga dalam sebulan cukup banyak orang yang melakukan
pernikahan tersebut. Salah seorang Amil dan sekaligus seorang tokoh
masyarakat, Ust H. Zarkasih mengatakan bahwa “Ya tidak tentu kadang-kadang
5 pasangan dan paling sedikit dalam sebulan ada 3 pasangan yang minta
8
Karumi, Warga Masyarakat Kebon Jeruk, Wawancara Pribadi, Kel. Kebon Jeruk 1
November 2010
9
2010
Sari, Warga Masyarakat Kebon Jeruk, Wawancara Pribadi, Kel. Kebon Jeruk 7 November
59
dinikahkan secara sirri”.10 Dan seorang amil tersebut yang sekaligus tokoh
masyarakat juga mengatakan bahwa banyak yang minta dinikahkan sirri itu
karena ingin melakukan poligami agar tidak diketahui oleh isteri pertamanya,
yang dalam pernyataannya “Kebanyakan dari mereka orang-orang yang ingin
melakukan poligami agar tidak diketahui oleh isteri pertamanya, karena kalau
nikah resmi rumit sekali prosesnya. Dan faktor lainnya ya paling karena
kecelakaan atau hamil diluar nikah, karena orang tua mereka sudah terlanjur
malu jika harus dinikahkan di KUA”.11
Selain itu juga, kebanyakan dari kualitas pernikahan mereka tidak berjalan
dengan harmonis dan penuh dengan konflik, sedangkan yang lainnya merasa hal
tersebut tidak berpengaruh pada kualitas pernikahan mereka dan merasa rukunrukun saja rumah tangganya. Tetapi hampir semua pernikahan sirri berpengaruh
pada dampak sosial diantaranya, Tidak tercatat di Kantor Administrasi
Pemerintah akan pernikahannya, serta Berdampak sulitnya mengurus akte
kelahiran anak dan Pada dampak psikologisnya yaitu Merasa tidak percaya diri
dimasyarakat akan pernikahannya, karena disebabkan nikahnya di bawah tangan,
dan Kurang baiknya bagi perkembangan kehidupan anak.
Berikut pernyataan beberapa informan (pelaku):
10
Zarkasih, Warga Masyarakat Kebon Jeruk, Wawancara Pribadi, Kel. Kebon Jeruk 19
November 2010
11
Zarkasih, Warga Masyarakat Kebon Jeruk, Wawancara Pribadi, Kel. Kebon Jeruk 19
November 2010
60
Menurut Ita:
“Setiap keluarga pasti ada saja masalah-masalah didalam keluarga, akan tetapi
mengenai dampak dari nikah sirri menurut saya dibanding positifnya
kebanyakan negatifnya, contohnya aja saya tidak bisa membuat akta kelahiran
untuk anak saya karena syaratnya harus ada surat nikah, saya sudah minta
diurusin sama suami saya tapi tetap aja tidak ditanggapi,saya sangat khawatir
tentang status anak saya nantinya”.12
Menurut Karumi:
“Biasa-siasa saja, paling tidak enaknya punya suami yang beda Agama pada
bulan ramadhan dan hari-hari besar Islam lainnya Saya merayakannya sendiri
saja sekalipun suami Saya memberikan kebebasan untuk beribadah sesuai
dengan keyakinan Saya”.13
Menurut Sari:
“Pada awalnya sih kurang harmonis karena usia kami masih sangat muda tapi
sekarang hubungan kami baik-baik saja, tetapi yang Saya khawatirkan adalah
status anaknya Saya Nantinya di masyarakat”.14
Itulah beberapa pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh beberapa
warga yang mengaku mempunyai pengalaman pribadi mengenai pernikahan ini.
12
Ita, Warga Masyarakat Kebon Jeruk, Wawancara Pribadi, Kel. Kebon Jeruk 1November
2010
13
Karumi, Warga Masyarakat Kebon Jeruk, Wawancara Pribadi, Kel. Kebon Jeruk 1
November 2010
14
2010
Sari, Warga Masyarakat Kebon Jeruk, Wawancara Pribadi, Kel. Kebon Jeruk 7 November
61
Penulis sengaja tidak mencantumkan nama asli warga tersebut khususnya pelaku
pernikahan tersebut untuk menjaga nama baik mereka.
Sebenarnya pernyataan-pernyataan tersebut merupakan sebuah
realita
kehidupan yang menceritakan tentang kondisi warga (pelaku), meskipun tidak
semua warga Kebon Jeruk seperti itu, karena tidak dapat dipungkiri masih
banyak warga wilayah Kebon Jeruk yang tidak mengalami pernikahan sirri
tersebut.
C. Faktor-faktor yang menyebabkan praktek nikah sirri di Wilayah Kel.
Kebon Jeruk Jakarta Barat
Pada bab sebelumnya, telah dijelaskan bahwa ketentuan keshahihan dari
nikah sirri dalam hukum Islam terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Ada yang berpendapat membolehkan dengan beberapa ketentuan dan ada juga
yang berpendapat mengharamkannya. Sedangkan, di dalam hukum positif yakni
Undang-undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
terutama pada pasal 2 ayat 2, pernikahan sirri secara nyata tidak dijelaskan dalam
pasal itu, namun apabila kita mau memahami hakikat yang tersirat dalam pasal 2
ayat 2 maka nyatalah bahwa pernikahan sirri itu tercakup didalamnya yang
menjelaskan bahwa setiap pernikahan harus dicatat menurut Undang-undang
yang berlaku.
Proses pernikahan sirri di wilayah Kebon Jeruk, sebagaimana hasil
penelitian dan wawancara yang penulis lakukan baik dengan aparat hukum,
62
pelaku, amil, dan juga tokoh masyarakat setempat, secara singkat akan penulis
uraikan bagaimana proses pernikahan sirri di wilayah Kebon Jeruk.
Pelaku pernikahan tersebut pada saat ingin melaksanakan pernikahannya,
biasanya meminta bantuan kepada salah satu keluarga dan seorang tokoh agama
setempat atau yang bisa dikenal sebagai Amil yang biasa menikahkan pasangan
yang ingin melakukan pernikahan secara sirri. Mereka meminta bantuan tersebut
dimaksudkan untuk dapat memproses pernikahannya secara sirri. Karena
disebabkan oleh beberapa faktor yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sebenarnya proses dan tata cara pernikahan secara sirri biasanya hampir
sama dengan proses penikahan pada umumnya, pernikahan sirri hanya sah secara
agama, namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Pernikahan
yang terjadi sudah memenuhi ketentuan agama, misalnya: menghadirkan 2 saksi
adil, wali perempuan, adanya calon mempelai dan ijab qabul. Banyak faktor yang
menyebabkan warga negara Indonesia tidak mencatatkan pernikahannya di
lembaga pencatatan sipil negara, tetapi. Seorang informan (pelaku), Ita
mengungkapkan “Ya Prosesnya hampir sama dengan Proses nikah seperti
biasanya, hanya saja tidak di catat di KUA aja. Pada awalnya yang menjadi
wali nikah Saya bukan orang tua Saya, tetapi setelah beberapa lama Saya
menikah akhirnya orang tua saya merestui dan menikahkan kami kembali
dengan Ayah saya sendiri yang menjadi walinya karena khawatir pernikahan
kami yang sebelumnya tidak sah, karena status suami Saya sudah beristeri jadi
63
tetap tidak bisa nikah resmi”.15 Hal senada juga diungkapkan Sari, katanya “Ya
sama saja si dengan pernikahan yang resmi bedanya saya tidak dapat surat
nikah, yaitu dengan mengumpulkan kedua anggota keluarga calon mempelai
baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan, ada wali, saksi dan yang
pasti ada yang menikahkan, akan tetapi yang menikahkan saya waktu itu
seorang Ustadz didaerah saya”.16 Sedangkan, menurut Karumi, katanya
“Awalnya pasangan Saya membacakan dua kalimat syahadat didepan amil atau
penghulu, kemudian sama seperti pernikahan pada umumnya yaitu membaca
ijab qabul dan dengan syarat-syarat yang lainnya seperti ada Wali, dan
saksi.tapi bedanya tidak dicatat saja di KUA”.17
Sebenarnya pernikahan itu sungguh sangat mudah dan murah, karena
dalam Islam segala macam bentuk ibadah itu di mudahkan demi kelancaran
umatnya dalam menunaikan ibadah yang diperintahkan oleh Allah Swt. Nikah
juga sebagai peredam hawa nafsu kita. Banyak kemaksiatan yang di lakukan dua
insan pria dan wanita alangkah lebih baiknya bila disyahkan dalam bentuk
pernikahan. karena tata cara pernikahan yang dibenarkan dalam Islam adalah
sebagai berikut. Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah:
1) persetujuan kedua belah pihak,
15
Ita, Warga Masyarakat Kebon Jeruk, Wawancara Pribadi, Kel. Kebon Jeruk 1November
16
Sari, Warga Masyarakat Kebon Jeruk, Wawancara Pribadi, Kel. Kebon Jeruk 7 November
2010
2010
17
Karumi, Warga Masyarakat Kebon Jeruk, Wawancara Pribadi, Kel. Kebon Jeruk 1
November 2010
64
2) mahar (mas kawin),
3) tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan.
Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah
atau batal demi hukum. Sedangkan rukun perkawinan adalah:
1) calon suami,
2) calon isteri,
3) wali,
4) saksi dan
5) ijab Kabul
Kemudian, dari hasil penelitian dan wawancara terhadap informan
(pelaku), penulis dapat menarik kesimpulan bahwa, proses dan tata cara
pernikahan sirri yang dilakukan oleh pelaku nikah sirri adalah pernikahan yang
memenuhi baik rukum-rukun maupun syarat-syarat yang telah ditentukan
menurut hukum Islam tetapi tidak dilakukan melalui pendaftaran atau pencatatan
di Kantor Urusan Agama yang mewilayahi daerah tempat tinggal mereka.
Sedangkan yang menjadi masalah dari pernikahan sirri yang dilakukan oleh
para pelaku bukan karena alasan faktor ekonomi tetapi karena faktor-faktor lain
seperti,
1. Karena tidak mendapat restu dari orang tua disebabkan pasangannya sudah
beristeri.
2. Karena alasan beda agama.
3. Karena hamil diluar nikah akibat zina.
65
Demikianlah beberapa alasan dari mereka yang melakukan nikah sirri di
wilayah Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat, yang penulis dapatkan langsung
dari informan yang mempunyai pengalaman pribadi terkait pernikahan sirri.
D. Akibat Hukum Yang Ditimbulkan dari pernikahan Sirri di Wilayah
Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat
Setiap perbuatan hukum pasti akan mempunyai akibat hukum, begitu pula
pernikahan sirri yang merupakan perbuatan hukum pastilah menimbulkan akibatakibat hukum, seperti yang yang akan penulis uraikan secara singkat akibatakibat hukum yang ditimbulkan dari pernikahan sirri di bawah ini :
a. Akibat hukum pernikahan sirri bagi suami dan isteri
Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan berkata sepakat untuk
melakukan perkawinan, berarti mereka saling berjanji untuk memenuhi hak
dan kewajiban masing-masing pihak. Hak dan kewajiban suami istri yang
melaksanakan perkawinan sirri tergantung kesepakatan bersama.
Dalam perkembangan selanjutnya muncul suatu persoalan yaitu apakah
hak suami dan istri itu dilindungi oleh Undang Undang dan apakah istri dapat
menuntut hak nya di Pengadilan Agama apabila terjadi perceraian. Sudah
barang tentu karena dalam perkawinan sirri tidak memiliki alat bukti yang
otentik tentang perkawinannya maka hak suami maupun istri tidak dilindungi
oleh Undang-Undang. Oleh karena itu, jika suami atau istri ingin mengajukan
gugatan ke Pengadilan Agama tidak dapat diterima oleh Pengadilan Agama
karena pernikahannya tidak mempunyai kekuatan hukum sebab perkawinan
66
itu dilaksanakan tidak dimuka atau diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang
berwenang untuk itu.
Akan tetapi yang paling dirugikan dari pernikahan sirri adalah dari
pihak isteri dan perempuan pada umumnya, karena mereka secara hukum
dianggap bukan sebagai isteri yang sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan
dari suami jika ia meninggal dunia, serta tidak berhak atas harta gono-gini jika
terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan dianggap tidak pernah
terjadi. Sedangkan bagi pihak laki-laki atau suami hampir tidak ada kerugian
yang mengkhawatirkan akibat dari pernikahan sirri yang dilakukannya.
b. Akibat hukum pernikahan sirri bagi anak yang lahir
Kalau kita lihat dari pasal 42 Undang-Undang No. 1 Th. 1974 tentang
Perkawinan merumuskan bahwa : “Anak yang sah adalah anak yang lahir
dari atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Ada informan yang dalam
melakukan nikah sirri ini sudah mempunyai anak tetapi pernikahannya belum
juga diajukan pengesahan pada Pengadilan Agama yang berwenang. Sehingga
status anak yang dilahirkan tersebut dianggap tidak sah menurut UndangUndang yang berlaku yang mengakibatkan anak tersebut tidak bisa
memperoleh kepastian hukum karena tidak mempunyai alat bukti yang berupa
akta kelahiran
Kemudian dari banyaknya dampak negatif dari pernikahan sirri ini
muncullah usulan-usulan tentang pemidanaan terhadap pernikahan yang tidak
dicatatkan. Seperti yang terangkum dalam Rancangan Undang-undang tentang
67
Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang masuk dalam
daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 dimuat ketentuan
pidana (Pasal 143-153), khususnya terkait perkawinan sirri, perkawinan
mut’ah, perkawinan kedua, ketiga, dan ke empat, serta perceraian yang tanpa
dilakukan di muka pengadilan. Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu
bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp6 juta
hingga Rp 12 juta.
Dari perjalanan munculnya Rancangan Undang-undang tentang Hukum
Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan ini tidak terlepas dari realita
pentingnya pencatatan pernikahan untuk menjaga hak setiap pihak. Pencatatan
ini hanya diisyaratkan secara sekilas saja dalam UU Perkawinan nomor 1
tahun 1974 pasal 2 ayat 2, dimana dinyatakan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
E. Analisa Tentang Realitas Nikah Sirri
Praktek nikah sirri seharusnya tidak boleh terjadi dan harus dihindarkan
bagi laki-laki atau perempuan, karena perbuatan tersebut sangat berdampak
negatif bagi kehidupan sosial di masyarakat serta melanggar ketentuan hukum
yang berlaku, karena tanpa akta nikah, berarti tak ada proteksi hukum bagi istri
dan anak-anak. Hal ini seharusnya menyadarkan masyarakat untuk tidak menikah
secara sirri. Jika terjadi masalah dalam perkawinan, sangat sulit bagi istri dan
anak-anak untuk memperoleh hak-haknya, seperti hak nafkah, hak tunjangan,
hak waris, dan hak istri atas harta gono-gini, serta sejumlah hak lain. Akan tetapi
68
pernikahan seperti ini masih saja terjadi di wilayah manapun termasuk di wilayah
Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta barat.
Praktek pernikahan sirri yang kini masih saja terjadi, hal ini disebabkan
karena di dalam Perundang-undangan negara Indonesia tidak terdapat sanksi
yang tegas terhadap pernikahan sirri yang sering terjadi di negara ini dan
kurangnya penyuluhan-penyuluhan tentang hukum-hukum perkawinan kepada
masyarakat awam, serta proses pencatatan pernikahan yang masih terlalu rumit.
Oleh sebab itu, maka para pelaku menganggap enteng masalah nikah sirri,
Karena itu, dapatlah dipahami respon yang sangat kuat terhadap Rancangan
Undang-Undang Materiil Peradilan Agama (RUU MPA) di bidang perkawinan
akhir-akhir ini, baik dari pihak yang setuju maupun pihak yang menolak. Sebab,
RUU tersebut merumuskan sanksi pemidanaan bagi mereka yang menikah tanpa
pencatatan atau dikenal dengan kawin sirri (pasal 143). Spiritnya adalah
memberikan proteksi terhadap istri dan anak-anak. Selama ini merekalah yang
paling banyak merasakan kesengsaraan akibat tiadanya pencatatan perkawinan
yang menjadi bukti legal bagi pemenuhan hak-hak mereka. Bahkan, juga
memproteksi laki-laki dari tuntutan orang-orang yang mengaku istri atau anak.
Karena itu, pencatatan perkawinan bukan dimaksudkan sebagai intervensi
negara terhadap masalah agama, melainkan harus dilihat dalam konteks
pemenuhan hak-hak sipil warga.
Dari data empiris yang telah dipaparkan, ada beberapa gagasan
penyelesaian yang perlu penulis sampaikan pada akhir tulisan ini untuk
69
menanggulangi merebaknya praktek nikah sirri tersebut. Pertama, Dengan
memahami realita pernikahan siri yang telah terjadi pada masyarakat diharapkan
muncul pemecahan yang tepat, bijak, solutif, dan melegakan semua pihak. Pada
kasus pernikahan sirri yang sah secara agama, namun tidak dicatatkan dalam
lembaga pencatatan negara, maka perlu dikaji lebih dalam. Secara aspek
pernikahan sirri-nya sah dan halal menurut agama Islam. Orang yang
melakukannya tidaklah berdosa atau bermaksiat kepada Allah. Oleh karena itu,
tidaklah sepantasnya negara memberikan sanksi berupa denda membayar
sejumlah uang atau dipenjara kepada seseorang yang sedang menjalankan ibadah
sesuai agamanya dalam ikatan pernikahan yang sah. Kita hendaknya meninjau
faktor yang menyebabkan kenapa orang tersebut tidak atau belum mencatatkan
ke lembaga pencatatan sipil. Sehingga, menurut penulis kebijakan aturan
pencatatan sipil kian mempermudah orang yang sedang menjalankan ibadah
agama, bukan mempersulit.
Kedua, bagi pihak KUA atau Kepada instansi pemerintah yang
berkepentingan hendaknya lebih ditingkatkan dalam memberikan penyuluhanpenyuluhan tentang hukum-hukum perkawinan kepada masyarakat awam secara
merata, sehingga masyarakat tahu dan agar tidak ada alasan lagi bagi pelaku
untuk menghindar dari ketidaktahuan tentang akibat hukum dari perkawinan
yang mereka lakukan dan tata cara perkawinan yang sah menurut UndangUndang Perkawinan yang diakui oleh pemerintah secara Hukum Nasional.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas
maka dapat disimpulkan ke dalam
beberapa uraian, yakni:
1. Masyarakat di wilayah Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat terkait
praktek nikah sirri saling berbeda pandangan ada yang memandang
pernikahan sirri itu sah dan diperbolehkan, asalkan sesuai dengan syari’at
Islam (khususnya mengacu kepada pendapat jumhur yang membolehkan
pernikahan sirri dengan pengecualian harus sesuai dengan syari’at
Islam). Namun, ada pula sebagian masyarakat yang menganggap hal
tersebut tidak diperbolehkan sekalipun dalam proses pelaksanaannya
sesuai dengan syari’at Islam karena hal pernikahan tersebut telah
melanggar ketentuan hukum Perkawinan dan sangat merugikan bagi
pihak isteri dan anak. Bahkan dalam pandangan KUA terhadap
pernikahan sirri adalah tidak membolehkan serta menyatakan bahwa
pernikahan tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap Undangundang Perkawinan dan dapat dikenakan sanksi pidana.
70
71
2. Faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Kelurahan Kebon jeruk
Jakarta Barat yang melakukan praktek nikah sirri berdasarkan dari hasil
penelitian yang penulis dapatkan di wilayah Kelurahan Kebon Jeruk. Dan
dari faktor yang pertama adalah Karena tidak mendapat restu dari orang
tua disebabkan status pasangannya sudah beristeri, kedua Karena alasan
beda agama, dan yang ketiga Karena hamil diluar nikah akibat zina.
3. Akibat hukum yang timbul dari pernikahan sirri, pertama, bagi suami dan
isteri apabila terjadi suatu perceraian, bagi suami dan istri tidak dapat
menuntut haknya di Pengadilan Agama karena pernikahannya tidak
memiliki alat bukti yang otentik tentang pernikahannya sehingga tidak
dilindungi oleh Undang-undang. Karena sebab tidak memiliki akta nikah
maka tidak ada proteksi hukum bagi hak-hak suami dan isteri, khususnya
bagi pihak isteri yang paling dirugikan, karena Jika terjadi masalah dalam
perkawinan, sangat sulit bagi istri dan anak-anak untuk memperoleh hakhaknya, seperti hak nafkah, hak tunjangan, hak waris, dan hak istri atas
harta gono-gini, serta sejumlah hak lain. Kedua, akibat hukum yang
timbul bagi anak yang lahir, akibatnya anak itu tidak bisa mendapatkan
kepastian hukum Sehingga mengenai hak mewarisi, anak yang lahir dari
perkawinan sirri menurut Undang-Undang tidak bisa mewarisi dari pihak
bapak, tetapi hanya bisa mewarisi dari pihak ibunya saja. Karena anak
72
yang lahir dari perkawinan sirri ini hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.
B. Saran-saran
1. Aturan mengenai pernikahan sirri sebaiknya lebih dipertegas oleh
Undang-undang Perkawinan sehingga tidak ada lagi yang melakukan
pernikahan tersebut, dan memudahkan proses pencatatan pernikahan.
2. Bagi pihak KUA sebaiknya lebih ditingkatkan dalam memberikan
penyuluhan-penyuluhan tentang hukum-hukum perkawinan kepada
masyarakat awam secara merata, sehingga masyarakat tahu dan agar tidak
ada alasan lagi bagi pelaku untuk menghindar dari ketidaktahuan tentang
akibat hukum dari perkawinan yang mereka lakukan dan tata cara
perkawinan yang sah menurut Undang-Undang Perkawinan yang diakui
oleh pemerintah secara Hukum Nasional.
3. Dan untuk para Tokoh Agama dan Masyarakat sebaiknya selalu
memberikan nasihat-nasihat dan saran-saran mengenai hukum pernikahan
baik dari segi hukum Islam maupun hukum positif agar praktek
pernikahan sirri lebih diminimalisir bahkan sampai tidak ada lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqh Munakahat, (Bandung : CV Pustaka Setia,
1996), cet. Ke-1
Al- Jaziri, Abdurrahman, al- Fiqh ‘ala al- Mazahib al- Arbaah, (Beirut Libanon, Dar
al- Fikr, 1990), juz-4
Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islaami wa Adillatu, (Libanon: Dar al- Fikr, tt)
Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqh Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia)
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta, UII Press, 2000)
Bustanul, Arifin. Kompilasi Fiqh Dalam Bahasa Undang-undang, (Bandung: CV)
Chaeruddin, Perkawinan, Eksilopedi Tematis DUNIA ISLAM, (Jakarta: PT. Lehtiar
Baru Van Hoeve, t.t)
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam
Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Depag, 2001)
Hosen, Ibrahim, fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003)
Muhammad Ibn Ismail, Abi Abdillah, Shohih al- Bukhari, (Semarang, Toha Putra, tt),
Juz- 6
Republik Indonesia. UU No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan
Kinani, Abdurrahman Ismail. Zuwaidin ibn Majah, (Beirut: Daar Kutub al- ilmiah)
M, Mahful dan Mohammad, Herry. Fenomena Nikah Sirri, (Jakarta : IKAPI, 1996),
cet. 1
Malik bin Anas Al-Asbahi, Abi Abdillah. Muwatha Imam Malik,
Maktabah Al-Islamiyah, 1967), juz 2
(Kairo : Al-
Muhdlor, A. Zuhdi. Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk).
(Bandung : Al-Bayan,1994), cet. 1
73
74
Ramulya, Idris, M, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan
Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta, Ind. Hill Co, 1985), Cet-4
Romulya, Idris, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UU No. 1 Tahun
1947, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996)
Rusd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid, Penerjemah M.A Abdurrahman dan A. Haris
Abdullah, (Semarang : CV. Asy-syifa’), cet. Ke-1, 1990
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 6, Bandung, PT Alma’arif, cet. 1, 1973
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta,
Liberty, 1997)
Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006)
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta, PT. Intermasa, 1980), Cet-XV
Tholib, M, 40 Petunjuk Menuju Perkawinan Islam, (Irsyad Bai Tussabuni Bandung:
1995)
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia (berlaku bagi umat Islam), (Jakarta,
UI Press, 1974), Cet-1
Projodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung, Sumur Bandung,
1981)
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta, PT. Hidakarya Agung,
1996), cet-15
LEMBARAN OBSERVASI
Wawancara ke :
Subjek
: 1/2/3
Tempat
:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tanggal
Jam
:
:
Keadaan tempat wawancara, cuaca dan kehadiran pihak lain di sekitar tempat wawancara.
Gambaran fisik dan penampilan subjek.
Ringkasan sikap subjek selama jalannya wawancara (intonasi suara, sikap tubuh, antusiasme, sikap responden kepada interviwer, dan lain-lain).
Ringkasan awal dan akhir wawancara meliputi hal-hal apa saja yang dilakukan interviwer dan subjek.
Gangguan dan hambatan selama wawancara.
Catatan khusus selama wawancara.
Identitas Subjek
Nama (Inisial)
Usia
Pendidikan
Pekerjaan
Urutan dalam Keluarga
Usia Perkawinan
Status pencatatan Pernikahan
Usia Anak
Status Tinggal
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Identitas Pasangan
Usia
Pendidikan
Pekerjaan
Urutan dalam Keluarga
:
:
:
:
Pewawancara
(Ahmad Zulfahmi)
Informan
(....................................)
PEDOMAN WAWANCARA
No
Masalah
Responden
Pertanyaan
1.
Bagaimana Pandangan
Masyarakat Kebagusan
Terhadap Pernikahan
Wanita Hamil Akibat
Hubungan Seksual di
Luar Nikah Yang Sah?
Apa yang Anda ketahui mengenai hakikat pernikahan?
Apa yang Anda Ketahui mengenai tujuan dari pernikahan?
Apa yang Anda ketahui mengenai rukun dan syarat sebuah pernikahan?
Bagaimana pandangan Anda terhadap Undang-undang pernikahan saat ini? Apakah sudah
sesuai dengan syari’at Islam atau belum?
Bagaimana pandangan Anda terhadap pernikahan wanita hamil di luar nikah? Mengapa?
Menurut pendapat Anda, faktor apa yang menyebabkan seseorang melakukan pernikahan
wanita hamil di luar nikah?
Apa dampak hamil di luar nikah terhadap kualitas pernikahan? (berdasarkan
pengalaman/pendapat Anda)
Apa problem yang dialami oleh calon pasangan pengantin yang sudah terlanjur hamil di
luar nikah? (berdasarkan pengalaman Anda) terutama ketika Anda mengurus proses
pernikahan di KUA
Menurut Anda, apakah pernikahan wanita hamil di luar nikah sah menurut hukum Islam
dan hukum positif?
Kenapa Anda melakukan hubungan seksual di luar nikah tersebut?
Apakah Anda tahu konsekwensi yang akan diterima akibat hubungan tersebut?
Apakah pernikahan merupakan solusi terbaik?
Siapa yang menyarankan pernikahan yang Anda jalankan ini?
Bagaimana komentar dan tanggapan pihak-pihak lain terhadap pernikahan yang anda
jalankan ini?
Sepengetahuan Bapak, Apakah ada warga masyarakat Kebagusan yang melakukan
pernikahan wanita hamil akibat zina (hubungan seksual di luar nikah yang sah)?
Bagimana Bapak/Ibu menyikapi pernikahan wanita hamil akibat zina (hubungan seksual di
luar nikah yang sah)?
Bagaimana peranan Bapak dalam mengantisipasi terjadinya pernikahan wanita hamil di
luar nikah (cara-cara mengatasinya)?
Saran apa yang dapat Anda berikan untuk warga masyarakat Kebagusan di sini terkait
dengan kasus-kasus nikah karena kehamilan di luar nikah?
Berapakah jumlah pernikahn wanita hamil akibat hubungan seks diluar nikah yang sah
yang Bapak ketahui di Wilayah Kebagusan ini?
Apakah seseorang yang terlanjur hamil di luar nikah harus dinikahi oleh yang
Pelaku
(Masyara
kat)
Tokoh
Masyarak
at
Aparat
Hukum








































2
Bagaimana Praktek
Pernikahan Wanita
Hamil di Luar Nikah di
Wilayah Kebagusan
Pasar Minggu Jak-Sel?
menghamilnya?
Pada usia berapakah Anda menikah? dan Apakah pernikahan saat ini, dilakukan untuk
pertama kalinya?
Dengan siapa Anda menikah (dengan yang menghamili atau bukan yang menghamili)?
Bagaimana gaya pacaran Anda?(terutama bagaimana sikap orangtua Anda terhadap cara
berpacaran Anda)
Bagaimana proses pernikahan Anda mulai dari proses awal sebelum pernikahan hingga
sampai pada pernikahan?
Pada saat mendaftar di KUA, apakah aparatur terkait mengetahui hal yang terjadi pada
Anda (sudah terlanjur hamil di luar nikah)? Dan apakah Anda sudah melakukan
pernikahan sirri terlebih dahulu sebelum mendaftar ke KUA?
Bagaimana strategi Anda menutupinya (jika tidak diketahui) dari aparatur hukum tersebut?
Bagaimana cara pihak KUA mengetahui kondisi wanita tersebut dalam keadaan hamil
akibat hubungan seksual di luar nikah yang sah?
Apakah KUA memeriksa terlebih dahulu kondisi fisik calon pengantin wanita atau tidak?
Mengapa?
Apakah mereka tidak mendaftarkan diri secara langsung atau diwakilkan kepada salah
seorang dari anggota keluarga mereka ke KUA ? Mengapa?
Langkah apa yang dilakukan KUA menghadapi kasus pernikahan wanita hamil akibat zina
(di luar nikah) tersebut?
Berapakah kasus pernikahan wanita hamil di luar nikah di KUA Pasar Minggu Jakarta
Selatan? dan apakah dicatat dalam sebuah laporan?
Bagaimana proses pernikahan wanita hamil akibat hubungan seksual di luar nikah?
Bagaimanakah penerapan hukum pernikahan wanita hamil di luar nikah tersebut pada
masyarakat Kebagusan?
Bagimana Bapak menyikapi pernikahan wanita hamil di luar nikah?
Bagaimana peranan Bapak dalam mengantisipasi terjadinya pernikahan wanita hamil di
luar nikah (cara-cara mengatasinya)?
Saran apa yang dapat Anda berikan untuk warga masyarakat Kebagusan di sini?
Bagaimana sikap dan pandangan masyarakat luas sekitar Daerah Kebagusan terhadap
praktek pernikahan pasangan yang sudah terlanjut hamil di luar nikah?
Bagaimana perjalanan kehidupan keluarga pernikahan akibat hamil di luar nikah?
Bagaimana saran semua Bapak/Ibu?saudara terhadap fenomena pernikahan akibat hamil di
luar nikah?
































LEMBARAN OBSERVASI
Wawancara ke :
Subjek
: 1/2/3/4
Tempat
:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tanggal
Jam
:
:
Keadaan tempat wawancara, cuaca dan kehadiran pihak lain di sekitar tempat wawancara.
Gambaran fisik dan penampilan subjek.
Ringkasan sikap subjek selama jalannya wawancara (intonasi suara, sikap tubuh, antusiasme, sikap responden kepada interviwer, dan lain-lain).
Ringkasan awal dan akhir wawancara meliputi hal-hal apa saja yang dilakukan interviwer dan subjek.
Gangguan dan hambatan selama wawancara.
Catatan khusus selama wawancara.
Identitas Subjek
Nama
Usia
Pendidikan
Pekerjaan
Jabatan
Status Tinggal
Pewawancara
(Ahmad Zulfahmi)
:
:
:
:
:
:
Informan
(....................................)
Wawancara dengan Informan I
Wawancara ini dilakukan pada tanggal 1 november 2010, pukul 20.45 WIB, bertempat di
kediaman informan Jl. Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat. Wawancara ini dilakukan terhadap
Alita, sebagai pelaku Nikah Sirri.
Ahmad Zulfahmi (Az) : Apa yang Anda ketahui mengenai hakikat pernikahan?
Ita (I)
: Membentuk sebuah keluarga yang harmonis.
Az
: Apa yang Anda Ketahui mengenai tujuan dari pernikahan?
I
: Menjadi Keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah.
Az
: Apa yang Anda ketahui mengenai rukun dan syarat sebuah pernikahan?
I
: Yang saya tahu Calon pengantinnya seagama, ada wali, dua orang saksi dari masingmasing keluarga pengantin, Ijab qabul, sama mahar .
Az
: Bagaimana pandangan Anda terhadap Undang-undang pernikahan saat ini? Apakah
sudah sesuai dengan syari’at Islam atau belum?
I
: Kayaknya sudah, Karena saya kurang tahu mengenai Undang-undang Perkawinan.
Az
: Bagaimana pandangan Anda terhadap praktek nikah sirri?Mengapa?
I
: Menurut Saya nikah sirri itu sah-sah saja jika dilaksanakan sesuai dengan syari’at Islam
hanya saja tidak dicatat di KUA.
Az
: Kapan dan dimana Anda dahulu Menikah?
I
: sekitar 11 tahun yang lalu, didaerah Kemanggisan
Az
: Siapakah Yang menikahkan Anda?
I
: seorang Ustadz atau Amil.
Az
: Menurut pendapat Anda, faktor apa yang menyebabkan Anda melakukan pernikahan
sirri? Dan kenapa tidak menikah di KUA?
I
: Alasan Saya melakukan Pernikahan sirri karena status suami saya sudah beristri dan
orang tua Saya tidak merestui hubungan kami, tapi kami tetap melakukan pernikahan
itu, karena daripada saya berzina ya saya nikah sirri aja karena sudah terlanjur sayang
dan cinta. Karena alasan itulah saya tidak menikah di KUA, sekalipun awalnya saya tidak
setuju nikah sirri.
Az
: Siapa yang mengurus pernikahan Anda?
I
: Suami saya yang mengurus semuanya.
Az
: Apakah Anda melakukan nikah sirri atas kemauan sendiri atau atas dorongan dari pihak
lain?
I
: Sebenarnya saya tidak mau tapi karena cinta akhirnya saya mau nikah sirri.
Az
: Bagaimana proses pernikahan yang Anda lakukan? Mulai awal sampai pada
pernikahan?
I
:
Ya Prosesnya hampir sama dengan Proses nikah seperti biasanya, hanya saja tidak di
catat di KUA aja. Pada awalnya yang menjadi wali nikah Saya bukan orang tua Saya,
tetapi setelah beberapa lama Saya menikah akhirnya orang tua saya merestui dan
menikahkan kami kembali dengan Ayah saya sendiri yang menjadi walinya karena
khawatir pernikahan kami yang sebelumnya tidak sah, karena status suami Saya sudah
beristeri jadi tetap tidak bisa nikah resmi.
Az
: Apakah ada biaya untuk melakukan nikah sirri?
I
: Ya pasti ada, tapi klo untuk biaya amil kami tidak di patokin harganya, seikhlasnya aja.
Az
: Bagaimana perjalanan kehidupan keluarga Anda?apa saja dampak yang ditimbulkan
dari pernikahan yang Anda lakukan? (Positif dan negatif)
I
: setiap keluarga pasti ada aja masalah-masalah,akan tetapi mengenai dampak dari nikah
sirri menurut saya dibanding positifnya kebanyakan negatifnya, contohnya aja saya tidak
bisa membuat akta kelahiran untuk anak saya karena syaratnya harus ada surat nikah,
saya sudah minta diurusin sama suami saya tapi tetap aja tidak ditanggapi,saya sangat
khawatir tentang status anak saya nantinya.
Az
: Apakah Masyarakat mengetahui pernikahan yang Anda lakukan? Bagaimana sikap dan
pandangan masyarakat terhadap pernikahan Anda?
I
: ya tahu, biasa-biasa aja.
Az
: Apa sebelumnya Anda sudah tahu konsekuensi yang akan anda terima apabila
melakukan pernikahan sirri tersebut?
I
: Ya saya tahu.
Az
: Saran apa yang dapat Anda berikan untuk warga masyarakat Kebon Jeruk?
I
:Bagi pasangan yang belum menikah sebaiknya jangan melakukan pernikahan sirri
sekalipun keadaanya terdesak karena enaknya hanya sesaat dan lebih banyak susahnya.
Jakarta, 1 November 2010
(Ita)
Wawancara dengan Informan
Wawancara ini dilakukan pada tanggal 1 november 2010, pukul 13.30 WIB, bertempat di
kediaman informan Jl. Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat. Wawancara ini dilakukan terhadap
Karumi, sebagai pelaku Nikah Sirri.
Ahmad Zulfahmi (Az) : Apa yang Anda ketahui mengenai hakikat pernikahan?
Karumi (K)
: Membentuk sebuah keluarga yang harmonis.
Az
: Apa yang Anda Ketahui mengenai tujuan dari pernikahan?
K
: Menjadi Keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah.
Az
: Apa yang Anda ketahui mengenai rukun dan syarat sebuah pernikahan?
K
: Ada wali, dua orang saksi dari masing-masing keluarga pengantin, Ijab qabul, sama
mahar .
Az
: Bagaimana pandangan Anda terhadap Undang-undang pernikahan saat ini? Apakah
sudah sesuai dengan syari’at Islam atau belum?
K
: Menurut Saya sudah sesuai.
Az
: Bagaimana pandangan Anda terhadap praktek nikah sirri?
K
:.Menurut Saya boleh-boleh saja
Az
: Kapan dan dimana Anda dahulu Menikah?
K
: 7 tahun yang lalu di didaerah Cileduk.
Az
: Siapakah Yang menikahkan Anda?
K
: Seorang Amil sekaligus tokoh agama setempat.
Az
: Menurut pendapat Anda, faktor apa yang menyebabkan Anda melakukan pernikahan
sirri? Dan kenapa tidak menikah di KUA?
K
: Menurut Saya banyak faktor yang menyebabkan seorang nikah sirri, contohnya saja
Saya faktor Saya nikah sirri karena Pasangan Berbeda Agama dengan Saya, jadi tidak
mungkin kan saya menikah di KUA.
Az
: Siapa yang mengurus pernikahan Anda?
K
: Saudara Saya.
Az
: Apakah Anda melakukan nikah sirri atas kemauan sendiri atau atas dorongan dari pihak
lain?
K
: Ya atas dasar cinta.
Az
: Bagaimana proses pernikahan yang Anda lakukan? Mulai awal sampai pada
pernikahan?
K
: Awalnya pasangan Saya membacakan dua kalimat syahadat didepan amil atau
penghulu, kemudian sama seperti pernikahan pada umumnya yaitu membaca ijab
qabul dan dengan syarat-syarat yang lainnya seperti ada Wali, dan saksi.tapi bedanya
tidak dicatat saja di KUA.
Az
: Apakah ada biaya untuk melakukan nikah sirri?
K
: Ya pasti adalah, tapi seikhlasnya..
Az
: Bagaimana perjalanan kehidupan keluarga Anda?apa saja dampak yang ditimbulkan
dari pernikahan yang Anda lakukan? (Positif dan negatif)
K
: Biasa-siasa saja, paling tidak enaknya punya suami yang beda Agama pada bulan
ramadhan dan hari-hari besar Islam lainnya Saya merayakannya sendiri saja sekalipun
suami Saya memberikan kebebasan untuk beribadah sesuai dengan keyakinan Saya.
Az
: Apakah Masyarakat mengetahui pernikahan yang Anda lakukan? Bagaimana sikap dan
pandangan masyarakat terhadap pernikahan Anda?
K
: Ya tahu, biasa-biasa saja.
Az
: Apa sebelumnya Anda sudah tahu konsekuensi yang akan anda terima apabila
melakukan pernikahan sirri tersebut?
K
: Ya tahu.
Az
: Saran apa yang dapat Anda berikan untuk warga masyarakat Kebon Jeruk?
K
: Nikah sirri boleh-boleh saja tapi kalo bisa jangan dan usahakan cari pasangan yang
seiman.
Jakarta, 1 November 2010
(Karumi)
Wawancara dengan Responden IV
Wawancara ini dilakukan pada tanggal 19 November 2010, pukul 13.30 WIB,
bertempat di kediaman responden Jl. Masjid As-Surur Kebon jeruk Jakarta Barat.
Wawancara ini dilakukan terhadap Ust. H. Zarkasyi, sebagai Amil sekaligus Tokoh
Masyarakat di wilayah ini
Ahmad Zulfahmi (Az): Apa yang Anda ketahui mengenai hakikat pernikahan?
H. Zarkasyi (Hz)
:. Menjalankan sunnah Rasul SAW untuk mensyiarkan agama
Islam.
Az
: Apa yang Anda Ketahui mengenai tujuan dari pernikahan?
Hz
: Memperoleh keturunan dalam keluarga yang sakinah, mawaddah dan
warrahmah.
Az
: Apa yang Anda ketahui mengenai rukun dan syarat sebuah pernikahan?
Hz
: Ada calon pengantin pria dan wanita dan keduanya sama-sama Islam, baligh
dan berakal, dua orang saksi, wali, ijab qabul dan mahar
Az
: Bagaimana pandangan Anda terhadap Undang-undang pernikahan saat ini?
Apakah sudah sesuai dengan syari’at Islam atau belum?
Hz
: Sudah.
Az
: Apa yang Anda ketahui tentang pengertian nikah sirri?
Hz
: Nikah sirri itu sah jika dilaksanakan sesuai dengan syari’at Islam hanya saja
pernikahan tersebut bersembunyi dari ketentuan hukum pemerintah.
Az
: Bagaimana asal usul nikah nirri tersebut?
Hz
: Kalau menurut saya ya karena daripada orang-orang melakukan perbuatan
zina lebih baik nikah sirri karena prosesnya tidak sulit.Kata nikah sirri itu
hanya sebutan dari pemerintah saja bagi pernikahan yang tidak resmi menurut
Undang-undang Perkawinan.
Az
: Adakah pedoman yang dipakai dalam pelaksanaan nikah sirri?
Hz
: Ya, ada.
Az
: Lalu bagaimana pelaksanaan nikah sirri tersebut?
Hz
: Sama saja seperti pernikahan pada umumnya bedanya, proses pernikahannya
hanya sesuai dengan ketentuan syari’at Islam saja tetapi tidak sesuai dengan
ketentuan hukum yang ditetapkan Pemerintah.
Az
: Dimanakah proses akad nikah sirri dilakukan, dirumah Anda atau dirumah
pasangan tersebut?
Hz
: Kadang dirumah Saya dan kadang dirumah calon pengantin nikah sirri
Az
: Apakah ada biaya atau tarif dalam melakukan nikah sirri itu?
Hz
: Kalau itu saya tidak pernah kasih tarif, tapi biasanya mereka memberikan
sesuatu kepada saya, ya misalnya dalam berbentuk uang.
Az
: Sejak kapan Anda menikahkan pasangan yang ingin melakukan nikah sirri?
Hz
: Sudah lama sekali, kalau tidak salah dari tahun 1983 sampai sekarang.
Az
: Pada Umumnya dalam sebulan berapa jumlah pasangan yang sudah Anda
nikahkan?
Hz
: Ya tidak tentu kadang- kadang 5 pasangan dan paling sedikit dalam sebulan
ada 3 pasangan.
Az
: Dari mana Anda mendapatkan ilmu tersebut (belajar atau diwarisi)?
Hz
: Sebenarnya Saya dulu seorang penghulu Di KUA tapi saya sudah lama
pensiun, makanya orang-orang banyak yang minta dinikahkan.
Az
: Dari kalangan mana saja yang melakukan nikah sirri itu menurut
pengalaman Anda?
Hz
: Biasanya yang minta dinikahkan itu dari kalangan orang-orang yang
menengah keatas.
Az
: Faktor-faktor apa saja yang membuat seseorang lebih memilih melakukan
nikah sirri dibandingkan dengan nikah yang resmi menurut agama dan
Negara?
Hz
: Kebanyakan dari mereka orang-orang yang ingin melakukan poligami,
karena kalau nikah resmi rumit sekali prosesnya. Dan faktor lainnya ya paling
karena kecelakaan atau hamil diluar nikah, karena orang tua mereka sudah
terlanjur malu jika harus dinikahkan di KUA.
Az
: Apakah dengan nikah sirri kehidupan rumah tangga akan baik-baik saja?
Hz
: Yang pasti tidak tenteram kalau menurut saya, bagaimana mau tenteram
nikahnya aja ngumpet-ngumpet.
Jakarta, 19 November 2010
(Ust. H. Zarkasyi)
Wawancara dengan Responden V
Wawancara ini dilakukan pada tanggal 15 November 2010, pukul 08.30 WIB,
bertempat di kediaman informan di jl. Anggrek kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat.
Wawancara ini dilakukan terhadap Ust. H. Urwah Salim, sebagai tokoh masyarakat di
wilayah ini
Ahmad Zulfahmi (Az) : Apa yang Anda ketahui mengenai hakikat pernikahan?
Urwah Salim (Us)
: Untuk mengikuti sunah Rasul.
Az
: Apa yang Anda Ketahui mengenai tujuan dari pernikahan?
Us
:Menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah.
Az
: Apa yang Anda ketahui mengenai rukun dan syarat sebuah pernikahan?
Us
: Ada calon pengantin laki-laki dan perempuan, dua orang saksi, ijab qabul,
wali dan mahar.
Az
: Bagaimana pandangan Anda terhadap Undang-undang pernikahan saat ini?
Apakah sudah sesuai dengan syari’at Islam atau belum?
Us
: Sudah sesuai..
Az
: Apakah Anda mengetahui perihal tentang praktek nikah sirri pada
masyarakat di wilayah Kebon Jeruk?
Us
: Kalo denger-denger saja si pernah, tapi kalo lihat secara langsung belum
pernah.
Az
: Bagaimana pandangan Anda terhadap praktek nikah sirri, Alasannya?
Us
: Sebenarnya
setiap
pernikahan itu dikatakan sah
apabila
proses
pelaksanaannya sesuai dengan syari’at Islam dan resmi menurut Undang-
undang Perkawinan. Dan menurut Saya nikah sirri itu sah tapi sebaiknya
jangan dilakukan karena dibandingkan dengan mashlahatnya mudharatnya
lebih banyak, karena kita hidup didunia bukan hanya diatur oleh Syari’at
Islam tetapi juga diatur dalam Aturan-aturan Di Negara ini.
Az
: Apakah nikah sirri itu ada dasarnya dalam Agama?
Us
: Tidak ada.
Az
: Menurut Anda faktor apa saja yang dapat membuat seseorang melakukan
nikah sirri itu?
Us
: Kalo yang saya tahu karena faktor ekonomi. Atau karena ingin nikah lagi
agar tidak diketahui isterinya.
Az
: Bagaimana dampak dan pengaruh sosial bagi kehidupan rumah tangga pada
masyarakat akibat nikah sirri?
Us
: Ya bisa menjadi omongan masyarakat, bisa menimbulkan fitnah dan dapat
merusak hubungan keluarga.
Az
: Menurut Anda bagaimana tingkat kesadaran hukum masyarakat Kebon Jeruk
Tentang perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan di Indonesia?
Us
: Menurut saya sudah cukup tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat
Kebon Jeruk tentang perkawinan, karena sekalipun ada yang melakukan tapi
sangat jarang sekali saya mendengar orang yang melakukan pernikahan
seperti itu.
Az
: Bagaimana pemahaman masyarakat Kebon Jeruk tentang perkawinan
Islam?
Us
: Sepertinya sudah banyak yang mengerti.
Az
: Bagaimana peranan Anda dalam mengantisipasi terjadinya praktek nikah
sirri?
Us
: Saya hanya sebagai guru ngaji di wilayah ini dan yang hanya bisa saya
lakukan ya sebagai pemberi nasihat agar kalo bisa jangan nikah sirri.
Az
: Bagaimana sikap dan pandangan masyarakat luas sekitar wilayah Kebon
Jeruk terhadap praktek nikah sirri pada pasangan yang sudah melakukannya?
Us
: Biasa-biasa saja habis mau bagaimana lagi sudah terlanjur terjadi.
Az
: Bagaimana tanggapan para Ulama mengenai nikah sirri?
Us
: Boleh-boleh saja asal sesuai dengan syari’at Islam tapi kalo bisa jangan.
Az
: Saran apa yang dapat Anda berikan untuk warga masyarakat Kebon Jeruk di
sini?
Us
: Usahakan melakukan pernikahan yang sah menurut agama Islam dan resmi
menurut Undang-undang Perkawinan.
Jakarta, 12 Oktober 2009
(Ust. H. Urwah Salim)
Wawancara dengan Informan VI
Wawancara ini dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2010, pukul 13.45 WIB,
bertempat di kantor informan KUA Kebon Jeruk Jakarta Barat. Wawancara ini
dilakukan terhadap Drs. H. Abd. Rachman, sebagai Kepala KUA di wilayah Kebon
Jeruk Jakarta Barat..
Ahmad Zulfahmi (Az): Apa yang Anda ketahui mengenai hakikat pernikahan?
Abd. Rachman (Ar) : untuk mengikuti sunah Rasul.
Az
: Apa yang Anda Ketahui mengenai tujuan dari pernikahan?
Ar
: Untuk mencapai suatu ketetangan.
Az
: Bagaimana pandangan Anda terhadap Undang-undang pernikahan saat ini?
Apakah sudah sesuai dengan syari’at Islam atau belum?
Ar
: Sudah sesuai, sebab Undang-undang tersebut mampu melindungi hak-hak
perempuan dan anak.
Az
: Bagaimana pandangan Anda terhadap praktek nikah sirri? Mengapa?
Ar
: Menurut saya nikah sirri itu tidak sah dan tidak diperbolehkan, karena
pernikahan tersebut tidak resmi dan merupakan suatu pelanggaran terhadap
Undang-undang Perkawinan dan dapat dikenakan sanksi Pidana.
Az
: Menurut pendapat Anda faktor apa seseorang melakukan praktek nikah sirri?
Ar
: Yang saya tahu salah satu faktornya mereka hanya ingin melampiaskan
hasratnya atau hanya ingin bersenang-senang.
Az
: Berapakah jumlah kasus praktek nikah sirri yang bapak ketahui di wilayah
Kebon Jeruk?
Ar
: Tidak tahu, karena saya tidak pernah mendengar apalagi melihat secara
langsung dan jika saya tahu maka mereka akan saya laporkan.
Az
: Bagaimana tingkat kesadaran hukum masyarakat Kebon Jeruk tentang
pernikahan?
Ar
: Tingkat kesadaran hukum masyarakat di wilayah Kebon Jeruk sudah cukup
tinggi mengenai pernikahan.
Az
: Apa saja dampak yang timbul diakibatkan karena praktek nikah sirri? Positif
dan negatif.
Ar
: Untuk masalah negatifnya banyak sekali dan yang paling dirugikan itu
adalah dari pihak perempuan dan anak, dan untuk yang positifnya saya kira
tidak ada.
Az
: Apakah masyarakat di wilayah Kebon Jeruk sudah mengetahui tata cara
pernikahan dan prosedur-prosedur yang benar?
Ar
: Ya, mereka sudah tahu.
Az
: Bagaimana proses pernikahan bagi pasangan yang melakukan nikah sirri?
Ar
: setahu saya sama aja dengan pernikahan yang resmi hanya saja tidak dicatat
saja oleh pihak KUA.
Az
: Saran apa yang dapat Anda berikan bagi masyarakat khususnya di wilayah
Kebon Jeruk?
Ar
: Sebaiknya masyarakat melakukan pernikahan yang sah menurut hukum
Islam dan hukum Positif.
Az
: Apakah ada sanksi hukum bagi mereka yang melakukan nikah sirri?
Bagaimana dan apa alasannya?
Ar
: Sudah jelas ada sanksi hukumnya bahkan sekarang dikenakan sanksi pidana
bagi mereka yang melakukan praktek nikah sirri, karena sudah jelas itu
melanggar Undang-undang perkawinan.
Az
: Langkah-langkah apa saja yang sudah dilakukan pihak KUA dalam
menghadapi kasus pernikahan sirri di wilayah Kebon Jeruk?
Ar
: Yang sudah berjalan kami melakukan program penuluhan di wilayah sekitar
Kecamatan Kebon Jeruk mengenai pernikahan sebanyak 2x dalam sebulan, dan
mengadakan program nikah gratis selama 1 tahun sekali.
Jakarta, 30 September 2009
(Drs. H. Abd. Rachman)
Download