393 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Sejalan dengan beberapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : Pertama. Dalam melaksanakan percakapan Pj dan Pb menggunakan BDT, BMM, dan BI, dengan pilihan ragam lengkap dan ragam ringkas. Sebagai penutur bilingual, Pj dan Pb mempunyai alasan/tujuan dalam memilih bahasa maupun kode tutur (ragam) yang akan digunakan. Pemilihan bahasa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu latar belakang identitas (suku), usia, pendidikan, pekerjaan, dan kemampuan berbahasa. Sedangkan pemilihan kode tutur (ragam) tidak sepenuhnya ditentukan oleh hubungan Pn dan Mt (akrab atau tidak akrab), serta perbedaan usia dan pekerjaan. Fakta penggunaan bahasa dalam percakapan jualbeli menunjukkan bahwa penutur BDT lebih sering menggunakan BMM dibandingkan BDT. Pemilihan ragam tidak ditentukan oleh tingkatan sosial (tinggi atau rendah), karena masyarakat Minahasa tidak mengenal golongan/strata sosial. Fenomena penggunaan bahasa dank kode tutur dapat dijelaskan oleh beberapa teori sosiolinguistik. Fakta penggunaan ragam menunjukkan bahwa (1) komunikasi nonformal tidak selalu ditandai oleh penggunaan ragam ringkas, (2 komunikasi nonformal tidak selalu ditandai oleh suasana yang santai (3) suasana santai tidak selalu 394 ditandai oleh ragam ringkas, (4) ragam ringkas tidak selalu dapat disamakan dengan ragam santai, (5) hubungan yang akrab tidak selalu ditandai oleh penggunaan ragam ringkas. Penggunaan ragam tertentu tidak selalu mencerminkan jarak sosial tertentu. Jarak sosial dapat saja dicerminkan oleh penggunaan ragam tertentu, namun jarak sosial tertentu tidak selalu ditandai oleh penggunaan ragam tertentu. Penggunaan ragam ditentukan oleh tujuan. Penggunaan ragam dan cara-cara pelaksanaan strategi-strategi transaksi dapat saling mempengaruhi, bahkan kadang-kadang dapat saling mengendalikan/mengontrol. Kelancaran percakapan dan pencapaian persetujuan jual-beli tidak mutlak ditentukan oleh kedua faktor ini. Penggunaan ragam dalam percakapan jual-beli tidak saja ditentukan oleh konteks fisik, konteks epistemis, dan konteks sosial, tetapi juga konteks lain yang melingkupi. Ihwal penggunaan ragam tidak saja dapat menyatakan fungsi pragmatis tuturan, tetapi juga fungsi sosial. Munculnya variasi ragam dalam percakapan jual-beli dapat dijelaskan oleh teori-teori pragmatik/sosiopragmatik. Fenomena kebahasaan tidak saja dapat diamati pada penggunaan bahasa dan kode tutur (ragam), tetapi juga pada pengalihan kode. AK dalam percakapan jual-beli diwujudkan dalam tiga cara, yaitu (1) AK dari BDT ke BMM, (2) AK dari BMM ke BDT, dan (3) AK dari BDT/BMM ke BI. Dalam percakapan jualbeli sering terjadi pengalihan kode, karena kehadiran orang ketiga, upaya penyesuaian kode, keinginan Pn untuk menjalin keakraban, serta upaya perwujudan beberapa strategi (perencanaan) transaksi. Fungsi AK dapat dibedakan menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Alih kode (AK) tidak saja 395 dapat menyatakan tujuan-tujuan penutur suatu bahasa dalam berkomunikasi, tetapi juga dapat mengekspresikan peran dan sikap sosial penutur. Kedua. Wacana jual-beli mengandung aneka macam tindak tutur. Berdasarkan daya atau kekuatan pengaruhnya tindak tutur itu dapat dikategorikan ke dalam tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Dilihat dari fungsi ilokusinya tindak-tindak tutur dalam WJB dapat diklasifikasikan ke dalam tindak direktif, komisif, ekspresif, deklaratif, dan representatif (asertif). Berdasarkan modus kalimat yang digunakan, makna kata-kata, serta maksud penyampaian tindaktindak tutur dalam WJB dapat dikategorikan ke dalam delapan bentuk. Tujuan akhir percakapan jual-beli adalah menghasilkan nilai transaksi. Sebuah transaksi akan menghasilkan nilai apabila para pelaku transaksi berhasil mencapai suatu kesepakatan jual-beli. Pencapaian kesepakatan jual-beli tidak saja ditentukan oleh pemahaman yang sama di antara Pj dan Pb tentang tujuan-tujuan pelaksanaan setiap tindak tutur, tetapi ditentukan pula oleh pengetahuan tentang “dunia”, di antaranya pengetahuan tentang pelaksanaan transaksi jual-beli. Lazimnya untuk mencapai nilai transaksi atau kesepakatan jual-beli Pj dan Pb mempertimbangkan dua hal, yakni keuntungan dan kepuasan. Untuk mencapainya, baik Pj maupun Pb memiliki strategi-strategi (perencanaan) transaksi dan cara-cara pelaksanaannya. Cara-cara tersebut memperlihatkan caracara mereka bernegosiasi untuk mencapai persetujuan jual-beli. Cara-cara tersebut terealisasi dalam bentuk tindakan-tindakan bahasa atau tindak-tindak tutur. Jadi pelaksanaan aneka tindak tutur dan penggunaan aneka bentuk tindak tutur dalam interaksi jual-beli merupakan upaya atau strategi dalam melakukan negosiasi. 396 Tindak-tindak tutur dalam WJB ada yang santun dan ada pula yang tidak santun. Namun, secara umum beberapa tindak tutur yang tidak santun tidak mempengaruhi pelaksanaan dan proses transaksi. Kebanyakan Pj dan Pb dapat mencapai kesepakatan jual-beli, karena mereka mempunyai cara-cara tertentu dalam mengekspresikan tindak tutur bermakna ilokusi. Cara-cara itu dapat diamati pada penggunaan perangkat ilokusi. Perangkat ilokusi tidak saja berfungsi menyatakan maksud/tujuan tuturan, menunjukkan letak tekanan ilokusi di dalam tuturan, tetapi ada juga yang berfungsi menyatakan kesantunan. Penggunaan pemarkah kesantunan kadang-kadang dapat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan transaksi, namun tidak mutlak menentukan pencapaian kesepakatan jual-beli. Pencapaian kesepakatan jual-beli dapat terjadi, karena baik Pj maupun Pb berupaya untuk mencapainya. Dalam percakapan jual-beli, baik Pj maupun Pb kadang-kadang tidak lagi membuat penilaian-penilaian terhadap tuturan, karena mereka (penjual) ingin secepatnya melariskan bahan dagangannya dan mereka juga (pembeli) kadang-kadang sudah terdesak oleh kebutuhan. Meskipun ada beberapa tindak tutur yang dianggap dapat mengancam wajah mitra tutur, namun secara umum Pj dan Pb dapat saling memahami satu dengan yang lainnya. Saling memahami dapat terjadi, karena, baik Pj maupun Pb sama-sama menerapkan prinsip saling pengertian dan prinsip toleransi dalam melaksanakan percakapan. Penerapan kedua prinsip ini terbukti dapat memperlancar interaksi, dapat menciptakan keakraban, dapat mempertahankan hubungan, dapat menciptakan hubungan yang harmonis, serta dapat menciptakan hubungan dagang yang berkelanjutan. 397 Pemahaman konteks situasi tutur, pengalaman sosial, pengetahuan bahasa yang berimbang antara penutur dan mitra tutur menentukan penilaian kesantunan sebuah tindak tutur. Penilaian kesantunan tindak tutur dalam WJB tidak dapat dilepaskan dari penggunaan isyarat-isyarat nonverbal, karena penggunaannya dapat meningkatkan atau dapat mengurangi kadar kesantunan sebuah tindak tutur. Penilaian kesantunan sebuah tindak tutur ditentukan pula oleh pengetahuan budaya, karena setiap masyarakat memiliki kaidah yang berbeda-beda, yang mengatur tentang hal ini. Santun menurut penilaian masyarakat A belum tentu dipandang santun oleh masyarakat B. WJB ini ditandai oleh dua wujud tuturan, yakni wujud formal dan wujud pragmatik. Hadirnya dua wujud tuturan dalam WJB membuktikan bahwa tuturan tidak saja mengandung makna (arti), tetapi juga maksud/tujuan. Dilihat dari hubungan bentuk dan fungsinya tuturan jual-beli di pasar-pasar tradisional Minahasa menunjukkan ketidaksejajaran. Ketidaksejajaran bentuk dan fungsi tuturan menunjukkan bahwa tidak selalu terdapat hubungan secara langsung antara bentuk struktural (gramatikal) dan fungsi tuturan. Tuturan tidak dapat dipisahkan dari konteks dimana tuturan itu terjadi, termasuk segala konteks lain yang melingkupi. Fungsi kalimat (tuturan) ditentukan oleh konteks penyampaian tutur. Konteks tidak saja menentukan pemilihan kode dan pengalihan kode, tetapi juga pembentukan tuturan, pelaksanaan tindakan dalam tuturan, serta penilaian tindak tutur. Konteks menentukan pemahaman implikatur, pelaksanaan prinsip kerjasama dan kesantunan, serta pola interaksi (percakapan). 398 Untuk memahami maksud-maksud yang terkandung dalam sebuah tuturan tidak saja dibutuhkan pertimbangan-pertimbangan logis, tetapi juga pertimbangan-pertimbangan pragmatis yang melibatkan konteks. Pengetahuan dan pengalaman yang sama antara penutur dan mitra tutur menentukan pemahaman implikasi-implikasi yang terkandung dalam pengetahuan yang dan pengalaman sama, kemungkinan tuturan. Tanpa akan terjadi kesalahpahaman dalam percakapan. Ketiga. Kelancaran sebuah percakapan tidak hanya ditentukan oleh aspekaspek yang terkait dengan kebahasaan secara struktural. Ketika dua orang atau lebih terlibat dalam suatu aktivitas bercakap-cakap, maka pada saat itu mereka melaksanakan prinsip-prinsip umum percakapan, yang memungkinkan mereka dapat saling memahami implikasi-implikasi di dalam tuturan. Keberhasilan suatu komunikasi tidak ditentukan oleh simbol yang digunakan dalam berkomunikasi, tetapi pada nilai atau kualitas informasi yang diberikan ; apakah informasi yang diberikan itu bersifat informatif atau tidak. Informasi atau pesan yang disampaikan Pn tidak akan berarti apa-apa, jika tidak dapat dipahami dan juga tidak ditanggapi oleh Mt. Kelancaran suatu komunikasi tidak hanya ditentukan oleh kecukupan informasi, tetapi juga pemahaman tentang sesuatu yang tersirat dalam sebuah informasi (baik verbal maupun nonverbal), dan tanggapan yang diberikan. Dalam percakapan, baik pesan verbal maupun nonverbal keduanya bernilai informatif, tergantung apakah mitra tutur dapat memahaminya dan bersedia menanggapinya. 399 Munculnya variasi tuturan dalam WJB menunjukkan bahwa WJB bermuatan implikasi. Implikasi atau penyiratan dipahami sebagai hasil tindakan penyampaian pesan secara implisit, meskipun kadang-kadang sesuatu yang diasumsikan tidak sesuai dengan sesuatu yang diimplikasikan. Pemahaman implikasi tuturan menentukan seperti apa reaksi/tanggapan balik yang muncul kemudian dalam sebuah percakapan. Untuk memahami implikasi-implikasi dalam percakapan partisipan perlu melibatkan pertimbangan-pertimbangan, penilaianpenilaian, serta asumsi-asumsi tentang apa yang dikatakan, dipikirkan, dirasakan, atau yang direncanakan penutur. Kekeliruan dalam penafsiran dapat terjadi, apabila peserta percakapan tidak melibatkan hal-hal ini dalam penafsiran. Dalam mewujudkan kerjasama dan kesantunan kadang-kadang penutur melaksanakan maksim kerjasama dan maksim kesantunan, tapi kadang-kadang melanggar. Pelaksanaan maksim kerjasama dapat diidentifikasi pada penyampaian pesan yang sesuai, benar, relevan, dan tidak ambigu. Sedangkan, pelanggaran terhadap maksim kerjasama dapat diidentifikasi pada penyampaian pesan yang berlebihan atau tidak sesuai dengan yang diharapkan, yang tidak diyakini kebenarannya, tidak relevan, dan bersifat ambigu. Pelanggaran itu juga dapat diidentifikasi pada tindakan, seperti menahan informasi dan merekayasa informasi, serta pada sikap penutur yang kurang responsif. Tindakan dan sikap penutur semacam ini tidak saja mengganggu kelancaran percakapan, tetapi kadang-kadang dapat juga memengaruhi mitra tutur dalam memahami dan menanggapi maksud penutur. Pelanggaran terhadap prinsip kerjasama sering terjadi karena, Pn ingin menjaga perasaan, menjalin 400 mempertahankan hubungan baik & keakraban, menghindari penilaian negatif, serta ingin mencapai tujuan-tujuan lainnya. Baik penjual maupun pembeli sering melanggar PK dan PS, karena mereka mempunyai strategi-strategi (perencanaan) transaksi yang bagaimanapun harus mereka laksanakan. Pelanggaran PK dan PS kadang-kadang mempengaruhi, tetapi kadang-kadang juga tidak mempengaruhi kelancaran pelaksanaan interaksi jualbeli. Upaya-upaya Pj dan Pb dalam melaksanaan strategi-strategi (perencanaan) transaksi sering diperhadapkan pada dua pilihan, yaitu melaksanakan atau melanggar prinsip umum percakapan. Meskipun kadang-kadang Pj dan Pb harus melanggar prinsip-prinsip umum percakapan, namun pada umumnya mereka dapat mencapai tujuan percakapan. Hal ini dapat terjadi, karena mereka menerapkan prinsip saling pengertian/toleransi. Pelaksanaan PK dan PS dalam percakapan jual-beli tidak mutlak menentukan kelancaran percakapan dan pencapaian persetujuan jual-beli. Sebagai sebuah bentuk komunikasi interaktif percakapan dipahami sebagai aktifitas menyampaikan, menafsirkan, dan menanggapi pesan. Oleh karena itu kerjasama dalam percakapan tidak dapat terlaksana apabila hanya diupayakan sepihak. Kerjasama adalah tindakan yang berwujud aksi dan reaksi/tanggapan. Ketika terjadi percakapan pada saat itu Pn dan Mt terlibat dalam upaya-upaya penyesuaian untuk dapat saling memahami, dan selanjutnya saling menanggapi satu dengan yang lain. Pelaksanaan kerjasama dapat diamati pada saat Pn dan Mt saling menginterpretasi maksud tuturan dan saling menanggapi. Namun, demikian, fakta 401 pelaksanaan kerjasama menunjukkan bahwa (1) pelaksanaan kerjasama tidak mutlak ditentukan oleh pemahaman yang sama tentang implikasi tuturan, (2) pemahaman yang sama tidak mutlak menentukan pencapaian tujuan percakapan, dan (3) pertimbangan-pertimbangan tertentu dan tujuan-tujuan tertentu dapat mempengaruhi pelaksanaan dan kelancaran kerjasama dalam percakapan. Untuk mencapai pemahaman yang sama Pn dan Mt terlibat dalam proses penyesuaian-penyesuaian. Dalam proses penyesuaian Pn dan Mt melibatkan pertimbangan-pertimbangan, penilaian-penilaian, serta asumsi-asumsi tentang apa yang dikatakan, dipikirkan, dirasakan, atau yang direncanakan penutur. Meskipun sesuatu yang diasumsikan kadang-kadang tidak sesuai dengan sesuatu yang diimplikasikan, namun pemahaman yang jelas tentang implikasi tuturan turut menentukan kelancaran sebuah percakapan. Dalam aktivitas bercakap-cakap penutur tidak saja perlu memahami dengan jelas implikasi-implikasi di dalam tuturan (implikasi verbal), tetapi juga implikasi-implikasi yang menyertai tuturan (implikasi nonverbal). Implikatur percakapan tidak saja dapat ditemukan dalam ekspresi verbal, tetapi juga ekspresi nonverbal. Sesederhana apapun informasi yang diberikan oleh penutur, baik yang dinyatakan secara verbal maupun nonverbal tentu ada maksud/tujuannya. Isyarat nonverbal memiliki fungsinya dalam percakapan, yaitu selain dapat memperkuat implikasi-implikasi tuturan, juga dapat menyatakan implikasi-implikasi tertentu dalam percakapan. Ekspresi nonverbal di satu sisi dapat memperlancar kerjasama, namun di sisi yang lain dapat juga mengganggu kelancaran kerjasama dalam 402 percakapan. Menurut pandangan budaya setempat ada beberapa isyarat nonverbal yang dinilai tidak sopan. Percakapan melibatkan aktivitas pernyataan pesan, pemahaman pesan, dan tanggapan pesan. Aspek-aspek yang terkait dengan masalah informasi adalah dasar bagi perwujudan kerjasama dalam percakapan. Keefektifan suatu komunikasi ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan bahasa itu sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah faktor di luar bahasa yang disebut dengan konteks. Kerjasama atau sikap kooperatif dalam percakapan dapat diwujudkan apabila (1) ada kesesuaian antara informasi yang diberikan Pn dan yang dikehendaki/diharapkan Mt, (2) informasi yang diberikan Pn diyakini kebenarannya oleh Mt, (3) ada relevansi antara informasi yang diberikan dan masalah yang sedang dibicarakan, (4) informasi yang diberikan tidak bersifat ambigu, (5) ada pemahaman yang jelas tentang pesan yang terkandung dalam sebuah informasi (baik verbal maupun nonverbal), (6) ada ketersediaan implikasi dalam tuturan, (7) ada pemahaman yang sama diantara Pn dan Mt tentang sesuatu yang diimplikasikan dalam tuturan, (7) ada penafsiran yang tepat, dan (8) ada reaksi/tanggapan. Dalam percakapan nonformal PP sering tidak dapat menduga, apalagi membatasi topik-topik yang muncul dalam pembicaraan. Hasil temuan menunjukkan bahwa kadang-kadang penutur melanggar PK, karena memilih menghindar/menolak (secara tidak langsung) untuk menanggapi topik-topik yang 403 bersifat sensitif. Tindakan penutur pada T.O2 (P10) tidak saja bertujuan menghindari penilaian negatif, tetapi juga menghindari konflik interpersonal. Dalam percakapan jual-beli maksim-maksim kesantunan Leech, seperti maksim kebijaksanaan sulit untuk dipatuhi dalam percakapan yang melibatkan orang ketiga. Kadang-kadang O3 tidak bersedia memaksimalkan keuntungan pihak-pihak yang sedang berinteraksi, karena ia lebih mendahulukan untuk memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Demikian juga maksim kemurahan hati dan maksim kesimpatian tampaknya sulit diukur kebenaran dari pelaksanaannya. Dalam pelaksanaan interaksi jual-beli, baik Pj maupun Pb kadang-kadang hanya berpura-pura baik dan akrab (agar bisa mendapatkan pembeli dan mencapai nilai transaksi). Khusus maksim kemurahan hati tampaknya sedikit bertentangan dengan prinsip dagang pada umumnya. Kesantunan itu tidak saja berhubungan dengan tuturan, tetapi juga berhubungan dengan hak dan kewajiban. Pn yang mengetahui, melaksanakan, dan tidak melampaui hak-haknya, atau tidak mengingkari untuk memenuhi kewajibannya dalam sebuah percakapan adalah Pn yang sopan. Penutur yang sopan adalah Pn yang berperilaku hormat (band, P1,T.O2 dan P5, TO1.2). Kesantunan itu tidak hanya berhubungan dengan kaidah-kaidah tutur, tetapi juga dengan sikap yang ditunjukkan Pn yang mengekspresikan rasa hormat/ menghargai, serta tata karma (etiket). Tuturan dapat mengimplikasikan kesantunan, namun nilai kesantunaan sebuah tuturan sulit untuk ditentukan. Penilaian kesantunan sebuah tuturan tidak hanya terkait dengan perilaku verbal, tetapi juga nonverbal. Nilai kesantunan 404 sebuah tuturan turut didukung oleh sikap yang ditunjukkan Pn pada saat menyampaikan tuturan. Dalam berkomunikasi tidak semua orang dapat menunjukkan perilaku sopan, karena perilaku sopan itu berhubungan dengan rasa hormat/menghargai. Meskipun sebuah tuturan memenuhi kaidah-kaidah kesantunan, tetapi jika tidak diikuti dengan sikap hormat dan perilaku bertatakrama, maka Pn akan dinilai tidak tau sopan santun. Kesantunan tidak mutlak ditentukan oleh penerapan maksim-maksim kesantunan, karena hanya mitra tutur (pendengar) yang dapat menilai apakah sebuah tuturan bernilai kesantunan atau tidak. Santun menurut penutur, belum tentu santun menurut mitra tutur. Faktor-faktor yang mempengaruhi perwujudan dan penilaian kesantunan dalam percakapan jual-beli adalah (1) hubungan Pn dan Mt, (2) sifat/karakter, (3) kondisi emosional, (4) pemahaman konteks secara keseluruhan, (5) tujuan yang ingin dicapai, dan (6) konsep kesantunan yang digunakan Pn dan Mt pada saat menyampaikan dan menilai sebuah tuturan. Konteks tutur dan konteks lain yang melingkupi tuturan menentukan pelaksanaan kesantunan dalam percakapan. Oleh sebab itu penilaian kesantunan harus juga melibatkan kedua konteks ini. Untuk mewujudkan kesantunan pemarkah-pemarkah kesantunan sangat berperan, diantaranya bentuk sapaan atau vokatif. Bentuk-bentuk sapaan tidak saja menyatakan kesantunan, tetapi juga menyatakan hubungan-hubungan sosial dan sikap sosial. Faktor-faktor yang menentukan pemilihan bentuk-bentuk sapaan, diantaranya adalah usia, kekerabatan/kekeluargaan. latar Untuk pendidikan, menghindar jarak dari sosial, hubungan kesalahpahaman dan 405 pergesekan dalam pelaksanaan interaksi dibutuhkan strategi-strategi dalam mewujudkan kesantunan. Nilai kesantunan sebuah tuturan tidak saja ditentukan oleh fitur-fitur linguistik (baik dilihat dari ciri linguistiknya maupun yang diukur berdasarkan kejelasan pragmatiknya), tetapi juga ditentukan oleh penggunaan isyarat-isyarat paralinguistik. Untuk dapat mewujudkan kesantunan penutur harus memperhatikan tindak tuturnya dan juga sikapnya pada saat menyampaikan tuturan. Penutur yang sopan tidak saja dapat diamati pada perilaku tuturnya, tetapi juga pada sikap tuturnya. Penutur yang sopan adalah penutur yang tau etiket, yang dapat mengontrol perilaku verbalnya dan juga perilaku nonverbalnya, seperti ekspresi wajah (facial expressions), tatapan (gaze), gerak-gerik (gestures), serta bunyi suprasegmental : tekanan (stress), tinggi-rendah nada suara (pitch), intonasi (intonation), serta jeda (pause). Penutur yang sopan adalah penutur yang memiliki rasa hormat dan menghargai. Fakta kerjasama dan kesantunan menunjukkan bahwa (1) baik Pj maupun Pb kadang-kadang melaksanakan PK dan PS, tapi kadang-kadang melanggar PK dan PS, (2) kadang-kadang Pn harus melanggar maksim kerjasama karena ingin mewujudkan kesantunan, (3) cara-cara Pj dan Pb dalam mewujudkan strategistrategi (perencanaan) transaksi dapat menghambat pelaksanaan PK dan PS, dan (4) penerapan PS tidak selalu mendukung pencapaian kesepakatan jual-beli. PS tidak selalu dapat menjelaskan atau melengkapi PK, karena (1) setiap PP jual-beli memiliki cara-cara tertentu dalam mewujudkan strategi (perencanaan) transaksi, (2) setiap PP memiliki tujuan yang berbeda-beda dalam mewujudkan 406 kesantunan, dan (3) setiap masyarakat mempunyai konsep kesantunan yang berbeda-beda. PK dan PS dibutuhkan untuk memandu partisipan percakapan dalam melaksanakan percakapan. Pelaksanaan PK dan PS tidak mutlak menentukan kelancaran sebuah percakapan, apalagi menentukan pencapaian kesepakatan jual-beli. PK dan PS dibutuhkan untuk mengontrol/mengendalikan perilaku tutur agar dalam berkomunikasi PP terhindar dari kesalahpahaman dan penilaian-penilaian negatif. WJB bukan wacana yang ideal, karena di dalamnya masih ditemukan penyimpangan-penyimpangan berbahasa. Penyimpangan-penyimpangan itu dapat mempengaruhi mekanisme interaksi. Penyimpangan-penyimpangan berbahasa tidak saja dapat dipahami berdasarkan maksud/tujuannya, tetapi juga berdasarkan konteks sosiokultural. Keempat. Sebagai wacana interaktif WJB memiliki bentuk atau struktur pertukaran yang berbeda dengan bentuk pertukaran dalam interaksi-interaksi lainnya. Struktur pertukaran dalam WJB tidak saja mencerminkan cara-cara PP mengutarakan dan menanggapi maksud tuturan, tetapi juga cara-cara mereka melakukan interaksi sosial. Struktur percakapan mencerminkan pola pertukaran dalam sebuah interaksi. Struktur pertukaran dipengaruhi oleh konteks. Interaksi jual-beli tidak berlangsung sebagaimana yang diatur dalam kaidah-kaidah umum percakapan. Hal ini tampak pada (1) pola pertukaran yang tidak tetap, (2) pergantian atau pertukaran giliran bicara yang kadang-kadang berlangsung sangat cepat dan tidak sesuai dengan arah/tujuan pergantian, (3) pergantian giliran bicara yang sering terjadi bukan karena Pn memperoleh giliran 407 itu dari Mt, (4) penentuan peran dan status yang kadang-kadang tidak ketat, (5) negosiasi peran yang kadang-kadang terlalu cepat. Hal-hal ini disebabkan oleh (1) jumlah PP yang tidak terbatas, yang membuat pasangan tutur sering berubahubah, (2) setiap PP ingin secepatnya mendapatkan giliran berbicara. (3), setiap PP merasa mempunyai hak yang sama dalam berbicara setiap, (4) kebanyakan PP mempunyai hubungan akrab, dan (5) setiap PP mempunyai sifat/karakter, suasana emosi, konsentrasi, serta kebutuhan yang berbeda-beda, kadang-kadang PP ingin cepat-cepat mencapai kesepakatan jual-beli, kadang-kadang PP memperoleh giliran bicaranya dengan cara-cara yang melanggar ketentuan, dan setiap PP (baik Pj maupun Pb) ingin secepatnya berhasil mewujudkan strategi-strategi (perencanaan) transaksi. Munculnya bermacam-macam pola pergantian tutur tidak saja disebabkan oleh beberapa kendala, tetapi juga disebabkan oleh beberapa cara yang diterapkan oleh Pj dan Pb dalam mewujudkan strategi-strategi transaksi. Dalam pelaksanaan pergantian peran terdapat beberapa kendala, yang berupa (1) kendala klarifikasi, (2) kendala konfirmasi, dan (3) kendala tantangan. Struktur wacana jual-beli bukan struktur yang ideal. Percakapan jual-beli di pasar tradisional merupakan (1) peristiwa tutur atau peristiwa penggunaan bahasa dalam suatu komunikasi yang nyata, memiliki tujuan yang jelas, terjadi secara alamiah (natural), spontan (langsung), berpeluang memunculkan topi-topik yang tidak relevan, bersifat konvensional, dan melibatkan dua atau lebih peserta tutur, (2) pemakaian bahasa dalam situasi sosial, (3) kesatuan ujaran dan tindakan yang mengandung maksud (pesan), (4) tindakan 408 verbal yang melibatkan tindakan nonverbal, (5) proses komunikasi yang terkait dengan pemahaman dan tanggapan, (6) peristiwa interaksi yang melibatkan pertukaran pendapat, ide/gagasan, pengalaman-pengalaman dan pengetahuanpengetahuan, (7) kerjasama yang bersifat konvensional, (8) pertukaran giliran bicara (peran), (9) aktivitas tawar menawar (negosiasi), (10) strategi mencapai sebuah kesepakatan, (11) proses penyesuaian-penyesuaian yang berhubungan dengan sifat/karakter, kebiasaan-kebiasaan, serta suasana emosi, dan (12) praktik sosial yang tidak saja dapat mengekspresikan perilaku-perilaku sosial, tujuantujuan sosial dan sikap sosial, tetapi juga kekuatan-kekuatan sosial. Percakapan tidak saja berkaitan dengan persoalan bagaimana menggunakan bahasa dalam suatu peristiwa komunikasi agar dapat mewujudkan suatu interaksi. Percakapan merupakan tindakan penyampaian, pemahaman (penafsiran) dan tanggapan pesan. Percakapan tidak saja berwujud rangkaian tutur, tetapi sekaligus kesatuan tutur dan tindakan. Percakapan adalah sebuah tindakan verbal yang tidak mungkin mengabaikan tindakan nonverbal. Percakapan tidak saja tindakan mewujudkan kerjasama, tetapi juga proses menjalin hubungan, meyakinkan orang dan proses mencapai kesamaan pemahaman. Percakapan melibatkan pertimbangan-pertimbangan, penilaianpenilaian, dan asumsi-asumsi. Percakapan tidak saja merupakan aktivitas pertukaran informasi atau pendapat, tetapi juga aktivitas pertukaran peran untuk memenuhi hak dan kewajiban. Percakapan berkaitan juga dengan konsep-konsep psikologis, serta kegiatan-kegiatan dalam diri manusia yang tidak dapat diamati, 409 seperti kegiatan berpikir, membayangkan, merencanakan, merasakan, meyakini, dan mengharapkan. Percakapan adalah proses mencapai kesamaan berpikir. Bahasa memiliki kaitan dengan kehidupan sosial dan kebudayaan penuturnya. Pemakaian bahasa tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor nonlingual, yaitu kondisi sosial dan budaya lokal yang bersifat spesifik. Apa yang dibicarakan peserta tutur dalam suatu peristiwa komunikasi dan bagaimana mereka membicarakannya adalah sebuah realita sosial. Sebagai peristiwa interaksi lisan yang terjadi dalam suatu situasi sosial, wacana jual-beli mengekspresikan fenomena-fenomena kebahasaan. Fenomena kebahasaan adalah fenomena sosial, yang tidak saja dapat mengekspresikan bermacam-macam perilaku sosial dan kondisi sosial, tetapi juga tujuan dan sikap sosial. Fenomena kebahasaan dalam percakapan jual-beli tidak saja dapat dijelaskan secara formal, tetapi juga secara pragmatis. Kajian wacana jual-beli di pasar tradisional Minahasa ini setidaknya dapat mengungkap pengetahuan-pengetahuan dan pengalaman-pengalaman tentang strategi-strategi (perencanaan) transaksi, cara-cara bernegosiasi, prinsip-prinsip komunikasi, mekanisme interaksi, hubungan-hubungan antarpersonal, serta pengalaman-pengalaman sosial. Analisis wacana tidak dapat dipisahkan dari fungsi bahasa. Fungsi bahasa dapat dipahami atas dasar tujuan seseorang berkomunikasi (Brown dan Yule, 1996:1). Fungsi bahasa itu dapat dibedakan menjadi (1) fungsi transaksional, yaitu fungsi bahasa untuk mengungkapkan isi, dan (2) fungsi interaksional, yaitu fungsi bahasa yang terkait dengan pengungkapan hubungan-hubungan sosial dan sikap- 410 sikap pribadi. Kedua fungsi ini dapat mengungkap untuk apa bahasa itu digunakan (Halliday,1987:15). Bahasa dalam wacana mengemban tiga fungsi sekaligus, yaitu fungsi ideasional, yaitu fungsi merepresentasikan pengalaman dan “dunia”, fungsi interpersonal, yaitu fungsi membentuk interaksi sosial antara partisipan dalam wacana, dan fungsi tekstual, yaitu mengaitkan teks dengan konteks situasional (Brown dan Yule, 1983 ; Fairclough, 1998:6). Bahasa tidak saja berfungsi sebagai alat komunikasi yang luar biasa kuatnya, tetapi juga berfungsi sebagai sebuah alat pemikiran yang dapat disamakan dengan pandangan populer tentang bahasa, yaitu sebagai kendaraan yang digunakan oleh ide-ide (Leech,1993:88). Dilihat dari fungsinya dalam interaksi jual-beli bahasa itu bersifat transaksional, ideasional, regulasional, pengendali, pengontrol, menguasai, sensitif, fleksibel, dinamis, dan inovatif. 6.2 Saran 1. Untuk memahami wacana jual-beli perlu memikirkan pendekatan-pendekatan baru yang diharapkan dapat lebih menjelaskan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan struktur pertukaran dalam percakapan jual-beli. 2. Untuk dapat melakukan penelusuran tentang hubungan bentuk-bentuk bahasa dengan tujuan-tujuan sosial perlu menggunakan metode campuran. 3. Untuk dapat memahami dan menjelaskan perilaku-perilaku sosial sebaiknya menggunakan pendekatan kontekstual. 4. Untuk dapat menjelaskan fenomena-fenomena sosial perlu mempelajari beberapa fenomena kebahasaan dalam suatu interaksi menghubungkan fenomena yang satu dengan fenomena yang lain. sosial dan 411 5. Peneliti bahasa perlu mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan nilainilai penelitian eksplanasi (explanation research) atau konfirmasi (confirmatory research) agar dapat mengungkap dan menjelaskan fenomenafenomena kebahasaan dalam sebuah interaksi sosial. 6. Untuk memahami sifat-sifat bahasa peneliti bahasa perlu memahami wujud formal bahasa dan gramatika bahasa yang diteliti. 7. Untuk mencegah keterpurukan bahasa-bahasa daerah di Minahasa, maka masyarakat dan pemerintah yang ada di Minahasa perlu membangun kembali komitmen kebahasaan, untuk mengembalikan bahasa-bahasa Minahasa pada posisinya sebagai bahasa ibu (sebagai bahasa pertama dalam keluarga). Cara sederhana yang dapat dilakukan adalah mulailah berkomunikasi dalam bahasa daerah setempat tanpa harus merasa malu ; dimanapun, baik dalam situasi nonformal maupun formal ; tidak saja dalam lingkungan keluarga, tetapi juga dalam lingkungan sekolah, kampus, instansi pemerintah, tempattempat peribadatan, serta dalam pergaulan sehari-hari. Untuk dapat melaksanakan hal ini perlu menumbuhkan rasa bangga terhadap bahasa sendiri. 8. Terkait dengan topik penelitian ini ada sejumlah pertanyaan yang masih menggelisahkan dan belum dapat memenuhi hasrat intelektual peneliti. Untuk itu diharapkan penelitian yang sangat sederhana ini dapat memicu munculnya penelitian-penelitian lanjutan.