koping dengan stres dan dukungan sosial keluarga sebagai

advertisement
KOPING DENGAN STRES DAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA
SEBAGAI PREDIKTOR MOTIVASI SEMBUH PADA
PENDERITA KANKER SERVIKS
OLEH
RINI WULANDARI
802012118
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
KOPING DENGAN STRES DAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA
SEBAGAI PREDIKTOR MOTIVASI SEMBUH PADA
PENDERITA KANKER SERVIKS
Rini Wulandari
Aloysius L. S. Soesilo
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran koping dengan stress dan
dukungan sosial keluarga sebagai prediktor motivasi sembuh penderita kanker serviks.
Sampel
(N=35)
diambil
dengan
menggunakan
teknik
Incidental
Sampling.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tiga skala, yaitu skala koping
dengan stress, skala dukungan sosial keluarga, dan skala motivasi sembuh. Hasil
penelitian menggunakan teknik regresi linear berganda diperoleh adalah r = 0,708
dengan sig. 2-tailed = 0,001 (p < 0,05) menunjukkan bahwa koping dengan stres dan
dukungan sosial keluarga dapat menjadi prediktor motivasi sembuh penderita kanker
serviks.
Kata kunci: motivasi sembuh, koping dengan stres, dukungan sosial keluarga,
penderita kanker serviks.
i
Abstract
The aim of the present study is to find out the possibility of coping with stress and the
presence of social support for families toward patients of servix cancer motivation cure.
35 patients of servix cancer were recruited to participate in this study using incidental
sampling. Three types of questionnaires were distributed: coping with stress scale,
social support for families scale and motivation cure scale. All gathered datas were
processed and analyzed using a parallel linear regression shows r = 0,544 with sig. 2tailed = 0,001 (p < 0,05). The research shows that the two factors above could be
places as motivation cure predictors for the patients of servix cancer.
Keywords: motivation cure, coping with stress, social support for families,
patients of servix cancer.
ii
1
PENDAHULUAN
Dewasa ini di negara berkembang telah terjadi pergeseran penyebab kematian
utama yaitu penyakit menular dan penyakit tidak menular. Kecenderungan perubahan
tersebut di pengaruhi oleh gaya hidup, globalisasi, diet yang salah dan lain-lain.
Penyakit yang tergolong penyakit tidak menular adalah kanker, diabetes mellitus,
kardiovaskular, gangguan mental, dan lain-lain. Kanker adalah penyakit akibat
pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker.
Dalam perkembangannya, sel-sel kanker ini menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga
dapat menyebabkan kematian (Allan & Schiffman dalam Susilawati, 2013).
Penyakit kanker merupakan penyebab kematian utama di seluruh dunia.
Berdasarkan laporan Kemenkes RI (2015) mengungkapkan bahwa pada tahun 2012
sekitar 8,2 juta kematian disebabkan oleh kanker. Lebih dari 30% kematian akibat
kanker disebabkan oleh lima faktor resiko perilaku dan pola makan, yaitu indeks massa
tubuh tinggi, kurang mengkonsumsi sayur dan buah, kurang aktivitas fisik, penggunaan
rokok, dan konsumsi alkohol berlebihan. Selain itu berdasarkan data World Health
Organization (WHO) mengungkapkan bahwa jumlah penderita kanker di dunia setiap
tahunnya bertambah 7 juta orang, dan dua per tiga diantaranya berada di negara-negara
yang sedang berkembang sedangkan di Indonesia tiap tahunnya diperkirakan terdapat
100 penderita baru per 100.000 penduduk. Ini berarti dari 237 juta penduduk, ada
sekitar 237.000 penderita kanker baru tiap tahunnya (Yayasankankerindonesia).
Salah satu jenis kanker yang mengalami peningkatan cukup tinggi adalah kanker
serviks. Kanker serviks adalah kanker yang menyerang uterus, yaitu pada bagian serviks
uterus (leher rahim), suatu daerah pada organ reproduksi perempuan yang merupakan
2
pintu masuk ke arah rahim (uterus) yang terletak antara rahim dan liang senggama
(vagina) atau rahim bagian bawah. Kanker serviks merupakan jenis kanker kedua
setelah payudara yang paling umum diderita oleh perempuan (Yatim dalam Lindayati,
2011). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2006 melaporkan 493.234 jiwa
per tahun penderita kanker serviks baru di dunia dengan angka kematian 273.505 jiwa
per tahun (Emilia dalam Lindayati, 2011).
Terlihat peningkatan penderita kanker serviks pada kelompok umur 25-34 tahun,
35-44 tahun, dan 45-54 tahun. Secara nasional prevalensi penyakit kanker serviks
tertinggi terdapat pada Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi
D.I. Yogyakarta yaitu sebesar 1,5%. Berdasarkan estimasi jumlah penderita kanker
serviks dan kanker payudara terbanyak terdapat pada Provinsi Jawa Timur dan Provinsi
Jawa Tengah (Kemenkes, 2015).
Berdasarkan data Kemenkes RI (2015) jumlah penderita kanker serviks
terbanyak berada di RS Kanker Dharmais selama 4 tahun berturut-turut. Selama tahun
2010-2013 kanker payudara, kanker serviks , dan kanker paru merupakan tiga penyakit
terbanyak di RS Kanker Dharmais, dan jumlah kasus baru serta jumlah keatian akibat
kanker tersebut terus meningkat.
Insiden mortalitas kanker serviks di negara berkembang menempati urutan
pertama sebagai penyebab kematian akibat kanker pada wanita usia reproduksi aktif.
Demikian halnya di Indonesia, kanker serviks masih menempati urutan pertama dari
seluruh kejadian kanker pada wanita dan lebih dari separuh penderitanya datang ke
fasilitas pengobatan pada stadium lanjut (Edianto dalam Lindayati, 2011). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Martin dan Dajoux (dalam Allifni, 2011) pada 1000 wanita
ditemukan bahwa hanya 48 wanita yang mempunyai leher rahim normal. Besarnya
3
angka kejadian kanker serviks yang ditemukan, membuat kanker serviks menjadi salah
satu jenis kanker yang paling ditakuti wanita. Selain itu sampai saat ini kanker serviks
masih menyebabkan kematian pada wanita yang cukup tinggi, diperkirakan sebesar
4.900 orang per tahun.
Tingginya angka kematian penderita kanker serviks lebih banyak disebabkan
oleh keterlambatan pengobatan. Menurut Yatim (dalam Allifni, 2011), penderita yang
datang berobat ke rumah sakit sebagian besar sudah berada pada stadium lanjut, yakni
IIB - IVB sebanyak 66,4%, stadium IIB sebanyak 37,3%, serta stadium IA - IIA 28,6%.
Keterlambatan ini tentunya sangat merugikan penderita sendiri karena tingkat harapan
hidup penderita kanker sangat ditentukan oleh stadium atau tingkat keparahan penderita.
Sayangnya sebanyak 70% - 80% penderita kanker serviks datang ke rumah sakit sudah
pada stadium lanjut dan ini mengakibatkan angka harapan hidup penderita kanker
serviks kian menipis (Tempo.com).
Permasalahannya adalah kurangnya pengetahuan setiap individu mengenai
kanker serviks hingga akhirnya mereka datang ke rumah sakit sudah pada stadium
lanjut, ditambah lagi dengan biaya pengobatan yang pastinya cukup mahal. Seperti yang
diungkapkan oleh Smet (1994) bahwa mahalnya biaya tarif pengobatan dijadikan alasan
setiap individu untuk tidak menganggap serius penyakitnya.
Bukan hanya biaya
pengobatan saja yang menjadi permasalahan, melainkan diagnosa kanker dan
pengobatan juga membawa perubahan pada kehidupan pribadi pasien, dalam perannya
dalam kegiatan sehari-hari, pekerjaan, pertemanan, dan keluarga mereka, dan hal ini
terkait dengan stres yang tinggi pada pasien. Stres tersebut memunculkan kecemasan
dan memicu depresi pada pasien (Zabalegui, Sanchez & Juando dalam Karabulutlu,
Billici, Cayir, Tekin, & Kantarci, 2010). Kecemasan dan depresi adalah masalah
4
psikologis yang paling umum ditemui pada penderita kanker. Kecemasan dapat
didefinisikan sebagai pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan terkait dengan
persepsi ancaman nyata atau dibanyakan dan merupakan gejala umum behubungan
dengan kanker (Ahlberg, Ekman, Wallgren, & Johansson dalam Karabulutlu, Billici,
Cayir, Tekin, & Kantarci, 2010). Kecemasan terutama terkait dengan ketidakpastian
tentang diagnosis, efek samping dari pengobatan kemoterapi atau radioterapi,
kurangnya kontrol sosial, kerusakan fisik yang progresif, dan pikiran hampir mati
(Zabalegui, Sanchez & Juando dalam Karabulutlu, Billici, Cayir, Tekin, & Kantarci,
2010). Pasien yang mengalami depresi juga mungkin memiliki gejala fisik yang sulit
hilang dan hal ini dapat meningkatkan depresi mereka ketika menjalani pengobatan
(Lloyd dalam Karabulutlu, Billici, Cayir, Tekin, & Kantarci, 2010).
Dari hasil penelitian yang dilakukan Bintang, Ibrahim & Emaliyawati (2012)
menyatakan bahwa penderita kanker mengalami tingkat kecemasan, stres dan depresi
yang bervariasi dari sedang hingga berat ketika menjalani kemoterapi. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 34,28% mengalami kecemasan sedang, 12,86%
mengalami kecemasan berat, 4,28% mengalami kecemasan sangat berat, 10%
mengalami stres sedang, 2,86% mengalami stres berat, 11,43% mengalami depresi
sedang, 8,57% mengalami depresi berat, dan 2,86% mengalami depresi sangat berat.
Kecemasan dan depresi yang dialami penderita memberi dampak psikologis lain
seperti takut, murung, dan juga penolakan atas vonis kanker. Setelah ini berlalu pada
akhirnya penderita akan sadar dan menerima kenyataan bahwa jalan hidupnya telah
berubah. Sedikit banyak penderita akan mulai berpikir dan berperasaan lebih realistis
dan mempercayakan sepenuhnya kepada dokter untuk kelanjutan pengobatannya
5
(Taylor, 2009). Oleh karena itu dalam proses pengobatannya penderita harus memiliki
motivasi untuk sembuh yang kuat.
Motivasi merupakan suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri seseorang
yang menimbulkan, menggerakkan, dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Motivasi
pada dasarnya adalah kondisi mental yang mendorong dilakukannya tindakan dan
memberikan kekuatan yang mengarahkan kepada pencapaian tujuan. Motivasi inilah
yang mendorong seseorang untuk beraktifitas dalam pencapaian tujuan (Syasra, 2011).
Penderita kanker serviks yang memiliki motivasi sembuh yang kuat akan berusaha
bangkit melawan penyakitnya, sebaliknya jika motivasi sembuh rendah maka penderita
kanker serviks akan berputus asa dan tidak mau berusaha melawan penyakitnya.
Adanya motivasi akan mampu mempengaruhi kesembuhan pasien, karena dengan
adanya motivasi pasien akan mau melakukan pengobatan (Syasra, 2011).
Keadaan pikiran pasien sangat berpengaruh untuk dapat menghambat atau
mendorong kesembuhan pasien dari penyakit. Motivasi untuk sembuh menjadi suatu
kekuatan yang berasal dari dalam diri pasien yang mendorong perilaku menuju
kesembuhan yang ingin dicapai. Banyak persoalan timbul ketika seseorang menderita
penyakit tertentu tidak memiliki motivasi kesembuhannya sendiri (Puri dalam Syasra,
2011).
Cara untuk mengurangi stres yang dialami penderita akibat perubahan kondisi
fisik maupun psikis mereka adalah dengan mendapatkan dukungan sosial dan
melakukan koping. Dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dengan cara melindungi
penderita terhadap efek negatif dari stres berat yang mereka alami. Orang dengan
dukungan sosial yang tinggi ada kecenderungan tidak mengabaikan stres karena mereka
tahu akan mendapatkan pertolongan dari orang lain (Sarafino dalam Prayascitta, 2010).
6
Dengan adanya dukungan sosial penderita merasakan penerimaan dari kebersamaan
orang-orang disekitarnya. Dukungan sosial secara tidak langsung mempunyai manfaat
emosional yang akan memberikan kekuatan bagi penderita untuk melawan penyakitnya
itu. Cohen & Syme (dalam Syasra, 2011) menyatakan bahwa keluarga sebagai pihak
terdekat memiliki peluang yang banyak untuk dapat mendampingi, mereka memberikan
dukungan dengan memberi rasa aman, menerima apa adanya, tidak menyalahkan apa
yang terjadi padanya, bersikap tulus, menginggat keluarga adalah dukungan sosial yang
penting berarti dukungan keluarga memiliki arti yang sama dengan dukungan sosial.
House (dalam Syasra, 2011) menjelaskan dukungan sosial sebagai transaksi
interpersonal yang meliputi perhatian emosional (perasaan suka, cinta, dan empati),
batuan instrumental (barang/jasa), informasi dan penilaian (informasi yang berhubungan
dengan evaluasi diri). Hal tersebut diperkuat lagi oleh Johnson & Johnson (dalam
Syasra, 2011) bahwa dukungan sosial adalah pertukaran sumber yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan serta keberadaan orang-orang yang mampu diandalkan
untuk memberikan bantuan, semangat, penerimaan, dan perhatian. Dukungan sosial
keluarga ini sangatlah memberikan pengaruh yang positif untuk mengatasi masalah.
Dukungan sosial dapat meningkatkan cara seseorang dalam menghadapi atau
memecahkan masalah yang terfokus pada pengurangan reaksi stres melalui perhatian,
informasi, dan umpan balik yang diperlukan seseorang untuk melakukan koping
terhadap stres sehingga dapat meningkatkan motivasi untuk sembuh (Jhonson dalam
Prayascitta, 2010).
Lazarus (dalam Prayascitta, 2010) mengartikan koping sebagai kemampuan
mengubah kognitif atau perilaku secara konstan agar tuntutan-tuntutan eksternal
maupun internal khususnya yang diperkirakan membebani dan melampaui kemampuan
7
individu melemah. Koping yang ditampilkan individu dapat berbeda-beda tergantung
pada masalah yang dihadapi, tetapi apabila koping terhadap stres yang ditampilkan dan
digunakannya pada suatu masalah dirasa cocok dan dapat menyelesaikan masalah maka
ada kemungkinan untuk mengulangi jika dihadapkan pada masalah serupa di masa
mendatang ( Effendi & Thahjono, 1994).
Terkait dengan hal tersebut Moos dan Schaefer (dalam Ogden, 2007)
menggambarkan tiga proses koping yaitu penilaian kognitif (cognitive appraisal),
penyesuaian pada tugas-tugas (adaptive tasks), dan keterampilan koping (coping skills).
Cognitive appraisal merupakan tahap ketidakseimbangan yang dipicu oleh penyakit.
Terkait dengan bagaimana suatu penyakit akan dinilai oleh penderita. Adaptive tasks
meliputi menjaga keseimbangan emosional, menjaga kepuasan citra diri dan
mempertahankan kemampuan, mempertahankan hubungan dengan keluarga dan temanteman serta mempersiapkan masa depan. Coping skills dibagi menjadi tiga bentuk yaitu
appraisal- focused coping, problem- focused coping, dan emotion- focused coping.
Appraisal- focused coping melibatkan upaya untuk memahami penyakit dan merupakan
pencarian makna. Problem- focused coping melibatkan cara yang digunakan untuk
mengatasi suatu masalah, serta emotion focused- coping melibatkan cara pengelolaan
emosi dan menjaga keseimbangan emosional.
Pasien kanker melakukan koping sebagai tindakan untuk mengurangi stres yang
dialaminya. Stres meliputi kejadian atau fakta di lingkungan yang dirasakan oleh
individu sebagai ancaman dan reaksi individu terhadap stressor tersebut. Pasien kanker
mengalami stres akibat dari perubahan-perubahan yang dilaminya yang mereka rasakan
sebagai suatu ancaman terhadap kesejahteraan fisik maupun psikologisnya dan
8
menimbulkan ketidakpastian akan kemampuannya untuk menghadapi kejadian tersebut
(Prayascitta, 2011).
Vonis kanker serviks yang diberikan dokter memiliki dampak tersendiri pada
penderitanya. Dimana mereka memiliki resiko yang mengalami stres yang akan
berpengaruh pada motivasi mereka untuk sembuh. Kondisi stres yang dialami penderita
kanker bisa saja membuat mereka tidak mau menjalani pengobatan karena terfokus pada
penyakitnya tersebut. Berbagai masalah yang dialami penderia kanker akibat dari
penyakitnya membuat mereka membutuhkan dukungan sosial keluarga yang besar
untuk memunculkan kembali motivasi mereka untuk sembuh. Selain itu untuk
menghadapi tekanan yang dihadapinya, penderita kanker serviks membutuhkan koping
yang baik agar gangguan fisik dan psikis tidak terjadi dan dengan demikian tidak akan
mengganggu motivasi sembuh mereka. Beberapa hal yang dapat membantu pasien
kanker mengurangi stres adalah mendapatkan dukungan sosial dan melakukan koping,
sehingga penulis tertarik untuk melihat lebih dalam peran “koping dengan stress dan
dukungan sosial keluarga sebagai prediktor motivasi sembuh pada penderita kanker
serviks.”
Hipotesis
Berdasarkan latar belakang masalah dan landasan teori yang dikemukakan, maka
hipotesis dari penelitian ini adalah “terdapat peran dari koping dengan stres dan
dukungan sosial keluarga sebagai prediktor motivasi sembuh pada penderita kanker
serviks.” Artinya semakin tinggi koping dengan stres dan dukungan sosial keluarga
maka semakin tinggi motivasi sembuh. Begitupun sebaliknya semakin rendah koping
degan stres dan dukungan sosial keluarga maka semakin rendah motivasi sembuh.
9
METODE PENELITIAN
Partisipan
Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 35 pasien kanker serviks dengan
rentang usia 20 - 53 tahun di ruang Angsoka II, RSUP Sanglah, Bali yang dilakukan
pada tanggal 18-29 April 2016 dengan karakteristik pasien kanker serviks stadium IIIA,
menjalani rawat inap, dan kemoterapi dengan menggunakan teknik incidental sampling.
Alat Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menggunakan tiga buah skala yaitu : Pertama, Skala
Dukungan Sosial Keluarga yang disusun menggunakan skala Likert dengan empat
alternatif jawaban dari Sangat Setuju hingga Sangat Tidak Setuju. Skala terdiri dari 15
item yang dimodifikasi dari skala milik Syasra (dalam Syasra, 2011) dengan koefisien
alpha sebesar 0,931 dan daya beda item valid bergerak dari 0,328 - 0,799.
Instrument kedua adalah Skala Motivasi Sembuh yang dimodifikasi dari skala
milik Syasra (dalam Syasra, 2011) yang berdasarkan pada aspek motivasi dari Conger
(dalam Syasra, 2011). Skala terdiri dari 18 item dengan koefisien alpha sebesar 0,889
menggunakan skala Likert yang terdiri dari empat kategori jawaban dari Sangat Setuju
hingga Sangat Tidak Setuju.
Instrument ketiga yaitu Skala Koping Dengan Stres yang disusun oleh peneliti.
Terdiri dari 61 item yang didasarkan pada aspek koping yang dikemukakan oleh Moss
& Schaefer (dalam Ogden, 2007) yaitu penilaian kognitif (cognitive appraisal),
penyesuaian terhadap tugas-tugas (adaptive tasks) dan keterampilan koping (coping
skills) yang terdiri dari empat alternatif jawaban dari Sangat Setuju hingga Sangat Tidak
Setuju dengan menggunakan skala Likert.
10
HASIL
Reliabilitas dan Seleksi Item
Uji reliabilitas pada skala koping dengan stres dilakukan sebanyak dua kali
putaran dengan menggunakan Alpha Cronbach. Putaran pertama untuk menyeleksi butir
item yang lolos (memenuhi konversi seleksi item) dan mengeliminasi item gugur
dimana dari 61 item terdapat 19 item yang gugur yaitu dengan koefisien reliabilitas
sebesar 0,897. Selanjutnya dilakukan uji reliabilitas dengan 42 item yang tersisa dan
didapatkan koefisien reliabilitas sebesar 0,962 dengan minimal indeks daya diskriminasi
item 0,30.
Pada skala dukungan sosial keluarga hasil uji reliabilitas dan daya diskriminasi
item pada tahap uji coba diperoleh koeefisien reliabilitas sebesar 0,831 yang berarti alat
ukur tersebut tergolong reliabel. Pada uji reliabilitas selanjutnya skala dukungan sosial
keluarga mengalami penambahan dari 0,831 menjadi 0,889 dengan minimal indeks daya
diskriminan item sebesar 0,467.
Kemudian pada skala motivasi sembuh, uji reliabilitas daya diskriminasi item
pertama dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,850. Setelah dilakukan seleksi item dan
membuang item yang gugur, pada perhitungan reliabilitas selanjutnya diperoleh
koefisien reliabilitas sebesar 0,924 dengan daya beda item valid bergerak dari 0,509 –
0,742.
Analisis Deskriptif
Peneliti membagi skor dari setiap skala menjadi 5 kategori mulai dari “sangat
rendah” hingga “sangat tinggi” menggunakan rumus kategorisasi (Hadi, 2000). Tabel 1,
2, 3, menunjukkan kategori skor untuk setiap variabel.
11
Tabel 1. Kriteria skor untuk koping dengan stres
No.
1
2
3
4
5
Interval
142,8 ≤ x < 168
117,6 ≤ x < 142,8
92,4 ≤ x < 117,6
67,2 ≤ x < 92,4
42 ≤ x < 67,2
Total
Min : 97
Max :159
Kategori
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
Std
:18,25
F
16
8
11
35
Persentase
45,71%
22,86%
31,43%
0%
0%
100%
Mean
132,94
Mean : 132,94
Tabel 2. Kriteria skor untuk dukungan sosial keluarga
No.
1
2
3
4
5
Interval
40,8 ≤ x < 48
33,6 ≤ x < 40,8
26.4 ≤ x < 33,6
19,2 ≤ x < 26,4
12 ≤ x < 19,2
Total
Min : 28
Max :48
Kategori
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
Std
F
13
14
8
35
Persentase
37,14%
40,00%
22,86%
0%
0%
100%
Mean : 38,46
Mean
F
24
2
9
35
Persentase
68,57%
5,72%
25,71%
0%
0%
100%
Mean : 45,74
Mean
45,74
:5,71
38,46
Tabel 3. Kriteria skor untuk motivasi sembuh
No.
1
2
3
4
5
Interval
40,6 ≤ x < 56
39,2 ≤ x < 47,6
30,8 ≤ x < 39,2
22,4 ≤ x < 30,8
14 ≤ x < 22,4
Total
Min : 32
Max :53
Kategori
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
Std
: 7,221
12
Uji Asumsi
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dalam penelitian ini memakai Uji Kolmogrov-Smirnov (K-S)
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Koping dengan
Dukungan sosial
Motivasi sembuh
stress (X1)
keluarga (X2)
(Y)
N
Normal Parametersa
Most Extreme Differences
35
35
35
Mean
132.94
38.46
45.74
Std. Deviation
18.250
5.716
7.221
Absolute
.271
.224
.312
Positive
.122
.133
.169
Negative
-.271
-.224
-.312
1.601
1.323
1.846
.012
.061
.002
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Test distribution is Normal.
Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa nilai probabilitas koping dengan
stres sebesar 1,601 (1,601>0,05), dukungan sosial keluarga sebesar 1,323
(1,323>0,05),
dan
motivasi
sembuh
dengan
probabilitas
sebesar
1,846
(1,856>0,05), sehingga dapat disimpulkan data tersebut memenuhi syarat yaitu
berdistribusi normal.
2. Uji Multikolinieritas
Dari hasil perhitungan nilai Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF),
menunjukkan VIF sebesar 2,347 (2,347 < 10) dengan nilai Tolerance sebesar 4,26
(4,26 > 0,100) untuk variabel koping dengan stres dan VIF sebesar 2,347
(2,347<10) dengan nilai Tolerance sebesar 4,26 (4,26 > 0,100) untuk variabel
dukungan sosial keluarga. diketahui bahwa tidak ada hubungan antara variabel
koping dengan stres dan dukungan sosial keluarga.
13
3. Uji Autokorelasi
Berdasarkan hasil perhitungan autokorelasi, dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat autokorelasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai Durbin Watson (DW) sebesar
1,283 dimana nilai DW berada di atas 1 dan lebih kecil dari 3, maka tidak ada
autokorelasi.
4. Uji Linieritas
Hasil uji linieritas pada variabel koping dengan stres dan motivasi sembuh
diketahui bahwa nilai signifikansi kurang dari 0,05 yaitu sebesar 0,001 dengan
F(1, 20) = 6,694. Selanjutnya uji linieritas juga dilakukan pada variabel dukungan
sosial keluarga dan motivasi sembuh. Diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar
0,038 (p < 0,05) dengan F (1, 12) = 2,395.
Hasil Uji Hipotesis
Berdasarkan hasil uji korelasi variabel koping dengan stres dan dukungan sosial
keluarga dengan motivasi sembuh menunjukkan adanya hubungan positif yang kuat
antara kedua prediktor tersebut dengan motivasi sembuh penderita kanker serviks.
Dari hasil tersebut diatas diketahui bahwa hubungan positif antara koping
dengan motivasi sembuh berada pada derajat yang tergolong kuat dengan besar nilai
r = 0,800 (p < 0,05). Demikian juga bila melihat hubungan dukungan sosial keluarga
dengan motivasi sembuh terdapat korelasi yang positif dan kuat dengan sumbangan
nilai r = 0,777 (p < 0,05). Untuk melihat pengaruh bersama-sama dari variabel koping
dengan stres dan dukungan sosial keluarga terhadap motivasi sembuh, maka dilakukan
analisis multiple regression, lihat tabel 4.
14
Tabel 4. Hasil uji multiple regression.
ANOVAb
Model
1
Sum of Squares
Regression
Mean Square
1255.183
2
627.592
517.502
32
16.172
1772.686
34
Residual
Total
df
F
Sig.
38.807
.000a
a. Predictors: (Constant), Dukungan sosial keluarga (X2), Koping dengan stress (X1)
b. Dependent Variable: Motivasi sembuh (Y)
Model Summaryb
Model
1
R
R Square
a
.841
Adjusted R Square
.708
Std. Error of the
Estimate
.690
Durbin-Watson
4.021
1.283
a. Predictors: (Constant), Dukungan sosial keluarga (X2), Koping dengan stress (X1)
b. Dependent Variable: Motivasi sembuh (Y)
Dari perhitungan diatas menunjukkan adanya pengaruh yang kuat dengan
koefisien korelasi (Ryx1,x2) = 0,841. Sedangkan kontribusi atau sumbangan secara
simultan variabel koping dengan stres dan dukungan sosial keluarga terhadap motivasi
sembuh (R2)= 0,708. Hal ini berarti motivasi sembuh penderita kanker serviks diperoleh
dari koping dengan stres dan dukungan sosial keluarga dengan sumbangan sebesar
70,8%, sedangkan sisanya 29,2% ditentukan oleh faktor lain yaitu religiusitas (allifini,
2011), dan komunikasi terapeutik (Hardhiyani, 2013).
Melalui uji Anova diperoleh besar nilai F (2,32) = 38,807 dengan tingkat
probabilitas signifikansi 0,001 < 0,05 sehingga model regresi ganda dapat digunakan
untuk memprediksi motivasi sembuh.
15
PEMBAHASAN
Hasil dari pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
yang kuat antara koping dengan stres (x1) dengan motivasi sembuh (y) penderita kanker
serviks di ruang Angsoka II, RSUP Sanglah. Hasil tersebut ditunjukkan dengan angka
koefisien korelasi ryx1= 0,800, dengan besar p = 0,001 (p< 0,05). Hal ini menjelaskan
bahwa koping yang tinggi oleh penderita kanker serviks cenderung akan diikuti
tingginya tingkat motivasi sembuh penderita kanker serviks.
Hal tersebut di atas dapat dijelaskan Moos & Schaefer (dalam Ogden, 2007)
yang menyatakan bahwa penilaian terhadap penyakit, penyesuaian terhadap tugas, serta
keterampilan koping yang digunakan dapat memotivasi serta membantu individu untuk
dapat beradaptasi dengan kondisinya, sehingga meningkatkan kualitas hidup dan
kesejahteraannya. Keterampilan koping yang baik pada penderita kanker akan membuat
mereka mampu untuk lebih memahami dan memaknai penyakitnya secara mendalam
sehingga mereka mampu mengelola emosinya dalam mengatasi masalah terkait dengan
penyakitnya.
Penelitian ini menunjukkan jumlah subjek dengan koping yang tergolong tinggi
dengan sebanyak 24 orang dan 11 orang memiliki tingkat koping yang sedang. Kondisi
ini dimungkinkan terjadi karena subjek penelitian menjalani rawat inap di rumah sakit
dimana karakteristik subjek secara umum masih kental dengan kebiasaan saling
menjaga komunikasi yang baik bahkan saling memberikan kata-kata yang positif.
Dengan demikian, penderita kanker serviks tidak sekedar dapat memahami situasi sulit
tersebut sebagai kondisi yang dapat diubah tetapi juga terbentuknya sistem keyakinan
pada mereka untuk memandang penyakitnya lebih positif.
16
Selain pada koping, penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan positif
antara dukungan sosial keluarga dengan motivasi sembuh yang tergolong kuat dengan
besar nilai r = 0,777 (p< 0,05). Hasil ini mengindikasikan bahwa individu yang
cenderung memiliki dukungan sosial keluarga yang tinggi akan memiliki tingkat
motivasi sembuh yang tinggi pula. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan
Pradjatmo & Gakidau (dalam Susilawati, 2013) yang menyatakan dengan adanya
dukungan keluarga akan berdampak pada peningkatan rasa percaya diri pada penderita
dalam menghadapi proses pengobatan penyakitnya.
Dukungan yang diterima individu akan dipahami sebagai pesan bahwa ia
disayangi, dipedulikan, dan diterima keberadaannya. Kenyamanan dan ketenteraman
berada di tengah-tengah komunitas atau orang-orang yang mendukung dia sangat
membantu individu menghadapi masa sulit ataupun tekanan yang dialami (Lopez,
2009).
Secara teoritis korelasi antara koping dengan motivasi sembuh lebih besar, maka
variabel koping lebih berpengaruh terhadap motivasi sembuh dibandingkan dengan
dukungan sosial keluarga. Hal ini terjadi karena motivasi kesembuhan seseorang
bergantung pada bagaimana seseorang mampu memahami, menerima, serta memaknai
sakit yang dideritanya. Besarnya kontribusi secara simultan variabel koping dan
dukungan sosial keluarga terhadap motivasi sembuh ditunjukkan dengan nilai R 2
sebesar 0,708. Hal ini berarti bahwa motivasi sembuh penderita kanker serviks
diperoleh dari koping dan dukungan sosial keluarga dengan sumbangan sebesar 70,8%,
sedangkan sisanya 29,2% ditentukan oleh faktor lain, seperti religiusitas dalam
penelitian yang dilakukan Allifni (2011) menyatakan bahwa keyakinan akan Tuhan
dapat menimbulkan rasa aman dan tentram pada jiwa serta komunikasi terapeutik
17
(Hardhiyani, 2013) dimana kemampuan terapeutik perawat dapat memberikan
dukungan dan semangat serta informasi yang menjadi jalan keluar yang positif bagi
pasien untuk menerima keadaannya.
18
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa koping dengan stres dan dukungan sosial
keluarga dapat menjadi prediktor motivasi sembuh penderita kanker serviks. Dimana
kemampuan koping berperan lebih besar untuk menumbuhkan motivasi sembuh
penderita kanker serviks dibandingkan dengan dukungan sosial keluarga. Dengan
keterampilan koping yang baik pada penderita kanker akan mampu untuk lebih
memahami dan memaknai penyakitnya secara positif sehingga mereka mampu
mengelola emosinya dalam mengatasi masalah terkait dengan penyakitnya.
SARAN
Melalui penelitian ini diharapkan bagi keluarga untuk meningkatkan fungsi
dukungan secara positif, dimana dengan dukungan tersebut pasien akan merasa lebih
disayangi, dipedulikan dan dapat menciptakan rasa nyaman dan tentram pada diri pasien
sehingga dapat meningkatkan motivasi sembuh. Selain itu, bagi penderita kanker
serviks perlu untuk mencari informasi secara menyeluruh mengenai penyakit yang
sedang diderita agar tercipta pemahaman dan juga penerimaan terkait dengan
kondisinya, sehingga penderita kanker serviks bisa mengembangkan pikiran yang
positif yang bisa meningkatkan motivasi sembuh mereka. Untuk peneliti selanjutnya,
diharapkan lebih memodifikasi alat ukur yang digunakan sesuai dengan tempat
penelitian serta berupaya agar suasana dan lingkungan pada saat partisipan menjawab
kuesionernya lebih dikontrol dan meminimalisir intervensi dari anggota keluarga lain
sehingga partisipan lebih bebas mengisi angket sesuai dengan kondisi yang dirasakan
oleh partisipan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Allifni, M. (2011). Pengaruh dukungan sosial dan religiusitas terhadap motivasi
berobat pada penderita kanker serviks. Skripsi diterbitkan. Jakarta: Fakultas
Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Bintang, Y. A., Ibrahim, K., & Emaliyawati, E. (2012). Gambaran tingkat kecemasan,
stress dan depresi pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi di salah satu
RS di Kota Bandung. E-Journal Unpad, 4(1), 719-1405.
Effendi, R, W., Tjahjono, E. (1999). Hubungan Perilaku Coping dan Dukungan Sosial
Dengan Kecemasan Pada Ibu Hamil Anak Pertama. Jurnal Anima, 14(54),
214-227.
Gravertter, F. J. & Forzano, L. (2009). Research method for the behavioral sciences.
(Fourth Edition). Canada: Wadsworth, Cengage Learning.
Hadi, S. (2000). Statistik. Yogyakarta: Andi.
Hardhiyani, R. (2013). Hubungan Komunikasi Therapeutic Perawat Dengan Motivasi
Sembuh Pada Pasien Rawat Inap Di Ruang Melati Rumah Sakit Umum
Daerah Kalisari Batang. Skripsi. Semarang: Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
Karabulutlu, E. Y., Billici, M., Cayir, K., Tekin, S. B., & Kantarci, R. (2010). Coping,
Anxiety and Depression in Turkish Patients with Cancer. European Journal of
General Medicine, 7(3), 296-302.
Kementrian Kesehatan RI. (2015). Pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI.
Lindayati. (2011). Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap wanita pasangan usia
subur dengan tindakan pencegahan penyakit kanker serviks di kelurahan air
20
tawar barat wilayah kerja puskesmas air tawar kecamatan padang utara tahun
2011. Skripsi diterbitkan. Padang: Fakultas Keperawatan Universitas Andalas.
Lopez, S. J. (2009). The Encyyclopedia Psychology. (Vol II). Willey-Blackwell.
Ogden, J. (2007). Health Psychology : A Text Book (Fouth Edition). MC Graw Hill.
Prayascitta, P. (2010). Hubungan antara coping stress dan dukungan sosial dengan
motivasi belajar remaja yang orangtuanya bercerai. Skripsi diterbitkan.
Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Grasindo.
Susilawati, D. (2013). Hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan
penderita kanker serviks paliatif di RSUP DR Sardjito Yogyakarta. Jurnal
Keperawatan, 4(2), 2086-3071.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung.
Alfabeta.
Syasra, P. A. (2011). Hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan motivasi
kesembuhan pasien tuberkolosis di kota Pekanbaru. Skripsi diterbitkan. Riau:
Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau Pekanbaru.
Taylor, E. S. (2009). Health Psychology. (Seventh edition). John Willey and Sons.
www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2015/06/21 diakes pada 21 juni 2015.
www.yayasankankerindonesia.org diakses pada 8 Mei 2015.
Download