KOPING DENGAN STRES DAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA SEBAGAI PREDIKTOR MOTIVASI SEMBUH PADA PENDERITA KANKER SERVIKS OLEH RINI WULANDARI 802012118 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016 KOPING DENGAN STRES DAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA SEBAGAI PREDIKTOR MOTIVASI SEMBUH PADA PENDERITA KANKER SERVIKS Rini Wulandari Aloysius L. S. Soesilo Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016 Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran koping dengan stress dan dukungan sosial keluarga sebagai prediktor motivasi sembuh penderita kanker serviks. Sampel (N=35) diambil dengan menggunakan teknik Incidental Sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tiga skala, yaitu skala koping dengan stress, skala dukungan sosial keluarga, dan skala motivasi sembuh. Hasil penelitian menggunakan teknik regresi linear berganda diperoleh adalah r = 0,708 dengan sig. 2-tailed = 0,001 (p < 0,05) menunjukkan bahwa koping dengan stres dan dukungan sosial keluarga dapat menjadi prediktor motivasi sembuh penderita kanker serviks. Kata kunci: motivasi sembuh, koping dengan stres, dukungan sosial keluarga, penderita kanker serviks. i Abstract The aim of the present study is to find out the possibility of coping with stress and the presence of social support for families toward patients of servix cancer motivation cure. 35 patients of servix cancer were recruited to participate in this study using incidental sampling. Three types of questionnaires were distributed: coping with stress scale, social support for families scale and motivation cure scale. All gathered datas were processed and analyzed using a parallel linear regression shows r = 0,544 with sig. 2tailed = 0,001 (p < 0,05). The research shows that the two factors above could be places as motivation cure predictors for the patients of servix cancer. Keywords: motivation cure, coping with stress, social support for families, patients of servix cancer. ii 1 PENDAHULUAN Dewasa ini di negara berkembang telah terjadi pergeseran penyebab kematian utama yaitu penyakit menular dan penyakit tidak menular. Kecenderungan perubahan tersebut di pengaruhi oleh gaya hidup, globalisasi, diet yang salah dan lain-lain. Penyakit yang tergolong penyakit tidak menular adalah kanker, diabetes mellitus, kardiovaskular, gangguan mental, dan lain-lain. Kanker adalah penyakit akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Dalam perkembangannya, sel-sel kanker ini menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga dapat menyebabkan kematian (Allan & Schiffman dalam Susilawati, 2013). Penyakit kanker merupakan penyebab kematian utama di seluruh dunia. Berdasarkan laporan Kemenkes RI (2015) mengungkapkan bahwa pada tahun 2012 sekitar 8,2 juta kematian disebabkan oleh kanker. Lebih dari 30% kematian akibat kanker disebabkan oleh lima faktor resiko perilaku dan pola makan, yaitu indeks massa tubuh tinggi, kurang mengkonsumsi sayur dan buah, kurang aktivitas fisik, penggunaan rokok, dan konsumsi alkohol berlebihan. Selain itu berdasarkan data World Health Organization (WHO) mengungkapkan bahwa jumlah penderita kanker di dunia setiap tahunnya bertambah 7 juta orang, dan dua per tiga diantaranya berada di negara-negara yang sedang berkembang sedangkan di Indonesia tiap tahunnya diperkirakan terdapat 100 penderita baru per 100.000 penduduk. Ini berarti dari 237 juta penduduk, ada sekitar 237.000 penderita kanker baru tiap tahunnya (Yayasankankerindonesia). Salah satu jenis kanker yang mengalami peningkatan cukup tinggi adalah kanker serviks. Kanker serviks adalah kanker yang menyerang uterus, yaitu pada bagian serviks uterus (leher rahim), suatu daerah pada organ reproduksi perempuan yang merupakan 2 pintu masuk ke arah rahim (uterus) yang terletak antara rahim dan liang senggama (vagina) atau rahim bagian bawah. Kanker serviks merupakan jenis kanker kedua setelah payudara yang paling umum diderita oleh perempuan (Yatim dalam Lindayati, 2011). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2006 melaporkan 493.234 jiwa per tahun penderita kanker serviks baru di dunia dengan angka kematian 273.505 jiwa per tahun (Emilia dalam Lindayati, 2011). Terlihat peningkatan penderita kanker serviks pada kelompok umur 25-34 tahun, 35-44 tahun, dan 45-54 tahun. Secara nasional prevalensi penyakit kanker serviks tertinggi terdapat pada Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi D.I. Yogyakarta yaitu sebesar 1,5%. Berdasarkan estimasi jumlah penderita kanker serviks dan kanker payudara terbanyak terdapat pada Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Tengah (Kemenkes, 2015). Berdasarkan data Kemenkes RI (2015) jumlah penderita kanker serviks terbanyak berada di RS Kanker Dharmais selama 4 tahun berturut-turut. Selama tahun 2010-2013 kanker payudara, kanker serviks , dan kanker paru merupakan tiga penyakit terbanyak di RS Kanker Dharmais, dan jumlah kasus baru serta jumlah keatian akibat kanker tersebut terus meningkat. Insiden mortalitas kanker serviks di negara berkembang menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian akibat kanker pada wanita usia reproduksi aktif. Demikian halnya di Indonesia, kanker serviks masih menempati urutan pertama dari seluruh kejadian kanker pada wanita dan lebih dari separuh penderitanya datang ke fasilitas pengobatan pada stadium lanjut (Edianto dalam Lindayati, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Martin dan Dajoux (dalam Allifni, 2011) pada 1000 wanita ditemukan bahwa hanya 48 wanita yang mempunyai leher rahim normal. Besarnya 3 angka kejadian kanker serviks yang ditemukan, membuat kanker serviks menjadi salah satu jenis kanker yang paling ditakuti wanita. Selain itu sampai saat ini kanker serviks masih menyebabkan kematian pada wanita yang cukup tinggi, diperkirakan sebesar 4.900 orang per tahun. Tingginya angka kematian penderita kanker serviks lebih banyak disebabkan oleh keterlambatan pengobatan. Menurut Yatim (dalam Allifni, 2011), penderita yang datang berobat ke rumah sakit sebagian besar sudah berada pada stadium lanjut, yakni IIB - IVB sebanyak 66,4%, stadium IIB sebanyak 37,3%, serta stadium IA - IIA 28,6%. Keterlambatan ini tentunya sangat merugikan penderita sendiri karena tingkat harapan hidup penderita kanker sangat ditentukan oleh stadium atau tingkat keparahan penderita. Sayangnya sebanyak 70% - 80% penderita kanker serviks datang ke rumah sakit sudah pada stadium lanjut dan ini mengakibatkan angka harapan hidup penderita kanker serviks kian menipis (Tempo.com). Permasalahannya adalah kurangnya pengetahuan setiap individu mengenai kanker serviks hingga akhirnya mereka datang ke rumah sakit sudah pada stadium lanjut, ditambah lagi dengan biaya pengobatan yang pastinya cukup mahal. Seperti yang diungkapkan oleh Smet (1994) bahwa mahalnya biaya tarif pengobatan dijadikan alasan setiap individu untuk tidak menganggap serius penyakitnya. Bukan hanya biaya pengobatan saja yang menjadi permasalahan, melainkan diagnosa kanker dan pengobatan juga membawa perubahan pada kehidupan pribadi pasien, dalam perannya dalam kegiatan sehari-hari, pekerjaan, pertemanan, dan keluarga mereka, dan hal ini terkait dengan stres yang tinggi pada pasien. Stres tersebut memunculkan kecemasan dan memicu depresi pada pasien (Zabalegui, Sanchez & Juando dalam Karabulutlu, Billici, Cayir, Tekin, & Kantarci, 2010). Kecemasan dan depresi adalah masalah 4 psikologis yang paling umum ditemui pada penderita kanker. Kecemasan dapat didefinisikan sebagai pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan terkait dengan persepsi ancaman nyata atau dibanyakan dan merupakan gejala umum behubungan dengan kanker (Ahlberg, Ekman, Wallgren, & Johansson dalam Karabulutlu, Billici, Cayir, Tekin, & Kantarci, 2010). Kecemasan terutama terkait dengan ketidakpastian tentang diagnosis, efek samping dari pengobatan kemoterapi atau radioterapi, kurangnya kontrol sosial, kerusakan fisik yang progresif, dan pikiran hampir mati (Zabalegui, Sanchez & Juando dalam Karabulutlu, Billici, Cayir, Tekin, & Kantarci, 2010). Pasien yang mengalami depresi juga mungkin memiliki gejala fisik yang sulit hilang dan hal ini dapat meningkatkan depresi mereka ketika menjalani pengobatan (Lloyd dalam Karabulutlu, Billici, Cayir, Tekin, & Kantarci, 2010). Dari hasil penelitian yang dilakukan Bintang, Ibrahim & Emaliyawati (2012) menyatakan bahwa penderita kanker mengalami tingkat kecemasan, stres dan depresi yang bervariasi dari sedang hingga berat ketika menjalani kemoterapi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 34,28% mengalami kecemasan sedang, 12,86% mengalami kecemasan berat, 4,28% mengalami kecemasan sangat berat, 10% mengalami stres sedang, 2,86% mengalami stres berat, 11,43% mengalami depresi sedang, 8,57% mengalami depresi berat, dan 2,86% mengalami depresi sangat berat. Kecemasan dan depresi yang dialami penderita memberi dampak psikologis lain seperti takut, murung, dan juga penolakan atas vonis kanker. Setelah ini berlalu pada akhirnya penderita akan sadar dan menerima kenyataan bahwa jalan hidupnya telah berubah. Sedikit banyak penderita akan mulai berpikir dan berperasaan lebih realistis dan mempercayakan sepenuhnya kepada dokter untuk kelanjutan pengobatannya 5 (Taylor, 2009). Oleh karena itu dalam proses pengobatannya penderita harus memiliki motivasi untuk sembuh yang kuat. Motivasi merupakan suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri seseorang yang menimbulkan, menggerakkan, dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Motivasi pada dasarnya adalah kondisi mental yang mendorong dilakukannya tindakan dan memberikan kekuatan yang mengarahkan kepada pencapaian tujuan. Motivasi inilah yang mendorong seseorang untuk beraktifitas dalam pencapaian tujuan (Syasra, 2011). Penderita kanker serviks yang memiliki motivasi sembuh yang kuat akan berusaha bangkit melawan penyakitnya, sebaliknya jika motivasi sembuh rendah maka penderita kanker serviks akan berputus asa dan tidak mau berusaha melawan penyakitnya. Adanya motivasi akan mampu mempengaruhi kesembuhan pasien, karena dengan adanya motivasi pasien akan mau melakukan pengobatan (Syasra, 2011). Keadaan pikiran pasien sangat berpengaruh untuk dapat menghambat atau mendorong kesembuhan pasien dari penyakit. Motivasi untuk sembuh menjadi suatu kekuatan yang berasal dari dalam diri pasien yang mendorong perilaku menuju kesembuhan yang ingin dicapai. Banyak persoalan timbul ketika seseorang menderita penyakit tertentu tidak memiliki motivasi kesembuhannya sendiri (Puri dalam Syasra, 2011). Cara untuk mengurangi stres yang dialami penderita akibat perubahan kondisi fisik maupun psikis mereka adalah dengan mendapatkan dukungan sosial dan melakukan koping. Dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dengan cara melindungi penderita terhadap efek negatif dari stres berat yang mereka alami. Orang dengan dukungan sosial yang tinggi ada kecenderungan tidak mengabaikan stres karena mereka tahu akan mendapatkan pertolongan dari orang lain (Sarafino dalam Prayascitta, 2010). 6 Dengan adanya dukungan sosial penderita merasakan penerimaan dari kebersamaan orang-orang disekitarnya. Dukungan sosial secara tidak langsung mempunyai manfaat emosional yang akan memberikan kekuatan bagi penderita untuk melawan penyakitnya itu. Cohen & Syme (dalam Syasra, 2011) menyatakan bahwa keluarga sebagai pihak terdekat memiliki peluang yang banyak untuk dapat mendampingi, mereka memberikan dukungan dengan memberi rasa aman, menerima apa adanya, tidak menyalahkan apa yang terjadi padanya, bersikap tulus, menginggat keluarga adalah dukungan sosial yang penting berarti dukungan keluarga memiliki arti yang sama dengan dukungan sosial. House (dalam Syasra, 2011) menjelaskan dukungan sosial sebagai transaksi interpersonal yang meliputi perhatian emosional (perasaan suka, cinta, dan empati), batuan instrumental (barang/jasa), informasi dan penilaian (informasi yang berhubungan dengan evaluasi diri). Hal tersebut diperkuat lagi oleh Johnson & Johnson (dalam Syasra, 2011) bahwa dukungan sosial adalah pertukaran sumber yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan serta keberadaan orang-orang yang mampu diandalkan untuk memberikan bantuan, semangat, penerimaan, dan perhatian. Dukungan sosial keluarga ini sangatlah memberikan pengaruh yang positif untuk mengatasi masalah. Dukungan sosial dapat meningkatkan cara seseorang dalam menghadapi atau memecahkan masalah yang terfokus pada pengurangan reaksi stres melalui perhatian, informasi, dan umpan balik yang diperlukan seseorang untuk melakukan koping terhadap stres sehingga dapat meningkatkan motivasi untuk sembuh (Jhonson dalam Prayascitta, 2010). Lazarus (dalam Prayascitta, 2010) mengartikan koping sebagai kemampuan mengubah kognitif atau perilaku secara konstan agar tuntutan-tuntutan eksternal maupun internal khususnya yang diperkirakan membebani dan melampaui kemampuan 7 individu melemah. Koping yang ditampilkan individu dapat berbeda-beda tergantung pada masalah yang dihadapi, tetapi apabila koping terhadap stres yang ditampilkan dan digunakannya pada suatu masalah dirasa cocok dan dapat menyelesaikan masalah maka ada kemungkinan untuk mengulangi jika dihadapkan pada masalah serupa di masa mendatang ( Effendi & Thahjono, 1994). Terkait dengan hal tersebut Moos dan Schaefer (dalam Ogden, 2007) menggambarkan tiga proses koping yaitu penilaian kognitif (cognitive appraisal), penyesuaian pada tugas-tugas (adaptive tasks), dan keterampilan koping (coping skills). Cognitive appraisal merupakan tahap ketidakseimbangan yang dipicu oleh penyakit. Terkait dengan bagaimana suatu penyakit akan dinilai oleh penderita. Adaptive tasks meliputi menjaga keseimbangan emosional, menjaga kepuasan citra diri dan mempertahankan kemampuan, mempertahankan hubungan dengan keluarga dan temanteman serta mempersiapkan masa depan. Coping skills dibagi menjadi tiga bentuk yaitu appraisal- focused coping, problem- focused coping, dan emotion- focused coping. Appraisal- focused coping melibatkan upaya untuk memahami penyakit dan merupakan pencarian makna. Problem- focused coping melibatkan cara yang digunakan untuk mengatasi suatu masalah, serta emotion focused- coping melibatkan cara pengelolaan emosi dan menjaga keseimbangan emosional. Pasien kanker melakukan koping sebagai tindakan untuk mengurangi stres yang dialaminya. Stres meliputi kejadian atau fakta di lingkungan yang dirasakan oleh individu sebagai ancaman dan reaksi individu terhadap stressor tersebut. Pasien kanker mengalami stres akibat dari perubahan-perubahan yang dilaminya yang mereka rasakan sebagai suatu ancaman terhadap kesejahteraan fisik maupun psikologisnya dan 8 menimbulkan ketidakpastian akan kemampuannya untuk menghadapi kejadian tersebut (Prayascitta, 2011). Vonis kanker serviks yang diberikan dokter memiliki dampak tersendiri pada penderitanya. Dimana mereka memiliki resiko yang mengalami stres yang akan berpengaruh pada motivasi mereka untuk sembuh. Kondisi stres yang dialami penderita kanker bisa saja membuat mereka tidak mau menjalani pengobatan karena terfokus pada penyakitnya tersebut. Berbagai masalah yang dialami penderia kanker akibat dari penyakitnya membuat mereka membutuhkan dukungan sosial keluarga yang besar untuk memunculkan kembali motivasi mereka untuk sembuh. Selain itu untuk menghadapi tekanan yang dihadapinya, penderita kanker serviks membutuhkan koping yang baik agar gangguan fisik dan psikis tidak terjadi dan dengan demikian tidak akan mengganggu motivasi sembuh mereka. Beberapa hal yang dapat membantu pasien kanker mengurangi stres adalah mendapatkan dukungan sosial dan melakukan koping, sehingga penulis tertarik untuk melihat lebih dalam peran “koping dengan stress dan dukungan sosial keluarga sebagai prediktor motivasi sembuh pada penderita kanker serviks.” Hipotesis Berdasarkan latar belakang masalah dan landasan teori yang dikemukakan, maka hipotesis dari penelitian ini adalah “terdapat peran dari koping dengan stres dan dukungan sosial keluarga sebagai prediktor motivasi sembuh pada penderita kanker serviks.” Artinya semakin tinggi koping dengan stres dan dukungan sosial keluarga maka semakin tinggi motivasi sembuh. Begitupun sebaliknya semakin rendah koping degan stres dan dukungan sosial keluarga maka semakin rendah motivasi sembuh. 9 METODE PENELITIAN Partisipan Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 35 pasien kanker serviks dengan rentang usia 20 - 53 tahun di ruang Angsoka II, RSUP Sanglah, Bali yang dilakukan pada tanggal 18-29 April 2016 dengan karakteristik pasien kanker serviks stadium IIIA, menjalani rawat inap, dan kemoterapi dengan menggunakan teknik incidental sampling. Alat Pengumpulan Data Dalam penelitian ini menggunakan tiga buah skala yaitu : Pertama, Skala Dukungan Sosial Keluarga yang disusun menggunakan skala Likert dengan empat alternatif jawaban dari Sangat Setuju hingga Sangat Tidak Setuju. Skala terdiri dari 15 item yang dimodifikasi dari skala milik Syasra (dalam Syasra, 2011) dengan koefisien alpha sebesar 0,931 dan daya beda item valid bergerak dari 0,328 - 0,799. Instrument kedua adalah Skala Motivasi Sembuh yang dimodifikasi dari skala milik Syasra (dalam Syasra, 2011) yang berdasarkan pada aspek motivasi dari Conger (dalam Syasra, 2011). Skala terdiri dari 18 item dengan koefisien alpha sebesar 0,889 menggunakan skala Likert yang terdiri dari empat kategori jawaban dari Sangat Setuju hingga Sangat Tidak Setuju. Instrument ketiga yaitu Skala Koping Dengan Stres yang disusun oleh peneliti. Terdiri dari 61 item yang didasarkan pada aspek koping yang dikemukakan oleh Moss & Schaefer (dalam Ogden, 2007) yaitu penilaian kognitif (cognitive appraisal), penyesuaian terhadap tugas-tugas (adaptive tasks) dan keterampilan koping (coping skills) yang terdiri dari empat alternatif jawaban dari Sangat Setuju hingga Sangat Tidak Setuju dengan menggunakan skala Likert. 10 HASIL Reliabilitas dan Seleksi Item Uji reliabilitas pada skala koping dengan stres dilakukan sebanyak dua kali putaran dengan menggunakan Alpha Cronbach. Putaran pertama untuk menyeleksi butir item yang lolos (memenuhi konversi seleksi item) dan mengeliminasi item gugur dimana dari 61 item terdapat 19 item yang gugur yaitu dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,897. Selanjutnya dilakukan uji reliabilitas dengan 42 item yang tersisa dan didapatkan koefisien reliabilitas sebesar 0,962 dengan minimal indeks daya diskriminasi item 0,30. Pada skala dukungan sosial keluarga hasil uji reliabilitas dan daya diskriminasi item pada tahap uji coba diperoleh koeefisien reliabilitas sebesar 0,831 yang berarti alat ukur tersebut tergolong reliabel. Pada uji reliabilitas selanjutnya skala dukungan sosial keluarga mengalami penambahan dari 0,831 menjadi 0,889 dengan minimal indeks daya diskriminan item sebesar 0,467. Kemudian pada skala motivasi sembuh, uji reliabilitas daya diskriminasi item pertama dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,850. Setelah dilakukan seleksi item dan membuang item yang gugur, pada perhitungan reliabilitas selanjutnya diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,924 dengan daya beda item valid bergerak dari 0,509 – 0,742. Analisis Deskriptif Peneliti membagi skor dari setiap skala menjadi 5 kategori mulai dari “sangat rendah” hingga “sangat tinggi” menggunakan rumus kategorisasi (Hadi, 2000). Tabel 1, 2, 3, menunjukkan kategori skor untuk setiap variabel. 11 Tabel 1. Kriteria skor untuk koping dengan stres No. 1 2 3 4 5 Interval 142,8 ≤ x < 168 117,6 ≤ x < 142,8 92,4 ≤ x < 117,6 67,2 ≤ x < 92,4 42 ≤ x < 67,2 Total Min : 97 Max :159 Kategori Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah Std :18,25 F 16 8 11 35 Persentase 45,71% 22,86% 31,43% 0% 0% 100% Mean 132,94 Mean : 132,94 Tabel 2. Kriteria skor untuk dukungan sosial keluarga No. 1 2 3 4 5 Interval 40,8 ≤ x < 48 33,6 ≤ x < 40,8 26.4 ≤ x < 33,6 19,2 ≤ x < 26,4 12 ≤ x < 19,2 Total Min : 28 Max :48 Kategori Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah Std F 13 14 8 35 Persentase 37,14% 40,00% 22,86% 0% 0% 100% Mean : 38,46 Mean F 24 2 9 35 Persentase 68,57% 5,72% 25,71% 0% 0% 100% Mean : 45,74 Mean 45,74 :5,71 38,46 Tabel 3. Kriteria skor untuk motivasi sembuh No. 1 2 3 4 5 Interval 40,6 ≤ x < 56 39,2 ≤ x < 47,6 30,8 ≤ x < 39,2 22,4 ≤ x < 30,8 14 ≤ x < 22,4 Total Min : 32 Max :53 Kategori Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah Std : 7,221 12 Uji Asumsi 1. Uji Normalitas Uji normalitas dalam penelitian ini memakai Uji Kolmogrov-Smirnov (K-S) One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Koping dengan Dukungan sosial Motivasi sembuh stress (X1) keluarga (X2) (Y) N Normal Parametersa Most Extreme Differences 35 35 35 Mean 132.94 38.46 45.74 Std. Deviation 18.250 5.716 7.221 Absolute .271 .224 .312 Positive .122 .133 .169 Negative -.271 -.224 -.312 1.601 1.323 1.846 .012 .061 .002 Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa nilai probabilitas koping dengan stres sebesar 1,601 (1,601>0,05), dukungan sosial keluarga sebesar 1,323 (1,323>0,05), dan motivasi sembuh dengan probabilitas sebesar 1,846 (1,856>0,05), sehingga dapat disimpulkan data tersebut memenuhi syarat yaitu berdistribusi normal. 2. Uji Multikolinieritas Dari hasil perhitungan nilai Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF), menunjukkan VIF sebesar 2,347 (2,347 < 10) dengan nilai Tolerance sebesar 4,26 (4,26 > 0,100) untuk variabel koping dengan stres dan VIF sebesar 2,347 (2,347<10) dengan nilai Tolerance sebesar 4,26 (4,26 > 0,100) untuk variabel dukungan sosial keluarga. diketahui bahwa tidak ada hubungan antara variabel koping dengan stres dan dukungan sosial keluarga. 13 3. Uji Autokorelasi Berdasarkan hasil perhitungan autokorelasi, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai Durbin Watson (DW) sebesar 1,283 dimana nilai DW berada di atas 1 dan lebih kecil dari 3, maka tidak ada autokorelasi. 4. Uji Linieritas Hasil uji linieritas pada variabel koping dengan stres dan motivasi sembuh diketahui bahwa nilai signifikansi kurang dari 0,05 yaitu sebesar 0,001 dengan F(1, 20) = 6,694. Selanjutnya uji linieritas juga dilakukan pada variabel dukungan sosial keluarga dan motivasi sembuh. Diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,038 (p < 0,05) dengan F (1, 12) = 2,395. Hasil Uji Hipotesis Berdasarkan hasil uji korelasi variabel koping dengan stres dan dukungan sosial keluarga dengan motivasi sembuh menunjukkan adanya hubungan positif yang kuat antara kedua prediktor tersebut dengan motivasi sembuh penderita kanker serviks. Dari hasil tersebut diatas diketahui bahwa hubungan positif antara koping dengan motivasi sembuh berada pada derajat yang tergolong kuat dengan besar nilai r = 0,800 (p < 0,05). Demikian juga bila melihat hubungan dukungan sosial keluarga dengan motivasi sembuh terdapat korelasi yang positif dan kuat dengan sumbangan nilai r = 0,777 (p < 0,05). Untuk melihat pengaruh bersama-sama dari variabel koping dengan stres dan dukungan sosial keluarga terhadap motivasi sembuh, maka dilakukan analisis multiple regression, lihat tabel 4. 14 Tabel 4. Hasil uji multiple regression. ANOVAb Model 1 Sum of Squares Regression Mean Square 1255.183 2 627.592 517.502 32 16.172 1772.686 34 Residual Total df F Sig. 38.807 .000a a. Predictors: (Constant), Dukungan sosial keluarga (X2), Koping dengan stress (X1) b. Dependent Variable: Motivasi sembuh (Y) Model Summaryb Model 1 R R Square a .841 Adjusted R Square .708 Std. Error of the Estimate .690 Durbin-Watson 4.021 1.283 a. Predictors: (Constant), Dukungan sosial keluarga (X2), Koping dengan stress (X1) b. Dependent Variable: Motivasi sembuh (Y) Dari perhitungan diatas menunjukkan adanya pengaruh yang kuat dengan koefisien korelasi (Ryx1,x2) = 0,841. Sedangkan kontribusi atau sumbangan secara simultan variabel koping dengan stres dan dukungan sosial keluarga terhadap motivasi sembuh (R2)= 0,708. Hal ini berarti motivasi sembuh penderita kanker serviks diperoleh dari koping dengan stres dan dukungan sosial keluarga dengan sumbangan sebesar 70,8%, sedangkan sisanya 29,2% ditentukan oleh faktor lain yaitu religiusitas (allifini, 2011), dan komunikasi terapeutik (Hardhiyani, 2013). Melalui uji Anova diperoleh besar nilai F (2,32) = 38,807 dengan tingkat probabilitas signifikansi 0,001 < 0,05 sehingga model regresi ganda dapat digunakan untuk memprediksi motivasi sembuh. 15 PEMBAHASAN Hasil dari pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat antara koping dengan stres (x1) dengan motivasi sembuh (y) penderita kanker serviks di ruang Angsoka II, RSUP Sanglah. Hasil tersebut ditunjukkan dengan angka koefisien korelasi ryx1= 0,800, dengan besar p = 0,001 (p< 0,05). Hal ini menjelaskan bahwa koping yang tinggi oleh penderita kanker serviks cenderung akan diikuti tingginya tingkat motivasi sembuh penderita kanker serviks. Hal tersebut di atas dapat dijelaskan Moos & Schaefer (dalam Ogden, 2007) yang menyatakan bahwa penilaian terhadap penyakit, penyesuaian terhadap tugas, serta keterampilan koping yang digunakan dapat memotivasi serta membantu individu untuk dapat beradaptasi dengan kondisinya, sehingga meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya. Keterampilan koping yang baik pada penderita kanker akan membuat mereka mampu untuk lebih memahami dan memaknai penyakitnya secara mendalam sehingga mereka mampu mengelola emosinya dalam mengatasi masalah terkait dengan penyakitnya. Penelitian ini menunjukkan jumlah subjek dengan koping yang tergolong tinggi dengan sebanyak 24 orang dan 11 orang memiliki tingkat koping yang sedang. Kondisi ini dimungkinkan terjadi karena subjek penelitian menjalani rawat inap di rumah sakit dimana karakteristik subjek secara umum masih kental dengan kebiasaan saling menjaga komunikasi yang baik bahkan saling memberikan kata-kata yang positif. Dengan demikian, penderita kanker serviks tidak sekedar dapat memahami situasi sulit tersebut sebagai kondisi yang dapat diubah tetapi juga terbentuknya sistem keyakinan pada mereka untuk memandang penyakitnya lebih positif. 16 Selain pada koping, penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan positif antara dukungan sosial keluarga dengan motivasi sembuh yang tergolong kuat dengan besar nilai r = 0,777 (p< 0,05). Hasil ini mengindikasikan bahwa individu yang cenderung memiliki dukungan sosial keluarga yang tinggi akan memiliki tingkat motivasi sembuh yang tinggi pula. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan Pradjatmo & Gakidau (dalam Susilawati, 2013) yang menyatakan dengan adanya dukungan keluarga akan berdampak pada peningkatan rasa percaya diri pada penderita dalam menghadapi proses pengobatan penyakitnya. Dukungan yang diterima individu akan dipahami sebagai pesan bahwa ia disayangi, dipedulikan, dan diterima keberadaannya. Kenyamanan dan ketenteraman berada di tengah-tengah komunitas atau orang-orang yang mendukung dia sangat membantu individu menghadapi masa sulit ataupun tekanan yang dialami (Lopez, 2009). Secara teoritis korelasi antara koping dengan motivasi sembuh lebih besar, maka variabel koping lebih berpengaruh terhadap motivasi sembuh dibandingkan dengan dukungan sosial keluarga. Hal ini terjadi karena motivasi kesembuhan seseorang bergantung pada bagaimana seseorang mampu memahami, menerima, serta memaknai sakit yang dideritanya. Besarnya kontribusi secara simultan variabel koping dan dukungan sosial keluarga terhadap motivasi sembuh ditunjukkan dengan nilai R 2 sebesar 0,708. Hal ini berarti bahwa motivasi sembuh penderita kanker serviks diperoleh dari koping dan dukungan sosial keluarga dengan sumbangan sebesar 70,8%, sedangkan sisanya 29,2% ditentukan oleh faktor lain, seperti religiusitas dalam penelitian yang dilakukan Allifni (2011) menyatakan bahwa keyakinan akan Tuhan dapat menimbulkan rasa aman dan tentram pada jiwa serta komunikasi terapeutik 17 (Hardhiyani, 2013) dimana kemampuan terapeutik perawat dapat memberikan dukungan dan semangat serta informasi yang menjadi jalan keluar yang positif bagi pasien untuk menerima keadaannya. 18 KESIMPULAN Dari hasil penelitian didapatkan bahwa koping dengan stres dan dukungan sosial keluarga dapat menjadi prediktor motivasi sembuh penderita kanker serviks. Dimana kemampuan koping berperan lebih besar untuk menumbuhkan motivasi sembuh penderita kanker serviks dibandingkan dengan dukungan sosial keluarga. Dengan keterampilan koping yang baik pada penderita kanker akan mampu untuk lebih memahami dan memaknai penyakitnya secara positif sehingga mereka mampu mengelola emosinya dalam mengatasi masalah terkait dengan penyakitnya. SARAN Melalui penelitian ini diharapkan bagi keluarga untuk meningkatkan fungsi dukungan secara positif, dimana dengan dukungan tersebut pasien akan merasa lebih disayangi, dipedulikan dan dapat menciptakan rasa nyaman dan tentram pada diri pasien sehingga dapat meningkatkan motivasi sembuh. Selain itu, bagi penderita kanker serviks perlu untuk mencari informasi secara menyeluruh mengenai penyakit yang sedang diderita agar tercipta pemahaman dan juga penerimaan terkait dengan kondisinya, sehingga penderita kanker serviks bisa mengembangkan pikiran yang positif yang bisa meningkatkan motivasi sembuh mereka. Untuk peneliti selanjutnya, diharapkan lebih memodifikasi alat ukur yang digunakan sesuai dengan tempat penelitian serta berupaya agar suasana dan lingkungan pada saat partisipan menjawab kuesionernya lebih dikontrol dan meminimalisir intervensi dari anggota keluarga lain sehingga partisipan lebih bebas mengisi angket sesuai dengan kondisi yang dirasakan oleh partisipan. 19 DAFTAR PUSTAKA Allifni, M. (2011). Pengaruh dukungan sosial dan religiusitas terhadap motivasi berobat pada penderita kanker serviks. Skripsi diterbitkan. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Bintang, Y. A., Ibrahim, K., & Emaliyawati, E. (2012). Gambaran tingkat kecemasan, stress dan depresi pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi di salah satu RS di Kota Bandung. E-Journal Unpad, 4(1), 719-1405. Effendi, R, W., Tjahjono, E. (1999). Hubungan Perilaku Coping dan Dukungan Sosial Dengan Kecemasan Pada Ibu Hamil Anak Pertama. Jurnal Anima, 14(54), 214-227. Gravertter, F. J. & Forzano, L. (2009). Research method for the behavioral sciences. (Fourth Edition). Canada: Wadsworth, Cengage Learning. Hadi, S. (2000). Statistik. Yogyakarta: Andi. Hardhiyani, R. (2013). Hubungan Komunikasi Therapeutic Perawat Dengan Motivasi Sembuh Pada Pasien Rawat Inap Di Ruang Melati Rumah Sakit Umum Daerah Kalisari Batang. Skripsi. Semarang: Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Karabulutlu, E. Y., Billici, M., Cayir, K., Tekin, S. B., & Kantarci, R. (2010). Coping, Anxiety and Depression in Turkish Patients with Cancer. European Journal of General Medicine, 7(3), 296-302. Kementrian Kesehatan RI. (2015). Pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI. Lindayati. (2011). Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap wanita pasangan usia subur dengan tindakan pencegahan penyakit kanker serviks di kelurahan air 20 tawar barat wilayah kerja puskesmas air tawar kecamatan padang utara tahun 2011. Skripsi diterbitkan. Padang: Fakultas Keperawatan Universitas Andalas. Lopez, S. J. (2009). The Encyyclopedia Psychology. (Vol II). Willey-Blackwell. Ogden, J. (2007). Health Psychology : A Text Book (Fouth Edition). MC Graw Hill. Prayascitta, P. (2010). Hubungan antara coping stress dan dukungan sosial dengan motivasi belajar remaja yang orangtuanya bercerai. Skripsi diterbitkan. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Grasindo. Susilawati, D. (2013). Hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan penderita kanker serviks paliatif di RSUP DR Sardjito Yogyakarta. Jurnal Keperawatan, 4(2), 2086-3071. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung. Alfabeta. Syasra, P. A. (2011). Hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan motivasi kesembuhan pasien tuberkolosis di kota Pekanbaru. Skripsi diterbitkan. Riau: Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau Pekanbaru. Taylor, E. S. (2009). Health Psychology. (Seventh edition). John Willey and Sons. www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2015/06/21 diakes pada 21 juni 2015. www.yayasankankerindonesia.org diakses pada 8 Mei 2015.