BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Intensi Turnover 1. Teori

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Intensi Turnover
1. Teori Intensi
Ajzen (1991) mengatakan bahwa intensi merupakan suatu indikasi dari
kesiapan seseorang untuk menunjukkan perilaku, dan hal ini merupakan
antisenden dari perilaku disebut juga sebagai rencana atau resolusi individu untuk
melaksanakan tingkah laku yang sesuai dengan sikap mereka. Fishbein & Ajzen
(1975) mengajukan teori pembentukan tingkah laku dikarenakan adanya tindakan
beralasan. Teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi:
a. Bahwa manusia umunya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk
akal.
b. Bahwa manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada.
c. Bahwa secara eksplisit maupun implisit manusia memperhitungkan
implikasi tindakan mereka.
Teori ini menyatukan bahwa intensi merupakan fungsi dari determinan dasar
yaitu sikap individu terhadap perilaku (merupakan aspek person) dan
bersangkutan dengan yang disebut norma subyektif. Sikap mengacu pada evaluasi
sejumlah konsep stimulus. Intensi perilaku sebagai fungsi sikap yang akan
ditampilkan dalam bentuk perilaku, disertai dengan adanya pertimbangan norma
dan sebagai ukuran prediktor munculnya perilaku. Norma didefenisikan sebagai
probabilitas dimana didalamnya terdapat hubungan antara satu subyek dengan
subyek lainnya. Secara sederhana, teori ini menyatakan intensi dipandang sebagai
determinan terdekat dari perilaku tampak.
Universitas Sumatera Utara
Ajzen (1991) juga menambahkan determinan intensi yaitu aspek kontrol
perilaku dihayati (perceived behavior control). Dalam teori ini keyakinankeyakinan berpengaruh pada sikap perilaku tertentu, pada norma-norma subyektif
dan pada kontrol perilaku yang dihayati. Ketiga komponen ini berinteraksi dan
menjadi determinan bagi intensi yang pada gilirannya akan menentukan apakah
perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak. Secara sederhana teori ini
mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia
memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar
ia melakukannya.
Teori perilaku beralasan kemudian diperluas dan dimodifikasi menjadi teori
perilaku terencana (theory of planned behavior). Kerangka pemikiran teori
terencana dimaksudkan untuk mengatasi masalah control volitional yang belum
lengkap dalam teori terdahulu. Inti dari teori perilaku terencana tetap berada pada
faktor intensi perilaku, namun determinan intensi tidak hanya dua (sikap terhadap
perilaku yang bersangkutan dan norma-norma subjektif) melainkan tiga dengan
diikutsertakannya aspek control perilaku yang dihayati (perceived behavioral
control). Ketiga komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi
yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan
dilakukan atau tidak (Ajzen 2002).
Berdasarkan beberapa pengertian intensi dan proses pembentukannya, dapat
disimpulkan bahwa intensi merupakan hasil keyakinan dalam diri individu
terhadap sesuatu, yang kemudian membentuk sikap tertentu dan akhirnya
menghasilkan intensi atau keinginan untuk memanifestasikannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengertian Turnover
Cascio (1987) mendefinisikan turnover sebagai berhentinya hubungan kerja
secara permanen antara perusahaan dengan karyawannya. Turnover sebagai fungsi
dari ketertarikan individu yang kuat terhadap berbagai alternatif pekerjaan lain di
luar perusahaan atau sebagai “penarikan diri” dari pekerjaan yang sekarang yang
tidak memuaskan dan stress yang tinggi. Turnover secara sederhana digambarkan
sebagai bentuk seorang karyawan memutuskan berhenti bekerja dari organisasi
yang menjadi sumber penerimaan uang individu tersebut (Mobley, 1982). Lebih
lanjut Mobley (1996) mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang perlu
dipahami untuk menemukan defenisi umum turnover, yaitu:
a. Turnover berfokus pada penghentian atau pemisahan diri karyawan dalam
suatu organisasi.
b. Turnover berfokus pada karyawan, dalam arti karyawan yang menerima
upah dari organisasi atau suatu kondisi yang menunjukkan masih adanya
keanggotaan karyawan dalam organisasi.
c. Definisi umum turnover dapat dipakai untuk berbagai tipe organisasi dan
pada berbagai macam tipe hubungan karyawan organisasi.
Robbins, 2007; Jewell & Siegall, 1998 menjelaskan bahwa turnover dapat
terjadi secara sukarela (voluntary turnover) maupun secara tidak sukarela
(involuntary turnover). Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan
karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh
faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif
pekerjaan lain (Ashworth, 2006; Robbins, 2007). Sedangkan involuntary turnover
atau pemecatan menggambarkan keputusan pemberi kerja (employer) untuk
Universitas Sumatera Utara
menghentikan hubungan kerja dan bersifat tidak terkendali bagi karyawan yang
mengalaminya seperti pengunduran diri, meninggal, atau mengikuti kepindahan
suami/isteri (Robbins, 2007; Weller, Holtom, Matiaske, & Mellewigt, 2009,).
Dapat disimpulkan bahwa turnover merupakan keputusan karyawan untuk
meninggalkan perusahaan baik secara sukarela maupun secara tidak sukarela.
3. Pengertian Intensi Turnover
Intensi turnover didefinisikan sebagai perkiraan probabilitas karyawan yang
akan meninggalkan organisasi dalam jangka waktu dekat atau niat langsung
individu untuk meninggalkan pekerjaannya (Brough & Frame, 2004). Selain itu
intensi turnover didefinisikan juga sebagai kesadaran dalam diri seseorang untuk
meninggalkan suatu organisasi yang ada saat ini, atau dengan arti lain bahwa
seseorang berusaha untuk mencari kesempatan kerja yang baru (Tett & Meyer,
1993; Wang, Chen, Hyde, & Hsieh, 2010). Menurut Pasewark & Strawser (1996),
keinginan berpindah kerja adalah keinginan karyawan untuk mencari alternatif
pekerjaan lain yang belum diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata.
Harnoto (2002) mengatakan bahwa turnover intention adalah kadar atau
intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan, banyak alasan yang
menyebabkan timbulnya turnover intention ini dan diantaranya adalah keinginan
untuk
mendapatkan
pekerjaan
yang
lebih
baik.
Keinginan
berpindah
mencerminkan keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan mencari
alternatif pekerjaan lain. Keinginan untuk pindah atau beganti pekerjaan (turnover
intention) merupakan sinyal awal terjadinya berganti pekerjaan pada karyawan di
dalam organisasi (Mobley, 1986). Menurut Harnoto (2002) niat berganti pekerjaan
adalah keinginan untuk berpindah, belum sampai pada tahap realisasi yaitu
Universitas Sumatera Utara
melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat kerja lainnya. Dengan adanya
niat berganti pekerjaan karyawan akan cenderung memunculkan sikap-sikap yang
dapat berdampak negatif bagi perusahaan yang biasa ditunjukan dengan mencari
alternatif pekerjaan yang lebih menguntungkan, kurang antusias dengan
pekerjaan, sering mengeluh, merasa tidak senang dengan pekerjaannya dan
menghindar dari tanggungjawabnya.
Tindakan penarikan diri menurut Mobley 1996; & Abelson, 1987 terdiri atas
beberapa komponen yang secara simultan muncul dalam individu berupa adanya
pikiran untuk keluar, keinginan untuk mencari lowongan pekerjaan lain,
mengevaluasi kemungkinan untuk menemukan pekerjaan yang layak di tempat
lain, dan adanya keinginan untuk meninggalkan organisasi.
Lebih lanjut, Handoko (2002) berpendapat bahwa intensi turnover adalah
kadar atau intensi dari keinginan untuk keluar dari perusahaan yang dipicu oleh
berbagai alasan yang menyebabkan timbulnya intensi turnover, biasanya hal ini
dikarenakan adanya keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Intensi turnover mengacu pada evaluasi individu mengenai kelanjutan
hubungannya dengan perusahaan dan belum diwujudkan dalam tindakan pasti
meninggalkan perusahaan.
Berdasarkan pemaparan di atas disimpulkan bahwa intensi turnover adalah
keinginan individu untuk keluar atau berpindah dari suatu organisasi atau
perusahaan ke perusahaan lain dimana keinginan tersebut belum diwujudkan
dalam tindakan pasti meninggalkan perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
4. Aspek-Aspek Intensi Turnover
Mobley (1996) mengungkapkan bahwa intensi turnover ditandai dengan
adanya niatan untuk keluar dari organisasi dan keinginan untuk mencari pekerjaan
alternatif lain yang lebih baik dari organisasi sebelumnya. Hal ini senada dengan
Jewell & Siegall (2001) yang mengungkapkan bahwa intensi turnover ditandai
dengan adanya ketertarikan individu yang kuat terhadap berbagai alternatif
pekerjaan lain di luar organisasi.
Menurut Cammann, Fichman, Jenkins & Klesh (1979), intensi turnover dapat
diukur dengan menggunakan beberapa aspek, yaitu:
a. Thinking of quit (Karyawan mempunyai pikiran untuk keluar dari
pekerjaannya).
b. Intention to search (Karyawan mempunyai niat untuk mencari alternatif
pekerjaan lain).
c. Intention to quit (Karyawan memiliki niat untuk meninggalkan organisasi).
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intensi Turnover
Berdasarkan penelitian terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi intensi
turnover pada karyawan, antara lain adalah:
a. Kepuasan Kerja
Menurut
Mobley
(1977),
keinginan
untuk
mengakhiri
tugas
atau
meninggalkan organisasi berhubungan negatif dengan kepuasan kerja. Kepuasan
kerja yang dirasakan dapat mempengaruhi pemikiran seseorang untuk keluar.
Evaluasi terhadap berbagai alternatif pekerjaan, pada akhirnya akan mewujudkan
terjadinya turnover karena individu yang memilih keluar organisasi akan
mengharapkan hasil yang lebih memuaskan di tempat lain. Alasan untuk mencari
Universitas Sumatera Utara
pekerjaan alternatif lain di antaranya adalah kepuasan atas gaji yang diterima di
tempat ia bekerja. Individu merasakan adanya rasa keadilan (equity) terhadap gaji
yang diterima sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukannya. Kepuasan gaji
dapat diartikan bahwa sesorang akan terpuaskan dengan gajinya ketika persepsi
terhadap gaji dan apa yang mereka peroleh sesuai dengan yang diharapkan.
Kepuasan kerja juga dihubungkan negatif dengan keluarnya karyawan
(turnover intention) tetapi faktor-faktor lain seperti kondisi pasar kerja,
kesempatan kerja alternatif, dan lamanya masa kerja merupakan kendala yang
penting untuk meninggalkan pekerjaan yang ada (Tett & Meyer, 1993; Johnson, &
McIntye, 1987). Individu yang merasa terpuaskan dengan pekerjaannya
cenderung untuk bertahan dalam organisasi. Sedangkan individu yang merasa
kurang puas dengan pekerjaannya di suatu organisasi akan memilih untuk keluar
dari organisasi. Kepuasan kerja yang dirasakan dapat mempengaruhi pemikiran
seorang untuk keluar. Evaluasi terhadap berbagai alternatif pekerjaan, pada
akhirnya akan mewujudkan terjadinya turnover karena individu yang memilih
keluar organisasi akan mengharapkan hasil yang lebih memuaskan di tempat lain.
Selanjutnya Lum, Kervin, Clark, Reid & Sola (1998); Johnson, & McIntye,
1987; Mathis & Jackson (2009) dan Tett & Meyer (1993) mengidentifikasikan
bahwa keluar masuk (turnover) karyawan berhubungan dengan ketidakpuasan
kerja, dimana semakin rendah tingkat kepuasan kerja individu maka semakin
tinggi keinginan individu untuk keluar dari perusahaan atau organisasi dan
sebaliknya semakin tinggi tingkat kepuasan kerja seseorang, maka semakin
rendah intensitasnya untuk meninggalkan pekerjaannya.
Universitas Sumatera Utara
Hughes, Ginnett & Curphy (2012); Mobley (1977) menunjukkan bahwa
kepuasan kerja berkaitan erat dengan proses kognisi menarik diri, intensi untuk
pergi dan tindakan nyata berupa turnover. Ketidakpuasan yang menjadi penyebab
turnover memiliki banyak aspek, diantaranya adalah ketidakpuasan terhadap
manajemen perusahaan, kondisi kerja, mutu pengawasan, penghargaan, gaji,
promosi dan hubungan interpersonal. Menurut Mathis & Jackson (2009),
karyawan yang merasa tidak puas dengan pekerjaannya memiliki kemungkinan
yang lebih besar untuk meninggalkan organisasi, mungkin lewat ketidakhadiran
ataupun peraturan secara permanen. Berarti semakin tidak puas seseorang
terhadap pekerjaannya akan semakin kuat dorongannya untuk melakukan
turnover.
b. Komitmen Organisasi
Penelitian yang dilakukan Meyer & Allen (1997) mendukung bahwa
peningkatan komitmen berhubungan dengan peningkatan produktivitas dan
turnover yang semakin rendah. Komitmen organisasional memberikan kontribusi
dalam memprediksi variabel-variabel penting organisasi yang berhungan dengan
outcome (misalnya: intensi keluar). Variabel outcome yang diuji pada penelitian
Meyer & Allen (1997) berhubungan dengan keinginan individu untuk keluar dari
organisasi dan sampel yang digunakan adalah perawat. Meyer & Allen (1997)
juga menyimpulkan bahwa komitmen organisasional berhubungan signifikan
dengan keinginan individu untuk keluar jabatan dan aktifitas dalam organisasi.
Pekerja-pekerja dengan komitmen afektif yang kuat akan tetap berada dalam
organisasi karena mereka merasakan bahwa mereka sebaiknya bekerja demikian
(Johnson, & McIntye, 1987; Tett & Meyer, 1993; Lum, Kevin, Clark, Reid &
Universitas Sumatera Utara
Sola, 1998). Komitmen organisasional akan membuat pekerja memberikan yang
terbaik kepada organisasinya dan memiliki keinginan yang tinggi untuk bertahan.
Hal ini menjelaskan bahwa pekerja yang memiliki komitmen yang tinggi akan
lebih berorientasi pada kerja dan memiliki keinginan yang tinggi pula untuk
bertahan (Luthans, 2006).
c. Gaya Kepemimpinan
Menurut Abbasi & Hollman (2000), pemimpin yang tidak efektif memiliki
visi yang lemah, penilaian yang tidak akurat, kemampuan komunikasi yang tidak
efektif dan mengarah kepada keinginan karyawan untuk melepaskan diri.
Hubungan tidak baik karyawan dengan pimpinannya akan menyebabkan
karyawan juga mempunyai keinginan untuk pergi meninggalkan organisasi.
Sebuah penelitian tentang hubungan gaya kepemimpinan manajer terhadap
turnover karyawan menunjukkan bahwa ketidakmampuan seorang bawahan untuk
bekerja dengan atasannya secara baik menjadi alasan utama seorang karyawan
pergi meninggalkan pekerjaan mereka (Agrusa & Lerna, 2007).
Sebuah studi dari DDI dalam Gaddi (2004) menemukan bahwasanya
karyawan dengan pemimpin yang kuat akan lebih terikat (engaged), puas, dan
loyal dibandingkan
dengan
karyawan dengan pemimpin yang lemah. Oleh
karena itu pemimpin perlu membuat model perilaku yang baik dan menciptakan
atmosfer di mana orang merasa diperlakukan secara adil dan melibatkan karyawan
dalam mengambil keputusan. Hal tersebut akan membangun ikatan emosi
yang lebih pada organisasi dan membuat individu merasa berharga secara
psikologis. Perasaan bermakna tersebut akan membuat karyawan akan semakin
terkait dengan organisasi. Perilaku afektif pemimpin memiliki hubungan
Universitas Sumatera Utara
substansial pada engagement secara kognitif, lalu mempengaruhi engagement
secara afektif, dan kemudian berpengaruh kepada intensi untuk bertahan di tempat
kerja serta kinerja (Mobley, 1996). Berarti semakin kuat kepemimpinan seorang
pemimpin maka akan meningkatkan komitmen seseorang untuk tetap bertahan
dalam pekerjaannya.
d. Budaya Organisasi
Menurut Wallach (1983) budaya perusahaan yang kuat memiliki pengaruh
yang cukup besar terhadap perilaku karyawan dan secara langsung mengurangi
turnover. Budaya yang kuat dalam organisasi memberikan dorongan kepada
anggotanya untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan yang diharapkan
organisasi (Wallach, 1983). Dalam budaya yang kuat, nilai-nilai utama sebuah
organisasi atau perusahaan sangat teguh dan tertanan pada seluruh karyawannya.
Semakin banyak karyawan yang menerima nilai-nilai tersebut dan semakin besar
komitmen terhadapnya maka semakin kuat budaya perusahaan itu. Budaya yang
kuat ini akan membentuk kohesivitas, kesetiaan, komitmen terhadap perusahaan,
yang akan mengurangi keinginan karyawan untuk meninggalkan organisasi atau
perusahaan (Robbins, 2007). Hal ini menggambarkan bahwa semakin kuat budaya
organisasi maka dapat meningkatkan kesetiaan seseorang terhadap pekerjaan dan
organisasinya.
Universitas Sumatera Utara
B. Budaya Organisasi
1. Pengertian Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah satu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara
implisit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut rasakan,
pikirkan, dan bereaksi terhadap lingkungannya yang beraneka ragam (Kreitner &
Kinicki, 2005). Adapun menurut Robbins (2007), budaya organisasi mengacu ke
sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan
organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Budaya organisasi merupakan pola
keyakinan dan nilai-nilai yang dipahami dan dijiwai oleh anggota organisasi
sehingga pola tersebut memberikan makna tersendiri bagi organisasi bersangkutan
dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi Robbins (2007). Budaya
organisasi berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berperilaku
dalam perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan,
sehingga secara langsung ataupun tidak langsung memiliki pengaruh terhadap
kinerja organisasi dan menjadi karakteristik organisasi atau perusahaan yang
membedakannya dari organisasi lainnya (Robbins, 2007).
Schwartz & Davis (1981) mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola
kepercayaan dan harapan yang dianut oleh anggota organisasi. Kepercayaan dan
harapan tersebut menghasilkan nilai-nilai yang dengan kuat membentuk perilaku
para individu dan anggota organisasi. Budaya organisasi didefenisikan juga adalah
apa yang dipersepsikan karyawan dan cara persepsi itu menciptakan suatu pola
keyakinan, nilai, dan ekspektasi (Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2006).
Wirawan (2007) mendefinisikan, budaya organisasi sebagai norma, nilai-nilai,
asumsi, kepercayaan, filsafat, kebiasaan organisasi, dan sebagainya. Isi budaya
Universitas Sumatera Utara
organisasi yang dikembangkan dalam waktu yang lama oleh pendiri, pemimpin,
dan anggota organisasi dalam memproduksi produk, melayani para konsumen,
dan mencapai tujuan organisasi.
Kotter & Heskett (1992) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah
kepribadian organisasi. Budaya merupakan kumpulan kepercayaan, nilai dan
kerjasama yang membedakan satu organisasi dengan organisasi yang lainnya.
Budaya mempengaruhi sebagian besar aspek kehidupan organisasi, seperti
bagaimana keputusan dibuat, siapa yang membuatnya, bagaimana imbalan
dibagikan, siapa yang dipromosikan, bagaimana orang diperlakukan, bagaimana
organisasi memberi respon kepada lingkungannya.
Menurut Hofstede (1990), budaya bukanlan perilaku yang jelas atau benda
yang dapat terlihat dan diamati oleh seseorang. Budaya juga bukan falsafah atau
sistem nilai yang diucapkan atau ditulis dalam anggaran dasar organisasi tetapi
budaya adalah asumsi yang terletak di belakang nilai dan menentukan pola
perilaku individu terhadap nilai-nilai organisasi, suasana organisasi dan
kepemimpinan. Budaya organisasi bersifat nonformal atau tidak tertulis namun
mempunyai peranan penting sebagai cara berfikir, menerima keadaan dan
merasakan sesuatu dalam perusahaan tersebut. Budaya organisasi dapat
digambarkan sebagai nilai, norma dan artefak yang diterima oleh anggota
organisasi sebagai iklim organisasi, ia akan mempengaruhi dan dipengaruhi
strategi organisasi, struktur dan sistem organisasi (Amstrong, 1994).
Menurut Robbins (2001) budaya organisasi kuat adalah budaya dimana nilainilai inti organisasi dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas
anggota organisasi. Suatu budaya yang kuat memiliki pengaruh yang besar
Universitas Sumatera Utara
terhadap sikap anggota organisasi dibandingkan dengan budaya yang lemah
(Robbins, 2001). Budaya lemah adalah budaya yang tidak mampu menjalankan
fungsi utamanya, yaitu mampu mendukung organisasi dalam beradaptasi dengan
faktor-faktor internal dan eksternal (Schein, 1992).
Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para pakar dan peneliti tersebut
dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah pola keyakinan dan nilai-nilai
yang dipahami dan dijiwai oleh anggota organisasi sehingga pola tersebut
memberikan makna tersendiri bagi organisasi bersangkutan dan menjadi dasar
aturan berperilaku dalam organisasi.
2. Dimensi Budaya Organisasi Wallach (1983)
Menurut Wallach (1983) tidak ada istilah budaya baik atau budaya buruk.
Suatu budaya akan efektif apabila budaya tersebut mendukung misi, maksud dan
stategi organisasi. Budaya dapat menjadi harta atau suatu kewajiban. Norma
budaya yang kuat membuat suatu organisasi efisien. Setiap orang menyadari
pentingnya budaya dan bagaimana budaya dianut. Agar efektif, budaya tidak
hanya harus efisien, tetapi juga harus sesuai dengan kebutuhan bisnis, perusahaan
dan pegawainya.
Wallach (1983) membagi budaya organisasi menjadi 3 tipe. Tipologi ini
dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan lebih jauh seberapa kuat atau
lemahnya suatu budaya melekat pada organisasi tersebut. Ketiga tipe tersebut
meliputi budaya birokratis, budaya inovatif dan budaya suportif. Tipologi Wallach
dipergunakan dalam penelitian ini karena menurut Koberg & Chusnim (1991)
tipologi ini mempunyai konstruk budaya yang dapat diukur. Adapun penjelasan
masing-masing tipologi budaya menurut Wallach (1983) adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a. Budaya Birokratis
Budaya birokratis adalah budaya yang ditandai dengan karakter lingkungan
kerja yang penuh tekanan, terstruktur, berjenjang, tertib dan teratur serta teregulasi
dengan baik (Wallach, 1983). Budaya biokrasi berpedoman pada hirarki dan
terdapat garis pemisah yang jelas dalam pembagian tanggungjawab dan
kekuasaan. Pelaksanaan tugas selalu mengikuti aturan-aturan baku dan sistematis,
mengutamakan kekuasaan dan dibawah pengawasan untuk menghindari
kesalahan-kesalahan yang tidak perlu (Wallach, 1983).
Umumnya, budaya birokratis cenderung berorientasi pada kematangan, stabil,
terstruktur, prosedural, mapan, solid, waspada dan mempunyai kekuatan. Terdapat
batasan yang jelas antara tanggungjawab dan kekuasaan. Budaya ini cocok untuk
perusahaan dengan suatu pangsa pasar yang besar dalam suatu pasar yang stabil.
Staf yang terlatih dengan baik dan struktur yang sehat dengan sistem dan prosedur
yang efisien membuat budaya birokratis berhasil. Budaya birokratis yang kuat
tidak mungkin menarik dan menahan orang yang kreatif dan ambisius. Budaya
birokratis kurang memberikan ruang kebebasan untuk mengemukakan pendapat,
kritik dan tuntutan (Rossje, 1999).
b. Budaya Inovatif
Budaya inovatif didefinisikan sebagai budaya yang menitikberatkan pada
kreativitas, orientasi pada hasil dan memberikan kesempatan untuk bereksplorasi
dengan lingkungan kerja (Wallach, 1983). Budaya inovatif dikenal sebagai
lingkungan yang memberikan kebebasan pada partisipan didalamnya untuk bebas
berpikir, menyatakan pendapat, pikiran dan perasaan juga untuk berkarya. Ada
tekanan dan stimulus yang kuat untuk semua partisipan didalamnya untuk
Universitas Sumatera Utara
berkreasi sekreatif mungkin. Jalur komunikasi terbuka lebar, tidak banyak aturan
tentang pelaksanaan tugas (Rossje, 1999). Budaya inovatif merupakan budaya
yang menarik dan dinamis. Sesuai dengan orang-orang yang suka bekerja pada
perusahaan yang memiliki inovasi dan kondisi yang memerlukan tantangan,
kewirausahawan, pengambilan resiko, kreativitas dan berorientasi pada hasil tidak
pada prosesnya. Dalam lingkungan inovatif sulit untuk menyeimbangkan waktu
untuk keluarga, bekerja, dan bermain. Individu yang kreatif biasanya memiliki
kemampuan untuk bekerja keras, berpikiran mandiri, pantang mundur, mampu
berkomunikasi dengan baik, lebih terbuka akan hal-hal baru, dan memiliki
keingintahuan intelektual yang tinggi. Individu ini biasanya tidak pernah merasa
jenuh atau bosan. Kebosanan dan kejenuhan itu sendiri timbul akibat persepsi
individu tentang pekerjaannya sebagai rentetan kegiatan yang baku yang dapat
dilakukan dengan sedikit berpikir. Individu yang kreatif pasti mampu mengubah
pandangan tentang kerja dan jenis pekerjaan dari yang bersifat monoton menjadi
lebih menarik, dan tidak membosankan (Yanti, 2000).
c. Budaya Suportif
Budaya suportif adalah merupakan budaya yang mengutamakan kerjasama tim
dan berorientasi pada orang, menciptakan lingkungan organisasi menjadi lebih
ramah, memberikan dukungan penuh bagi anggota organisasi untuk lebih maju
dan memberikan kepercayaan yang penuh pada anggota organisasi (Wallach,
1983). Dalam budaya
suportif perusahaan membantu pegawainya dan
memberikan mereka kebebasan pribadi. Budaya ini memiliki kondisi yang
berorientasi pada keadilan, sosial dan hubungan. Budaya suportif menempatkan
manusia sebagai titik sentral dalam organisasi. Karenanya, pembinaan hubungan
Universitas Sumatera Utara
antar dan inter-partisipan didalamnya menjadi fokus utama. Lingkungan kerja
dimana partisipannya saling membantu, bersahabat, peduli dengan sesama, saling
percaya dan adil.
Pada tabel di bawah ini dijelaskan secara singkat mengenai perbedaan dasar
karakteristik masing-masing budaya yang dibedakan berdasarkan tipe tempat
kerja dan karyawan, orientasi kerja dan jenis perusahaannya:
Tabel 1
Perbedaan Karakteristik Budaya menurut Wallach (1983)
Element
Bureacratic
Innovative
Supportive
Hierarchical &
Exciting &
Warm &
Workplace
compartmentalised
dynamic
“fuzzy”
Type of
Entrepreneurial &
Relationship
Unimaginative
employees
ambitious
orientated
Relationship
Orientation
Power orientated
Result orientated
orientated
Large market share in
Highly
Type of
a stable market:
Creative
supportive
company
efficient systems and
environtment
procedures
Untuk mengukur budaya organisasi berdasarkan tipologi yang dikemukakan
oleh Wallach (1983) akan digunakan Organizational Culture Index (OCI). Ke tiga
dimensi budaya biokrasi, inovatif dan suportif dirinci dan diwakili ke dalam 8
item kata sifat (indikator) yang berjumlah 24 kata sifat yang dijelaskan dalam
tabel berikut:
Universitas Sumatera Utara
Table 2
Organizational Culture Index (OCI) Wallach (1983)
Budaya Organisasi
Budaya Organisasi
Budaya Organisasi
No
Birokratis
Inovatif
Suportif
Berani mengambil
Mudah dan suka
Mapan dan solid
1
risiko
bekerjasama
(Established)
(Risk taking)
(Collaborative)
Berjenjang
Kreatif
Memberikan dorongan
2
(Hierarchical)
(Creative)
(Encouraging)
Terstruktur
Menekan
Memasyarakat
3
(Structured)
(Pressurized)
(Sociable)
Membangkitkan
Memberikan kebebasan
Teratur
4
semangat
pribadi
(Ordered)
(Stimulating)
(Personal freedom)
Mempunyai Peraturan Menantang
Adil
5
(Regulated)
(Challenging)
(Equitable)
Prosedural
Mau berusaha
Aman
6
(Procedural)
(Enterprising)
(Safe)
Waspada
Menggerakkan
Saling mempercayai
7
(Cautious)
(Driving)
(Trusting)
Berorientasi pada
Berorientasi pada
Berorientasi pada hasil
8 Kekuasaan
hubungan
(Results-oriented)
(Power-oriented)
(Relationships-oriented)
3. Dampak Budaya Organisasi
Keberadaan budaya organisasi memiliki dampak yang besar tidak hanya bagi
perusahaan tetapi juga terhadap karyawan. Budaya organisasi dapat memberi
dampak terhadap efisiensi dan efektivitas kinerja perusahaan, kohesivitas,
kesetiaan terhadap perusahaan dan berdampak pula terhadap pembentukan sikap
dan perilaku karyawan yang merupakan faktor terpenting dalam menentukan
keberhasilan organisasi mencapai tujuannya (Robbins, 2001). Budaya organisasi
mengarahkan dan membimbing kata dan perbuatan para anggota organisasi dalam
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, menentukan arah organisasi,
bagaimana mengalokasikan dan memanage sumber daya organisasional dan juga
sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang yang datang dari lingkungan
Universitas Sumatera Utara
organisasi sehingga budaya organisasi dinilai sebagai salah satu faktor yang
paling kritis dalam sebuah organisasi atau perusahaan (Robbins, 2001).
C. Gaya Kepemimpinan Tranformasional
1. Pengertian Gaya Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk
mencapai tujuan dengan antusias. Menurut Kartono (2006) kepemimpinan adalah
kemampuan untuk memberikan pengarahan yang konstruktif kepada orang lain
untuk melakukan suatu usaha kooperatif mencapai tujuan yang telah
direncanakan. Kepemimpinan menyangkut proses sosial, pengaruh yang sengaja
dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktivitasaktivitas serta hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau organisasi
(Yulk, 2005). Kotler (1996) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan
serangkaian proses yang terutama ditujukan untuk menciptakan organisasi atau
menyesuaikan terhadap keadaan-keadaan yang jauh berubah.
Gaya kepemimpinan pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu
perwujudan
tingkah
laku
dari
seorang
pemimpin
yang
menyangkut
kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk
suatu pola atau bentuk tertentu. Gaya kepemimpinan mewakili filsafat,
ketrampilan, dan sikap pemimpin dalam politik. Gaya kepemimpinan adalah pola
tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan
tujuan individu untuk mencapai tujuan tertentu (Heidjrachman & Husnan, 2002).
Tampubolon (2007) mendefenisikan gaya kepemimpinan adalah perilaku dan
strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap, yang
Universitas Sumatera Utara
sering diterapkan seorang pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja
bawahannya.
Berdasarkan definisi gaya kepemimpinan di atas dapat disimpulkan bahwa
gaya kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dalam mengarahkan,
mempengaruhi, mendorong dan mengendalikan orang lain atau bawahan untuk
bisa melakukan sesuatu pekerjaan atas kesadarannya dan sukarela dalam
mencapai suatu tujuan tertentu.
2. Pengertian Gaya Kepemimpinan Transformasional
Bass & Avolio (1994) mengidentifikasi dua jenis gaya kepemimpinan yaitu
gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional. Namun dalam penelitian
ini, peneliti lebih memfokuskan pada gaya kepemimpinan yang transformasional.
Hal ini disebabkan oleh kepemimpinan transformasional memiliki keunggulan
karena berhubungan erat dengan peningkatan produktivitas, kinerja, loyalitas
karyawan, komitmen organisasi, kepuasan kerja, dan penurunan tingkat turnover
(Robbins,
2007).
Burns
(1978)
menyatakan
bahwa
kepemimpinan
transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu
memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari
yang mereka harapkan.
Kepemimpinan transformasional merupakan suatu proses dimana seorang
pemimpin berusaha memotivasi bawahannya untuk melakukan tanggung jawab
yang lebih tinggi, meningkatkan kesadaran anggotanya dengan menggunakan
daya tarik nilai, moralitas dan idealisme yang lebih tinggi seperti kebebasan,
keadilan, keseimbangan, kedamaian dan kemanusiaan, tidak berdasarkan
emosi semata (Bass & Avolio, 1997). Hughes, Ginnett, & Curphy (2012),
Universitas Sumatera Utara
mendefenisikan bahwa pemimpin transformasional memiliki visi, keahlian
retorika, dan pengelolaan kesan yang baik dan menggunakannya untuk
mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan pengikutnya, sehingga
mendorong tergugahnya emosi pengikut serta kesediaan mereka untuk bekerja
mewujudkan visi sang pemimpin. Pemimpin yang menerapkan kepemimpinan
transformasional memberikan pengaruhnya kepada para pengikut dengan
melibatkan pengikutnya berpartisipasi dalam penentuan tujuan, pemecahan
masalah, pengambilan keputusan, dan memberikan umpan balik melalui pelatihan,
pengarahan, konsultasi, bimbingan, dan pemantauan atas tugas yang diberikan.
Bass (1985) menegaskan bahwa hubungan antara atasan dengan bawahan
dalam konteks kepemimpinan transformasional lebih dari sekedar pertukaran
“komoditas” (pertukaran imbalan secara ekonomis), tapi sudah menyentuh sistem
nilai (value system). Pemimpin transformasional mampu menyatukan seluruh
bawahannya dan mampu mengubah keyakinan (beliefs), sikap, dan tujuan pribadi
masing-masing bawahan demi mencapai tujuan, bahkan melampaui tujuan yang
ditetapkan.
3. Dimensi Gaya Kepemimpinan Transformasional
Menurut Bass & Avolio (1997), terdapat empat dimensi kepemimpinan
transformasional, yaitu:
a.
Idealized Influence: Pemimpin mendahulukan kepentingan perusahaan
dan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi sehinggga menimbulkan
kebanggaan dan ketenangan bagi para bawahan. Mampu memberikan visi dan
misi, meraih penghormatan dan kepercayaan.
Universitas Sumatera Utara
b.
Inspirational Leadership/Motivational: Pemimpin mampu menimbulkan
inspirasi pada bawahannya, antara lain dengan menentukan standar-standar tinggi,
menggambarkan maksud penting secara sederhana, dan memberikan keyakinan
bahwa tujuan dapat dicapai.
c.
Intellectual Stimulation: Bawahan merasa bahwa pemimpin mendorong
mereka untuk memikirkan kembali cara kerja mereka, untuk mencari cara-cara
baru dalam melaksanakan tugas, merasa mendapatkan cara baru dalam
mempersepsi tugas-tugas mereka. Dengan kata lain pemimpin transformasional
meningkatkan kreativitas dan inovasi bawahan, meningkatkan rasionalitas, dan
pemecahan masalah secara cermat.
d.
Individualized
Consideration:
Bawahan
merasa
diperhatikan
dan
diperlakukan secara khusus oleh pemimpinnya. Pemimpin memperlakukan setiap
bawahannya sebagai seorang pribadi dengan kecapakan, kebutuhan, keinginanya
masing-masing. Ia memberikan nasihat yang bermakna, memberikan pelatihan
yang dibutuhkan dan bersedia mendengarkan pandangan dan keluhan mereka.
Pemimpin menimbulkan rasa mampu pada bawahannya bahwa mereka dapat
melakukan pekerjaannya, dapat memberikan sumbangan yang berarti untuk
tercapainya tujuan kelompok.
4. Dampak Gaya Kepemimpinan Transformasional
Gaya kepemimpinan transformasional berdampak terhadap pembentukan
sikap
dan
perilaku
karyawan
(Robbins,
2001).
Gaya
kepemimpinan
transformasional yang menunjukkan perilaku karismatik, memunculkan motivasi
inspirasional, memberikan stimulasi intelektual dan memperlakukan karyawan
dengan memberi perhatian terhadap individu mampu meningkatkan produktivitas,
Universitas Sumatera Utara
kinerja, loyalitas karyawan, komitmen organisasi, kepuasan kerja, dan penurunan
tingkat turnover (Bass, 1991). Selain itu gaya kepemimpinan transformasional
juga berdampak pada kinerja perusahaan yang mampu mendorong seluruh
element yang ada untuk mencapai tujuan perusahaan dan juga berdampak
terhadap kesiapan organisasi untuk menghadapi tuntutan pembaharuan dan
perubahan (Luthans, 2006). Dimana kepemimpinan transformasional dianggap
sebagai agen dari sebuah perubahan.
Universitas Sumatera Utara
D. Hubungan Antar Variabel
1. Budaya Organisasi (Biokrasi, Inovatif, Suportif) dengan Intensi Turnover
Karyawan
Keinginan untuk pindah atau beganti pekerjaan (turnover intention)
merupakan sinyal awal terjadinya berganti pekerjaan pada karyawan di dalam
organisasi (Mobley, 1982). Dengan adanya niat berganti pekerjaan karyawan akan
cenderung memunculkan sikap-sikap yang dapat berdampak negatif bagi
perusahaan yang biasa ditunjukan dengan mencari alternatif pekerjaan yang lebih
menguntungkan, kurang antusias dengan pekerjaan, sering mengeluh, merasa
tidak senang dengan pekerjaannya dan menghindar dari tanggungjawabnya yang
berujung pada turnover karyawam (Harnoto, 2002).
Dampak dari timbulnya aktivitas turnover akan mempengaruhi berbagai
aktivitas kerja yang terdapat pada perusahaan dan dapat juga mempengaruhi
prestasi kerja karyawan secara keseluruhan. Menurut Mobley (1982), dampak
negatif yang dirasakan oleh perusahaan akibat terjadinya turnover merugikan
perusahaan baik dari segi biaya, sumber daya, maupun motivasi karyawan.
Dengan terjadinya turnover berarti perusahaan kehilangan sejumlah tenaga kerja.
Kehilangan ini harus diganti dengan karyawan baru. Perusahaan harus
mengeluarkan biaya mulai dari perekrutan hingga mendapatkan tenaga kerja siap
pakai. Karyawan yang tertinggal akan terpengaruh motivasi dan semangat
kerjanya. Karyawan yang sebelumnya tidak berusaha mencari pekerjaan baru
akan mulai mencari lowongan kerja, yang kemudian akan melakukan turnover.
Turnover karyawan juga dapat mengacaukan rencana dan strategi organisasi
untuk mencapai tujuannya yang mana hal tersebut terkait dengan berkurangnya
sumber daya manusia dan hilangnya staf dengan talenta yang dibutuhkan oleh
Universitas Sumatera Utara
organisasi (Abbasi, Hollman & Hayes, 2008). Hal ini menjadi penting bagi
perusahaan untuk mengerti alasan keluarnya karyawan meninggalkan perusahaan.
Juga mengingat bahwa tenaga kerja merupakan salah satu sumber daya yang
paling krusial dalam suatu perusahaan, maka penting bagi pihak manajemen untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat perputaran tersebut
(Robbins, 2007). Hom & Griffeth (1995) menyatakan bahwa terdapat banyak
faktor yang dapat mempengaruhi itensi turnover karyawan yang berujung pada
turnover, salah satunya adalah budaya organisasi yang dirasakan oleh karyawan.
Robbins (2007) menyatakan bahwa budaya perusahaan yang kuat memiliki
pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku karyawan dan secara langsung
mengurangi turnover. Dalam budaya yang kuat, nilai-nilai utama sebuah
organisasi atau perusahaan sangat teguh dan tertanan pada seluruh karyawannya.
Budaya yang kuat ini akan membentuk kohesivitas, kesetiaan, komitmen terhadap
perusahaan, yang akan mengurangi keinginan karyawan untuk meninggalkan
organisasi atau perusahaan (Wallach, 1983).
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Malik (2014) yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang sangat signifikan antara budaya organisasi terhadap
intensi turnover karyawan. Hal ini berarti bahwa semakin kuat budaya organisasi
maka akan semakin rendah intensi turnover karyawan. Nystrom (1993)
menunjukkan
bahwa
karyawan
pada
budaya
yang
kuat
cenderung
mengekspresikan komitmen organisasi yang lebih besar sebagaimana kepuasan
kerja yang tinggi dan komitmen organisasional menurut Allen dan Meyer (1996)
adalah anteseden dari turnover intention. Hasil penelitian Sheridan (1992), juga
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa budaya organisasi secara signifikan berhubungan dengan
kinerja karyawan, organizational commitment, dan voluntary turnover.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa terdapat pengaruh negatif budaya
organisasi terhadap intensi turnover karyawan. Hal ini berarti bahwa semakin kuat
budaya organisasi maka intensi turnover karyawan akan semakin rendah.
2. Gaya Kepemimpinan
Karyawan.
Transformasional
dengan
Intensi
Turnover
Tingginya tingkat intensi turnover karyawan akan menjadi masalah serius bagi
banyak perusahaan, bahkan bisa membuat perusahaan mengalami frustasi ketika
mengetahui proses rekrutmen yang telah berhasil menjaring staf yang berkualitas
pada akhirnya ternyata menjadi sia-sia karena staf yang direkrut tersebut telah
memilih pekerjaan di perusahaan lain (Toly, 2001). Dengan tingginya tingkat
turnover pada perusahaan akan semakin banyak menimbulkan berbagai potensi
biaya baik itu biaya pelatihan yang sudah diinvestasikan pada karyawan, tingkat
kinerja yang mesti dikorbankan, maupun biaya rekrutmen dan pelatihan kembali
(Suwandi & Indriantoro, 1999). Namun demikian, apabila kesempatan untuk
pindah kerja tersebut tidak tersedia atau yang tersedia tidak lebih menarik dari
yang sekarang dimiliki maka secara emosional dan mental karyawan akan keluar
dari perusahaan yaitu dengan sering datang terlambat, sering bolos, kurang
antusias atau kurang memiliki keinginan untuk berusaha dengan baik (Russ &
McNeilly, 1995). Keberadaan karyawan dalam perusahaan sangat penting dalam
meningkatkan efektifitas dan efisiensi perusahaan, sehingga perusahaan akan
berusaha sebisa mungkin mempertahankan keanggotaan karyawannya dalam
Universitas Sumatera Utara
perusahaan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan dan mencegah
timbulnya biaya dari turnover (Oracle, 2012).
Menurut Buckingham & Coffman (1999), jika orang-orang yang potensial
meninggalkan perusahaan, maka yang harus diperhatikan adalah atasan langsung
mereka. Atasan adalah alasan karyawan bertahan dan berkembang dalam
organisasi dan pemimpin adalah salah satu alasan mengapa mereka berhenti, pergi
membawa pengetahun, pengalaman, dan relasi bersama mereka (Bungkingham &
Coffman, 1999). Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh
Buckingham & Coffman (1999) mengenai pengaruh gaya kepemimpinan terhadap
keinginan karyawan untuk berhenti bekerja, menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang negatif antara gaya kepemimpinan terhadap intensi turnover.
Dimana semakin buruk gaya kepemimpinan yang dirasakan oleh karyawan
menyebabkan semakin tingginya keinginan karyawan untuk meninggalkan
perusahaan.
Berdasakan hasil penelitian Overbey (2010) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif yang signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional
dengan keinginan telecommuter untuk meninggalkan organisasi. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin banyak pemimpin menggunakan gaya
kepemimpinan transformasional maka semakin banyak telecommuter yang
memiliki keinginan untuk tetap bekerja di organisasi. Hal ini sejalan dan didukung
oleh hasil penelitian Riley (2006) yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
positif antara gaya kepemimpinan transformasional terhadap komitmen karyawan
terhadap organisasi yang pada akhirnya berujung kepada penekanan keinginan
karyawan untuk meninggalkan organisasi. Lebih lanjut Riley (2006) menjelaskan
Universitas Sumatera Utara
bahwa gaya kepemimpinan transformasional efektif diterapkan terhadap junior
sales-people yang banyak dipengaruhi oleh faktor karisma dan motivasi yang
menginspirasi. Hal ini menggambarkan bahwa semakin pemimpin mencerminkan
gaya kepemimpinan transformasional maka semakin tinggi keinginan para
karyawan untuk tetap tinggal di perusaaan.
Hasil
penelitian
Chen
(2005)
juga
mengindikasikan
bahwa
gaya
kepemimpinan transformasional memiliki hubungan langsung dan tidak langsung
terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi sebagai bentuk kepercayaan
antara karyawan terhadap pemimpinnya menunjukkan hasil terhadap turnover
karyawan. Hal ini menggambarkan bahwa secara langsung dan tidak langsung
gaya kepemimpinan transformasional memberikan pengaruh positif terhadap
keinginan karyawan untuk bertahan. Demikian pula dengan hasil penelitian
Epstein (2005) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
positif antara gaya kepemimpinan transformasioanal terhadap project manager
turnover intention hal ini sejalan dengan prediksi identifikasi terhadap project
manager
turnover
intention
berdasarkan
model
gaya
kepemimpinan
transformasional yang dibuat oleh Bass dan Avoilo (1990) menyangkut
(contingent reward, idealized influence, and individualized consideration).
Yang & Mu-Li, 2012; Dunn, Dastoor, & Sims, 2012 menemukan bahwa
dimensi kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Serta dampak dari
komitmen yang tinggi berhubungan pula dengan rendahnya tingkat keluar
karyawan dari organisasi (Allen & Meyer, 1990). Menurut Chen (2004),
pemimpin mempengaruhi bawahan mereka baik secara langsung melalui interaksi
Universitas Sumatera Utara
dan juga melalui budaya organisasi. Dimana tugas seorang pimpinan suatu
organisasi
untuk
mempengaruhi
bawahannya,
dalam
arti
mengarahkan,
membimbing, menggerakkan, mengontrol dan mempertahankan bawahan agar
tidak meninggalkan organisasi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh negatif dan signifikan
terhadap intensi turnover karyawan. Hal ini berarti bahwa semakin positif persepsi
karyawan terhadap gaya kepemimpinan trasformasional maka semakin rendah
intensi turnover karyawan.
Berdasarkan penjelasan di atas terlihat bahwa gaya kepemimpinan
transformasional memiliki pengaruh negatif terhadap intensi turnover karyawan.
Hal ini berarti bahwa semakin positif persepsi karyawan terhadap gaya
kepemimpinan transformasional maka intensi turnover karyawan akan semakin
rendah.
3. Budaya Organisasi (Biokrasi, Inovatif, Suportif) dan Gaya
Kepemimpinan Transformasional terhadap Intensi Turnover Karyawan.
Kinerja suatu perusahaan ditentukan oleh kondisi dan perilaku karyawan yang
dimiliki perusahaan. Fenomena yang seringkali terjadi adalah kinerja suatu
perusahaan yang telah demikian bagus dapat terganggu, baik secara langsung
maupun tidak langsung oleh berbagai perilaku karyawan yang sulit dicegah
terjadinya. Salah satu bentuk perilaku karyawan tersebut adalah keinginan
berpindah (turnover intention) yang berujung pada keputusan karyawan untuk
meninggalkan pekerjaannya (Agustina, 2008). Intensi turnover diindikasikan
sebagai sikap individu yang mengacu pada hasil evaluasi mengenai kelangsungan
Universitas Sumatera Utara
hubungannya dengan organisasi dimana dirinya bekerja dan belum terwujud
dalam bentuk tindakan pasti (Suwandi & Indriantoro, 1999).
Tinggi rendahnya turnover karyawan pada suatu organisasi mengakibatkan
tinggi rendahnya biaya perekrutan, seleksi, dan pelatihan yang harus ditanggung
organisasi (Mercer, 1988). Hal ini dapat mengganggu efisiensi operasional
organisasi, apalagi karyawan yang pindah tersebut memiliki pengetahuan,
keterampilan dan pengalaman yang baik (Agus, 2002). Turnover dapat membawa
dampak positif apabila timbul kesempatan untuk menggantikan individu yang
berkinerja tidak optimal dengan individu yang memiliki keterampilan, motivasi
dan loyalitas yang tinggi, namun tidak demikian apabila yang keluar adalah
karyawan yang potensial maka akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan dan
karyawannya (Dalton, Todor & Krackhardt, 1982).
Menurut Hom & Griffeth (1995), adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
keinginan karyawan untuk berhenti bekerja dari organisasi baik secara langsung
maupun tidak langsung adalah gaya kepemimpinan seorang manajer dan budaya
perusahaan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Tandok & Andarika (2004),
bahwa keluarnya karyawan lebih banyak disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap
kondisi kerja dan karyawan merasa pimpinan tidak memberi kepercayaan kepada
karyawan, tidak ada keterlibatan karyawan dalam pembuatan keputusan,
pemimpin berlaku tidak objektif dan tidak jujur pada karyawan. Robbins (2001)
menyatakan bahwa sikap atau perilaku anggota organisasi pada umumnya sangat
dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut dalam suatu organisasi dan dipengaruhi
pula oleh perilaku pemimpinnya.
Universitas Sumatera Utara
Budaya organisasi merupakan pengendali dan arah dalam membentuk sikap
dan perilaku para anggota di dalam suatu organisasi dan bergantung pada
kekuatannya, budaya dapat mempunyai pengaruh yang bermakna pada sikap dan
perilaku anggota-anggota organisasi (Robbins, 2001). Sathe (1985) menyatakan
bahwa, budaya yang ideal adalah budaya kuat, di mana kekuatan budaya mampu
mempengaruhi intensitas perilaku. Lebih lanjut Vandenberg & Lance (2002)
mengatakan bahwa jika karyawan merasa terikat dengan nilai-nilai organisasi
berupa budaya organisasi yang ada, maka dia merasa senang dalam bekerja dan
mereka akan melakukan tugas dan kewajibanya dengan baik, serta mengerjakan
secara tulus ikhlas, sehingga dapat mengurangi dampak terhadap absensi,
turnover, dan keterlambatan bekerja. Serta menurut Podsakoff, MacKenzie &
Bommer (1996) gaya kepemimpinan transformasional juga merupakan faktor
penentu yang mempengaruhi sikap, persepsi, dan perilaku karyawan di mana
terjadi peningkatan kepercayaan kepada pemimpin, motivasi, kepuasan kerja dan
mampu mengurangi sejumlah konflik yang sering terjadi dalam suatu organisasi.
Pendapat ini didukung oleh Nanus (1992) yang mengemukakan bahwa alasan
utama karyawan meninggalkan organisasi disebabkan karena pemimpin gagal
memahami karyawan dan pemimpin tidak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
karyawan.
Berdasarakan penelitian yang dilakukan oleh Chen, Chang, & Yeh (2004),
budaya organisasi memiliki pengaruh signifikan terhadap bagaimana karyawan
memandang organisasi mereka, tanggunjawab dan komitmen mereka. Dimana
komitmen berpengaruh terhadap intensi turnover karyawan. Sedangkan pemimpin
mempengaruhi bawahan mereka baik secara langsung melalui interaksi dan juga
Universitas Sumatera Utara
melalui budaya organisasi. Dimana tugas seorang pimpinan suatu organisasi untuk
mempengaruhi
bawahannya,
dalam
arti
mengarahkan,
membimbing,
menggerakkan, mengontrol dan mempertahankan bawahan agar dalam setiap
tindakannya sesuai dengan tujuan organisasi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi dan
gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap intensi turnover
karyawan.
E. Kerangka Pemikiran
Berikut ini adalah gambaran kerangka pemikiran yang dijadikan dasar
pemikiran dalam melakukan analisis pada penelitian ini.
Gambar 1
Kerangka Pemikiran Teoritis
H1
Budaya
Organisasi
H3
Intensi Turnover
Karyawan
Gaya
Kepemimpinan
Tarsformasional
H2
Universitas Sumatera Utara
F. Hipotesis
Berdasarkan pada landasan teori dan kerangka pemikiran di atas, maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh yang signifikan antara budaya organisasi terhadap intensi
turnover karyawan (H1)
2. Terdapat pengaruh negatif dan signifikan antara gaya kepemimpinan
transformasional terhadap intensi turnover karyawan (H2).
3. Terdapat pengaruh yang signifikan antara budaya organisasi dan gaya
kepemimpinan transformasional terhadap intensi turnover karyawan (H3).
Universitas Sumatera Utara
Download