BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Intensi Turnover 1. Teori Intensi Ajzen (1991) mengatakan bahwa intensi merupakan suatu indikasi dari kesiapan seseorang untuk menunjukkan perilaku, dan hal ini merupakan antisenden dari perilaku disebut juga sebagai rencana atau resolusi individu untuk melaksanakan tingkah laku yang sesuai dengan sikap mereka. Fishbein & Ajzen (1975) mengajukan teori pembentukan tingkah laku dikarenakan adanya tindakan beralasan. Teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi: a. Bahwa manusia umunya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal. b. Bahwa manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada. c. Bahwa secara eksplisit maupun implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka. Teori ini menyatukan bahwa intensi merupakan fungsi dari determinan dasar yaitu sikap individu terhadap perilaku (merupakan aspek person) dan bersangkutan dengan yang disebut norma subyektif. Sikap mengacu pada evaluasi sejumlah konsep stimulus. Intensi perilaku sebagai fungsi sikap yang akan ditampilkan dalam bentuk perilaku, disertai dengan adanya pertimbangan norma dan sebagai ukuran prediktor munculnya perilaku. Norma didefenisikan sebagai probabilitas dimana didalamnya terdapat hubungan antara satu subyek dengan subyek lainnya. Secara sederhana, teori ini menyatakan intensi dipandang sebagai determinan terdekat dari perilaku tampak. Universitas Sumatera Utara Ajzen (1991) juga menambahkan determinan intensi yaitu aspek kontrol perilaku dihayati (perceived behavior control). Dalam teori ini keyakinankeyakinan berpengaruh pada sikap perilaku tertentu, pada norma-norma subyektif dan pada kontrol perilaku yang dihayati. Ketiga komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak. Secara sederhana teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya. Teori perilaku beralasan kemudian diperluas dan dimodifikasi menjadi teori perilaku terencana (theory of planned behavior). Kerangka pemikiran teori terencana dimaksudkan untuk mengatasi masalah control volitional yang belum lengkap dalam teori terdahulu. Inti dari teori perilaku terencana tetap berada pada faktor intensi perilaku, namun determinan intensi tidak hanya dua (sikap terhadap perilaku yang bersangkutan dan norma-norma subjektif) melainkan tiga dengan diikutsertakannya aspek control perilaku yang dihayati (perceived behavioral control). Ketiga komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak (Ajzen 2002). Berdasarkan beberapa pengertian intensi dan proses pembentukannya, dapat disimpulkan bahwa intensi merupakan hasil keyakinan dalam diri individu terhadap sesuatu, yang kemudian membentuk sikap tertentu dan akhirnya menghasilkan intensi atau keinginan untuk memanifestasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Universitas Sumatera Utara 2. Pengertian Turnover Cascio (1987) mendefinisikan turnover sebagai berhentinya hubungan kerja secara permanen antara perusahaan dengan karyawannya. Turnover sebagai fungsi dari ketertarikan individu yang kuat terhadap berbagai alternatif pekerjaan lain di luar perusahaan atau sebagai “penarikan diri” dari pekerjaan yang sekarang yang tidak memuaskan dan stress yang tinggi. Turnover secara sederhana digambarkan sebagai bentuk seorang karyawan memutuskan berhenti bekerja dari organisasi yang menjadi sumber penerimaan uang individu tersebut (Mobley, 1982). Lebih lanjut Mobley (1996) mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dipahami untuk menemukan defenisi umum turnover, yaitu: a. Turnover berfokus pada penghentian atau pemisahan diri karyawan dalam suatu organisasi. b. Turnover berfokus pada karyawan, dalam arti karyawan yang menerima upah dari organisasi atau suatu kondisi yang menunjukkan masih adanya keanggotaan karyawan dalam organisasi. c. Definisi umum turnover dapat dipakai untuk berbagai tipe organisasi dan pada berbagai macam tipe hubungan karyawan organisasi. Robbins, 2007; Jewell & Siegall, 1998 menjelaskan bahwa turnover dapat terjadi secara sukarela (voluntary turnover) maupun secara tidak sukarela (involuntary turnover). Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif pekerjaan lain (Ashworth, 2006; Robbins, 2007). Sedangkan involuntary turnover atau pemecatan menggambarkan keputusan pemberi kerja (employer) untuk Universitas Sumatera Utara menghentikan hubungan kerja dan bersifat tidak terkendali bagi karyawan yang mengalaminya seperti pengunduran diri, meninggal, atau mengikuti kepindahan suami/isteri (Robbins, 2007; Weller, Holtom, Matiaske, & Mellewigt, 2009,). Dapat disimpulkan bahwa turnover merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan perusahaan baik secara sukarela maupun secara tidak sukarela. 3. Pengertian Intensi Turnover Intensi turnover didefinisikan sebagai perkiraan probabilitas karyawan yang akan meninggalkan organisasi dalam jangka waktu dekat atau niat langsung individu untuk meninggalkan pekerjaannya (Brough & Frame, 2004). Selain itu intensi turnover didefinisikan juga sebagai kesadaran dalam diri seseorang untuk meninggalkan suatu organisasi yang ada saat ini, atau dengan arti lain bahwa seseorang berusaha untuk mencari kesempatan kerja yang baru (Tett & Meyer, 1993; Wang, Chen, Hyde, & Hsieh, 2010). Menurut Pasewark & Strawser (1996), keinginan berpindah kerja adalah keinginan karyawan untuk mencari alternatif pekerjaan lain yang belum diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata. Harnoto (2002) mengatakan bahwa turnover intention adalah kadar atau intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan, banyak alasan yang menyebabkan timbulnya turnover intention ini dan diantaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Keinginan berpindah mencerminkan keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain. Keinginan untuk pindah atau beganti pekerjaan (turnover intention) merupakan sinyal awal terjadinya berganti pekerjaan pada karyawan di dalam organisasi (Mobley, 1986). Menurut Harnoto (2002) niat berganti pekerjaan adalah keinginan untuk berpindah, belum sampai pada tahap realisasi yaitu Universitas Sumatera Utara melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat kerja lainnya. Dengan adanya niat berganti pekerjaan karyawan akan cenderung memunculkan sikap-sikap yang dapat berdampak negatif bagi perusahaan yang biasa ditunjukan dengan mencari alternatif pekerjaan yang lebih menguntungkan, kurang antusias dengan pekerjaan, sering mengeluh, merasa tidak senang dengan pekerjaannya dan menghindar dari tanggungjawabnya. Tindakan penarikan diri menurut Mobley 1996; & Abelson, 1987 terdiri atas beberapa komponen yang secara simultan muncul dalam individu berupa adanya pikiran untuk keluar, keinginan untuk mencari lowongan pekerjaan lain, mengevaluasi kemungkinan untuk menemukan pekerjaan yang layak di tempat lain, dan adanya keinginan untuk meninggalkan organisasi. Lebih lanjut, Handoko (2002) berpendapat bahwa intensi turnover adalah kadar atau intensi dari keinginan untuk keluar dari perusahaan yang dipicu oleh berbagai alasan yang menyebabkan timbulnya intensi turnover, biasanya hal ini dikarenakan adanya keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Intensi turnover mengacu pada evaluasi individu mengenai kelanjutan hubungannya dengan perusahaan dan belum diwujudkan dalam tindakan pasti meninggalkan perusahaan. Berdasarkan pemaparan di atas disimpulkan bahwa intensi turnover adalah keinginan individu untuk keluar atau berpindah dari suatu organisasi atau perusahaan ke perusahaan lain dimana keinginan tersebut belum diwujudkan dalam tindakan pasti meninggalkan perusahaan. Universitas Sumatera Utara 4. Aspek-Aspek Intensi Turnover Mobley (1996) mengungkapkan bahwa intensi turnover ditandai dengan adanya niatan untuk keluar dari organisasi dan keinginan untuk mencari pekerjaan alternatif lain yang lebih baik dari organisasi sebelumnya. Hal ini senada dengan Jewell & Siegall (2001) yang mengungkapkan bahwa intensi turnover ditandai dengan adanya ketertarikan individu yang kuat terhadap berbagai alternatif pekerjaan lain di luar organisasi. Menurut Cammann, Fichman, Jenkins & Klesh (1979), intensi turnover dapat diukur dengan menggunakan beberapa aspek, yaitu: a. Thinking of quit (Karyawan mempunyai pikiran untuk keluar dari pekerjaannya). b. Intention to search (Karyawan mempunyai niat untuk mencari alternatif pekerjaan lain). c. Intention to quit (Karyawan memiliki niat untuk meninggalkan organisasi). 5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intensi Turnover Berdasarkan penelitian terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi intensi turnover pada karyawan, antara lain adalah: a. Kepuasan Kerja Menurut Mobley (1977), keinginan untuk mengakhiri tugas atau meninggalkan organisasi berhubungan negatif dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja yang dirasakan dapat mempengaruhi pemikiran seseorang untuk keluar. Evaluasi terhadap berbagai alternatif pekerjaan, pada akhirnya akan mewujudkan terjadinya turnover karena individu yang memilih keluar organisasi akan mengharapkan hasil yang lebih memuaskan di tempat lain. Alasan untuk mencari Universitas Sumatera Utara pekerjaan alternatif lain di antaranya adalah kepuasan atas gaji yang diterima di tempat ia bekerja. Individu merasakan adanya rasa keadilan (equity) terhadap gaji yang diterima sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukannya. Kepuasan gaji dapat diartikan bahwa sesorang akan terpuaskan dengan gajinya ketika persepsi terhadap gaji dan apa yang mereka peroleh sesuai dengan yang diharapkan. Kepuasan kerja juga dihubungkan negatif dengan keluarnya karyawan (turnover intention) tetapi faktor-faktor lain seperti kondisi pasar kerja, kesempatan kerja alternatif, dan lamanya masa kerja merupakan kendala yang penting untuk meninggalkan pekerjaan yang ada (Tett & Meyer, 1993; Johnson, & McIntye, 1987). Individu yang merasa terpuaskan dengan pekerjaannya cenderung untuk bertahan dalam organisasi. Sedangkan individu yang merasa kurang puas dengan pekerjaannya di suatu organisasi akan memilih untuk keluar dari organisasi. Kepuasan kerja yang dirasakan dapat mempengaruhi pemikiran seorang untuk keluar. Evaluasi terhadap berbagai alternatif pekerjaan, pada akhirnya akan mewujudkan terjadinya turnover karena individu yang memilih keluar organisasi akan mengharapkan hasil yang lebih memuaskan di tempat lain. Selanjutnya Lum, Kervin, Clark, Reid & Sola (1998); Johnson, & McIntye, 1987; Mathis & Jackson (2009) dan Tett & Meyer (1993) mengidentifikasikan bahwa keluar masuk (turnover) karyawan berhubungan dengan ketidakpuasan kerja, dimana semakin rendah tingkat kepuasan kerja individu maka semakin tinggi keinginan individu untuk keluar dari perusahaan atau organisasi dan sebaliknya semakin tinggi tingkat kepuasan kerja seseorang, maka semakin rendah intensitasnya untuk meninggalkan pekerjaannya. Universitas Sumatera Utara Hughes, Ginnett & Curphy (2012); Mobley (1977) menunjukkan bahwa kepuasan kerja berkaitan erat dengan proses kognisi menarik diri, intensi untuk pergi dan tindakan nyata berupa turnover. Ketidakpuasan yang menjadi penyebab turnover memiliki banyak aspek, diantaranya adalah ketidakpuasan terhadap manajemen perusahaan, kondisi kerja, mutu pengawasan, penghargaan, gaji, promosi dan hubungan interpersonal. Menurut Mathis & Jackson (2009), karyawan yang merasa tidak puas dengan pekerjaannya memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk meninggalkan organisasi, mungkin lewat ketidakhadiran ataupun peraturan secara permanen. Berarti semakin tidak puas seseorang terhadap pekerjaannya akan semakin kuat dorongannya untuk melakukan turnover. b. Komitmen Organisasi Penelitian yang dilakukan Meyer & Allen (1997) mendukung bahwa peningkatan komitmen berhubungan dengan peningkatan produktivitas dan turnover yang semakin rendah. Komitmen organisasional memberikan kontribusi dalam memprediksi variabel-variabel penting organisasi yang berhungan dengan outcome (misalnya: intensi keluar). Variabel outcome yang diuji pada penelitian Meyer & Allen (1997) berhubungan dengan keinginan individu untuk keluar dari organisasi dan sampel yang digunakan adalah perawat. Meyer & Allen (1997) juga menyimpulkan bahwa komitmen organisasional berhubungan signifikan dengan keinginan individu untuk keluar jabatan dan aktifitas dalam organisasi. Pekerja-pekerja dengan komitmen afektif yang kuat akan tetap berada dalam organisasi karena mereka merasakan bahwa mereka sebaiknya bekerja demikian (Johnson, & McIntye, 1987; Tett & Meyer, 1993; Lum, Kevin, Clark, Reid & Universitas Sumatera Utara Sola, 1998). Komitmen organisasional akan membuat pekerja memberikan yang terbaik kepada organisasinya dan memiliki keinginan yang tinggi untuk bertahan. Hal ini menjelaskan bahwa pekerja yang memiliki komitmen yang tinggi akan lebih berorientasi pada kerja dan memiliki keinginan yang tinggi pula untuk bertahan (Luthans, 2006). c. Gaya Kepemimpinan Menurut Abbasi & Hollman (2000), pemimpin yang tidak efektif memiliki visi yang lemah, penilaian yang tidak akurat, kemampuan komunikasi yang tidak efektif dan mengarah kepada keinginan karyawan untuk melepaskan diri. Hubungan tidak baik karyawan dengan pimpinannya akan menyebabkan karyawan juga mempunyai keinginan untuk pergi meninggalkan organisasi. Sebuah penelitian tentang hubungan gaya kepemimpinan manajer terhadap turnover karyawan menunjukkan bahwa ketidakmampuan seorang bawahan untuk bekerja dengan atasannya secara baik menjadi alasan utama seorang karyawan pergi meninggalkan pekerjaan mereka (Agrusa & Lerna, 2007). Sebuah studi dari DDI dalam Gaddi (2004) menemukan bahwasanya karyawan dengan pemimpin yang kuat akan lebih terikat (engaged), puas, dan loyal dibandingkan dengan karyawan dengan pemimpin yang lemah. Oleh karena itu pemimpin perlu membuat model perilaku yang baik dan menciptakan atmosfer di mana orang merasa diperlakukan secara adil dan melibatkan karyawan dalam mengambil keputusan. Hal tersebut akan membangun ikatan emosi yang lebih pada organisasi dan membuat individu merasa berharga secara psikologis. Perasaan bermakna tersebut akan membuat karyawan akan semakin terkait dengan organisasi. Perilaku afektif pemimpin memiliki hubungan Universitas Sumatera Utara substansial pada engagement secara kognitif, lalu mempengaruhi engagement secara afektif, dan kemudian berpengaruh kepada intensi untuk bertahan di tempat kerja serta kinerja (Mobley, 1996). Berarti semakin kuat kepemimpinan seorang pemimpin maka akan meningkatkan komitmen seseorang untuk tetap bertahan dalam pekerjaannya. d. Budaya Organisasi Menurut Wallach (1983) budaya perusahaan yang kuat memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku karyawan dan secara langsung mengurangi turnover. Budaya yang kuat dalam organisasi memberikan dorongan kepada anggotanya untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan yang diharapkan organisasi (Wallach, 1983). Dalam budaya yang kuat, nilai-nilai utama sebuah organisasi atau perusahaan sangat teguh dan tertanan pada seluruh karyawannya. Semakin banyak karyawan yang menerima nilai-nilai tersebut dan semakin besar komitmen terhadapnya maka semakin kuat budaya perusahaan itu. Budaya yang kuat ini akan membentuk kohesivitas, kesetiaan, komitmen terhadap perusahaan, yang akan mengurangi keinginan karyawan untuk meninggalkan organisasi atau perusahaan (Robbins, 2007). Hal ini menggambarkan bahwa semakin kuat budaya organisasi maka dapat meningkatkan kesetiaan seseorang terhadap pekerjaan dan organisasinya. Universitas Sumatera Utara B. Budaya Organisasi 1. Pengertian Budaya Organisasi Budaya organisasi adalah satu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut rasakan, pikirkan, dan bereaksi terhadap lingkungannya yang beraneka ragam (Kreitner & Kinicki, 2005). Adapun menurut Robbins (2007), budaya organisasi mengacu ke sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai yang dipahami dan dijiwai oleh anggota organisasi sehingga pola tersebut memberikan makna tersendiri bagi organisasi bersangkutan dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi Robbins (2007). Budaya organisasi berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan, sehingga secara langsung ataupun tidak langsung memiliki pengaruh terhadap kinerja organisasi dan menjadi karakteristik organisasi atau perusahaan yang membedakannya dari organisasi lainnya (Robbins, 2007). Schwartz & Davis (1981) mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola kepercayaan dan harapan yang dianut oleh anggota organisasi. Kepercayaan dan harapan tersebut menghasilkan nilai-nilai yang dengan kuat membentuk perilaku para individu dan anggota organisasi. Budaya organisasi didefenisikan juga adalah apa yang dipersepsikan karyawan dan cara persepsi itu menciptakan suatu pola keyakinan, nilai, dan ekspektasi (Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2006). Wirawan (2007) mendefinisikan, budaya organisasi sebagai norma, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan, filsafat, kebiasaan organisasi, dan sebagainya. Isi budaya Universitas Sumatera Utara organisasi yang dikembangkan dalam waktu yang lama oleh pendiri, pemimpin, dan anggota organisasi dalam memproduksi produk, melayani para konsumen, dan mencapai tujuan organisasi. Kotter & Heskett (1992) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah kepribadian organisasi. Budaya merupakan kumpulan kepercayaan, nilai dan kerjasama yang membedakan satu organisasi dengan organisasi yang lainnya. Budaya mempengaruhi sebagian besar aspek kehidupan organisasi, seperti bagaimana keputusan dibuat, siapa yang membuatnya, bagaimana imbalan dibagikan, siapa yang dipromosikan, bagaimana orang diperlakukan, bagaimana organisasi memberi respon kepada lingkungannya. Menurut Hofstede (1990), budaya bukanlan perilaku yang jelas atau benda yang dapat terlihat dan diamati oleh seseorang. Budaya juga bukan falsafah atau sistem nilai yang diucapkan atau ditulis dalam anggaran dasar organisasi tetapi budaya adalah asumsi yang terletak di belakang nilai dan menentukan pola perilaku individu terhadap nilai-nilai organisasi, suasana organisasi dan kepemimpinan. Budaya organisasi bersifat nonformal atau tidak tertulis namun mempunyai peranan penting sebagai cara berfikir, menerima keadaan dan merasakan sesuatu dalam perusahaan tersebut. Budaya organisasi dapat digambarkan sebagai nilai, norma dan artefak yang diterima oleh anggota organisasi sebagai iklim organisasi, ia akan mempengaruhi dan dipengaruhi strategi organisasi, struktur dan sistem organisasi (Amstrong, 1994). Menurut Robbins (2001) budaya organisasi kuat adalah budaya dimana nilainilai inti organisasi dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas anggota organisasi. Suatu budaya yang kuat memiliki pengaruh yang besar Universitas Sumatera Utara terhadap sikap anggota organisasi dibandingkan dengan budaya yang lemah (Robbins, 2001). Budaya lemah adalah budaya yang tidak mampu menjalankan fungsi utamanya, yaitu mampu mendukung organisasi dalam beradaptasi dengan faktor-faktor internal dan eksternal (Schein, 1992). Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para pakar dan peneliti tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah pola keyakinan dan nilai-nilai yang dipahami dan dijiwai oleh anggota organisasi sehingga pola tersebut memberikan makna tersendiri bagi organisasi bersangkutan dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. 2. Dimensi Budaya Organisasi Wallach (1983) Menurut Wallach (1983) tidak ada istilah budaya baik atau budaya buruk. Suatu budaya akan efektif apabila budaya tersebut mendukung misi, maksud dan stategi organisasi. Budaya dapat menjadi harta atau suatu kewajiban. Norma budaya yang kuat membuat suatu organisasi efisien. Setiap orang menyadari pentingnya budaya dan bagaimana budaya dianut. Agar efektif, budaya tidak hanya harus efisien, tetapi juga harus sesuai dengan kebutuhan bisnis, perusahaan dan pegawainya. Wallach (1983) membagi budaya organisasi menjadi 3 tipe. Tipologi ini dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan lebih jauh seberapa kuat atau lemahnya suatu budaya melekat pada organisasi tersebut. Ketiga tipe tersebut meliputi budaya birokratis, budaya inovatif dan budaya suportif. Tipologi Wallach dipergunakan dalam penelitian ini karena menurut Koberg & Chusnim (1991) tipologi ini mempunyai konstruk budaya yang dapat diukur. Adapun penjelasan masing-masing tipologi budaya menurut Wallach (1983) adalah sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara a. Budaya Birokratis Budaya birokratis adalah budaya yang ditandai dengan karakter lingkungan kerja yang penuh tekanan, terstruktur, berjenjang, tertib dan teratur serta teregulasi dengan baik (Wallach, 1983). Budaya biokrasi berpedoman pada hirarki dan terdapat garis pemisah yang jelas dalam pembagian tanggungjawab dan kekuasaan. Pelaksanaan tugas selalu mengikuti aturan-aturan baku dan sistematis, mengutamakan kekuasaan dan dibawah pengawasan untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu (Wallach, 1983). Umumnya, budaya birokratis cenderung berorientasi pada kematangan, stabil, terstruktur, prosedural, mapan, solid, waspada dan mempunyai kekuatan. Terdapat batasan yang jelas antara tanggungjawab dan kekuasaan. Budaya ini cocok untuk perusahaan dengan suatu pangsa pasar yang besar dalam suatu pasar yang stabil. Staf yang terlatih dengan baik dan struktur yang sehat dengan sistem dan prosedur yang efisien membuat budaya birokratis berhasil. Budaya birokratis yang kuat tidak mungkin menarik dan menahan orang yang kreatif dan ambisius. Budaya birokratis kurang memberikan ruang kebebasan untuk mengemukakan pendapat, kritik dan tuntutan (Rossje, 1999). b. Budaya Inovatif Budaya inovatif didefinisikan sebagai budaya yang menitikberatkan pada kreativitas, orientasi pada hasil dan memberikan kesempatan untuk bereksplorasi dengan lingkungan kerja (Wallach, 1983). Budaya inovatif dikenal sebagai lingkungan yang memberikan kebebasan pada partisipan didalamnya untuk bebas berpikir, menyatakan pendapat, pikiran dan perasaan juga untuk berkarya. Ada tekanan dan stimulus yang kuat untuk semua partisipan didalamnya untuk Universitas Sumatera Utara berkreasi sekreatif mungkin. Jalur komunikasi terbuka lebar, tidak banyak aturan tentang pelaksanaan tugas (Rossje, 1999). Budaya inovatif merupakan budaya yang menarik dan dinamis. Sesuai dengan orang-orang yang suka bekerja pada perusahaan yang memiliki inovasi dan kondisi yang memerlukan tantangan, kewirausahawan, pengambilan resiko, kreativitas dan berorientasi pada hasil tidak pada prosesnya. Dalam lingkungan inovatif sulit untuk menyeimbangkan waktu untuk keluarga, bekerja, dan bermain. Individu yang kreatif biasanya memiliki kemampuan untuk bekerja keras, berpikiran mandiri, pantang mundur, mampu berkomunikasi dengan baik, lebih terbuka akan hal-hal baru, dan memiliki keingintahuan intelektual yang tinggi. Individu ini biasanya tidak pernah merasa jenuh atau bosan. Kebosanan dan kejenuhan itu sendiri timbul akibat persepsi individu tentang pekerjaannya sebagai rentetan kegiatan yang baku yang dapat dilakukan dengan sedikit berpikir. Individu yang kreatif pasti mampu mengubah pandangan tentang kerja dan jenis pekerjaan dari yang bersifat monoton menjadi lebih menarik, dan tidak membosankan (Yanti, 2000). c. Budaya Suportif Budaya suportif adalah merupakan budaya yang mengutamakan kerjasama tim dan berorientasi pada orang, menciptakan lingkungan organisasi menjadi lebih ramah, memberikan dukungan penuh bagi anggota organisasi untuk lebih maju dan memberikan kepercayaan yang penuh pada anggota organisasi (Wallach, 1983). Dalam budaya suportif perusahaan membantu pegawainya dan memberikan mereka kebebasan pribadi. Budaya ini memiliki kondisi yang berorientasi pada keadilan, sosial dan hubungan. Budaya suportif menempatkan manusia sebagai titik sentral dalam organisasi. Karenanya, pembinaan hubungan Universitas Sumatera Utara antar dan inter-partisipan didalamnya menjadi fokus utama. Lingkungan kerja dimana partisipannya saling membantu, bersahabat, peduli dengan sesama, saling percaya dan adil. Pada tabel di bawah ini dijelaskan secara singkat mengenai perbedaan dasar karakteristik masing-masing budaya yang dibedakan berdasarkan tipe tempat kerja dan karyawan, orientasi kerja dan jenis perusahaannya: Tabel 1 Perbedaan Karakteristik Budaya menurut Wallach (1983) Element Bureacratic Innovative Supportive Hierarchical & Exciting & Warm & Workplace compartmentalised dynamic “fuzzy” Type of Entrepreneurial & Relationship Unimaginative employees ambitious orientated Relationship Orientation Power orientated Result orientated orientated Large market share in Highly Type of a stable market: Creative supportive company efficient systems and environtment procedures Untuk mengukur budaya organisasi berdasarkan tipologi yang dikemukakan oleh Wallach (1983) akan digunakan Organizational Culture Index (OCI). Ke tiga dimensi budaya biokrasi, inovatif dan suportif dirinci dan diwakili ke dalam 8 item kata sifat (indikator) yang berjumlah 24 kata sifat yang dijelaskan dalam tabel berikut: Universitas Sumatera Utara Table 2 Organizational Culture Index (OCI) Wallach (1983) Budaya Organisasi Budaya Organisasi Budaya Organisasi No Birokratis Inovatif Suportif Berani mengambil Mudah dan suka Mapan dan solid 1 risiko bekerjasama (Established) (Risk taking) (Collaborative) Berjenjang Kreatif Memberikan dorongan 2 (Hierarchical) (Creative) (Encouraging) Terstruktur Menekan Memasyarakat 3 (Structured) (Pressurized) (Sociable) Membangkitkan Memberikan kebebasan Teratur 4 semangat pribadi (Ordered) (Stimulating) (Personal freedom) Mempunyai Peraturan Menantang Adil 5 (Regulated) (Challenging) (Equitable) Prosedural Mau berusaha Aman 6 (Procedural) (Enterprising) (Safe) Waspada Menggerakkan Saling mempercayai 7 (Cautious) (Driving) (Trusting) Berorientasi pada Berorientasi pada Berorientasi pada hasil 8 Kekuasaan hubungan (Results-oriented) (Power-oriented) (Relationships-oriented) 3. Dampak Budaya Organisasi Keberadaan budaya organisasi memiliki dampak yang besar tidak hanya bagi perusahaan tetapi juga terhadap karyawan. Budaya organisasi dapat memberi dampak terhadap efisiensi dan efektivitas kinerja perusahaan, kohesivitas, kesetiaan terhadap perusahaan dan berdampak pula terhadap pembentukan sikap dan perilaku karyawan yang merupakan faktor terpenting dalam menentukan keberhasilan organisasi mencapai tujuannya (Robbins, 2001). Budaya organisasi mengarahkan dan membimbing kata dan perbuatan para anggota organisasi dalam apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, menentukan arah organisasi, bagaimana mengalokasikan dan memanage sumber daya organisasional dan juga sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang yang datang dari lingkungan Universitas Sumatera Utara organisasi sehingga budaya organisasi dinilai sebagai salah satu faktor yang paling kritis dalam sebuah organisasi atau perusahaan (Robbins, 2001). C. Gaya Kepemimpinan Tranformasional 1. Pengertian Gaya Kepemimpinan Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan dengan antusias. Menurut Kartono (2006) kepemimpinan adalah kemampuan untuk memberikan pengarahan yang konstruktif kepada orang lain untuk melakukan suatu usaha kooperatif mencapai tujuan yang telah direncanakan. Kepemimpinan menyangkut proses sosial, pengaruh yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktivitasaktivitas serta hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau organisasi (Yulk, 2005). Kotler (1996) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan serangkaian proses yang terutama ditujukan untuk menciptakan organisasi atau menyesuaikan terhadap keadaan-keadaan yang jauh berubah. Gaya kepemimpinan pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Gaya kepemimpinan mewakili filsafat, ketrampilan, dan sikap pemimpin dalam politik. Gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai tujuan tertentu (Heidjrachman & Husnan, 2002). Tampubolon (2007) mendefenisikan gaya kepemimpinan adalah perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap, yang Universitas Sumatera Utara sering diterapkan seorang pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya. Berdasarkan definisi gaya kepemimpinan di atas dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dalam mengarahkan, mempengaruhi, mendorong dan mengendalikan orang lain atau bawahan untuk bisa melakukan sesuatu pekerjaan atas kesadarannya dan sukarela dalam mencapai suatu tujuan tertentu. 2. Pengertian Gaya Kepemimpinan Transformasional Bass & Avolio (1994) mengidentifikasi dua jenis gaya kepemimpinan yaitu gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional. Namun dalam penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan pada gaya kepemimpinan yang transformasional. Hal ini disebabkan oleh kepemimpinan transformasional memiliki keunggulan karena berhubungan erat dengan peningkatan produktivitas, kinerja, loyalitas karyawan, komitmen organisasi, kepuasan kerja, dan penurunan tingkat turnover (Robbins, 2007). Burns (1978) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Kepemimpinan transformasional merupakan suatu proses dimana seorang pemimpin berusaha memotivasi bawahannya untuk melakukan tanggung jawab yang lebih tinggi, meningkatkan kesadaran anggotanya dengan menggunakan daya tarik nilai, moralitas dan idealisme yang lebih tinggi seperti kebebasan, keadilan, keseimbangan, kedamaian dan kemanusiaan, tidak berdasarkan emosi semata (Bass & Avolio, 1997). Hughes, Ginnett, & Curphy (2012), Universitas Sumatera Utara mendefenisikan bahwa pemimpin transformasional memiliki visi, keahlian retorika, dan pengelolaan kesan yang baik dan menggunakannya untuk mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan pengikutnya, sehingga mendorong tergugahnya emosi pengikut serta kesediaan mereka untuk bekerja mewujudkan visi sang pemimpin. Pemimpin yang menerapkan kepemimpinan transformasional memberikan pengaruhnya kepada para pengikut dengan melibatkan pengikutnya berpartisipasi dalam penentuan tujuan, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan memberikan umpan balik melalui pelatihan, pengarahan, konsultasi, bimbingan, dan pemantauan atas tugas yang diberikan. Bass (1985) menegaskan bahwa hubungan antara atasan dengan bawahan dalam konteks kepemimpinan transformasional lebih dari sekedar pertukaran “komoditas” (pertukaran imbalan secara ekonomis), tapi sudah menyentuh sistem nilai (value system). Pemimpin transformasional mampu menyatukan seluruh bawahannya dan mampu mengubah keyakinan (beliefs), sikap, dan tujuan pribadi masing-masing bawahan demi mencapai tujuan, bahkan melampaui tujuan yang ditetapkan. 3. Dimensi Gaya Kepemimpinan Transformasional Menurut Bass & Avolio (1997), terdapat empat dimensi kepemimpinan transformasional, yaitu: a. Idealized Influence: Pemimpin mendahulukan kepentingan perusahaan dan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi sehinggga menimbulkan kebanggaan dan ketenangan bagi para bawahan. Mampu memberikan visi dan misi, meraih penghormatan dan kepercayaan. Universitas Sumatera Utara b. Inspirational Leadership/Motivational: Pemimpin mampu menimbulkan inspirasi pada bawahannya, antara lain dengan menentukan standar-standar tinggi, menggambarkan maksud penting secara sederhana, dan memberikan keyakinan bahwa tujuan dapat dicapai. c. Intellectual Stimulation: Bawahan merasa bahwa pemimpin mendorong mereka untuk memikirkan kembali cara kerja mereka, untuk mencari cara-cara baru dalam melaksanakan tugas, merasa mendapatkan cara baru dalam mempersepsi tugas-tugas mereka. Dengan kata lain pemimpin transformasional meningkatkan kreativitas dan inovasi bawahan, meningkatkan rasionalitas, dan pemecahan masalah secara cermat. d. Individualized Consideration: Bawahan merasa diperhatikan dan diperlakukan secara khusus oleh pemimpinnya. Pemimpin memperlakukan setiap bawahannya sebagai seorang pribadi dengan kecapakan, kebutuhan, keinginanya masing-masing. Ia memberikan nasihat yang bermakna, memberikan pelatihan yang dibutuhkan dan bersedia mendengarkan pandangan dan keluhan mereka. Pemimpin menimbulkan rasa mampu pada bawahannya bahwa mereka dapat melakukan pekerjaannya, dapat memberikan sumbangan yang berarti untuk tercapainya tujuan kelompok. 4. Dampak Gaya Kepemimpinan Transformasional Gaya kepemimpinan transformasional berdampak terhadap pembentukan sikap dan perilaku karyawan (Robbins, 2001). Gaya kepemimpinan transformasional yang menunjukkan perilaku karismatik, memunculkan motivasi inspirasional, memberikan stimulasi intelektual dan memperlakukan karyawan dengan memberi perhatian terhadap individu mampu meningkatkan produktivitas, Universitas Sumatera Utara kinerja, loyalitas karyawan, komitmen organisasi, kepuasan kerja, dan penurunan tingkat turnover (Bass, 1991). Selain itu gaya kepemimpinan transformasional juga berdampak pada kinerja perusahaan yang mampu mendorong seluruh element yang ada untuk mencapai tujuan perusahaan dan juga berdampak terhadap kesiapan organisasi untuk menghadapi tuntutan pembaharuan dan perubahan (Luthans, 2006). Dimana kepemimpinan transformasional dianggap sebagai agen dari sebuah perubahan. Universitas Sumatera Utara D. Hubungan Antar Variabel 1. Budaya Organisasi (Biokrasi, Inovatif, Suportif) dengan Intensi Turnover Karyawan Keinginan untuk pindah atau beganti pekerjaan (turnover intention) merupakan sinyal awal terjadinya berganti pekerjaan pada karyawan di dalam organisasi (Mobley, 1982). Dengan adanya niat berganti pekerjaan karyawan akan cenderung memunculkan sikap-sikap yang dapat berdampak negatif bagi perusahaan yang biasa ditunjukan dengan mencari alternatif pekerjaan yang lebih menguntungkan, kurang antusias dengan pekerjaan, sering mengeluh, merasa tidak senang dengan pekerjaannya dan menghindar dari tanggungjawabnya yang berujung pada turnover karyawam (Harnoto, 2002). Dampak dari timbulnya aktivitas turnover akan mempengaruhi berbagai aktivitas kerja yang terdapat pada perusahaan dan dapat juga mempengaruhi prestasi kerja karyawan secara keseluruhan. Menurut Mobley (1982), dampak negatif yang dirasakan oleh perusahaan akibat terjadinya turnover merugikan perusahaan baik dari segi biaya, sumber daya, maupun motivasi karyawan. Dengan terjadinya turnover berarti perusahaan kehilangan sejumlah tenaga kerja. Kehilangan ini harus diganti dengan karyawan baru. Perusahaan harus mengeluarkan biaya mulai dari perekrutan hingga mendapatkan tenaga kerja siap pakai. Karyawan yang tertinggal akan terpengaruh motivasi dan semangat kerjanya. Karyawan yang sebelumnya tidak berusaha mencari pekerjaan baru akan mulai mencari lowongan kerja, yang kemudian akan melakukan turnover. Turnover karyawan juga dapat mengacaukan rencana dan strategi organisasi untuk mencapai tujuannya yang mana hal tersebut terkait dengan berkurangnya sumber daya manusia dan hilangnya staf dengan talenta yang dibutuhkan oleh Universitas Sumatera Utara organisasi (Abbasi, Hollman & Hayes, 2008). Hal ini menjadi penting bagi perusahaan untuk mengerti alasan keluarnya karyawan meninggalkan perusahaan. Juga mengingat bahwa tenaga kerja merupakan salah satu sumber daya yang paling krusial dalam suatu perusahaan, maka penting bagi pihak manajemen untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat perputaran tersebut (Robbins, 2007). Hom & Griffeth (1995) menyatakan bahwa terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi itensi turnover karyawan yang berujung pada turnover, salah satunya adalah budaya organisasi yang dirasakan oleh karyawan. Robbins (2007) menyatakan bahwa budaya perusahaan yang kuat memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku karyawan dan secara langsung mengurangi turnover. Dalam budaya yang kuat, nilai-nilai utama sebuah organisasi atau perusahaan sangat teguh dan tertanan pada seluruh karyawannya. Budaya yang kuat ini akan membentuk kohesivitas, kesetiaan, komitmen terhadap perusahaan, yang akan mengurangi keinginan karyawan untuk meninggalkan organisasi atau perusahaan (Wallach, 1983). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Malik (2014) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara budaya organisasi terhadap intensi turnover karyawan. Hal ini berarti bahwa semakin kuat budaya organisasi maka akan semakin rendah intensi turnover karyawan. Nystrom (1993) menunjukkan bahwa karyawan pada budaya yang kuat cenderung mengekspresikan komitmen organisasi yang lebih besar sebagaimana kepuasan kerja yang tinggi dan komitmen organisasional menurut Allen dan Meyer (1996) adalah anteseden dari turnover intention. Hasil penelitian Sheridan (1992), juga Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa budaya organisasi secara signifikan berhubungan dengan kinerja karyawan, organizational commitment, dan voluntary turnover. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa terdapat pengaruh negatif budaya organisasi terhadap intensi turnover karyawan. Hal ini berarti bahwa semakin kuat budaya organisasi maka intensi turnover karyawan akan semakin rendah. 2. Gaya Kepemimpinan Karyawan. Transformasional dengan Intensi Turnover Tingginya tingkat intensi turnover karyawan akan menjadi masalah serius bagi banyak perusahaan, bahkan bisa membuat perusahaan mengalami frustasi ketika mengetahui proses rekrutmen yang telah berhasil menjaring staf yang berkualitas pada akhirnya ternyata menjadi sia-sia karena staf yang direkrut tersebut telah memilih pekerjaan di perusahaan lain (Toly, 2001). Dengan tingginya tingkat turnover pada perusahaan akan semakin banyak menimbulkan berbagai potensi biaya baik itu biaya pelatihan yang sudah diinvestasikan pada karyawan, tingkat kinerja yang mesti dikorbankan, maupun biaya rekrutmen dan pelatihan kembali (Suwandi & Indriantoro, 1999). Namun demikian, apabila kesempatan untuk pindah kerja tersebut tidak tersedia atau yang tersedia tidak lebih menarik dari yang sekarang dimiliki maka secara emosional dan mental karyawan akan keluar dari perusahaan yaitu dengan sering datang terlambat, sering bolos, kurang antusias atau kurang memiliki keinginan untuk berusaha dengan baik (Russ & McNeilly, 1995). Keberadaan karyawan dalam perusahaan sangat penting dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi perusahaan, sehingga perusahaan akan berusaha sebisa mungkin mempertahankan keanggotaan karyawannya dalam Universitas Sumatera Utara perusahaan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan dan mencegah timbulnya biaya dari turnover (Oracle, 2012). Menurut Buckingham & Coffman (1999), jika orang-orang yang potensial meninggalkan perusahaan, maka yang harus diperhatikan adalah atasan langsung mereka. Atasan adalah alasan karyawan bertahan dan berkembang dalam organisasi dan pemimpin adalah salah satu alasan mengapa mereka berhenti, pergi membawa pengetahun, pengalaman, dan relasi bersama mereka (Bungkingham & Coffman, 1999). Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Buckingham & Coffman (1999) mengenai pengaruh gaya kepemimpinan terhadap keinginan karyawan untuk berhenti bekerja, menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara gaya kepemimpinan terhadap intensi turnover. Dimana semakin buruk gaya kepemimpinan yang dirasakan oleh karyawan menyebabkan semakin tingginya keinginan karyawan untuk meninggalkan perusahaan. Berdasakan hasil penelitian Overbey (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional dengan keinginan telecommuter untuk meninggalkan organisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin banyak pemimpin menggunakan gaya kepemimpinan transformasional maka semakin banyak telecommuter yang memiliki keinginan untuk tetap bekerja di organisasi. Hal ini sejalan dan didukung oleh hasil penelitian Riley (2006) yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif antara gaya kepemimpinan transformasional terhadap komitmen karyawan terhadap organisasi yang pada akhirnya berujung kepada penekanan keinginan karyawan untuk meninggalkan organisasi. Lebih lanjut Riley (2006) menjelaskan Universitas Sumatera Utara bahwa gaya kepemimpinan transformasional efektif diterapkan terhadap junior sales-people yang banyak dipengaruhi oleh faktor karisma dan motivasi yang menginspirasi. Hal ini menggambarkan bahwa semakin pemimpin mencerminkan gaya kepemimpinan transformasional maka semakin tinggi keinginan para karyawan untuk tetap tinggal di perusaaan. Hasil penelitian Chen (2005) juga mengindikasikan bahwa gaya kepemimpinan transformasional memiliki hubungan langsung dan tidak langsung terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi sebagai bentuk kepercayaan antara karyawan terhadap pemimpinnya menunjukkan hasil terhadap turnover karyawan. Hal ini menggambarkan bahwa secara langsung dan tidak langsung gaya kepemimpinan transformasional memberikan pengaruh positif terhadap keinginan karyawan untuk bertahan. Demikian pula dengan hasil penelitian Epstein (2005) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara gaya kepemimpinan transformasioanal terhadap project manager turnover intention hal ini sejalan dengan prediksi identifikasi terhadap project manager turnover intention berdasarkan model gaya kepemimpinan transformasional yang dibuat oleh Bass dan Avoilo (1990) menyangkut (contingent reward, idealized influence, and individualized consideration). Yang & Mu-Li, 2012; Dunn, Dastoor, & Sims, 2012 menemukan bahwa dimensi kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Serta dampak dari komitmen yang tinggi berhubungan pula dengan rendahnya tingkat keluar karyawan dari organisasi (Allen & Meyer, 1990). Menurut Chen (2004), pemimpin mempengaruhi bawahan mereka baik secara langsung melalui interaksi Universitas Sumatera Utara dan juga melalui budaya organisasi. Dimana tugas seorang pimpinan suatu organisasi untuk mempengaruhi bawahannya, dalam arti mengarahkan, membimbing, menggerakkan, mengontrol dan mempertahankan bawahan agar tidak meninggalkan organisasi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap intensi turnover karyawan. Hal ini berarti bahwa semakin positif persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan trasformasional maka semakin rendah intensi turnover karyawan. Berdasarkan penjelasan di atas terlihat bahwa gaya kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh negatif terhadap intensi turnover karyawan. Hal ini berarti bahwa semakin positif persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan transformasional maka intensi turnover karyawan akan semakin rendah. 3. Budaya Organisasi (Biokrasi, Inovatif, Suportif) dan Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Intensi Turnover Karyawan. Kinerja suatu perusahaan ditentukan oleh kondisi dan perilaku karyawan yang dimiliki perusahaan. Fenomena yang seringkali terjadi adalah kinerja suatu perusahaan yang telah demikian bagus dapat terganggu, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai perilaku karyawan yang sulit dicegah terjadinya. Salah satu bentuk perilaku karyawan tersebut adalah keinginan berpindah (turnover intention) yang berujung pada keputusan karyawan untuk meninggalkan pekerjaannya (Agustina, 2008). Intensi turnover diindikasikan sebagai sikap individu yang mengacu pada hasil evaluasi mengenai kelangsungan Universitas Sumatera Utara hubungannya dengan organisasi dimana dirinya bekerja dan belum terwujud dalam bentuk tindakan pasti (Suwandi & Indriantoro, 1999). Tinggi rendahnya turnover karyawan pada suatu organisasi mengakibatkan tinggi rendahnya biaya perekrutan, seleksi, dan pelatihan yang harus ditanggung organisasi (Mercer, 1988). Hal ini dapat mengganggu efisiensi operasional organisasi, apalagi karyawan yang pindah tersebut memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang baik (Agus, 2002). Turnover dapat membawa dampak positif apabila timbul kesempatan untuk menggantikan individu yang berkinerja tidak optimal dengan individu yang memiliki keterampilan, motivasi dan loyalitas yang tinggi, namun tidak demikian apabila yang keluar adalah karyawan yang potensial maka akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan dan karyawannya (Dalton, Todor & Krackhardt, 1982). Menurut Hom & Griffeth (1995), adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan karyawan untuk berhenti bekerja dari organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung adalah gaya kepemimpinan seorang manajer dan budaya perusahaan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Tandok & Andarika (2004), bahwa keluarnya karyawan lebih banyak disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap kondisi kerja dan karyawan merasa pimpinan tidak memberi kepercayaan kepada karyawan, tidak ada keterlibatan karyawan dalam pembuatan keputusan, pemimpin berlaku tidak objektif dan tidak jujur pada karyawan. Robbins (2001) menyatakan bahwa sikap atau perilaku anggota organisasi pada umumnya sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut dalam suatu organisasi dan dipengaruhi pula oleh perilaku pemimpinnya. Universitas Sumatera Utara Budaya organisasi merupakan pengendali dan arah dalam membentuk sikap dan perilaku para anggota di dalam suatu organisasi dan bergantung pada kekuatannya, budaya dapat mempunyai pengaruh yang bermakna pada sikap dan perilaku anggota-anggota organisasi (Robbins, 2001). Sathe (1985) menyatakan bahwa, budaya yang ideal adalah budaya kuat, di mana kekuatan budaya mampu mempengaruhi intensitas perilaku. Lebih lanjut Vandenberg & Lance (2002) mengatakan bahwa jika karyawan merasa terikat dengan nilai-nilai organisasi berupa budaya organisasi yang ada, maka dia merasa senang dalam bekerja dan mereka akan melakukan tugas dan kewajibanya dengan baik, serta mengerjakan secara tulus ikhlas, sehingga dapat mengurangi dampak terhadap absensi, turnover, dan keterlambatan bekerja. Serta menurut Podsakoff, MacKenzie & Bommer (1996) gaya kepemimpinan transformasional juga merupakan faktor penentu yang mempengaruhi sikap, persepsi, dan perilaku karyawan di mana terjadi peningkatan kepercayaan kepada pemimpin, motivasi, kepuasan kerja dan mampu mengurangi sejumlah konflik yang sering terjadi dalam suatu organisasi. Pendapat ini didukung oleh Nanus (1992) yang mengemukakan bahwa alasan utama karyawan meninggalkan organisasi disebabkan karena pemimpin gagal memahami karyawan dan pemimpin tidak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan karyawan. Berdasarakan penelitian yang dilakukan oleh Chen, Chang, & Yeh (2004), budaya organisasi memiliki pengaruh signifikan terhadap bagaimana karyawan memandang organisasi mereka, tanggunjawab dan komitmen mereka. Dimana komitmen berpengaruh terhadap intensi turnover karyawan. Sedangkan pemimpin mempengaruhi bawahan mereka baik secara langsung melalui interaksi dan juga Universitas Sumatera Utara melalui budaya organisasi. Dimana tugas seorang pimpinan suatu organisasi untuk mempengaruhi bawahannya, dalam arti mengarahkan, membimbing, menggerakkan, mengontrol dan mempertahankan bawahan agar dalam setiap tindakannya sesuai dengan tujuan organisasi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi dan gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap intensi turnover karyawan. E. Kerangka Pemikiran Berikut ini adalah gambaran kerangka pemikiran yang dijadikan dasar pemikiran dalam melakukan analisis pada penelitian ini. Gambar 1 Kerangka Pemikiran Teoritis H1 Budaya Organisasi H3 Intensi Turnover Karyawan Gaya Kepemimpinan Tarsformasional H2 Universitas Sumatera Utara F. Hipotesis Berdasarkan pada landasan teori dan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh yang signifikan antara budaya organisasi terhadap intensi turnover karyawan (H1) 2. Terdapat pengaruh negatif dan signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional terhadap intensi turnover karyawan (H2). 3. Terdapat pengaruh yang signifikan antara budaya organisasi dan gaya kepemimpinan transformasional terhadap intensi turnover karyawan (H3). Universitas Sumatera Utara