2 tinjauan pustaka

advertisement
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Wilayah Pesisir
Sampai saat ini memang belum ditemukan definisi yang pasti mengenai
wilayah pesisir karena batas-batas yang ada bisa berubah sewaktu-waktu, namun
ada beberapa definisi berdasarkan keterangan dari ahli terkait. Wilayah pesisir
merupakan salah satu sistem ekologi yang paling produktif, beragam dan
kompleks. Wilayah ini berperan sebagai penyangga, pelindung dan penyaring
antara daratan dan lautan serta merupakan pemusatan terbesar penduduk.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dalam Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem
darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Pengertian pesisir menurut Bappenas (1999) dalam Dahuri (2005), wilayah
atau kawasan pesisir atau pantai adalah daerah pertemuan antara darat dan laut,
dengan batas ke arah darat yang meliputi bagian daratan, baik kering maupun
terendam air, yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti air laut. Ke
arah laut mencakup bagian perairan sampai batas terluar dari paparan benua,
dimana ciri-ciri perairan tersebut masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah
yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, serta proses-proses
yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat maupun di laut. Misalnya,
penggundulan hutan, pencemaran industri, domestik, limbah tambak,
penangkapan ikan, dan lain-lain.
Pendefinisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu
pendekatan ekologis, pendekatan administratif, dan pendekatan perencanaan.
Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, dimana ke arah laut mencakup wilayah
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi. Dilihat
dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi
pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kabupaten atau kota
yang mempunyai hulu, dan kearah laut sejauh dua belas mil dari garis pantai
untuk provinsi atau sepertiga dari dua belas mil untuk kabupaten/kota. Dilihat dari
aspek perencanaan, wilayah pesisir adalah wilayah perencanaan pengelolaan dan
difokuskan pada penanganan isu yang akan ditangani secara bertanggung jawab
(Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir 2001).
Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem pesisir dan
sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir ada yang terus menerus tergenangi dan ada
pula yang hanya sesaat. Berdasarkan sifat ekosistem, ekosistem pesisir dapat
bersifat alamiah (natural) atau buatan (manmade). Ekosistem alami yang terdapat
di wilayah pesisir adalah terumbu karang (coral reefs), padang lamun (seagrass
beds), hutan mangrove, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pescaprae,
formasi barringtonia, estuaria, laguna dan delta, sedangkan ekosistem buatan
antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan
industri dan kawasan pemukiman (Dahuri et al. 2001).
Menurut Dahuri (2005), untuk tujuan perencanaan secara praktis, wilayah
pesisir dan laut merupakan kawasan khusus, memiliki karakteristik unik dengan
7
batas-batas kawasan yang sering ditentukan berdasarkan permasalahanpermasalahan spesifik yang perlu ditangani. Kegiatan pengelolaan wilayah pesisir
dan laut harus ditekankan pada upaya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan
dan pelestarian wilayah. Penataan ruang merupakan solusi yang tepat dalam
kaitannya dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir.
2.2 Penataan Ruang
Perencanaan tata ruang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang (RTR), yang
menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dapat dibedakan menurut
batasan fungsi kawasan dan batasan administratif. Pengertian ruang dalam hal ini
mencakup ruang darat, laut, dan udara. Secara hirarkis, Rencana Tata Ruang
terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota (RTRWK).
Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud
mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan
pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial fungsifungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah
administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu. Menurut
Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) perencanaan tata ruang mencakup
perencanaan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tataguna lahan, tataguna air,
tataguna udara, tataguna sumberdaya lainnya.
Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan aspek-aspek sebaran
sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap aktifitas
menyebar dengan luas yang berbeda-beda dan tingkat penyebaran yang berbedabeda pula. Secara lebih tegas, penataan ruang dilakukan sebagai upaya : (1)
Optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan
sumberdaya): prinsip efisiensi dan produktifitas; (2) Alat dan wujud distribusi
sumberdaya: asas pemerataan, keberimbangan dan keadilan; dan (3)
Keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al. 2011).
Menurut Dahuri (2005), peranan tata ruang pada hakekatnya dimaksudkan
untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya yang optimal dengan sedapat mungkin
menghindari konflik pemanfaatan sumberdaya serta dapat mencegah timbulnya
kerusakan lingkungan hidup. Lebih jauh Dahuri (2005) menyatakan dalam
penataan ruang hendaknya memperhatikan 5 pendekatan, yaitu : (1) Penataan
ruang yang partisipatif; (2) Sinergis dengan dunia usaha; (3) Selaras dengan
lingkungan; (4) Pertumbuhan ekonomi dan (5) Peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Ada dua hal pokok yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang
wilayah untuk pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut, yaitu: pertama,
berkenaan dengan upaya pengembangan kegiatan sosial-ekonomi dan kedua
berkaitan dengan daya dukung lingkungan.
8
2.3 Daya Dukung Lingkungan
Daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat
dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu
yang panjang. Menurut Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup, daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup
lain.
Evaluasi daya dukung wilayah diperlukan untuk mengelompokkan daya
dukung kawasan, sehingga dalam sutu wilayah dapat ditentukan kawasan yang
mampu mendukung kegiatan budidaya atau kawasan yang seharusnya berfungi
lindung. Pada dasarnya evaluasi daya dukung wilayah sangat terkait erat dengan
evaluasi sumberdaya lahan, dimana satuan lahan yang memiliki hambatan tinggi
akan sesuai untuk menjadi kawasan lindung dan sebaliknya dapat menjadi
kawasan budidaya (Rustiadi et al. 2011).
Dardak (2005) menyatakan bahwa perhatian terhadap daya dukung
lingkungan merupakan kunci bagi perwujudan ruang hidup yang nyaman dan
berkelanjutan. Perhatian terhadap daya dukung lahan seyogyanya tidak terbatas
pada lokasi dimana sebuah kegiatan berlangsung, namun harus mencakup wilayah
yang lebih luas dalam satu ekosistem. Dengan demikian, keseimbangan ekologis
yang terwujud juga tidak bersifat lokal, namun merupakan keseimbangan dalam
satu ekosistem.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2009) telah menyusun pedoman
perhitungan daya dukung lingkungan, yang dimaksudkan untuk menunjang
penataan ruang. Perhitungan daya dukung lingkungan tersebut didasarkan pada
kebutuhan manusia terhadap dua faktor alam yang paling mendasar, yaitu lahan
dan air. Dengan berpedoman pada perhitungan tersebut, maka dapat diprediksi
daya dukung suatu kawasan sehingga penetapan fungsinya secara berkelanjutan
dapat dilakukan secara lebih mendasar dan terarah dalam menunjang penataan
ruang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 25 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah harus menyusun
rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN), pemerintah daerah provinsi harus
menyusun rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRW provinsi), dan pemerintah
daerah kabupaten harus menyusun rencana tata ruang wilayah kabupaten (RTRW
kabupaten), dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup. Dalam
penataan ruang, tidak adanya informasi mengenai daya dukung dan daya tampung
lingkungan, membuka kemungkinan terjadinya penggunaan ruang yang tidak
sesuai dengan peruntukkannya.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah yang tidak memperhatikan daya
dukung lingkungan hidup, dapat menimbulkan permasalahan lingkungan hidup
seperti banjir, longsor dan kekeringan. Kerusakan lingkungan hidup pada
akhirnya akan membawa kerugian sosial ekonomi yang sangat besar bagi
penduduk yang bermukim di wilayah itu khususnya, dan masyarakat secara
keseluruhan. Oleh karena itu, agar penataan ruang sesuai dengan daya dukungnya,
perlu melibatkan masyarakat dimulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan
hingga pengendaliannya.
9
2.4 Partisipasi Masyarakat
2.4.1 Definisi Partisipasi
Menurut Davis (1967) dalam Sastropoetro (1988) partisipasi didefinisikan
sebagai keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi
kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok
dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang
bersangkutan. Dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, disebutkan bahwa partisipasi merupakan
keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam
proses penyusunan rencana pembangunan.
Khadiyanto (2007) dalam Chusnah (2008) merumuskan bahwa partisipasi
masyarakat adalah keikutsertaan/pelibatan masyarakat dalam kegiatan
pelaksanaan pembangunan dalam merencanakan, melaksanakan dan
mengendalikan serta mampu untuk meningkatkan kemauan menerima dan
kemampuan untuk menanggapi, baik secara langsung maupun tidak langsung
sejak dari gagasan, perumusan kebijaksanaan hingga pelaksanaan program
Mitchell et al. (2010) menyatakan banyak alasan yang dapat diberikan untuk
menyertakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya. Melalui
konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena
kebijakan, dimungkinkan untuk (1) merumuskan persoalan lebih efektif; (2)
mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah; (3)
merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat
diterima dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan
penyelesaian sehingga memudahkan penerapan.
Partisipasi berfungsi sebagai kemitraan dalam pengelolaan wilayah.
Partisipasi yang melibatkan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam
pengelolaan wilayah pesisir mutlak diperlukan. Partisipasi masyarakat dapat
tercipta apabila ada rasa saling percaya dan saling pengertian antara semua pihak.
2.4.2 Bentuk Partisipasi
Menurut Davis (1967) dalam Sastropoetro (1988), bentuk-bentuk partisipasi
meliputi: (1) konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa; (2) sumbangan spontan
berupa uang dan barang; (3) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan
donornya berasal dari pihak ketiga; (4) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari
dan dibiayai seluruhnya oleh masyarakat; (5) sumbangan dalam bentuk kerja; (6)
aksi massa; (7) mengadakan pembangunan dikalangan keluarga; dan (8)
membangun proyek masyarakat yang bersifat otonom. Adapun jenis-jenis
partisipasinya meliputi: (1) pikiran; (2) tenaga; (3) pikiran dan tenaga; (4)
keahlian; (5) barang; dan (6) uang.
Dalam kegiatan penataan ruang bentuk peran masyarakat dilakukan pada 3
tahap sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2010
tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang, yaitu
meliputi :
1) tahap perencanaan tata ruang, berupa : (a) masukan mengenai persiapan
penyusunan rencana tata ruang; penentuan arah pengembangan wilayah atau
kawasan; pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau
kawasan; perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau penetapan rencana
10
tata ruang, (b) kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang.
2) tahap pemanfaatan ruang, berupa : (a) masukan mengenai kebijakan
pemanfaatan ruang; (b) kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang; (c) kegiatan
memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang
yang telah ditetapkan; (d) peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian
dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam
bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; (e) kegiatan menjaga kepentingan pertahanan
dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi
lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan (f) kegiatan investasi dalam
pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) tahap pengendalian pemanfaatan ruang, berupa : (a) masukan terkait arahan
dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta
pengenaan sanksi; (b) keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi
pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (c) pelaporan kepada
instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan
penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar
rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan (d) pengajuan keberatan terhadap
keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap
tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
2.4.3 Tingkat Partisipasi
Arnstein (1969) mendefinisikan strategi partisipasi yang didasarkan pada
distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan badan pemerintah
(agency), partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen
participation is citizen power). Arnstein (1969) menggunakan metafora tangga
partisipasi dimana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda
yang didasarkan pada distribusi kekuasaan (Gambar 2).
Citizen Control
8
7
Delegated
Power
Patnership
Degrees of
Citizen Power
6
Placation
5
Consultation
Degrees of
Tokenism
4
Informing
3
Therapy
2
Non
participation
Manipulation
1
Gambar 2 Delapan tangga tingkat partisipasi menurut Arnstein (1969)
11
Delapan tangga tingkat partisipasi menurut Arnstein (1969) yaitu :
1. Manipulasi (manipulation)
Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan relatif tidak ada komunikasi apalagi
dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam
perencanaan dan pelaksanaan program tapi untuk mendidik (masyarakat tidak
tahu sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam forum).
2. Terapi (therapy)
Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang
dari pemerintah dan hanya satu arah.
3. Informasi (information)
Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat
satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada
masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan
tanggapan balik (feed back).
4. Konsultasi (consultation)
Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih
bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan
pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan
didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan
dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi.
5. Penentraman (placation)
Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara
masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan
saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan
kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut.
6. Kemitraan (partnership)
Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra
sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat
dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun
monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki
akses untuk proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk
bernegosiasi dan melakukan kesepakatan.
7. Pendelegasian kekuasaan (delegated power)
Ini berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat
untuk mengurus sendiri beberapa kepentingannya, mulai dari proses
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat
memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
keberhasilan program.
8. Pengendalian masyarakat (citizen control)
Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai
kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa
campur tangan pemerintah.
Dari kedelapan tangga tersebut, Arnstein mengelompokkannya lagi menjadi
3 tingkat, yaitu:
a) Tingkat tanpa partisipasi (Nonparticipation)
Tingkat nonpartisipasi adalah tingkat partisipasi yang bukan dalam arti
sesungguhnya. Tingkat ini terdiri dari jenjang terbawah dari tangga tersebut
yaitu tingkat pertama (manipulation) dan tingkat kedua (Therapy).
12
b) Tingkat Tokenism (Degree of tokenism)
Tingkat Tokenism yaitu tingkat partisipasi yang tidak serius, dimana
masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar
pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan
jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang
keputusan. Tingkat Tokenism terdiri tiga jenjang yaitu tingkat ketiga
(informing), tingkat keempat (consultation) dan tingkat kelima (placation).
Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk
menghasilkan perubahan dalam masyarakat.
c) Tingkat Kekuasaan Masyarakat (Degree of Citizen Power)
Tingkat kekuasaan masyarakat yaitu tingkat dimana masyarakat telah memiliki
kekuasaan, yang terdiri dari tingkat keenam (partnership), tingkat ketujuh
(delegated power) dan tingkat kedelapan (citizen control). Tiga tangga terakhir
ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh
Arnstein dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat
dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan.
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir sangatlah
penting. Apabila dilihat karakteristik wilayah pesisir dan lautan baik dari segi
sumberdaya alam maupun dari masyarakatnya sangat kompleks dan beragam,
maka dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan sudah seharusnya secara
langsung melibatkan masyarakat lokal. Sesuai dengan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang
Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, keterbukaan dan
peran serta masyarakat merupakan salah satu prinsip dasar dalam pengelolaan
wilayah pesisir terpadu.
2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu
Berdasarkan karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir, potensi dan
permasalahannya, maka kebijakan pemerintah untuk membangun kawasan pesisir
dan laut secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat dilakukan melalui
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu (Darajati 2004). Konsep
pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep pengelolaan sumberdaya pada
umumnya, pada pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang mengelola adalah
semua orang dengan objek segala sesuatu yang ada di wilayah pesisir.
Pengelolaan wilayah pesisir tidak melihat wilayah pesisir sebagai target, yang
paling utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada
karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan
wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi,
lingkungan, ekonomi dan sistem sosial.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pengelolaan wilayah pesisir dilaksanakan
dengan tujuan:
a. melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara
berkelanjutan;
13
b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan pemerintah
daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil;
c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong
inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau
kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan
d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran
serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi
dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor,
ekologis, hirarki pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Kay dan
Alder 1999). Dahuri et al. (2001) mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir
terpadu sebagai suatu pendekatan pengelolaan pesisir yang melibatkan dua atau
lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara
terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara
berkelanjutan.
Subandono et al. (2009) menyatakan bahwa konsep pengelolaan wilayah
pesisir terpadu menyediakan suatu kerangka perencanaan dan pengelolaan yang
tepat dalam menaklukkan berbagai kendala dan permasalahan dalam pengelolaan
wilayah pesisir, seperti adanya pengaturan institusi yang terpecah-pecah, birokrasi
yang berorientasi pada satu sektor, konflik kepentingan, kurangnya prioritas,
kepastian hukum, minimnya pengetahuan kedudukan wilayah dan faktor sosial
lainnya, serta kurangnya informasi dan sumberdaya.
Menurut Dahuri (2005), pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting
dilakukan mengingat banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan,
sehingga perlu dirumuskan suatu konsep penataan ruang (strategic plan) serta
berbagai pilihan objek pembangunan yang serasi. Keterpaduan pengelolaan
wilayah pesisir sekurangnya mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu dan
keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir diartikan
sebagai suatu keadaan, dimana proses koordinasi tugas, wewenang dan tanggung
jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat tertentu (horizontal
integration) dan pada semua level pemerintahan dari mulai tingkat desa,
kecamatan, kabupaten, propinsi sampai tingkat pusat (vertical integration)
Keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam
pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu
(interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi,
teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan
mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam
yang terjalin secara kompleks dan dinamis.
Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses iteratif
dan evolusioner untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal
dan berkelanjutan. Tujuan akhir dari pengelolaan pesisir secara terpadu bukan
hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (economic growth) jangka pendek,
melainkan juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil
dan proporsional oleh segenap pihak yang terlibat (stakeholders), dan memelihara
daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat
berlangsung secara lestari.
14
Prinsip pengelolaan yang terpadu ini dilakukan berdasarkan pertimbangan
bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir pada saat ini tidak boleh mengorbankan
kebutuhan sumberdaya pesisir bagi generasi yang akan datang. Prinsip ini bisa
lebih efektif dilaksanakan bila pengelolaannya bersifat demokratis, transparan dan
melibatkan masyarakat pesisir setempat
Prinsip-prinsip tersebut saling sinergis dan melengkapi dengan
pengembangan tata pemerintahan yang baik (good governance) yang
mendasarkan pada asas partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas yang
mendorong upaya perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Download