universitas sebelas maret 2013

advertisement
MAX WEBER
Tugas Untuk Memenuhi Uji KD III Mata Kuliah Teori Sosiologi Klasik
Disusun oleh :
Nama
: Arum Sabtorini
NIM
: D0310012
Jurusan
: Sosiologi
Fakultas
: ISIP
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2013
A. Subyek Matter
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman pada tanggal 21 April 1864. Dia dari
keluarga kelas menengah, perbedaan antara orang tuanya membawa dampak
besar pada orientasi intelektual dan perkembangan psikologi. Ayahnya seorang
birokrat yang menduduki posisi politik yang relative penting. Ibu Max Weber
adalah seorang Calvins yang sangat religius, seorang perempuan yang berusahan
menjalani keidupan aksetetis yang tidak banyak terlibat dalam kenikmatan
duniawi yang didambakan oleh suaminya. Perbedaan tajam antara dua orang
tuanya menyebabkan ketegangan rumah tangga dan perbedaan serta ketegangan
tersebut membawa damapak besar bagi Weber ( Ritzer dan Goodman, 2010:124).
Weber belajar hokum di Universitas Berlin dan Universitas Heidelberg dan pada
tahun1889 menilis disertasi yang berjudul A Contributing to the History of
Mediival Business Organizattions. Setelah menyelesaikan studinya dia mengawali
kariernya sebagai dosen ilmu hokum, mula-mula di Universitas Berlin, kemudian
di Universitas Freiburg, dan setelah itu di Universitas Heidelburg. Menjelang akir
masa hidupnya dia pun berperan sebagai konsulta dan peneliti, dan semasa Perang
Dunia I dia mengabdi di angkatan bersenjata Jerman.
Weber merupakan seorang ilmuwan yang sangat produktif dan dia
menulis sejumlah buku dan makalah. Salah satu bukunya yang terkenal adalah
The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism ( 1904). Dalam buku ini dia
mengemukakan tesisnya yang terkenal mengenai keterkaitan antara Etika
Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat. Menurut Weber muncul
dan berkemangnya kapitalisme di Eropa Barat berlangsung secara bersamaan
dengan berkembangnya sekte Kalvinisme dalam agama protestan. Argument
Weber adalah sebagai berikut: ajaran kalvinisme mengharuskan umatnya untuk
menjadikan dunia tempat yang makmur, sesuatu yang hanya dapat dicapai dengan
kerja keras. Karena umat kalvinisme bekerja keras, antara lain dengan harapan
bahwa kemakmuran merupakan tanda baik yeng mereka harapkan dapat
menuntun mereka kearah surge, maka mereka pu menjadi makmur. Sumbangan
Weber yang tidak kalah penting adalah kajian mengenai konsep dasar Sosiologi.
Dalam uraian ini Weber menyebutkan pula bahwa Sosiologi adalah ilmu yang
berupaya memahami tindakan sosial ( Sunarto, 2000:7). Selain itu menurut Weber
Sosiologi bertigas untuk “melayani “ sejarah. Weber menjelaskan perbedaan
antara Sosiologi dengan sejarah adalah Sosiologi berusaha merumuskan konsep
tipe dan keseragaman umum proses-proses empiris, sedangkan sejarah lebih
berorientasi pada analisis kasual dan penjelasan atas tindakan, struktur, dan
kepribadian individu yang memiliki signifikansi kultural. Sosiologi lebih
berorientasi pada pengembangan konsep yang jelas sehingga dia dapat melakukan
analisis kausal terhadap fenomena sejarah. Pemikiran Weber tentang Sosiologi
terutama dibangun oleh serangkain debat intelekyual yang berlangsu di Jerman
pada masanya. Perbedaan bedat in berlangsung antara kubu postivis yang
memandang sejarah tersusun berdasarkan hokum-hukum umum dengan kubu
subjektivis yang menciutkan sejarah menjadi sekedar tindakan dan peristiwa
idiosinkratis. Weber menolak kedua kutub ekstrem tersebut dan berusaha
mengembangkan cara sendiri untuk menangani sosiologi historis, menurut Weber,
sejarah terdiri dari sejumlah peristiwa empiris unik, tidak mungkin ada
generalisasi pada level empiris. Dengan demikian sosiolog harus memisahkan
dunia empiris dari jagat konseptual yang mereka bangun. Konsep ini tidak pernah
sepenuhnya mampu memahami dunia empiris, namun yang lebih baik atas
realitas ( Ritzer dan Goodma, 2010:122-123).
Walaupun Weber berada pada posisi bertentangan, Weber secara terangterangan menyatakan bahwa dia berpegang teguh pada metode “ individualis”.
Weber mengkerdilkan konsep kolektivis menjadi sekedar pola-pola dan
rehularitas tindakan individu. Pada level individu, Weber memberikan
perhatiannya pada makna dan bagaimana makna terbentuk. Dalam metodologi
individualis, Wener tertarik untuk mereduksi aktivitas menjadi tindakan individu.
Namun kebanyakan sosiologi substantifnys ( seperti akan kita ketahui), Weber
memfokuskan perhatiannya pada struktur skala besar ( seperti birokrasi dan
kapitalisme) dan tidak memberikan perhatiannya secara langsung pada apa yang
dilakukan individu atau mengapa mereka melakukannya. Striktur-struktur
tersebut oleh Weber tidak dapat dikerdilkan menjadi tindakan individu, dan
tindakan-tindakan mereka yang ada didalamua ditentukan oleh struktur, bukan
oleh motif mereka. Dengan latar belakang ini Weber mendefinisikan Sosiologi
adalah ilmu yang memusatkan perhatiannya pada pemahaman interpresif atas
tindakan sosial dan pada penjelasan kausal atas proses dan konsekuensi tindakan
tersebut ( Ritzer dan Goodman, 2010:135-136).
B. Tindakan Sosial
Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kunt. Menurut
Kunt paradigma adalah suatu kerangka referensi atau pandangan dunia
menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Kunt juga menjelaskan
tentang perubahan paradigma , yang menurutnya displin ilmu lahir sebagai
suatu proses revolusi, bisa jadi suatu pandangan teori ditumbangkan oleh
pandangan teori yang baru ( Ritzer dan Goodman, 2010: 697). Sedangkan
pengertian menurut Ritzer , Paradigma adalah pandangan yang mendasar dari
ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya
dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan ( disiplin ilmu). Paradigma
membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalanpersoalan apa yang mesti dijawab, bagaimana seharusnya menjawab, serta
aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterprestasikan informasi
yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tesebut (
Ritzer, 1985: 8)
Ada tiga paradigma yang mendominasi sosiologi, dengan paradigma
lain yang mengandung potensi untuk meraih status paradigmatic. Ketiga
paradigma tersebut adalah paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial,
dan paradigma perilaku sosial. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
paradigma definisi sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Max Weber
untuk menganalisa tindakan sosial ( social action). Bagi Weber pokok
persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar
hubungan sosial, dimana tindakan yang penuh arti itu didefinisikan untuk
sampai pada penjelasan kausal. Struktur dan pranata sosial membantu untuk
membentuk tindakan sosial yang penuh arti. Perkembangnnya dari suatu
hubungan sosial itu dimana ketika dia mengambil manfaat dari tindakan itu
sendiri dalam perjalanan waktu. Tindakan sosial itu adalah tindakan individu
sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya
dan diarahkan kepada tindakan orang lain dan juga sebaliknya ( Ritzer, 1985:
43-44).
Bertolak dari konsep dasar tentang
tindakan sosial dan antar
hubungan sosial itu, Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi
sasaran peneliti sosiologi, yaitu:
1. Tindakan manusia yang mengandung makna subyektif, yang
meliputi berbagai tindakan nyata.
2. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan
bersifat subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari
suatu situasi,
tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk
persetujuan secara diam-diam.
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa
individu
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah
kepada orang lain.
Keseluruhan sosiologi Weber didasarkan pada pemahamannya tentang
tindakan sosial. Dia membedakan tindakan dengan perilaku yang murni reaktif.
Konsep perilaku maksudnya adalah perilaku otomatis yang tidak melibatkan
proses pemikiran. Stimulus datang dan perilaku terjadi, dengan sedikit saja jeda
antara stimulus dan respon. perilaku semacam ini menjadi minat sosiologi Weber.
Dia memusatkan perhatiannya pada tindakanyang jelas-jelas melibatkan campur
tangan proses pemikiran ( dan tindakan bermakna yang ditimbulkan olehnya)
antara terjadinya stimulus dengan respon. secara agak berbeda tindakan dikatakan
terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka.dalam
memasukkan analisisnya ke dalam proses mental dan tindakan bermakna yang
ditimbulkannya, Weber dengan hati-hati mengatakanbahwa suatu kesalahan besar
memandang psikologi
sebagai
landasan penafsiran tindakan sosiologis.
meskipunWeber secara tersirat mengatakan bahwa ia memang mencurahkan
perhatiannya pada proses mental, sebetulnya ia tidak banyak menghabiskan waktu
membahasnya. Meskipin Weber secara tersirat mengungkapkan bahwa ia
memang mencurahkan perhatian pada proses mental, sebetulnya ia tidak
menghabiskan waktu membahasnya. Dalam teori tindakannya, tujuan Weber tak
lain adalah memfokuskan perhatiannya pada individu, pola, dan regularitas
tindakan dan bukan pada kolektivitas. Weber menggunakan tipe idealnya untuk
menjelaskan makna tindakan dengan cara mengidentifikasi emapat tipe tindakan
dasar, yaitu: rasionalitas sarana atau tujuan atau tindakan “ yang ditentukan oleh
harapan terhadap perilaku obyek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain,
harapan-harapan ini digunakan sebagai „syarat‟ atau „sarana‟ untuk mencapai
tujuan –tujuan lewat upaya dan perhitungan yang rasional. Yang kedua rasinalitas
nilai atau tindakan yang “ ditemtukan oleh keyakinan penuh kesadara akan nilai
perilaku- perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain yang terlepas dari
prospek keberhasilannya. Yang ketiga adalah tindaka afektual ( yang hanya
sedikit diperhatika Weber) ditentukan oleh kondisi emosi aktor, dan yang
keempat adalah tindakan tradisional ( yang lebih mendapat tempat dalam karya
Weber) ditemtukan oleh carabertindak aktor yang biasa dan telah lazim
dilakukan. Meskipun Weber membedakan empat bentuk tindakan ideal-tipikal, ia
sepenuhnya sadar bahwa tindakan tertentu biasanya terdiri dari kombinasi dari
keempat tipe tindakan ideal tersebut ( Ritzer dan Goodma, 2010: 136-138).
C. Tipe-tipe tindakan sosial
Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya ke dalam 4
tipe, semakin rasional tindakan sosial iti maka akan semakin mudah difahami.
Keempat tipe tindakan sosial itu adalah sebagai berikut:
1. Zwerk rational
Zwerk rational merupakan tindakan murni. Dalam tindakan ini actor
tidak hanya sekedar menilai
cara yang terbaik untuk mencapai
tujuannya tetapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Tujuan
dalan zwerk rational tidak absolute. Dia dapat juga menjadi cara dari
tujuan lain berikutnya. Bila actor berkelakuan dengan cara rasional
maka sudah memahami tindakannya itu.
2. Werktrational artion
dalam tindakan tipe ini actor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang
dipilih itu merupakan yang paling tepat ataukah lebih tepat untuk
mencapai tujuan yang lain. Ini menunjukan tujuan itu sendiri. Dalam
tindakan ini memang antar tujuan dan cara-cara mencapainya
cenderung menjadi sukar untuk dibedakan. Namun tindakan ini
rasional, karena pilihan terhadap cara-cara kiranya sudah ditentukan
tujuan yang diinginkan. Tindakan tipe kedua ini masih rasional meski
tidak
serasional
yang
pertama.
Karena
itu
dapat
dipertanggungjawabkan untuk difahami.
3. Affectual action
Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan
kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar difahami. Kurang atau tidak
rasinal.
4. Traditional action
Tindakan
yang
didasarkan
atas
kebiasaan-kebiasaan
dalam
mengerjakan sesuatu dimasa lalu saja.
Tipe tindakan yang terakir sering hanya merupakan tanggapan secara
otomatis terhadap ragsangan dari luar. Karena itu tidak termasuk ke dalam jenis
tindakan yang penuh arti yang menjadi sasaran penelitian sosiologi. Namun
demikian pada waktu tertentu kedua tipe tindakan tersebut dapat berubah menjadi
tindakan yang penuh arti sehingga dapat dipertanggungjawabkan untuk difahami.
D. Stratifikasi Sosial ( Ekonomi/kelas, status, dan kekuasaan / partai)
Max Weber termasuk diantara ilmuan sosial yang tidak sepakat dengan
penggunaan dimensi ekonomi semata-mata untuk menentukan stratifikasi sosial.
Oleh karena itu dia mengemukakan bahwa disamping stratifikasi menurut
dimensi ekonomi kita akan menjumpai pula stratifikasi menurut dimensi lain.
Dalam uraiannya mengenai persebaran kekuasaan dalam masyarakat Max Weber
memperkenalkan perbedaan antara konsep kelas, kelompok status, dan partai (
dikutip dari Gerth dan Mils, 1958: 180-195 dalam buku Sunarto, 2000: 92) yang
merupakan dasar begi pembedaannya antara tiga jenis stratifikasi sosial. Menurut
Weber kelas ditamdai oleh beberapa hal. Pertama kelas merupakan sejumlah
orang yang mempunyai persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib (
life change): peluang untuk hidup orang tersebut ditentukan oleh kepentingan
ekonomi berupa penguasaan atas barang serta kesempatan untuke memperoleh
penghasilan dalam pasaran komoditas atau pasaran kerja. Sebagai akibat dari
dipunyainya persamaan peluang untuk menguasai barang dan jasa sehingga
diperoleh penghasilan tertentu, maka orang yang berada dikelas yang sama
mempunyai persamaan apa yang oleh Weber dinamakan situasi kelas, yaitu
persamaan dalam hal peluang untuk menguasai persediaan barang, pengalaman
hidup pribadi, atau cara hidup. Menurut Weber kategori dasar untuk membedakan
kelas adalah kekayaan yang dimiliki dan faktor yang menciptakan kelas adalah
kepentingan ekonomi. Yang kedua adalah dimensi lain yang meurut Weber
digunakan orang untuk membeda-bedakan anggota masyarakat adalah dimensi
kehormatan ( menurut Weber manusia dikelompokkan dalam kelompok status (
status group) yang menurutnya laksana komunitas yang tidak terbentuk.
Kelompok status merupakan orang yang berada dalam situasi status yang sama,
yaitu orang yang peluang hidup atau nasibnya ditentukan oleh ukuran kehormatan
tertentu, misalkan garis keturunan ningrat atau raja. Weber mengungkapkan
bahwa persamaan kehormatan status terutama dinyatakan melalui persamaan gaya
hidup (life of style). Dibidang pergaulan gaya hidup ini dapat derwujud
pembatasan terhadap pergaulan erat dengan orang lain yang statusnya lebih
rendah. Para anggota dalam suatu kelompok status, misalnya cenderung
menjalankan endogamy, pernikahan dengan orang dari kelompok lebih rendah
cenderung dihindari. Selain adanya pembatasan pergaulan menurut Weber
kelompok status ditandai pula dengan adanya berbagai hal istimewa dan
monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun material. Kelompok status
dibeda-bedakan atas dasar gaya hidup yang tersermin dalam gaya konsumsi.
Weber mengemukakan bahwa kelompok status merupakan pendukung adat, yang
menciptakandan melestarikan semua adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
Yang ketiga menurut Weber adalah masyarakat dapat dibeda-bedakan
pula berdasarkan kekuasaan yang dipunyai. Weber mengemukakan bahwa partai
merupakan suatu gejala yang melibatkan tatanan kekuasaan. Kekuasaan
didefinisikan Weber sebagai peluang bagi seseorang atau sejumlah orang untuk
mewujudkan keinginannya sendiri melalui suatu tindakan komunal meskipun
mengalami pertentangan dari orang lain yang ikut serta dalam tindakan komunal
itu (Weber, 1920: 180 dalam Sunarto, 2000: 94). Menurut Weber partai
diorientasikan pada diperolehnya kekuasaan sosial yaitu pada dipengaruhinya
tindakan bersama untuk mencapai tujuan yany terencana. Cara yang ditempuh
partai untuk memperoleh kekuasaan berbeda-beda, ada yang menggunakan
kekerasan fisik, ada yang berusaha memperoleh dukungan suara dengan memakai
berbagai cara seperti uang, pengaruh sosial, pemberian saran, tipu daya, dan
sebagainya. Suatu hal yang ditekankan Weber adalah adanya kemingkinan adanya
hubungan antara kedudukan menurut beberapa dimensi. Maksudnya seseorang
mempunyai kekuasaan politik mungkin saja menduduki kehormatan dalam hirarki
status dan bahkan menduduki hirarki tertinggi dalam kelas. Kebalikannya
demikian pula dengam ada orang miskin yang kedudukannya tidak terpandang
dan tidak memiliki kekuasaan apapun.
E. Tipe-tipe otoritas
Minat sosiologis Weber terhadap struktur otoritas dimotivasi, paling tidak
sebagian, kepentingan politiknya. Weber mencatat bahwa struktur otoritas hadir
disetiap institusi sosial dan pandangan politiknya terkait dengan analisis struktur
ini pada semua setting. Weber selalu mengawali analisisnya tentang struktur
otoritas dengan asumsinya tentang hakekat dan sifat dasar tindakan. Yang
menarik perhatian Weber adalah bentuk dominasi yang sah, atau yang disebut
dengan otoritas. Yang menjadi pokok perhatian Weber, yang sangat penting
dalam sebagian besar pemikiran sosiologisnya adalah tiga dasar yang digunakan
para pengikutnya untuk melegitimiasi sebuah otoritas ( Ritzer dan Goodman,
2010:139-140). Ketiga dasa atau tipe-tipe otoritas yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Otoritas rasional atau legal
Otoritas legal dapat memiliki beragam bentuk structural, namun bentuk
yang paling menarik
perhatian Weber adalah birolkrasi yang dia
pandang sebagai “ tipe paling murni dari dijalankannya otoritas legal”.
Tipe-tipe ideal birokrasi menurut Weber adalah : dari sudut pandang
teknis murni, birokrasi mampu mencapai tingkat efesiensi tertinggi dan
dalam hal ini secara formal dikenal sebagai sarana paling rasional untuk
menjalankan otoritas terhadap manusia. Borikrasi lebih tinggi dari
bentuk lain dalam sosial presisi, stabilitas, dan kerataan disiplin, dan
kepercayaannya. Birokrasi membuka kemungkinan bagi tingginya
tingkat kalkulabilitas hasil bagi kepala organisasi dan bagi mereka yang
bertindak dalam Kaitan dengan ini. Akirnya birokrasi lebih tinggi dalam
hal efesiensi intensif dan cakupan operasinya dan secara formal dapat
diterapkan pada segala macam tugas administrative. Dalam bahasanya
tentang karakteristik positif birokrasi dibeberapa karyannya terdapat
kerancuan mendasar dalam bersikap terhadap karakteristik-karakteristik
tersebut. Weber tercengang oleh efek birokrasi dan lebih umum lagi,
efek rasionalisasi dunia dimana birokrasi menjadi satu-satunya
komponen, namun dia tidak melihat jalan lain. Dia menggambarkan
birokrasi sebagai butki jalan keluar, praktil tidak dapat dihancurkan, dan
disalah satu institusi yang menghancurkan begitu dia terbangun. Seiring
dengan itu dia merasa bahwa birokrat idnividu tidak mungkin lari dari
birokrasi begitu mereka terkekang.
2. Otoritas tradisional
Otoritas tradisional didasarkan pada klaim pemimpin dan keyakinan
para pengikutnya bahwa terdapat kelebihan dalam kesucian aturan dan
kekuasaan yang telah berusia tua. Pemimpin dalam sistem semacam itu
bukan penguasa superior, namun terutama merupakan pemegang jabatan
pribadi. Meskipun staff birokrasi patuh dan taat pada aturan tertulis dan
pada pemimpin, yang bertindak atas nama meraka staff pemimpin
tradisional patuh karena pemimpin memikul beban tradisi, dia tela
terpilih menduduki posisi tersebut secara tradisional. Weber tertarik
pada staff pemimpin tradisional dan bagaimana dia sesuai dengan tipe
ideal staff birokrasi. Dia menyimpulkan bahwa hal ini tidak cocok dalam
beberapa hal, karena staff tradisional tidak memiliki jabatan dengan
ranah kompetensi yang didefinisikan secara jelas, yang teikat pada
tatanan impersonal. Weber memilih dua bentuk awal otoritas tradisional,
yaitu: Gerontokrasi melibatkan kekuasaan yang dijalankan oleh orang
yang
lebih
tua,
sementara
itu
patriarkalisme
primer
adalah
kepemimpinan yang diperoleh karena pewarisan. Weber menyatakan
bahwa struktur dan pratik otoritas tradisional menjadi penghambat bagi
kelahiran struktur ekonomi rasinal, khususnya kapitalisme maupun bagi
beberapa komponen lain masyarakat rasional.
3. Otoritas karismatik
Karismatik adalah konsep yang mulai digunakan secara sangat luas.
Media baru dan public secaraumum begitu cepat menunjuk pada politisi,
bintang film, atau musisi rock sebagai individu karismatik. Maksudnya
adalah mereka adah orang yang ditopang dengan kualitas luar biasa.
Konsep karisma memainkan peran penting dalam karya Weber, namun
konsepsi ini sangat berbeda dengan yang dipegang oleh kebanyakan
orang awam saat ini. Menurut garis besar pendapat Weber tentang hal
ini, jika para pengikut mendefinisikan pemimpin mereka sebagai oramg
yang berkarisma, maka ia cenderung sebagai pemimpin karismatik
terlepas dari benar tidaknya ia memiliki cirri yang menonjol. Yang
krusial dalam proses ini adalah ketika seorang pemimpin dipisahkan dari
orang biasa dan diperlakukan seolah-olah ia memiliki kekuatan atau
kualitas supranatural atau sekurang-kurangnya kekuatan tidak lazim
yang tidak dapat dimiliki oleh orang biasa ( Miyahara, 1983 dalam
Ritzer dan Goodman, 2010:143-144)
F. Kepercayaan protestan dan Perkembangan kapitalisme
Weber menghabiskan sebagian umurnya untuk mengungkap agam terlepas
dari atau justru mungkin ketidak religiusannya, atau sebagaimana yang dia akui
sendiri, karena dia sama sekali tidak tersentuh dengan soal-soal religius. Salah
satu perhatian utamanya adalah hubungan antar berbagai agama di dunia dengan
perkembangan sistem ekonomi kapitalis yang hanya terjadi di Barat ( Schluchter,
1996, dalam Ritzer dan Goodman, 2010: 159). Karya Weber tentang agam dan
kapitalisme mencakup penelitian-penelitian sejarah lintas budaya, di sisni
sebagaimana ditempat lain, dia memakai sosiolog historis komparatif. Freund
meringkas kesalingketerkaitan rumit dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Kekuatan ekonomi mempengaruhi agama Protestan
2. Kekuatan ekonomi mempengaruhi agama selaian Protestan ( misalnya
Hinduisme, Konfusianisme, dan Taoisme)
3. Gagasan-gagasan agama mempengaruhi pikiran dan tindakan individu
khususnya pikiran dan tindakan ekonomi
4. Sistem gagasan agama meninggalkan pengaruh yang tidak sedikit di
seluruh dunia
5. Sistem gagasan agama ( khusunya agama Protestan) melahirkan akibat
yang unik di Barat dalam membantu merasionalkan sektor ekonomi dan
hampir dalam institusi lain
6. Sistem gagasan di dunia luar Barat menciptakan kendala structural
yang begitu besar bagi rasionalisasi.
Dalam karya terkenal Max Weber The Protestan and the Spirit of
Capitalism, dia melacak dampak Protestanisme aksetis, terutama Calvinisme
terhadap kelahiran semangat kapitalisme. Dalam hal ini Weber tidak secara
langsung mengkaitkan sistem gagasan etika Protestan dengan struktur sistem
kapitalis, namun dia cukup puas dengan mengkaitkan sistem ekonomi kapitalis
dengan sistem gagasan lain. Weber mengawalinya dengan menelaah dan menolak
penjelasan alternatif tentang mengapa kapitalisme tumbuh di Barat pada abad ke16 dan 17. Weber berargumen sejumlah kondisi material juga mulai pada masa
lain namun kapitalisme tidak tumbuh kala itu. Bukti yang mendukung pandangan
Weber tentang signifikansi Protestan dapat ditemukan dalam kajiannya atas
Negara-negara dengan sistem keagamaan majemuk. Ketika menelaah Negaranegata tersebut, dia menemukan bahwa para pemimpin sistem ekonomi adalah
pemimpin yang memiliki modal, pemimpin ekonomi, pekerja berketrampilan
tinggi, dan orang-orang yang memiliki keunggulan teknis dan mendapatkan
pendidikan komersial semua beragama Protestan. Ini menunjukan bahwa
Protestanisme sebab signifikan dalam pilihan, sebaliknya bahwa agama-agama
lain ( misalnya katolik Roma) gagal menghasilkan sistem gagasan yang
mendorong individu menekuni pekerjaan-pekerjaan ini. Menurut Weber semangat
kapitalisme tidak dapat didefinisikan begitu saja berdasarkan kerakusan ekonomi,
dalam banyak hal, justru sebaliknya. Dia adalah sistem etika dan etos yang
memang jadi salah satu pendorong terjadinya kesuskesan ekonomi. Dalam
masyarakat lain upaya mengejar keuntungan dipandang sebagai perbuatan
individu yang sekurang-kurangnya pasti dimotivasi oleh kerakusan. Namun
Protestanisme berhasil mengalihkan upaya mencari keuntungan menjadi semacam
jihad moral. Topangan sistem moral inilah yang secara tak terduga mendorong
terjadinya ekspansi besar-besaran dalam mencari keuntungan dan pada
hakekatnya melahirkan sistem kapitalis( Ritzer dan Goodman, 2010: 160-161).
Weber tidak hanya tertarik mendekripsikan sistem etis ini, namun juga
ingin menjelaskan penyimpangan-penyimpanganya. Dia pernah mengatakan
bahwa Protestanisme khususnya Calvinisme sangat penting bagi kelahiran
kapitasmen, namun Calvinisme tidak lagi diperlukan dalam keberlanjutan
ekonomi sistem tersebut. dalam bahasa Durkheim kapitalisme telah menjadi fakta
sosial yang bersifat eksternal dan memiliki daya paksa terhadap individu, seperti
dikemukakan Weber: kini kapitalisme adalah kosmos yang begitu luas tempat
individu-individu lahir dan yang menyajikan dirinya dihadapan mereka, paling
tidak sebagai individu sebagai wahana tempat mereka harus hidup. Dia memaksa
individu, .selama dia terlibat dalam sistem hubungan pasar, menyesuaikan diri
dengan aturan tindakan kapitalis. Poin krusial lain adalah bahwa para penganut
Calvinis tidak dengan sadar menyiptakan sistem kapitalis. Menurut Weber
kapitalisme adalah konsekuensi tak terduga dari etika Protestan. Karena dia
percaya bahwa apa yang ingin dilakukan individu dan kelompok dalam tindakan
mereka sering kali mengakibatkan berbagai konsekuensi sesuai dengan ragam
maksud mereka( Ritzer dan Goodman, 2010: 162).
Calvinisme adalah aliran Protestan yang paling menarik perhatian Weber,
karena salah satu cirri Calvinisme adalah gagasan bahwa hanya sejumlah kecil
orang terpilih yang memperoleh keselamatan. Calvinis mengembangkan gagasan
bahwa tandap dapat digunakan sebagai indicator apakah seseorang diselamatkan
atau tidak. Orang diserukan untuk bekerja keras, karena jika mereka jeli, mereka
dapat menyingkap tanda-tanda keselamatan, yang dapat ditemukan dalam
kesuksesam ekonomi. Singkat kata Calvinis diserukan untuk terlibat dalam
aktivitas intens dan duniawi dan menjadi manusia pekerja. Calvinisme sebagai
suatu etika, memerlukan control diri khususnya aktivitas bisnis. Ini bertentang
dengan gagasan Kriten pada zaman Pertengahan, dimana indivisu hanya sekedar
terlibat dalam aktivitas terisolasi ketika ada kesempatan untuk menghapus dosa
tertentu dan meningkatkan kesempatan mereka diselamatkan. Tuhan Calvinisme
tidak meminta para pengikutnya melakukan suatu pekerjaan yang baik melainkan
kehidupan kerja yang baik yang dikombinasikan ke dalam satu sistem terpadu (
Weber, 1904: 117, dalam Ritzer dan Goodman, 2010: 163). Calvinnisme
menghasilkan sistem etis dan sekelompom orang yang mulai menumbuhkan
kapitalis. Weber secara jeli meringkat pendapatnya tentang Calvinisme dan
hubungannya dengan kapitalisme adalah: “pengahargaan religius terhadap kerja
yang dilakukan tenpa henti, terus menerus, dan sistematis dalam panggilan hidup
duniawi, sebagai sarana tertinggi untuk mencapai asketisisme, dan pada saat yang
sama bukti terkuat dan paling nyata begi kelahitan kembali dan iman asli, pasti
menjadi cara terbain untuk ekspansi…. Semangat kapitalisme”. Selain kaitan umu
dengan semangat kapitalisme, Calvinisme juga memiliki yang jauh lebih spesifik,
yaitu: pertama seperti yang telah disebutkan diatas, tanpa kenal lelah kapitalis
bisa mengejar kepentingan ekonomi mereka dan merasa bahwa hal ini bukan
sekedar kepentingan sendiri melainkan tugas etis mereka. Yang kedua Calvinisme
membekali kapitalis yang tengah tumbuh dengan manusia pekerja giat, penuh
semangat dan biasanya rajin yang menjalani pekerjaannya dengan tekun sebagai
tujuan hidup yang dikehendaki oleh tuhan. Yang ketiga adalah Calvinisme
melegitimasiketimpangan sistem stratifikasi dengan memberikan kapitalis “
jaminan rasa nyaman bahwa timpangnya distribusi barang dunia ini merupakan
kemurahan special dari san Khalik ( Weber, 1904-05/1958: 117 dala Ritzer dan
Goodman, 2010: 163).
Jadi, lahirnya capitalism sangat berkaitan sekali dengan ajaran atau gagasan
dari Protestanisme atau Calvinisme. Karena dalam gagasannya penganut
Calvinicme dianjurkan untuk bekerja keras dalam bidang ekonomi sebagai bentuk
hormat kepada Tuhan mereka. Dan juga hal itu dilakukan untuk mencapai
keselamatan duniawi. Sehingga dengan adanya gagasan manusia sebagai makluk
pekerja keras, tekun dan dan penuh semangat dalam bidang bisnis ekonomi yang
menyebabkan lahirnya kapitalisme.
Daftar Pustaka
Ritzer, George. 1985. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadifma Ganda. CV.
Rajawali : Jakarta
Ritzer Goerge dan Goodman J. Douglas. 2010. Teori Sosiologi Klasik dari Teori
Sosiologi Klasi sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosiologi
Postmodern. Kreasi Wacana: Yogyakarta
Sunarto Kamanto. 2000. Pengatar Sosiologi Edisi Kedua. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta
Download