MAX WEBER Tugas Untuk Memenuhi Uji KD III Mata Kuliah Teori Sosiologi Klasik Disusun oleh : Nama : Arum Sabtorini NIM : D0310012 Jurusan : Sosiologi Fakultas : ISIP UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2013 A. Subyek Matter Max Weber lahir di Erfurt, Jerman pada tanggal 21 April 1864. Dia dari keluarga kelas menengah, perbedaan antara orang tuanya membawa dampak besar pada orientasi intelektual dan perkembangan psikologi. Ayahnya seorang birokrat yang menduduki posisi politik yang relative penting. Ibu Max Weber adalah seorang Calvins yang sangat religius, seorang perempuan yang berusahan menjalani keidupan aksetetis yang tidak banyak terlibat dalam kenikmatan duniawi yang didambakan oleh suaminya. Perbedaan tajam antara dua orang tuanya menyebabkan ketegangan rumah tangga dan perbedaan serta ketegangan tersebut membawa damapak besar bagi Weber ( Ritzer dan Goodman, 2010:124). Weber belajar hokum di Universitas Berlin dan Universitas Heidelberg dan pada tahun1889 menilis disertasi yang berjudul A Contributing to the History of Mediival Business Organizattions. Setelah menyelesaikan studinya dia mengawali kariernya sebagai dosen ilmu hokum, mula-mula di Universitas Berlin, kemudian di Universitas Freiburg, dan setelah itu di Universitas Heidelburg. Menjelang akir masa hidupnya dia pun berperan sebagai konsulta dan peneliti, dan semasa Perang Dunia I dia mengabdi di angkatan bersenjata Jerman. Weber merupakan seorang ilmuwan yang sangat produktif dan dia menulis sejumlah buku dan makalah. Salah satu bukunya yang terkenal adalah The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism ( 1904). Dalam buku ini dia mengemukakan tesisnya yang terkenal mengenai keterkaitan antara Etika Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat. Menurut Weber muncul dan berkemangnya kapitalisme di Eropa Barat berlangsung secara bersamaan dengan berkembangnya sekte Kalvinisme dalam agama protestan. Argument Weber adalah sebagai berikut: ajaran kalvinisme mengharuskan umatnya untuk menjadikan dunia tempat yang makmur, sesuatu yang hanya dapat dicapai dengan kerja keras. Karena umat kalvinisme bekerja keras, antara lain dengan harapan bahwa kemakmuran merupakan tanda baik yeng mereka harapkan dapat menuntun mereka kearah surge, maka mereka pu menjadi makmur. Sumbangan Weber yang tidak kalah penting adalah kajian mengenai konsep dasar Sosiologi. Dalam uraian ini Weber menyebutkan pula bahwa Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan sosial ( Sunarto, 2000:7). Selain itu menurut Weber Sosiologi bertigas untuk “melayani “ sejarah. Weber menjelaskan perbedaan antara Sosiologi dengan sejarah adalah Sosiologi berusaha merumuskan konsep tipe dan keseragaman umum proses-proses empiris, sedangkan sejarah lebih berorientasi pada analisis kasual dan penjelasan atas tindakan, struktur, dan kepribadian individu yang memiliki signifikansi kultural. Sosiologi lebih berorientasi pada pengembangan konsep yang jelas sehingga dia dapat melakukan analisis kausal terhadap fenomena sejarah. Pemikiran Weber tentang Sosiologi terutama dibangun oleh serangkain debat intelekyual yang berlangsu di Jerman pada masanya. Perbedaan bedat in berlangsung antara kubu postivis yang memandang sejarah tersusun berdasarkan hokum-hukum umum dengan kubu subjektivis yang menciutkan sejarah menjadi sekedar tindakan dan peristiwa idiosinkratis. Weber menolak kedua kutub ekstrem tersebut dan berusaha mengembangkan cara sendiri untuk menangani sosiologi historis, menurut Weber, sejarah terdiri dari sejumlah peristiwa empiris unik, tidak mungkin ada generalisasi pada level empiris. Dengan demikian sosiolog harus memisahkan dunia empiris dari jagat konseptual yang mereka bangun. Konsep ini tidak pernah sepenuhnya mampu memahami dunia empiris, namun yang lebih baik atas realitas ( Ritzer dan Goodma, 2010:122-123). Walaupun Weber berada pada posisi bertentangan, Weber secara terangterangan menyatakan bahwa dia berpegang teguh pada metode “ individualis”. Weber mengkerdilkan konsep kolektivis menjadi sekedar pola-pola dan rehularitas tindakan individu. Pada level individu, Weber memberikan perhatiannya pada makna dan bagaimana makna terbentuk. Dalam metodologi individualis, Wener tertarik untuk mereduksi aktivitas menjadi tindakan individu. Namun kebanyakan sosiologi substantifnys ( seperti akan kita ketahui), Weber memfokuskan perhatiannya pada struktur skala besar ( seperti birokrasi dan kapitalisme) dan tidak memberikan perhatiannya secara langsung pada apa yang dilakukan individu atau mengapa mereka melakukannya. Striktur-struktur tersebut oleh Weber tidak dapat dikerdilkan menjadi tindakan individu, dan tindakan-tindakan mereka yang ada didalamua ditentukan oleh struktur, bukan oleh motif mereka. Dengan latar belakang ini Weber mendefinisikan Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatiannya pada pemahaman interpresif atas tindakan sosial dan pada penjelasan kausal atas proses dan konsekuensi tindakan tersebut ( Ritzer dan Goodman, 2010:135-136). B. Tindakan Sosial Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kunt. Menurut Kunt paradigma adalah suatu kerangka referensi atau pandangan dunia menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Kunt juga menjelaskan tentang perubahan paradigma , yang menurutnya displin ilmu lahir sebagai suatu proses revolusi, bisa jadi suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru ( Ritzer dan Goodman, 2010: 697). Sedangkan pengertian menurut Ritzer , Paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan ( disiplin ilmu). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalanpersoalan apa yang mesti dijawab, bagaimana seharusnya menjawab, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterprestasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tesebut ( Ritzer, 1985: 8) Ada tiga paradigma yang mendominasi sosiologi, dengan paradigma lain yang mengandung potensi untuk meraih status paradigmatic. Ketiga paradigma tersebut adalah paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan paradigma definisi sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial ( social action). Bagi Weber pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana tindakan yang penuh arti itu didefinisikan untuk sampai pada penjelasan kausal. Struktur dan pranata sosial membantu untuk membentuk tindakan sosial yang penuh arti. Perkembangnnya dari suatu hubungan sosial itu dimana ketika dia mengambil manfaat dari tindakan itu sendiri dalam perjalanan waktu. Tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain dan juga sebaliknya ( Ritzer, 1985: 43-44). Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial itu, Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran peneliti sosiologi, yaitu: 1. Tindakan manusia yang mengandung makna subyektif, yang meliputi berbagai tindakan nyata. 2. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif. 3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam. 4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu 5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain. Keseluruhan sosiologi Weber didasarkan pada pemahamannya tentang tindakan sosial. Dia membedakan tindakan dengan perilaku yang murni reaktif. Konsep perilaku maksudnya adalah perilaku otomatis yang tidak melibatkan proses pemikiran. Stimulus datang dan perilaku terjadi, dengan sedikit saja jeda antara stimulus dan respon. perilaku semacam ini menjadi minat sosiologi Weber. Dia memusatkan perhatiannya pada tindakanyang jelas-jelas melibatkan campur tangan proses pemikiran ( dan tindakan bermakna yang ditimbulkan olehnya) antara terjadinya stimulus dengan respon. secara agak berbeda tindakan dikatakan terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka.dalam memasukkan analisisnya ke dalam proses mental dan tindakan bermakna yang ditimbulkannya, Weber dengan hati-hati mengatakanbahwa suatu kesalahan besar memandang psikologi sebagai landasan penafsiran tindakan sosiologis. meskipunWeber secara tersirat mengatakan bahwa ia memang mencurahkan perhatiannya pada proses mental, sebetulnya ia tidak banyak menghabiskan waktu membahasnya. Meskipin Weber secara tersirat mengungkapkan bahwa ia memang mencurahkan perhatian pada proses mental, sebetulnya ia tidak menghabiskan waktu membahasnya. Dalam teori tindakannya, tujuan Weber tak lain adalah memfokuskan perhatiannya pada individu, pola, dan regularitas tindakan dan bukan pada kolektivitas. Weber menggunakan tipe idealnya untuk menjelaskan makna tindakan dengan cara mengidentifikasi emapat tipe tindakan dasar, yaitu: rasionalitas sarana atau tujuan atau tindakan “ yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku obyek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain, harapan-harapan ini digunakan sebagai „syarat‟ atau „sarana‟ untuk mencapai tujuan –tujuan lewat upaya dan perhitungan yang rasional. Yang kedua rasinalitas nilai atau tindakan yang “ ditemtukan oleh keyakinan penuh kesadara akan nilai perilaku- perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain yang terlepas dari prospek keberhasilannya. Yang ketiga adalah tindaka afektual ( yang hanya sedikit diperhatika Weber) ditentukan oleh kondisi emosi aktor, dan yang keempat adalah tindakan tradisional ( yang lebih mendapat tempat dalam karya Weber) ditemtukan oleh carabertindak aktor yang biasa dan telah lazim dilakukan. Meskipun Weber membedakan empat bentuk tindakan ideal-tipikal, ia sepenuhnya sadar bahwa tindakan tertentu biasanya terdiri dari kombinasi dari keempat tipe tindakan ideal tersebut ( Ritzer dan Goodma, 2010: 136-138). C. Tipe-tipe tindakan sosial Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya ke dalam 4 tipe, semakin rasional tindakan sosial iti maka akan semakin mudah difahami. Keempat tipe tindakan sosial itu adalah sebagai berikut: 1. Zwerk rational Zwerk rational merupakan tindakan murni. Dalam tindakan ini actor tidak hanya sekedar menilai cara yang terbaik untuk mencapai tujuannya tetapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Tujuan dalan zwerk rational tidak absolute. Dia dapat juga menjadi cara dari tujuan lain berikutnya. Bila actor berkelakuan dengan cara rasional maka sudah memahami tindakannya itu. 2. Werktrational artion dalam tindakan tipe ini actor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilih itu merupakan yang paling tepat ataukah lebih tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Ini menunjukan tujuan itu sendiri. Dalam tindakan ini memang antar tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk dibedakan. Namun tindakan ini rasional, karena pilihan terhadap cara-cara kiranya sudah ditentukan tujuan yang diinginkan. Tindakan tipe kedua ini masih rasional meski tidak serasional yang pertama. Karena itu dapat dipertanggungjawabkan untuk difahami. 3. Affectual action Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar difahami. Kurang atau tidak rasinal. 4. Traditional action Tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu dimasa lalu saja. Tipe tindakan yang terakir sering hanya merupakan tanggapan secara otomatis terhadap ragsangan dari luar. Karena itu tidak termasuk ke dalam jenis tindakan yang penuh arti yang menjadi sasaran penelitian sosiologi. Namun demikian pada waktu tertentu kedua tipe tindakan tersebut dapat berubah menjadi tindakan yang penuh arti sehingga dapat dipertanggungjawabkan untuk difahami. D. Stratifikasi Sosial ( Ekonomi/kelas, status, dan kekuasaan / partai) Max Weber termasuk diantara ilmuan sosial yang tidak sepakat dengan penggunaan dimensi ekonomi semata-mata untuk menentukan stratifikasi sosial. Oleh karena itu dia mengemukakan bahwa disamping stratifikasi menurut dimensi ekonomi kita akan menjumpai pula stratifikasi menurut dimensi lain. Dalam uraiannya mengenai persebaran kekuasaan dalam masyarakat Max Weber memperkenalkan perbedaan antara konsep kelas, kelompok status, dan partai ( dikutip dari Gerth dan Mils, 1958: 180-195 dalam buku Sunarto, 2000: 92) yang merupakan dasar begi pembedaannya antara tiga jenis stratifikasi sosial. Menurut Weber kelas ditamdai oleh beberapa hal. Pertama kelas merupakan sejumlah orang yang mempunyai persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib ( life change): peluang untuk hidup orang tersebut ditentukan oleh kepentingan ekonomi berupa penguasaan atas barang serta kesempatan untuke memperoleh penghasilan dalam pasaran komoditas atau pasaran kerja. Sebagai akibat dari dipunyainya persamaan peluang untuk menguasai barang dan jasa sehingga diperoleh penghasilan tertentu, maka orang yang berada dikelas yang sama mempunyai persamaan apa yang oleh Weber dinamakan situasi kelas, yaitu persamaan dalam hal peluang untuk menguasai persediaan barang, pengalaman hidup pribadi, atau cara hidup. Menurut Weber kategori dasar untuk membedakan kelas adalah kekayaan yang dimiliki dan faktor yang menciptakan kelas adalah kepentingan ekonomi. Yang kedua adalah dimensi lain yang meurut Weber digunakan orang untuk membeda-bedakan anggota masyarakat adalah dimensi kehormatan ( menurut Weber manusia dikelompokkan dalam kelompok status ( status group) yang menurutnya laksana komunitas yang tidak terbentuk. Kelompok status merupakan orang yang berada dalam situasi status yang sama, yaitu orang yang peluang hidup atau nasibnya ditentukan oleh ukuran kehormatan tertentu, misalkan garis keturunan ningrat atau raja. Weber mengungkapkan bahwa persamaan kehormatan status terutama dinyatakan melalui persamaan gaya hidup (life of style). Dibidang pergaulan gaya hidup ini dapat derwujud pembatasan terhadap pergaulan erat dengan orang lain yang statusnya lebih rendah. Para anggota dalam suatu kelompok status, misalnya cenderung menjalankan endogamy, pernikahan dengan orang dari kelompok lebih rendah cenderung dihindari. Selain adanya pembatasan pergaulan menurut Weber kelompok status ditandai pula dengan adanya berbagai hal istimewa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun material. Kelompok status dibeda-bedakan atas dasar gaya hidup yang tersermin dalam gaya konsumsi. Weber mengemukakan bahwa kelompok status merupakan pendukung adat, yang menciptakandan melestarikan semua adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Yang ketiga menurut Weber adalah masyarakat dapat dibeda-bedakan pula berdasarkan kekuasaan yang dipunyai. Weber mengemukakan bahwa partai merupakan suatu gejala yang melibatkan tatanan kekuasaan. Kekuasaan didefinisikan Weber sebagai peluang bagi seseorang atau sejumlah orang untuk mewujudkan keinginannya sendiri melalui suatu tindakan komunal meskipun mengalami pertentangan dari orang lain yang ikut serta dalam tindakan komunal itu (Weber, 1920: 180 dalam Sunarto, 2000: 94). Menurut Weber partai diorientasikan pada diperolehnya kekuasaan sosial yaitu pada dipengaruhinya tindakan bersama untuk mencapai tujuan yany terencana. Cara yang ditempuh partai untuk memperoleh kekuasaan berbeda-beda, ada yang menggunakan kekerasan fisik, ada yang berusaha memperoleh dukungan suara dengan memakai berbagai cara seperti uang, pengaruh sosial, pemberian saran, tipu daya, dan sebagainya. Suatu hal yang ditekankan Weber adalah adanya kemingkinan adanya hubungan antara kedudukan menurut beberapa dimensi. Maksudnya seseorang mempunyai kekuasaan politik mungkin saja menduduki kehormatan dalam hirarki status dan bahkan menduduki hirarki tertinggi dalam kelas. Kebalikannya demikian pula dengam ada orang miskin yang kedudukannya tidak terpandang dan tidak memiliki kekuasaan apapun. E. Tipe-tipe otoritas Minat sosiologis Weber terhadap struktur otoritas dimotivasi, paling tidak sebagian, kepentingan politiknya. Weber mencatat bahwa struktur otoritas hadir disetiap institusi sosial dan pandangan politiknya terkait dengan analisis struktur ini pada semua setting. Weber selalu mengawali analisisnya tentang struktur otoritas dengan asumsinya tentang hakekat dan sifat dasar tindakan. Yang menarik perhatian Weber adalah bentuk dominasi yang sah, atau yang disebut dengan otoritas. Yang menjadi pokok perhatian Weber, yang sangat penting dalam sebagian besar pemikiran sosiologisnya adalah tiga dasar yang digunakan para pengikutnya untuk melegitimiasi sebuah otoritas ( Ritzer dan Goodman, 2010:139-140). Ketiga dasa atau tipe-tipe otoritas yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Otoritas rasional atau legal Otoritas legal dapat memiliki beragam bentuk structural, namun bentuk yang paling menarik perhatian Weber adalah birolkrasi yang dia pandang sebagai “ tipe paling murni dari dijalankannya otoritas legal”. Tipe-tipe ideal birokrasi menurut Weber adalah : dari sudut pandang teknis murni, birokrasi mampu mencapai tingkat efesiensi tertinggi dan dalam hal ini secara formal dikenal sebagai sarana paling rasional untuk menjalankan otoritas terhadap manusia. Borikrasi lebih tinggi dari bentuk lain dalam sosial presisi, stabilitas, dan kerataan disiplin, dan kepercayaannya. Birokrasi membuka kemungkinan bagi tingginya tingkat kalkulabilitas hasil bagi kepala organisasi dan bagi mereka yang bertindak dalam Kaitan dengan ini. Akirnya birokrasi lebih tinggi dalam hal efesiensi intensif dan cakupan operasinya dan secara formal dapat diterapkan pada segala macam tugas administrative. Dalam bahasanya tentang karakteristik positif birokrasi dibeberapa karyannya terdapat kerancuan mendasar dalam bersikap terhadap karakteristik-karakteristik tersebut. Weber tercengang oleh efek birokrasi dan lebih umum lagi, efek rasionalisasi dunia dimana birokrasi menjadi satu-satunya komponen, namun dia tidak melihat jalan lain. Dia menggambarkan birokrasi sebagai butki jalan keluar, praktil tidak dapat dihancurkan, dan disalah satu institusi yang menghancurkan begitu dia terbangun. Seiring dengan itu dia merasa bahwa birokrat idnividu tidak mungkin lari dari birokrasi begitu mereka terkekang. 2. Otoritas tradisional Otoritas tradisional didasarkan pada klaim pemimpin dan keyakinan para pengikutnya bahwa terdapat kelebihan dalam kesucian aturan dan kekuasaan yang telah berusia tua. Pemimpin dalam sistem semacam itu bukan penguasa superior, namun terutama merupakan pemegang jabatan pribadi. Meskipun staff birokrasi patuh dan taat pada aturan tertulis dan pada pemimpin, yang bertindak atas nama meraka staff pemimpin tradisional patuh karena pemimpin memikul beban tradisi, dia tela terpilih menduduki posisi tersebut secara tradisional. Weber tertarik pada staff pemimpin tradisional dan bagaimana dia sesuai dengan tipe ideal staff birokrasi. Dia menyimpulkan bahwa hal ini tidak cocok dalam beberapa hal, karena staff tradisional tidak memiliki jabatan dengan ranah kompetensi yang didefinisikan secara jelas, yang teikat pada tatanan impersonal. Weber memilih dua bentuk awal otoritas tradisional, yaitu: Gerontokrasi melibatkan kekuasaan yang dijalankan oleh orang yang lebih tua, sementara itu patriarkalisme primer adalah kepemimpinan yang diperoleh karena pewarisan. Weber menyatakan bahwa struktur dan pratik otoritas tradisional menjadi penghambat bagi kelahiran struktur ekonomi rasinal, khususnya kapitalisme maupun bagi beberapa komponen lain masyarakat rasional. 3. Otoritas karismatik Karismatik adalah konsep yang mulai digunakan secara sangat luas. Media baru dan public secaraumum begitu cepat menunjuk pada politisi, bintang film, atau musisi rock sebagai individu karismatik. Maksudnya adalah mereka adah orang yang ditopang dengan kualitas luar biasa. Konsep karisma memainkan peran penting dalam karya Weber, namun konsepsi ini sangat berbeda dengan yang dipegang oleh kebanyakan orang awam saat ini. Menurut garis besar pendapat Weber tentang hal ini, jika para pengikut mendefinisikan pemimpin mereka sebagai oramg yang berkarisma, maka ia cenderung sebagai pemimpin karismatik terlepas dari benar tidaknya ia memiliki cirri yang menonjol. Yang krusial dalam proses ini adalah ketika seorang pemimpin dipisahkan dari orang biasa dan diperlakukan seolah-olah ia memiliki kekuatan atau kualitas supranatural atau sekurang-kurangnya kekuatan tidak lazim yang tidak dapat dimiliki oleh orang biasa ( Miyahara, 1983 dalam Ritzer dan Goodman, 2010:143-144) F. Kepercayaan protestan dan Perkembangan kapitalisme Weber menghabiskan sebagian umurnya untuk mengungkap agam terlepas dari atau justru mungkin ketidak religiusannya, atau sebagaimana yang dia akui sendiri, karena dia sama sekali tidak tersentuh dengan soal-soal religius. Salah satu perhatian utamanya adalah hubungan antar berbagai agama di dunia dengan perkembangan sistem ekonomi kapitalis yang hanya terjadi di Barat ( Schluchter, 1996, dalam Ritzer dan Goodman, 2010: 159). Karya Weber tentang agam dan kapitalisme mencakup penelitian-penelitian sejarah lintas budaya, di sisni sebagaimana ditempat lain, dia memakai sosiolog historis komparatif. Freund meringkas kesalingketerkaitan rumit dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Kekuatan ekonomi mempengaruhi agama Protestan 2. Kekuatan ekonomi mempengaruhi agama selaian Protestan ( misalnya Hinduisme, Konfusianisme, dan Taoisme) 3. Gagasan-gagasan agama mempengaruhi pikiran dan tindakan individu khususnya pikiran dan tindakan ekonomi 4. Sistem gagasan agama meninggalkan pengaruh yang tidak sedikit di seluruh dunia 5. Sistem gagasan agama ( khusunya agama Protestan) melahirkan akibat yang unik di Barat dalam membantu merasionalkan sektor ekonomi dan hampir dalam institusi lain 6. Sistem gagasan di dunia luar Barat menciptakan kendala structural yang begitu besar bagi rasionalisasi. Dalam karya terkenal Max Weber The Protestan and the Spirit of Capitalism, dia melacak dampak Protestanisme aksetis, terutama Calvinisme terhadap kelahiran semangat kapitalisme. Dalam hal ini Weber tidak secara langsung mengkaitkan sistem gagasan etika Protestan dengan struktur sistem kapitalis, namun dia cukup puas dengan mengkaitkan sistem ekonomi kapitalis dengan sistem gagasan lain. Weber mengawalinya dengan menelaah dan menolak penjelasan alternatif tentang mengapa kapitalisme tumbuh di Barat pada abad ke16 dan 17. Weber berargumen sejumlah kondisi material juga mulai pada masa lain namun kapitalisme tidak tumbuh kala itu. Bukti yang mendukung pandangan Weber tentang signifikansi Protestan dapat ditemukan dalam kajiannya atas Negara-negara dengan sistem keagamaan majemuk. Ketika menelaah Negaranegata tersebut, dia menemukan bahwa para pemimpin sistem ekonomi adalah pemimpin yang memiliki modal, pemimpin ekonomi, pekerja berketrampilan tinggi, dan orang-orang yang memiliki keunggulan teknis dan mendapatkan pendidikan komersial semua beragama Protestan. Ini menunjukan bahwa Protestanisme sebab signifikan dalam pilihan, sebaliknya bahwa agama-agama lain ( misalnya katolik Roma) gagal menghasilkan sistem gagasan yang mendorong individu menekuni pekerjaan-pekerjaan ini. Menurut Weber semangat kapitalisme tidak dapat didefinisikan begitu saja berdasarkan kerakusan ekonomi, dalam banyak hal, justru sebaliknya. Dia adalah sistem etika dan etos yang memang jadi salah satu pendorong terjadinya kesuskesan ekonomi. Dalam masyarakat lain upaya mengejar keuntungan dipandang sebagai perbuatan individu yang sekurang-kurangnya pasti dimotivasi oleh kerakusan. Namun Protestanisme berhasil mengalihkan upaya mencari keuntungan menjadi semacam jihad moral. Topangan sistem moral inilah yang secara tak terduga mendorong terjadinya ekspansi besar-besaran dalam mencari keuntungan dan pada hakekatnya melahirkan sistem kapitalis( Ritzer dan Goodman, 2010: 160-161). Weber tidak hanya tertarik mendekripsikan sistem etis ini, namun juga ingin menjelaskan penyimpangan-penyimpanganya. Dia pernah mengatakan bahwa Protestanisme khususnya Calvinisme sangat penting bagi kelahiran kapitasmen, namun Calvinisme tidak lagi diperlukan dalam keberlanjutan ekonomi sistem tersebut. dalam bahasa Durkheim kapitalisme telah menjadi fakta sosial yang bersifat eksternal dan memiliki daya paksa terhadap individu, seperti dikemukakan Weber: kini kapitalisme adalah kosmos yang begitu luas tempat individu-individu lahir dan yang menyajikan dirinya dihadapan mereka, paling tidak sebagai individu sebagai wahana tempat mereka harus hidup. Dia memaksa individu, .selama dia terlibat dalam sistem hubungan pasar, menyesuaikan diri dengan aturan tindakan kapitalis. Poin krusial lain adalah bahwa para penganut Calvinis tidak dengan sadar menyiptakan sistem kapitalis. Menurut Weber kapitalisme adalah konsekuensi tak terduga dari etika Protestan. Karena dia percaya bahwa apa yang ingin dilakukan individu dan kelompok dalam tindakan mereka sering kali mengakibatkan berbagai konsekuensi sesuai dengan ragam maksud mereka( Ritzer dan Goodman, 2010: 162). Calvinisme adalah aliran Protestan yang paling menarik perhatian Weber, karena salah satu cirri Calvinisme adalah gagasan bahwa hanya sejumlah kecil orang terpilih yang memperoleh keselamatan. Calvinis mengembangkan gagasan bahwa tandap dapat digunakan sebagai indicator apakah seseorang diselamatkan atau tidak. Orang diserukan untuk bekerja keras, karena jika mereka jeli, mereka dapat menyingkap tanda-tanda keselamatan, yang dapat ditemukan dalam kesuksesam ekonomi. Singkat kata Calvinis diserukan untuk terlibat dalam aktivitas intens dan duniawi dan menjadi manusia pekerja. Calvinisme sebagai suatu etika, memerlukan control diri khususnya aktivitas bisnis. Ini bertentang dengan gagasan Kriten pada zaman Pertengahan, dimana indivisu hanya sekedar terlibat dalam aktivitas terisolasi ketika ada kesempatan untuk menghapus dosa tertentu dan meningkatkan kesempatan mereka diselamatkan. Tuhan Calvinisme tidak meminta para pengikutnya melakukan suatu pekerjaan yang baik melainkan kehidupan kerja yang baik yang dikombinasikan ke dalam satu sistem terpadu ( Weber, 1904: 117, dalam Ritzer dan Goodman, 2010: 163). Calvinnisme menghasilkan sistem etis dan sekelompom orang yang mulai menumbuhkan kapitalis. Weber secara jeli meringkat pendapatnya tentang Calvinisme dan hubungannya dengan kapitalisme adalah: “pengahargaan religius terhadap kerja yang dilakukan tenpa henti, terus menerus, dan sistematis dalam panggilan hidup duniawi, sebagai sarana tertinggi untuk mencapai asketisisme, dan pada saat yang sama bukti terkuat dan paling nyata begi kelahitan kembali dan iman asli, pasti menjadi cara terbain untuk ekspansi…. Semangat kapitalisme”. Selain kaitan umu dengan semangat kapitalisme, Calvinisme juga memiliki yang jauh lebih spesifik, yaitu: pertama seperti yang telah disebutkan diatas, tanpa kenal lelah kapitalis bisa mengejar kepentingan ekonomi mereka dan merasa bahwa hal ini bukan sekedar kepentingan sendiri melainkan tugas etis mereka. Yang kedua Calvinisme membekali kapitalis yang tengah tumbuh dengan manusia pekerja giat, penuh semangat dan biasanya rajin yang menjalani pekerjaannya dengan tekun sebagai tujuan hidup yang dikehendaki oleh tuhan. Yang ketiga adalah Calvinisme melegitimasiketimpangan sistem stratifikasi dengan memberikan kapitalis “ jaminan rasa nyaman bahwa timpangnya distribusi barang dunia ini merupakan kemurahan special dari san Khalik ( Weber, 1904-05/1958: 117 dala Ritzer dan Goodman, 2010: 163). Jadi, lahirnya capitalism sangat berkaitan sekali dengan ajaran atau gagasan dari Protestanisme atau Calvinisme. Karena dalam gagasannya penganut Calvinicme dianjurkan untuk bekerja keras dalam bidang ekonomi sebagai bentuk hormat kepada Tuhan mereka. Dan juga hal itu dilakukan untuk mencapai keselamatan duniawi. Sehingga dengan adanya gagasan manusia sebagai makluk pekerja keras, tekun dan dan penuh semangat dalam bidang bisnis ekonomi yang menyebabkan lahirnya kapitalisme. Daftar Pustaka Ritzer, George. 1985. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadifma Ganda. CV. Rajawali : Jakarta Ritzer Goerge dan Goodman J. Douglas. 2010. Teori Sosiologi Klasik dari Teori Sosiologi Klasi sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosiologi Postmodern. Kreasi Wacana: Yogyakarta Sunarto Kamanto. 2000. Pengatar Sosiologi Edisi Kedua. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta