SEJARAH POLITIK UMAT ISLAM INDONESIA Perspektif

advertisement
SEJARAH POLITIK UMAT ISLAM INDONESIA
Perspektif kesejarahan politik Umat Islam Indonesia mempunyai makna penting
bagi umat Islam dalam keterlibatannya
di
pemerintahan.
Dengan
landasan mayoritas
Umat Islam mempunyai justifikasi yang besar untuk mendapatkan peran yang proporsional.
Akan tetapi dalam lintasan sejarah Indonesia Pasca Kemerdekaan, hal seperti ini tampaknya
masih diperdebatkan lebih jauh. Salah satu sebab yang signifikant dari tidak proporsionalnya
umat Islam, adalah disebabkan karena sejarah itu sendiri. Sejarah Islam Indonesia tidak
selamanya
ditampilkan dalam etos
kejuangan
ditampilkan dengan etos pemberontakan,
bangsa Indonesia, bahkan sering juga
secara fisik maupun
menggoyang konstitusi.1
Dalam pandangan Ahmad Mansur Suryanegara, fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari
adanya distorsi sejarah yang secara sengaja di munculkan oleh regim untuk menghalangi
tuntutan umat Islam.
Karena persoalan sejarah pulalah, hubungan antara umat Islam Indonesia dengan
pemerintah mengalami pasang surut. Ada kecenderungan, Umat Islam akan ditempatkan
dalam garda yang penting manakala regim mengalami krisis legitimasi, maka pada saat itulah
jumlah mayoritas umat Islam dijadikan buffer. Akan tetapi ketika, terjadi ledakan partisipasi
(booming participation) dari umat Islam maka ada kecenderungan image regim kepada umat
Islam akan negatif.2
Image ini kemudian dikiaskan dalam sebuah konsep yang khas dengan Islamo-phobia.
Dengan kondisi ini, maka akan kecenderungan regime akan mengatur, membatasi bahkan
melarang partisipasi umat Islam dalam rangka menjaga legitimasi.
KONVERGENSI UMAT ISLAM DALAM ORDE LAMA
Dalam periode Orde Lama, tampaknya peran umat Islam terpilahkan dalam 3 aspirasi
besar: pertama, peran umat Islam yang bersikap kritis kepada negara yang diwakili oleh
Masyumi, kedua, peran umat Islam yang bersikap akomodatif kepada negara yang diwakili
1
Lihat dalam Ahmad Mansur Suryanegara, Distorsi Sejarah Islam Indonesia, Bandung, Remaja Rosda Karya,
1992
2
Lihat pasang surut ini dalam Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan,
Yogyakarta, Tiara Wacana, 1993
oleh NU, ketiga, peran umat Islam yang bersebelahan pemikiran (di luar pagar sampai
memberontak) yang diwakili oleh gerakan DI/TII.
Sehingga dalam posisi ini Douglas Ramage, memberikan makna yang khas, bahwa
Umat Islam lebih disosokkan sebagai ancaman. Dalam pandangannya, Islam pernah
ditempatkan sebagai kekuatan terlarang sebagaimana kekuatan komunis.3
Meski masih bisa diperdebatkan lebih jauh, statemen Ramage setidaknya berangkat
dari kebijakan Orde Baru, yang berusaha antisipatif terhadap partisipasi umat Islam. Setidaknya
dalam pandangan Kuntowijoyo, Islam mempunyai
kekuatan sebagai idiologi yang
bisa
dieksplorasi sedemikian rupa untuk menandingi dan bersaing dengan idiologi Pancasila.
Kuntowijoyo juga menyatakan, jika Islam diangkat dalam diskusrus idiologi, maka dipastikan
Islam akan menjadi ancaman, dan mengangguhubungan dengan pemerintah.4
Apalagi Islam mempunyai cara perjuangan yang khas yang terkonsepkan dalam Jihad,
di mana dalam masa perjuangan kemerdekaan mempunyai kekuatan tersendiri dalam
menggerakan masa Islam. Sejarah umat Islam yang bermain dalam panggung politik nasional,
yang diwakili oleh Masyumi setidaknya dipertanyakan tentang loyalitas pada konstitusi negara
yakni UUD 1945. Hal ini terbukti dalam polemik besar di paruh dekade 1950-an, yang ingin
memapankan
kembali Piagam
Jakarta,
sebagai
bentuk pencerminan
ditempatkan secara proporsional. M. Natsir dalam kapasitasnya
keinginan Islam
sebagai ketua Masyumi,
telah memilah golongan terbesar dalam panggung politik pada masanya dalam: golongan
nasionalis Islam dan nasionalis sekuler.5
Nasionalis Islam adalah golongan yang menghendaki diterapkannya syari'ah Islam
dengan dukungan aparatur negara. Sedangkan dalam polemik ini, ternyata menemui jalan
buntu dengan dead-locknya konstituante, yang kemudian melahirkan Dekrit Presiden di
mana menetapkan kembali ide nasionalis-sekuler dengan Pancasilanya. Hal ini setidaknya
kemudian menjadi latar belakang tuduhan regim Sukarno akan keterlibatan M. Natsir dalam
peristiwa pemberontakan PRRI, yang mengilhami regim SUkarno untuk membubarkan
Masyumi. Natsir setidaknya lebih mendahului daripada didahului dengan membubarkan
3
Lihat dalam Douglas E. Ramage, Democracy, Islam and The Ideology of Tolerance, London, Routledge, 1995
4
Lihat dalam Jurnal Ilmu Politik, Tahun 1992
5
Lihat dalam Douglas Ramage, op.cit.
telebih dahulu Masyumi sebelum dibubarkan, dan dilarang. NU sebagai organisasi mayarakat
Islam dengan basis tradisionalis-kulturalis
dalam panggung politik Orde Lama lebih
menitikberatkan politik Akomodatif, hal ini setidaknya dengan dukungan NU untuk terlibat
dalam gerakan NASAKOM. Dalam kapasitas ini, posisi NU ingin menempatkan umat Islam
bukanlah umat yang tidak bisa diajak kompromi.6
Hilangnya
peran
umat
Islam
dalam panggung politik,
maka
akan
sangat
mempengaruhi kemaslakhatan umat Islam. Dalam pandangan NU, dengan menggunakan
qaidah fiqih, "Jika tidak diperoleh semuanya, maka sedikitpun bisa diterima".7
KONVERGENSI ISLAM DALAM ORDE BARU
Dalam perjalanan sejarah Orde Baru, peranan umat Islam dalam pendirian regim ini
sangat signifikan sekali. Hal ini tercermin dalam gerakan pemberantasan PKI secara besarbesaran yang dikoordinir oleh dua organisasi besar NU maupun Muhammadiyah. Dalam
kapasitas
sebagai organisasi
massa
Muhammadiyah
membuat
KOKAM (Komando
Keamanan Muhammadiyah) dan NU membuat BANSER (Barisan Serbu) yang mempunyai
makna tersendiri dalam penegakkan Orde Baru. Akan tetapi, kecenderungan agresivitas Umat
Islam membuat kecurigaan besar regim Orde Baru dengan gerakan militerisasi, yang bisa
dikemas sedemikian rupa, di mana potensial sebagai ancaman baru. Umat Islam dalam periode
ini, tampaknya juga mengalami polemik yang maha dahsyat berkaitan dengan langkah
modernisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru, demi membangun basis legitimasi.
Setidaknya umat Islam dalam pandangan Dawam Rahardjo,8 dalam era awal Orde Baru
tidak mempunyai kesiapan yang memadai untuk merespon jargon utama pembangunan dari
Orde Baru. Umat Islam berkecenderungan menarik diri bahkan sampai memperoalkan konsep
modernisasi dan pembangunan. Pada era inilah, tidak akseptabilitasnya umat Islam membuat
pemerintah mulai melirik kepada kelompok Nasrani dan Etnis China, bersama dengan militer
membangun basis penggodok strategi nasional dalam lembaga CSIS.9
6
Lihat dalam Kacung Maridjan, Qua Vadis NU, Jakarta, Gramedia, 1992
7
Sudirman Tebba, op.cit.,
8
ihat artikel Dawam Rahardjo, "Islam dan Pembangunan: Agenda Penelitian Sosial di Indonesia", dalam Saiful
Muzani (ed.), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta, LP3ES, 1995
9
Lihat Doulas E. Ramage, op.cit.
Ada sebagian orang Islam yang masuk bahkan membidani kelahirkan CSIS ini,
yakni Ali Murtopo, yang lebih dikenal dengan aliran Islam Abangan. Ketidaksiapan umat
Islam ini kemudian menjadi preseden tersingkirnya umat Islam dalam panggung ekonomi
nasional. Akan tetapi dalam akses politik, peranan umat Islam tidak bisa dipandang remeh.
Sehingga pemerintah merasa perlu untuk menata bahkan mengkooptasi umat Islam, dalam
sebuah komunitas politik yang lebih bisa dikendalikan oleh pemerintah.10
Issue ini dilempar dalam bentuk fusi partai yang dilakukan dalam dua tahap, yakni tahun
1971, dan menjadi satu partai yang berafiliasi dengan asas Islam pada PPP di 1976. Fusi
partai ternyata sangat mengecewakan umat Islam, sehingga potensi booming participation yang
akan menjurus kepada gerakan radikal menjadi sebuah kemestian. Timbulnya kasus Tanjung
Priok, letupan kelompok DI/TII, Komando Jihad (Konji) ternyata mengharuskan pemerintah
untuk memotong akarnya, dengan menetapkan asas tunggal dalam UU Keorgamasan. Dinamika
terjadi dalam tubuh keormasan Islam dalam merespon satu-satunya asas. Organisasi besar
NU merupakan organisasi yang pertama kali menyatakan kesediaannya, baru kemudian
Muhammadiyah
menjelang muktamar Muhammadiyah di Solo. Sedangkan di tingkat
organisasi ekstra, terjadi polemik dengan pembubaran diri PII (Pelajar Islam Indonesia) dan
pecahnya HMI menjadi MPO dan DIPO. Artinya kesiapan umat Islam untuk merespon sistem
politik dalam dua dekade Orde Baru masih menunjukkan polemik di sana sini.
Baru dalam dekade 1980-an akhir, dan menjelang dekade 1990-an awal, respon umat
Islam menjadi lebih padu. Kelahiran ICMI di 8 Desember 1990, merupakan embrio besar
kesiapan umat Islam dalam merepon pemerintah. Dalam pandangan Dawam Raharjo,11 ICMI
mampu
mengangkat dan mengajak
pemerintah
untuk
mengapresiasi
umat Islam.
Bahwasannya ajaran dan umat Islam dapat memberikan kontribusi yang positif dalam
pembangunan.
Peran kelembagaan ICMI, pada akhirnya mampu membuat umat Islam
melakukan proses survival, renewal dan reprogramming,12 yang artinya umat Islam dapat
memapankan kedudukan dihadapan negara, umat Islam dapat melakukan pembaharuan makna
dalam bernegara dan umat Islam dapat melakukan penjadwalan program-program yang lebih
10
lihat dalam M. Syafi'i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan
Muslim Orde Baru,Jakarta, Paramadina, 1995
11
lihat Saiful Muzani, op.cit.,
12
lihat pemaknaan institusionalisasi dalam Samuel Huntington, Political Order in Changing Societes, New
Haven, Yale University Press, 1968
antisipatif. Berseiring dengan maraknya gerakan teologi pembebasan Amerika Latin, New
Left, Populist Trend di India, Gerakan Hijau di Barat yang menuntut upaya pemberdayaan
masyarakat dalam menghadapi perilaku negara, terutama yang dipelopori gerakan YLBHI,
WALHI, YLKI yang kritis kepada perilaku pemerintah.13
Sedangkan saat ini hubungan Islam dengan negara dalam kondisi yang harmonis.
Banyak sekali lontaran-lontaran yang menilai
bahkan menyudutkan posisi ajaran Islam
yang beku terhadap tanggungjawab sosial. Islam tidak kritis pada kondisi jaman.
Sedangkan di masyarakat Iran, ternyata kekuatan Islam dalam dimodifikasi sedemikian
rupa untuk melakukan daya kritis bahkan mampu menggulingkan rezim Pahlevi 1979.
Tulisan Ali Syari'ati, sebagai idiolog gerakan Syi'ah Iran mendapat perhatian yang
memadai, bahkan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan di kata Pengantari oleh
Amin Rais. Amin Rais semakin memposisikan dirinya sebagai seorang penjamin, bahwa
ajaran Islam pantas diangkat lebih jauh dalam panggung politik nasional. Buku karya
John Esposito, seorang pengamat moderat dunia Islam, juga ia kata pengantari, bahkan
tulisan dari tokoh fundamentalisme Islam ia kata pengantari, bahkan memberikan apresiasi
yang lebih. Dalam wacana ini, terdapat gejala baru dari umat Islam untuk mulai bersifat kritis
dengan menawarkan ide-ide Islam, untuk mewarnai sistem negara dan pembangunan. Meski
upaya ini mendapatkan tantangan yang cukup kuat dari kalangan kulturalis, yang di bawah
komando NU. Gus Dur dalam era berdirinya ICMI sangat mencurigai, bahwa ICMI tidaklah
lebih kendaraan politik dari bentuk Islam Politik (Political Islam) dan Politik Islam (Islamical
Politic),14 yang mengharuskannya membuat terobosan baru dengan menghilangkan sekat-sekat
agama.
Usaha
ini diwujudkan dengan partisipasi Gus Dur sebagai pendiri Forum
Demokrasi, sebagai lembaga kritis kepada kebijakan ICMI dan Pemerintah.
Dalam pandangan Afan Gaffar, fenomena ICMI merupakan fenomena politik yang
mengkondisikan hubungan yang tidak konfrontatif antara Islam dengan birokrasi Orde Baru.
Di mana berbeda dengan pandangan Jalaluddin Rahkmat, melihat ICMI sebagai bentuk take and
give. Take di sini memberikan makna bahwa Islam akan mendapat perlakuan yang
semestinya, di mana memungkinkan ICMI menjadi gerakan pengangkatan harkat dan
13
lihat dalam Saiful Muzani, op.cit.,
14
lihat dalam M. Syafi'i Anwar, op.cit.,
martabat Umat Islam. Sedangkan dalam batas tertentu ICMI telah memerankan lebih jauh
dalam kerangka mendapatkan akses kekuasaan, inilah yang kemudian disebutnya sebagai Islam
Politik, yang akan menjadikan ICMI akan semakin kehilangan dukungan akar rumput. Hal
senada juga difahami oleh Gus Dur.15
Dinamika untuk melangkahkah umat Islam menjadi lebih kritis, tampaknya masih
berkutat kepada diskursus
peran
Islam dalam mempengaruhi sistem,
yang
akan
menempatkan umat Islam sebagai umat yang dekat dengan pemerintah. Dalam kapasitas ini,
ada kecenderungan jual beli antara Islam dengan pemerintah, di mana pemerintah lebih
memanfaatkan dukungan umat Islam kepada regim Orde Baru dan umat Islam mengharapkan
dukungan pemerintah dalam program-program keislaman. Dalam batasan inilah, umat Islam
difahami telah terjebak dalam ritme kekuasaan, yang membenarkan
kekakuan
regim,
menomorduakan demokratisasi politik guna mewujudkan tatanan politik yang lebih adil.
Sehingga keperwakilan Islam dalam ICMI lebih sebagai kooptasi negara.
TAUHID SOSIAL DAN AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR: AKAR REFORMASI
Keterbekuan harmonisasi Islam dengan pemerintah menjadikan umat Islam kurang
kritis. Sebab jika kritis akan menganggu harmonisasi Islam dengan pemerintah. Amin Rais
dalam kapasitasnya sebagai Dewan Penasehat ICMI, melihat posisi ini kurang menguntungkan
ICMI dan umat Islam. ICMI harus kritis dalam usaha implementasi jiwa keislamannya.
Dalam pada itu, Amin Rais merasa perlu untuk melemparkan issue tentang Tauhid
Sosial,16 sebagai bentuk keyakinan baru dalam bertauhid. Gagasan Amin ini mendapatkan
dukungan yang luas, di mana dalam kapasitas ini Amin ingin menempatkan Islam sebagai
ajaran rahmatan lil 'alamin. Bergeraknya issue Tauhid Sosial, maka Amin melontarkan
pemahaman lagi tentang konsep amar ma'ruf nahi munkar. Hal ini diambil dalam Surah Ali
Imron Ayat 104
Konsep
yang
merupakan
semboyan
dasar Muhammadiyah,
yang
selama
ini
tampaknya ditempatkan dengan sangat hati-hati. Gagasan ini dugulirkannya dalam wacana
yang kuat dalam berbagai media, yang mempunyai momentum pada kasus Busang. Bahkan
bergulir terus dengan issue suksesi dan berbagai kritik pedas dan terbuka
15
kepada
ibid.,
lihat lebih jauh dalam kumpulan makalah dalam Seminar Tauhid Sosial di Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, yang akan dibukukan
16
pemerintah.
Dalam batasan
ini,
Dawam
Rahardjo menyatakan
bahwa Islam telah
ditempatkan sebagai sarana kritis kepada negara.
Gerakan amar ma'ruf nahi munkar menjadi sebuah slogan yang operasional, bukan
hanya normatif. Yang mampu dilaksanakan dalam segenap lapisan masyarakat. Gerakan Amar
Ma'ruf Nahi Munkar, tampak menjadi milik umat Islam tatkala gerakan-gerakan kritis yang
berbasiskan teologi pembebasan, new-left mengalami represi kelembagaan dan personal
dengan peristiwa 27 Juli 1996, kasus Salatiga, kasus Pijar, dan kasus lainnya. Hal ini setidaknya
dengan kebijakan dan komitmen bersama di tingkat ASEAN untuk mewaspadai bahkan
menekan bentuk oposisi yang
dilakukan oleh
gerakan
teologi pembebasan,
new-
left17 Momentum inilah yang mengilhami desakan kalangan sosialis di YLBHI untuk menantang
Amin Rais sebagai Presiden dalam Pemilu 1997.
FORMAT REFORMASI DALAM ISLAM
Secara normatif, Islam meletakkan dua kerangka dalam dalam rangka melakukan
perubahan dalam masyarakat. Yang pertama adalah Ishlah, yakni melakukan perbaikanperbaikan yang berarti dari sendi-sendi masyarakat, dalam kerangka menjadikan kehidupan
masyarakat menjadi lebih baik. Pola ini mengedepankan hubungan yang gradualisadaptis18 di mana berwatak gerakan evolusionis. Dalam cerminan yang lebih kongkrit,
reformasi dengan melandasan bil hikmah wa ma'u'idatil hasanah. Yang berarti memberikan
peringatan dengan ilmu dan kebijaksanaan
Yang kedua adalah Inqilabiah, yakni dalam upaya melakukan perbaikan dengan
melakukan reformasi total, bahkan sampai
melakukan revolusi dan penentangan secara
masif. Dalam cerminan yang lebih kongkrit dalam formula, reformasi dengan melandaskan
kepada asy-syida' ala kuffar. Artinya bersikap keras kepada orang-orang yang
kafir zalim
dan tidak benar. Dalam teorema klasik, Imam Ghazali memberikan kerangka tahapan dari
pelaksanaan reformasi dalam bendera amar ma'ruf nahi munkar yang dikaitkan dengan teori asyasy-syaukah. Reformasi dalam bentuk amar ma'ruf nahi munkar merupakan kewajiban
agama dan rohani. Di mana hancur dan tegakknya umat sangat tergantung kepada ada
17
lihat dalam Kevin Hewison and Garry Rodan, "The Ebb and Flow of Civil Society and the Decline ofthe Left in
South East Asia".
18
Lihat dalam Shireen Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism:
Indiana University, 1988.
Unity and Diversity, Bloomington,
tidaknya amar ma'ruf nahi munkar. Dalam kaitan dengan amar ma'ruf kepada kekuasaan
yang
dzalim,
maka perhitungan antar kekuatan demi maslakhatan umat. Jika dengan
inqilabiah tidak didukung dengan kekuatan yang memadai dan akan menjadikan kehancuran
umat Islam maka inqilabiah
harus dihindari. Sedangkan jika
dengan kekuatan
yang
memadai dan dipastikan umat Islam memenangkannya maka Inqilabiah menjadi keharusan.19
Guliran Amin Rais, dengan program reformasi ternyata mendapatkan dukungan dan
kekhawatiran. Tokoh Muhammadiyah generasi tua, tampaknya menaruh kekhawatiran yang
mendasar atas perilaku Amin Rais. Selama perjalanan Muhammadiyah,
banyak
tokoh
Muhammadiyah melakukan perbaikan melalui pola Ishlah an-sich, sehingga ketika pergantian
kepemimpinan Muhammadiyah dari M. Azhar Basyir, kalangan Muhammadiyah menunjuk
Amin Rais sebagai pengganti bahkan kemudian terpilih di muktamarMuhammadiyah di
Banda Aceh, mereka berharap Amin lebih menonjolkan sosok kyai daripada politisi. Akan
tetapi Ishlah yang digulirkan Amin Rais, telah difahami melewati ambang batas kewajaran
Muhammadiyah, yang mencerminkan politisi daripada kyai.
Dalam batas inilah, Amin Rais mendapatkan dukungan yang masif dari Ahmad
Syafi'i Ma'arif, yang memberikan pemaknaan-pemaknaan akan langkah Amin Rais dalam
kerangka menjawab kekhawatiran generasi tua. Bahkan dalam satu seminar di UMY, Syafi'i
Ma'arif dan Amin Rais siap diadili dalam Muktamar jika perilaku keduanya menyimpang
dari khittah Muhammadiyah. Lebih jauh, gerakan ini mendapatkan simpati yang mendalam dari
kalangan muda Muhammadiyah dan kalangan luas terutama dari Mahasiswa.
Sedangkan
gejala
reformasi
dari
kalangan kulturalis, yang diwakili oleh NU
menunjukkan kinerja yang sebaliknya. NU yang dulunya sangat kritis dengan pemerintah,
menjelang Pemilu 1997 menunjukkan pola yang harmonis dengan peristiwa di bersalamannya
Gus Dur dengan Pak Harto di Jawa Timur. Sehingga dalam situasi krisis, di awal 1998,
kalangan NU sangat mengedepankan konsep Ishlah an-sich, dan tidak mau melewati jauh ke
depan.
CRAFTING: FORMULASI REFORMASI ISLAM
19
Lihat dalam Zainal Abidin Akhmad, Negara Bermoral Dalam Pandangan Ghazali, Jakarta, Bulan Bintang, 1980
Gejala dominannya kekuatan Islam dalam reformasi dalam bulan Maret sampai Mei
1998, setidaknya terdapat dukungan dari segala penjuru. Amin Rais sebagai tokoh reformasi,
tampaknya ingin
menyelamatkan Muhammadiyah, umat Islam, ataupun tidak ingin
menjebakkan Muhammadiyah dan Islam sebagai aktor tunggal dalam reformasi. Sebab ini
sangat berbahaya, sehingga dalam batas tertentu, fenomena ini sebenarnya merupakan
bentuk formulasi aliansi antar komponen bangsa. Yang mana jika terjadi mal-kalkulasi umat
Islam tidak akan menjadi tertuduh besar. Setidaknya Amin Rais dengan Muhammmadiyahnya
tidak ingin mengalami pil pahit yang diterima
Hasan
Al-Banna dengan Ikhwanul
Musliminnya.20
Gejala reformasi yang kemudian difahami
dan dimaklumi oleh ABRI, ternyata
memberikan gaung yang lebih besar untuk diteruskan. Artinya kemungkinan bentrokan
bersenjata dan kekerasan politik dapat dieliminir, dan menjadikan pola inqilabiah menjadi
tidak relevan. Langkah yang lebih relevan dan populer adalah dengan Ishlah plus dukungan
segenap komponen bangsa. Kemahiran menata komponen bangsa ini, dicerminkan oleh perilaku
Amin yang lebih mengedepankan MAR
(Majelis Amanat
Rakyat) dari pada nama
Muhammadiyah dalam setiap orasinya menjelang saat-saat suksesi. MAR melibatkan segenap
komponen bangsa, baik dari nasionalis, Islamis, Sosialis, yang tidak dibatasi sekat-sekat ras,
etnik, agama dan kepentingan.
kulturalis
dalam
Gerakan dari MAR ini lebih menunjukkan
kerangka memperjuangkan kepentingan politik
bersama,
gerakan
sangat
berlainan dengan pola gerakan ICMI yang dalam batas tertentu ingin kulturalis, tetapi lebih
dimaknai gerakan politis.
Demikian pula, langkah Gus Dur yang tampaknya dengan Megawati tidak ingin dalam
satu kubu dengan Amin Rais dalam MAR merupakan bentuk differensiasi kerja. Tidak mau
berdiri dalam satu kubu memang menyimpan berbagai pertanyaan besar. Yang jelas visi Gus
Dur dan Amin Rais dalam melaksanakan dan mengisi Indonesia, memang berbeda, yang
mana keduanya mempunyai kualifikasi yang spesifik dengan legitimasi dan justifikasinya. 21
Dari sini terlihat, bahwa kemampuan mengulirkan reformasi dengan format Islam yang
keindonesian, di mana tanpa menghilangkan komponen bangsa yang lain, menjadikan reformasi
20
Bandingkan dengan kecelakaan sejarah yang dialami umat Islam dalam melakukan reformasi di Mesir 1952
dalam Ali Rahmenea (ed.), Para Perintis Jalan Baru Islam, Bandung, Mizan, 1995
21
lihat dalam kumpulan tulisan yang dikumpulkan wartawan Jawa Pos, Dialog Atas Bawah: Amin Rais dan Gus
Dur, 1997
menemui jalan yang relatif dinamis dan lancar. Dengan penataan dan anyaman yang baik,
reformasi ini mampu diterima segenap kalangan dan membangun kekuatan bargaining baru
yang melebihi kemampuan DPR/MPR dalam membagi kekuasaan secara adil. Sehingga
keberhasilan reformasi yang melibatkan Umat Islam secara inheren, tidak bisa dilepaskan
kemampuan crafting yang cantik dari tokoh-tokoh umat Islam.
Download