Pengungsi Buru di Lembah Pengharapan (Suatu Pendekatan

advertisement
BAB IV
ANALISIS HOLISTIK (MENYELURUH) DAN REFLEKSI
TEOLOGIS TERHADAP KEHIDUPAN PENGUNGSI BURU DI
LEMBAH AGRO PULAU AMBON
4.1
Pengantar
Permasalahan hidup yang dihadapi oleh para pengungsi Buru di Lembah Agro
meliputi beberapa aspek, yaitu aspek fisik, sosial dan psikologi dan spiritual.
Keempat aspek ini memiliki dimensi keterkaitan antara aspek yang satu dengan
aspek lainnya. Sebagaimana dikutip di atas, Aart Van Beek dalam bukunya juga
mengungkapkan antara lain, bahwa kecendrungan permasalahan manusia untuk
saling mempengaruhi, seringkali dapat mengakibatkan suatu lingkaran setan yang
cukup kompleks. Suatu persoalan dapat menimbulkan persoalan baru yang
bersifat sama atau tidak sama, sehingga terbentuk lingkaran penderitaan yang
tidak dapat diretakkan.
Clinebell juga antara lain berpandangan, bahwa upaya menolong seseorang
akan gagal apabila tidak melihat keseluruhan aspek kehidupan manusia. Masalah
harus dilihat secara utuh karena untuk dapat menolong seseorang tidak hanya
dibutuhkan perpektif-perspektif teologi, melainkan juga perspektif-perspektif
lainnya yang terkait dengan kehidupan manusia, seperti perspektif sosiologis dan
psikologis.
Berdasarkan pendekatan holistik, maka keseluruhan kehidupan para pengungsi
Buru akan dianalisis secara menyeluruh. Bab ini berisikan kajian analisis, mulai
dari aspek fisik, sosial, psikologi dan spiritual. Hasil analisis terhadap keseluruhan
aspek terkait akan diintegrasikan satu sama lain, kemudian akan direfleksikan
secara teologis.
4.2 Analisa Holistik
4.2.1. Analisis Fisik
Maslow dalam teorinya mengungkapkan bahwa, pada dasanya manusia
membutuhkan sandang, pangan dan papan (kebutuhan fisiologis) yang memadai.
Akan tetapi, kenyataan kehidupan masyarakat Pengungsi Buru di Lembah Agro
justru telah memperlihatkan bahwa kebutuhan-kebutuhan hidup tersebut tidak
tersedia dengan baik. Sejak terjadinya konflik hingga saat ini, para pengungsi
menempati rumah dengan ukuran yang sempit dan saling berhimpitan. Keadaan
seperti ini berdampak pada berbagai aspek lainnya, seperti kenyaman, ketenangan,
seksualitas.
Rata-rata jumlah anak dalam satu keluarga berjumlah 4 orang. Rata-rata
jumlah anak yang tidak sedikit ditambah dengan kondisi rumah yang kecil turut
mempengaruhi aktifitas keseharian keluarga, seperti tidur berdesak-desakan dan
menciptakan ketidaknyamanan seksualtas bagi pasangan suami istri. Kondisikondisi fisik seperti ini menghadirkan rasa tidak nyaman terhadap setiap
keinginan dan kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia.
Selain itu, kenyataan-kenyataan hidup lainnya yang dihadapi jemaat seperti
kurangnya air dan makanan-makanan bergizi sebagai kebutuhan dasar kesehatan
belum terpenuhi secara baik. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan ekonomi yang
minim yang secara rata-rata tidak sebanding dengan harga kebutuhan-kebutuhan
hidup di kota. Kondisi hidup seperti ini dapat memicu timbulnya stress (aspek
psikologi).
4.2.2 Analisis Sosiologis
Menurut Edward Shils, masayarakat bukan kesatuan fisik (entity), tetapi
seperangkat proses yang saling berkait setingkat ganda. Berikut adalah
pernyataannya:
Masyarakat adalah fenomena antar waktu. Masyarakat terjelma bukan
karena keberadaannya di suatu saat dalam perjalanan waktu. Tetapi ia
nyanya ada melalui aktu, ia adalah jelmaan waktu (1981: 327).
PIotr dalam bukunya “Sosiologi Perubahan Sosial”, menyebutkan bahwa
masyarakat ada setiap saat dari masa lalu ke masa yang akan datang.
Kehadirannya justru melalui fase yang telah terjadi dan akan terjadi. Hal ini mau
menyatakan bahwa masyarakat dalam rentetan sejarahnya tidak statis, tapi terus
bergerak, berproses seiring dengan berjalannya waktu. Dari pengertian ini maka.
Masyarakat Pengungsi Buru dalam sejarahnya adalah mayarakat yang berproses.
dan kenyataan-kenyataan seperti diusir dari tempat asal, pengalaman-pengalaman
menjadi pengungsi adalah kenyataan yang telah terjadi dan menjadi kenyataankenyataan sejarah yang tak bisa ditolak.
Kenyataan konflik sosial terjadi, diusir dan diungsikan, berada di tempat dan
lingkungan yang baru menjadikan masyarakat pengungsi Buru mengalami
perubahan dalam kehidupan sosial. Yang jelas, pengalaman-pengalaman masa
lalu itu tidak bisa dilepas pisahkan dari keberadaan kehidupan saat ini. Piotr
mengatakan bahwa, masyarakat takan pernah menjadi masyarakat bila kaitan
dengan masa lalunya tidak ada (Shils, 1981:328). Kaitan masa lalu dan masa kini
adalah basis tradisi.
Salah satu aspek penting untuk menjelaskan hubungan kehidupan masa lalu
dan masa kini adalah mekanisme idel (psikologi) bekerja melalui kemampuan
mengingat dan berkomunikasi. Menurut Piatr, pengalaman masa lalu akan
terpelihara karena orang mengingat pengalaman masa lalu mereka.
Dengan
demikian, pengalaman-pengalaman masa lalu dari pengungsi Buru adalah faktor
penting dan memiliki kaitan dengan keberadaan kehidupan mereka saat ini.
Pengalaman sejarah seperti diusir dari tempat asal mereka di pulau Buru,
meninggalkan pekerjaan yang mereka miliki, meninggalkan rumah, hasil tanaman,
binatang peliharaan, dan harus tinggal di tempat yang baru dengan kondisi
lingkungan yang baru, dengan kondisi rumah yang sederhana akan menjadi
kenyataan yang mempengaruhi keberadaan mereka saat ini.
Di sisi yang lain, para pengungsi Buru yang sekarang menetap di Lembah
Agro pada awalnya berasal berasal dari tempat berbeda di Buru Utara. Ketika
konflik sosial terjadi, beberapa kelompok masyarakat yang keseluruhan beragama
Kristen itu diungsikan dan tinggal bersama. Dengan demikian, maka proses itu
telah menciptakan atau menghasilkan keadaan atau struktur sosial yang baru bagi
kehidupan mereka, sekaligus bersamaan dengan dampak lanjutnya. Proses
peubahan yang terjadi bagi pengungsi Buru dikatakan terjadi sejarah tiba-tiba
karena dampak dari konflik sosial. Proses ini sama halnya dengan konsep Merton
tentang “proses laten”. Artinya bahwa perubahan itu sendiri terjadi tidak diduga
dan diharapkan sehingga hasilnya muncul secara mengagetkan tergantung pada
penerimaan atau penolakannya.
Kenyataan perubahan sosial yang dialami oleh pengungsi Buru secara
langsung berdampak pada aspek kehidupan yang lain. Aspek-aspek lain yang
dapat diamati dan dilihat dimulai dari aspek relasi atau pergaulan yang kurang
baik dengan masyarakat disekitar wilayah pengungsian, berdampak pada aspek
ekonomi, dan psikologi masyarakat. Secara jelas dapat dikatakan bahwa
kenyataan perubahan status sosial masyarakat Pengungsi Buru memiliki kekuatan
mempengaruhi aspek-aspek lain dari kehidupan mereka.
4.2.3. Analisis Psikologis
Terkait dengan fenomena psikologi pengungsi Buru, maka ada beberapa hal
yang bisa dijelaskan terkait dengan hal tersebut. Pada dasarnya manusia memiliki
beberapa kebutuhan mendasar ketika menjalani kehidupannya. Menurut Maslow,
ada lima kebutuhan dasar manusia yang tidak bisa ditolak semasa hidupnya,
diantaranya kebutuhan akan fisiologis (sandang, pangan, papan). Kenyataan
psikologis pengungsi buru tidak terlepas dari pengaruh keadaan fisik (rumah,
makanan, kesehatan). Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi secara baik, maka akan
berakibat pada kondisi psikologi seseorang. Kenyataan yang digambarkan dalam
data sebelumnya memperlihatkan kondisi fisiologis yang kurang baik di
pengungsian. Dan kondisi ini akan berakibat pada pskologi mereka.
Disisi yang lain, kenyataan-kenyataan diusir dari tempat asal adalah
pengalaman yang tidak bisa dihindari dan dilupakan. Kenyataan-kenyataan itu
memberi dampak pada keingian seseorang untuk berelasi secara baik dengan
orang lain, atau kominitas lain. Fenomena selalu terjadi tauran antara pengungsi
Buru dengan daerah-daerah sekitarnya bisa juga merupakan dampak dari trauma
kekerasan yang telah mereka rasakan. Kenyataan pada kondisi psikologis, seperti
cepat emosi, suka merenung, adalah merupakan hasil dari pengalamanpengalaman kehilangan pasca konflik sosial.
Adapun fenomena psikologis lain yang dirasakan fungsi kognitif pengungsi
Buru.
Dari data memperlihatkan bahwa konflik sosial, ataupun fenomena
fisiologi yang tidak baik itu tidak mempengaruhi konsep diri dari pengungsi
Busru. Kepercayaan diri, daya berpikir. Obtimisme, menjadi sesuatu yang tidak
bisa dipengaruhi sama sekali oleh factor-faktor di atas. Hal ini disebutkan Malow
sebagai puncak dari aktualisasi diri. Artinya bahwa pengungsi Buru mampu
mengaktualisasikan potensi positif yang sebenarnya dimiliki oleh semua manusia.
Akhirnya
dapat
dikatakan
bahwa,
kenyataan-kenyataan
psikologis
sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari beberapa aspek penting dari sejarah
kehidupan masyarakat Pengungsi Buru, antara lain: pengalaman penderitaan
sebagai pengungsi, kondisi fisiologis, kondisi sosial ekonomi. Keseluruhan aspek
yang ada disekitar turut mempengaruhi kondisi psikologi Pengungsi Buru di
lembah Agro.
4.2.4. Analisis Spiritual.
Boisen dalam buku “Konseling Pastoral dalam Transisi” menyebutkan bahwa
penyembuhan batin, harus secara fundamental, dilaksanakan dengan bahan
mentah pengalaman religius (the
raw stuff of religious experiences). Arinya
bagaimana fungsi-fungsi pengalaman religius orang-orang terhadap masalahmasalah kehidupan mereka, bagaimana mereka berpandangan tentang realitas
tertinggi yang mereka yakini.
Bila konsep ini dipakai untuk menganalisis
pengalaman religius Pengungsi Buru di Lembah Agro, maka ada beberapa hal
yang dapat dijelaskan. Antara lain, pengalaman-pengalaman menjadi konflik
sosial dan pengalaman bisa selamat dari konflik menjadikan mereka lebih percaya
akan pemeliharaan Tuhan dalam hidup mereka. Terlebih lagi mereka menganggap
bahwa konflik sosial adalah salah satu cara Tuhan agar umatnya bisa dekat padaNya. Seperti apa yang dikatakan S. N (suku jawa, berkediaman lama di Buru) :
Kerusuhan merupakan jalan Tuhan untuk mengingatkan umat-Nya yang
sudah melanggar hukum Tuhan ke jalan yang benar. dulu malas bekerja,
sekarang rajin bekerja. dulu malas ke ibadah, sekarang rajin ke ibadah.
Maksud Tuhan itu baik, sebab rencana Tuhan bukan rencana kita, dan
rencana Tuhan tidak seorang pun manusia bisa menyelami. Saya pernah
menjadi Majelis Jemaat Lima Periode, dan banyak sekali kebaikan-kebaikan
Tuhan yang pernah saya rasakan. Seperti pada saat saya sakit, saya
disembuhkan oleh Tuhan. Ketika saya ditangkap oleh pasukan jihat tapi
tangan Tuhan menyelamatkan saya bersama dengan semua keluarga saya.
(Sutikno)
Pernyataan seperti S.N ini sama dengan-pernyataan-pernyataan pengungsipengungsi lainnya. Di mana hampir semua dari para pengungsi memiliki
pemahaman yang sama, menganggap diselamatkan dari konflik sosial merupakan
bukti pemeliharaan Tuhan. Oleh sebab itu, kenyataan itu harus disambut dengan
penuh rasa syukur. Kami kehilangan rumah, tetapi kami masih punya tempat
untuk menetap, sekalipun apa adanya. Kami tergusur dari tempat tinggal kami,
dan diusir jauh, namun Tuhan menyediakan tempat bagi kami di Lembah Agro
ini.
Pemahaman-pemahaman yang disebutkan di atas memperlihatkan bahwa
pengungsi Buru pada dasarnya menerima konflik sosial yang mereka alami
sebagai suatu rancangan Tuhan bagi kehidupan mereka. Keyakinan ini dipahami
sebagai suatu respons positif dari bukti penyelamatan yang mereka alami semasa
konflik sosial di Buru Utara. Disisi lain, nampak jelas bahwa keyakinan itu tidak
didukung oleh rasa saling memiliki di dalam satu persekutuan. Hal ini terlihat
pada minimnya angota masyarakat dalam mengikuti ibadah-ibadah dalam jemaat.
Ketika diamati dan dianalisis, ternyata ada hal yang terabaikan dalam mengatasi
persoalan-persoalan kehidupan selama di pengungsian. Dalam hal ini berkaitan
dengan fungsi pelayanan (pastoral)
kurang maksimal dilakukan. Hal ini
dikarenakan fokus dari kegiatan Majelis Jemaat lebih pada kebutuhan-kebutuhan
fisik, ketimbang memperhatikan kebutuhan-kebutuhan atau masalah-masalah
psikolosis pengungsi. Dari hasil wawancara dengan beberapa orang dalam jemaat,
sebagian besar keluhan diarahkan pada Pola pelayanan Majelis jemaat.
Situasi demikan jika dianalisis maka kenyataan itu disebabkan oleh kurangnya
pola manajemen yang kurang baik dari Mejelis jemaat dalam mengelola berbagai
masalah pengungsi Buru. Tidak salah kalau aspek-akpek fisik harus mendapat
perhatian dalam proses pelayanan, namun harus disadari juga bahwa totalitas
keberadaan jemaat bukan hanya terletak pada persoalan fisiologis, akan tetapi
lebih dari pada itu aspek psikologis harus menjadi basis perhatian mendalam dari
pola pelayanan.
Geoffrey Brunn dalam ulasannya mengenai buku Peter Vierch yang berjudul
The Unadjusted Man: A New Hero For Americans, berpandangan bahwa “zaman
kita adalah zaman anak yatim piatu, zaman yang penuh dengan realitas
kemiskinan dan penderitaan, ketidak adilan akibat dari perubahan zaman yang
begitu dinamis. Oleh karena itu, pada zaman ini setiap individu yang berada
dalam “kesepian dan keramaian”, sering dihantui oleh perasaan ditinggalkan dan
merasa kesendirian tanpa teman. Untuk itu berjuta-juta manusia tidak mendapat
sumber untuk menghadapi pengalaman hidup manusia pada umumnya.
Pernyataan ini ingin menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia membutuhkan
sumber-sumber yang bisa dipakai sebagai referensi untuk menghadapi persoalanpersoalan hidup.
Sember-sumber itu bisa berupa orang lain untuk mengisi
kehidupannya, mendengar keluhan batinnya. Sama halnya dengan pengungsi Buru
di lembah Agro, mereka akan merasa kesepian dan bisa kehilangan arah, ketika
tidak ada orang lain, terlebih khusus Gereja dalam memperhatikan keluhan-
keluhan batin mereka. Ekspresi dari kekosongan itu akan berdampak pada
kejenuhan terhadap situasi di sekitar. Malas bersekutu dengan jemaat dalam setiap
kegiatan-kegiatan ibadah adalah respons rasional dari ketidak pedulian gereja
terhadap persoalan-persoalan batin yang mereka rasakan.
4.2.5. Analisis holistik
Dari ke empat analisis di atas, maka ada beberapa konsep yang menonjol dari
setiap aspek yang turut mempengaruhi pertumbuhan kehidupan pengungsi Buru di
Lembah Agro. Pertama: kondisi fisiologis yang tidak memadai berakibat pada
rasa kenyamanan, Kedua: konteks perubahan status sosial akibat dari konflik
sosial yang menjadi hal yang tidak mudah untuk diterima bergitu saja oleh
pengungsi Buru. Ketiga: Pengalaman traumatik akibat dari konflik sosial yang
terjadi berakibat pada fungsi emotif (emosi) yang tidak stabil, dan behavior
(tindakan) atau perilaku yang tidak baik, suka berkelahi dengan orang lain atau
komunitas lain disekitar mereka. Keempat: kurangnya perhatian serius dari
pemerintah, dan kurangnya perhatian dari Gereja dalam mengatur pola pelayanan
ke semua aspek terutama melihat kebutuhan-kebutuhan psikologi dari pengungsi
Buru pasca konflik sosial yang mereka alami.
Selanjutnya keputusan para pengungsi untuk tetap tinggal di Lemba Agro
dipengaruhi oleh beberapa alasan antara lain: alasan keamanan (Buru Utara
mayoritas beragama Islam), alasan Ekonomi, alasan Administratif (telah
dilembagakan Menjadi Jemaat baru di Klasis Pulau Ambon), terikat secara moral
dengan Suster Fransescus Moem yang telah membantu memberikan dana untuk
membangun rumah di Lemba Agro.
4.3
Refleksi Teologis
Manusia pada hakekatnya adalah makluk sosial, tidak bisa hidup sendiri,
melainkan dengan orang lain. Dengan demikian
ajaran cintailah sesamamu
seperti dirimu sendiri adalah tepat. Ini berarti bahwa hormat terhadap keutuhan
kekhususannya sendiri, cinta dan pengertian akan diri sendiri, tidak terpisahkan
dari hormat, cinta dan pengertian kepada orang lain. Cinta akan diri sendiri
tergabung akan cinta kepada orang lain.
Manusia juga tidak bisa berdiri sendiri sebagai seorang individu yang bebas
terlepas aspek-aspek lain yang turut mempengaruhi kehidupan individunya. Jika
individu atau komunitas itu punya masalah, maka masalahnya harus dilihat dari
berbagai aspek yang turut mendukung terciptanya persoalan atau masalah
tersebut. dalam kaitan itu maka perspektif pastoral disebutkan bahwa
pengembalaan dan konseling harus bersifat Holistik (menyeluruh), artinya
berusaha untuk memungkinkan penyembuhan dan pertumbuhan
keutuhan
manusia dalam dimensinya. Model ini berorientasi pada sistem-sistem, artinya
bahwa keutuhan orang dilihat dalam keterlibatannya dengan segala hubunganhubungannya yang penting dan saling ketergantungannya dengan orang-orangkelompok-kelompok dan institusi-institusi. Dengan demikian, manusia harus
dilihat secara utuh, mencakup keseruruhan aspek kehidupannya, begitu pun
dengan masyarakat pengungsi Buru dalam keberadaannya, dan dalam pertolongan
terhadap dampak konflik sosial maka pendekatan holistik adalah pendekatan yang
dilihat sangat relefan.
Manusia dalam pemahaman Ibrani, secara esensi adalah Non- dualistic.
Keutuhan meliputi kesatuan atas seluruh dimensi manusia, yakni tubuh, roh, jiwa.
Dalam sudut pandang yang holistik ini, gambaran Alkitabiah tentang tubuh
sebagai bait Roh Kudus dan petunjuk yang jelas untuk memuliakan Allah dalam
Tubuhmu” (1 Kor 6:19-20). Hal ini merefleksikan pentingnya tubuh rohani. Dan
hal ini merupakan dimensi pertama dari keutuhan.
Dalam menyikapi dampak konflk sosial terhadap pengungsi Buru maka
pendekatan yang dilakukan adalah memperhatikan tubuh. Dalam konteks analisis
dibahasakan sebagai aspek fisik. Jika tubuh adalah alat untuk memulaikan Tuhan,
maka aspek fisik berupa kesehatan, kebutuhan makan, istirahat, harus menjadi
fokus perhatian yang harus diperhatikan secara baik. Keadaan fisiologis yang
kurang memadai, akan mempengaruhi kesehatan tubuh. Dengan demikian, maka
pertolongan terhadap masyarakat Pengungsi Buru, entah dari lembaga-lembaga
sosial, pemerintah, ataupun Gereja harus bermuara pada tersedianya kebutuhan
fisiologis.
Adapun perintah Alkitabiah yang dikutip oleh Yesus (Mrk: 12:30), yang
menyatakan bahwa “kasihilah Allah dengan segenap jiwamu.(sama halnya
dengan, hati, roh, dan kekuatannmu). Dalam konteks psikologi, perintah ini
menegaskan makna intelektual kognitif sama seperti aspek emotif dan jiwa.
Dalam pengertian kontemporer tentang mengasihi Allah dengan segenap jiwa,
dapat direfleksikan bahwa kognitif, emotif, dan tindakan dari manusia harus
dijadikan sebagai alat untuk mengasihi Allah. Artinya bahwa ketiga fungsi psikis
itu harus diarahkan sepenuhnya untuk memuliakan Tuhan. Dalam konteks
menyikapi dampak konflik sosial dari yang terjadi pada masyarakat Buru di
Lembah Agro, maka ketiga fungsi itu (kognitif, emotif, dan motivasi) harus
dihantar ke arah yang dikehendaki Tuhan. Tugas dan tanggung jawab dari Gereja,
adalah mengintegrasikan ketiga fungsi itu agar menjadi alat pendorong upaya
mempelihara suasana hati.
Dimensi berikutnya adalah, dimensi persekutuan (komunitas). Dimensi ini
merupakan motif yang paling kuat dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Baru, kata
koinonia digunakan untuk menggambarkan gereja sebagai suatu komunitas yang
saling memelihara dalam satu komitmen religius yang berintegrasi diterangkan
baik dalam konsep” satu daging”. Gambaran ini berkaitan dengan ikatan
perkawinan (Kej 2:24), maupun dalam gambaran gereja sebagai Tubuh Kristus
dengan banyak anggotanya (Rm 12:5).
Tekait dengan dimensi ini maka,
pengungsi Buru sesungguhnya merupakan suatu komunitas orang-orang orang
percaya, yang semestinya dihantar untuk saling menyembuhkan, dan mengalami
transformasi yang berpusat pada Roh Kudus.
Roma 8:22-24, dalam ayat ini Paulus ingin menegaskan bahwa transformasi
kreatif selalu melibatkan dan penantian orang percaya akan pekerjaan Roh
Kudus.
Penderitaan adalah bagian dari pemahaman holistik dalam rangka
membuka jalan bagi terwujudnya perubahan. Penderitaan yang dialami harus
dipahami dalam konsep teologi salib. Dalam teologi Salib, citra mengenai derita
demi orang lain diangkat menjadi dimensi terdalam (ultimate). Dalam pengertian
manusiawi, seorang yang bersedia menolong orang lain dan siap menderita
sesungguhnya mengikuti derita Yesus. Oleh karena itu, secara teologis, orang itu
tidak akan sendiri untuk menghadapi penderitaan itu, melainkan akan Yesus turut
menderita dan menanggung penderitaan itu dan akan menyediakan kekuatan dan
penyertaan.
Dari penjelasan di atas, pengungsi buru dengan pengalaman-pengalaman
penderitaannya harus dipahami sebagai salah satu cara Tuhan mentrasformasikan
kehidupan mereka. Secara teologis dapat dikatakan bahwa, Yesus tidak akan
meninggalkan orang yang menderita itu mengalami penderitaannya sendiri,
melainkan akan turut bekerja dalam penderitaan itu, dan terlebih lagi menjadikan
penderitaan sebagai salah satu sarana atau alat penyataan kasih Allah. Hal ini juga
berkaitan dengan kesiapan sang penolong (konselor). Kesiaapan dan kerelaan
berkorban untuk mereka yang menderita secara Teologis memiliki dimensi yang
mendalam. Karena Yesus tidak akan meninggalkannya sendiri untuk menanggung
derita atas kebaikan yang dilakukan terhadap orang lain. Dalam kepentingan itu
maka konseling pastoral terhadap masyarakat pengungsi buru adalah salah satu
sarana menuju transformasi itu.
Konseling pastoral sebagai bentuk penggembalaan didasari atas pengakuan di
dalam Perjanjian Baru yang selalu berbicara tentang Bela Rasa, Kasih, dan
Keramahan besar yang datang dari Roh dan kemudian merupakan tanggung jawab
gereja untuk selalu menunjukan kasih ini bagi sesama, terlebih khusus bagi orang
pendosa.
Konseling pastoral merupakan bentuk penggembalaan memiliki pendasaran
Alkitab, dengan demikian mengarahkan pengertian, sejarah, proses, pendekatan
dan metode. I Petrus 5:2,3 mencatat kesaksian “Gembalakanlah kawanan domba
Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai
dengan kehendak Allah, dan jangan karena kamu mau mencari keuntungan tetapi
dengan pengabdian diri” (ayat 2); “Janganlah seolah-olah kamu mau memerintah
atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan
bagi kawanan domba itu” (ayat 3).
Kesaksian ini menunjuk dengan tegas secara teologis, konseling pastoral
merupakan bentuk pembritaan dan kesaksian gereja yang berlangsung dalam
kerangka karya Allah yang berorientasi antropologi. Orientasi ini akan bergerak,
akan berproses dalam gerak melingkar dengan pendekatan yang holistik. Layanan
ini ditujukan bagi manusia dalam sejarah hidupnya baik dalam kesaksian fisik
maupun mental prima atau keadaan sakit yang tak tersembuhkan, dalam keadaan
sukacita atau sedih, dalam keadaan menggembirakan atau menyedihkan. Setiap
situasi manusia merupakan peluang untuk suatu proses penggembalaan.
Kebutuhan akan layanan ini ditandai dengan keadaan tekanan tegangan hidup
yang mempengaruhi tubuh dan jiwa.
Ketika menyebut konseling pastoral sebagai penggembalaan maka tindakan
pengembalaan itu memiliki fungsi penyembuhan (healing),
penopangan
(sustaining), pembimbingan (guiding), dan pendamaian (reconciling).
•
Penyembuhan (healing) : merupakan suatu fungsi pastoral yang bertujuan
untuk mengatasi kondisi fisik (darah tinggi dan magh), emosi yang tidak
terkontrol secara baik (pemarah), dan suka mengasingkan diri, dengan cara
mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan hidup, tidak bermasalah pada
kondisi fisik, emosi bisa terkontrol secara baik, dan kemudian menuntun dia
kearah yang lebih baik dari kondisi sebelumnya.
•
Penopangan (sustaining) berarti, menolong orang yang stres karena perubahan
sosial yang dialaminya, karena kondisi fisiologi yang tidak memadai untuk
tetap bertahan dan melewati suatu keadaan yang di dalamnya pemulihan
kepada kondisi semula.
•
Pembimbingan (guiding). Hidup di dalam situasi pengungsian bisa membuat
seseorang bingung ketika ingin mengambil suatu keputusan. Fungsi ini
merupakan suatu upaya untuk membantu orang-orang yang kebingungan itu
untuk menentukan pilihan-pilihan yang pasti dalam upaya pemaknaan.
•
Pendamaian (reconciling). Kenyataan bahwa pengalaman korban kkonflik
sosial adalah orang-orang yang kemudian merasa terasing dari dirinya, dari
persekutuan. Dengan demikian fungsi ini berupaya membangun ulang relasi
yang cendrung rusak itu ke relasi yang baik kembali.
Konseling pastoral
adalah usaha untuk memperkuat pertumbuhan
seseorang kearah keutuhan dalam emam aspek kehidupan, yang mana satu sama
lainnya saling berkaitan. Enam aspek itu adalah:
•
Menyegarkan pikiran, yang mencakup pengembangan sumber-sumber
personalitas seperti kemampuan berpikir. Manusia normal, kemampuan
berpikirnya hanya sedikit saja yang dipakai. Karena itu mempekaya horizonhorizon intelektual dan arstistik manusia merupakan begian dari pendekatan dan
konseling pestoral yang dipusatkan pada keutuhan hidup.
•
Membuat tubuh lebih bergairah. Dimensi ini berkaitan dengan dimensi
pertama. Hal ini berarti kita belajar untuk mengalami dan menikmati tubuh
lebih sempurna dan memamfaatkannya dengan lebih efektif dan lebih
mengasihinya. Ini sering melibatkan perhatian atas kebutuhan jasmani
misalnya makan, dan istirahat yang cukup bagi tubuh..
•
Memperbaharui
dan
memperkaya
hubungan-hubungan
dekat.
Baik
penyembuhan atau pertumbuhan bergantung pada kualitas hubunganhubungan yang penting. Karena itu, penyembuhan yang mencakup hubunganhubungan itu
dan latihan dan ketrampilan
kea rah pertumbuhan adalah
bahagian hakiki dari dari suatu layanan pastoral.
•
Membebaskan hubungan manusia dengan lingkunan hidup serta memperluas
kesadaran, juga hubungan erat dan pemeliharaan lingkungan oleh menusia.
•
Pembebasan,
penyembuhan
dan
pertumbuhan
lembaga-lembaga
dan
masyarakat. Pengembalaan dan konseling pastoral sepatutnya mencakup
membangkitkan kesadaran orang untuk melihat akar-akar social dari rasa
sakit dan kehancuran mereka secara individual, serta akar-akar social untuk
merintangi pertumbuhan mereka.
•
Pertumbuhan rohani yang berkaitan dengan ke lima demensi terdahulu, dan
merupakan ikatan yang mempersatukan keseluruhan demensi lainnya.
Dari keenam aspek yang telah ditunjukan di atas, maka idealnya pengungsi
Buru sebagai korban dari konflik sosial yang terjadi di Buru Utara harus bisa
bertumbuh sesuai dengan ke enam aspek tersebut. Karena disitulah konseling
pastoral menjadi suatu tindakan penggembalaan yang efektif dan fungsional
Dalam pelayanan-Nya Yesus mengutus manusia sebagai alat kesaksian-Nya,
mereka adalah ke-12 murid (Lukas 10:1) dan diteruskan oleh kita semua. Pada
masa kini yang mengemban tugas pelayanan ini adalah pendeta, bishop, uskup,
imam, penatua, penginjil dan pengkhotbah.
Bukan nama atau jabatan yang
penting disini melainkan tugas yang diemban dan dipercayakan. Mereka diutus
untuk bersaksi tentang Allah dan untuk menyatakan “tahun rahmat Tuhan” karena
kerajaan Surga sudah dekat. Kerajaan Allah yang dimaksudkan adalah kerajaan
yang membawa kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus (Roma
14:17) yang ditemukan dalam Gereja. Tugas itu bukan hak milik pribadi
melainkan kepada gereja dalam perluasan kerajaan Allah.
Ada dua motif Alkitabiah layanan pastoral. Yaitu motif Hamba dan Gembala;
•
Motif hamba
Imam, Nabi, Raja, menurut Perjanjian Lama
hanyalah alat atau sarana
hamba Allah. Hal ini sama dengan pelayanan Yesus pada zaman Perjanjian Baru
(Filipi 2 : 7-8).1 Pelayan (pendeta dan majelis jemaat) merupakan hamba Allah
yang diharuskan untuk tetap taat pada Allah sebagai tuannya. Wujud ketaatan
kepada Allah dinyatakan di dalam sikap hidup, di mana siap melakukan kehendak
Allah dan terus meyatakan kasih-Nya bagi dunia. Ketika konsep ini dibawa dalam
konteks disiplin gereja, maka pendeta dan para perangkat pelayan adalah
merupakan hamba Allah yang memiliki tanggung jawab untuk tetap taat untuk
menyampaikan dan menunjukan kasih Allah bagi semua orang. Bukan saja orangorang bernar, tetapi juga memereka-mereka yang jauh dari Allah.
•
Motif gembala
Sistem pastoralia teologis dibangun atas dasar gembala. Karakter Allah
dilihat lebih kuat sebagai gembala (Yes. 40:1-11) yang memimpin , memberi
makan, mendisiplin dan melindungi umat-Nya. Selain sifat yang ditunjukan Allah
ini, para pelayan juga semestinya menunjukan ketrampilan pendidikan, status,
tetapi juga mempelajari peraturan-peraturan yang ada dan belajar menganalisa
situasi dan keadaan warga jamaat dalam bidangnya. Yesus dalam karya-Nya hadir
1
Mesack Krisetya, Diktat Konseling Pastoral; hlm. 2-3
dan memberi resolusi nilai kepemimpinan baru. Ia mengukur kebesaran seseorang
dari sudut kualitas moral palayanan berdasarkan pada ketaatan Firman Tuhan.2
Seorang Pelayan mesti memulai pelayanannya dengan mendengar kehendak
Allah karena Allahlah yang memanggil. Dengan demikian pendeta atau pelayan
itu harus memiliki pengakuan akan Allah sehingga tugas itu dilakukan dengan
ketulusan hati. Kasih inilah yang mesti menjadi sesuatu yang utama dalam
pelayanan.
Selain itu, para pelayan tidak mempunyai hak-hak khusus atau
kekuasaan selain malayani Tuhan-Nya. Sehingga tidak perlu mencari-cari pujipujian atau penghormatan dari manusia. Menurut Pdt.Richard Baxter yang
menulis di abad ke-17, pendeta mesti mampu hadir dalam kesulitan-kesulitan,
rendah hati, mampu hadir dalam keadaan-keadaan yang berkekurangan, bijaksana,
lembut, setia, tekun, serius, mampu member jalan keluar yang terbaik bagi semua
orang. Pendeta mesti hadir dengan warna cinta, sabar, dan teliti, tekun
mandapatkan persatuan dan pendamaian gereja. termasuk mengembalikan orangorang berdosa ke jalan yang dikehendaki Allah
Karakteristik
personal
yang
perlu
diperhatikan
untuk
membantu
memersiapkan diri penolong orang lain adalah sebagai berikut: keaslian
menolong, berpikir jernih dan positif, nalar yang baik, kesadaran diri, kehanyatan,
sikap tenang, bertanggung jawab, tidak menghakimi, memiliki rasa humor, jujur
dan percaya diri, menghargai orang lain dan terbuka, rajin, dapat menyimpan
rahasia, rendah hati, organisator yang baik, memiliki visi dan misi yang jelas serta
disiplin. Pelayanan adalah tugas semua orang, namun disadari bahwa ada
perbedaan dalam tugas dan tanggung jawab serta peran masing-masing orang
2
Mesack Krisetya, Diktat Konseling Pastoral; hlm 2-3
sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah. Dengan begitu, jika salah satu
anggota tubuh tidak berfungsi maka akan terjadi ketidak sempurnaan dalam
manjalankan tugas yang diemban. Meski dipahami bersama bahwa gereja adalah
persekutuan orang kudus yang saling menolong, melayani dan mendukung.
Tugas serta karakter dari seorang pelayan seperti yang ditunjukan di atas
merupakan hal-hal yang mestinya dimiliki oleh para pelayan. karakter para
pelayan kemudian sangatlah berpengaruh pada proses pelayanan yang dilakukan.
Kesadaran sebagai hamba yang melayani dan gembala yang memulihkan dari
seorang pelayan, seperti yang dijelaskan akan berdampak pada proses pelayanan
yang dilakukannya. Konsep hamba dan gembala dan berbagai karakter yang boleh
ditampilkan dan ditawarkan kepada pada pelayan akan memungkinkan lahirnya
suatu motifasi yang kuat dalam melayani.
Download