BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan proses invasif mikroorganisme patogen yang berproliferasi didalam jaringan tubuh yang dapat menyebabkan sakit (Southwick, 2007). Mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi antara lain bakteri, virus, parasit dan jamur. Penyebab infeksi terbanyak yaitu bakteri dikarenakan bakteri memiliki ratusan spesies yang dapat menyebabkan penyakit dan mudah tersebar melalui udara, air, makanan, cairan tubuh maupun benda yang terkontaminasi. Antibiotik merupakan segolongan senyawa alami maupun sintetik yang memiliki efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia dalam bakteri sehingga dapat bersifat bakteriostatik atau bakteriosida. Penggunaan antibiotik yang kurang tepat dapat menyebabkan resistensi antibiotik dikarenakan proses mutasi dalam bakteri. Menurut data WHO tahun 2014 tentang Antimicrobial Resistance, Global Report on Surveillance bahwa telah ditemukan kasus resistensi pada Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Neisseria gonorrhoeae terhadap sefalosporin generasi 3, Nontyphoidal salmonellla (NTS), Shigella species resisten pada flourokuinolon, Streptococcus pneumoniae resisten pada penisillin, Staphylococcus aureus resisten pada metisillin. Resistensi mikroba terhadap antibiotik ini menyebabkan meningkatnya angka kematian yang disebabkan oleh mikroba. Dapat dikatakan bahwa antimikroba konvensional tidak efektif lagi. Oleh karena itu perlu dikembangkan antimikroba alternatif dari bahan alami. 1 2 Salah satu bahan yang mempunyai aktifitas bakteri adalah minyak atsiri kapulaga. Minyak atsiri kapulaga mengandung senyawa aktif sebagai antibakteri lokal salah satunya yaitu eukaliptol (1,8-sineol) (Sokovic dkk, 2009; Mulyaningsih dkk, 2010). Minyak atsiri dapat menimbulkan resiko berupa sensitisasi, iritasi, dan fototoksisitas (Dweck, 2009). Selain itu eukaliptol yang merupakan komponen terbesar minyak artsiri kapulaga memiliki sifat sebagai irritant. Oleh karena itu perlu adanya penelitian, pengujian, pengembangan dan pengenalan agar dapat diterima sebagai antimikroba alami dikalangan medis. Toksisitas yang dapat timbul dikarenakan minyak atsiri salah satunya yaitu iritasi. Iritasi merupakan reaksi kulit yang terjadi karena kerusakan lokal yang reversibel dari jaringan kulit setelah penggunaan senyawa kimia tanpa melibatkan sistem imun (Gad & Chengelis, 1998). Minyak atsiri dalam penelitian ini diformulasikan menjadi bentuk nanoemulsi. Nanoemulsi merupakan salah satu bentuk emulsi dengan distribusi ukuran partikel sekitar 10-100nm. Nanoemulsi memiliki kelebihan dapat meningkatkan daya tembus obat terhadap kulit dan bioavailabilitas obat, melindungi obat dari hidrolisis dan oksidasi dan dapat diaplikasikan diberbagai rute pemakaian seperti oral, topikal, parenteral, transdermal (Thakur dkk, 2012). Oleh karena itu diharapkan dengan diformulasi dalam bentuk nanoemulsi dapat meningkatkan stabilitas, efektivitas dan daya tembus minyak atsiri kapulaga. Peningkatan daya tembus atau absorbsi minyak atsiri ke dalam kulit memungkinkan minyak atsiri masuk ke dalam saluran sistemik dan berpotensi 3 menimbulkan efek hemolisis sel darah merah dikarenakan mengandung senyawa yang dapat mengoksidasi sel darah merah sehingga menyebabkan keluarnya hemoglobin dari dalam sel darah merah (Baser & Buchbauer, 2010). Selain dikarenakan bersifat irrittant dan berpotensi masuk ke saluran sistemik akibat berukuran nano, minyak atsiri kapulaga memiliki nilai LD50 akut oral yang cukup kecil dan toksik yaitu sebesar 22,070 mg/kg pada mencit (Dweck, 2009). Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan penelitian untuk mengevaluasi toksisitas nanoemulsi minyak atsiri kapulaga melalui uji iritasi akut dermal pada kelinci albino dan hemolisis eritrosit. Menurut Anonim (2014a), uji iritasi akut dermal adalah suatu uji iritasi pada hewan uji (kelinci albino) untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemaparan sediaan uji pada dermal selama 3 menit sampai 4 jam. Sedangkan uji hemolisis merupakan suatu uji untuk mendeteksi efek toksik hemolisis eritrosit disebabkan sediaan uji dengan mengukur hemoglobin yang keluar dari sel eritrosit menggunakan metode elisa reader. B. Perumusan Masalah 1. Apakah penggunaan nanoemulsi kapulaga dengan konsentrasi 3% dapat menimbulkan efek iritasi terhadap kulit kelinci? 2. Apakah penggunaan nanoemulsi kapulaga dengan konsentrasi 3% dapat menimbulkan efek hemolisis pada eritrosit? 3. Bagaimana perbandingan toksisitas nanoemulsi kapulaga dengan minyak atsiri kapulaga murni sebelum diformulasi pada konsentrasi 3%? 4 C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui efek iritasi pada kulit setelah penggunaan nanoemulsi kapulaga dengan konsentrasi 3%. 2. Untuk mengetahui efek hemolisis eritrosit setelah penggunaan nanoemulsi kapulaga dengan konsentrasi 3% 3. Untuk mengetahui perbandingan toksisitas iritasi dan hemolisis nanoemulsi kapulaga dengan minyak atsiri kapulaga sebelum diformulasi pada konsentrasi 3%. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini berguna untuk pengembangan dan evaluasi minyak atsiri kapulaga yang diformulasi dalam bentuk nanoemulsi yang memiliki aktivitas antibakteri, dari aspek iritasi dan hemolisis sel darah merah sehingga dapat digunakan sebagai alternatif antibakteri dermal alami. E. Kajian Pustaka 1. Kapulaga a. Morfologi Kapulaga memiliki daun yang berbentuk lanset dengan ujung yang runcing, tulang daun menyirip. Berbatang semu, bulat, berwarna hijau dan buahnya berbentuk bulat (Maryani, 2003). Buah berbentuk bulat memanjang, berlekuk, kadang-kadang berbulu, panjang mencapai 10-16 mm, berwarna putih kekuningan atau putih kelabu. Buah mempunyai tiga ruang yang dipisahkan oleh selaput tipis setebal kertas. Tiap ruang terdapat lima sampai tujuh biji kecil berwarna coklat hitam yang beraroma khas (Sinaga, 2008). 5 Kapulaga di Indonesia dikenal dengan berbagai macam nama. Di daerah Jawa dikenal dengan nama kapol sebrang (Sunda), kapulogo (Jawa), palagha (Madura), orkolaka (Bali). Di Sumatra dikenal dengan nama kapulaga (Aceh), Palago (Minangkabau), kalpulaga (Melayu). Di Sulawesi dikenal dengan gandimong (Bugis) dan kapulaga (Makassar). b. Taksonomi (Anonim, 2000) Kerajaan : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Liliopsida Bangsa : Zingiberales Suku : Zingiberaceae Marga : Amomum Jenis : Amomum compactum Soland ex Maton Gambar 1. Biji Kapulaga (Hendrinova, 2010) 6 c. Minyak Atsiri Kapulaga Kapulaga mempunyai aroma khas yang ditimbulkan dari minyak atsiri yang dapat diperoleh dari rimpang atau buahnya. Minyak atsiri merupakan senyawa metabolit sekunder beraroma khas dan mudah menguap. Minyak atsiri tersusun dari beberapa komponen yang mayoritas berasal dari golongan terpenoid (Tongnuanchan & Benjakul, 2014). Kapulaga mengandung eucalyptol (67%), β-pinene (16%), α-pinene (4%), α-terpineol (5%), humulene (3%), beberapa p-cymene, limonene, myrcene, dcamphor, carvone, myrtenol, d-borneol, gamma-terpineol, terpinen-4-ol, caryophyllene, dan humulene epoxiide II (Duke dkk, 2002). Gambar 2. Struktur eukaliptol (1,8-cineole) Komponen terbanyak yang terkandung dalam dalam minyak atsiri kapulaga yaitu eukaliptol (1,8-cineole). Menurut Duke dkk (2002), eukaliptol mempunyai berbagai aktivitas antara lain antialergi, antibakteri, antibronkhitis, antiinflamasi, antireumatik, antiseptik, antitusif, antikolinesterase. Eukaliptol (1,8-cineole) yang merupakan komponen utama terbesar dari minyak atsiri tersebut memiliki nilai LD50 akut oral 2,48 mg/kg pada tikus dan nilai LD50 akut oral 3,849 mg/kg pada mencit (Anonim, 2013 & Xu dkk, 2014). 7 Minyak atsiri dari biji kapulaga Nepal (Amomum subulatum) memiliki nilai LD50 akut oral sebesar 22,070 mg/kg pada mencit (Dweck, 2009). Kapulaga Nepal memiliki aktivitas antibakteri dengan MIC50 = 313 µg/ml = 0,313% b/v (Satya dkk, 2012). d. Manfaat dan Resiko Menurut Hartwell (1971), kapulaga digunakan untuk obat tradisional liver, uterus dan kanker. Selain itu kapulaga dilaporkan menjadi obat antitoksik, antiemetik, karminativum. Di China kapulaga jarang digunakan sendiri, lebih sering dikombinasi seperti dicampur dengan kuning telur segar, ini digunakan selama kehamilan. Menurut Duke dkk (2002), kapulaga dapat digunakan untuk antibakteri, bronkhitis, kanker, demam, batuk, flu, asam urat, inflamasi, mual, sakit kepala muntah, rematik, dan Alzheimer. Kapulaga mengandung senyawa aktif sebagai antibakteri salah satunya yaitu eukaliptol (Sokovic dkk, 2009; Mulyaningsih dkk, 2010). Beberapa minyak atsiri juga memiliki efek toksik jika digunakan secara tidak benar seperti iritasi, sensitisasi, karsinogenik, gangguan kehamilan dan pencernaan (Dweck, 2009). 2. Nanoemulsi a. Definisi Nanoemulsi Emulsi merupakan sistem heterogen terdiri dari dua cairan yang saling campur. Menurut Mason dkk (2006), emulsi terjadi interaksi tegangan antar 8 molekul permukaan dua fase cair yang saling kontak. Tegangan antar muka ini dapat dikurangi secara signifikan dengan menambahkan molekul ampifilik atau surfaktan yang larut setidaknya dalam salah satu fase cair. Struktur molekul ampifilik terdiri dari bagian kepala dan bagian ekor. Bagian kepala yang lebih suka dalam cairan polar, sedangkan bagian ekor hidrokarbon lebih suka pada cairan non-polar. Oleh karena itu surfaktan dapat menurunkan tegangan antarmuka dua fase cair yang saling tidak campur. Surfaktan terbagi tiga yaitu anionik, kationik, non-ionik. Menurut Shalel dkk (2002), surfaktan anionik (Sodium dodecyl sulfate), kationik (Dodecyl trimethylammonium bromide), non-ionik (Triton X-100) dapat menginduksi hemolisis dengan mekanisme osmotik dan pelarutan. Selain itu surfaktan nonionik seperti Tween 80 dapat menyebabkan hemolisis dengan meningkatkan permeabilitas membran (Bielawski dkk, 1995). Nanoemulsi adalah sistem emulsi dengan ukuran globul antara 20-200 nm (Thakur dkk, 2012). Nanoemulsi dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama karena adanya surfaktan dan ko-surfaktan yang menstabilkan dan menghambat koalesensi tetesan (Mason dkk, 2006). Secara visual nanoemulsi tampak transparan atau bening. Globul nanoemulsi lebih kecil dibandingkan gelombang cahaya tampak sehingga tampak transparan atau bening. Ukuran globul yang berukuran 20-200 nm menyebabkan penurunan gaya gravitasi dan gerak Brown yang signifikan sehingga mencegah terjadinya sedimentasi dan meningkatkan stabilitas fisik emulsi (Solans dkk, 2005). 9 Nanoemulsi tidak memerlukan energi besar atau bahkan tanpa masukan energi sementara emulsi memerlukan energi yang besar (Thakur dkk, 2012). Emulsi membutuhkan surfaktan dalam jumlah yang tinggi (20-25%) dibandingkan dengan nanoemulsi (5-10%) (Hamouda dkk, 1999). Nanoemulsi terbagi menjadi 3 tipe yaitu nanoemulsi minyak dalam air (O/W), air dalam minyak (W/O) dan bikontinu. Perubahan antara ketiga tipe tersebut dapat diperoleh dengan mengubah dan menvariasikan komponen dari nanoemulsi (Bhatt & Madhav, 2011). a. Kelebihan Nanoemulsi (Mason dkk, 2006; Devarajan & Ravichandran, 2011; Talegaonkar dkk, 2008; Thakur dkk, 2012) adalah : 1) nanoemulsi memiliki termodinamika dan kinetika yang stabil sehingga tidak terjadi flokulasi, agregasi, creaming, dan koalesensi; 2) nanoemulsi umumnya tidak iritan; 3) nanoemulsi mempunyai beberapa variasi rute pemakaian yaitu oral, topikal, parenteral, dan transdermal; 4) nanoemulsi dapat membawa obat hidrofilik dan obat lipofilik sekaligus dalam satu sistem nanoemulsi; 5) globul yang berukuran nano menyebabkan luas permukaan partikel semakin tinggi sehingga meningkatkan kecepatan absorpsi, bioavailabilitas obat & toksisitas; 6) melindungi obat dari hidrolisis dan oksidasi; 7) nanoemulsi juga meningkatkan daya tembus obat melewati kulit. 10 b. Kekurangan nanoemulsi (Mason dkk, 2006; Devarajan & Ravichandran, 2011; Talegaonkar dkk, 2008) adalah : 1) membutuhkan konsentrasi surfaktan/kosurfaktan dalam jumlah besar untuk meningkatkan stabilitas; 2) stabilitas dipengaruhi oleh suhu dan pH; 3) pemilihan eksipien dan komponen nanoemulsi terbatas; 4) biaya lebih mahal. Berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa nanoemulsi kapulaga dapat diformulasi menggunakan 3 gram minyak atsiri kapulaga, campuran 18,665 gram Tween 80, 9,335 gram PEG 400, 1 gram VCO (Virgin Coconut Oil) dan 68 gram akuades (Ramadhan dkk, 2015). 3. Uji Toksisitas Uji toksisitas merupakan pengujian untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji (Anonim, 2014). Uji toksisitas menggunakan hewan uji seperti mencit, tikus dan kelici sebagai model berguna untuk mengetahui adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia terhadap suatu sediaan uji namun tidak dapat digunakan secara mutlak hanya untuk petunjuk adanya toksisitas relatif. Minyak atsiri kapulaga memiliki kandungan utama yaitu eukaliptol (1,8-cineole). Dalam literatur MSDS menyebutkan bahwa eukaliptol merupakan agen pengoksidasi dan bersifat irritant (Anonim, 2013). Penggunaan nanoemulsi kapulaga sebagai alternatif antibakteri yang diaplikasikan secara dermal 11 dimungkinkan dapat menimbulkan iritasi dan hemolisis eritrosit dikarenakan masuk ke sistemik. Oleh karena itu perlu dilakukan uji iritasi dan uji hemolisis eritrosit. a. Uji Iritasi akut dermal Prinsip uji iritasi akut dermal adalah senyawa yang akan diuji dipaparkan dalam dosis tunggal pada hewan uji. Pengamatan dan penilaian tingkat iritasi dilakukan pada selang waktu tertentu agar dapat memberikan informasi lengkap dari efek iritasi (Anonim, 2014). Bertujuan untuk menentukan adanya efek iritan dan korosif serta untuk menilai dan mengevaluasi zat apabila dipaparkan dengan rute dermal (Anonim, 1998). Uji iritasi akut dermal dilakukan pada kelinci albino jantan atau betina yang sehat dan dewasa dengan bobot sekitar ± 2 kg. Kulit hewan uji yang digunakan harus sehat. Sebelum pengujian dimulai, hewan uji diaklimatisasi di ruang percobaan kurang lebih selama 5 hari dan hewan ditempatkan pada kandang individual (1 kandang untuk 1 ekor). Sekurangkurangnya 24 jam sebelum pengujian, bulu punggung hewan uji harus dicukur seluas lebih kurang 10 x 15 cm atau tidak kurang 10% dari permukaan tubuh untuk tempat pemaparan sediaan uji. Pencukuran dimulai dari area tulang belikat (bahu) sampai tulang pangkal paha (tulang pinggang) dan setengah kebawah badan pada tiap sisi. Setiap sampel dioleskan sebanyak 0,5 ml pada bagian punggung yang telah ditandai, lalu ditutup dengan kasa steril lalu direkatkan dengan plester. Setelah 4 jam, residu sediaan uji dihapus menggunakan akuades. Pengamatan derajat iritasi dilakukan pada jam ke 1, 24, 48 dan 72 hingga 14 hari (Anonim, 2014). 12 b. Uji Hemolisis Eritrosit Menurut Arzoumanian (2003), hemolisis adalah kerusakan membran sel darah merah yang disebabkan pelepasan hemoglobin dan komponen internal lainnya ke dalam cairan sekitarnya. Hemolisis secara visual terdeteksi dengan terlihatnya warna merah muda atau merah diserum dan plasma yang dapat diukur dengan spektrofotometri. Prinsip uji hemolisis eritrosit mendeteksi dan mengukur hemoglobin yang keluar dari sel akibat hemolisis menggunakan pembacaan absorbansi di spektrofotometri untuk mendapatkan nilai persen hemolisis. Bertujuan untuk menentukan adanya efek hemolisis serta untuk menilai dan mengevaluasi sediaan uji apabila kontak dengan eritrosit. Eritrosit diambil dari pendonor yang sehat. Darah ditempatkan dalam vakutainer yang berisi antikoagulan EDTA agar darah tidak menggumpal. Darah disentrifugasi agar sel darah merah dapat dipisahkan dari plasma darah, leukosit dan trombosit. Eritrosit yang telah terpisah dicuci sebanyak tiga kali menggunakan PBS (Phosphate Buffered Saline) dengan pH 7,4. Pencucian dilakukan dengan cara sentrifugasi dengan kecepatan 3000 selama 10 menit sebanyak tiga kali hingga larutan PBS hampir tidak berwarna dan jernih (Zhu dkk, 2002). Eritrosit dihitung menggunakan hematology analyzer. Persyaratan agar eritrosit dapat digunakan untuk uji menurut Zhu dkk (2002), jumlah sel yang hidup harus diatas 95 % dengan konsentrasi sel 2 x 108 sel/ml. 13 Sel darah merah sangat mudah mengalami oksidasi yang menyebabkan lisis. Hal tersebut dikarenakan eritrosit mengandung lemak tidak jenuh yang tinggi, kandungan oksigen yang sangat tinggi, dan keberadaan logam. Kerusakan oksidatif dapat dipicu oleh adanya H2O2, aldehid, aloksan dan senyawa pengoksidasi lainnya. Enzim antioksidan pada eritrosit seperti superoksida dismustase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase dapat mencegah hemolisis (Tantradwitiya, 2009). Hemolisis in vitro dapat terjadi karena proses yang tidak benar pada koleksi spesimen, pengolahan spesimen, dan pemindahan spesimen (Arzoumanian, 2003). Selain dari proses pengolahan sel darah merah, hemolisis juga dapat terjadi dikarenakan senyawa pengoksidasi. Sel darah merah sangat rentan terhadap oksidasi karena membran sel darah merah tersusun dari lipid tak jenuh, berkaitan dengan suplai oksigen, dan terdapatnya logam transisi seperti besi dan tembaga (Delmas-Beauvieux dkk, 1995; Mennen dkk 2004). Menurut Bracci dkk (2002), Chan dkk (1999), Delmas-Beauvieux dkk (1995), Niki dkk (1988) reactive oxygen species (ROS) yang dihasilkan dalam plasma, sitosol atau membran sel dapat menyerang membran eritrosit dan menginduksi terjadinya oksidasi lipid dan protein sehingga mengakibatkan hemolisis. Pemaparan suhu pada sel darah merah pada saat proses penyimpanan, filtrasi, dan proses penting lainnya merupakan termasuk faktor penting terjadinya hemolisis. Kondisi larutan yang hipotonis atau hipertonis, perubahan pH yang ekstrim, dan penambahan zat aditif pada penyimpanan sel darah dapat menyebabkan kerusakan atau lisisnya sel darah. Terdapatnya beberapa obat 14 tertentu dengan konsentrasi tinggi dalam darah tranfusi dapat mengakibatkan lisisnya sel darah merah. Contohnya seperti penisillin, vitamin C, quinidine dan alpha methyl-dopa (Sowemimo & Coker, 2012). F. Landasan Teori Minyak atsiri dari biji kapulaga Amomum subulatum memiliki nilai LD50 akut oral sebesar 22,070 mg/kg pada mencit (Dweck, 2009). Minyak atsiri kapulaga mengandung 5 komponen utama yaitu eucalyptol (67%), β-pinene (16%), α-pinene (4%), α-terpineol (5%), humulene (3%) (Duke dkk, 2002). Eukaliptol (1,8-cineole) yang merupakan komponen utama terbesar dari minyak atsiri tersebut memiliki nilai LD50 akut oral 2,48 g/kg pada tikus dan nilai LD50 akut oral 3,849 g/kg pada mencit (Anonim, 2013). Kapulaga mengandung senyawa aktif sebagai antibakteri salah satunya yaitu eukaliptol (1,8-cineole) (Sokovic dkk, 2009; Mulyaningsih dkk, 2010). Kapulaga Nepal (Amomum subulatum) memiliki aktivitas antibakteri dengan MIC50 = 313 µg/ml = 0,313% b/v (Satya dkk, 2012). Data toksisitas dari minyak atsiri Amomum subulatum tersebut dapat dijadikan sebagai gambaran toksisitas minyak atsiri biji Amomum compactum karena penelitian toksisitas minyak atsiri biji Amomum compactum belum pernah dilakukan. Kedua tanaman ini memiliki kekerabatan yang sangat dekat (berada dalam satu genus yaitu Amomum) dan memiliki kandungan yang sama yaitu eukaliptol (1,8-cineole). Dalam literatur MSDS menyebutkan bahwa eukaliptol (1,8-cineole) merupakan agen pengoksidasi dan bersifat irritant (Anonim, 2013). 15 Nanoemulsi secara umum memiliki sifat non-iritan dan melindungi obat dalam nanopartikel (Thakur dkk, 2012). Berdasarkan MSDS eukaliptol yang merupakan komponen terbesar minyak atsiri kapulaga bersifat sebagai irritant (Anonim, 2013). Minyak atsiri kapulaga yang diformulasi menjadi nanoemulsi diharapkan dapat menghilangkan sifat irritant. Nanoemulsi dapat meningkatkan daya tembus atau absorbsi minyak atsiri ke dalam kulit ketika penggunaan secara dermal memungkinkan minyak atsiri kapulaga masuk ke dalam saluran sistemik dan berpotensi menimbulkan efek hemolisis sel darah merah dikarenakan mengandung senyawa yang dapat mengoksidasi sel darah merah sehingga menyebabkan keluarnya hemoglobin dari dalam sel darah merah (Baser & Buchbauer, 2010). Selain itu menurut Bielawski dkk, (1995) surfaktan non-ionik seperti Tween 80 dapat menyebabkan hemolisis dengan meningkatkan permeabilitas membran. Hasil optimasi formula nanoemulsi minyak atsiri kapulaga menurut Ramadhan dkk (2015) mengandung minyak atsiri kapulaga sebesar 3% b/b. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi toksisitas dari nanoemulsi minyak atsiri kapulaga sehingga dapat diketahui tingkat keamanannya sebagai agen antibakteri alternatif yang dapat digunakan dan diterima oleh kalangan medis. 16 G. Hipotesis Penggunaan nanoemulsi minyak atsiri kapulaga pada konsentrasi 3% b/b tidak menimbulkan efek iritasi akut, namun dapat menimbulkan hemolisis pada sel darah merah manusia. Nanoemulsi kapulaga 3% b/b memiliki persen hemolisis lebih tinggi dibandingkan minyak atsiri kapulaga murni dengan konsentrasi 3% b/b dalam VCO (Virgin Coconut Oil), sedangkan pada uji iritasi nanoemulsi dan minyak atsiri kapulaga murni pada konsentrasi 3% tidak menimbulkan efek iritasi kulit.