1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Infeksi
merupakan
proses
invasif
mikroorganisme
patogen
yang
berproliferasi didalam jaringan tubuh yang dapat menyebabkan sakit (Southwick,
2007). Mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi antara lain bakteri,
virus, parasit dan jamur. Penyebab infeksi terbanyak yaitu bakteri dikarenakan
bakteri memiliki ratusan spesies yang dapat menyebabkan penyakit dan mudah
tersebar melalui udara, air, makanan, cairan tubuh maupun benda yang
terkontaminasi.
Antibiotik merupakan segolongan senyawa alami maupun sintetik yang
memiliki efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia dalam bakteri
sehingga dapat bersifat bakteriostatik atau bakteriosida. Penggunaan antibiotik
yang kurang tepat dapat menyebabkan resistensi antibiotik dikarenakan proses
mutasi dalam bakteri. Menurut data WHO tahun 2014 tentang Antimicrobial
Resistance, Global Report on Surveillance bahwa telah ditemukan kasus resistensi
pada Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Neisseria gonorrhoeae terhadap
sefalosporin generasi 3, Nontyphoidal salmonellla (NTS), Shigella species
resisten pada flourokuinolon, Streptococcus pneumoniae resisten pada penisillin,
Staphylococcus aureus resisten pada metisillin. Resistensi mikroba terhadap
antibiotik ini menyebabkan meningkatnya angka kematian yang disebabkan oleh
mikroba. Dapat dikatakan bahwa antimikroba konvensional tidak efektif lagi.
Oleh karena itu perlu dikembangkan antimikroba alternatif dari bahan alami.
1
2
Salah satu bahan yang mempunyai aktifitas bakteri adalah minyak atsiri kapulaga.
Minyak atsiri kapulaga mengandung senyawa aktif sebagai antibakteri lokal salah
satunya yaitu eukaliptol (1,8-sineol) (Sokovic dkk, 2009; Mulyaningsih dkk,
2010).
Minyak atsiri dapat menimbulkan resiko berupa sensitisasi, iritasi, dan
fototoksisitas (Dweck, 2009). Selain itu eukaliptol yang merupakan komponen
terbesar minyak artsiri kapulaga memiliki sifat sebagai irritant. Oleh karena itu
perlu adanya penelitian, pengujian, pengembangan dan pengenalan agar dapat
diterima sebagai antimikroba alami dikalangan medis. Toksisitas yang dapat
timbul dikarenakan minyak atsiri salah satunya yaitu iritasi. Iritasi merupakan
reaksi kulit yang terjadi karena kerusakan lokal yang reversibel dari jaringan kulit
setelah penggunaan senyawa kimia tanpa melibatkan sistem imun (Gad &
Chengelis, 1998).
Minyak atsiri dalam penelitian ini diformulasikan menjadi bentuk
nanoemulsi. Nanoemulsi merupakan salah satu bentuk emulsi dengan distribusi
ukuran partikel sekitar 10-100nm. Nanoemulsi memiliki kelebihan dapat
meningkatkan daya tembus obat terhadap kulit dan bioavailabilitas obat,
melindungi obat dari hidrolisis dan oksidasi dan dapat diaplikasikan diberbagai
rute pemakaian seperti oral, topikal, parenteral, transdermal (Thakur dkk, 2012).
Oleh karena itu diharapkan dengan diformulasi dalam bentuk nanoemulsi dapat
meningkatkan stabilitas, efektivitas dan daya tembus minyak atsiri kapulaga.
Peningkatan daya tembus atau absorbsi minyak atsiri ke dalam kulit
memungkinkan minyak atsiri masuk ke dalam saluran sistemik dan berpotensi
3
menimbulkan efek hemolisis sel darah merah dikarenakan mengandung senyawa
yang dapat mengoksidasi sel darah merah sehingga menyebabkan keluarnya
hemoglobin dari dalam sel darah merah (Baser & Buchbauer, 2010). Selain
dikarenakan bersifat irrittant dan berpotensi masuk ke saluran sistemik akibat
berukuran nano, minyak atsiri kapulaga memiliki nilai LD50 akut oral yang cukup
kecil dan toksik yaitu sebesar 22,070 mg/kg pada mencit (Dweck, 2009).
Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan penelitian untuk
mengevaluasi toksisitas nanoemulsi minyak atsiri kapulaga melalui uji iritasi akut
dermal pada kelinci albino dan hemolisis eritrosit. Menurut Anonim (2014a), uji
iritasi akut dermal adalah suatu uji iritasi pada hewan uji (kelinci albino) untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemaparan sediaan uji pada dermal
selama 3 menit sampai 4 jam. Sedangkan uji hemolisis merupakan suatu uji untuk
mendeteksi efek toksik hemolisis eritrosit disebabkan
sediaan uji dengan
mengukur hemoglobin yang keluar dari sel eritrosit menggunakan metode elisa
reader.
B. Perumusan Masalah
1.
Apakah penggunaan nanoemulsi kapulaga dengan konsentrasi 3% dapat
menimbulkan efek iritasi terhadap kulit kelinci?
2.
Apakah penggunaan nanoemulsi kapulaga dengan konsentrasi 3% dapat
menimbulkan efek hemolisis pada eritrosit?
3.
Bagaimana perbandingan toksisitas nanoemulsi kapulaga dengan minyak
atsiri kapulaga murni sebelum diformulasi pada konsentrasi 3%?
4
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui efek iritasi pada kulit setelah penggunaan nanoemulsi
kapulaga dengan konsentrasi 3%.
2.
Untuk mengetahui efek hemolisis eritrosit setelah penggunaan nanoemulsi
kapulaga dengan konsentrasi 3%
3.
Untuk mengetahui perbandingan toksisitas iritasi dan hemolisis nanoemulsi
kapulaga dengan minyak atsiri kapulaga sebelum diformulasi pada
konsentrasi 3%.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna untuk pengembangan dan evaluasi minyak atsiri
kapulaga yang diformulasi dalam bentuk nanoemulsi yang memiliki aktivitas
antibakteri, dari aspek iritasi dan hemolisis sel darah merah sehingga dapat
digunakan sebagai alternatif antibakteri dermal alami.
E. Kajian Pustaka
1.
Kapulaga
a.
Morfologi
Kapulaga memiliki daun yang berbentuk lanset dengan ujung yang runcing,
tulang daun menyirip. Berbatang semu, bulat, berwarna hijau dan buahnya
berbentuk bulat (Maryani, 2003). Buah berbentuk bulat memanjang, berlekuk,
kadang-kadang berbulu, panjang mencapai 10-16 mm, berwarna putih kekuningan
atau putih kelabu. Buah mempunyai tiga ruang yang dipisahkan oleh selaput tipis
setebal kertas. Tiap ruang terdapat lima sampai tujuh biji kecil berwarna coklat
hitam yang beraroma khas (Sinaga, 2008).
5
Kapulaga di Indonesia dikenal dengan berbagai macam nama. Di daerah
Jawa dikenal dengan nama kapol sebrang (Sunda), kapulogo (Jawa), palagha
(Madura), orkolaka (Bali). Di Sumatra dikenal dengan nama kapulaga (Aceh),
Palago (Minangkabau), kalpulaga (Melayu). Di Sulawesi dikenal dengan
gandimong (Bugis) dan kapulaga (Makassar).
b.
Taksonomi (Anonim, 2000)
Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Liliopsida
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Amomum
Jenis
: Amomum compactum Soland ex Maton
Gambar 1. Biji Kapulaga (Hendrinova, 2010)
6
c.
Minyak Atsiri Kapulaga
Kapulaga mempunyai aroma khas yang ditimbulkan dari minyak atsiri yang
dapat diperoleh dari rimpang atau buahnya. Minyak atsiri merupakan senyawa
metabolit sekunder beraroma khas dan mudah menguap. Minyak atsiri tersusun
dari beberapa komponen yang mayoritas berasal dari golongan terpenoid
(Tongnuanchan & Benjakul, 2014).
Kapulaga mengandung eucalyptol (67%), β-pinene (16%), α-pinene (4%),
α-terpineol (5%), humulene (3%), beberapa p-cymene, limonene, myrcene, dcamphor,
carvone,
myrtenol,
d-borneol,
gamma-terpineol,
terpinen-4-ol,
caryophyllene, dan humulene epoxiide II (Duke dkk, 2002).
Gambar 2. Struktur eukaliptol (1,8-cineole)
Komponen terbanyak yang terkandung dalam dalam minyak atsiri kapulaga
yaitu eukaliptol (1,8-cineole). Menurut Duke dkk (2002), eukaliptol mempunyai
berbagai aktivitas antara lain antialergi, antibakteri, antibronkhitis, antiinflamasi,
antireumatik, antiseptik, antitusif, antikolinesterase. Eukaliptol (1,8-cineole) yang
merupakan komponen utama terbesar dari minyak atsiri tersebut memiliki nilai
LD50 akut oral 2,48 mg/kg pada tikus dan nilai LD50 akut oral 3,849 mg/kg pada
mencit (Anonim, 2013 & Xu dkk, 2014).
7
Minyak atsiri dari biji kapulaga Nepal (Amomum subulatum) memiliki nilai
LD50 akut oral sebesar 22,070 mg/kg pada mencit (Dweck, 2009). Kapulaga
Nepal memiliki aktivitas antibakteri dengan MIC50 = 313 µg/ml = 0,313% b/v
(Satya dkk, 2012).
d.
Manfaat dan Resiko
Menurut Hartwell (1971), kapulaga digunakan untuk obat tradisional liver,
uterus dan kanker. Selain itu kapulaga dilaporkan menjadi obat antitoksik,
antiemetik, karminativum. Di China kapulaga jarang digunakan sendiri, lebih
sering dikombinasi seperti dicampur dengan kuning telur segar, ini digunakan
selama kehamilan.
Menurut Duke dkk (2002), kapulaga dapat digunakan untuk antibakteri,
bronkhitis, kanker, demam, batuk, flu, asam urat, inflamasi, mual, sakit kepala
muntah, rematik, dan Alzheimer. Kapulaga mengandung senyawa aktif sebagai
antibakteri salah satunya yaitu eukaliptol (Sokovic dkk, 2009; Mulyaningsih dkk,
2010).
Beberapa minyak atsiri juga memiliki efek toksik jika digunakan secara
tidak benar seperti iritasi, sensitisasi, karsinogenik, gangguan kehamilan dan
pencernaan (Dweck, 2009).
2.
Nanoemulsi
a.
Definisi Nanoemulsi
Emulsi merupakan sistem heterogen terdiri dari dua cairan yang saling
campur. Menurut Mason dkk (2006), emulsi terjadi interaksi tegangan antar
8
molekul permukaan dua fase cair yang saling kontak. Tegangan antar muka ini
dapat dikurangi secara signifikan dengan menambahkan molekul ampifilik atau
surfaktan yang larut setidaknya dalam salah satu fase cair. Struktur molekul
ampifilik terdiri dari bagian kepala dan bagian ekor. Bagian kepala yang lebih
suka dalam cairan polar, sedangkan bagian ekor hidrokarbon lebih suka pada
cairan non-polar. Oleh karena itu surfaktan dapat menurunkan tegangan
antarmuka dua fase cair yang saling tidak campur.
Surfaktan terbagi tiga yaitu anionik, kationik, non-ionik. Menurut Shalel
dkk (2002), surfaktan anionik (Sodium dodecyl sulfate), kationik (Dodecyl
trimethylammonium bromide), non-ionik (Triton X-100) dapat menginduksi
hemolisis dengan mekanisme osmotik dan pelarutan. Selain itu surfaktan nonionik seperti Tween 80 dapat menyebabkan hemolisis dengan meningkatkan
permeabilitas membran (Bielawski dkk, 1995).
Nanoemulsi adalah sistem emulsi dengan ukuran globul antara 20-200 nm
(Thakur dkk, 2012). Nanoemulsi dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama
karena adanya surfaktan dan ko-surfaktan yang menstabilkan dan menghambat
koalesensi tetesan (Mason dkk, 2006). Secara visual nanoemulsi tampak
transparan atau bening. Globul nanoemulsi lebih kecil dibandingkan gelombang
cahaya tampak sehingga tampak transparan atau bening. Ukuran globul yang
berukuran 20-200 nm menyebabkan penurunan gaya gravitasi dan gerak Brown
yang signifikan sehingga mencegah terjadinya sedimentasi dan meningkatkan
stabilitas fisik emulsi (Solans dkk, 2005).
9
Nanoemulsi tidak memerlukan energi besar atau bahkan tanpa masukan
energi sementara emulsi memerlukan energi yang besar (Thakur dkk, 2012).
Emulsi
membutuhkan
surfaktan
dalam
jumlah
yang
tinggi
(20-25%)
dibandingkan dengan nanoemulsi (5-10%) (Hamouda dkk, 1999).
Nanoemulsi terbagi menjadi 3 tipe yaitu nanoemulsi minyak dalam air
(O/W), air dalam minyak (W/O) dan bikontinu. Perubahan antara ketiga tipe
tersebut dapat diperoleh dengan mengubah dan menvariasikan komponen dari
nanoemulsi (Bhatt & Madhav, 2011).
a. Kelebihan Nanoemulsi (Mason dkk, 2006; Devarajan & Ravichandran,
2011; Talegaonkar dkk, 2008; Thakur dkk, 2012) adalah :
1) nanoemulsi memiliki termodinamika dan kinetika yang stabil sehingga
tidak terjadi flokulasi, agregasi, creaming, dan koalesensi;
2) nanoemulsi umumnya tidak iritan;
3) nanoemulsi mempunyai beberapa variasi rute pemakaian yaitu oral,
topikal, parenteral, dan transdermal;
4) nanoemulsi dapat membawa obat hidrofilik dan obat lipofilik sekaligus
dalam satu sistem nanoemulsi;
5) globul yang berukuran nano menyebabkan luas permukaan partikel
semakin
tinggi
sehingga
meningkatkan
kecepatan
absorpsi,
bioavailabilitas obat & toksisitas;
6) melindungi obat dari hidrolisis dan oksidasi;
7) nanoemulsi juga meningkatkan daya tembus obat melewati kulit.
10
b. Kekurangan nanoemulsi (Mason dkk, 2006; Devarajan & Ravichandran,
2011; Talegaonkar dkk, 2008) adalah :
1) membutuhkan konsentrasi surfaktan/kosurfaktan dalam jumlah besar
untuk meningkatkan stabilitas;
2) stabilitas dipengaruhi oleh suhu dan pH;
3) pemilihan eksipien dan komponen nanoemulsi terbatas;
4) biaya lebih mahal.
Berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa nanoemulsi kapulaga dapat
diformulasi menggunakan 3 gram minyak atsiri kapulaga, campuran 18,665 gram
Tween 80, 9,335 gram PEG 400, 1 gram VCO (Virgin Coconut Oil) dan 68 gram
akuades (Ramadhan dkk, 2015).
3.
Uji Toksisitas
Uji toksisitas merupakan pengujian untuk mendeteksi efek toksik suatu zat
pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari
sediaan uji (Anonim, 2014). Uji toksisitas menggunakan hewan uji seperti mencit,
tikus dan kelici sebagai model berguna untuk mengetahui adanya reaksi biokimia,
fisiologik dan patologik pada manusia terhadap suatu sediaan uji namun tidak
dapat digunakan secara mutlak hanya untuk petunjuk adanya toksisitas relatif.
Minyak atsiri kapulaga memiliki kandungan utama yaitu eukaliptol (1,8-cineole).
Dalam literatur MSDS menyebutkan bahwa eukaliptol merupakan agen
pengoksidasi dan bersifat irritant (Anonim, 2013). Penggunaan nanoemulsi
kapulaga sebagai alternatif antibakteri yang diaplikasikan secara dermal
11
dimungkinkan dapat menimbulkan iritasi dan hemolisis eritrosit dikarenakan
masuk ke sistemik. Oleh karena itu perlu dilakukan uji iritasi dan uji hemolisis
eritrosit.
a.
Uji Iritasi akut dermal
Prinsip uji iritasi akut dermal adalah senyawa yang akan diuji dipaparkan
dalam dosis tunggal pada hewan uji. Pengamatan dan penilaian tingkat iritasi
dilakukan pada selang waktu tertentu agar dapat memberikan informasi lengkap
dari efek iritasi (Anonim, 2014). Bertujuan untuk menentukan adanya efek iritan
dan korosif serta untuk menilai dan mengevaluasi zat apabila dipaparkan dengan
rute dermal (Anonim, 1998). Uji iritasi akut dermal dilakukan pada kelinci albino
jantan atau betina yang sehat dan dewasa dengan bobot sekitar ± 2 kg. Kulit
hewan uji yang digunakan harus sehat. Sebelum pengujian dimulai, hewan uji
diaklimatisasi di ruang percobaan kurang lebih selama 5 hari dan hewan
ditempatkan pada kandang individual (1 kandang untuk 1 ekor). Sekurangkurangnya 24 jam sebelum pengujian, bulu punggung hewan uji harus dicukur
seluas lebih kurang 10 x 15 cm atau tidak kurang 10% dari permukaan tubuh
untuk tempat pemaparan sediaan uji. Pencukuran dimulai dari area tulang belikat
(bahu) sampai tulang pangkal paha (tulang pinggang) dan setengah kebawah
badan pada tiap sisi.
Setiap sampel dioleskan sebanyak 0,5 ml pada bagian punggung yang telah
ditandai, lalu ditutup dengan kasa steril lalu direkatkan dengan plester. Setelah 4
jam, residu sediaan uji dihapus menggunakan akuades. Pengamatan derajat iritasi
dilakukan pada jam ke 1, 24, 48 dan 72 hingga 14 hari (Anonim, 2014).
12
b.
Uji Hemolisis Eritrosit
Menurut Arzoumanian (2003), hemolisis adalah kerusakan membran sel
darah merah yang disebabkan pelepasan hemoglobin dan komponen internal
lainnya ke dalam cairan sekitarnya. Hemolisis secara visual terdeteksi dengan
terlihatnya warna merah muda atau merah diserum dan plasma yang dapat diukur
dengan spektrofotometri.
Prinsip uji hemolisis eritrosit mendeteksi dan mengukur hemoglobin yang
keluar dari sel akibat hemolisis menggunakan pembacaan absorbansi di
spektrofotometri untuk mendapatkan nilai persen hemolisis. Bertujuan untuk
menentukan adanya efek hemolisis serta untuk menilai dan mengevaluasi sediaan
uji apabila kontak dengan eritrosit.
Eritrosit diambil dari pendonor yang sehat. Darah ditempatkan dalam
vakutainer yang berisi antikoagulan EDTA agar darah tidak menggumpal. Darah
disentrifugasi agar sel darah merah dapat dipisahkan dari plasma darah, leukosit
dan trombosit. Eritrosit yang telah terpisah dicuci sebanyak tiga kali
menggunakan PBS (Phosphate Buffered Saline)
dengan pH 7,4. Pencucian
dilakukan dengan cara sentrifugasi dengan kecepatan 3000 selama 10 menit
sebanyak tiga kali hingga larutan PBS hampir tidak berwarna dan jernih (Zhu
dkk, 2002). Eritrosit dihitung menggunakan hematology analyzer. Persyaratan
agar eritrosit dapat digunakan untuk uji menurut Zhu dkk (2002), jumlah sel yang
hidup harus diatas 95 % dengan konsentrasi sel 2 x 108 sel/ml.
13
Sel darah merah sangat mudah mengalami oksidasi yang menyebabkan lisis.
Hal tersebut dikarenakan eritrosit mengandung lemak tidak jenuh yang tinggi,
kandungan oksigen yang sangat tinggi, dan keberadaan logam. Kerusakan
oksidatif dapat dipicu oleh adanya H2O2, aldehid, aloksan dan senyawa
pengoksidasi lainnya. Enzim antioksidan pada eritrosit seperti superoksida
dismustase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase dapat mencegah hemolisis
(Tantradwitiya, 2009).
Hemolisis in vitro dapat terjadi karena proses yang tidak benar pada koleksi
spesimen, pengolahan spesimen, dan pemindahan spesimen (Arzoumanian, 2003).
Selain dari proses pengolahan sel darah merah, hemolisis juga dapat terjadi
dikarenakan senyawa pengoksidasi. Sel darah merah sangat rentan terhadap
oksidasi karena membran sel darah merah tersusun dari lipid tak jenuh, berkaitan
dengan suplai oksigen, dan terdapatnya logam transisi seperti besi dan tembaga
(Delmas-Beauvieux dkk, 1995; Mennen dkk 2004). Menurut Bracci dkk (2002),
Chan dkk (1999), Delmas-Beauvieux dkk (1995), Niki dkk (1988) reactive
oxygen species (ROS) yang dihasilkan dalam plasma, sitosol atau membran sel
dapat menyerang membran eritrosit dan menginduksi terjadinya oksidasi lipid dan
protein sehingga mengakibatkan hemolisis.
Pemaparan suhu pada sel darah merah pada saat proses penyimpanan,
filtrasi, dan proses penting lainnya merupakan termasuk faktor penting terjadinya
hemolisis. Kondisi larutan yang hipotonis atau hipertonis, perubahan pH yang
ekstrim, dan penambahan zat aditif pada penyimpanan sel darah dapat
menyebabkan kerusakan atau lisisnya sel darah. Terdapatnya beberapa obat
14
tertentu dengan konsentrasi tinggi dalam darah tranfusi dapat mengakibatkan
lisisnya sel darah merah. Contohnya seperti penisillin, vitamin C, quinidine dan
alpha methyl-dopa (Sowemimo & Coker, 2012).
F. Landasan Teori
Minyak atsiri dari biji kapulaga Amomum subulatum memiliki nilai LD50
akut oral sebesar 22,070 mg/kg pada mencit (Dweck, 2009). Minyak atsiri
kapulaga mengandung 5 komponen utama yaitu eucalyptol (67%), β-pinene
(16%), α-pinene (4%), α-terpineol (5%), humulene (3%) (Duke dkk, 2002).
Eukaliptol (1,8-cineole) yang merupakan komponen utama terbesar dari minyak
atsiri tersebut memiliki nilai LD50 akut oral 2,48 g/kg pada tikus dan nilai LD50
akut oral 3,849 g/kg pada mencit (Anonim, 2013). Kapulaga mengandung
senyawa aktif sebagai antibakteri salah satunya yaitu eukaliptol (1,8-cineole)
(Sokovic dkk, 2009; Mulyaningsih dkk, 2010).
Kapulaga Nepal (Amomum subulatum) memiliki aktivitas antibakteri
dengan MIC50 = 313 µg/ml = 0,313% b/v (Satya dkk, 2012). Data toksisitas dari
minyak atsiri Amomum subulatum tersebut dapat dijadikan sebagai gambaran
toksisitas minyak atsiri biji Amomum compactum karena penelitian toksisitas
minyak atsiri biji Amomum compactum belum pernah dilakukan. Kedua tanaman
ini memiliki kekerabatan yang sangat dekat (berada dalam satu genus yaitu
Amomum) dan memiliki kandungan yang sama yaitu eukaliptol (1,8-cineole).
Dalam literatur MSDS menyebutkan bahwa eukaliptol (1,8-cineole) merupakan
agen pengoksidasi dan bersifat irritant (Anonim, 2013).
15
Nanoemulsi secara umum memiliki sifat non-iritan dan melindungi obat
dalam nanopartikel (Thakur dkk, 2012). Berdasarkan MSDS eukaliptol yang
merupakan komponen terbesar minyak atsiri kapulaga bersifat sebagai irritant
(Anonim, 2013). Minyak atsiri kapulaga yang diformulasi menjadi nanoemulsi
diharapkan dapat menghilangkan sifat irritant.
Nanoemulsi dapat meningkatkan daya tembus atau absorbsi minyak atsiri ke
dalam kulit ketika penggunaan secara dermal memungkinkan minyak atsiri
kapulaga masuk ke dalam saluran sistemik dan berpotensi menimbulkan efek
hemolisis sel darah merah dikarenakan mengandung senyawa yang dapat
mengoksidasi sel darah merah sehingga menyebabkan keluarnya hemoglobin dari
dalam sel darah merah (Baser & Buchbauer, 2010). Selain itu menurut Bielawski
dkk, (1995) surfaktan non-ionik seperti Tween 80 dapat menyebabkan hemolisis
dengan meningkatkan permeabilitas membran. Hasil optimasi formula nanoemulsi
minyak atsiri kapulaga menurut Ramadhan dkk (2015) mengandung minyak atsiri
kapulaga sebesar 3% b/b.
Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi toksisitas dari nanoemulsi minyak
atsiri kapulaga sehingga dapat diketahui tingkat keamanannya sebagai agen
antibakteri alternatif yang dapat digunakan dan diterima oleh kalangan medis.
16
G. Hipotesis
Penggunaan nanoemulsi minyak atsiri kapulaga pada konsentrasi 3% b/b
tidak menimbulkan efek iritasi akut, namun dapat menimbulkan hemolisis pada
sel darah merah manusia. Nanoemulsi kapulaga 3% b/b memiliki persen hemolisis
lebih tinggi dibandingkan minyak atsiri kapulaga murni dengan konsentrasi 3%
b/b dalam VCO (Virgin Coconut Oil), sedangkan pada uji iritasi nanoemulsi dan
minyak atsiri kapulaga murni pada konsentrasi 3% tidak menimbulkan efek iritasi
kulit.
Download