BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus eritematosus sistemik (LES) atau yang lebih dikenal dengan sebutan lupus adalah penyakit autoimun yang prevalensi kejadiannya tergolong tinggi khususnya pada orang usia produktif. Penyakit ini merupakan penyakit kronik yang memiliki karateristik akan periode penyakit yang aktif dan remisi serta seringkali menyebabkan kelemahan serta kesakitan yang disebabkan oleh sistem imun yang menyerang organ, jaringan dan sel tubuh sendiri (Khanna, dkk., 2004). Pengobatan yang diberikan masih sekedar menurunkan kesakitan dan keaktifan dari lupus itu sendiri dikarenakan pengobatan untuk menyembuhkan lupus belum ditemukan. Oleh karena itu, penderita lupus menghadapi kesakitan dan perawatan seumur hidup yang seringkali menanggung gejala yang melemahkan tubuh, kehilangan fungsi organ, menurunkan produktifitas kerja, dan biaya perawatan medis yang mahal. Penyakit ini sebagian besar menimpa perempuan usia produktif. Penyakit ini memberikan beban berat kepada penderita, keluarga penderita dan kehidupan sosial pasien. Di Indonesia, lupus masih belum terlalu dikenal luas di masyarakat. Meski jumlah penyakit lupus diperkirakan terus meningkat di Indonesia, banyak penderita lupus yang tidak tertolong akibat ketidaktahuan masyarakat dan kurangnya campur tangan pemerintah dalam mensosialkan, Menurut Syamsi Dhuha Foundation (2011), sampai saat ini belum ada pendataan Lupus di Indonesia sehingga jumlah odapus (orang dengan Lupus) belum diketahui dengan pasti, dengan memakai angka prevalensi di Amerika Serikat sebesar 70 - 100/100.000 penduduk, estimasi jumlah odapus di Indonesia kurang lebih 200.000 - 250.000 orang di Indonesia. Menurut Kemenkes (2010), setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru yang berdasarkan data Lupus Foundation of America pada tahun 2009 diketahui pertumbuhan odapus sebanyak 16.000 orang pertahun. Di DI Yogyakarta sendiri melalui paguyuban Omah Kupu, diketahui bahwa Yogyakarta memiliki odapus sebanyak 89 orang yang masih bertahan hidup dan kemungkinan masih banyak yang belum terdata lagi. Menurut Kemenkes (2010), penyebab dari meningkatnya prevalensi odapus di Indonesia disebabkan diagnosis yang terlambat yang berakibat pada pemberian terapi yang tidak akurat serta penurunan kualitas pelayanan dan peningkatan masalah yang dihadapi odapus. Menurut Urowitz dan Gladman (1999), pasien LES yang bertahan hidup lebih lama memiliki manifestasi penyakit yang bervariasi sesuai jangka waktu dari penyakit tersebut. Salah satu yang sering dialami pasien LES adalah gangguan kognitif dan fatigue yang merupakan determinan dari morbiditas pasien LES. Morbiditas pasien LES sangat bergantung pada terapi yang diberikan. Pengontrolan manifestasi penyakit LES merupakan terapi yang terbaik sampai adanya pembaharuan terapi yang lebih efektif dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas penyakit LES. Menurut Zakeri, dkk., (2012), gangguan kejiwaan juga merupakan manifestasi dari LES yang apabila tidak diobati secara tepat akan berakibat fatal. Pada penelitian yang dilakukannya, ditemukan 60% pasien mencapai skor yang menunjukkan depresi. Yang paling umum gejala depresi pada peserta adalah kelelahan dan kelemahan (88,2%), irritabilitas (82,3%), sedih (77,6%), dan somatic preoccupation (76,4%), sedangkan gekala-gejala yang paling umum ialah berat badan (34,1%), rendahnya tingkat energi (28,2%), dan keinginan bunuh diri (10,5%). Penelitian-penelitian mengenai perawatan alternatif bagi penderita LES sudah mulai gencar dikembangkan dikarenakan prevalensi penderita LES yang terus meningkat. Penelitian tersebut dilakukan untuk membantu meningkatkan kualitas hidup pada penderita LES. Pada penelitian Hsieh dan Fong-Lin (2011), sitokin memainkan peran penting dalam patogenesis LES dan berkontribusi secara signifikan kepada ketidakseimbangan imun pada penyakit LES yang apabila diberikan terapi konservatif seperti modifikasi diet akan sangat menguntungkan bagi odapus. Pada penelitian Aghadassi, dkk., (2011), mikronutrien suplemen yang secara teratur dikonsumsi oleh odapus tidak memiliki hubungan dengan peningkatan kualitas hidup odapus namun memiliki hubungan dengan meningkatkan kesehatan odapus. Namun pada penelitian Tianfu Wu, dkk., (2012), menyatakan bahwa dalam kasus sindrom metabolik pada odapus dapat menyebabkan peradangan oksidatif yang tinggi, stress, berkurangnya kemampuan menghasilkan energi, perubahan profil lipid dan protrombik yang dengan suplementasi diet lemak bebas essensial, vitamin dan pendonor metal dapat memberikan efek yang baik dalam modulasi penyakit autoimun. Pada penelitian Averia, dkk., (2008), membuktikan bahwa aktivitas penyakit pada LES mempengaruhi kualitas hidup yang diukur menggunakan SF 36 pada domain fisik yaitu fungsi fisik, kesakitan tubuh, kesehatan umum dan mental komponen: subskala fungsi sosial tetapi tidak berhubungan dengan subskala kualitas hidup lainnya seperti peran fisik dan 3 domain dalam komponen mental (kesehatan mental, peran emosi, dan vitalitas). Menurut Santos, dkk., (2010), perubahan status nutrisi pada pasien LES dipicu oleh penyakit, terapi yang diberikan maupun kondisi yang mengganggu prognosis. Pada penelitian ini, didapatkan hasil bahwa hanya 18,2% penderita LES dari populasi yang diteliti memiliki aktivitas fisik yang aktif dan 35,9% penderita LES dari populasi yang diteliti memiliki kelebihan berat badan. Dengan demikian dari paparan-paparan diatas, peneliti terdorong melakukan penelitian mengenai hubungan asupan makanan dan status gizi terhadap kualitas hidup penderita Lupus Eritematosus Sistemik (LES). Peneliti berharap dengan adanya penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tambahan mengenai nutrisi yang dapat mendukung kualitas hidup penderita LES seharihari sehingga penderita LES dapat beraktivitas layaknya orang sehat. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah penelitian yang akan dirumuskan ialah “Apakah ada hubungan antara asupan makanan dan status gizi terhadap kualitas hidup pada penderita Lupus Eritematosus Sistemik (LES)?”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara asupan makanan dan status gizi pada terhadap kualitas hidup penderita Lupus Eritematosus Sistemik (LES). 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan asupan makanan zat gizi makro (karbohidrat, lemak, dan protein) terhadap kualitas hidup penderita Lupus Eritematosus Sistemik (LES). b. Mengetahui hubungan asupan makanan zat gizi mikro (vitamin A, vitamin C, vitamin E, vitamin B6, vitamin D, besi, dan selenium) terhadap kualitas hidup penderita Lupus Eritematosus Sistemik. c. Mengetahui hubungan status gizi terhadap Kualitas hidup penderita Lupus Eritematosus Sistemik (LES). D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Dapat menambahkan pengatahuan dan wawasan mengenai hubungan asupan makanan dan status gizi terhadap kualitas hidup penderita Lupus Eritematosus Sistemik (LES). 2. Bagi instansi kesehatan a. Dapat menjadi wawasan untuk meningkatkan promosi asupan makanan yang tepat pada penderita Lupus Eritematosus Sistemik. b. Dapat menjadi wawasan untuk meningkatkan pelayanan dukungan nutrisi terhadap penatalaksanaan penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (LES). 3. Bagi pembaca a. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai penyakit lupus eritematosus sistemik. b. Dapat menjadi sumber penelitian baru. c. Dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya. E. Keaslian Penelitian 1. S. Khanna, H. Pal, R.M. Pandey dan R. Handa. 2004. Penelitian ini mengenai hubungan antara aktivitas penyakit dengan kualitas hidup pada penderita Lupus Eritematosus Sistemik (LES). Penelitian ini memiliki tujuan untuk menentukan kualitas kualitas hidup pada pasien LES dan melihat korelasinya dengan aktivitas penyakit. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional. Subyek yang digunakan merupakan pasien LES yang telah mengisi kriteria ACR 1997 untuk LES dan diberikan World Health Organization Quality of Life-Bref (WHOQOL-Bref) untu mengukur kualitas hidup mereka. Kesimpulan yang dicapai pada penelitian ini ialah kualitas hidup yang berhubungan dengan fisik dan psikologis memiliki nilai yang rendah pada LES yang aktif. Kualitas hidup yang berhubungan dengan sosial dan lingkungan tidak memiliki korelasi dengan aktivitas penyakit pada pasien LES. 2. Chia-Chien Hsieh dan Bi Fong-Lin. 2011. Penelitian ini mengenai faktor makanan yang meregulasi sitokin pada tikus dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES). Penelitian ini merupakan case review yang memiliki dasar pemikiran bahwa sitokin memainkan peran penting dalam patogenesis LES dan berkontribusi secara signifikan kepada ketidakseimbangan imun pada penyakit LES. Pendekatan terapi konservatif seperti modifikasi diet dapat menunjukkan dampak yang menguntungkan pada aktivitas penyakit LES. Bukti-bukti yang terkumpul telah mendukung peran faktor makanan yang spesifik, seperti asam lemak bebas seperti omega-3 dan omega-6, vitamin A, vitamin D, vitamin E, fitoesterogen atau jamu dalam pengaturan sitokin yang terlibat dalam perkembangan LES. Faktor makanan dalam imunomodulator pada LES masih perlu dikembangkan dan merupakan bagian penting dan disarankan untuk membantu terapi untuk LES. 3. Ruud Albers, Marianne Bol, Rob Bleumink, Astrid A. Willems dan Raymond H. H. Pieters. 2003. Penelitian ini mengenai efek suplementasi vitamin A, C dan E, selenium dan seng dalam fungsi imun pada tikus yang disensitisasi. Penelitian ini bertujuan membandingkan efek suplementasi dengan vitamin A, C dan E, selenium dan seng pada imunitas bawaan dan spesifik T-helper 1 (Th1) dan TH2 pendorong respon imun adaptif. Hasil yang dicapai pada penelitian ini ialah suplementasi vitamin A meningkatkan respon inflamasi dengan penurunan Th1 dan meningkatkan respon mukosa. 4. Karin Klack, Eloisa Bonfa, dan Eduardo Ferreira Borba Neto. 2012. Penelitian ini dilakukan untuk meninjau pengaruh faktor gizi pada Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dan mendiskusikan alternatif pengobatan pilihan. Pola makan dengan protein sedang dan kandungan energi yang kaya akan vitamin, mineral (terutama antioksidan), dan mono/asam lemak tak jenuh ganda dapat mempromisikan efek perlindungan terhadap kerusakan jaringan dan penekanan aktivitas peradangan. Terapi diet merupakan terapi yang menjanjikan dan direkomendasikan dapat menawarkan kualitas hidup yang lebih baik untuk pasien dengan LES. 5. Michelle C. Caetano, Thais T. Ortiz, Maria Teresa S. L. R. A. Terreri, Roseli O. S. Sami, Simmone G. L. Silvia, Fabiola I. S. Souza, dan Maria Odete E. Hilario. 2009. Penelitian ini dilakukan bertujuan mengevaluasi asupan makanan anak-anak dan remaja dengan remaja juvenile idiopathic arthritis dan remaja LES menggunakan recall 24 jam dan menghubungkannya ke karakteristik klinis dan antropometri pasien dan karakteristik obat yang digunakan dalam pengobatan mereka. Penelitian mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan signifikan antara asupan makanan, aktivitas penyakit dan status gizi. Kesimpulan yang ditarik dari penelitian ini oleh peneliti adalah pasien dengan penyakit rematik memiliki asupan makanan tidak memadai. Ada asupan berlebihan dari lipid dan protein dan rendahnya asupan mikronutrien. 6. Duffy E. M., Meenagh G. K., McMillan, S. A., Strain, J. J., Hannigan, B. M. dan Bell , A. L. 2004. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suplementasi diet dengan omega-3 pada minyak ikan dengan atau tanpa tembaga pada aktivitas penyakit pada lupus eritematosus sistemik (LES). Suplementasi minyak ikan memiliki efek menguntungkan pada model murine dari LES, sedangkan tembaga eksogen dapat menurunkan pembentukan sel lupus eritematosus tikus dengan induksi penyakit kolagen hydralzine. Kesimpulan yang didapatkan ialah suplementasi minyak ikan dapat bermanfaat menurunkan aktivitas penyakit LES namun tidak ada pengaruh yang signifikan pada suplementasi minyak ikan dengan penambahan tenaga. 7. Koji kinoshita, Kazuya Kishimoto, Hideki Shimazu, Yuji Nozaki, Masafumi Sugiyama, Shinya Ikoma, dan Masanori Funauchi. 2009. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui terapi retinoid terhadap penderita lupus nefritis. Terapi dengan obat imunosupresan seperti kortikosteroid atau cyclophosphamide dapat menurunkan perkembangan nefritis lupus, namun agen ini memiliki efek samping yang berpotensi parah. Oleh karena itu, pengembangan obat baru dengan efek samping yang lebih sedikit diperlukan. Pada penelitian ini didapatkan hasil baik yaitu penurunan proteinuria pada penderita lupus nefritis sehingga para peneliti menarik kesimpulan bahwa retinoid dapat mewakili pendekatan baru untuk pengobatan pasien dengan nefritis lupus. 8. Birgitha Archenholtz, Carol S. Burckhardt, dan Kerstin Segesten. 1999. Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dari domain kehidupan yang penting bagi wanita Swedia dengan penyakit rematik kronis atau lupus eritematosus sistemik (LES) dan untuk menggambarkan ketidakpuasan mereka dengan domain tersebut. Lima puluh wanita dengan lupus eritematosus sistemik (LES) dan 50 dengan Rheumatoid Arthritis (RA) diwawancarai melalui telepon mengenai kualitas hidup mereka menggunakan lima terbuka pertanyaan. Analisis isi tanggapan mereka menggunakan lima terbuka pernyataan. Analisa isi tanggapan mereka mengungkapkan Sembilan kategori: kesehatan/kesembuhan, keluarga/teman, kerja, rumah/lingkungan hidup, dukungan sosial/kerja fungsional, hobi/kegiatan budaya, penghasilan yang cukup, kemandirian, integritas/identitas. Pasien LES menyatakan ketidakpuasan terhadap control atas tubuh mereka dan pemahaman tentang kondisi tubuh mereka dalam hubungannya terhadap dokter dan orang-orang awam disekitarnya. Pasien Rheumatoid Arthritis (RA) merasa tidak puas dengan kehidupan mereka yang mengancam kemandirian mereka. Pelayanan kesehatan harus menyadari ketidakpuasan dari penderita RA atau LES sehingga mereka dapat merencanakan terapi untuk memaksimalkan kualitas hidup penderita.