BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Peranan Pengertian peranan menurut Soerjono Soekanto (2000;268) adalah sebagai berikut : Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peran . Konsep peranan ( role ) menurut Kommarudin ( 1994;768 ), adalah : 1. Bagian dari tugas utama yang harus dilakukan seseorang dalam manajemen 2. Pola perilaku yang diharapkan dapat menyertai suatu tugas 3. Bagian atau fungsi seseorang dalam kelompok atau pranata 4. Fungsi yang diharapkan seseorang dari seseorang atau kelompok atau menjadi karakteristik yang ada padanya 5. Fungsi setiap variabel dalam hubungan sebab akibat 2.2 Audit Audit secara umum dapat dikatakan sebagai suatu proses sistematis untuk mendapatkan dan mengevaluasi segala bukti yang berhubungan dengan asersi tentang tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi secara objektif untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Mulyadi dan Puradireja ( 1998;7) memaparkan definisi audit sebagai berikut : Sebagai suatu proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyempaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan . Sebelum kita memahami pengertian audit operasional tersebut, terlebih dahulu kita memahami pengertian audit ( auditing ) menurut Arens, et al (2008;4) : Auditing is the accumulation and evaluation about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent independent person. Berikut definisi audit menurut The American Accounting Assocition (AAA) dikutip dari Robertson dan Louwers (2002:7) mendefinisikan auditing : Auditing is a systematic process of objectively obtaining and evaluations evidence regarding assertions and established criteria and communicating the result to interested users Pernyataan tersebut mendefinisikan audit sebagai bukti suatu proses yang sistematis atas perolehan dan pengevaluasian bukti secara objektif mengenai asersi dan kriteria yang ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada para pengguna yang tertarik. Dari pengertian di atas memberikan pernyataan bahwa dalam melakukan audit dilakukan tindakan-tindakan mengumpulkan (determine) dan melaporkan (report). Tindakan-tindakan ini harus dilakukan oleh seseorang yang kompeten dan independen sehingga hasil audit dapat dipercaya objektivitasnya. Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemeriksaan (audit) merupakan proses yang sistematis yang dilakukan oleh seseorang yang kompeten dan independen. 2.2.1 Jenis-Jenis Audit Audit itu terdiri dari beberapa jenis, yaitu menurut Arens, et al (2008;16-19), menyatakan bahwa jenis auditing terdiri dari : 1. Audit atas Laporan Keuangan (Financial statement audits). 2. Audit Operasional (Operational audits). 3. Audit atas Ketaatan (Compliance audits). 1. Audit Laporan Keuangan (Financial Statement Audits) Audit laporan keuangan merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap laporan keuangan suatu organisasi atau perusahaan dengan tujuan untuk menetapkan suatu kewajaran laporan keuangan tersebut dibandingkan dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Hasil dari pemeriksaan laporan keuangan yaitu berupa Laporan Pemeriksaan (Audit Report) yang berisi opini atau pendapat akuntan publik atas kewajaran laporan keuangan. 2. Audit Operasional (Operational Audits) Audit operasional adalah penelaahan atas tiap bagian prosedur dan metode operasi perusahaan dengan tujuan untuk menilai apakah seluruh kegiatan organisasi yang ada di perusahaan sudah efisien dan efektif atau sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. 3. Audit atas Ketaatan (Compliance Audits) Audit atas ketaatan merupakan pemeriksaan terhadap pelaksanaan suatu kebijakan, peraturan, maupun prosedur yang telah digariskan oleh pihak berwenang, baik pemerintah maupun pihak pimpinan perusahaan. Contoh pemeriksaan jenis ini adalah pemeriksaan atas ketaatan suatu perusahaan dalam menjalankan peraturan ketenagakerjaan. 2.3. Audit Operasional 2.3.1 Pengertian Audit Operasional Seringkali Audit Operasional disebut juga dengan Audit Manajemen, Audit Prestasi (Performance Audit), Audit Efisiensi, Audit Sistem, Audit Kerja, dan lainlain. Hal ini disebabkan karena belum ada pengertian yang tuntas mengenai definisi audit operasional itu sendiri, maka para ahli pun banyak mengemukakan definisi yang berbeda pula. Berdasarkan publikasi dari The Institute of Internal Auditors (II A) seperti dikutip oleh Amin Widjaya Tunggal (2000:4), audit operasional didefinisikan sebagai: Operasional auditing adalah suatu proses yang sistematis dari penelitian efektifitas, efisiensi dan ekonomisasi operasi suatu organisasi dibawah pengendalian manajemen dan melaporkan kepada orang yang tepat hasil dari penilaian beserta rekomendasi untuk perbaikan . Definisi lain Audit Operasional menurut Arens, et al (2008;19) : An operational audit is a review of any part of an organization s operating procedures and methods for the purpose of evaluating efficiency and effectiveness. Definisi lain tentang Audit Operasional menurut Rob Reider (2002:25) adalah: Operational audit is review of operations performed from a management view point to evaluate the economy, efficiency, effectiveness of any and all operation, limited only by management desire . Dari definisi yang dikemukakan berikut dapat disimpulkan bahwa Pemeriksaan Operasional merupakan penilaian atau tinjauan atas aktivitas atau kegiatan atau cara pengelolaan operasi dari organisasi atau bagian organisasi dengan tujuan untuk memeriksa kehematan, efisiensi, dan keekonomisan kegiatan tersebut dan juga untuk menilai apakah cara-cara pengelolaan yang diterapkan dalam perusahaan tersebut sudah dijalankan dengan baik. Pemeriksaan ini disertai dengan pemeriksa operasional yang bertanggung jawab untuk mengungkapkan dan merekomendasikan berbagai tindakan yang harus dilaksanakan. 2.3.2 Tujuan Pemeriksaan Operasional Menurut Rob Reider (2002;34), Audit Operasional dilakukan dengan tujuan audit operasional adalah sebagai berikut: 1. To review and evaluate the adequacy of the accounting system and related internal accounting controls (including both accounting and administrative controls). 2. To analize system and controls, as related to internal controls, functional operations, and legal compliance. 3. To analize the capability to accomplish agreed-upon stated goals, objectives, and results in management s approved plan. 4. To compare actual accomplishment/result with the goal and objectives established in management s plan for the period; and to determine reason that established goals and objectives were not met. 5. To analize and explain cost everruns or high unit cost for each function/activity for which such data can be quantified. 6. To asses and evaluate compliance with federal, state, local laws and regulations; ensuring at least minimal compliance. 7. To identify and report deficiencies and areas for improvement and to provide technical assistance and follow-up where necessary. Jadi tujuan audit operasional adalah : 1. Untuk memeriksa dan mengevaluasi memadainya sistem akuntansi dan pengendalian yang berhubungan dengan internal accounting (termasuk pengendalian akuntansi dan administrasi). 2. Untuk menganalisa sistem dan pengendalian, yang berhubungan dengan internal kontrol, fungsi operasional, dan ketaatan hukum. 3. Untuk menganalisa kesanggupan dalam mencapai tujuan, objektif, dan keputusan-keputusan dalam rencana manajemen yang telah disetujui. 4. Untuk membandingkan pencapaian/keputusan-keputusan dengan tujuan dan objektifitas perencanaan manajemen dalam suatu periode; dan untuk menentukan alasan-alasan yang membuktikan tujuan dan sasaran yang tidak tercapai. 5. Untuk menganalisa dan menjelaskan biaya yang terlalu besar atau tingginya biaya unit untuk seluruh fungsi/aktivitas dimana seluruh data dapat dihitung. 6. Untuk menaksir dan menilai ketaatan dengan hukum dan peraturan-peraturan daerah dan negara. 7. Untuk mengidentifikasi dan melaporkan kekurangan dan area untuk perbaikan dan menentukan bantuan teknik dan tindak lanjut yang diperlukan. Pada dasarnya tujuan pemeriksaan operasional yang utama adalah membantu manajemen dalam mencapai efektivitas dan efisiensi operasi perusahan atau bagian perusahaan, dan juga untuk menilai apakah cara-cara pengelolaan kegiatan dalam perusahaan sudah berjalan dengan baik melalui analisis, penilaian, saran-saran, komentar-komentar dari aktivitas-aktivitas perusahaan yang dilakukan pemeriksa operasional. 2.3.3 Manfaat Pemeriksaan Operasional Manfaat Pemeriksaan Operasional menurut Rob Reider (2002;34-38) adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi masalah, hubungan penyebab, dan alternatif-alternatif untuk perbaikan. 2. Menempatkan kesempatan-kesempatan untuk menghilangkan pemborosan dan ketidakefisienan; yaitu pengurangan biaya (cost reduction). 3. Menempatkan kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan pendapatan; yaitu income improvement. 4. Mengidentifikasi tujuan, sasaran-sasaran, kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur organisasi yang tidak tercapai. 5. Mengidentifikasi kriteria untuk memastikan pencapaian tujuan organisasi. 6. Merekomendasikan perbaikan didalam kebijakan-kebijakan, prosedur-prosedur, dan struktur organisasi. 7. Menetapkan hasil pemeriksaan pada performa melalui individu dan unit organisasi. 8. Memeriksa ketaatan atas persyaratan hukum dan tujuan, sasaran, kebijakan, dan prosedur dalam organisasi. 9. Menguji adanya penyimpangan wewenang, kecurangan, atau bahkan perbuatanperbuatan yang tidak semestinya. 10. Mengakses informasi manajemen dan sistem-sistem pengendalian. 11. Mengidentifikasi kemungkinan titik-titik permasalahan dimasa yang akan datang. 12. Melengkapi saluran tambahan komunikasi antara operating levels dan top management. 13. Menetapkan kebebasan, evaluasi sasaran operasional. Dalam audit operasional juga diperlukan standar yang dapat digunakan oleh pemeriksa sebagai tolak ukur kegiatannya, contoh : sasaran perusahaan, uraian tugas, dan berbagai peraturan intern perusahaan. Laporan hasil pemeriksaan operasional pada dasarnya mengikuti rekomendasi yang menjelaskan berbagai hal yang perlu mendapat perbaikan atau tidak lanjut. 2.3.4 Ruang Lingkup Audit Operasional Ruang lingkup penugasan audit operasional lebih luas daripada pemeriksaan keuangan karena pemeriksaan operasional tidak hanya mencakup pada masalah keuangan tetapi juga masalah di luar keuangan. Pemeriksaan operasional meliputi semua aspek manajemen atas kegiatan atau program yang diperiksa. Aspek-aspek manajemen tersebut yaitu sistem organisasi, kebijakan, perencanaan, prosedur, pencatatan, pelaporan dan personalia. Rob Reider (2002 ; 20) mengemukakan ruang lingkup dalam melakukan audit operasional terletak pada: 1. Economy, yaitu untuk menghindari pemborosan dan biaya yang berlebihan. 2. Efficiency, merupakan aturan penggunaan sumber daya yang dimiliki perusahaan dihubungkan dengan usaha perusahaan mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan biaya minimal. 3. Effectivness, merupakan ukuran tingkat keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 2.3.5 Jenis-Jenis Audit Operasional Ada tiga kategori Audit Operasional menurut Arens, et al (2008;844-845) yaitu : 1. Functional audits, 2. Organizational audits, 3. Special assignmen. 1. Pemeriksaan Fungsional (Functional Audits) Pemeriksaan Fungsional adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap satu atau lebih fungsi dari suatu organisasi. Adapun pengertian dari fungsi adalah penggolongan aktivitas suatu bisnis, seperti : fungsi personalia, fungsi pemasaran, fungsi produksi, fungsi keuangan dan lain-lain. Pemeriksaan fungsional ini mempunyai keuntungan karena adanya spesialisasi oleh auditor sehingga auditor dapat mengembangkan keahliannya di bidang tertentu. Sedangkan kesulitan yang mungkin timbul adalah dalam mengevaluasi fungsi-fungsi yang saling berhubungan. 2. Pemeriksaan Organisasi (Organizational Audits) Pemeriksaan organisasi adalah jenis pemeriksaan operasional yang berhubungan dengan seluruh unit yang ada dalam suatu organisasi, seperti departemen dan cabang. Penekanan pada pemeriksaan ini adalah bagaimana tingkat efisiensi dan efektivitas tiap-tiap fungsi dan perlu diperhatikan pula rencana organisasi dan metode dalam mengkoordinasi aktivitas. 3. Penugasan Khusus (Special Assignment) Penugasan khusus atau special assignment merupakan pemeriksaan operasional yang dilakukan atas dasar permintaan dari pihak manajemen untuk tujuan yang khusus, seperti : penyelidikan kemungkinan terjadinya kecurangan, memberikan rekomendasi untuk mengurangi biaya pemasaran, mencari penyebab terjadinya sistem Electronic Data Processing (EDP) yang tidak efektif. 2.3.6 Keterbatasan Pemeriksaan Operasional Hal-hal yang membatasi audit operasional menurut Amin (2008) adalah : 1. Waktu, berkaitan dengan kekomprehensifan audit tersebut. 2. Pengetahuan, karena orang tidak ahli dalam setiap aspek perusahaan maka auditor hanya akan sensitif terhadap masalah-masalah yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki saja dan kurang memberikan perhatian pada masalah lain diluarnya. 3. Standar, bidang-bidang yang berada di luar standar atau kriteria keefektifan adalah diluar ruang lingkup audit operasional. 4. Orang, tidak boleh menyinggung ketidakmampuan seseorang dalam melakukan fungsinya, tetapi hanya menunjukkan bahwa suatu pekerjaan atau tugas dilaksanakan dengan tidak efektif. 5. Biaya, proses audit operasional memerlukan biaya yang tidak sedikit. 6. Data, terkadang terdapat ketidaklengkapan data-data yang diminta auditor kepada auditee. 7. Audit Entity, pembatasan audit operasional pada suatu fungsi tertentu atau unit dalam beberapa hal menyampingkan aspek-aspek yang mempengaruhi Audit Entity tetapi aspek-aspek tersebut berada dalam cakupan/lingkup suatu fungsi atau unit lain. 2.3.7 Kriteria Dalam Audit Operasional Pada pemeriksaan operasional, kriteria yang dibutuhkan untuk dapat mengevaluasi kondisi-kondisi yang ada adalah kriteria yang dapat diandalkan (reliable), namun demikian tidak ada kriteria tertentu yang dapat dijadikan pedoman seperti halnya Standar Akuntasi Keuangan yang merupakan pedoman dalam pemeriksaan keuangan historis. Salah satu pengendalian yang digunakan dalam menyusun kriteria yang digunakan dalam pemeriksaan operasional yaitu dengan menetapkan bahwa tujuan pemeriksaan operasional adalah untuk menentukan apakah beberapa aspek dalam perusahaan dapat dibuat lebih efektif atau efisien dan memberikan rekomendasi perbaikan. Kriteria yang lebih spesifik seringkali diperlukan sebelum pemeriksaan operasional dimulai. Menurut Arens, et al (2008;847-848), beberapa sumber data yang dapat digunakan dalam mengembangkan kriteria yang spesifik adalah sebagai berikut: 1. Historical Performance (Kinerja Historis) Suatu kriteria dapat ditentukan berdasarkan hasil kinerja pada periode yang lalu. Kriteria ini digunakan untuk membandingkan apakah kinerja sekarang ini lebih baik atau lebih buruk dari periode yang lalu. Kebaikan dari kriteria ini adalah kemudahan pembuatannya; namun demikan, kriteria ini tidak dapat menunjukan seberapa baik atau seberapa buruk keadaan perusahaan yang sebenarnya 2. Benchmarking (Kinerja yang dapat diperbandingkan) Ada banyak kesatuan yang hampir sama dalam keseluruhan organisasi atau di luar organisasi, oleh karena itu data kinerja dari kesatuan-kesatuan yang dapat dibandingkan merupakan sumber-sumber yang sangat baik untuk mengembangkan kriteria untuk kesatuan internal, biasanya data sudah tersedia. Untuk kesatuan yang berada di luar organisasi, data seringkali tersedia pada kelompok industri dan lembaga pemerintah yang berwenang. 2. Engineered Standars (Standar Rekayasa) Dalam penugasan pemeriksaan operasional dimungkinkan untuk mengembangkan kriteria dan berdasarkan hasil penelitian ilmiah. Kriteria jenis ini membutuhkan waktu dan biaya yang besar dalam pengembangannya. Karena memerlukan banyak keahlian, namun sangat efektif dalam memecahkan masalah operasional yang utama sehingga biaya yang dikeluarkan seimbang dengan hasil yang diperoleh. 3. Discussion and Agreement (Diskusi dan Kesepakatan) Kadangkala kriteria yang objektif sulit dan membutuhkan biaya yang besar untuk memperolehnya, namun kriteria yang objektif dapat juga diperoleh melalui diskusi dan kesepakatan, dimana pihak yang terlibat dalam proses ini adalah pihak manajemen perusahaan yang diperiksa, pemeriksaan operasional dan kesatuan atau organisasi yang akan menerima laporan atas temuantemuan yang didapat. 2.3.8 Tahap-Tahap Pemeriksaan Operasional Dalam melakukan pemeriksaan operasional, seorang pemeriksa memerlukan suatu kerangka kerja sebagai pedoman kerjanya, mengingat kegiatan dan struktur perusahaan dewasa ini semakin kompleks. Pemeriksa akan mengalami banyak kesulitan dalam melaksanakan pekerjaannya tanpa kerangka kerja yang baik. Oleh karena itu, suatu kerangka kerja harus diiringi dengan suatu program pemeriksaan yang terperinci sehingga dapat menjadi masalah dasar kerja pemeriksaan operasional yang baik. Menurut Arens,et al (2008), tahap-tahap pemeriksaan operasional dibagi menjadi tiga tahap pelaksanaan, yaitu: 1. Planning 2. Evidence Accumulation and Evaluation 3. Reporting and Follow up. 1. Perencanaan (Planning) Pada tahap perencanaan, auditor operasional harus menentukan lingkup keterikatan secara seksama, memperoleh informasi latar belakang tentang kesatuan organisasi, memahami pengawasan intern dan dapat menghasilkan keputusan yang sesuai dengan bukti yang telah dikumpulkan. 2. Akumulasi Bukti dan Evaluasi (Evidence Accumulation and Evaluation) Dalam tahap ini, auditor operasional harus menghimpun bukti yang kompeten dan cukup untuk diusahakan menjedi suatu bagian yang layak untuk suatu kesimpulan tentang objektivitas. 3. Pelaporan dan Tindak Lanjut (Reporting and Follow up) Pada umumnya suatu laporan audit operasional akan meliputi unsur-unsur yaitu tujuan dan ruang lingkup penugasan, prosedur-prosedur yang digunakan oleh auditor, temuan-temuan khusus, rekomendasi-rekomandasi jika perlu. Laporan auditor operasional biasanya dikirim hanya untuk manajemen laporan dengan suatu salinan tersendiri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tahapan audit operasional adalah sebagai berikut : 1. Tahap pendahuluan 2. Tahap Audit mendalam 3. Tahap Pelaporan Sedangkan Menurut Rob Reider (2002;39-40), terdapat lima tahap yaitu : 1.Planning 2. Work Programs 3. Field Work 4. Development of Findings and Recommendation 5. Reporting 1. Planning (Perencanaan) Pada tahap ini, auditor memperoleh informasi umum tentang jenis aktivitas yang dilakukan, sifat-sifat dari aktivitas dan perbaikan relatifnya, dan untuk memperoleh informasi umum yang membantu perencanaan dini dari audit. 2. Work Programs (Program-program Kerja) Auditor menyiapkan program-program kerja pada audit operasional untuk audit pendahuluan atas aktivitas-aktivitas yang akan diaudit dalam tahap perencanaan. 3. Field Work (Kerja Lapangan) Dalam tahap ini, auditor menganalisis operasi atas aktivitas untuk menentukan efektivitas manajemen dan kaitannya dengan pengendalian. 4. Development of Findings and Recommendations (Mengembangkan Temuantemuan dan rekomendasi) Berdasarkan atas identifikasi pada aktivitas operasi yang signifikan selama tahap kerja lapangan, temuan-temuan yang spesifik tersebut dikembangkan berkaitan dengan: Kondisi : Apa yang ditemukan ? Kriteria : Apa yang seharusnya terjadi ? Penyebab : Mengapa terjadi ? Akibat : Apa akibat dari kegiatan yang dilakukan ? Rekomendasi : Apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki keadaan (berdasarkan kegiatan yang sedang dilakukan) ? 5. Reporting (Pelaporan) Auditor menyiapkan laporan yang berisi tentang temuan-temuan selama dilakukannya audit operasional. Tujuan dari pelaporan ini adalah untuk dilakukannya tindak lanjut dari pihak yang bertanggung jawab atas temuan-temuan tersebut. 2.4 Pengertian Efektivitas Komaruddin (1994 ; 269) mengemukakan bahwa: "Efektivitas merupakan keadaan yang menunjukkan tingkat keberhasilan atau kegagalan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu". Jadi efektivitas dapat diartikan sebagai kemampuan suatu unit untuk mencapai tujuan atau sasaran yang diharapkan atau diinginkan organisasi. Pengertian efektivitas menurut Anthony dan Govindarajan (2003; 150) adalah sebagai berikut: "Effectiveness is determined by the relationship a responbility center's output and its objectives". Maksud dari pernyataan diatas adalah bahwa efektivitas adalah hubungan antara output dari suatu pusat pertanggungjawaban dengan tujuannya. Dari definisi diatas dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan kemampuan suatu organisasi untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber yang ada sebaik mungkin dalam usahanya mencapai tujuan organisasi. Suatu unit dikatakan efektif bila kontribusi keluaran yang dihasilkan semakin besar terhadap nilai pencapaian sasaran tersebut Efektivitas juga dapat dikatakan sebagai tolak ukur keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuan organisasi tersebut yang berhubungan dengan hasil operasi perusahaan. 2.5 Pengertian Pengelolaan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995;170) mendefinisikan pengelolaan sebagai berikut : Pengelolaan adalah : 1. proses, cara, perbuatan mengelola; 2. proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain; 3. proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi; 4. proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan . 2.6 Persediaan 2.6.1 Pengertian Persediaan Persediaan merupakan salah satu unsur penting dalam perusahaan. Istilah persediaan mengandung arti yang berbeda tergantung dari kegiatan usaha dari perusahaan tersebut. Menurut Hendriksen yang dialihbahasakan oleh Nugroho Widjajanto (2000:570) menyatakan tentang persediaan sebagai berikut : Persediaan (inventory) meliputi barang-barang dagangan yang dimaksudkan untuk dijual dalam kondisi normal dan bahan baku serta bahan pembantu yang dipergunakan dalam proses produksi untuk dijual . Sedangkan pengertian persediaan menurut Kieso,Weygandt, Warfield yang diterjemahkan oleh Herman Wibowo (2001:394) adalah sebagai berikut : Persediaan adalah pos harta yang ditahan untuk dijual dalam kegiatan usaha yang biasa atau barang yang akan digunakan atau dikonsumsi dalam produksi barang yang akan dijual . Dan pengertian persediaan menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2004;14.1) adalah sebagai berikut : Persediaan adalah aktiva : a. Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal; b. dalam proses produksi dan atau dalam perjalanan; c. dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa . Persediaan meliputi barang-barang yang dibeli dan disimpan untuk dijual kembali, barang jadi yang telah diproduksi, atau barang dalam penyelesaian yang sedang diproduksi perusahaan, dan termasuk bahan serta perlengkapan yang akan dipergunakan dalam proses produksi. Dari ketiga uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian persediaan bagi perusahaan dagang adalah persediaan barang dagangan, berupa barang-barang milik perusahaan yang diperoleh untuk dijual kembali tanpa adanya proses produksi yang mengubah jenis, bentuk, atau mutu dari barang tersebut. Sedangkan untuk perusahaan manufaktur, persediaan merupakan bahan baku yang kemudian diolah bersama bahan pembantu untuk menjadi barang jadi yang siap untuk dijual kembali, biasanya sebelum tanggal neraca ada barang yang belum selesai diproduksi. Karena itu pada perusahaan manufaktur terdapat persediaan berupa bahan baku, bahan pembantu, barang setengah jadi (masih dalam proses produksi), dan barang jadi. Selain itu terdapat pula persediaan spare part atau suku cadang. 2.6.2 Metode pencatatan dan penilaian persediaan Pencatatan persediaan adalah penting dan harus dilakukan secara wajar dan konsisten. Metode pencatatan yang digunakan hendaknya yang dapat menggambarkan jumlah persediaan setiap saat. La Midjan dan Azhar Susanto (1999;155), mengemukakan pencatatan jumlah persediaan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : 1. Perpetual System (Sistem Perpetual). Pada sistem ini diharuskan adanya catatan atas transaksi-transaksi secara terusmenerus dengan baik untuk setiap jenis persediaan, karena setiap transaksi yang menyangkut persediaan harus dicatat tepat pada waktunya. Dengan sistem ini maka informasi atas jumlah persediaan dapat diketahui melalui catatan yang ada. 2. Periodic System ( Sistem Fisik) Pada sistem ini tidak dibuat catatan mengenai transaksi persediaan berdasarkan saat terjadinya transaksi. Jumlah persediaan yang ada dapat ditentukan degan cara perhitungan dan pengukuran atas barang-barang persediaan yang ada disetiap akhir periode . Dari kedua metode pencatatan persediaan dapat ditarik kesimpulan bahwa metode yang dapat menggambarkan jumlah persediaan setiap saat adalah metode perpetual, karena metode pencatatan atau transaksi persediaan dilakukan setiap saat, baik pemasukannya maupun pada saat pengeluarannya. Dalam melakukan penilaian terhadap persediaan, terhadap bermacam-macam metode yang dapat dipergunakan sebagaimana dinyatakan dalam Standar Akuntansi Keuangan (2005;14.4) bahwa : Biaya persediaan harus dihitung dengan menggunakan rumus biaya masuk pertama (FIFO), rata-rata tertimbang (Weighted Average Cost Method), atau terakhir masuk keluar pertama (LIFO) . Dengan demikian prosedur harga pokok penentuan nilai persediaan pasar suatu perusahaan dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : 1. First In First Out (FIFO) Barang pertama yang dibeli adalah barang pertama yang digunakan (dalam perusahaan manufaktur) atau dijual (pada perusahaan dagang). Dalam semua kasus FIFO, persediaan dan harga pokok penjualan akan sama pada akhir bulan terlepas apakah menggunakan sistem persediaan perpetual ataupun periodik. 2. Last In First Out (LIFO) Menandingkan (matches) biaya dari barang-barang yang paling akhir dibeli terhadap pendapatan. Jika digunakan sistem periodik maka akan diasumsikan bahwa biaya dari total kuantitas yang terjual atau dikeluarkan selama satu bulan berasal dari pembelian paling akhir. Jika digunakan dalam sistem perpetual baik kuantitas maupun dalam nilai uang, akan menghasilkan persediaan akhir dan harga pokok penjualan yang berbeda. 3. Weight Average Cost Method (WACM) Didasarkan atas asumsi bahwa harga pokok harus dibebankan ke pendapatan menurut harga rata-rata tertimbang per unit dari barang-barang yang dijual, harga pokok rata-rata tertimbang per unit ini digunakan juga untuk menentukan harga pokok barang yang masih ada dalam persediaan. Tidaklah menjadi soal metode mana yang akan dipilih oleh suatu perusahaan, akan tetapi metode tersebut harus difunakan secara konsisten dari periode ke periode. 2.6.3 Perencanaan dan Pengendalian Persediaan Untuk mengelola persediaan diperlukan adanya suatu perencanaan yang baik agar memudahkan didalam melakukan pengendalian persediaan. Menurut Willson and Campbell yang dialihbahasakan olej Tjintjin Tjandra (2001;428) yang dimaksud dengan perencanaan persediaan adalah sebagai berikut : perencanaan persediaan berhubungan dengan penentuan komposisi persediaan, penentuan waktu atau penjadwalan, serta lokasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan perusahaan yang diproyeksikan . Menurut La Midjan dan Azhar Susanto (2001;156-157) yang dimaksud dengan pengendalian persediaan adalah sebagai berikut : pengendalian persediaan adalah semua metode dan tindakan yang dilaksanakan untuk mengamankan persediaan sejak mendatangkannya, menerima, menyimpannya dan mengeluarkannya baik fisik maupun kualitas dan pencatatannya termasuk penentuan dan pengaturan jumlah persediaan . 2.6.4 Mafaat Pengendalian Persediaan Yang Baik Manfaat pengendalian persediaan menurut Willson and Campbell yang dialihbahasakan oleh Tjintjin Tjandra (2001;429) adalah sebagai berikut : 1. Menekan invastasi modal dalam persediaan dalam tingkat yang minimum 2. Mengeliminasi atau mengurangi permborosan dan biaya yang timbul dari penyelenggaraan persediaan yang berlebihan, kerusakan, penyimpanan, kekunoan dan asuransi persediaan 3. Mengurangi risiko kecurangan atau kecurian persediaan 4. Menghindari risiko penundaan produksi dengan cara selalu menyediakan bahan yang diperlukan 5. Memungkinkan memberikan jasa yang lebih memuaskan kepada para pelanggan dengan cara selalu menyediakan bahan atau barang yang dibutuhkan 6. Dapat mengurangi investasi dalam fasilitas dan peralatan gudang 7. Memungkinkan pemerataan produksi melalui penyelenggaraan persediaan yang tidak merata sehingga membentuk stabilitas pekerjaan 8. Menghindarkan atau mengurangi kerugian yang timbul akibat penururnan harga 9. Mengurangi biaya operasi fisik persediaan tahunan 10. Melalui pengendalian yang wajar dan informasi yang tersedia untuk persediaan dimungkinkan adanya pelaksanaan pembelian yang lebih baik untuk memperoleh keuntungan dari harga khusus dan dari perubahan harga 11. Mengurangi penjualan dan biaya administrasi, melalui jasa atau pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan 2.6.5 Pentingnya Pengelolaan Persediaan Persediaan merupakan unsur yang utama dalam modal kerja, merupakan aktivitas yang selalu dalam keadaan berputar. Masalah investasi dalam persediaan merupakan masalah yang penting bagi perusahaan karena besar kecilnya persediaan akan berpengaruh pada keuntungan perusahaan dan juga persediaan merupakan pos terbesar dalam aktiva lancar perusahaan industri. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan persediaan oleh perusahaan. Dalam arti luas, pengelolaan persediaan meliputi fungsi perencaan dan pengendalian yang didalamnya termasuk penetapan dan pemeliharaan komponen dan kualitas yang tepat untuk bahan baku untuk bahan baku atau produk yang diperlukan sehingga memenuhi syarat-syarat produksi atau pesanan dari pelanggan dengan cara yang sebaik-baiknya. Fungsi pengelolaan persediaan menurut Willson dan Campbell yang dialihbahasakan oleh Tjintjin Fenix Tjandra (2001;428) adalah sebagai berikut : Secara luas, fungsi pengelolaan persediaan meliputi pengarahan arus dan penanganan bahan secara wajar, mulai dari penerimaan sampai penggudangan dan penyimpanan, menjadi barang dalam pengolahan dan barang jadi, sampai berada di tangan pelanggan . Sedangkan cara pengelolaan persediaan yang baik menurut Willson dan Campbell yang dialihbahasakan oleh Tjintjin Fenix Tjandra (2001;430-431) adalah sebagai berikut : 1. Penetapan tanggung jawab dan wewenang yang jelas terhadap persediaan. 2. Sasaran dan kebijakan yang dirumuskan dengan baik. 3. Fasilitas penggudangan dan penanganan yang baik 4. Klasifikasi dan identifikasi persediaan secara layak. 5. Standarisasi dan simplifikasi persediaan. 6. Catatan dan laporan yang cukup. 7. Tenaga kerja yang memuaskan. Adapun penjelasan dari cara-cara pengelolaan persediaan diatas adalah sebagai berikut : 1. Penenetapan tanggung jawab dan wewenang yang jelas terhadap persediaan. Dengan adanya pelimpahan wewenang, perencanaan dan pengendalian persediaan dapat menunjang lancarnya siklus usaha dan jika terjadi kemacetan atau kelalaian dengan persediaan, pimpinan dapat mengetahuinya 2. Sasaran kebijakan dan pengelolaan persediaan yang baik. Sasaran kebijakan dan pengelolaan persediaan yang dirumuskan dengan baik dapat mencegah adanya kesimpangsiuran dalam pelaksanan tugas, misalnya masalah kebijakan umum yang akan mengatur akumulasi persediaan antara lain sampai sejauh mana diperkenankan pembelian spekulatif. 2. Adanya fasilitas penggudangan dan penanganan yang memadai. Pengamanan persediaan dengan fasilitas penggudangan disertai dengan petugas khusus yang bertanggung jawab atas penyimpanan persediaan akan dapat mengamankan persediaan dari kerusakan, pencurian, dan lain-lain. 3. Klasifikasi dan identifikasi secara layak. Klasifikasi persediaan terdiri dari : 1) bahan baku, 2) bahan perlengkapan, 3) barang dalam proses, 4) barang jadi. Klasifikasi ini diperlukan dalam penyusunan dalam anggaran. Adanya barang dalam perjalanan dan barang konsinyasi harus diidentifikasi secara tetap. Dalam klasifikasi utama, sangat sering terdapat beribu macam persediaan dan ini harus diidentifikasi secara tepat dan benar untuk menjaga kelancaran produksi. 4. Standarisasi dan simplikasi persediaan. Standarisasi dan simplikasi persediaan yang digunakan untuk mempermudah pengendalian persediaan seperti jenis, ukuran, dan sifat-sifat yang dipandang sebagai standar. Sedangkan simplikasi memudahkan untuk membedakan barang mana yang cepat dijual dan mana yang lambat perputarannya sehingga dapat menghindari pembelian persediaan yang tidak diperlukan. 5. Catatan dan laporan keuangan yang cukup Perencanaan dan pengendalian persediaan didasarkan pada adanya pengetahuan mengenai fakta, sehingga diperlukan pencatatan dan laporan yang menunjang informasi untuk memenuhi kebutuhan para staf pembelian, produksi, penjualan, dan keuangan. 6. Tenaga kerja yang memuaskan Penetapan prosedur dan penyelenggaraan catatan pembukuan fisik yang baik tidak akan berhasil bila tidak didukung oleh kecakapan manusia yang melakukannya. Kecakapan tidak saja berada dalam jenjang manajer tertinggi tetapi juga pada mereka yang mempunyai tanggung jawab khusus terhadap pengendalian internal persediaan. 2.7 Peranan Pemeriksaan Operasional Dalam Menunjang Efektivitas Pengelolaan Persediaan Persediaan yang ada dalam perusahaan memerlukan pengelolaan yang baik karena persediaan merupakan unsur yang utama dalam modal kerja dan juga merupakan aktivitas yang selalu dalam keadaan berputar. Suatu perusahaan pada umumnya mempunyai tujuan untuk memperoleh laba seoptimal mungkin, agar dapat berjalan dalam waktu yang tidak terbatas dan disertai pertumbuhan yang sehat. Hal ini menyebabkan perlunya untuk mengefektifkan setiap fungsi manajerial yang dijalankan berdasarkan aktifitas perusahaan. Untuk itu diperlukan suatu fungsi pengendalian yang bersifat sebagai pengaman yang berarti dapat memberikan peringatan apabila ada suatu kegiatan yang menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan yaitu berupa pemeriksaan operasional. Jadi, peranan pemeriksaan operasional adalah membantu manajemen dalam mengelola persediaan, menangani kelemahan-kelemahan yang ditemui, memberikan saran dan rekomendasi perbaikan yang diperlukan, dan studi selanjutnya adalah untuk mengatasi permasalahan dalam pengelolaan persediaan, serta untuk menunjang efektivitas pengelolaan persediaan. Menurut Willson and Campbell yang dialihbahasakan oleh Tjintjin Tjandra (2001;428) pengelolaan persediaan akan efektif apabila : 1. Memelihara tempat yang aman bagi bahan, semua bahan yang bernilai tinggi harus mendapat perhatian khusus 2. Pemindahan barang dari suatu lokasi ke lokasi yang lain harus dilakukan sesuai dengan persetujuan manajemen, bahan-bahan hanya boleh dikeluarkan berdasarkan bon permintaan yang telah disetujui oleh atasan yang berwenang. 3. Pemisahan tugas sehingga mereka yang menyelenggarakan catatan pembukuan tidak menangani penerimaan atau pengeluaraan bahan. 4. Mengadakan inventorisasi persediaan secara rotasi sehingga hasilnya direkonsiliasikan dengan catatan persediaan. 5. Mengharuskan auditor internal untuk melakukan penilaian secara mendalam mengenai struktur pengendalian setiap persediaan. 6. Menilai dan menganalisa catatan persediaan untuk setiap kelemahan yang terjadi. 7. Mengevaluasi tenaga kerja yang menangani persediaan dan mengecek latar belakang mereka (apabila perlu). 8. Melakukan survei periodik mengenai keamanan persediaan dan mengeliminasi kesempatan berbuat curang. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan operasional atas pengelolaan persediaan akan menunjang efektivitas pengelolaan persediaan.