Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Peranan
Pengertian peranan menurut Soerjono Soekanto (2000;268) adalah sebagai
berikut :
Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka
ia menjalankan suatu peran .
Konsep peranan ( role ) menurut Kommarudin ( 1994;768 ), adalah :
1. Bagian dari tugas utama yang harus dilakukan seseorang dalam
manajemen
2. Pola perilaku yang diharapkan dapat menyertai suatu tugas
3. Bagian atau fungsi seseorang dalam kelompok atau pranata
4. Fungsi yang diharapkan seseorang dari seseorang atau kelompok atau
menjadi karakteristik yang ada padanya
5. Fungsi setiap variabel dalam hubungan sebab akibat
2.2
Audit
Audit secara umum dapat dikatakan sebagai suatu proses sistematis untuk
mendapatkan dan mengevaluasi segala bukti yang berhubungan dengan asersi tentang
tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi secara objektif untuk menentukan
tingkat kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan
mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Mulyadi dan
Puradireja ( 1998;7) memaparkan definisi audit sebagai berikut :
Sebagai suatu proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti
secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian
ekonomi, dengan tujuan menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan
tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyempaian hasil-hasilnya
kepada pemakai yang berkepentingan .
Sebelum kita memahami pengertian audit operasional tersebut, terlebih dahulu
kita memahami pengertian audit ( auditing ) menurut Arens, et al (2008;4) :
Auditing is the accumulation and evaluation about information to determine
and report on the degree of correspondence between the information and
established criteria. Auditing should be done by a competent independent
person.
Berikut definisi audit menurut The American Accounting Assocition (AAA) dikutip
dari Robertson dan Louwers (2002:7) mendefinisikan auditing :
Auditing is a systematic process of objectively obtaining and evaluations
evidence regarding assertions and established criteria and communicating the
result to interested users
Pernyataan tersebut mendefinisikan audit sebagai bukti suatu proses yang
sistematis atas perolehan dan pengevaluasian bukti secara objektif mengenai asersi
dan kriteria yang ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada para pengguna
yang tertarik.
Dari pengertian di atas memberikan pernyataan bahwa dalam melakukan audit
dilakukan tindakan-tindakan mengumpulkan (determine) dan melaporkan (report).
Tindakan-tindakan ini harus dilakukan oleh seseorang yang kompeten dan
independen sehingga hasil audit dapat dipercaya objektivitasnya.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemeriksaan
(audit) merupakan proses yang sistematis yang dilakukan oleh seseorang yang
kompeten dan independen.
2.2.1 Jenis-Jenis Audit
Audit itu terdiri dari beberapa jenis, yaitu menurut Arens, et al (2008;16-19),
menyatakan bahwa jenis auditing terdiri dari :
1. Audit atas Laporan Keuangan (Financial statement audits).
2. Audit Operasional (Operational audits).
3.
Audit atas Ketaatan (Compliance audits).
1. Audit Laporan Keuangan (Financial Statement Audits)
Audit laporan keuangan merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap
laporan keuangan suatu organisasi atau perusahaan dengan tujuan untuk
menetapkan suatu kewajaran laporan keuangan tersebut dibandingkan dengan
prinsip akuntansi yang berlaku umum. Hasil dari pemeriksaan laporan keuangan
yaitu berupa Laporan Pemeriksaan (Audit Report) yang berisi opini atau pendapat
akuntan publik atas kewajaran laporan keuangan.
2. Audit Operasional (Operational Audits)
Audit operasional adalah penelaahan atas tiap bagian prosedur dan metode
operasi perusahaan dengan tujuan untuk menilai apakah seluruh kegiatan
organisasi yang ada di perusahaan sudah efisien dan efektif atau sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan.
3. Audit atas Ketaatan (Compliance Audits)
Audit atas ketaatan merupakan pemeriksaan terhadap pelaksanaan suatu
kebijakan, peraturan, maupun prosedur yang telah digariskan oleh pihak
berwenang, baik pemerintah maupun pihak pimpinan perusahaan. Contoh
pemeriksaan jenis ini adalah pemeriksaan atas ketaatan suatu perusahaan dalam
menjalankan peraturan ketenagakerjaan.
2.3.
Audit Operasional
2.3.1 Pengertian Audit Operasional
Seringkali Audit Operasional disebut juga dengan Audit Manajemen, Audit
Prestasi (Performance Audit), Audit Efisiensi, Audit Sistem, Audit Kerja, dan lainlain. Hal ini disebabkan karena belum ada pengertian yang tuntas mengenai definisi
audit operasional itu sendiri, maka para ahli pun banyak mengemukakan definisi yang
berbeda pula.
Berdasarkan publikasi dari The Institute of Internal Auditors (II A) seperti
dikutip oleh Amin Widjaya Tunggal (2000:4), audit operasional didefinisikan
sebagai:
Operasional auditing adalah suatu proses yang sistematis dari penelitian
efektifitas, efisiensi dan ekonomisasi operasi suatu organisasi dibawah
pengendalian manajemen dan melaporkan kepada orang yang tepat hasil dari
penilaian beserta rekomendasi untuk perbaikan .
Definisi lain Audit Operasional menurut Arens, et al (2008;19) :
An operational audit is a review of any part of an organization s
operating procedures and methods for the purpose of evaluating
efficiency and effectiveness.
Definisi lain tentang Audit Operasional menurut Rob Reider (2002:25) adalah:
Operational audit is review of operations performed from a management
view point to evaluate the economy, efficiency, effectiveness of any and all
operation, limited only by management desire .
Dari definisi yang dikemukakan berikut dapat disimpulkan bahwa
Pemeriksaan Operasional merupakan penilaian atau tinjauan atas aktivitas atau
kegiatan atau cara pengelolaan operasi dari organisasi atau bagian organisasi dengan
tujuan untuk memeriksa kehematan, efisiensi, dan keekonomisan kegiatan tersebut
dan juga untuk menilai apakah cara-cara pengelolaan yang diterapkan dalam
perusahaan tersebut sudah dijalankan dengan baik. Pemeriksaan ini disertai dengan
pemeriksa operasional yang bertanggung jawab untuk mengungkapkan dan
merekomendasikan berbagai tindakan yang harus dilaksanakan.
2.3.2 Tujuan Pemeriksaan Operasional
Menurut Rob Reider (2002;34), Audit Operasional dilakukan dengan tujuan
audit operasional adalah sebagai berikut:
1. To review and evaluate the adequacy of the accounting system and related
internal accounting controls (including both accounting and administrative
controls).
2. To analize system and controls, as related to internal controls, functional
operations, and legal compliance.
3. To analize the capability to accomplish agreed-upon stated goals, objectives,
and results in management s approved plan.
4. To compare actual accomplishment/result with the goal and objectives
established in management s plan for the period; and to determine reason
that established goals and objectives were not met.
5. To analize and explain cost everruns or high unit cost for each
function/activity for which such data can be quantified.
6. To asses and evaluate compliance with federal, state, local laws and
regulations; ensuring at least minimal compliance.
7. To identify and report deficiencies and areas for improvement and to provide
technical assistance and follow-up where necessary.
Jadi tujuan audit operasional adalah :
1. Untuk memeriksa dan mengevaluasi memadainya sistem akuntansi dan
pengendalian yang berhubungan dengan internal accounting (termasuk
pengendalian akuntansi dan administrasi).
2. Untuk menganalisa sistem dan pengendalian, yang berhubungan dengan
internal kontrol, fungsi operasional, dan ketaatan hukum.
3. Untuk menganalisa kesanggupan dalam mencapai tujuan, objektif, dan
keputusan-keputusan dalam rencana manajemen yang telah disetujui.
4. Untuk membandingkan pencapaian/keputusan-keputusan dengan tujuan dan
objektifitas perencanaan manajemen dalam suatu periode; dan untuk
menentukan alasan-alasan yang membuktikan tujuan dan sasaran yang tidak
tercapai.
5. Untuk menganalisa dan menjelaskan biaya yang terlalu besar atau tingginya
biaya unit untuk seluruh fungsi/aktivitas dimana seluruh data dapat dihitung.
6. Untuk menaksir dan menilai ketaatan dengan hukum dan peraturan-peraturan
daerah dan negara.
7. Untuk mengidentifikasi dan melaporkan kekurangan dan area untuk
perbaikan dan menentukan bantuan teknik dan tindak lanjut yang diperlukan.
Pada dasarnya tujuan pemeriksaan operasional yang utama adalah
membantu manajemen dalam mencapai efektivitas dan efisiensi operasi
perusahan atau bagian perusahaan, dan juga untuk menilai apakah cara-cara
pengelolaan kegiatan dalam perusahaan sudah berjalan dengan baik melalui
analisis, penilaian, saran-saran, komentar-komentar dari aktivitas-aktivitas
perusahaan yang dilakukan pemeriksa operasional.
2.3.3 Manfaat Pemeriksaan Operasional
Manfaat Pemeriksaan Operasional menurut Rob Reider (2002;34-38) adalah
sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi masalah, hubungan penyebab, dan alternatif-alternatif untuk
perbaikan.
2. Menempatkan kesempatan-kesempatan untuk menghilangkan pemborosan dan
ketidakefisienan; yaitu pengurangan biaya (cost reduction).
3. Menempatkan kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan pendapatan; yaitu income
improvement.
4. Mengidentifikasi tujuan, sasaran-sasaran, kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur
organisasi yang tidak tercapai.
5. Mengidentifikasi kriteria untuk memastikan pencapaian tujuan organisasi.
6. Merekomendasikan perbaikan didalam kebijakan-kebijakan, prosedur-prosedur, dan
struktur organisasi.
7. Menetapkan hasil pemeriksaan pada performa melalui individu dan unit organisasi.
8. Memeriksa ketaatan atas persyaratan hukum dan tujuan, sasaran, kebijakan, dan
prosedur dalam organisasi.
9. Menguji adanya penyimpangan wewenang, kecurangan, atau bahkan perbuatanperbuatan yang tidak semestinya.
10. Mengakses informasi manajemen dan sistem-sistem pengendalian.
11. Mengidentifikasi kemungkinan titik-titik permasalahan dimasa yang akan datang.
12. Melengkapi saluran tambahan komunikasi antara operating levels dan top
management.
13. Menetapkan kebebasan, evaluasi sasaran operasional.
Dalam audit operasional juga diperlukan standar yang dapat digunakan oleh
pemeriksa sebagai tolak ukur kegiatannya, contoh : sasaran perusahaan, uraian tugas,
dan berbagai peraturan intern perusahaan. Laporan hasil pemeriksaan operasional
pada dasarnya mengikuti rekomendasi yang menjelaskan berbagai hal yang perlu
mendapat perbaikan atau tidak lanjut.
2.3.4 Ruang Lingkup Audit Operasional
Ruang lingkup penugasan audit operasional lebih luas daripada pemeriksaan
keuangan karena pemeriksaan operasional tidak hanya mencakup pada masalah
keuangan tetapi juga masalah di luar keuangan. Pemeriksaan operasional meliputi
semua aspek manajemen atas kegiatan atau program yang diperiksa. Aspek-aspek
manajemen tersebut yaitu sistem organisasi, kebijakan, perencanaan, prosedur,
pencatatan, pelaporan dan personalia.
Rob Reider (2002 ; 20) mengemukakan ruang lingkup dalam melakukan audit
operasional terletak pada:
1. Economy, yaitu untuk menghindari pemborosan dan biaya yang berlebihan.
2. Efficiency, merupakan aturan penggunaan sumber daya yang dimiliki
perusahaan dihubungkan dengan usaha perusahaan mencapai tujuan yang
telah ditetapkan dengan biaya minimal.
3. Effectivness, merupakan ukuran tingkat keberhasilan suatu organisasi dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2.3.5 Jenis-Jenis Audit Operasional
Ada tiga kategori Audit Operasional menurut Arens, et al (2008;844-845)
yaitu :
1. Functional audits,
2. Organizational audits,
3. Special assignmen.
1. Pemeriksaan Fungsional (Functional Audits)
Pemeriksaan Fungsional adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap satu atau
lebih fungsi dari suatu organisasi. Adapun pengertian dari fungsi adalah
penggolongan aktivitas suatu bisnis, seperti : fungsi personalia, fungsi pemasaran,
fungsi produksi, fungsi keuangan dan lain-lain. Pemeriksaan fungsional ini
mempunyai keuntungan karena adanya spesialisasi oleh auditor sehingga auditor
dapat mengembangkan keahliannya di bidang tertentu. Sedangkan kesulitan yang
mungkin timbul adalah dalam mengevaluasi fungsi-fungsi yang saling
berhubungan.
2. Pemeriksaan Organisasi (Organizational Audits)
Pemeriksaan organisasi adalah jenis pemeriksaan operasional yang berhubungan
dengan seluruh unit yang ada dalam suatu organisasi, seperti departemen dan
cabang. Penekanan pada pemeriksaan ini adalah bagaimana tingkat efisiensi dan
efektivitas tiap-tiap fungsi dan perlu diperhatikan pula rencana organisasi dan
metode dalam mengkoordinasi aktivitas.
3. Penugasan Khusus (Special Assignment)
Penugasan khusus atau special assignment merupakan pemeriksaan operasional
yang dilakukan atas dasar permintaan dari pihak manajemen untuk tujuan yang
khusus, seperti : penyelidikan kemungkinan terjadinya kecurangan, memberikan
rekomendasi untuk mengurangi biaya pemasaran, mencari penyebab terjadinya
sistem Electronic Data Processing (EDP) yang tidak efektif.
2.3.6 Keterbatasan Pemeriksaan Operasional
Hal-hal yang membatasi audit operasional menurut Amin (2008) adalah :
1. Waktu, berkaitan dengan kekomprehensifan audit tersebut.
2. Pengetahuan, karena orang tidak ahli dalam setiap aspek perusahaan maka
auditor hanya akan sensitif terhadap masalah-masalah yang sesuai dengan
latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki saja dan kurang
memberikan perhatian pada masalah lain diluarnya.
3. Standar, bidang-bidang yang berada di luar standar atau kriteria keefektifan
adalah diluar ruang lingkup audit operasional.
4. Orang, tidak boleh menyinggung ketidakmampuan seseorang dalam
melakukan fungsinya, tetapi hanya menunjukkan bahwa suatu pekerjaan atau
tugas dilaksanakan dengan tidak efektif.
5. Biaya, proses audit operasional memerlukan biaya yang tidak sedikit.
6. Data, terkadang terdapat ketidaklengkapan data-data yang diminta auditor
kepada auditee.
7. Audit Entity, pembatasan audit operasional pada suatu fungsi tertentu atau unit
dalam beberapa hal menyampingkan aspek-aspek yang mempengaruhi Audit
Entity tetapi aspek-aspek tersebut berada dalam cakupan/lingkup suatu fungsi
atau unit lain.
2.3.7 Kriteria Dalam Audit Operasional
Pada pemeriksaan operasional, kriteria yang dibutuhkan untuk dapat
mengevaluasi kondisi-kondisi yang ada adalah kriteria yang dapat diandalkan
(reliable), namun demikian tidak ada kriteria tertentu yang dapat dijadikan pedoman
seperti halnya Standar Akuntasi Keuangan yang merupakan pedoman dalam
pemeriksaan keuangan historis.
Salah satu pengendalian yang digunakan dalam menyusun kriteria yang
digunakan dalam pemeriksaan operasional yaitu dengan menetapkan bahwa tujuan
pemeriksaan operasional adalah untuk menentukan apakah beberapa aspek dalam
perusahaan dapat dibuat lebih efektif atau efisien dan memberikan rekomendasi
perbaikan. Kriteria yang lebih spesifik seringkali diperlukan sebelum pemeriksaan
operasional dimulai.
Menurut Arens, et al (2008;847-848), beberapa sumber data yang dapat
digunakan dalam mengembangkan kriteria yang spesifik adalah sebagai berikut:
1. Historical Performance (Kinerja Historis)
Suatu kriteria dapat ditentukan berdasarkan hasil kinerja pada periode yang
lalu. Kriteria ini digunakan untuk membandingkan apakah kinerja sekarang
ini lebih baik atau lebih buruk dari periode yang lalu. Kebaikan dari kriteria
ini adalah kemudahan pembuatannya; namun demikan, kriteria ini tidak dapat
menunjukan seberapa baik atau seberapa buruk keadaan perusahaan yang
sebenarnya
2. Benchmarking (Kinerja yang dapat diperbandingkan)
Ada banyak kesatuan yang hampir sama dalam keseluruhan organisasi atau di
luar organisasi, oleh karena itu data kinerja dari kesatuan-kesatuan yang dapat
dibandingkan
merupakan
sumber-sumber
yang
sangat
baik
untuk
mengembangkan kriteria untuk kesatuan internal, biasanya data sudah
tersedia. Untuk kesatuan yang berada di luar organisasi, data seringkali
tersedia pada kelompok industri dan lembaga pemerintah yang berwenang.
2. Engineered Standars (Standar Rekayasa)
Dalam
penugasan
pemeriksaan
operasional
dimungkinkan
untuk
mengembangkan kriteria dan berdasarkan hasil penelitian ilmiah. Kriteria
jenis ini membutuhkan waktu dan biaya yang besar dalam pengembangannya.
Karena memerlukan banyak keahlian, namun sangat efektif dalam
memecahkan masalah operasional yang utama sehingga biaya yang
dikeluarkan seimbang dengan hasil yang diperoleh.
3. Discussion and Agreement (Diskusi dan Kesepakatan)
Kadangkala kriteria yang objektif sulit dan membutuhkan biaya yang besar
untuk memperolehnya, namun kriteria yang objektif dapat juga diperoleh
melalui diskusi dan kesepakatan, dimana pihak yang terlibat dalam proses ini
adalah pihak manajemen perusahaan yang diperiksa, pemeriksaan operasional
dan kesatuan atau organisasi yang akan menerima laporan atas temuantemuan yang didapat.
2.3.8 Tahap-Tahap Pemeriksaan Operasional
Dalam melakukan pemeriksaan operasional, seorang pemeriksa memerlukan
suatu kerangka kerja sebagai pedoman kerjanya, mengingat kegiatan dan struktur
perusahaan dewasa ini semakin kompleks. Pemeriksa akan mengalami banyak
kesulitan dalam melaksanakan pekerjaannya tanpa kerangka kerja yang baik. Oleh
karena itu, suatu kerangka kerja harus diiringi dengan suatu program pemeriksaan
yang terperinci sehingga dapat menjadi masalah dasar kerja pemeriksaan operasional
yang baik.
Menurut Arens,et al (2008), tahap-tahap pemeriksaan operasional dibagi
menjadi tiga tahap pelaksanaan, yaitu:
1. Planning
2. Evidence Accumulation and Evaluation
3. Reporting and Follow up.
1. Perencanaan (Planning)
Pada tahap perencanaan, auditor operasional harus menentukan lingkup
keterikatan secara seksama, memperoleh informasi latar belakang tentang
kesatuan
organisasi, memahami pengawasan intern dan dapat menghasilkan
keputusan yang sesuai dengan bukti yang telah dikumpulkan.
2. Akumulasi Bukti dan Evaluasi (Evidence Accumulation and Evaluation)
Dalam tahap ini, auditor operasional harus menghimpun bukti yang kompeten
dan cukup untuk diusahakan menjedi suatu bagian yang layak untuk suatu
kesimpulan tentang objektivitas.
3. Pelaporan dan Tindak Lanjut (Reporting and Follow up)
Pada umumnya suatu laporan audit operasional akan meliputi unsur-unsur yaitu
tujuan dan ruang lingkup penugasan, prosedur-prosedur yang digunakan oleh
auditor, temuan-temuan khusus, rekomendasi-rekomandasi jika perlu. Laporan
auditor operasional biasanya dikirim hanya untuk manajemen laporan dengan
suatu salinan tersendiri.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tahapan audit operasional adalah
sebagai berikut :
1. Tahap pendahuluan
2. Tahap Audit mendalam
3. Tahap Pelaporan
Sedangkan Menurut Rob Reider (2002;39-40), terdapat lima tahap yaitu :
1.Planning
2. Work Programs
3. Field Work
4. Development of Findings and Recommendation
5. Reporting
1. Planning (Perencanaan)
Pada tahap ini, auditor memperoleh informasi umum tentang jenis aktivitas yang
dilakukan, sifat-sifat dari aktivitas dan perbaikan relatifnya, dan untuk
memperoleh informasi umum yang membantu perencanaan dini dari audit.
2. Work Programs (Program-program Kerja)
Auditor menyiapkan program-program kerja pada audit operasional untuk audit
pendahuluan atas aktivitas-aktivitas yang akan diaudit dalam tahap perencanaan.
3. Field Work (Kerja Lapangan)
Dalam tahap ini, auditor menganalisis operasi atas aktivitas untuk menentukan
efektivitas manajemen dan kaitannya dengan pengendalian.
4. Development of Findings and Recommendations (Mengembangkan Temuantemuan dan rekomendasi)
Berdasarkan atas identifikasi pada aktivitas operasi yang signifikan selama tahap
kerja lapangan, temuan-temuan yang spesifik tersebut dikembangkan berkaitan
dengan:
Kondisi
:
Apa yang ditemukan ?
Kriteria
:
Apa yang seharusnya terjadi ?
Penyebab
:
Mengapa terjadi ?
Akibat
:
Apa akibat dari kegiatan yang dilakukan ?
Rekomendasi
: Apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki
keadaan (berdasarkan kegiatan yang sedang dilakukan)
?
5. Reporting (Pelaporan)
Auditor
menyiapkan
laporan
yang
berisi
tentang
temuan-temuan
selama
dilakukannya audit operasional. Tujuan dari pelaporan ini adalah untuk dilakukannya
tindak lanjut dari pihak yang bertanggung jawab atas temuan-temuan tersebut.
2.4
Pengertian Efektivitas
Komaruddin (1994 ; 269) mengemukakan bahwa:
"Efektivitas
merupakan
keadaan
yang
menunjukkan
tingkat keberhasilan
atau kegagalan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
terlebih dahulu".
Jadi efektivitas dapat diartikan sebagai kemampuan suatu unit untuk mencapai
tujuan atau sasaran yang diharapkan atau diinginkan organisasi.
Pengertian efektivitas menurut Anthony dan Govindarajan (2003; 150) adalah sebagai
berikut:
"Effectiveness is determined by the relationship a responbility center's output
and its objectives".
Maksud dari pernyataan diatas adalah bahwa efektivitas adalah hubungan
antara output dari suatu pusat pertanggungjawaban dengan tujuannya.
Dari definisi diatas dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan kemampuan
suatu organisasi untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber yang ada sebaik
mungkin dalam usahanya mencapai tujuan organisasi. Suatu unit dikatakan efektif
bila kontribusi keluaran yang dihasilkan semakin besar terhadap nilai pencapaian
sasaran tersebut Efektivitas juga dapat dikatakan sebagai tolak ukur keberhasilan
suatu organisasi dalam mencapai tujuan organisasi tersebut yang berhubungan dengan
hasil operasi perusahaan.
2.5
Pengertian Pengelolaan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995;170) mendefinisikan
pengelolaan sebagai berikut :
Pengelolaan adalah :
1. proses, cara, perbuatan mengelola;
2. proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain;
3. proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi;
4. proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam
pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan .
2.6
Persediaan
2.6.1 Pengertian Persediaan
Persediaan merupakan salah satu unsur penting dalam perusahaan. Istilah
persediaan mengandung arti yang berbeda tergantung dari kegiatan usaha dari
perusahaan tersebut.
Menurut Hendriksen yang dialihbahasakan oleh Nugroho Widjajanto
(2000:570) menyatakan tentang persediaan sebagai berikut :
Persediaan (inventory) meliputi barang-barang dagangan yang dimaksudkan
untuk dijual dalam kondisi normal dan bahan baku serta bahan pembantu yang
dipergunakan dalam proses produksi untuk dijual .
Sedangkan pengertian persediaan menurut Kieso,Weygandt, Warfield yang
diterjemahkan oleh Herman Wibowo (2001:394) adalah sebagai berikut :
Persediaan adalah pos harta yang ditahan untuk dijual dalam kegiatan usaha
yang biasa atau barang yang akan digunakan atau dikonsumsi dalam produksi barang
yang akan dijual .
Dan pengertian persediaan menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2004;14.1)
adalah sebagai berikut :
Persediaan adalah aktiva :
a. Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal;
b. dalam proses produksi dan atau dalam perjalanan;
c. dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses
produksi atau pemberian jasa .
Persediaan meliputi barang-barang yang dibeli dan disimpan untuk dijual
kembali, barang jadi yang telah diproduksi, atau barang dalam penyelesaian yang
sedang diproduksi perusahaan, dan termasuk bahan serta perlengkapan yang akan
dipergunakan dalam proses produksi.
Dari ketiga uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian persediaan bagi
perusahaan dagang adalah persediaan barang dagangan, berupa barang-barang milik
perusahaan yang diperoleh untuk dijual kembali tanpa adanya proses produksi yang
mengubah jenis, bentuk, atau mutu dari barang tersebut.
Sedangkan untuk perusahaan manufaktur, persediaan merupakan bahan baku
yang kemudian diolah bersama bahan pembantu untuk menjadi barang jadi yang siap
untuk dijual kembali, biasanya sebelum tanggal neraca ada barang yang belum selesai
diproduksi. Karena itu pada perusahaan manufaktur terdapat persediaan berupa bahan
baku, bahan pembantu, barang setengah jadi (masih dalam proses produksi), dan
barang jadi. Selain itu terdapat pula persediaan spare part atau suku cadang.
2.6.2 Metode pencatatan dan penilaian persediaan
Pencatatan persediaan adalah penting dan harus dilakukan secara wajar dan
konsisten.
Metode
pencatatan
yang
digunakan
hendaknya
yang
dapat
menggambarkan jumlah persediaan setiap saat. La Midjan dan Azhar Susanto
(1999;155), mengemukakan pencatatan jumlah persediaan dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu :
1. Perpetual System (Sistem Perpetual).
Pada sistem ini diharuskan adanya catatan atas transaksi-transaksi secara terusmenerus dengan baik untuk setiap jenis persediaan, karena setiap transaksi yang
menyangkut persediaan harus dicatat tepat pada waktunya. Dengan sistem ini
maka informasi atas jumlah persediaan dapat diketahui melalui catatan yang ada.
2. Periodic System ( Sistem Fisik)
Pada sistem ini tidak dibuat catatan mengenai transaksi persediaan berdasarkan
saat terjadinya transaksi. Jumlah persediaan yang ada dapat ditentukan degan cara
perhitungan dan pengukuran atas barang-barang persediaan yang ada disetiap
akhir periode .
Dari kedua metode pencatatan persediaan dapat ditarik kesimpulan bahwa
metode yang dapat menggambarkan jumlah persediaan setiap saat adalah metode
perpetual, karena metode pencatatan atau transaksi persediaan dilakukan setiap saat,
baik pemasukannya maupun pada saat pengeluarannya.
Dalam melakukan penilaian terhadap persediaan, terhadap bermacam-macam
metode yang dapat dipergunakan sebagaimana dinyatakan dalam Standar Akuntansi
Keuangan (2005;14.4) bahwa :
Biaya persediaan harus dihitung dengan menggunakan rumus biaya masuk
pertama (FIFO), rata-rata tertimbang (Weighted Average Cost Method), atau
terakhir masuk keluar pertama (LIFO) .
Dengan demikian prosedur harga pokok penentuan nilai persediaan pasar suatu
perusahaan dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
1. First In First Out (FIFO)
Barang pertama yang dibeli adalah barang pertama yang digunakan (dalam
perusahaan manufaktur) atau dijual (pada perusahaan dagang). Dalam semua
kasus FIFO, persediaan dan harga pokok penjualan akan sama pada akhir
bulan terlepas apakah menggunakan sistem persediaan perpetual ataupun
periodik.
2. Last In First Out (LIFO)
Menandingkan (matches) biaya dari barang-barang yang paling akhir dibeli
terhadap pendapatan. Jika digunakan sistem periodik maka akan diasumsikan
bahwa biaya dari total kuantitas yang terjual atau dikeluarkan selama satu
bulan berasal dari pembelian paling akhir. Jika digunakan dalam sistem
perpetual baik kuantitas maupun dalam nilai uang, akan menghasilkan
persediaan akhir dan harga pokok penjualan yang berbeda.
3. Weight Average Cost Method (WACM)
Didasarkan atas asumsi bahwa harga pokok harus dibebankan ke pendapatan
menurut harga rata-rata tertimbang per unit dari barang-barang yang dijual,
harga pokok rata-rata tertimbang per unit ini digunakan juga untuk
menentukan harga pokok barang yang masih ada dalam persediaan.
Tidaklah menjadi soal metode mana yang akan dipilih oleh suatu perusahaan,
akan tetapi metode tersebut harus difunakan secara konsisten dari periode ke periode.
2.6.3 Perencanaan dan Pengendalian Persediaan
Untuk mengelola persediaan diperlukan adanya suatu perencanaan yang baik
agar memudahkan didalam melakukan pengendalian persediaan. Menurut Willson
and Campbell yang dialihbahasakan olej Tjintjin Tjandra (2001;428) yang dimaksud
dengan perencanaan persediaan adalah sebagai berikut :
perencanaan persediaan berhubungan dengan penentuan komposisi
persediaan, penentuan waktu atau penjadwalan, serta lokasi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan perusahaan yang diproyeksikan .
Menurut La Midjan dan Azhar Susanto (2001;156-157) yang dimaksud
dengan pengendalian persediaan adalah sebagai berikut :
pengendalian persediaan adalah semua metode dan tindakan yang
dilaksanakan untuk mengamankan persediaan sejak mendatangkannya,
menerima, menyimpannya dan mengeluarkannya baik fisik maupun kualitas
dan pencatatannya termasuk penentuan dan pengaturan jumlah persediaan .
2.6.4 Mafaat Pengendalian Persediaan Yang Baik
Manfaat pengendalian persediaan menurut Willson and Campbell yang
dialihbahasakan oleh Tjintjin Tjandra (2001;429) adalah sebagai berikut :
1. Menekan invastasi modal dalam persediaan dalam tingkat yang minimum
2. Mengeliminasi atau mengurangi permborosan dan biaya yang timbul dari
penyelenggaraan persediaan yang berlebihan, kerusakan, penyimpanan, kekunoan
dan asuransi persediaan
3. Mengurangi risiko kecurangan atau kecurian persediaan
4. Menghindari risiko penundaan produksi dengan cara selalu menyediakan bahan
yang diperlukan
5. Memungkinkan memberikan jasa yang lebih memuaskan kepada para pelanggan
dengan cara selalu menyediakan bahan atau barang yang dibutuhkan
6. Dapat mengurangi investasi dalam fasilitas dan peralatan gudang
7. Memungkinkan pemerataan produksi melalui penyelenggaraan persediaan yang
tidak merata sehingga membentuk stabilitas pekerjaan
8. Menghindarkan atau mengurangi kerugian yang timbul akibat penururnan harga
9. Mengurangi biaya operasi fisik persediaan tahunan
10. Melalui pengendalian yang wajar dan informasi yang tersedia untuk persediaan
dimungkinkan adanya pelaksanaan pembelian yang lebih baik untuk memperoleh
keuntungan dari harga khusus dan dari perubahan harga
11. Mengurangi penjualan dan biaya administrasi, melalui jasa atau pelayanan
yang
lebih baik kepada pelanggan
2.6.5 Pentingnya Pengelolaan Persediaan
Persediaan merupakan unsur yang utama dalam modal kerja, merupakan
aktivitas yang selalu dalam keadaan berputar. Masalah investasi dalam persediaan
merupakan masalah yang penting bagi perusahaan karena besar kecilnya persediaan
akan berpengaruh pada keuntungan perusahaan dan juga persediaan merupakan pos
terbesar dalam aktiva lancar perusahaan industri.
Oleh karena itu diperlukan pengelolaan persediaan oleh perusahaan. Dalam
arti luas, pengelolaan persediaan meliputi fungsi perencaan dan pengendalian yang
didalamnya termasuk penetapan dan pemeliharaan komponen dan kualitas yang tepat
untuk bahan baku untuk bahan baku atau produk yang diperlukan sehingga
memenuhi syarat-syarat produksi atau pesanan dari pelanggan dengan cara yang
sebaik-baiknya.
Fungsi pengelolaan persediaan menurut Willson dan Campbell yang
dialihbahasakan oleh Tjintjin Fenix Tjandra (2001;428) adalah sebagai berikut :
Secara luas, fungsi pengelolaan persediaan meliputi pengarahan arus dan
penanganan bahan secara wajar, mulai dari penerimaan sampai penggudangan
dan penyimpanan, menjadi barang dalam pengolahan dan barang jadi, sampai
berada di tangan pelanggan .
Sedangkan cara pengelolaan persediaan yang baik menurut Willson dan
Campbell yang dialihbahasakan oleh Tjintjin Fenix Tjandra (2001;430-431) adalah
sebagai berikut :
1. Penetapan tanggung jawab dan wewenang yang jelas terhadap persediaan.
2. Sasaran dan kebijakan yang dirumuskan dengan baik.
3. Fasilitas penggudangan dan penanganan yang baik
4. Klasifikasi dan identifikasi persediaan secara layak.
5. Standarisasi dan simplifikasi persediaan.
6. Catatan dan laporan yang cukup.
7. Tenaga kerja yang memuaskan.
Adapun penjelasan dari cara-cara pengelolaan persediaan diatas adalah sebagai
berikut :
1. Penenetapan tanggung jawab dan wewenang yang jelas terhadap persediaan.
Dengan adanya pelimpahan wewenang, perencanaan dan pengendalian
persediaan dapat menunjang lancarnya siklus usaha dan jika terjadi kemacetan
atau kelalaian dengan persediaan, pimpinan dapat mengetahuinya
2. Sasaran kebijakan dan pengelolaan persediaan yang baik.
Sasaran kebijakan dan pengelolaan persediaan yang dirumuskan dengan baik
dapat mencegah adanya kesimpangsiuran dalam pelaksanan tugas, misalnya
masalah kebijakan umum yang akan mengatur akumulasi persediaan antara lain
sampai sejauh mana diperkenankan pembelian spekulatif.
2. Adanya fasilitas penggudangan dan penanganan yang memadai.
Pengamanan persediaan dengan fasilitas penggudangan disertai dengan petugas
khusus yang bertanggung jawab atas penyimpanan persediaan akan dapat
mengamankan persediaan dari kerusakan, pencurian, dan lain-lain.
3. Klasifikasi dan identifikasi secara layak.
Klasifikasi persediaan terdiri dari : 1) bahan baku, 2) bahan perlengkapan, 3)
barang dalam proses, 4) barang jadi. Klasifikasi ini diperlukan dalam
penyusunan dalam anggaran. Adanya barang dalam perjalanan dan barang
konsinyasi harus diidentifikasi secara tetap. Dalam klasifikasi utama, sangat
sering terdapat beribu macam persediaan dan ini harus diidentifikasi secara
tepat dan benar untuk menjaga kelancaran produksi.
4. Standarisasi dan simplikasi persediaan.
Standarisasi dan simplikasi persediaan yang digunakan untuk mempermudah
pengendalian persediaan seperti jenis, ukuran, dan sifat-sifat yang dipandang
sebagai standar. Sedangkan simplikasi memudahkan untuk membedakan
barang mana yang cepat dijual dan mana yang lambat perputarannya sehingga
dapat menghindari pembelian persediaan yang tidak diperlukan.
5. Catatan dan laporan keuangan yang cukup
Perencanaan dan pengendalian persediaan didasarkan pada adanya pengetahuan
mengenai fakta, sehingga diperlukan pencatatan dan laporan yang menunjang
informasi untuk memenuhi kebutuhan para staf pembelian, produksi, penjualan,
dan keuangan.
6. Tenaga kerja yang memuaskan
Penetapan prosedur dan penyelenggaraan catatan pembukuan fisik yang baik
tidak akan berhasil bila tidak didukung oleh kecakapan manusia yang
melakukannya. Kecakapan tidak saja berada dalam jenjang manajer tertinggi
tetapi juga pada mereka yang mempunyai tanggung jawab khusus terhadap
pengendalian internal persediaan.
2.7
Peranan Pemeriksaan Operasional Dalam Menunjang Efektivitas
Pengelolaan Persediaan
Persediaan yang ada dalam perusahaan memerlukan pengelolaan yang baik
karena persediaan merupakan unsur yang utama dalam modal kerja dan juga
merupakan aktivitas yang selalu dalam keadaan berputar. Suatu perusahaan pada
umumnya mempunyai tujuan untuk memperoleh laba seoptimal mungkin, agar dapat
berjalan dalam waktu yang tidak terbatas dan disertai pertumbuhan yang sehat. Hal
ini menyebabkan perlunya untuk mengefektifkan setiap fungsi manajerial yang
dijalankan berdasarkan aktifitas perusahaan. Untuk itu diperlukan suatu fungsi
pengendalian yang bersifat sebagai pengaman yang berarti dapat memberikan
peringatan apabila ada suatu kegiatan yang menyimpang dari tujuan yang telah
ditetapkan oleh perusahaan yaitu berupa pemeriksaan operasional.
Jadi, peranan pemeriksaan operasional adalah membantu manajemen dalam
mengelola persediaan, menangani kelemahan-kelemahan yang ditemui, memberikan
saran dan rekomendasi perbaikan yang diperlukan, dan studi selanjutnya adalah untuk
mengatasi permasalahan dalam pengelolaan persediaan, serta untuk menunjang
efektivitas pengelolaan persediaan.
Menurut Willson and Campbell yang dialihbahasakan oleh Tjintjin Tjandra
(2001;428) pengelolaan persediaan akan efektif apabila :
1. Memelihara tempat yang aman bagi bahan, semua bahan yang bernilai tinggi
harus mendapat perhatian khusus
2. Pemindahan barang dari suatu lokasi ke lokasi yang lain harus dilakukan sesuai
dengan persetujuan manajemen, bahan-bahan hanya boleh dikeluarkan
berdasarkan bon permintaan yang telah disetujui oleh atasan yang berwenang.
3. Pemisahan tugas sehingga mereka yang menyelenggarakan catatan pembukuan
tidak menangani penerimaan atau pengeluaraan bahan.
4. Mengadakan
inventorisasi
persediaan
secara
rotasi
sehingga
hasilnya
direkonsiliasikan dengan catatan persediaan.
5. Mengharuskan auditor internal untuk melakukan penilaian secara mendalam
mengenai struktur pengendalian setiap persediaan.
6. Menilai dan menganalisa catatan persediaan untuk setiap kelemahan yang terjadi.
7. Mengevaluasi tenaga kerja yang menangani persediaan dan mengecek latar
belakang mereka (apabila perlu).
8. Melakukan survei periodik mengenai keamanan persediaan dan mengeliminasi
kesempatan berbuat curang.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan operasional atas
pengelolaan persediaan akan menunjang efektivitas pengelolaan persediaan.
Download