BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maraknya pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR), belakangan ini patut untuk dirayakan. Corporate Social Responsibility (CSR) memang sedang menjadi trend bisnis di Indonesia. Sudah banyak perusahaan yang melakukan program CSR, namun upaya sosialisasi harus terus dilakukan agar lebih banyak perusahaan menyadari dan memahami pentingnya CSR. Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) merupakan sebuah gagasan yang menjadikan perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom line yaitu juga memperhatikan masalah sosial dan lingkungan (Daniri, 2008). Beberapa perusahaan di Indonesia khususnya perusahaan pertambangan telah mengalami permasalahan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berdampak pada kerugian, baik secara materi maupun non materi (kepercayaan). Semakin berkembang suatu perusahaan, maka kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan semakin besar, karena perusahaan membutuhkan sumber daya yang lebih banyak lagi dari lingkungan sekitarnya. Hal ini dibuktikan bahwa sekitar 70 1 2 persen kerusakan lingkungan di Indonesia disebabkan oleh operasi pertambangan (kompas.com). Fenomena perkembangan isu CSR sendiri cukup populer di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini. Banyak perusahaan yang mulai antusias dalam menjalankan aktivitas CSR dengan beberapa alasan, diantaranya adalah agar dapat meningkatkan citra perusahaan, agar dapat membawa keuntungan tersendiri bagi perusahaan, dan agar dapat menjamin keberlangsungan perusahaan (going concern). Sama hal nya dengan perusahaan yang dalam kegiatan bisnisnya bergerak di bidang pemanfaatan sumber daya alam seperti perusahaan pertambangan, pelaksanaan CSR dianggap sebagai bentuk jaminan bagi perusahaan untuk dapat terus bertahan. Hal ini dikarenakan kegiatan operasioanal perusahaan pertambangan dalam kenyataannya memberikan dampak negatif kepada lingkungan, seperti : masalah-masalah polusi, limbah, kemanan produk, dan tenaga kerja. Berikut ini merupakan kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan di Indonesia dan menjadi pemicu berkembangnya praktik CSR (Utama, 2007), yaitu: peristiwa yang terjadi pada perusahaan PT. Adaro Energy Tbk sekitar bulan Oktober 2009, dimana dalam peristiwa ini ikan-ikan yang dibudidayakan oleh masyarakat di Kabupaten Balangan mati akibat tercemarnya sungai Balangan sehingga mengakibatkan kerugian materi yang ditaksir hingga miliaran rupiah (Rahman, 2009). Kasus lain terkait pencemaran lingkungan oleh perusahaan pertambangan yang terjadi pada perusahaan PT. Exploitasi Energi Indonesia yang merupakan penyebab kerusakan alam di Samarinda, Kalimantan 3 Timur yang kegiatan mengeksploitasi batubara menyebabkan warga di sekitar area tambang kekurangan sumber air bersih untuk kegiatan sehari-hari dan kegiatan pertanian. Dimana kapal - kapal yang berisi gunungan batubara berlalu melintas diatas sungai Mahakam yang berakibat tercemar setiap beberapa menit (www.m.voaindonesia.com). Berdasarkan gejala sosial ini pemerintah mengeluarkan regulasi terhadap kewajiban praktik dan pengungkapan CSR melalui Undang- Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 tahun 2007, pasal 74 ayat 1 Tentang Perseroan Terbatas, menjelaskan kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perusahaan yang kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam atau berkaitan dengan sumber daya alam (Solihin, 2008). Eksploitasi sumber-sumber alam yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan, telah memicu kesadaran untuk mengurangi dampak negatif ini. Penerapan tanggung jawab sosial atau lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi salah satu cara perusahaan untuk mengatasi masalah tersebut. CSR menunjukkan bahwa perusahaan tidak hanya memikirkan kepentingan perusahaan, tetapi juga kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas. Pihak-pihak tersebut adalah semua hubungan yang terjadi antara sebuah perusahaan dengan semua stakeholder, yaitu pelanggan, pegawai, komunitas, pemilik, pemerintah dan pemasok bahkan pesaing (Ghazali dan Chariri, 2007). Berbagai dampak dari keberadaan perusahaan di tengah-tengah masyarakat telah menyadarkan masyarakat di dunia bahwa sumber daya alam 4 adalah terbatas dan oleh karenanya pembangunan ekonomi harus dilaksanakan secara berkelanjutan, dengan konsekuensi bahwa perusahaan dalam menjalankan usahanya perlu menggunakan sumber daya dengan efisien dan memastikan bahwa sumber daya tersebut tidak habis, sehingga tetap dapat dimanfaatkan oleh generasi di masa datang. Dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), maka kegiatan CSR menjadi lebih terarah, paling tidak perusahaan perlu berupaya melaksanakan konsep tersebut. Dalam lingkup wilayah Indonesia, standar akuntansi keuangan Indonesia belum mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi sosial, akibatnya yang terjadi di dalam praktik perusahaan hanya dengan sukarela mengungkapkannya. Secara implisit Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 1 (revisi 2009) paragraf 9 menyarankan untuk mengungkapkan tanggung jawab akan masalah sosial sebagai berikut : “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting”. Menurut Bramantya (2010) dalam Mochamad Syakirur Rohman dan Bustanul Arifin (2011: 37) : “Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan sebuah gagasan yang menjadikan perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak 5 pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya saja. Kesadaran atas pentingnya CSR dilandasi pemikiran bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban ekonomi dan legal kepada pemegang saham (shareholder), tapi juga kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholder). CSR menunjukkan bahwa tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom line yaitu tanggung jawab perusahaan pada aspek sosial, lingkungan dan keuangan, yang merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan“. Teori triple bottom line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997 dalam bukunya “cannibals with forks, the triple bottom line of twentieth century bussiness”. Elkington mengembangkan konsep tersebut ke dalam istilah economic prosperity, environmental quality, dan social justice. Dan selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga diharapkan perhatian dan kontribusinya terhadap kesejahteraan masyarakat (people) dan kelestarian lingkungan yang ditempati (planet). Struktur kepemilikan perusahaan timbul akibat adanya perbandingan jumlah pemilik saham dalam perusahaan. Sebuah perusahaan dapat dimiliki oleh seseorang secara individu, masyarakat luas, pemerintah, pihak asing maupun orang dalam perusahaan tersebut (manajerial). Perbedaan dalam proporsi saham yang dimiliki oleh investor dapat mempengaruhi tingkat kelengkapan pengungkapan oleh perusahaan. Semakin banyak pihak yang butuh informasi tentang perusahaan, maka semakin detail pula pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan (Gabriella, 2011). 6 Kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional adalah dua mekanisme corporate governance utama yang membantu masalah keagenan. Kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham oleh manajemen perusahaan yang diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh manajemen (Sujoko dan Soebiantoro, 2007), sedangkan kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham oleh pemerintah, institusi keuangan, institusi berbadan hukum, institusi luar negeri, dan perwalian serta institusi lainnya pada akhir tahun (Shien, et al.2006). Dalam kaitannya dengan kepemilikan manajerial, pengungkapan perusahaan biasanya dilakukan seperlunya mengingat kepemilikan dimiliki oleh pihak insider yang dapat dengan mudah mendapatkan informasi mengenai perusahaan tanpa adanya pengungkapan dalam laporan tahunan. Perkembangan dunia usaha saat ini, pertumbuhan saham yang dimilki oleh investor institusional atau kepemilikan institusional meningkat pesat. Tujuan dari kepemilikan institusional itu sendiri adalah proporsi kepemilikan saham akhir tahun yang dimiliki oleh lembaga atau institusi seperti asuransi, bank, atau institusi lainnya. Kepemilikan institusional umumnya bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar yaitu lebih dari 5%, mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan. Dengan demikian proporsi kepemilikan 7 institusional bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan manajemen (Fauzi, 2004 dalam Noor Laila, 2011). Menurut Novita dan C. Djakman (2008 : 55): “Kepemilikan saham oleh institusi dianggap sebagai sophisticated investor karena mereka merupakan investor yang tidak mudah dibohongi oleh manajer. Dengan jumlah kepemilikan yang cukup signifikan kepemilikan institusional dapat memonitoring manajemen sehingga dapat mengurangi masalah keagenan, dimana masalah keagenan yang dimaksud adalah konflik kepentingan antara investor dengan manajemen perusahaan. Semakin besar kepemilikan institusional maka akan semakin efisien penempatan aktiva perusahaan. Kepemilikan institusional diharapkan juga bertindak sebagai pencegahan terhadap kecurangan yang dilakukan oleh manajer. Hal ini berarti kepemilikan institusional dapat menjadi pendorong pengungkapan CSR”. Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba menjadi perhatian utama dari para analis dan investor. Penelitian terhadap pengaruh profitabilitas dan pengungkapan tanggung jawab sosial sangat beragam. Hubungan yang positif menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan dalam meningkatkan laba yang tinggi akan semakin memotivasi perusahaan untuk mengungkapkan tanggung jawab sosialnya untuk mendapatkan legitimasi dan nilai positif dari stakeholder. Menurut Donovan dan Gibson (2000) dalam Sembiring (2005:381) menyatakan sebaliknya bahwa ketika perusahaan memiliki tingkat laba yang tinggi, perusahaan tidak melakukan pengungkapan informasi, tetapi pada tingkat 8 profitabilitas yang rendah perusahaan akan melakukan pengungkapan informasi agar investor akan tetap berinvestasi di perusahaan tersebut. Leverage merupakan alat untuk mengukur seberapa besar perusahaan tergantung pada kreditur dalam membiayai aset perusahaan. Perusahaan yang mempunyai tingkat leverage tinggi berarti sangat bergantung pada pinjaman luar untuk membiayai asetnya, sedangkan perusahaan yang mempunyai tingkat leverage lebih rendah lebih banyak membiayai asetnya dengan modal sendiri. Tingkat leverage perusahaan, dengan demikian menggambarkan risiko keuangan perusahaan. Teori keagenan memprediksi bahwa perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi, karena biaya keagenan perusahaan dengan struktur modal seperti itu lebih tinggi (Anggraini, 2006). Oleh karena itu perusahaan dengan rasio leverage yang tinggi memiliki kewajiban untuk melakukan ungkapan yang lebih luas daripada perusahaan dengan rasio leverage yang rendah. Menurut Eddy (2005) keputusan untuk mengungkapkan informasi sosial akan mengikuti suatu pengeluaran untuk pengungkapan yang menurunkan pendapatan. Sesuai dengan teori agensi maka manajemen perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan mengurangi pengungkapan tanggung jawab sosial yang dibuatnya agar tidak menjadi sorotan dari para debtholders. Pengujian atas kepemilikan manajerial terhadap corporate social responsibility telah dilakukan oleh Bangun & Krisnawati (2012) yang menyatakan hasil pengujian menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial 9 berpengaruh negatif dan signifikan terhadap corporate social responsibility. Adanya pengaruh yang negatif yang diberikan kepemilikan manajerial menunjukkan artinya, presentase saham yang dimiliki oleh pihak manajer mempengaruhi luas pengungkapan corporate social responsibility. Pengujian atas kepemilikan institusional terhadap corporate social responsibility telah dilakukan oleh Fridaagustina (2013) yang menyatakan bahwa hubungan antara kepemilikan institusional dan corporate social responsibility. Adanya pengaruh yang positif antara kepemilikan institusional terhadap corporate social responsibility menunjukkan pemilik saham institusional semakin menyadari pentingnya CSR sebagai bagian dari strategi perusahaan untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang. Pengujian atas profitabilitas terhadap corporate social responsibility telah dilakukan oleh Pebriana (2012) yang menyatakan bahwa hubungan antara profitabilitas dan corporate social responsibility. Adanya hubungan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap corporate social responsibility menunjukkan bahwa profitabilitas yang cenderung fluktuasi tidak akan mempengaruhi luas pengungkapan corporate social responsibility. Penelitian ini merupakan pengulangan penelitian yang dilakukan oleh Bangun & Krisnawati (2012). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Bangun & Krisnawati (2012) adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini lebih memfokuskan pengungkapan corporate social responsibility pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa 10 Efek Indonesia (BEI). Pada penelitian terdahulu meliputi semua perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). 2. Penelitian ini menambahkan satu variabel independen (bebas) leverage. Sedangkan pada penelitian sebelumnya terdapat tiga variabel independen yaitu kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan profitabilitas. 3. Periode pengamatan dalam penelitian terdahulu meliputi periode tahun 2007-2009. Penelitian ini meliputi periode mulai tahun 2010-2013. Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai: “Pengaruh Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, Profitabilitas, dan Leverage terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada Perusahaan Mining Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia’’ B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah ada pengaruh kepemilikan manajerial terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) ? 2. Apakah ada pengaruh kepemilikan institusional terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) ? 3. Apakah profitabilitas dengan metode Return on Asset (ROA) perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) ? 11 4. Apakah leverage (DER) perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) ? C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji secara empiris mengenai : 1. Pengaruh kepemilikan manajerial terhadap pengungkapan Corporate Social Responsibility. 2. Pengaruh kepemilikan institusional terhadap pengungkapan Corporate Social Responsibility. 3. Pengaruh profitabilitas terhadap pengungkapan Corporate Social Responsibility. 4. Pengaruh leverage terhadap pengungkapan Corporate Social Responsibility. 2. Manfaat Penelitian 1. Bagi Perusahaan Sebagai masukan untuk mengetahui gambaran mengenai pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan dalam meningkatkan tanggung jawab dan kepeduliannya pada lingkungan sosial. 12 2. Bagi Penulis Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan. 3. Bagi Pembaca Dapat dijadikan informasi atau bahan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.