TINJAUAN PUSTAKA Ikan Nila Merah (O. niloticus) Ikan nila (O. niloticus) sebagai salah satu komoditas andalan di subsektor perikanan dan sangat diminati masyarakat luas karena rasa dgingnya yang khas. Ikan ini banyak dibudidayakan oleh para pembudidaya ikan baik pada skala pembenihan maupun pembesaran. Tingginya permintaan konsumen dan kisaran toleransinya yang tinggi sehingga sangat potensial untuk dikembangkan pada skala usaha budidaya baik secara teknis maupun kualitas produksi. Selain hal tersebut, ikan nila cukup pekah terhadap pencemaran logam berat terutama pada fase awal kehidupan (Rachmansyah 1998). Ikan nila merah mempunyai ciri-ciri morfologi : bentuk bulat pipih, punggung lebih tinggi, pada badan dan sirip ekor (caundal fin) ditemukan garis lurus (vertikal). Sedangkan garis lurus punggung. Ikan nila merah memanjang ditemukan pada sirip dapat hidup diperairan tawar dan mereka menggunakan ekor untuk bergerak, sirip perut, sirip dada dan penutup insang yang keras untuk mendukung badannya. Ikan nila merah termasuk omnivora. Makanannya berupa hewan-hewan seperti protozoa dan zooplankton serta ganggang, algae yang tersedia di kolam. Persyaratan kualitas air budidaya ikan nila merah yaitu suhu 25-30 0C, DO ≥ 3 mg/l, pH 6-8,5, kecerahan 20-30 cm dan CO2 < 5 mg/l (Zonneveld et al. 1991). Logam Berat Timbal (Pb) Logam berat adalah unsur-unsur yang mempunyai daya hantar panas dan daya hantar listrik yang tinggi. Logam berat biasanya bernomor atom 22-29 dan periode 3 sampai 7 dalam susunan berkala unsur-unsur kimia. Beberapa unsur logam berat tersebut antara lain Hg, Pb, Cd, Cr, Zn, dan Cu. Logam berat merupakan senyawa yang tidak dapat terdegradasi dan cenderung terakumulasi dalam mahluk hidup serta memiliki sifat toksik dan karsinogenik (Fu dan Wang 2011). Menurut Khan et al. (2011) keberadaan logam berat pada lingkungan berasal dari beberapa sumber yaitu unsur-unsur alami dari kerak bumi dan aktivitas manusia. Bila kadar logam berat yang terlalu rendah di suatu perairan dapat menyebabkan kehidupan organisme mengalami defisiensi, namun bila unsur 19 logam berat dalam jumlah yang berlebihan dapat bersifat racun. Bahan cemaran ini akan mengalami tiga macam proses akumulasi yaitu proses fisik, kimia dan biologi. Logam memiliki karakter bereaksi sebagai akseptor pasangan elektron (asam lewis) dan donor pasangan elektron (basa lewis) untuk membentuk beragam gugus kimia seperti suatu pasangan ion, kompleks logam, senyawa koordinasi dan kompleks donor-akseptor (Connel dan Miller 2006). Berdasarkan karakteristik inilah logam berat dapat diikat oleh bahan lain yang bisa menjadi pasangan atau senyawa koordinasi yang sering disebut dengan ligan. Menurut Vouk (1986) dalam Tjakrawidjaja (2001) logam berat dapat dibagi dalam dua jenis yaitu logam berat esensial dimana keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup namun dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Cu, Fe, Co dan Mn. Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak esensial atau beracun di mana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun seperti Pb. Konsentrasi logam berat pada kulit ikan dapat menjadi lebih tinggi karena kandungan lipid/lemak pada kulit lebih banyak dari pada daging. Seperti yang telah diketahui bahwa logam berat mempunyai kecenderungan untuk terikat dengan lemak yang ada dalam tubuh. Semakin banyak lemak yang terdapat dalam tubuh maka semakin besar kemungkinan logam berat untuk dapat terakumulasi dalam tubuh (Chen dan Chen 2001). Tabel 1 Konsentrasi logam berat pada air yang mematikan ikan pada pemaparan 96 jam Jenis logam berat Konsentrasi mematikan pada ikan (mg/l) Cd 22 - 25 Cu 2,5 - 3,5 Pb 118 Zn 60 Ni 350 Sumber : Palar (1994) dalam Handajani (2010). 20 Timbal atau dalam keseharian lebih dikenal dengan nama timah hitam, dalam bahasa ilmiahnya dinamakan plumbum dan logam ini disimbolkan dengan Pb. Logam ini termasuk ke dalam kelompok logam-logam golongan IV-A pada tabel periodik unsur kimia. Timbal (Pb) dan persenyawaannya dapat berada di badan perairan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi, baik secara alamiah maupun sebagai dampak aktivitas manusia. Pb masuk ke perairan melalui limbah industri dan pertambangan. Logam berat timah hitam atau timbal (Pb) merupakan salah satu logam berat yang berbahaya bagi mahluk hidup. Logam berat ini merupakan elemen non esensial yang ditemukan pada konsentrasi yang tinggi di alam akibat kegiatan manusia, seperti : kegiatan pertambangan (Leston et al. 2010). Sifat berbahaya Pb pada mahluk hidup antara lain dapat menimbulkan penghambatan sintesis hemoglobin, disfungsi pada ginjal, sendi dan sistem reproduksi, sistem kardiovaskular, dan kerusakan akut dan kronis dari sistem saraf pusat (SSP) serta sistem saraf perifer (PNS). Efek lainnya termasuk kerusakan pada saluran pencernaan (GIT) dan saluran kemih, gangguan neurologis, serta kerusakan otak parah dan permanen (Khan et al. 2011). Logam Pb yang bersifat toksik biasanya dalam bentuk Pb2+. Logam berat Pb juga menyebabkan berbagai permasalahan termasuk dalam kegiatan perikanan budidaya. Pada berbagai organisme akuatik air tawar, timbal telah terbukti memiliki efek toksik dengan sensitivitas terendah 4 µg/l. Ion Pb masuk kedalam tubuh ikan melalui insang setelah terikat pada lapisan lendir (Ahmed dan Bibi 2010). Tetapi akumulasi dalam jaringan hewan air tergantung pada konsentrasi paparan dan periode serta beberapa faktor lain seperti salinitas, suhu, interaksi agen dan aktivitas metabolik pada jaringan. Selain itu, akumulasi logam berat Pb dalam jaringan ikan tergantung pada tingkat penyerapan, penyimpanan dan depurasi. Menurut Chen dan Chen (2001) Serapan dan bioakumulasi logam berat tersimpan dengan baik di kulit, insang, lambung, otot, usus, hati, otak, ginjal dan organ reproduksi, tetapi organ target utamanya adalah hati, ginjal dan otot tergantung pada konsentrasi dan waktu pemaparan. Menurut Seymore (1995) dalam Ahmed dan Bibi (2010), Pb dimetabolisme melalui jalur metabolik Ca2+. Oleh karena itu Pb terakumulasi dalam jaringan kerangka. Namun, Pb juga dikenal terakumulasi secara biologis dalam jaringan ikan lainnya, termasuk kulit 21 dan sisik, insang, mata, hati, ginjal dan otot . Disamping itu ion Pb juga dapat masuk kedalam tubuh ikan bersama dengan makanan dan air yang akhirnya diserap di usus dan jaringan lainnya. Beberapa pengaruh toksisitas logam pada ikan yang telah terpapar logam berat yaitu pada insang, alat pencernaan dan ginjal (Khan et al, 2011). Jumlah Pb yang terakumulasi pada tubuh ikan tergantung dari ukuran, umur dan kondisi ikan. Distribusi dan akumulasi logam berat sangat berbeda-beda untuk organisme air. Hal ini tergantung pada spesies, konsentrasi logam dalam air, pH, fase pertumbuhan dan kemampuan ikan (Darmono 1995). Toksisitas kronis Pb umumnya sama antara ikan dan mamalia terutama yang melibatkan disfungsi neurologis dan hematologi Pada ikan, efek sublethal Pb dapat menyebabkan efek orde tinggi, seperti berkurangnya kemampuan renang. Secara neurologis efek sublethal Pb berpotensi melibatkan gangguan respon koordinasi sensorik-motorik yang diperlukan untuk menangkap mangsa dan menghindari predator. Penelitian Olaifa et al. (2003) menemukan bahwa efek sublethal Pb pada ikan yaitu kehilangan keseimbangan, pemutihan kulit dan pelemahan ikan. Kerusakan jaringan oleh logam berat terhadap pada beberapa lokasi baik tempat masuknya logam (insang) maupun tempat penimbunanya (hati). Akibat yang ditimbulkan dari toksisitas logam berat timbal (Pb) dapat berupa kerusakan fisik (erosi, degenerasi, nekrosis) dan dapat berupa gangguan fisiologi (gangguan fungsi enzim dan gangguan metabolisme). Salinitas dan Osmoregulasi Salinitas adalah bobot garam-garam anorganik halogen yang terlarut (garam) dalam 1 kg air, apabila semua bromide dan iodida disetarakan dengan klorida dan semua karbonat disetarakan dengan oksidanya (Knedsen dalam Grasshorff 1976). Salinitas air sangat menentukan keseimbangan pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh dan mempengaruhi proses metabolisme. Menurut Darwisito (2006), gangguan terhadap proses osmoregulasi dapat mengakibatkan tekanan (akumulasi cairan didalam abdomen) yang disebabkan karena akumulasi cairan dalam otot yang terbendung. Perubahan pada komposisi cairan tubuh bisa juga disebabkan karena pengaruh lingkungan seperti perubahan salinitas dalam air serta keberadaan dari polutan itu sendiri. Salinitas dapat mempengaruhi tingkat 22 metabolisme ikan sehingga dalam kondisi tersebut sekresi mucus akan meningkat (Baldisserotto et al. 2007). Salinitas berhubungan erat dengan tekanan osmotik dan tekanan ionik air, baik air sebagai media internal maupun eksternal. Sifat osmotik air bergantung pada seluruh ion yang terlarut dalam air tersebut, semakin besar jumlah ion yang terlarut dalam air maka tingkat salinitas dan kepekatan osmotik larut akan semakin tinggi, sehingga akan menyebabkan tekanan osmotik medium bertambah besar. Ion-ion yang dominan dalam menentukan tekanan osmotik (osmolaritas) air laut adalah Na+ dan Cl- dengan kandungan masing-masing sebesar 30,61% dan 55,04% dari total seluruh kandungan ion-ion yang terlarut dalam air (Harvey 1976). Dengan respon osmotiknya, ikan-ikan air tawar mempunyai tekanan osmotik cairan internal (dalam tubuh) lebih besar dari tekanan osmotik eksternal (lingkungan) sehingga cairan cenderung keluar dalam tubuh sedangkan air dari lingkungan cenderung masuk kedalam tubuh. Oleh sebab itu dibutuhkan proses pengaturan tekanan osmotik untuk mengontrol keseimbangan osmotik antara cairan didalam tubuh dengan air sebagai media hidupnya. Pengaturan osmotik ini dilakukan dengan mekanisme osmoregulasi (Affandi dan Tang 2002) Ikan teleost air tawar mempunyai konsentrasi osmotik dalam darahnya 300-400 mOsm per liter, yang mana lebih tinggi dari lingkungan air tawar atau berada pada keadaan yang hiperosmotik, secara kontinyu melakukan pelepasan sejumlah ion-ion natrium dan klorida ke lingkungan dengan cara difusi melintasi epithelial insang yang tipis. Sejumlah larutan secara kontinyu dilepaskan lewat urin maupun berdifusi secara pasif melintasi lapisan epithelial insang (Moyle and Cech 1988). Walaupun beberapa garam juga diperoleh melalui sumber makanan, sebagian besar ion-ion terutama ion natrium dan klorida diperlukan untuk keseimbangan ion-ion internal melalui mekanisme transport aktif dalam insang (Schmidt 1987). Mekanisme pertukaran ion pada ikan ini terjadi dalam sel klorida epithelial insang. Pada ikan ini mekanisme pertukaran ion menyerupai sel klorida yang mengandung mitokondria, sistem tubular dan Na+ - K+ - ATPase, tetapi pada teleoast air tawar sangat sedikit jumlahnya, biasanya terjadi secara tunggal dan 23 perpindahan ion Na+ dan Cl- kedalam tubuh ikan lebih baik dibandingkan dengan ke luar. Mekansime pertukaran ion melayani beberapa fungsi selain untuk memelihara Na+ dan Cl- ke dalam ikan. Pertukaran Na+ dengan NH4+ terjadi dengan baik pada ikan yang merupakan bagian dari mekanisme produksi amonia. Pertukaran Na+ dengan H+ dan Cl- dengan HCO3- terjadi untuk mempertahankan keseimbanagan asam-basa. Menurut Moyle dan Cech (1986), kedua mekanisme pertukaran ion tersebut dilangsungkan untuk : 1. Memelihara (Na+) internal yang tepat 2. Memelihara internal (Cl-) yang tepat 3. Mendepurasi beberapa potensi racun 4. Mengeluarkan beberapa metabolik CO2 (HCO3-) 5. Mengatur kosentrasi H+ dan OH- internal 6. Keseimbangan elektris ion-ion a b Gambar 1. Mekanisme osmoregulasi pada teleost air laut (a) dan teleost air tawar (b). Keterangan : CC = sel klorida; N = Nucleus AC = asesoris sel; PC = Pavement sel. 24 Sebagaimana diketahui bahwa kondisi osmotik dari teleost air tawar pada umumnya menyerupai invertebrata air tawar. Konsentrasi osmotik dalam darah berkisar pada 300 mOsm per lieter, yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi osmotik air tawar. Sehingga masalah utama pada ikan ini adalah bagaiamana memasukan air secara osmosis. Insang memainkan peranan penting sebab luas permukaan lebih besar dan relatif lebih permeabel, sedangkan permukaan kulit relatif kecil sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ikan ini permukaan kulit kurang berperan dalam aktivitas absorbsi. Kelebihan air diekskresikan sebagai urin yang sangat encer dan dapat dihasilkan dalam jumlah sampai sepertiga dari berat badan per hari. Pada insang sedikit lebih permeabel terhadap ion dan kehilangan ion di sini harus ditutupi melalui pengambilan ion (Schmidt 1987). Di samping insang dan ginjal, epithelial usus juga berperan dalam pengaturan keseimbangan air dan mineral. Pada usus ikan yang diadaptasikan ke air tawar terdapat sedikit peran Na-K-ATPase untuk aktivitas transport natrium ke dalam darah dari lumen usus, tetapi aktivitas Na-K-ATPase lebih berperan pada ikan yang diadaptasikan di air laut. Berdasarkan penjelasan diatas jelas terlihat bahwa pada ikan yang dipindahkan ke lingkungan yang berkadar salinitas tinggi atau yang berada pada lingkungan kelangsungan yang mengalami hidupnya ikan fluktuasi salinitas, tersebut melakukan untuk mempertahankan osmoregulasi dengan menggunakan transpor aktif. Dalam mekanisme transport aktif ini yang paling dominan adalah pompa Na+--K+. Dalam mekanisme ini Na+-K+-ATPase bekerja sebagai pompa Na+-K+ dalam membran yang utuh memompakan 3 ion Na+ ke luar dan 2 ion K+ ke dalam (Becker 1991). Pada prinsipnya aktivitas ini adalah untuk mempertahankan hidup. Aktivitas pompa ini merupakan bagian integral dari membran yang berfungsi untuk mempertahankan gradien konsentrasi ion-ion Na+ dan K+ di ekstra dan intraseluler. Sebagaimana diketahui bahwa dalam mekanisme ini diperlukan energi dalam bentuk ATP karena pergerakan ion tersebut merupakan pergerakan yang melawan gradien konsentrasi ion tersebut. untuk pengangkutan 3 ion Na+ dan 2 ion K+ diperlukan hidrolisis 1 ATP yang ekivalen dengan konsumsi energi sekitar 7.2 kcal. 25 Osmoregulasi adalah upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara tubuh dan lingkungannya atau suatu proses pengaturan tekanan osmose (Fujaya 2004). Karena itu, pengetahuan tentang osmoregulasi sangat penting dalam mengelola kualitas air media pemeliharaan terutama bila adanya perbedaan salinitas. Ikan nila yang dipelihara di media buatan seringkali mengalami masalah karena osmolaritas media hidupnya belum tentu sesuai dengan osmolaritas cairan tubuhnya. Untuk mengatasi permasalahan osmotik tersebut maka ikan nila dapat menjaga keseimbangan osmotik dengan cara mempertahankan kemampuan osmolaritas cairan internal melalui mekanisme osmoregulasi. Beberapa organ tubuh ikan yang berperan dalam proses osmoregulasi ikan yaitu insang, ginjal dan usus. Organ-organ ini melakukan fungsi adaptasi di bawah kontrol hormon, terutama hormon-hormon yang disekresi oleh pituitari, ginjal dan urofisis (Smith 1982). Menurut Fujaya (2004) menyatakan bahwa osmoregulasi dari beberapa golongan ikan terdapat ada tiga pola regulasi ion dan air yaitu : 1. Regulasi hipertonik atau hiperosmotik yaitu pengaturan secara aktif dimana konsentrasi cairan tubuh yang lebih tinggi dari konsentrasi media. Misalnya pada potadrom (ikan air tawar ). 2. Regulasi hipotonik atau hipoosmotik yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi cairan tubuh yang lebih rendah dari konsentrasi media, misalnya pada oseandrom (ikan air laut). 3. Regulasi isotonik atau isoosmotik yaitu bila konsentrasi cairan tubuh sama dengan konsentrasi media, misalnya ikan – ikan yang hidup pada daerah estuari. Ikan nila bersifat hiperosmotik terhadap lingkungannya menyebabkan air bergerak masuk kedalam tubuh dan ion-ion keluar ke lingkungan dengan cara difusi. Untuk menjaga kesimbangan cairan tubuh ikan maka ikan melakukan osmoregulasi dengan cara minum sedikit atau tidak minum sama sekali. Sedangkan, untuk mengurangi kelebihan air dalam tubuh maka ikan tersebut memproduksi sejumlah besar urin. Ginjal ikan–ikan eurihaline mengatur perbedaan konsentrasi darah dan urin sebagaimana pada tipe oseanodrom dan potadrom dengan jalan mengatur laju hilangnya garam atau air melalui transpor 26 aktif. Selain itu, insang juga aktif mengambil garam-garam dari lingkungannya. Kedua hal ini membutuhkan energi metabolik dimana semakin jauh perbedaan tekanan osmose antara tubuh dan lingkungan maka semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi (Smith 1982 ). Konsumsi Oksigen Tingkat konsumsi oksigen adalah banyaknya oksigen yang diambil atau dikonsumsi oleh organisme akuatik dalam waktu tertentu yang berhubungan linear dengan banyaknya oksigen terlarut diperairan tersebut (Vernberg 1972). Oksigen terlarut (Dissolved oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Keperluan organisme terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktivitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relative lebih sedikit apalagi dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimal adalah 2 ppm dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (Wardoyo 1987). Semua energi yang diperlukan untuk sintesis dan katabolisme berasal dari hasil proses oksidasi zat-zat makanan dalam sel. Tingkat metabolisme ini dapat ditaksir dengan melakukan pengukuran secara tidak langsung yaitu dengan mengukur tingkat konsumsi oksigen yang dipergunakan dalam proses oksidasi. Penentuan tingkat konsumsi oksigen merupakan teknik pengujian yang memberikan hasil yang baik dan juga biasanya digunakan untuk menaksir laju metabolisme. Oksigen dapat digunakan sebagai pendekatan tingkat metabolisme yang praktis karena jumlah panas yang dihasilkan untuk setiap liter oksigen yang digunakan dalam metabolisme hampir konstan, terlepas dari apakah lemak, karbohidrat atau protein yang teroksidasi dan dapat dikonversikan ke dalam nilai energi (Schmidt 1987). Tingkat konsumsi oksigen merupakan suatu variabel fisiologis penting dan berpengaruh dalam sistem budidaya intensif maupun semiintensif, yang juga penting dalam kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan. Sebagaimana diketahui bahwa faktor abiotik dan biotik dapat merupakan faktor pembatas dalam tingkat konsumsi oksigen. Faktor tersebut antara lain meliputi 27 suhu yang merupakan aspek yang sangat penting yang berhubungan dengan metabolisme rutin dan konsumsi oksigen pada ikan, salinitas dan aktivitas berenang (Caulton 1977). Dalam mekanisme transport aktif diperlukan energi dan yang sangat menarik untuk diketahui bahwa peningkatan keperluan energi dapat berubah-ubah pada ikan. Sebagai contoh apabila ikan berpindah dari medium yang lebih encer atau dari air tawar ke air payau dan air laut akan terjadi peningkatan kebutuhan energi yang ditandai dengan peningkatan dalam laju konsumsi oksigen yang cukup besar, bahkan dapat mencapai 50 persen. Hal ini dapat disimpulkan bahwa peningkatan ini merupakan pertanda peningkatan kerja transport aktif ion yang diperlukan untuk memelihara tingkat osmotik cairan tubuh ikan tersebut. Konsumsi oksigen pada tilapia sangat beragam. Job (1969) melaporkan konsumsi oksigen yang sangat tinggi pada tilapia dalam kondisi yang isoosmotik. Sebaliknya Asem (1981) melaporkan bahwa konsumsi oksigen tilapia meningkat pada setiap kondisi salinitas. Perbedaan dapat diakibatkan oleh beberap faktor seperti suhu, salinitas dan aktivitas (Ross dan Mickinney 1988). Tabel 2. Perbandingan tingkat konsumsi oksigen pada beberapa jenis tilapia. Sumber : Becker dan Fisheson (1990) 28 Proses Aklimatisasi Ikan Aklimatisasi mengambarkan respon kompenisasi dari suatu organisme terhadap perubahan beberapa faktor lingkungan, sedangkan jika dipengaruhi oleh satu faktor lingkungan disebut aklimasi (Affandi dan Tang 2002). Ikan nila merupakan jenis ikan yang mampu hidup pada salinitas yang tinggi. Kemampuan ikan nila untuk hidup pada salinitas tinggi harus melalui proses aklimatisasi. Menurut Boyed (1982) dalam Taqwa (2008), peningkatan salinitas yang dilakukan pada ikan nila berkisar antara 1 atau 2 ppt per jam. Penempatan ikan nila secara mendadak pada air laut yang salinitasnya lebih tinggi (hiperosmotik) akan menyebabkan kehilangan ion melalui permukaan tubuh dan urin. Hal ini akan menyebabkan kematian bila perubahan osmotik yang dialami sangat besar. Cara mengatasinya diperlukan sejumlah energi metabolik yang besar dan sebanding dengan laju kehilangan ion dari tubuh maupun urin (Lockwood 1967 dalam Taqwa 2008). Proses Akumulasi Logam Berat Pengambilan bahan pencemaran oleh makhluk hidup mengakibatkan peningkatan kepekatan yang dapat memiliki pengaruh yang negatif dalam tubuh organisme tersebut. Proses ini dapat terjadi oleh penyerapan langsung dari lingkungan sekeliling atau oleh penyerapan suatu pencemar dalam makhluk hidup bahan makan. Pencemar dalam makhluk hidup bahan makanan dapat timbul dari sumber yang sama. Jadi dalam suatu rantai makanan alamiah, pencemar dapat dipindahkan dari suatu tingkat trofik ke tingkat trofik lainya ( Connell dan Miller. 2006). Sanusi (1980) dalam Darmono (2008) mengemukakan bahwa terjadinya proses akumulasi logam berat di dalam tubuh hewan air terjadi karena kecepatan pengambilan logam berat (uptake rate) oleh organisme air lebih cepat dibandingkan dengan proses pelepasan. logam berat akan terlibat dalam proses enzimatik, terikat dengan protein (ligan binding). Makanan yang telah terkontaminasi Pb akan dikonsumsi makhluk perairan termasuk ikan dan akan masuk dalam alur pencernaan. Dari alur pencernaan 29 (gastrointestinal) melalui dinding-dindingnya akan menuju ke cairan sirkulatori. Bahan-bahan kimia setelah dari cairan sirkulatori ada yang di metabolisme dan ada yang bertemu dengan kebanyakan jaringan tubuh dan selanjutnya ditimbun dalam jaringan lemak. Bahan-bahan kimia (senyawa timbal) dalam cairan sirkulatori akan teroksidasi menjadi Pb dan akan terakumulasi dalam hati. Logam berat Pb dalam hati akan dimetabolisme dan akan diinaktifkan oleh enzim-enzim di dalam hati sehingga terjadi biotransformasi zat- zat berbahaya menjadi zat-zat yang tidak berbahaya yang kemudian diekskresikan oleh ginjal. Proses Depurasi Logam Berat Pb Proses depurasi (pelepasan) logam berat merupakan proses peluruhan logam berat yang berada dalam tubuh ikan yang berasal dari ekskresi ikan. konsentrasi logam berat menggambarkan banyaknya logam berat yang tertinggal dalam tubh ikan. Jumlah konsentrasi logam berat dalam tubuh ikan dapat dipengaruhi oleh media air yang beralinitas. Salinitas secara tidak langsung mempengaruhi depurasi logam berat Pb dalam tubuh ikan, dimana pada saat ikan nila (O. niloticus) ditempatkan pada air bersalinitas maka akan mempengaruhi proses osmoregulasi yaitu upaya ikan dalam mempertahankan kondisi tubuh terhadap perubahan salinitas. Dalam proses osmoregulasi tentunya membutuhkan energi yang secara umum bersumber dari lemak, dimana lemak dalam tubuh ikan merupakan komponen dengan kandungan energi terbesar dibandingkan dengan protein dan karbohidrat yang berfungsi sebagai sumber energi metabolik (ATP). Di sisi lain logam berat Pb dalam tubuh ikan cenderung terikat di lemak, sehingga pada saat terjadi proses metabolisme lemak, maka ion Pb2+ yang terikat pada lemak ikut terlepas. Dengan adanya transport aktif maka ion Pb yang sudah terlapas dari ikatan lemak maka akan keluar bersama cairan melalui proses ekskresi lewat urin. Nilai konsentrasi logam berat yang terakumulasi dalam tubuh ikan mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya salinitas dan bertambahnya waktu pemaparan (Prihatiningsih et al. 2009). 30 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Hewan air dalam hubunganya dengan lingkungan tempat hidupnya dikelompokan atas dua kategori yaitu kelompok hewan yang toleran terhadap kadar salinitas yang sangat luas yang disebut “eurihalin” dan kelompok yang hanya terbatas pada kondisi kadar salinitas yang sempit disebut “stenohalin” (Schmidt 1987). Apabila hewan air menghadapi perubahan kadar salinitas, salah satu jalan yang ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidupnya adalah menggunakan transport aktif terutama pompa Na-K-ATPase, karena ion-ion Na+, K+, merupakan ion-ion yang dominan dalam proses ini. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan gradien osmotik antara cairan tubuh dengan cairan lingkungan eksternal agar proses fisiologis dalam tubuh berjalan normal (Foskett et al. 1983). Brett (1979) menyatakan bahwa respon terhadap kadar salinitas mempunyai hubungan tekanan osmotik cairan tubuh ikan tersebut. Hal ini dapat dilihat pada ikan salmon dan sidat yang walaupun mempunyai cara atau siklus hidup yang berbeda, perubahan dari lingkungan air tawar ke lingkungan air laut atau sebaliknya sangat memerlukan perubahan dalam proses osmoregulasi dan pada kondisi di air laut ikan menunjukan pertumbuhan yang lambat dibandingkan dengan pada air tawar karena energi pemelihraan di air laut lebih banyak dibandingkan dengan air tawar. Hal ini terlihat dari nilai osmotik pada salmon yang dipuasakan pada tiga kondisi lingkungan yang berbeda masing-masing air tawar, payau dan air laut dengan nilai osmotik berturut-turut; 300.9, 308.0 dan 358.2 mOsm/kg. peningkatan salinitas ini diketahui peningkatan kebutuhan energi yang ditunjukan peningkatan aktivitas Na-K-ATPase insang (Yamauchi et al. 1990). Walaupun demikian tidak semua ikan mempunyai kemampuan adaptasi yang sama terhadap kadar salinitas. Brett (1979) menyatakan bahwa ikan air tawar mempunyai kemampuan adaptasi terhadap kadar salinitas tertentu. Effendi (1979) mendefinisikan pertumbuhan adalah perubahan ukuran, baik panjang atau berat dalam waktu tertentu. Proses pertumbuhan pada ikan mulanya berlangsung lambat, kemudian cepat dan akhirnya lambat kembali. Pertumbuhan yang demikian disebut autocatalytic. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi genetik, seks, umur, daya tahan terhadap penyakit dan parasit. Faktor eksternal meliputi kompetisi 31 pada populasi, makanan, tingkatan trofik, energi matahari dan keadaan fisikakimia lingkungan. Effendi (1979) menerangkan bahwa Survival Rate atau SR adalah tingkat kelangsungan hidup. Nilai SR digunakan untuk menentukan peluang hidup ikan dalam waktu tertentu. Kelangsungan hidup adalah kemampuan organisme untuk bertahan hidup pada lingkungannya. Kelangsungan hidup organisme perairan ditentukan oleh kualitas perairannya. Ikan merupakan organisme yang mempunyai kisaran kualitas air tertentu dan toleransi yang berbeda-beda untuk melangsungkan aktivitas kehidupanya dengan baik. Salinitas adalah salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan budidaya. Pada umumnya ikan dapat hidup dan beradaptasi pada berbagai salinitas atau pH serta berbagai faktor lingkungan lainya (Usman 1993). Kadar Lemak Tubuh Ikan Indikator kualitas ikan dapat dilihat dari komposisi kimiawi tubuh. Kualitas ikan yang dibudidayakan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lingkungan dan komposisi pakan (Goddard 1996). Diantara komponen nutrisi yang paling berperan terhadap kualitas rasa, aroma dan tekstur salah satunya adalah kadar lemak. Lemak merupakan salah satu komponen dengan kandungan energi terbesar dibandingkan dengan protein maupun karbohidrat. Lemak ditemukan dalam jumlah yang relatif besar pada jaringan hewan. Menurut Subandiyono dan Hastuti (2009) menyatakan bahwa lemak yang terdapat dalam tubuh ikan memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai sumber energi metabolik (ATP), sumber dari asam lemak esensial (essential fatty acids, EFA), komponen esensial dari membran seluler, subseluler dan sumber steroid yang berperan dalam fungsi biologis penting. Lemak memiliki peranan yang sangat penting pada saat ikan mempertahankan keseimbangan dalam air (osmoregulasi). Asam lemak merupakan bagian penting dari lemak. Menurut Shearer (1994) dalam Goddard (1996) menyatakan bahwa komposisi asam lemak tidak hanya dipengaruhi oleh pakan namun juga dipengaruhi oleh salinitas. Asam lemak dan lemak yang disimpan dalam otot mempengaruhi rasa daging ikan. 32 Histopathologi Organ Ikan Pada organisme akuatik seperti ikan terdapat beberapa organ yang berperan dalam proses osmoregulasi yaitu insang, ginjal dan usus (Alvarellos et al. 2003). Sedangkan menurut Affandi dan Tang (2002), selain organ insang, ginjal dan usus organ kulit juga berperan dalam proses tersebut. Insang berfungsi sebagai alat pernapasan tetapi dapat pula berfungsi sebagai alat ekskresi garam-garam, penyaring makanan, alat pertukaran ion dan osmoregulator. Pada hampir semua ikan, insang merupakan komponen penting dalam pertukaran gas. Insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras, dengan beberapa filamen insang di dalamnya. Tiap-tiap filamen insang terdiri atas banyak lamella yang merupakan tempat pertukaran gas. Tugas ini ditunjang oleh struktur lamella yang tersusun atas sel-sel tiang sebagai penyangga pada bagian dalam. Pinggiran lamella yang tidak menempel pada lengkung insang sangat tipis, ditutupi oleh epithelium dan mengandung jaringan pembuluh darah kapiler. Jumlah dan ukuran lamella sangat besar variasinya tergantung tingkah laku ikan (Fujaya 2004). Menurut Evans (1987), insang merupakan tempat utama dalam proses pertukaran gas (respirasi), pengaturan ionik (ion transport), pengaturan keseimbangan asam basa dan pengeluaran produk buangan seperti ammonia. Selain itu juga insang berperan sebagai tempat pengambilan, biotransformasi pada ekskresi bahan-bahan logam berat yang bersifat toksit. Pada insang terdapat sel klorida yang melakukan transport aktif. Sumber utama energi untuk transport aktif disediakan oleh mitokondria yang berhubungan dengan Na+ - K+ ATP yang terletak disepanjang basolateral dan pada system mikrotubular sel klorid yang secara ekstensif dan aktif melakukan transport Na+ keluar sel untuk bertukar dengan K+ ke dalam sel (Moyle dan Cech 2004). Insang merupakan organ yang secara marfologi dan fisiologi paling sensitif terhadap pengaruh perubahan lingkungan, diantaranya perubahan fisika kimia air, mikroorganisme dan bahan toksik. Lamella insang merupakan target yang paling lemah. Adanya faktor penekan (stressor) akan secara langsung mempenagruhi homeostasis ion yang juga berpengaruh terhadap proses osmoregulasi. Jika stressor ini bersifat kronik, maka akan memberikan efek 33 negatif terhadap pertumbuhan. Munculnya kelainan atau kerusakan pada insang secara makroskopis ataupun mikroskopis bisa digunakan sebagai tanda peringatan terhadap tingkat kesehatan ikan (Camargo et al. 2007). Beberapa informasi tetang perubahan histopathologi telah banyak dilakukan dan salah satunya adalah kajian tetang perubahan histopathologi karena stress lingkungan. Menurut Bonga dan Lock (1992) perubahan struktur pada insang yang disebabkan karena stress lingkungan yaitu terangkatnya sel epitel (epithelium lifting), nekrosis pada sel penyangga dan sel klorida, epitel yang menggembung (epitehelial swelling) yang disebabkan karena meningkatnya jarak interseluler, luruhnya sel epitel (Epithelium rupture) dan lamella yang bergabung (lamella Fusion). Kerusakan ini biasanya disertai juga dengan adanya hyperplasia, hipertropi serta infiltrasi sel leukosit pada branchial epithelium. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Heat (1987), bahwa beberapa bahan toksit dapat mengakibatkan perubahan pada struktur insang termasuk bahan-bahan kimiawi yang bersifat stressor. Lesion yang biasa ditemukan diantaranya adalah nekrosis, hyperplasia, inflamasi, terangkatnya sel epitel (epithelial lifting), sel yang mengembang (cell swelling) dan hipersekresi mukus. Senyawa Pb yang terlarut dalam darah dibawa ke seluruh sistem tubuh. Sirkulasi darah masuk ke glomerolus merupakan bagian dari ginjal. Glomerolus merupakan tempat proses pemisahan akhir dari semua bahan yang dibawa darah. Pb yang terlarut dalam darah akan berpindah ke sistem urinaria (ginjal) sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada ginjal. Kerusakan terjadi karena terbentuknya intranuclear inclusion bodies disertai dengan gejala aminociduria, yaitu terjadinya kelebihan asam amino dalam urin. Nefropatis (kerusakan nefron pada ginjal) dapat di deteksi dari ketidak seimbangnya fungsi renal dan sering diikuti hipertensi (Darmono 1995). 34