tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Nila Merah (O. niloticus)
Ikan nila (O. niloticus) sebagai salah satu komoditas andalan di subsektor
perikanan dan sangat diminati masyarakat luas karena rasa dgingnya yang khas.
Ikan ini banyak dibudidayakan oleh para pembudidaya ikan baik pada skala
pembenihan maupun pembesaran. Tingginya permintaan konsumen dan kisaran
toleransinya yang tinggi sehingga sangat potensial untuk dikembangkan pada
skala usaha budidaya baik secara teknis maupun kualitas produksi. Selain hal
tersebut, ikan nila cukup pekah terhadap pencemaran logam berat terutama pada
fase awal kehidupan (Rachmansyah 1998).
Ikan nila merah mempunyai ciri-ciri morfologi :
bentuk bulat pipih,
punggung lebih tinggi, pada badan dan sirip ekor (caundal fin) ditemukan garis
lurus (vertikal). Sedangkan garis lurus
punggung. Ikan nila merah
memanjang ditemukan pada sirip
dapat hidup diperairan tawar dan mereka
menggunakan ekor untuk bergerak, sirip perut, sirip dada dan penutup insang
yang keras untuk mendukung badannya. Ikan nila merah termasuk omnivora.
Makanannya berupa hewan-hewan seperti protozoa dan zooplankton serta
ganggang, algae yang tersedia di kolam. Persyaratan kualitas air budidaya ikan
nila merah yaitu suhu 25-30 0C, DO ≥ 3 mg/l, pH 6-8,5, kecerahan 20-30 cm dan
CO2 < 5 mg/l (Zonneveld et al. 1991).
Logam Berat Timbal (Pb)
Logam berat adalah unsur-unsur yang mempunyai daya hantar panas dan
daya hantar listrik yang tinggi. Logam berat biasanya bernomor atom 22-29 dan
periode 3 sampai 7 dalam susunan berkala unsur-unsur kimia. Beberapa unsur
logam berat tersebut antara lain Hg, Pb, Cd, Cr, Zn, dan Cu. Logam berat
merupakan senyawa yang tidak dapat terdegradasi dan cenderung terakumulasi
dalam mahluk hidup serta memiliki sifat toksik dan karsinogenik (Fu dan Wang
2011). Menurut Khan et al. (2011) keberadaan logam berat pada lingkungan
berasal dari beberapa sumber yaitu unsur-unsur alami dari kerak bumi dan
aktivitas manusia. Bila kadar logam berat yang terlalu rendah di suatu perairan
dapat menyebabkan kehidupan organisme mengalami defisiensi, namun bila unsur
19
logam berat dalam jumlah yang berlebihan dapat bersifat racun. Bahan cemaran
ini akan mengalami tiga macam proses akumulasi yaitu proses fisik, kimia dan
biologi.
Logam memiliki karakter bereaksi sebagai akseptor pasangan elektron
(asam lewis) dan donor pasangan elektron (basa lewis) untuk membentuk
beragam gugus kimia seperti suatu pasangan ion, kompleks logam, senyawa
koordinasi dan kompleks donor-akseptor (Connel dan Miller 2006). Berdasarkan
karakteristik inilah logam berat dapat diikat oleh bahan lain yang bisa menjadi
pasangan atau senyawa koordinasi yang sering disebut dengan ligan.
Menurut Vouk (1986) dalam Tjakrawidjaja (2001) logam berat dapat
dibagi dalam dua jenis yaitu logam berat esensial dimana keberadaannya dalam
jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup namun dalam jumlah
yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah
Zn, Cu, Fe, Co dan Mn. Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak esensial
atau beracun di mana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui
manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun seperti Pb.
Konsentrasi logam berat pada kulit ikan dapat menjadi lebih tinggi karena
kandungan lipid/lemak pada kulit lebih banyak dari pada daging. Seperti yang
telah diketahui bahwa logam berat mempunyai kecenderungan untuk terikat
dengan lemak yang ada dalam tubuh. Semakin banyak lemak yang terdapat dalam
tubuh maka semakin besar kemungkinan logam berat untuk dapat terakumulasi
dalam tubuh (Chen dan Chen 2001).
Tabel 1 Konsentrasi logam berat pada air yang mematikan ikan pada pemaparan
96 jam
Jenis logam berat
Konsentrasi mematikan pada ikan (mg/l)
Cd
22 - 25
Cu
2,5 - 3,5
Pb
118
Zn
60
Ni
350
Sumber : Palar (1994) dalam Handajani (2010).
20
Timbal atau dalam keseharian lebih dikenal dengan nama timah hitam,
dalam bahasa ilmiahnya dinamakan plumbum dan logam ini disimbolkan dengan
Pb. Logam ini termasuk ke dalam kelompok logam-logam golongan IV-A pada
tabel periodik unsur kimia. Timbal (Pb) dan persenyawaannya dapat berada di
badan perairan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi, baik secara alamiah maupun
sebagai dampak aktivitas manusia. Pb masuk ke perairan melalui limbah industri
dan pertambangan. Logam berat timah hitam atau timbal (Pb) merupakan salah
satu logam berat yang berbahaya bagi mahluk hidup. Logam berat ini merupakan
elemen non esensial yang ditemukan pada konsentrasi yang tinggi di alam akibat
kegiatan manusia, seperti : kegiatan pertambangan (Leston et al. 2010). Sifat
berbahaya Pb pada mahluk hidup antara lain dapat menimbulkan penghambatan
sintesis hemoglobin, disfungsi pada ginjal, sendi dan sistem reproduksi, sistem
kardiovaskular, dan kerusakan akut dan kronis dari sistem saraf pusat (SSP) serta
sistem saraf perifer (PNS). Efek lainnya termasuk kerusakan pada saluran
pencernaan (GIT) dan saluran kemih, gangguan neurologis, serta kerusakan otak
parah dan permanen (Khan et al. 2011).
Logam Pb yang bersifat toksik biasanya dalam bentuk Pb2+. Logam berat
Pb juga menyebabkan berbagai permasalahan termasuk dalam kegiatan perikanan
budidaya. Pada berbagai organisme akuatik air tawar, timbal telah terbukti
memiliki efek toksik dengan sensitivitas terendah 4 µg/l. Ion Pb masuk kedalam
tubuh ikan melalui insang setelah terikat pada lapisan lendir (Ahmed dan Bibi
2010). Tetapi akumulasi dalam jaringan hewan air tergantung pada konsentrasi
paparan dan periode serta beberapa faktor lain seperti salinitas, suhu, interaksi
agen dan aktivitas metabolik pada jaringan. Selain itu, akumulasi logam berat Pb
dalam jaringan ikan tergantung pada tingkat penyerapan, penyimpanan dan
depurasi. Menurut Chen dan Chen (2001) Serapan dan bioakumulasi logam berat
tersimpan dengan baik di kulit, insang, lambung, otot, usus, hati, otak, ginjal dan
organ reproduksi, tetapi organ target utamanya adalah hati, ginjal dan otot
tergantung pada konsentrasi dan waktu pemaparan. Menurut Seymore (1995)
dalam Ahmed dan Bibi (2010), Pb dimetabolisme melalui jalur metabolik Ca2+.
Oleh karena itu Pb terakumulasi dalam jaringan kerangka. Namun, Pb juga
dikenal terakumulasi secara biologis dalam jaringan ikan lainnya, termasuk kulit
21
dan sisik, insang, mata, hati, ginjal dan otot . Disamping itu ion Pb juga dapat
masuk kedalam tubuh ikan bersama dengan makanan dan air yang akhirnya
diserap di usus dan jaringan lainnya.
Beberapa pengaruh toksisitas logam pada ikan yang telah terpapar logam
berat yaitu pada insang, alat pencernaan dan ginjal (Khan et al, 2011). Jumlah Pb
yang terakumulasi pada tubuh ikan tergantung dari ukuran, umur dan kondisi
ikan. Distribusi dan akumulasi logam berat sangat berbeda-beda untuk organisme
air. Hal ini tergantung pada spesies, konsentrasi logam dalam air, pH, fase
pertumbuhan dan kemampuan ikan (Darmono 1995). Toksisitas kronis Pb
umumnya sama antara ikan dan mamalia terutama yang melibatkan disfungsi
neurologis dan hematologi Pada ikan, efek sublethal Pb dapat menyebabkan efek
orde tinggi, seperti berkurangnya kemampuan renang. Secara neurologis efek
sublethal Pb berpotensi melibatkan gangguan respon koordinasi sensorik-motorik
yang diperlukan untuk menangkap mangsa dan menghindari predator. Penelitian
Olaifa et al. (2003) menemukan bahwa efek sublethal Pb pada ikan yaitu
kehilangan keseimbangan, pemutihan kulit dan pelemahan ikan. Kerusakan
jaringan oleh logam berat terhadap pada beberapa lokasi baik tempat masuknya
logam (insang) maupun tempat penimbunanya (hati). Akibat yang ditimbulkan
dari toksisitas logam berat timbal (Pb) dapat berupa kerusakan fisik (erosi,
degenerasi, nekrosis) dan dapat berupa gangguan fisiologi (gangguan fungsi
enzim dan gangguan metabolisme).
Salinitas dan Osmoregulasi
Salinitas adalah bobot garam-garam anorganik halogen yang terlarut
(garam) dalam 1 kg air, apabila semua bromide dan iodida disetarakan dengan
klorida dan semua karbonat disetarakan dengan oksidanya (Knedsen dalam
Grasshorff 1976). Salinitas air sangat menentukan keseimbangan pengaturan
tekanan osmotik cairan tubuh dan mempengaruhi proses metabolisme. Menurut
Darwisito (2006), gangguan terhadap proses osmoregulasi dapat mengakibatkan
tekanan (akumulasi cairan didalam abdomen) yang disebabkan karena akumulasi
cairan dalam otot yang terbendung. Perubahan pada komposisi cairan tubuh bisa
juga disebabkan karena pengaruh lingkungan seperti perubahan salinitas dalam air
serta keberadaan dari polutan itu sendiri. Salinitas dapat mempengaruhi tingkat
22
metabolisme ikan sehingga dalam kondisi tersebut sekresi mucus akan meningkat
(Baldisserotto et al. 2007).
Salinitas berhubungan erat dengan tekanan osmotik dan tekanan ionik air,
baik air sebagai media internal maupun eksternal. Sifat osmotik air bergantung
pada seluruh ion yang terlarut dalam air tersebut, semakin besar jumlah ion yang
terlarut dalam air maka tingkat salinitas dan kepekatan osmotik larut akan
semakin tinggi, sehingga akan menyebabkan tekanan osmotik medium bertambah
besar. Ion-ion yang dominan dalam menentukan tekanan osmotik (osmolaritas) air
laut adalah Na+ dan Cl- dengan kandungan masing-masing sebesar 30,61% dan
55,04% dari total seluruh kandungan ion-ion yang terlarut dalam air (Harvey
1976).
Dengan respon osmotiknya, ikan-ikan air tawar mempunyai tekanan
osmotik cairan internal (dalam tubuh) lebih besar dari tekanan osmotik eksternal
(lingkungan) sehingga cairan cenderung keluar dalam tubuh sedangkan air dari
lingkungan cenderung masuk kedalam tubuh. Oleh sebab itu dibutuhkan proses
pengaturan tekanan osmotik untuk mengontrol keseimbangan osmotik antara
cairan didalam tubuh dengan air sebagai media hidupnya. Pengaturan osmotik ini
dilakukan dengan mekanisme osmoregulasi (Affandi dan Tang 2002)
Ikan teleost air tawar mempunyai konsentrasi osmotik dalam darahnya
300-400 mOsm per liter, yang mana lebih tinggi dari lingkungan air tawar atau
berada pada keadaan yang hiperosmotik, secara kontinyu melakukan pelepasan
sejumlah ion-ion natrium dan klorida ke lingkungan dengan cara difusi melintasi
epithelial insang yang tipis. Sejumlah larutan secara kontinyu dilepaskan lewat
urin maupun berdifusi secara pasif melintasi lapisan epithelial insang (Moyle and
Cech 1988). Walaupun beberapa garam juga diperoleh melalui sumber makanan,
sebagian besar ion-ion terutama ion natrium dan klorida diperlukan untuk
keseimbangan ion-ion internal melalui mekanisme transport aktif dalam insang
(Schmidt 1987).
Mekanisme pertukaran ion pada ikan ini terjadi dalam sel klorida epithelial
insang. Pada ikan ini mekanisme pertukaran ion menyerupai sel klorida yang
mengandung mitokondria, sistem tubular dan Na+ - K+ - ATPase, tetapi pada
teleoast air tawar sangat sedikit jumlahnya, biasanya terjadi secara tunggal dan
23
perpindahan ion Na+ dan Cl- kedalam tubuh ikan lebih baik dibandingkan dengan
ke luar. Mekansime pertukaran ion melayani beberapa fungsi selain untuk
memelihara Na+ dan Cl- ke dalam ikan. Pertukaran Na+ dengan NH4+ terjadi
dengan baik pada ikan yang merupakan bagian dari mekanisme produksi amonia.
Pertukaran Na+ dengan H+ dan Cl- dengan HCO3- terjadi untuk mempertahankan
keseimbanagan asam-basa. Menurut Moyle dan Cech (1986), kedua mekanisme
pertukaran ion tersebut dilangsungkan untuk :
1. Memelihara (Na+) internal yang tepat
2. Memelihara internal (Cl-) yang tepat
3. Mendepurasi beberapa potensi racun
4. Mengeluarkan beberapa metabolik CO2 (HCO3-)
5. Mengatur kosentrasi H+ dan OH- internal
6. Keseimbangan elektris ion-ion
a
b
Gambar 1. Mekanisme osmoregulasi pada teleost air laut (a) dan teleost air tawar (b).
Keterangan : CC = sel klorida; N = Nucleus
AC = asesoris sel; PC = Pavement sel.
24
Sebagaimana diketahui bahwa kondisi osmotik dari teleost air tawar pada
umumnya menyerupai invertebrata air tawar. Konsentrasi osmotik dalam darah
berkisar pada 300 mOsm per lieter, yang lebih tinggi dibandingkan dengan
konsentrasi osmotik air tawar. Sehingga masalah utama pada ikan ini adalah
bagaiamana memasukan air secara osmosis. Insang memainkan peranan penting
sebab luas permukaan lebih besar dan relatif lebih permeabel, sedangkan
permukaan kulit relatif kecil sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ikan ini
permukaan kulit kurang berperan dalam aktivitas absorbsi. Kelebihan air
diekskresikan sebagai urin yang sangat encer dan dapat dihasilkan dalam jumlah
sampai sepertiga dari berat badan per hari. Pada insang sedikit lebih permeabel
terhadap ion dan kehilangan ion di sini harus ditutupi melalui pengambilan ion
(Schmidt 1987). Di samping insang dan ginjal, epithelial usus juga berperan
dalam pengaturan keseimbangan air dan mineral. Pada usus ikan yang
diadaptasikan ke air tawar terdapat sedikit peran Na-K-ATPase untuk aktivitas
transport natrium ke dalam darah dari lumen usus, tetapi aktivitas Na-K-ATPase
lebih berperan pada ikan yang diadaptasikan di air laut.
Berdasarkan penjelasan diatas jelas terlihat bahwa pada ikan yang
dipindahkan ke lingkungan yang berkadar salinitas tinggi atau yang berada pada
lingkungan
kelangsungan
yang mengalami
hidupnya
ikan
fluktuasi
salinitas,
tersebut
melakukan
untuk
mempertahankan
osmoregulasi
dengan
menggunakan transpor aktif. Dalam mekanisme transport aktif ini yang paling
dominan adalah pompa Na+--K+. Dalam mekanisme ini Na+-K+-ATPase bekerja
sebagai pompa Na+-K+ dalam membran yang utuh memompakan 3 ion Na+ ke luar
dan 2 ion K+ ke dalam (Becker 1991). Pada prinsipnya aktivitas ini adalah untuk
mempertahankan hidup. Aktivitas pompa ini merupakan bagian integral dari
membran yang berfungsi untuk mempertahankan gradien konsentrasi ion-ion Na+
dan K+ di ekstra dan intraseluler. Sebagaimana diketahui bahwa dalam mekanisme
ini diperlukan energi dalam bentuk ATP karena pergerakan ion tersebut
merupakan pergerakan yang melawan gradien konsentrasi ion tersebut. untuk
pengangkutan 3 ion Na+ dan 2 ion K+ diperlukan hidrolisis 1 ATP yang ekivalen
dengan konsumsi energi sekitar 7.2 kcal.
25
Osmoregulasi adalah upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air
dan ion antara tubuh dan lingkungannya atau suatu proses pengaturan tekanan
osmose (Fujaya 2004). Karena itu, pengetahuan tentang osmoregulasi sangat
penting dalam mengelola kualitas air media pemeliharaan terutama bila adanya
perbedaan salinitas. Ikan nila yang dipelihara di media buatan seringkali
mengalami masalah karena osmolaritas media hidupnya belum tentu sesuai
dengan osmolaritas cairan tubuhnya. Untuk mengatasi permasalahan osmotik
tersebut maka ikan nila dapat menjaga keseimbangan osmotik dengan cara
mempertahankan kemampuan osmolaritas cairan internal melalui mekanisme
osmoregulasi. Beberapa organ tubuh ikan yang berperan dalam proses
osmoregulasi ikan yaitu insang, ginjal dan usus. Organ-organ ini melakukan
fungsi adaptasi di bawah kontrol hormon, terutama hormon-hormon yang
disekresi oleh pituitari, ginjal dan urofisis (Smith 1982).
Menurut Fujaya (2004) menyatakan bahwa osmoregulasi dari beberapa
golongan ikan terdapat ada tiga pola regulasi ion dan air yaitu :
1. Regulasi hipertonik atau hiperosmotik yaitu pengaturan secara aktif dimana
konsentrasi cairan tubuh yang lebih tinggi dari konsentrasi media. Misalnya
pada potadrom (ikan air tawar ).
2. Regulasi hipotonik atau hipoosmotik yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi
cairan tubuh yang lebih rendah dari konsentrasi media, misalnya pada
oseandrom (ikan air laut).
3. Regulasi isotonik atau isoosmotik yaitu bila konsentrasi cairan tubuh sama
dengan konsentrasi media, misalnya ikan – ikan yang hidup pada daerah
estuari.
Ikan nila bersifat hiperosmotik terhadap lingkungannya menyebabkan air
bergerak masuk kedalam tubuh dan ion-ion keluar ke lingkungan dengan cara
difusi. Untuk menjaga kesimbangan cairan tubuh ikan maka ikan melakukan
osmoregulasi dengan cara minum sedikit atau tidak minum sama sekali.
Sedangkan, untuk mengurangi kelebihan air dalam tubuh maka ikan tersebut
memproduksi sejumlah besar urin. Ginjal ikan–ikan eurihaline mengatur
perbedaan konsentrasi darah dan urin sebagaimana pada tipe oseanodrom dan
potadrom dengan jalan mengatur laju hilangnya garam atau air melalui transpor
26
aktif. Selain itu, insang juga aktif mengambil garam-garam dari lingkungannya.
Kedua hal ini membutuhkan energi metabolik dimana semakin jauh perbedaan
tekanan osmose antara tubuh dan lingkungan maka semakin banyak energi
metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi (Smith 1982 ).
Konsumsi Oksigen
Tingkat konsumsi oksigen adalah banyaknya oksigen yang diambil atau
dikonsumsi oleh organisme akuatik dalam waktu tertentu yang berhubungan
linear dengan banyaknya oksigen terlarut diperairan tersebut (Vernberg 1972).
Oksigen terlarut (Dissolved oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad
hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian
menghasilkan energi untuk pertumbuhan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan
untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik.
Keperluan organisme terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis,
stadium dan aktivitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam
relative lebih sedikit apalagi dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak.
Kandungan oksigen terlarut (DO) minimal adalah 2 ppm dalam keadaan normal
dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (Wardoyo 1987).
Semua energi yang diperlukan untuk sintesis dan katabolisme berasal dari
hasil proses oksidasi zat-zat makanan dalam sel. Tingkat metabolisme ini dapat
ditaksir dengan melakukan pengukuran secara tidak langsung yaitu dengan
mengukur tingkat konsumsi oksigen yang dipergunakan dalam proses oksidasi.
Penentuan tingkat konsumsi oksigen merupakan teknik pengujian yang
memberikan hasil yang baik dan juga biasanya digunakan untuk menaksir laju
metabolisme. Oksigen dapat digunakan sebagai pendekatan tingkat metabolisme
yang praktis karena jumlah panas yang dihasilkan untuk setiap liter oksigen yang
digunakan dalam metabolisme hampir konstan, terlepas dari apakah lemak,
karbohidrat atau protein yang teroksidasi dan dapat dikonversikan ke dalam nilai
energi (Schmidt 1987). Tingkat konsumsi oksigen merupakan suatu variabel
fisiologis penting dan berpengaruh dalam sistem budidaya intensif maupun semiintensif, yang juga penting dalam kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan.
Sebagaimana diketahui bahwa faktor abiotik dan biotik dapat merupakan faktor
pembatas dalam tingkat konsumsi oksigen. Faktor tersebut antara lain meliputi
27
suhu yang merupakan aspek yang sangat penting yang berhubungan dengan
metabolisme rutin dan konsumsi oksigen pada ikan, salinitas dan aktivitas
berenang (Caulton 1977).
Dalam mekanisme transport aktif diperlukan energi dan yang sangat
menarik untuk diketahui bahwa peningkatan keperluan energi dapat berubah-ubah
pada ikan. Sebagai contoh apabila ikan berpindah dari medium yang lebih encer
atau dari air tawar ke air payau dan air laut akan terjadi peningkatan kebutuhan
energi yang ditandai dengan peningkatan dalam laju konsumsi oksigen yang
cukup besar, bahkan dapat mencapai 50 persen. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
peningkatan ini merupakan pertanda peningkatan kerja transport aktif ion yang
diperlukan untuk memelihara tingkat osmotik cairan tubuh ikan tersebut.
Konsumsi oksigen pada tilapia sangat beragam. Job (1969) melaporkan
konsumsi oksigen yang sangat tinggi pada tilapia dalam kondisi yang isoosmotik.
Sebaliknya Asem (1981) melaporkan bahwa konsumsi oksigen tilapia meningkat
pada setiap kondisi salinitas. Perbedaan dapat diakibatkan oleh beberap faktor
seperti suhu, salinitas dan aktivitas (Ross dan Mickinney 1988).
Tabel 2. Perbandingan tingkat konsumsi oksigen pada beberapa jenis tilapia.
Sumber : Becker dan Fisheson (1990)
28
Proses Aklimatisasi Ikan
Aklimatisasi mengambarkan respon kompenisasi dari suatu organisme
terhadap perubahan beberapa faktor lingkungan, sedangkan jika dipengaruhi oleh
satu faktor lingkungan disebut aklimasi (Affandi dan Tang 2002). Ikan nila
merupakan jenis ikan yang mampu hidup pada salinitas yang tinggi. Kemampuan
ikan nila untuk hidup pada salinitas tinggi harus melalui proses aklimatisasi.
Menurut Boyed (1982) dalam Taqwa (2008), peningkatan salinitas yang
dilakukan pada ikan nila berkisar antara 1 atau 2 ppt per jam. Penempatan ikan
nila secara mendadak pada air laut yang salinitasnya lebih tinggi (hiperosmotik)
akan menyebabkan kehilangan ion melalui permukaan tubuh dan urin. Hal ini
akan menyebabkan kematian bila perubahan osmotik yang dialami sangat besar.
Cara mengatasinya diperlukan sejumlah energi metabolik yang besar dan
sebanding dengan laju kehilangan ion dari tubuh maupun urin (Lockwood 1967
dalam Taqwa 2008).
Proses Akumulasi Logam Berat
Pengambilan bahan pencemaran oleh makhluk hidup mengakibatkan
peningkatan kepekatan yang dapat memiliki pengaruh yang negatif dalam tubuh
organisme tersebut. Proses ini dapat terjadi oleh penyerapan langsung dari
lingkungan sekeliling atau oleh penyerapan suatu pencemar dalam makhluk hidup
bahan makan. Pencemar dalam makhluk hidup bahan makanan dapat timbul dari
sumber yang sama. Jadi dalam suatu rantai makanan alamiah, pencemar dapat
dipindahkan dari suatu tingkat trofik ke tingkat trofik lainya ( Connell dan Miller.
2006).
Sanusi (1980) dalam Darmono (2008) mengemukakan bahwa terjadinya
proses akumulasi logam berat di dalam tubuh hewan air terjadi karena kecepatan
pengambilan logam berat (uptake rate) oleh organisme air lebih cepat
dibandingkan dengan proses pelepasan. logam berat akan terlibat dalam proses
enzimatik, terikat dengan protein (ligan binding).
Makanan yang telah terkontaminasi Pb akan dikonsumsi makhluk perairan
termasuk ikan dan akan masuk dalam alur pencernaan. Dari alur pencernaan
29
(gastrointestinal) melalui dinding-dindingnya akan menuju ke cairan sirkulatori.
Bahan-bahan kimia setelah dari cairan sirkulatori ada yang di metabolisme dan
ada yang bertemu dengan kebanyakan jaringan tubuh dan selanjutnya ditimbun
dalam jaringan lemak. Bahan-bahan kimia (senyawa timbal) dalam cairan
sirkulatori akan teroksidasi menjadi Pb dan akan terakumulasi dalam hati. Logam
berat Pb dalam hati akan dimetabolisme dan akan diinaktifkan oleh enzim-enzim
di dalam hati sehingga terjadi biotransformasi zat- zat berbahaya menjadi zat-zat
yang tidak berbahaya yang kemudian diekskresikan oleh ginjal.
Proses Depurasi Logam Berat Pb
Proses depurasi (pelepasan) logam berat merupakan proses peluruhan
logam berat yang berada dalam tubuh ikan yang berasal dari ekskresi ikan.
konsentrasi logam berat menggambarkan banyaknya logam berat yang tertinggal
dalam tubh ikan. Jumlah konsentrasi logam berat dalam tubuh ikan dapat
dipengaruhi oleh media air yang beralinitas. Salinitas secara tidak langsung
mempengaruhi depurasi logam berat Pb dalam tubuh ikan, dimana pada saat ikan
nila (O. niloticus) ditempatkan pada air bersalinitas maka akan mempengaruhi
proses osmoregulasi yaitu upaya ikan dalam mempertahankan kondisi tubuh
terhadap perubahan salinitas. Dalam proses osmoregulasi tentunya membutuhkan
energi yang secara umum bersumber dari lemak, dimana lemak dalam tubuh ikan
merupakan komponen dengan kandungan energi terbesar dibandingkan dengan
protein dan karbohidrat yang berfungsi sebagai sumber energi metabolik (ATP).
Di sisi lain logam berat Pb dalam tubuh ikan cenderung terikat di lemak, sehingga
pada saat terjadi proses metabolisme lemak, maka ion Pb2+ yang terikat pada
lemak ikut terlepas. Dengan adanya transport aktif maka ion Pb yang sudah
terlapas dari ikatan lemak maka akan keluar bersama cairan melalui proses
ekskresi lewat urin. Nilai konsentrasi logam berat yang terakumulasi dalam tubuh
ikan mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya salinitas dan
bertambahnya waktu pemaparan (Prihatiningsih et al. 2009).
30
Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan
Hewan air dalam hubunganya dengan lingkungan tempat hidupnya
dikelompokan atas dua kategori yaitu kelompok hewan yang toleran terhadap
kadar salinitas yang sangat luas yang disebut “eurihalin” dan kelompok yang
hanya terbatas pada kondisi kadar salinitas yang sempit disebut “stenohalin”
(Schmidt 1987). Apabila hewan air menghadapi perubahan kadar salinitas, salah
satu jalan yang ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidupnya adalah
menggunakan transport aktif terutama pompa Na-K-ATPase, karena ion-ion Na+,
K+, merupakan ion-ion yang dominan dalam proses ini. Hal ini dilakukan untuk
mempertahankan gradien osmotik antara cairan tubuh dengan cairan lingkungan
eksternal agar proses fisiologis dalam tubuh berjalan normal (Foskett et al. 1983).
Brett (1979) menyatakan bahwa respon terhadap kadar salinitas
mempunyai hubungan tekanan osmotik cairan tubuh ikan tersebut. Hal ini dapat
dilihat pada ikan salmon dan sidat yang walaupun mempunyai cara atau siklus
hidup yang berbeda, perubahan dari lingkungan air tawar ke lingkungan air laut
atau sebaliknya sangat memerlukan perubahan dalam proses osmoregulasi dan
pada kondisi di air laut ikan menunjukan pertumbuhan yang lambat dibandingkan
dengan pada air tawar karena energi pemelihraan di air laut lebih banyak
dibandingkan dengan air tawar. Hal ini terlihat dari nilai osmotik pada salmon
yang dipuasakan pada tiga kondisi lingkungan yang berbeda masing-masing air
tawar, payau dan air laut dengan nilai osmotik berturut-turut; 300.9, 308.0 dan
358.2 mOsm/kg. peningkatan salinitas ini diketahui peningkatan kebutuhan energi
yang ditunjukan peningkatan aktivitas Na-K-ATPase insang (Yamauchi et al.
1990). Walaupun demikian tidak semua ikan mempunyai kemampuan adaptasi
yang sama terhadap kadar salinitas. Brett (1979) menyatakan bahwa ikan air tawar
mempunyai kemampuan adaptasi terhadap kadar salinitas tertentu.
Effendi (1979) mendefinisikan pertumbuhan adalah perubahan ukuran,
baik panjang atau berat dalam waktu tertentu. Proses pertumbuhan pada ikan
mulanya berlangsung lambat, kemudian cepat dan akhirnya lambat kembali.
Pertumbuhan yang demikian disebut autocatalytic. Pertumbuhan ikan dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi genetik, seks, umur,
daya tahan terhadap penyakit dan parasit. Faktor eksternal meliputi kompetisi
31
pada populasi, makanan, tingkatan trofik, energi matahari dan keadaan fisikakimia lingkungan.
Effendi (1979) menerangkan bahwa Survival Rate atau SR adalah tingkat
kelangsungan hidup. Nilai SR digunakan untuk menentukan peluang hidup ikan
dalam waktu tertentu. Kelangsungan hidup adalah kemampuan organisme untuk
bertahan hidup pada lingkungannya. Kelangsungan hidup organisme perairan
ditentukan oleh kualitas perairannya. Ikan merupakan organisme yang
mempunyai kisaran kualitas air tertentu dan toleransi yang berbeda-beda untuk
melangsungkan aktivitas kehidupanya dengan baik. Salinitas adalah salah satu
faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan budidaya.
Pada umumnya ikan dapat hidup dan beradaptasi pada berbagai salinitas atau pH
serta berbagai faktor lingkungan lainya (Usman 1993).
Kadar Lemak Tubuh Ikan
Indikator kualitas ikan dapat dilihat dari komposisi kimiawi tubuh.
Kualitas ikan yang dibudidayakan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu
lingkungan dan komposisi pakan (Goddard 1996). Diantara komponen nutrisi
yang paling berperan terhadap kualitas rasa, aroma dan tekstur salah satunya
adalah kadar lemak.
Lemak merupakan salah satu komponen dengan kandungan energi
terbesar dibandingkan dengan protein maupun karbohidrat. Lemak ditemukan
dalam jumlah yang relatif besar pada jaringan hewan. Menurut Subandiyono dan
Hastuti (2009) menyatakan bahwa lemak yang terdapat dalam tubuh ikan
memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai sumber energi metabolik (ATP), sumber
dari asam lemak esensial (essential fatty acids, EFA), komponen esensial dari
membran seluler, subseluler dan sumber steroid yang berperan dalam fungsi
biologis penting. Lemak memiliki peranan yang sangat penting pada saat ikan
mempertahankan keseimbangan dalam air (osmoregulasi). Asam
lemak
merupakan bagian penting dari lemak. Menurut Shearer (1994) dalam Goddard
(1996) menyatakan bahwa komposisi asam lemak tidak hanya dipengaruhi oleh
pakan namun juga dipengaruhi oleh salinitas. Asam lemak dan lemak yang
disimpan dalam otot mempengaruhi rasa daging ikan.
32
Histopathologi Organ Ikan
Pada organisme akuatik seperti ikan terdapat beberapa organ yang
berperan dalam proses osmoregulasi yaitu insang, ginjal dan usus (Alvarellos et
al. 2003). Sedangkan menurut Affandi dan Tang (2002), selain organ insang,
ginjal dan usus organ kulit juga berperan dalam proses tersebut.
Insang berfungsi sebagai alat pernapasan tetapi dapat pula berfungsi
sebagai alat ekskresi garam-garam, penyaring makanan, alat pertukaran ion dan
osmoregulator. Pada hampir semua ikan, insang merupakan komponen penting
dalam pertukaran gas. Insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang
mengeras, dengan beberapa filamen insang di dalamnya. Tiap-tiap filamen insang
terdiri atas banyak lamella yang merupakan tempat pertukaran gas. Tugas ini
ditunjang oleh struktur lamella yang tersusun atas sel-sel tiang sebagai penyangga
pada bagian dalam. Pinggiran lamella yang tidak menempel pada lengkung insang
sangat tipis, ditutupi oleh epithelium dan mengandung jaringan pembuluh darah
kapiler. Jumlah dan ukuran lamella sangat besar variasinya tergantung tingkah
laku ikan (Fujaya 2004).
Menurut Evans (1987), insang merupakan tempat utama dalam proses
pertukaran gas (respirasi), pengaturan ionik (ion transport), pengaturan
keseimbangan asam basa dan pengeluaran produk buangan seperti ammonia.
Selain itu juga insang berperan sebagai tempat pengambilan, biotransformasi pada
ekskresi bahan-bahan logam berat yang bersifat toksit.
Pada insang terdapat sel klorida yang melakukan transport aktif. Sumber
utama energi untuk transport aktif disediakan oleh mitokondria yang berhubungan
dengan Na+ - K+ ATP yang terletak disepanjang basolateral dan pada system
mikrotubular sel klorid yang secara ekstensif dan aktif melakukan transport Na+
keluar sel untuk bertukar dengan K+ ke dalam sel (Moyle dan Cech 2004).
Insang merupakan organ yang secara marfologi dan fisiologi paling
sensitif terhadap pengaruh perubahan lingkungan, diantaranya perubahan fisika
kimia air, mikroorganisme dan bahan toksik. Lamella insang merupakan target
yang paling lemah. Adanya faktor penekan (stressor) akan secara langsung
mempenagruhi homeostasis ion yang juga berpengaruh terhadap proses
osmoregulasi. Jika stressor ini bersifat kronik, maka akan memberikan efek
33
negatif terhadap pertumbuhan. Munculnya kelainan atau kerusakan pada insang
secara makroskopis ataupun mikroskopis bisa digunakan sebagai tanda peringatan
terhadap tingkat kesehatan ikan (Camargo et al. 2007).
Beberapa informasi tetang perubahan histopathologi telah banyak
dilakukan dan salah satunya adalah kajian tetang perubahan histopathologi karena
stress lingkungan. Menurut Bonga dan Lock (1992) perubahan struktur pada
insang yang disebabkan karena stress lingkungan yaitu terangkatnya sel epitel
(epithelium lifting), nekrosis pada sel penyangga dan sel klorida, epitel yang
menggembung (epitehelial swelling) yang disebabkan karena meningkatnya jarak
interseluler, luruhnya sel epitel (Epithelium rupture) dan lamella yang bergabung
(lamella Fusion). Kerusakan ini biasanya disertai juga dengan adanya hyperplasia,
hipertropi serta infiltrasi sel leukosit pada branchial epithelium.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Heat (1987), bahwa beberapa bahan
toksit dapat mengakibatkan perubahan pada struktur insang termasuk bahan-bahan
kimiawi yang bersifat stressor. Lesion yang biasa ditemukan diantaranya adalah
nekrosis, hyperplasia, inflamasi, terangkatnya sel epitel (epithelial lifting), sel
yang mengembang (cell swelling) dan hipersekresi mukus.
Senyawa Pb yang terlarut dalam darah dibawa ke seluruh sistem tubuh.
Sirkulasi darah masuk ke glomerolus merupakan bagian dari ginjal. Glomerolus
merupakan tempat proses pemisahan akhir dari semua bahan yang dibawa darah.
Pb yang terlarut dalam darah akan berpindah ke sistem urinaria (ginjal) sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada ginjal. Kerusakan terjadi karena
terbentuknya intranuclear inclusion bodies disertai dengan gejala aminociduria,
yaitu terjadinya kelebihan asam amino dalam urin. Nefropatis (kerusakan nefron
pada ginjal) dapat di deteksi dari ketidak seimbangnya fungsi renal dan sering
diikuti hipertensi (Darmono 1995).
34
Download