ii. tinjauan pustaka

advertisement
4 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jalan
Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun,
yang meliputi semua bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan
perlengkapannya
yang
diperuntukkan
bagi
kepentingan
lalu-lintas
serta
merupakan satu kesatuan sistem jaringan yang mengikat dan menghubungkan
pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh
pelayanannya dalam satu hirarki (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1996).
2.2. Klasifikasi Jalan di Indonesia
Sesuai Undang-undang tentang jalan, No.13 tahun 1980 dan Peraturan
Pemerintah (PP) No.26 tahun 1985, sistem jaringan jalan di Indonesia dibedakan
atas dua kategori utama, yaitu :
1) Jalan
primer,
yaitu
jaringan
jalan
pada
tingkat
nasional
yang
menghubungkan satu kota dengan kota lainnya; dan
2) Jalan sekunder, yaitu jaringan jalan yang berada di dalam kota
Sedangkan secara hirarkis, jalan masih terbagi lagi dalam tiga kelompok
berdasarkan peranannya sebagai prasarana transportasi:
1) Jalan arteri, diperuntukkan bagi perjalanan jarak jauh dengan kecepatan
tinggi. Adapun jalan yang diklasifikasikan sebagai jalan arteri adalah jalan
propinsi, jalan tol dan atau jalan bebas hambatan
2) Jalan kolektor, disediakan bagi lalu lintas jarak menengah dengan
kecepatan kendaraan sedang, jalan yang termasuk dalam kategori ini
adalah jalan kabupaten
3) Jalan lokal, merupakan jalan yang berfungsi untuk melayani angkutan
setempat dengan ciri-ciri jarak dekat dengan kecepatan kendaraaan
rendah
Jalan sebagai bagian dari lanskap jalan, terdiri atas sejumlah komponen
jalan yang saling berhubungan satu sama lain, Peraturan No. 13 Tahun 1980
yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Bina Marga mendefinisikan komponen
tersebut kedalam beberapa bagian, yaitu:
1) Daerah Manfaat Jalan (damaja) adalah ruas sepanjang jalan yang
dibatasi oleh lebar, tinggi dan kedalaman ruang bebas tertentu yang
ditetapkan oleh pembina jalan dan dimanfaatkan untuk konstruksi jalan.
5 Terdiri dari badan jalan, saluran tepi jalan dan ambang pengamannya.
Badan jalan meliputi jalur lalu lintas dengan atau tanpa jalur pemisah dan
bahu jalan. Ambang pengaman jalan terletak di bagian paling luar dari
Damaja dan ditujukan untuk mengamankan bangunan jalan.
2) Daerah Milik Jalan (damija) adalah ruas sepanjang jalan yang dibatasi
oleh lebar dan tinggi tertentu, dikuasai oleh pembina jalan. Damija
dimanfaatkan untuk Damaja, pelebaran jalan maupun menambahkan jalur
lalu lintas di kemudian hari serta kebutuhan ruang untuk pengamanan
jalan.
3) Daerah Pengawasan Jalan (dawasja) adalah ruas di sepanjang jalan di
luar Damija yang penggunaannya diawasi oleh pembina jalan dengan
tujuan agar tidak menganggu pengemudi dan konstruksi bangunan jalan.
2.3. Jalan tol
Berdasarkan Undang-undang No. 38 tahun 2004 Pasal 44 tentang jalan,
jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian dari sistem jaringan jalan
dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Jalan
tol sebagai bagian dari sistem jaringan jalan umum merupakan lintas alternatif.
Namun, dalam keadaan tertentu jalan tol dapat tidak merupakan lintas alternatif.
Sebagai jalur lintas alternatif, jalan tol ditujukan untuk mengatasi
kemacetan lalu lintas ataupun untuk mempersingkat jarak dari satu tempat ke
tempat lain dimana para pengguna jalan harus membayar sesuai dengan tarif
yang berlaku yang didasarkan pada golongan kendaraan. Di Indonesia, jalan tol
sering dianggap sebagai sinonim untuk jalan bebas hambatan, meskipun hal ini
sebenarnya kurang tepat. Di dunia secara keseluruhan, tidak semua jalan bebas
hambatan memerlukan bayaran. Jalan bebas hambatan seperti ini dinamakan
freeway atau expressway (free berarti gratis, dibedakan dari jalan-jalan bebas
hambatan yang memerlukan bayaran yang dinamakan tollroad atau tollway - kata
toll berarti biaya) (Anonim, 2008).
Untuk memenuhi standar sebagai sebuah jalur lintas alternatif (Anonim,
2008) mengemukakan bahwa terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh
sebuah jalan tol yang membedakannya dengan jalan sejenis, perbedaan tersebut
mencakup :
1) Jalan tol harus merupakan jalan alternatif dari jalan umum yang ada,
sehingga tidak ada pemaksaan pemakai jalan menggunakan jalan tol.
6 2) Tidak memiliki simpangan sebidang dengan jalan lainnya sehingga
kelancaran lalu lintas di jalan tol dapat terjamin.
3) Jalur untuk masuk dan keluar terkendali, artinya setiap jalan masuk dan
keluar harus mempunyai lajur penyesuaian kecepatan (taper) yang
memadai sehingga lalu lintas yang masuk atau keluar jalan tol.
4) Mempunyai spesifikasi teknis tinggi, dan dirancang untuk kecepatan
tinggi.
5) Biaya operasi kendaraan melalui jalan tol ditambah pembayaran tol harus
masih lebih rendah dari pada biaya operasi kendaraan melalui lintas
alternatif jalan umum yang ada. Biaya operasi kendaraan meliputi antara
lain bahan bakar, pelumas, keausan dan nilai waktu.
Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 392/ PRT/
M/ 2005 tentang standar pelayanan jalan tol, perbedaan tersebut dinyatakan
dalam sebuah standar pelayanan jalan tol yang dapat dilihat pada Lampiran 25.
2.4. Lanskap Jalan
Lanskap adalah wajah atau karakter lahan atau tapak bagian dari muka
bumi dengan segala sifatnya dan kehidupan yang ada didalamnya baik yang
bersifat alami maupun buatan manusia beserta makhluk hidup lainnya, sejauh
mata memandang, sejauh indera dapat menangkap dan sejauh imajinasi dapat
menjangkau serta membayangkan (Simonds, 1983).
Lanskap jalan merupakan wajah dari karakter lahan atau tapak pada
lingkungan jalan, baik yang terbentuk dari elemen lanskap alami seperti bentuk
topografi lahan yang mempunyai panorama yang indah, maupun yang terbentuk
dari elemen lanskap buatan manusia yang disesuaikan dengan kondisi lahannya
(Direktorat Jenderal Bina Marga, 1996) dan merupakan bentukan permanen
yang dapat mengubah karakter sebuah lanskap (Simonds, 1983).
Lanskap jalan mempunyai ciri-ciri khas karena harus disesuaikan dengan
persyaratan geometrik jalan dan diperuntukkan terutama bagi pemakai jalan
serta diusahakan untuk meciptakan lingkungan yang indah, nyaman dan
memenuhi fungsi keamanan (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1996) dengan
fungsi untuk mendukung aktifitas penggunaan terus-menerus, membimbing,
mengatur
irama
penggunaan
pergerakan,
lahan,
mengatur
memberikan
waktu
pengaruh,
istirahat,
mendefinisikan
mempersatukan,
membentuk
7 lingkungan, membangun karakter lingkungan, membangun karakter spasial dan
membangun visual (Booth, 1983).
Jalur tanaman adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lanskap
lainnya yang terletak di dalam Daerah Milik Jalan (Damija) maupun di dalam
Daerah Pengawasan Jalan (Dawasja). Sering disebut sebagai jalur hijau karena
didominasi elemen lanskapnya adalah tanaman yang pada umumnya berwarna
hijau (Dirjen Bina Marga, 1996). Menurut Dirjen Bina Marga (1996), terdapat
beberapa ketentuan teknis yang harus diperhatikan dalam merencanakan dan
merancang jalur hijau jalan, yaitu:
1) Pada jalur tanaman tepi.
Jalur tanaman sebaiknya diletakkan pada tepi jalur lalu lintas, yaitu antara
jalur lalu lintas kendaraan dan trotoar. Penentuan jenis tanaman yang
akan ditanam pada jalur ini harus memenuhi kriteria teknik peletakan
tanaman dan disesuaikan dengan lebar jalur tanaman.
2) Pada median jalan.
Lebar jalur median yang dapat ditanami minimal 0.8 meter, sedangkan
lebar yang ideal adalah 4-6 meter. Pemilihan jenis tanaman harus
memperhatikan
tempat
peletakannya
terutama
pada
daerah
persimpangan pada daerah bukaan (u-turn), pada tempat diantara
persimpangan dan daerah bukaan dan untuk bentuk median yang
ditinggikan atau diturunkan.
3) Pada tikungan.
Pemilihan tanaman sebaiknya mempertimbangkan jarak pandang henti,
panjang tikungan dan ruang bebas samping di tikungan. Tanaman rendah
(perdu atau semak) yang berdaun padat dan berwarna terang dengan
ketinggian maksimal 0.8 meter sangat disarankan untuk ditempatkan
pada ujung tikungan.
4) Pada daerah persimpangan.
Persyaratan geometrik yang harus dipenuhi adalah bebas pandangan
harus terbuka agar tidak mengurangi jarak panfang pengemudi. Pilihan
jenis
tnaman
dan
peletakannya
harus
memperhatikan
bentuk
persimpangan baik persimpangan sebidang atau tidak sebidang.
Tujuan dari penanaman jalur tepi jalan adalah untuk memisahkan pejalan kaki
dari jalan raya dengan alasan keselamatan dan kenyamanan, memberikan ruang
bagi utilitas dan perlengkapan jalan baik yang terletak di atas maupun di bawah
8 permukaan tanah serta untuk penanaman pohon tepi jalan (Lynch 1971) serta
berfungsi juga sebagai alat perbaikan lanskap dan memberi kesempatan
pengalaman visual bagi pengemudi kendaraan atau pemakai jalan, di samping
memenuhi kebutuhan lalu lintas (Erawati, 2006).
Permasalahan utama lanskap jalan adalah pencemaran (polusi) udara
yang berasal dari emisi kendaraan bermotor yang memiliki dampak negatif
terhadap
kesehatan
organisme
hidup
terutama
manusia
dan
hewan,
menyebabkan kerusakan properti dan menurunkan tingkat keamanan dan
kenyamanan berkendara (de Nevers, 2000) sehingga diperlukan suatu solusi
untuk mengatasi permasalahan tersebut. Frick dan Mulyani (2006) mengatakan
bahwa solusi dalam mengatasi permasalahan pencemaran udara dapat
dilakukan melalui penanaman di sekitar lanskap jalan.
Ismayadi dan Subiandono (2008) mengatakan bahwa terdapat sejumlah
pertimbangan khusus yang harus diperhatikan dalam melakukan penanaman
yang ditujukan terhadap perbaikan lingkungan. Eckbo (1955) memberikan
klasifikasi hotikultura dan klasifikasi fisik dalam pemilihan tanaman yang dapat
digunakan pada lanskap jalan. Klasifikasi hortikultura meliputi syarat tumbuh dan
toleransi terhadap suhu, air, cahaya, tanah, angin, hama, penyakit dan
pemangkasan. Sedangkan klasifikasi fisik meliputi tujuan desain, ukuran dewasa
tanaman, kecepatan tumbuh, sifat umur, bentuk, tekstur, warna, aroma dan sifat
budidayanya. Sedangkan Nurisjah dan Pramukanto (1995) mengatakan bahwa
tanaman yang akan ditanam disekitar jalur jalan atau di daerah perkotaan harus
dipilih dan memiliki toleransi terhadap lingkungan sekitar yang kurang bersahabat
agar bisa bertahan hidup.
2.5. Proyek
Kata ‘proyek’ berasal dari bahasa latin ‘projectum’ yang dalam kata
kerjanya berubah menjadi ‘proceire’ yang berarti ‘melemparkan sesuatu ke
depan’ dan berasal dari dua suku kata, yaitu ‘pro-‘ (πρό) yang berarti ‘sesuatu
yang mendahului’ dan ‘-iacere’ yang berarti ‘melemparkan’. Kata ‘proyek’ itu
sendiri berarti sebagai ‘sesuatu yang ada atau muncul sebelum ada hal lain yang
terjadi’ (Anonim, 2008).
Proyek merupakan suatu fungsi yang terdiri dari beberapa bagian yang
masing-masing bagian bertanggung jawab dan mengacu kepada dasar
kesepakatan yang telah disetujui dan ditentukan baik sebelum maupun pada
9 masa pelaksanaan pekerjaan (Burges dan White, 1984). Sedangkan Westland
(2006) mendefinisikan proyek sebagai sebuah upaya unik untuk menghasilkan
serangkaian produk dan atau jasa dalam lingkup waktu, biaya dan kualitas yang
terdefinisi dengan jelas yang memenuhi standar ketentuan pemberi kerja, dan
berbeda dengan operasional bisnis yang serupa dikarenakan :
1) Bersifat unik
Proyek tidak melibatkan adanya pengulangan terhadap proses pekerjaan.
Setiap pelaksanaan proyek yang dilaksanakan berbeda dengan kegiatan
sebelumnya. Pengulangan terjadi hanya pada proses pelaksanaan
aktifitas identik dan bukan pada produk yang dihasilkan
2) Memiliki jangka waktu pelaksanaan yang jelas
Sebuah proyek memiliki jangka waktu yang ditentukan dari awal hingga
akhir waktu pelaksanaan untuk memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan oleh pemilik proyek
3) Terdapat anggaran pekerjaan baku
Alokasi anggaran pelaksanaan proyek direncanakan sedemikian rupa
sehingga dalam pelaksanaannya sesuai dengan keinginan pemilik proyek
4) Keterbatasan penggunaan sumberdaya tersedia
Jumlah tenaga kerja, alat dan bahan yang dapat digunakan terbatas pada
kesepakatan masing-masing pihak yang terlibat dalam pekerjaan
5) Melibatkan resiko
Pelaksanaan proyek selalu disertai dengan adanya ketidakpastian yang
terhadap hal tidak terduga
6) Tercapainya perubahan yang menguntungkan
Umumnya tujuan dari pelaksanaan proyek adalah untuk meningkatkan
kemampuan organisasi melalui penanganan perubahan-perubahan yang
terjadi dalam proses pelaksanaan kerja
Sebuah proyek pada umumnya memiliki sebuah siklus yang mencakup 4
(empat) tahap, yaitu : 1) inisiasi proyek, 2) perencanaan proyek, 3) pelaksanaan
dan 4) pengakhiran atau penutupan proyek (Westland, 2006) sebagaimana yang
tampak pada Gambar 1. Senada dengan hal tersebut, Newell (2002)
mengatakan bahwa setiap proyek, tidak terkait dengan ukuran maupun jenis
proyek yang dijalankan, akan memiliki siklus dengan awal dan akhir pekerjaan
yang terdefinisi dengan jelas.
10 review pelaksanaan pendefinisian proyek kontrol dan pengawasan perencanaan mendetil Gambar 1. Siklus pelaksanaan proyek
Newel (2002) menambahkan bahwa kegiatan pengawasan merupakan
salah satu bagian dari siklus proyek yang berada diantara pelaksanaan dan
penutupan proyek. Kegiatan pengawasan ditujukan untuk mengendalikan
pelaksanaan sebuah proyek agar sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya sebuah perencanaan
yang baik oleh menejer proyek dalam sebuah kegiatan manajemen proyek
(Lewis, 2007).
2.6. Manajemen Proyek
Lewis (2007) mendefinisikan manajemen proyek sebagai aplikasi dari
ilmu pengetahuan, alat dan tehnik dalam menjalankan aktivitas proyek untuk
mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Westland (2006) mendefinisikan
manajemen proyek sebagai keahlian, proses dan alat yang dibutuhkan dalam
melaksanakan
sebuah
proyek
dengan
baik.
Sedangkan
Idad
(2003)
mendiefinisikan kegiatan tersebut sebagai proses pengkoordinasian keahlian dan
tenaga kerja melalui metode atau alat dalam menghasilkan produk yang
diinginkan.
11 Westland (2006) mengatakan bahwa hal yang dibutuhkan dalam melaksanakan
manajemen proyek mencakup :
1) Keahlian khusus. Pengetahuan, keahlian khusus dan pengalaman
dibutuhkan dalam mengurangi resiko dan meningkatkan keberhasilan
pelaksanaan kerja
2) Peralatan manajemen. Peralatan manajemen proyek yang digunakan
mencakup form dan dokumen kerja, piranti lunak (software) perencanaan
serta checklist pemeriksaan
3) Rangkaian proses kerja yang berbeda. Diperlukan adanya pemahaman
terhadap manajemen tehnik dan proses kerja yang diperlukan dalam
melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap waktu, biaya,
kualitas dan cakupan pekerjaan. Rangkaian manajemen proyek yang
diperlukan mencakup manajemen waktu, biaya, kualitas, perubahan,
resiko dan menajeman permasalahan.
2.6. Pelayanan Jasa Konsultasi
Jasa konsultasi digolongkan sebagai salah satu bentuk pelayanan jasa
murni dikarenakan tidak terdapat produk tangible yang dihasilkan dalam
pelayananannya (Stoner dan Freeman, 1994). Jasa konsultasi pengawasan
pekerjaan proyek berkaitan dengan kegiatan pengawasan dan pengendalian
proses, alat dan bahan yang digunakan dalam menjalankan sebuah proyek.
Pengawasan
(monitoring)
pekerjaan
berkaitan
dengan
tata
cara
pemeriksaan kualitas yang dilakukan secara kuantitatif (Stoner dan Freeman,
1994). Pengawasan terhadap kualitas suatu pekerjaan hanya dapat berjalan
dengan efektif, apabila spesifikasi standar telah ditentukan dan dipahami dengan
baik, terdapat pendelegasian tanggung jawab pada setiap tingkatan, adanya
perencanaan yang didikung oleh sumber daya yang memadai serta dilakukan
secara berkelanjutan (Westland, 2006). Berkaitan kegiatan jasa konsultasi
pengawasan, Burgess dan White (1984) mengemukakan masa (waktu)
pendendalian pekerjaan pada tiga kategori waktu kerja, yaitu :
1) Masa pra-konstruksi,
yang
mencakup
rancangan, rencana kerja,
pengaplikasian teknologi yang digunakan, ketepatan pemilihan alat dan
bahan
12 2) Masa konstruksi, yang mencakup metode pemindahan dan penggunaan
alat dan bahan kerja, keahlian dan ketersediaan sumberdaya manusia
serta ketepatan spesifikasi yang ditetapkan; dan
3) Masa pasca-konstruksi, yang mencakup perlindungan pasca-konstruksi
serta teknik perlindungannya
Download