BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jati Tectona grandis Linn. f. atau jati merupakan salah satu tumbuhan yang masuk dalam anggota famili Verbenaceae. Di Indonesia dikenal juga dengan nama deleg, dodolan, jate, jatih, jatos, kiati atau kulidawa. Menurut Rachmawati et al. (2002), pohon jati merupakan pohon besar yang menggugurkan daun. Pada kondisi pertumbuhan yang optimal, tinggi pohon jati dapat mencapai 30 hingga 40 meter. Pada habitat yang terlalu kering pertumbuhannya agak terhambat, cabang lebih banyak, tajuk melebar dan cenderung membentuk semak. Pada tapak yang baik, batang bebas cabang dapat mencapai 15 hingga 20 meter atau lebih, percabangan kurang tapi rimbun. Pohon tua sering beralur dan berbanir. Kulit batang tebal, berwarna abu-abu atau coklat muda keabu-abuan. Daunnya lebar dengan panjang 25-50 cm dan lebar 15-35 cm. Letak daun bersilangan, bentuknya elips atau bulat telur dan bagian bawah berwarna abu-abu, tertutup bulu berkelenjar warna merah. Ukuran bunga kecil, berdiameter 6-8 mm berwarna putih atau keputihan dan berkelamin ganda, terdiri dari benangsari dan putik yang terangkai dalam tandan besar. Jumlah kuncup bunga 800-3800 per tandan, bunga mekar dalam waktu 2-4 minggu. Jati tumbuh baik pada tanah sarang, terutama pada tanah yang mengandung kapur. Jenis ini tumbuh di daerah dengan musim kering yang nyata, tipe curah hujan C-F menurut Schmidt dan Ferguson (jumlah curah hujan rata-rata 1200-2000 mm/tahun) di ketinggian 0-700 m dari permukaan laut (Martawijaya et al. 2005). 2.2 Ciri Anatomi Ciri mikroskopis kayu jati adalah pori atau pembuluh tersusun tata lingkar, bentuk bulat sampai bulat telur, diameter tangensial bagian kayu awal sekitar 340370 μm dan pada kayu akhir sekitar 50-290 μm, bidang perforasi sederhana, berisi tilosis atau endapan berwarna putih. Parenkim ada dua macam: tipe paratrakeal bentuk selubung tipis yang pada bagian kayu awal selubung ini agak lebar sampai membentuk pita marjinal dan tipe apotrakeal jarang yang umumnya membentuk 4 rantai 4 sel. Jari-jari terdiri dari 4 seri atau lebih, jumlahnya 4-7 mm, homoseluler (hanya sel-sel baring) dan tingginya dapat mencapai 0,9 mm (Mandang dan Pandit 1997). Menurut Martawijaya et al. (2005), pori-pori kayu jati sebagian besar atau hampir seluruhnya soliter dalam susunan tata lingkar, diameternya 20-400 μm, frekuensinya 3-7 per mm persegi. Parenkim termasuk tipe paratrakeal berbentuk selubung lengkap atau tidak lengkap. Disamping itu terdapat pula parenkim apotrakeal berbentuk pita tangesial pendek atau panjang. Parenkim terminal terdapat pada batas lingkaran tumbuh. Panjang serat rata-rata 1.316 μm dengan diameter serat 24,8 μm, tebal dinding 3,3 μm dan diameter lumen 18.2 μm. Jarijari homogen dengan lebar 50-100 μm, tingginya 500-2000 μm, dengan frekuensi 4-6 per mm persegi. 2.3 Sifat-Sifat Kayu Jati Kayu jati merupakan salah satu bahan baku industri perkayuan yang populer karena memiliki banyak kelebihan. Kayu yang tergolong berat-sedang dengan permukaan yang halus ini memiliki karakteristik penampilan (corak) yang menarik. Kayu terasnya berwarna coklat kekuning-kuningan saat baru ditebang, yang akan berubah menjadi coklat keemasan atau coklat abu-abu muda setelah dibiarkan di tempat terbuka. Kayu gubal berwarna putih kekuning-kuningan atau coklat kuning muda. Kayu seperti berminyak bila disentuh, ketika ditebang berbau seperti bahan-bahan yang terbuat dari kulit (Martawijaya et al. 2005). Kayu jati mudah dikerjakan, baik dengan mesin maupun dengan tangan. Jika alat-alat yang digunakan tajam dapat dikerjakan sampai halus. Kayu jati dapat divernis dan dipelitur dengan baik. Dengan berat jenis (BJ) rata-rata 0,67 (0,62-0,75), kayu jati tergolong ke dalam Kelas Awet I-II dan Kelas Kuat II (Mandang dan Pandit 1997). Penyusutan sampai kering tanur mencapai 2,8% untuk arah radial dan 5,2% untuk arah tangensial (Martawijaya et al. 2005). BJ kayu merupakan nilai perbandingan antara kerapatan kayu dengan kerapatan benda standar. Benda standar yang dimaksud adalah air pada suhu 4ºC karena mempunyai kerapatan 1 gram per cm3. BJ kayu juga didefinisikan sebagai berat kayu kering per satuan volume (Bowyer et al. 2003). Berat suatu kayu tergantung dari jumlah zat kayu, rongga sel, kadar air dan zat ekstraktif 5 didalamnya. Umumnya makin tinggi BJ kayu, kayu semakin berat dan semakin kuat pula. Kerapatan kayu merupakan perbandingan antara massa atau berat kayu dengan volumenya yang dinyatakan dalam kg/m³ atau g/cm³. Kerapatan kayu didefinisikan sebagai jumlah bahan penyusun dinding sel kayu maupun zat-zat lain, dimana bahan tersebut berkontribusi terhadap kekuatan kayu (Bowyer et al. 2003). Menurut Brown et al. (1964), kadar air dinyatakan sebagai banyaknya air yang terkandung dalam kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap berat konstan kayu. Kadar air kayu sangat dipengaruhi oleh tebal dinding dan kadar ekstraktif kayu. Air dalam kayu terdiri dari air bebas dan air terikat dimana keduanya secara bersama-sama menentukan kadar air kayu. Air yang terdapat dalam rongga sel disebut air bebas (free water), sedangkan yang terdapat di dalam dinding sel dinamakan air terikat (bound water). Kadar air segar dalam satu pohon bervariasi tergantung tempat tumbuh, lokasinya dalam batang dan umur pohon. Kadar air kayu akan berubah sesuai dengan kondisi iklim tempat dimana kayu berada akibat dari perubahan suhu dan kelembaban udara (Bowyer et al. 2003). 2.4 Morfologi Serat Sel-sel yang berbentuk panjang langsing dikenal dengan nama serat. Dinding sel serat umumnya lebih tebal daripada dinding sel parenkim maupun dinding sel pembuluh. Panjangnya antara 300-3.600 μm tergantung pada jenis pohon dan posisinya dalam batang. Diameternya antara 15 sampai 50 μm. Ketebalan dindingnya dapat tipis, tebal atau sangat tebal. Serat dikatakan berdinding sangat tebal jika lumen atau rongga selnya terisi dengan lapisanlapisan dinding. Dari ciri inilah dapat dipahami bahwa serat berfungsi sebagai penguat batang pohon (Mandang dan Pandit 2002). Serat berfungsi sebagai penyedia tenaga mekanis pada batang karena mempunyai dinding sel yang relatif tebal. Berdasarkan tipe noktahnya, serat pada kayu daun lebar dibagi atas dua macam yaitu serabut libriform (libriform fiber) dan trakeida serabut (tracheid fiber). Serabut libriform memiliki noktah sederhana yang lebih kecil dan berfungsi sebagai penyedia tenaga mekanis karena lumen 6 selnya lebih sempit. Serabut libriform terlihat lebih ramping bila dibandingkan dengan trakeida serabut sehingga terlihat lebih panjang. Umumnya pernoktahan pada serabut libriform ini lebih banyak terdapat pada dinding radial dibandingkan dinding tangensialnya. Pada dinding sel serat sering terdapat modifikasimodifikasi seperti yang terdapat pada trakeida serabut. Serabut libriform dan trakeida serabut mungkin terdapat secara bersama-sama dalam satu jenis kayu. Perbedaan antara kedua macam sel ini sangat sedikit, sehingga dalam preparat anatomi kedua sel ini sulit dibedakan karena sifat-sifat noktah yang menjadi pembeda diantara keduanya sulit terlihat. Oleh karena itu kedua macam sel ini disebut sel serabut atau serat untuk kayu daun lebar. Sering kali 50% atau lebih volume dari kayu daun lebar ini disusun oleh sel serat (Pandit dan Ramdan 2002). Panjang Serat Handayani (1991) dalam Sofyan et al. (1993) menyatakan bahwa panjang serat dianggap sebagai salah satu dimensi yang memegang peranan utama dalam kekuatan sobek pulp atau kertas yang dihasilkan. Hasil penelitian Pasaribu dan Silitonga (1974) dan Sofyan et al. (1993) menunjukkan bahwa semakin tinggi perbandingan panjang serat dengan diameter serat akan semakin tinggi pula kekuatan sobek dan semakin baik daya tenunnya. Panjang serat berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik kertas seperti kekuatan dan kekakuan. Serat yang lebih panjang memungkinkan terjadinya ikatan antar serat yang lebih luas tetapi dengan semakin panjang serat maka kertas akan semakin kasar. Serat yang lebih panjang juga akan menghasilkan lembaran kertas yang mempunyai sifat kekuatan yang lebih baik karena memiliki daerah ikatan antar serat (bonding area) yang lebih luas pada saat penggilingan dan sifat penyebaran tekanan (stres transfer) yang lebih baik. Sifat kekuatan lembaran yang dipengaruhi oleh ukuran panjang serat adalah ketahanan tarik, ketahanan lipat, terutama ketahanan sobek. Di sisi lain, serat kayu yang lebih pendek mampu menghasilkan lembaran kertas yang lebih halus dan seragam (Casey 1980). Diameter Serat Diameter serat berpengaruh terhadap sifat kekuatan pulp, pembentukan lembaran, ikatan antar serat dan kekuatan serat dalam lembaran. Serat dengan diameter besar dan berdinding tipis mampu memberikan ikatan antar serat yang 7 kuat dengan kekuatan lembaran tinggi. Ada dua pengertian diameter yaitu diameter serat dan diameter lumen. Casey (1980) menggolongkan diameter serat menjadi tiga kelas, yaitu: serat berdiameter besar (0,025-0,04 mm), berdiameter sedang (0,01-0,025 mm) dan berdiameter kecil (0,02-0,01 mm). Diameter serat menunjukkan kelangsingan serat. Serat yang langsing mudah membentuk jalinan sehingga terbentuk lembaran dengan sifat-sifat yang baik. Serat yang berdinding tipis menyebabkan kekuatan sobek kecil. Dalam menjalin ikatan antar serat yang lebih baik diinginkan ukuran serat yang relatif panjang karena berperan meningkatkan kekuatan sobek kertas. Hal ini disebabkan karena gaya sobek akan terbagi dalam luas yang panjang (Casey 1980). Tebal Dinding Serat Tebal dinding serat juga menentukan sifat-sifat kertas. Dinding yang tebal menyebabkan terbentuknya lembaran yang kasar dan tebal, kekuatan sobek yang tinggi tetapi kekuatan jebol, tarik dan lipat relatif rendah. Serat berdinding tipis mudah melembek dan menjadi pipih, sehingga memberikan permukaan yang luas bagi terjadinya ikatan antar serat, sedangkan serat dengan dinding tebal sukar melembek dan bentuknya tetap membulat pada saat pembentukan lembaran. Struktur tersebut menyulitkan dalam penggilingan dan akan memberikan kekuatan sobek yang tinggi, berbeda dengan serat berdinding tipis yang memberikan sifat kekuatan sobek rendah, tetapi kekuatan tarik, jebol dan kekuatan lipatnya tinggi (Casey 1980). Menurut ketebalannya dinding serat dapat dibagi tiga, yakni: a) Sangat tipis: jika diameter lumen (l) tiga kali lipat atau lebih dari tebal dua kali dinding serat (2w) b) Tipis sampai tebal: diameter lumen kurang dari 3 kali tebal dua kali dinding serat (2w) dan masih terlihat terbuka. c) Sangat tebal: jika lumen hampir tertutup. 2.5 Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa Kayu juvenil adalah massa kayu yang dibentuk oleh jaringan kambium dimana aktivitas jaringan tersebut masih dipengaruhi oleh aktivitas jaringan meristematis yang ada di ujung batang. Dengan bertambahnya tinggi pohon, massa kayu yang dibentuk oleh jaringan kambium dimana aktivitasnya tidak lagi 8 dipengaruhi oleh jaringan meristematis yang ada di ujung batang, dinamakan kayu dewasa. Lingkaran tumbuh pertama sampai lingkaran tumbuh ke sepuluh umumnya masih merupakan kayu juvenil. Ini ditandai dengan pertambahan ukuran panjang serat dan kerapatan kayu yang progresif dari empulur ke arah kulit. Sampai pada riap tumbuh tertentu, pertambahan nilai kedua parameter tersebut relatif kecil dan bahkan konstan. Saat itulah mulai dibentuk kayu dewasa. Presentase kayu juvenil juga dipengaruhi oleh jenis pohon dan kondisi tempat tumbuh. Pohon yang tumbuhnya baik atau pertumbuhan yang cepat, umumnya akan membentuk presentase kayu juvenil yang lebih banyak, sebaliknya pohon yang tumbuh pada kondisi yang tertekan sehingga pertumbuhan pohon lebih lambat umumnya membentuk presentase kayu juvenil yang lebih sedikit (Bowyer et al. 2003). Kayu juvenil memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan kayu dewasa. Sebagai contoh, kayu juvenil memiliki sel penyusun kayu yang lebih pendek dibanding kayu dewasa. Kayu dewasa dari kelompok daun jarum bisa mencapai tiga hingga empat kali lebih panjang daripada sel kayu juvenilnya, sedangkan serat dewasa dari kayu daun lebar umumnya dua kali lebih panjang daripada serat yang terdapat dekat dengan empulur (Dadswell 1958). 2.6 Jati Unggul Jati unggul atau jati emas atau jati super atau jati prima merupakan bibit unggul hasil dari perbanyakan kultur jaringan yang dikembangkan pertama kali didalam laboratorium dari tanaman induk yang berkualitas baik. Jati unggul sudah ditanam secara luas di Myanmar dan Thailand sejak tahun 1980. Klon unggul ini memiliki keunggulan genetik sama dengan induknya namun waktu panennya relatif cepat yaitu antara 15-20 tahun. Jati unggul memiliki beberapa keunggulan lain seperti dapat tumbuh dengan baik saat ditanam dengan pola tumpangsari, baik dengan tanaman perkebunan maupun pertanian. Tanaman perkebunan yang dapat ditumpangsarikan adalah karet, kakao (coklat), kopi dan kelapa. Selain itu, jati unggul pun bermanfaat ganda melalui tumpangsari palawija dengan jagung, kedelai, kacang tanah, cabai dan ubi kayu. Bibit jati unggul dapat tumbuh dimana saja dengan catatan lahan tidak tergenang air, pH berkisar 5.0-8.0, tanah lempung 9 berpasir, ketinggian tidak lebih dari 500 m dpl, dan curah hujan 1.000-2.500 mm/tahun dengan temperatur 22-38ºC. Jati unggul ini bisa dipanen 2 kali, yaitu pada tahun ke-10 dan tahun ke 15. Panen tahun ke-10, merupakan panen penjarangan dan panen tahun ke-15 merupakan panen tebang habis (Sulaeman 2003).