(DBD) sebagai dampak perubahan iklim dengan

advertisement
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Umum Wilayah DKI Jakarta
Secara geografi
Jakarta terletak
pada posisi koordinat
5019’12” –
6023’54” LS dan 106022’42” – 106058’48” BT yang terbagi kedalam 5 wilayah
kota dan 1 kabupaten Kepulauan Seribu yaitu kota Jakarta Pusat (8 Kecamatan),
Jakarta Barat (8 Kecamatan), Jakarta Utara (6 Kecamatan), Jakarta Timur (10
Kecamatan) dan Jakarta Selatan (10 Kecamatan). Gambar 5 menunjukan
Topografi keseluruhan Jakarta relatif datar tanpa ada pegunungan dengan 13
sungai mengalir dari daerah penopang Jakarta dan bermuara di laut Jawa yang
bersinggungan langsung dengan pantai Jakarta utara. Luas wilayah Jakarta sekitar
661,52 km² dengan rata-rata ketinggian 8 m dpl (diatas permukaan laut). Kondisi
karakteristik wilayah seperti ini memungkinkan adanya bencana-bencana yang
berkaitan aliran air (bencana banjir) akibat dari curah hujan wilayah Jakarta
sendiri dan kiriman dari luar daerah Jakarta.
Gambar 4. Peta Topografi DKI Jakarta
Dengan status kota Jakarta sebagai ibu kota Negara dan kota metropolitan
yang bergelimang fasilitas serta lapangan kerja, menjadikan kota ini sebagai
tujuan utama para pencari kerja dari luar daerah sehingga tingkat kepadatan kota
17
Jakarta sangat tinggi. Selain kepadatan penduduk, tingginya volume kendaraan
juga menyebabkan kualitas udara Jakarta kurang baik. Hal ini sebagai dampak
pencemaran dari gas buang kendaraan. Bila dilihat dari sisi klimatologis, suhu
kota Jakarta secara teoritik merupakan suhu optimum untuk perkembangan
nyamuk aedes aegypti ditambah penunjang genangan curah hujan sebagai tempat
perkembangbiakannya, sehingga diyakini kalau Jakarta mempunyai kerentanan
pada sektor kesehatan sebagai dampak dari perubahan iklim.
RATA-RATA TAHUNAN KASUS DBD
TINGKAT KECAMATAN PROPINSI DKI JAKARTA
2,000
Jml Kasus DBD (Org)
1,800
1,600
1,400
1,200
1,000
800
600
400
Gambar 5. Rata-rata Tahunan Kasus DBD DKI Jakarta
Deskrptif Kasus DBD
Hasil analisis deskriptif data kasus DBD tingkat kecamatan di Provinsi
DKI Jakarta, tampak pada Gambar 5 bahwa rata-rata tahunan tertinggi terdapat
pada kecamatan Duren Sawit (1.785 kasus) dan terendah di kecamatan Tanah
Abang (251 kasus). Secara keseluruhan setiap kecamatan mempunyai tingkatan
kasus DBD yang berbeda namum demikian bila ditinjau secara spatial setiap
posisi atau jarak antara wilayah saling mempengaruhi. Hal ini ditunjukan juga
pada Gambar 6 sebaran kasus DBD yang telah diklasifikasikan, dimana pola
sebaran tampak dipengaruhi oleh kedekatan wilayah.
PASARREBO
PULOGADUNG
MAKASAR
MATRAMAN
KRAMATJATI
JATINEGARA
CIRACAS
DUREN SAWIT
CIPAYUNG
TEBET
CAKUNG
SETIA BUDI
PESANGGRAHAN
PANCORAN
PASARMINGGU
MAMPANGPRAPATAN
KEBAYORAN BARU
KEBAYORAN LAMA
CILANDAK
JAGAKARSA
TAMBORA
PALMERAH
TAMANSARI
KEMBANGAN
KALIDERES
KEBONJERUK
CENGKARENG
GROGOLPETAMBURAN
PENJARINGAN
TANJUNGPRIOK
KOJA
PADEMANGAN
CILINCING
KELAPA GADING
SENEN
TANAHABANG
MENTENG
SAWAH BESAR
KEMAYORAN
GAMBIR
JOHAR BARU
-
CEMPAKA PUTIH
200
18
Gambar 6. Peta Sebaran Kasus DBD di Provinsi DKI Jakarta
Hampir sepanjang tahun di DKI Jakarta selalu terjadi kasus DBD. Hal ini
tampak jelas pada Gambar 7 yang menggambarkan kasus DBD berdasarkan waktu
dan menunjukan pola sinusoidal seperti halnya pola curah hujan. Puncak kasus
DBD terjadi pada bulan April untuk kemudian menurun sedikit satu bulan
berikutnya dan terus menurun hingga Oktober sebagai titik minimum, bulan
November naik kembali hingga puncaknya bulan April membentuk siklus tahunan
DBD.
19
RATA-RATA BULANAN KASUS DBD
PROPINSI DKI JAKARTA
5000
Jml Kasus DBD (Org)
4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
JAN
PEB
MRT
APR
MEI
JUN
JUL
AGT SEPT OKT NOV
DES
Gambar 7. Rata-Rata Bulanan Kasus DBD Propinsi DKI Jakarta
Kajian Iklim dan Sosial Kependudukan DKI Jakarta
Curah Hujan
Unsur iklim yang menjadi bahasan penelitian ini yaitu Curah Hujan dan
Suhu, dimana dalam luasan wilayah provinsi DKI Jakarta (661,52 km², Sumber :
Bapeda DKI Jakarta) dan terdiri dari 42 kecamatan hanya terdapat 5 Stasiun
Meteorologi/Klimatologi/Geofisika serta 8 pos Hujan (Gambar 8). Kondisi ini
tentu perlu kajian khusus untuk mendapatkan data seluruh wilayah DKI Jakarta
mengingat unit penelitian
penyusunan model kerentanan DBD yaitu level
kecamatan.
Curah hujan bulanan untuk wilayah Jakarta berkisar antara 50 mm sampai
dengan 350 mm, puncak tertingginya terjadi pada bulan Januari dan terendah pada
bulan Agustus atau September. Bila dilihat pola tahunan curah hujan, maka bulanbulan pada awal tahun merupakan waktu dengan limpahan air yang banyak
bahkan berlebih, sehingga apabila sudah terjadi kejenuhan tanah dalam
menampung air akan terjadi genangan atau banjir. Bencana ini akan menimbulkan
sanitasi lingkungan memburuk yang berdampak timbulnya bibit penyakit, selain
itu banyaknya genangan air di berbagai lokasi akan menjadi tempat pertumbuhan
nyamuk. Dari Gambar 9 tampak bahwa pola curah hujan menyerupai pola kasus
20
DBD dengan lag time 3 bulan lebih awal, informasi ini cukup penting sebagai
awal dalam mendeteksi timbulnya kasus DBD.
Gambar 8. Peta Sebaran Stasiun BMKG dan Pos Hujan DKI Jakarta dan
sekitarnya
CURAH HUJAN RATA-RATA AREA BULANAN
PROVINSI DKI JAKARTA
400
Curah Hujan (mm)
350
300
250
200
150
100
50
0
JAN
PEB
MRT
APR
MEI
JUN
JUL
AGT SEPT OKT
Gambar 9. Curah Hujan Rata-Rata DKI Jakarta
NOV
DES
21
Secara spasial curah hujan diwilayah DKI Jakarta pada saat terjadinya
puncak kasus DBD berkisar antara 100 mm sampai dengan 300 mm, lebih spesifik
lagi hampir 75% wilayahnya berada pada kisaran curah hujan 100-200 mm,
sedangkan 25% berkisar pada 200-300 mm seperti tampak pada Gambar 10.
Gambar 10. Peta Curah Hujan Rata-rata pada saat puncak DBD
Pada kondisi sebagai besar wilayahnya mempunyai curah hujan yang
masih cukup hingga tinggi, kemungkinan besar aktifitas manusia sebagian besar
berada didalam ruangan dan relatif tidak banyak bergerak, hal ini berpeluang
sangat besar akan terkena gigitan nyamuk aedes aegypti
vektor penyabab
penyakit DBD yang sebagian besar sudah tumbuh menjadi nyamuk dewasa setelah
mendapatkan banyak tempat berkembang pada genangan-genangan air bulan
sebelumnya.
22
Selain gambaran diatas, rentannya manusia terkena penyakit adalah akibat
dari internal daya tahan tubuh yang lemah. Hal ini bisa dipahami bahwa pengaruh
eksternal pada saat kondisi cuaca sering turun hujan cukup dominan, tetapi
aktifitas olah raga menurun, sedangkan di sisi lain kondisi tubuh dituntut untuk
beradaptasi menyesuaikan ketahanannya. Bila kondisi ketahanan tubuh baik maka
tingkat kerentanan seseorang akan terkena penyakit menjadi rendah, sebaliknya
bila ketahanan tubuh pengaruh lemah maka resiko kerentanan seseoarang akan
terkena penyakit menjadi tinggi. Sehingga dari uraian diatas jelas bahwa pengaruh
tidak langsung faktor iklim mempunyai peranan penting dalam menentukan
kerentanan sektor kesehatan
Temperatur/ Suhu Udara
Suhu udara untuk wilayah Jakarta berkisar antara 200C - 340C, dengan
suhu tertinggi terjadi pada bulan Agustus dan terendah terjadi pada bulan Januari.
Bila dilihat secara spasial seperti pada Gambar 11, suhu untuk wilayah Jakarta
bagian utara lebih panas dibanding bagian selatan, namun secara keseluruhan
kisaran suhu di Jakarta sepanjang tahun memungkinkan untuk pertumbuhan
nyamuk aedes aegypti.
Dari gambaran suhu udara sepanjang tahun, terkait dengan puncak kasus
DBD di DKI Jakarta rata-rata terjadi pada bulan April, maka dapat dijelaskan
bahwa pada bulan puncak kasus DBD suhu yang terjadi berkisar antara 270C 290C. Menurut teori kisaran suhu seperti tersebut merupakan kondisi optimum
bagi pertumbuhan nyamuk aedes aegypti yang bulan-bulan sebelumnya telah
bertelur dalam genangan air pada tempat-tempat terbuka.
23
Gambar 11. Peta Temperatur Jakarta
Sosial Kependudukan
Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia mempunyai kepadatan penduduk
cukup tinggi. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI
Jakarta, kepadatan penduduk wilayah Jakarta untuk masing-masing wilayah kota
tingkat.II ditampilkan pada Tabel 1. Dari kelima wilayah kota tingkat.II, jumlah
penduduk terbesar berada di Kota Jakarta Timur 2.634.779 orang sedangkan
terendah berada di Kota Jakarta Pusat 916.717, namum bila ditinjau dari tingkat
kepadatannya
kepadatan/Km2.
maka
Kota
Jakarta
Pusat
yang
terpadat
yaitu
19.447
24
Tabel.1 Jumlah Kepadatan Penduduk per Wilayah Kota Administrasi
Bulan : Januari 2011
WNI
WNA
Wilayah
Total
Laki-laki
Jakarta
Pusat
Jakarta
Utara
Jakarta
Barat
Jakarta
Selatan
Jakarta
Timur
Perempuan Laki-laki Perempuan
Luas
Kepadatan
(Km2)
/ Km2
47,14
19.447
500.254
416.127
190
146
916.717
777.269
645.408
269
240
1.423.186 139,03 10.237
869.301
765.950
334
302
1.635.887 125,25 13.061
1.060.829 831.106
407
268
1.892.610 145,73 12.987
1.430.380 1.204.163
127
109
2.634.779 189,90 13.875
Sebaran penduduk berdasarkan wilayah administrasi Kecamatan Jakarta
sangat variatif, dari 42 kecamatan yang berada di Jakarta Daratan, Kecamatan
dengan jumlah penduduk terpadat adalah Tambora dan terendah Sawah Besar.
Selain 2 kecamatan tersebut masih terdapat 9 kecamatan yang tergolong padat
dengan jumlah penduduk berkisar antara 234.000 – 334.567 orang (Gambar 12),
kesembilan kecamatan tersebut adalah Tanjungpriok, Koja, Cakung, Durensawit,
Makasar, Cipayung, Tebet, Jatinegara, dan Kramatjati. Bila ditinjau dari
kepadatannya maka 10 Kecamatan tersebut mempunyai tingkat kerentanan
kesehatan yang lebih dibanding kecamatan lainnya sebagai dampak dari
perubahan iklim.
25
PETA KLASIFIKASI JUMLAH PENDUDUK
DAN RATA-RATA KASUS DBD/BULAN
Gambar 12. Peta Klasifikasi Jumlah Penduduk & Tingkat DBD di Jakarta
PETA KLASIFIKASI SARANA KESEHATAN
DAN RATA-RATA KASUS DBD/BULAN
Gambar 13. Peta Klasifikasi Sarana Kesehatan & Tingkat DBD di Jakarta
26
PETA KLASIFIKASI SARANA PENDIDIKAN
DAN RATA-RATA KASUS DBD/BULAN
Gambar 14. Peta Klasifikasi Sarana Pendidikan & Tingkat DBD di Jakarta
Analisis Asosiasi Peubah Penyusun Kerentanan DBD Sebagai Dampak
Perubahan Iklim
Analisis asosiasi dalam hal ini korelasi digunakan untuk mengetahui
seberapa jauh hubungan antara peubah penyusun kerentanan (iklim dan sosial
kependudukan) dengan tingkat kasus DBD. Secara lengkap hasil analisis asosiasi
masing-masing peubah (Iklim dan Sosial Kependudukan) terhadap DBD dapat
dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 2. Korelasi Peubah Penyusun Kerentanan DBD dengan Tingkat DBD
No
Peubah Kerentanan
Nilai korelasi dengan DBD
1
Jumlah Penduduk
0.49
2
Skor Jumlah Sarana Kesehatan
0.37
3
Skor Jumlah Sarana Pendidikan
0.41
4
Bobot Temperatur
0.17
5
Bobot Curah Hujan
0.10
27
Berdasarkan nilai korelasi antara peubah kerentanan dengan kasus DBD,
tampak pada tabel 2 bahwa untuk peubah sosial kependudukan (jumlah penduduk,
skor sarana kesehatan dan skor sarana pendidikan) mempunyai hubungan yang
dekat dengan kasus DBD. Kedekatan ini dipahami karena peubah sosial
kependudukan bersinggungan langsung dengan kasus DBD, berbeda dengan
peubah iklim yang tidak secara langsung berdampak pada kasus DBD. Seperti
dijelaskan sebelumnya pola iklim mempunyai lag waktu yang berbeda untuk
berdampak pada kasus DBD, dari gambar 7 dan 9 terlihat pola iklim (curah hujan)
mempunyai beda waktu antara 1-3 bulan.
Pemodelan Kerentanan DBD
Model kerentanan yang dimaksud pada penelitian ini yaitu kerentanan
berdasarkan kasus DBD yang disetarakan dengan peubah kerentanan pada fungsi
kerentanan dari IPCC. Penyusunan model kerentanan DBD didasari oleh tujuan
sebagai peringatan peningkatan kewaspadaan masayarakat dalam mengantisifasi
kejadian yang akan terjadi. Hal ini menjadi kunci dalam penetapan peubah-peubah
penyusun model kerentanan berkaitan dengan waktu kejadian tertinggi kasus
DBD. Dari hasil analisis deskriptif kejadian tertinggi kasus DBD yaitu pada bulan
April, sehingga peubah-peubah lainnya yang berkaitan dengan waktu disesuaikan/
dengan hal tersebut.
Untuk pemodelan kerentanan, terdapat beberapa kandidat peubah bebas
yang berpengaruh terhadap kerentanan DBD sebagai dampak perubahan iklim,
peubah-peubah tersebut merupakan hasil adopsi dari fungsi kerentanan yaitu
paparan, sensitifitas dan kapasitas adaptasi seperti yang telah diuraikan pada Bab
III Data dan Metode. Dengan adanya beberapa kandidat peubah dalam
penyusunan model, maka tentu dihasilkan beberapa model yang memungkinkan,
sehingga perlu dilakukan pengujian dari beberapa model tersebut untuk kemudian
dipilih model terbaik sesuai dengan kriteria ukuran kebaikan model. Pengujian
yang dilakukan yaitu pengujian secara individu masing-masing koefisien dan
konstanta pada setiap model serta uji secara keseluruhan dari model yang ada.
28
Adapun kategori indek kerentanan terdapat 5(lima) kelas, yaitu :
- Sangat Rendah (1)
- Tinggi (4)
- Rendah (2)
- Sangat Tinggi (5)
- Menengah (3)
Berikut adalah beberapa model yang disusun oleh peubah-peubah berbeda
untuk kemudian dipilih model terbaik :
Tabel 3. Koefisien Model dan uji individu terhadap koefisien-konstanta
No
Nama Peubah
Koefisien
P-Value
Odds
Model
I
II
Konstanta(1)
0.09
0.535
Konstanta(2)
2.38
0.000
Konstanta(3)
4.10
0.000
Konstanta(4)
5.98
0.000
X 1 = Jumlah Penduduk
-0.00001
0.000
1.00
X 2 = Jumlah Fasilitas kesehatan
-0.34
0.000
0.71
X 3 = Bobot Fasilitas Pendidikan
-1.75
0.000
0.17
Konstanta(1)
2.62
0.000
Konstanta(2)
5.01
0.000
Konstanta(3)
6.89
0.000
Konstanta(4)
8.97
0.000
X 1 = Jumlah Penduduk
-0.00001
0.000
1.00
X 2 = Jumlah Fasilitas Kesehatan
-0.05
0.001
0.95
X 3 = Bobot Fasilitas Pendidikan
-1.53
0.000
0.22
X 4 = Bobot Curah Hujan
-2.08
0.000
0.13
X 5 = Bobot Temperatur
-1.90
0.000
0.15
29
Pada tabel.3 tampak ada dua kandidat model, yaitu model yang pertama
hanya melibatkan peubah prediktor sosial kependudukan dan model yang kedua
melibatkan peubah prediktor sosial kependudukan dan iklim. Dari kedua model ini
akan dianalisis guna mendapatkan informasi sejauh mana pengaruh perubahan
iklim dalam menentukan tingkat kerentanan kesehatan (DBD) di DKI Jakarta, hal
ini secara umum bisa dilihat dari perubahan koefisien regresi logistik pada kedua
model yaitu model yang melibatkan unsur iklim dan model yang tidak melibatkan
unsur iklim.
Model I
Untuk model indek kerentanan pertama (model I) yang disusun hanya oleh
peubah sosial kependudukan akan diperoleh informasi masing-masing peubah
prediktor terhadap respon tingkat DBD, peubah sosial kependudukan yang
menyusun model I diantaranya yaitu:
- X 1 (Jumlah Penduduk)
- X 2 (Jumlah Fasilitas Kesehatan)
- X 3 (Skor Fasilitas Pendidikan)
Berdasarkan koefisien regresi logistik pada model I ini tampak pengaruh masingmasing peubah prediktor terhadap peubah respon (tingkat DBD), untuk X 1 yaitu
peubah jumlah penduduk nilai β = -0.00001, X 2 (Jumlah Fasilitas Kesehatan) nilai
β = -0.3443, X 3 (Skor Fasilitas Pendidikan) nilai β = -1.7537. Semua nilai
koefisien berbeda nyata dengan nol, artinya semua peubah dalam model
berpengaruh nyata terhadap tingkat DBD. Di tinjau dari nilai odds dapat
dijelaskan bahwa untuk jumlah penduduk dengan nilai odds 1 menandakan bahwa
dengan asumsi peubah lain tidak berubah, maka peningkatan prosentase peubah
jumlah penduduk akan menurunkan peluang kerentanan suatu kecamatan sebesar
1 kali dari peluang yang ada sebelumnya. Untuk peubah jumlah fasilitas kesehatan
nilai oddsnya 0.71, artinya dengan asumsi peubah lain tidak berubah, maka
peningkatan prosentase peubah jumlah fasilitas kesehatan akan menurunkan
peluang kerentanan suatu kecamatan sebesar 0.71 kali dari peluang yang ada
30
sebelumnya. Begitupun juga untuk peubah skor fasilitas pendidikan yang
mempunyai nilai odds 0.17, artinya dengan asumsi peubah lain tidak berubah,
maka peningkatan prosentase skor fasilitas pendidikan akan menurunkan peluang
kerentanan suatu kecamatan sebesar 0.17 kali dari peluang yang ada sebelumnya.
Dari uraian diatas jelas bahwa faktor fasilitas kesehatan sangat berperan penting
terhadap tingkat kerentanan DBD, bila di analisis lebih lanjut dengan adanya
fasilitas kesehatan yang cukup, secara tidak langsung tingkat pembelajaran dan
pemahaman masyarakat sekitar terhadap kerentanan DBD menjadi lebih kuat.
Tabel. 4 Uji Individu Parameter Model I
No
Nama Peubah
Z2
Konstanta(1)
0.3844 0.535
Konstanta(2)
315.7729 0.000
Konstanta(3)
739.84 0.000
Konstanta(4)
1211.04 0.000
X 1 = Jumlah Penduduk
94.4784 0.000
P-Value
Model
I
X 2 = Jumlah Fasilitas kesehatan
153.76 0.000
X 3 = Bobot Fasilitas Pendidikan
29.3764 0.000
Hipotesis untuk pengujian parameter secara individu adalah
H0
:
β=0
H1
:
β≠0
Kriteria Uji dengan menggunakan pendekatan X2 df=1 adalah X 02.05, 1= 3.84 , dari
hasil hitung nilai Z2 yang bersesuain dengan xα2 ,1 , maka hanya ada satu yang
menerima H0 yaitu α 1 (0.384 < 3.84) yang berarti bahwa konstanta tersebut tidak
berbeda secara nyata dengan nilai 0(nol) atau dengan kata lain tidak berpengaruh.
Untuk nilai uji parameter lainnya semua menolak H0 yang berarti bahwa semua
parameter tersebut berpengaruh secara nyata terhadap pendugaan tingkat
kerentanan DBD.Pengujian parameter ini juga dimaksudkan untuk menyeleksi
model terbaik diantara dua model yang ada pada tabel 3.
31
Model II
Peubah prediktor pada model indek kerentanan yang kedua ini (model II)
adalah peubah sosial kependudukan dan unsur iklim saat ini. Prediktor untuk
model II antara lain :
- X 1 (Jumlah Penduduk)
- X 2 (Skor FasilitasKesehatan)
- X 3 (Skor Fasilitas Pendidikan)
- X 4 (Bobot Curah Hujan)
- X 5 (Bobot Temperatur)
Berbeda dengan model yang pertama, pada model yang kedua ini sudah
ditambahkan unsur iklim yang pada saat ini telah mngalami perubahan, seperti
halnya pada model I akan dilakukan analisis pengaruh masing-masing peubah
prediktor terhadap respon tingkat DBD. Untuk X 1 yaitu peubah jumlah penduduk
nilai β = -0.00001, X 2 (Skor Fasilitas Kesehatan) nilai β = -0.0469, X 3 (Skor
Fasilitas Pendidikan) nilai β = -1.5275, X 4 (Bobot Curah Hujan) nilai β = 2.0792, X 5 (Bobot Temperatur) nilai β = -1.8993. Semua koefisien dari model II
berbeda nyata dengan nol, artinya semua peubah berpengaruh terhadap kerentanan
DBD. Semakin besar nilai koefisien menandakan semakin besar pengaruh suatu
peubah terhadap responnya. Tanda negatif pada koefisien berarti bahwa setiap
kenaikan nilai pada peubah akan mengurangi peluang kerentanannya. Bila dilihat
dari masing-masing odds dapat dijelaskan bahwa untuk peubah bobot curah hujan
rasio oddsnya 0.13, artinya dengan asumsi peubah lain tidak berubah, maka
peningkatan prosentase bobot curah hujan akan menurunkan peluang kerentanan
suatu kecamatan sebesar 0.13 kali dari peluang yang ada. Demikian juga untuk
peubah bobot temperatur, dengan nilai odds 0.15, artinya dengan asumsi peubah
lain tidak berubah, maka peningkatan prosentase bobot temperatur akan
menurunkan peluang kerentanan suatu kecamatan sebesar 0.15 kali dari peluang
yang ada. Interpretasi ini berlaku untuk kisaran temperatur dimana nyamuk aedes
aegypti mampu bertahan hidup (<. 32 OC).
Bila dilihat perubahan koefisien model I pada model II, masuknya peubah
iklim secara signifikan bisa mempengaruhi besarnya pengaruh peubah sosial
pendidikan terhadap tingkat kerentanan DBD. Dengan masuknya peubah iklim
32
pada model, tingkat kapasitas dalam beradaptasi yang diwakili oleh peubah sosial
pendidikan harus lebih ditingkatkan, fasilitas kesehatan harus lebih siap, hal ini
guna mengurangi tingkat kerentanan DBD yang ada pada saat ini.
Tabel. 5 Uji Individu Parameter Model II
No
Nama Peubah
Z2
P-Value
Model
II
Konstanta(1)
526.7025 0.000
Konstanta(2)
826.5625 0.000
Konstanta(3)
1155.32 0.000
Konstanta(4)
149.8176 0.000
X 1 = Jumlah Penduduk
11.2225 0.000
X 2 = Jumlah Fasilitas Kesehatan
18.5761 0.001
X 3 = Bobot Fasilitas Pendidikan
116.8561 0.000
X 4 = Bobot Curah Hujan
116.4241 0.000
X 5 = Bobot Temperatur
526.7025 0.000
Hipotesis untuk pengujian parameter secara individu adalah
H0
:
β=0
H1
:
β≠0
Kriteria Uji dengan menggunakan pendekatan X2 df=1 adalah
hasil hitung nilai Z2 yang bersesuaian dengan
xα2 ,1
X 02.05, 1= 3.84
, dari
, maka semua hasil uji parameter
secara individu berada pada kriteria untuk menolak H 0 (Z hitung > 3.84) yang berarti
bahwa semua parameter tersebut berpengaruh terhadap tingkat kerentanan DBD.
Uji Kesesuaian Model
Pengujian keseluruhan kebaikan model dilakukan dengan menggunakan
uji Khi-kuadrat pearson, dan untuk pemilihan model terbaik dilihat dari nilai-nilai
ukuran kebaikan model dalam melakukan pendugaan terhadap tingkat kerentanan
DBD diantaranya yaitu nilai AIC (Akaike Information Criteria), BIC (Bayesian
Information Criteria), konkordan, diskordan dan Ties.
33
Tabel.6 Uji kesesuaian dan Pemilihan Model Terbaik
Uji Kesuaian Model
Model
Khi Kuadrat
Df
Pemilihan Model Terbaik
Nilai P
Konkordan
Diskordan
Ties
Pearson
Model I
9648.64
161
0.000
76.6
23.2
0.2
Model II
16615.7
159
0.000
79.5
20.3
0.2
Hipotesis Uji Kesesuian Model
H0
:
β1 = β 2 = ... = β k = 0
(Model
tidak
mempunyai
kecocokan/
berpengaruh dalam melakukan pendugaan
respon tingkat kerentanan DBD)
H1 :
Min ada satu β ≠ 0 (Model mempunyai kecocokan/ berpengaruh
dalam melakukan pendugaan respon tingkat
kerentanan DBD)
Hasil uji keseuaian model pada α=95%, baik model I maupun model II
berdasarkan nilai P (P-Value) maka Ho ditolak, yang berarti bahwa model I dan
model II mempunyai kecocokan/ berpengaruh dalam melakukan pendugaan
respon tingkat kerentanan DBD. Untuk pemilihan model terbaik, berdasarkan nilai
konkordan yaitu nilai yang menjadi ukuran prosentase sejauh mana model benar
dalam menduga tingkat kerentanan DBD, nilai konkordan untuk model II sebesar
80% lebih baik daripada model I(77%), selain itu berdasarkan uji individu pada
model I ada satu konstanta regresi yang tidak signifikan, maka dengan bukti-bukti
tersebut Model II lebih baik dari model I.
Bentuk model persamaan Model II yaitu :
π 1 ( X ) = P(Y ≤ 1 X )
=
exp(2.6230 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 )
1+ exp(2.6230 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 )
34
π 2 ( X ) = P(Y ≤ 2 X ) − π 1 ( X )
=
exp(5.0138 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 )
− π1 ( X )
1+ exp(5.0138 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 )
π 3 ( X ) = P(Y ≤ 3 X ) − π 2 ( X )
=
exp(6.8887 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 )
−π 2 ( X )
1 + exp(6.8887 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 )
π 4 ( X ) = P(Y ≤ 4 X ) − π 3 ( X )
=
exp(8.9742 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 )
−π 3 ( X )
1 + exp(8.9742 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 )
π 5 ( X ) =1 − π 4 ( X )
Persamaan regresi logistik ini digunakan untuk mengehitung kerentanan
DBD setiap kategori pada masing-masing kecamatan. Penentuan suatu wilayah
masuk ke dalam tingkat kategori kerentanan tertentu, berdasarkan nilai peluang
terbesar dari lima peluang yang ada.
Evaluasi terhadap model dilakukan dengan menggunakan analisis tabel
tabulasi silang sebagai berikut :
Tebel 7. Tabulasi Silang untuk Evaluasi Model
Klasifikasi nilai
sebenarnya
1
2
3
4
5
1
0
0
0
0
0
Klasifikasi hasil perhitungan Model
2
3
4
1
3
0
6
3
4
3
8
2
0
1
6
0
0
3
5
0
1
0
1
0
Hasil evaluasi model yang tampak pada tabel 1, menunjukan bahwa dari 42 nilai
dugaan, sebanyak 20 nilai sesuai. Dari hasil ini jelas bahwa kemampuan model
untuk menduga cukup baik dengan prosentase 48%.
35
Peta Potensi Kerentanan DBD
Setelah model terbaik logistik kerentanan kesehatan (DBD) sebagai
dampak dari perubahan iklim terbentuk, maka persamaan logistik kerentanan
tersebut digunakan menghitung dan menghasilkan nilai kerentanan dari seluruh
lokasi untuk kemudian ditampilkan dalam Peta Potensi Kerentanan seperti tampak
pada Gambar 15. Bila dibandingkan dengan peta tingkat klasifikasi DBD, maka
48% nilainya sesuai.
Gambar 15. Peta Potensi Kerentanan DBD DKI Jakarta
Tabel.8 TINGKAT KERENTANAN DBD SEBAGAI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI DKI JAKARTA
Unit Wilayah
Kerentanan
Kecamatan
Sangat Rendah
-
Rendah
Cempaka Putih
Ciracas
Gambir
Grogolpetamburan
Jagakarsa
Johar Baru
Kelapa Gading
Kosambi
Makasar
Pademangan
Palmerah
Pancoran
Pasarrebo
Pondokgede
Sawah Besar
Senen
Tanahabang
Tingkat Kerentanan
Menengah
Cengkareng
Cilandak
Cipayung
Ciracas
Gambir
Jagakarsa
Kalideres
Kebayoran Lama
Kebonjeruk
Kelapa Gading
Kemayoran
Kembangan
Kramatjati
Makasar
Mampangprapatan
Palmerah
Pancoran
Pasarminggu
Pasarrebo
Penjaringan
Pesanggrahan
Senen
Tanahabang
Tanjungpriok
Tebet
Tinggi
Cakung
Cengkareng
Cilincing
Cipayung
Duren Sawit
Jatinegara
Kalideres
Kebayoran Baru
Kebayoran Lama
Kebonjeruk
Kemayoran
Koja
Kramatjati
Makasar
Pasarminggu
Pesanggrahan
Pulogadung
Setia Budi
Tamansari
Tanjungpriok
Tebet
Sangat Tinggi
Jatinegara
Kramatjati
Tambora
Download