OPINIO JURIS

advertisement
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
lembaga ekstrayudisial. Hal ini mengingat beberapa hal: Pertama,
pengembalian aset tidak selamanya berkaitan dengan kejahatan atau
pidana, dapat saja aset yang akan dikembalikan berada dalam wilayah
rezim hukum keperdataan. Kedua, tidak selamanya pula aset yang akan
dikembalikan, disimpan dalam bentuk uang, deposito, giro, saham atau
sejenisnya, namun juga aset yang dicuri dalam wujud benda, misalnya
tanah. Ketiga, kendatipun aset yang akan dikembalikan tersebut dalam
bentuk uang, deposito, giro atau sejenisnya, kerja sama antarlembaga
tetap dibutuhkan dalam rangka mempermudah pengembalian aset.
Jika aset yang akan dikembalikan berada dalam rezim hukum
keperdataan, tidak menutup kemungkinan adanya gugatan pihak ketiga
terhadap aset tersebut. Demikian pula jika aset yang dicuri dalam bentuk
benda tidak bergerak seperti tanah, maka dalam rangka pembekuan,
penyitaan dan pengembalian aset, dibutuhkan kerja sama dengan Badan
Pertanahan Nasional. Sementara jika aset yang dicuri kemudian ‘dicuci’
seolah-olah merupakan aset yang diperoleh secara legal, maka kerja sama
dengan lembaga lainnya seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) mutlak dibutuhkan.
Prasyarat terakhir pengembalian aset adalah kerja sama internasional
yang meliputi kerja sama bilateral maupun kerja sama multilateral.
Pengembalian aset yang berada di luar wilayah teritorial Indonesia
tentunya memerlukan kerja sama bilateral antarnegara. Pengembalian
aset merupakan tujuan dan salah satu prinsip dalam Konvensi PBB
mengenai antikorupsi dengan tujuan utama kerja sama internasional
dalam pemberantasan korupsi. Pengembalian aset erat terkait dengan
kejahatan korupsi, dan menurut konvensi tersebut, korupsi merupakan
kejahatan internasional. Terlebih saat ini, Komisi Hukum PBB sedang
membahas untuk memasukkan korupsi dan narkotika sebagai yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional. Jika hal tersebut disetujui, maka
konsekuensi selanjutnya yang berlaku adalah asas universal yang berarti
8
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
bahwa setiap negara berhak melakukan penuntutan terhadap pelaku
kejahatan internasional.
Urgensi Undang-Undang Pengembalian Aset di Indonesia
Paling tidak ada enam alasan yang mendasari perlunya undangundang pengembalian aset di Indonesia. Pertama, indeks prestasi korupsi
di Indonesia cukup mencengangkan dalam beberapa tahun terakhir ini
dan hanya bisa disamai oleh Mexico. Sudah barang tentu uang yang
dikorupi sebagian besar tidak berputar di Indonesia tetapi dilarikan ke
luar negeri.
Kedua, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yang
mana asset recovery merupakan salah satu prinsip dasar dari konvensi
tersebut. Konsekuensi lebih lanjut, Indonesia harus segera menghasilkan
sejumlah peraturan perundang-undangan pelaksana – termasuk undangundang pengembalian aset – sesuai dengan konvensi tersebut.
Ketiga, Indonesia telah mengatur tentang mutual legal assistance dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, yang mana salah satu prinsip
dasarnya adalah asas resiprokal. Jika Indonesia menginginkan asetnya
yang telah dicuri dan dibawa ke luar negeri dikembalikan, maka
Indonesia pun harus mempunyai pengaturan yang jelas mengenai
pengembalian aset yang juga menjamin pengembalian aset dari negara
lain yang disimpan di Indonesia.
Keempat, Indonesia berperan aktif dalam Stolen Asset Recovery (StAR)
Initiative yang mana dibutuhkan kerja sama internasional, baik bilateral,
maupun multilateral dalam rangka pengembalian aset tersebut.
Keberadaan undang-undang pengembalian aset, berdasarkan sejumlah
instrumen hukum internasional maupun hukum nasional yang ada,
merupakan suatu keniscayaan yang harus segera dibentuk sebagai bagian
dari paket undang-undang antikorupsi.
9
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
Kelima, banyak kejahatan yang terjadi di Indonesia dalam kurun
waktu 10 tahun terakhir ini menimbulkan kerugian yang besar bagi
keuangan negara, termasuk kejahatan-kejahatan yang menghasilkan aset
yang cukup besar. Kejahatan-kejahatan yang asetnya menjadi ruang
lingkup pengembalian aset adalah korupsi, pencucian uang, terorisme,
perdagangan orang, penyelundupan senjata, narkotika, psikotropika, hak
kekayaan intelektual, kepabeanan dan cukai, kehutanan serta perikanan.
Keenam, pengembalian aset merupakan salah satu “missing link”
dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Rumusan dan
implementasi yang efektif tentang pengembalian aset hasil korupsi
memiliki makna ganda bagi pemberantasan kejahatan korupsi di
Indonesia. Pertama, implementasi yang efektif dari ketentuan tentang
pengembalian aset tersebut akan membantu negara dalam upaya
menanggulangi dampak buruk dari kejahatan korupsi. Kedua, adanya
legislasi yang memuat klausula tentang pengembalian aset hasil
kejahatan korupsi merupakan pesan jelas bagi para pelaku korupsi
bahwa tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan
hasil kejahatan korupsi (no safe haven), baik harta kekayaan Indonesia
yang dilarikan ke luar negeri maupun harta kekayaan luar negeri yang
ada di Indonesia.
Rezim Hukum Pengembalian Aset
Dalam kaitan dengan rezim hukum pengembalian aset,
pertanyaannya adalah apakah hukum pengembalian aset termasuk ke
dalam rezim hukum perdata ataukah pidana. Hukum privat atau
perdata, adalah hukum yang mengatur tata tertib masyarakat mengenai
keluarga dan mengenai kekayaan para individu, dan mengatur pula
perhubungan hukum yang diadakan antara para individu yang satu
dengan yang lain, antara individu dengan badan negara, bilamana badan
10
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
negara turut serta dalam pergaulan hukum sebagai atau seolah-olah
individu”9.
Sedangkan hukum publik, yang mana di dalamnya termasuk pula
hukum pidana, mengatur hubungan antara individu dengan negara.
Secara lebih spesifik, hukum pidana merupakan “hukum yang
melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan
hukum privat atau perdata maupun kepentingan yang diselenggarakan
oleh peraturan-peraturan hukum publik. Hukum pidana melindungi
kedua macam kepentingan itu dengan membuat suatu sanksi istimewa”10.
Dalam konteks yang demikian, rezim hukum pengembalian aset
tentunya tidak dapat dikualifikasi sebagai hukum pidana. Akan tetapi,
mengingat pengembalian aset berkaitan dengan aset-aset yang dihasilkan
atau digunakan dalam suatu kejahatan tertentu, maka sangat erat
kaitannya dengan hukum acara pidana, yang juga merupakan bagian dari
rezim hukum pidana atau hukum administrasi negara.
Berdasarkan hal-hal di atas dan dengan memperhatikan hukum
pengembalian aset sebagai suatu ketentuan hukum yang mengatur tata
cara negara untuk mengembalikan dan mengelola aset yang digunakan
atau dihasilkan dari suatu tindak pidana, maka ketentuan yang mengatur
tata cara pengembalian aset haruslah merupakan ketentuan hukum yang
masuk ke dalam rezim hukum publik yang memiliki karakteristik
tersendiri dan dinamakan sebagai Hukum Acara Pengembalian Aset.
Secara garis besar hukum acara pengembalian aset dapat dibagi
menjadi dua. Pertama, pengembalian aset yang diduga terkait dengan
kejahatan dan dalam waktu yang bersamaan pokok perkara pidananya
sedang diproses. Kedua, pengembalian aset yang diduga terkait dengan
9
E.Utrecht, 1956, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV Penerbitan dan Balai Buku
Indonesia, hlm. 94.
10
Ibid., hlm. 108.
11
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
kejahatan, dengan tidak ada pokok perkara pidananya. Akan tetapi,
pemeriksaan pengembalian aset yang diduga terkait dengan kejahatan,
baik yang pertama maupun yang kedua, adalah hal yang terpisah
pemeriksaannya dengan pokok perkara pidana yang sedang disidangkan.
Dalam hal yang pertama, kewenangan untuk melacak, membekukan
dan menyita ada pada penyidik, baik penyidik Polri, Kejaksaan, maupun
penyidik pegawai negeri sipil lainnya yang diperintah oleh undangundang atas kejahatan yang merupakan cakupan dari rezim hukum
pengembalian aset. Dalam melakukan pelacakan, penyidik dapat
meminta bantuan lembaga pengelola aset. Sedangkan dalam hal
pembekuan – selama aset tersebut berupa uang atau saham – dan
penyitaan, dilakukan oleh penyidik setelah mendapat izin berupa
penetapan dari pengadilan negeri yang berwenang.
Selanjutnya, terkait pengelolaan, penyerahan sampai pada
pengawasan terhadap aset tersebut dilakukan oleh lembaga pengelolan
aset. Pengelolaan aset dilakukan selama putusan tersebut belum
mempunyai kekuatan hukum tetap, sementara penyerahan aset
dilakukan jika putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada
saat pengelolaan tersebut, dimungkinkan gugatan dari pihak ketiga atas
aset tersebut, dan jika dikabulkan, maka setelah putusan tersebut
mempunyai kekuatan hukum tetap, barulah diserahkan kepada pihak
ketiga yang berhak dan juga kepada negara.
Dalam hal yang kedua, pengembalian aset dilakukan oleh jaksa
pengacara negara dengan mengajukan “Permohonan Penyitaan,
Perampasan dan Pengembalian Aset” kepada pengadilan negeri yang
berwenang. Pada saat melakukan pemeriksaan atas permohonan jaksa
pengacara negara, intervensi dari pihak ketiga juga dimungkinkan.
12
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
Selain itu, ada pemikiran lain perihal proses acara pengembalian aset,
yakni dengan afdoening buiten process11 atau penyelesaian di luar proses.
Kendatipun tetap diakomodasi dalam hukum acara pidana, namun
afdoening buiten process tidak serumit “Permohonan Penyitaan,
Perampasan dan Pengembalian Aset”. Afdoening buiten process memiliki
dua bentuk, yaitu submissie dan compositie. Pada submissie, jika terdakwa
dan jaksa penuntut umum memaparkan persoalan kepada hakim karena
sulitnya pembuktian, maka akan diambil keputusan tanpa proses
pemeriksaan lebih lanjut. Sedangkan compositie dipergunakan oleh jaksa
penuntut umum. Di sini terdakwa dapat mencegah atau menghentikan
proses penuntutan dengan cara membayar sejumlah uang tertentu12.
Dalam konteks pengembalian aset, kiranya afdoening buiten process
yang lebih tepat adalah bentuk submissie. Jika pengembalian aset terkait
dengan pokok perkara pidana yang sedang disidangkan, maka terdakwa
yang hartanya akan disita bersama-sama dengan dengan penuntut umum
mengajukan permohonan kepada hakim untuk mengeluarkan penetapan
agar harta tersebut disita dan diserahkan kepada lembaga pengelolaan
aset tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut karena sulitnya pembuktian
dari kedua belah pihak. Terhadap terdakwa yang hartanya telah disita
dan dikembalikan maka dapat dijatuhkan pidana yang lebih ringan.
Sementara jika pengembalian aset yang diduga terkait dengan kejahatan
tanpa pokok perkara pidana yang sedang diperiksa, maka orang atau
pihak yang hartanya akan disita bersama-sama dengan jaksa pengacara
negara mengajukan permohonan kepada hakim untuk mengeluarkan
penetapan agar harta tersebut disita dan diserahkan kepada lembaga
11
Afdoening buiten process diatur dalam pasal 82 sampai pasal 84 WvS 1993 dan hanya
dikhususkan untuk pelanggaran-pelanggaran yang ancaman pidananya hanya denda.
12
Jan Remmelink, Op.Cit., hlm.442 – 443.
13
Download