BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Obesitas Obesitas merupakan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Obesitas
Obesitas merupakan suatu keadaan malnutrisi yang ditandai dengan
akumulasi lemak tubuh yang berlebihan, baik di seluruh tubuh maupun
terlokalisasi di bagian tubuh tertentu. Obesitas terjadi akibat adanya
ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi (positive energy
balance), sehingga kelebihan energi tersebut akan disimpan dalam bentuk
jaringan lemak (Hall dan Guyton, 2006; Mahan dan Escott-Stump, 2008).
Keadaan tersebut mengakibatkan bertambahnya jumlah jaringan adiposa
(hiperplasia) dan meningkatnya ukuran sel adiposit (hipertrofi) (Teng, 2014).
Obesitas
merupakan
keadaan
patologis
yang
disebabkan
oleh
multifaktorial. Obesitas disebabkan oleh interaksi antara faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik menentukan mekanisme pengaturan berat badan
normal melalui pengaruh hormonal dan neural. Gen mempengaruhi ukuran dan
jumlah sel lemak, distribusi lemak tubuh dan resting metabolic rate (RMR).
sedangkan faktor lingkungan memengaruhi perubahan pola hidup, terutama pola
makan yang berhubungan dengan kualitas makanan yang dikonsumsi, perubahan
pola makan yang menjadi makanan cepat saji yang memiliki kandungan kalori
dan lemak tinggi, serta kurangnya aktivitas fisik (Jameson, 2013).
Obesitas pada anak ditentukan berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) dan
Z score berat badan per tinggi badan. Obesitas pada anak merupakan keadaan
indeks massa tubuh (IMT) ≥ 95 persentil pada grafik IMT CDC 2000 atau nilai Z
score >+3 pada grafik IMT WHO 2006 (IDAI, 2014).
2.1.1. Antropometri
Antropometri digunakan untuk mengukur ketidakseimbangan asupan
energi yang terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh
seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Terdapat beberapa parameter
dalam metode pengukuran dengan antropometri, seperti umur, tinggi badan, berat
badan, lingkar lengan, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal
lipatan lemak di bawah kulit. Parameter tersebut menentukan indeks pengukuran
yang akan digunakan. Penilaian status gizi umumnya menggunakan indeks
antropometri berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur
(TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Supariasa, 2014).
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan penilaian status
gizi anak dilakukan berdasarkan berat badan menurut panjang badan atau tinggi
badan (BB/PB atau BB/TB). Grafik pertumbuhan yang direkomendasikan untuk
anak berusia 0-5 tahun adalah grafik pertumbuhan WHO 2006, sedangkan untuk
anak berusia 5-18 tahun digunakan grafik CDC 2000 (IDAI, 2014).
Tabel 2.1
Penentuan status gizi menurut WHO 2006 dan CDC 2000
Status Gizi
BB/TB
BB/TB
(WHO, 2006)
(CDC, 2000)
Obesitas
> +3 SD
> P95
Overweight
> +2 hingga +3 SD
P85-95
Normal
+2 hingga -2 SD
Gizi kurang
< -2 hingga -3 SD
Gizi buruk
< -3 SD
2.2. Demam Berdarah Dengue
2.2.1. Etiologi
Penyakit demam berdarah disebabkan oleh virus yang termasuk dalam
genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus ini digolongkan sebagai Arthropodborne virus yang dalam penyebarannya memerlukan bantuan vektor nyamuk dari
famili Stegomya. Aedes aegypti dan Aedes albopictus merupakan vektor utama.
Nyamuk tersebut biasanya menjadi terinfeksi virus dengue setelah menghisap
darah dari seseorang yang sudah mengalami fase viremia atau febril akut.
Nyamuk terinfeksi setelah 8-10 hari periode inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh
nyamuk). Nyamuk yang sudah terinfeksi akan tetap infektif sepanjang hidupnya
dan dapat terus menularkan. Virus dengue mulai ditransmisikan kepada manusia
ketika nyamuk yang terinfeksi virus dengue menggigit dan menyemprotkan
salivanya ke dalam luka pada tubuh manusia. Hanya gigitan nyamuk Aedes betina
yang sudah terinfeksi saja yang dapat mentransmisikan virus dengue (WHO,
2009)
Virus dengue memiliki empat serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4. Virus dengue memiliki satu untaian genom RNA (single-stranded RNA)
yang terdiri dari tiga protein struktural, yaitu inti (core/C), membran (M), dan
selaput (envelope/E) serta tujuh protein nonstruktural (NS). Infeksi oleh satu
serotipe virus menimbulkan reaksi imunitas protektif seumur hidup terhadao
serotipe virus tersebut, namun tidak memberikan cross-protektive terhadap
serotipe virus lainnya.
2.2.2. Patofisiologi dan Patogenesis
Infeksi dengue merupakan penyakit sistemik dan dinamis yang dapat
menginfeksi semua golongan usia. Bayi dan orang tua, ibu hamil, penderita
obesitas, penderita penyakit kronis, serta pasien dengan pengobatan steroid dan
NSAID memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami DBD derajat berat beserta
komplikasinya. Di dalam tubuh manusia, virus dengue mengalami periode
inkubasi intrinsik selama 3 hingga 14 hari sebelum timulnya gejala klinis yang
muncul rata-rata pada hari keempat hingga ketujuh (Candra, 2010). Infeksi salah
satu serotipe virus dengue menyebabkan gejala klinis yang bervariasi bergantung
pada beberapa faktor risiko yaitu virulensi virus, viral load, dan respon host.
Infeksi oleh satu serotipe tersebut mampu memberikan imunitas seumur hidup
terhadap serotipe tersebut (WHO, 2009).
Infeksi primer atau infeksi pertama kali pada individu yang belum pernah
terinfeksi biasanya akan menimbulkan manifestasi klinis berupa demam dengue
(DD). Setelah masuk ke dalam tubuh manusia virus dengue akan berkembang di
dalam sel retikuloendotelial seperti sel kupfer di sinusoid hepar, endotel pembuluh
darah, nodus limfatikus, sumsum tulang serta paru-paru, yang selanjutnya diikuti
dengan fase viremia (sebelum timbul gejala) selama dua hari dan berakhir setelah
lima hari timbul gejala panas. Gejala tersebut terjadi akibat interaksi virus dalam
peredaran darah dan makrofag. Makrofag merupakan salah satu sel target infeksi
virus dan di dalam sel ini terjadi replikasi virus. Semakin hebat replikasi virus
maka semakin berat manifestasi penyakit yang ditimbulkan. Makrofag berperan
sebagai antigen presenting cell (APC) yang akan mengaktivasi sel T-helper dan
memberikan sinyal kepada makrofag lain untuk memfagosit virus. Sel T-helper
yang sudah teraktivasi selanjutnya akan memicu aktivasi dari sel T-sitotoksik
(CD8) yang berfungsi untuk membuhuh sel target (apoptosis) dan melisis
makrofag yang sudah memfagosit virus dan merangsang sel B untuk melepaskan
antibodi (Candra, 2010). Pada infeksi primer didapatkan peningkatan antibody
IgM antidengue di dalam darah pada demam hari ke-5. Meningkatnya kadar IgM
anti dengue tersebut dijadikan marker untuk mengetahui adanya infeksi primer
dengue. Kadar IgM dalam darah meningkat dan mencapai puncaknya pada hari
ke 10 – 14 kemudian akan menurun pada akhir minggu keempat Antibodi IgG
anti dengue akan meningkat pada hari ke-14 pada infeksi primer (WHO, 2009).
Infeksi sekunder merupakan infeksi disebabkan oleh serotipe virus yang
berbeda. Diketahui bahwa infeksi satu serotipe virus mampu menimbulkan reaksi
kekebalan seumur hidup, namun tidak bersifat cross-protective terhadap serotipe
lainnya. Manifestasi klinis yang disebabkan oleh infeksi sekunder seringkali lebih
berat berupa demam berdarah dengue (DBD) hingga sindrom syok dengue (SSD).
Mekanisme dan patogenesis terjadinya DBD dan SSD sampai saat ini
belum dapat dijelaskan dengan pasti, namun teori infeksi sekunder sering dianut
untuk menjelaskan mekanisme terjadinya infeksi dengue derajat berat.
Patofisiologi pada DBD dan SSD adalah adanya disfungsi endotel pembuluh
darah yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas vaskuler yang bersifat
akut. Peristawa tersebut menyebabkan kebocoran plasma ke dalam ruang
ekstravaskular yang akhirnya menimbulkan berukurangnya volume plasma dan
hemokonsentrasi, serta penurunan tekanan darah (Sukohar, 2014). Komponen
humoral maupun selular berperan dalam timbulnya manifestasi DBD.
Patogenesis DBD berdasarkan teori infeksi sekunder menjelaskan bahwa
dalam tubuh penderita sudah terbentuk antibody heterologous akibat infeksi
primer. Non-neutralizing antibody yang bersifat cross-reactive tersebut akan
membentuk kompleks dengan virus dengue serotipe baru yang berbeda.
Kompleks tersebut tidak dapat dinetralisasi karena antibodi tersebut tidak bersifat
protektif terhadap serotipe baru yang berbeda dan cenderung infeksius. Kompleks
antigen dan antibodi tersebut akan merangsang aktivasi komplemen yang bersifat
vasoaktif dan prokoagulan. Terjadi pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan
C5 yang bersifat anafilatoksi. Anafilatoksin akan menstimulasi sel mast untuk
melepaskan histamin yang akan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas vaskular untuk peningkatan aliran darah dan keluarnya sel radang
(Matondang, 2010). Di samping itu kompleks antigen antibodi tersebut akan
merangsang aktivasi dan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, TNF-α,
dan
platelet activating factor (PAF)
yang
menyebabkan
meingkatnya
permeabilitas dinding pembuluh darah (Candra, 2010; Sukohar, 2014).
Teori kedua yang menjelaskan patogenesis DBD dan SSD adalah teori
antibody dependent enhancement (ADE). Menurut teori ini terdapat peningkatan
replikasi virus yang terjadi karena pengaruh antibody yang telah ada sebelumnya.
Mekanisme tersebut melibatkan sel T, limfosit T, dan monosit. Pada infeksi fase
akut di dalam plasma pasien DBD maupun SSD terjadi peningkatan IFN-ɣ, TNFα dan IL-10. Aktivitas sitolitik sel T berkurang namun sel tersebut terus
meningkatkan memproduksi sitokin meliputi IFN-ɣ dan TNF-α serta kemokin
(WHO, 2011). TNF-α berhubungan dengan manifestasi perdarahan sedangkan
meningkatnya IL-10 akan menurunkan fungsi limfosit T dan trombosit (Frans,
2010). Peningkatan cepat kadar mediator proinflamasi dan adanya apoptosis serta
vasodilatasi secara sinergis menginduksi malfungsi dari sel endotel vaskular yang
akhirnya mengarah pada kebocoran plasma, kekacauan sistem koagulasi, dan
syok.
2.2.3. Tanda dan Gejala
Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue terdapat tiga fase perjalanan,
yaitu febris, kritis dan konvalesen. Fase febris berlangsung 2-7 hari dengan
demam yang mendadak tinggi mencapai 40oC dengan malaise, sakit kepala, mual
dan muntah, mialgia, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis serta nyeri perut.
Fase kritis dikenal juga sebagai fase defervesen karena pada fase ini terjadi
penurunan cepat suhu tubuh ke level normal dan subnormal. Fase ini berlangsung
selama 24-48 jam disertai dengan berkembangnya berbagai derajat gangguan
sirkulasi. Pada fase ini pasien dapat mengalami hipovolemia dan syok akibat
kebocoran plasma yang terjadi. Tanda-tanda syok yang dapat diamati pada anakanak adalah gelisah sampai penurunan kesadaran, sianosis, nafas cepat, nadi
teraba lembut sampai tidak teraba, hipotensi, akral dingin, capillary refill time
memanjang (>2 detik), diuresis menurun (<1 ml/kg BB/jam) hingga anuria. Jika
fase kritis terlewati disertai perbaikan kondisi umumnya, sebagian besar pasien
akan mengalami pemulihan tanpa sekuele pada fase konvalesen. Fase konvalesen
adalah fase penyembuhan ditandai dengan adanya perbaikan gejala diuresis dan
nafsu makan (WHO, 2009).
Klasifikasi WHO tahun 2009 membagi diagnosis infeksi dengue menjadi
tiga kelompok (WHO, 2009):
1. Probable dengue, apabila penderita yang tinggal di/ berpergian ke daerah
endemik dengue dengan dua atau lebih kriteria: mual muntah, ruam, nyeri
sendi, tes Torniquet positif, leukopenia, dan pemeriksaan laboratorium
(penting dilakukan jika tidak ditemukan tanda-tanda kebocoran plasma).
2. Dengue with warning sign, apabila didapatkan: nyeri abdomen, muntah
yang persisten, akumulasi cairan secara klinis, perdarahan mukosa, letargi
dan gelisah, hepatomegali >2 cm, laboratorium: peningkatan hematokrit
disertai dengan penurunan trombosit yang cepat.
3. Severe dengue, apabila disertai dengan satu atau lebih gejala berikut:
kebocoran plasma berat yang mengarah pada syok (SSD) dan/atau
akumulasi cairan dengan atau tanpa distress pernapasan, perdarahan berat,
dan atau keterlibatan organ berat meliputi hepar yaitu AST dan ALT ≥
1000, pada keterlibatan susunan saraf pusat terjadi gangguan kesadaran,
keterlibatan jantung dan organ lainnya (WHO, 2009).
Menurut WHO 2009, pasien dapat digolongkan mengalami syok apabila
tekanan nadi (perbedaan tekanan sistolik dan diastolik) adalah ≤ 20 mmHg
disertai peningkatan tekanan diastolik atau adanya tanda perburukan perfusi
kapiler (ekstremitas dingin, delayed capillary refill, atau nadi teraba cepat). Syok
yang terjadi pada pasien DBD adalah keadaan yang reversible apabila mendapat
penanganan yang tepat dan segera. Pasien yang mengalami syok yang
berkelanjutan dan tidak ditangani memiliki risiko untuk mengalami berbagai
komplikasi seperti asidosis metabolik dan ketidakseimbangan elektrolit,
multiorgan failure serta perdarahan. Bila pasien tidak mendapat penanganan maka
prognosisnya sangat buruk, angka kematiannya tinggi dalam 12 hingga 24 jam.
Berdasarkan Guidelines WHO (2011) tingkat keparahan dengue dibagi
menjadi empat derajat, yaitu: DBD derajat I, II, III dan IV. DBD derajat III dan
IV tergolong dalam DBD derajat berat atau SSD.
Tabel 2.2
Klasifikasi infeksi dengue dan tingkat keparahan DBD menurut WHO 2011
DD/DBD
DD
Derajat
Tanda dan Gejala
Demam
disertai
minimal
dengan 2 gejala:
• Nyeri kepala
• Nyeri retro orbital
• Nyeri otot
• Nyeri sendi/tulang
• Ruam
kulit
makulopapular
• Manifestasi perdarahan
• Tidak
ada
tanda
perembesan plasma
Laboratorium
• Leukopenia (jumlah
leukosit
≤4000
3
sel/mm )
• Trombositopenia
(jumlah
trombosit
≤100.000 sel/mm3)
• Peningkatan
hematokrit (5%-10%)
• Tidak
ada
bukti
perembesan plasma
DBD
I
Demam dengan manifestasu Trombositopenia
perdarahan (uji bending positif) <100.000
sel/mm3,
dan tanda perembesan plasma
peningkatan HCT ≥20%
DBD
II
Seperti derajat I
perdarahan spontan
DBD*
III
Seperti derajat I atau II Trombositopenia
ditambah kegagalan sirkulasi <100.000
sel/mm3,
(nadi lemah, tekanan nadi ≤ 20 peningkatan HCT ≥20%
mmHg, hipotensi, gelisah,
diuresis menurun)
DBD*
IV
ditambah Trombositopenia
<100.000
sel/mm3,
peningkatan HCT ≥20%
Syok hebat dengan tekanan Trombositopenia
darah dan nadi yang tidak <100.000
sel/mm3,
terdeteksi
peningkatan HCT ≥20%
(*) DBD derajat III dan IV adalah SSD.
2.2.4. Faktor Risiko SSD
DBD derajat berat ditandai dengan adanya syok yang dikarenakan oleh
kebocoran plasma akibat disfungsi endotel. Penilaian yang akurat terhadap faktor
risiko syok merupakan prediktor penting menuju penatalaksanaan yang adekuat,
mencegah syok dan perdarahan. Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat
menjadi prediktor terjadinya syok pada DBD.
Perjalanan penyakit dan tingkat keparahan DBD pada anak sangat
dipengaruhi oleh jenis kelamin dan usia. Jenis kelamin merupakan faktor yang
berhubungan dengan gaya hidup seseorang. Perempuan cenderung lebih berisiko
untuk mengalami SSD dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut dikarenakan
oleh adanya respon imun seluler yang lebih kuat serta kerentanan yang lebih
tinggi terhadap perubahan permeabilitas kapiler pada perempuan dibandingkan
dengan laki-laki (Anders, 2011).
Usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap
infeksi. Prevalensi dan frekuensi kejadian SSD terbanyak didominasi oleh
kelompok usia sekolah dasar yaitu 6-10 tahun, namun risiko mortalitas lebih
tinggi pada usia <5 tahun. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan pola
transmisi virus. Sebelumnya transmisi DBD umumnya terjadi di rumah, namun
saat ini terjadi pergeseran ke fasilitas publik seperti sekolah, masjid, gereja dan
tempat bermain anak-anak. Transmisi virus dengue dibantu oleh vektor nyamuk
Aedes. Nyamuk tersebut cenderung lebih aktif pada pagi hingga siang hari. Pada
anak-anak usia sekolah, mereka cenderung duduk di dalam kelas dari pagi hingga
siang hari dan kaki mereka tersembunyi di bawah meja. Pada waktu tersebutlah
nyamuk cenderung menggigit (Trisnadewi, 2016).
Dalam patogenesis DBD telah dijelaskan bahwa infeksi sekunder dapat
menyebabkan gambaran klinis DBD yang lebih berat. Komplikasi yang paling
sering pada kasus DBD dengan infeksi sekunder adalah SSD. Hal tersebut
dikarenakan antibodi heterolog akan membentuk kompleks dengan virus dengue
baru dengan serotipe berbeda namun tidak dapat dinetralisasi dan membentuk
kompleks yang infeksius.
Parameter laboratorium dalam menegakkan diagnosis DBD adalah
peningkatan nilai hematokrit dan trombositopenia. Perubahan nilai hematokrit
menandakan adanya kebocoran plasma dan dehidrasi. Meningkatnya nilai
hematokrit >25% disertai dengan kebocoran plasma dapat menyebabkan
berkurangnya cairan intravaskuler dan kekacauan hemodinamik. Jika keadaan
tersebut tidak segera diperbaiki dengan pemberian cairan yang tepat dan segera
maka akan terjadi syok (Widiyati, 2013).
Berdasarkan beberapa penelitian dilaporkan bahwa status gizi dapat
mempengaruhi perjalanan penyakit DBD. Hal tersebut dikarenakan status gizi
seseorang erat kaitannya dengan respons imunnya. Pada kelompok dengan status
gizi kurang rentan terhadap infeksi karena memiliki imunitas selular rendah
sehingga respon imun belum berkembang sempurna. Sedangkan pada gizi lebih
atau obesitas terjadi pelepasan sitokin proinflamasi yang berlebihan sehingga
menimbulkan gambaran klinis berupa SSD.
2.3.Hubungan Obesitas dengan SSD
Pada dasarnya obesitas merupakan keadaan patologis yang ditandai
dengan adanya inflamasi kronik pada jaringan adiposa. Banyak penelitian
melaporkan bahwa jika dibandingkan dengan individu yang normal, penderita
overweight dan obesitas memiliki sitokin proinflamasi yang lebih tinggi dan lebih
sedikit sitokin anti-inflamasi.
Mamalia umumnya memiliki dua jenis jaringan lemak yaitu jaringan
lemak putih (white adipose tissue, WAT) dan jaringan lemak cokelat (brown
adipose tissue, BAT). Kedua jaringan lemak tersebut berperan dalam proses
metabolisme. WAT mengandung cadangan trigliserida (TG) yang melindungi
organ pada abdomen dan juga berperan dalam mengatur panas tubuh. Sedangkan
BAT berperan penting dalam mencegah dan mengurangi obesitas melalui
peningkatan penggunaan energi dan produksi panas (Mahan dan Escott-Stump,
2008). Apabila asupan energi melebihi kebutuhan tubuh disertai dengan aktivitas
fisik yang kurang maka akan terjadi ketidakseimbangan energi. Kelebihan energi
tersebut akan disimpan dalam bentuk lemak dalam jaringan lemak putih. Pada
obesitas, ukuran dan jumlah sel adiposit bertambah sehingga menyebabkan
peradangan kronis pada sel-sel adiposit.
Obesitas sebagai peradangan kronik ditandai dengan adanya peningkatan
moderat faktor-faktor inflamasi dalam sirkulasi individu obese. Dalam keadaan
inflamasi jaringan adiposa putih terdiri dari berbagai jenis sel yang berbeda
seperti fibroblast, preadiposit, adiposit matang dan infiltrasi makrofag. Adiposit
memediasi respon inflamasi dengan mengatur pelepasan asam lemak bebas dan
adipositokin, khususnya TNF-α, IL-6, dan monocyte chemoattractant protein-1
(MCP-1). Jaringan adiposit adalah sumber terbanyak dari leptin, kadar leptin yang
bersirkulasi sebanding dengan jumlah adiposit. Leptin adalah hormon yang
berperan penting dalam pengaturan berat badan dan penggunaan energi manusia.
Leptin berperan dalam pengaturan sistem imun, inflamasi dan hematopoiesis.
Produksi leptin akan meningkat pada keadaan infeksi dan inflamasi. Pada keadaan
tersebut leptin akan mengatur fungi fagositosis monosit/makrofag melalui aktivasi
fosfolipase dan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-6, dan IL-12
(Gurevich-Panigrahi, 2009). Jaringan adiposit menghasilkan 25% IL-6, sehingga
jaringan ini mampu menyebabkan inflamasi sistemik tingkat rendah (Rahmawati,
2014). TNF-α akan merangsang preadiposit dan sel endotel untuk menghasilkan
MCP-1 yang selanjutnya akan menstimulasi infiltrasi makrofag ke dalam jaringan
adipose. Makrofag yang terakumulasi dalam jaringan adipose dapat teraktivasi
dan mensekresikan berbagai sitokin dan kemokin (Teng, 2014).
Pada penderita obesitas yang mengalami DBD dicurigai adanya pelepasan
sitokin proinflamasi berlebihan yang disebabkan oleh patogenesis keduanya yang
pada akhirnya menyebabkan perburukan perjalan penyakit DBD yang mengarah
pada SSD.
Download