i. pendahuluan - IPB Repository

advertisement
 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak dua dekade terakhir, sektor pariwisata telah menjadi sektor pembangunan yang diunggulkan banyak negara dalam menghasilkan devisa. World Tourism Organisation (2011) melaporkan adanya pertumbuhan pariwisata dunia yang terus meningkat dari tahun ke tahunnya; yaitu 528 juta wisatawan dunia pada Tahun 1995 meningkat menjadi 674 juta wisatawan pada tahun 2000 dan terus meningkat hingga 939 juta wisatawan pada tahun 2010. Dalam konteks jumlah turis, maka pertumbuhan pariwisata di Republik Rakyat China adalah contoh atau indikator nyata tentang betapa spektakulernya angka perumbuhan yang bisa dicapai suatu negara dalam mengambil manfaat dari sektor pariwisata; yaitu 10,5 juta wisatawan asing pada tahun 1990 meningkat tajam menjadi 31,3 juta wisatawan asing pada tahun 2000 dan terus meroket menjadi 55,7 juta wisatawan mancanegara pada tahun 2010; hampir mendekati jumlah wisatawan mancanegara di USA pada Tahun 2010 yang mencapai angka 59,7 juta orang. Dalam konteks nasional, sebagai negara yang memiliki kekayaan potensi sumberdaya wisata, sesungguhnya Indonesia sejak akhir tahun 60-an telah menyadari tentang besarnya manfaat ekonomi dari sektor pariwisata, yaitu dengan telah ditetapkannya Bali, Tana Toraja, Danau Toba, Borobudur-Yogyakarta dan Bunaken sebagai 5 destinasi unggulan pariwisata dunia. Namun demikian, hingga saat ini pertumbuhan pariwisata di Indonesia belumlah dapat dikatakan menggembirakan, yaitu setidaknya karena belum seimbangnya jumlah wisatawan yang didapat dibandingkan dengan ketersediaan jumlah sumberdaya wisata yang tersebar di seluruh Indonesia, masih relatif rendahnya lama tinggal (length of stay) yang hanya 14 hari serta masih sangat relatif rendahnya jumlah pengeluaran belanja wisatawan selama di Indonesia, yaitu hanya sekitar USD 100 per hari. Hal tersebut dapat terlihat dari kontribusi sektor pariwisata dalam Produk Domestik Bruto (PDB) yang hanya 5,39%, dengan kontribusi pada lapangan kerja hanya 7,94% (Heriawan, 2004). Lebih lanjut, jika dibandingkan dengan dinamika pariwisata regional, maka pada tahun 2010 Indonesia hanya mendapatkan 7 juta wisatawan mancanegara, sedangkan Singapura memperoleh 9,2 juta wisatawan
2 mancanegara, Thailand 15,8 juta wisatawan mancanegara dan Malaysia 24,6 juta wisatawan mancanegara. Lebih lanjut data yang tersedia menunjukkan bahwa pertumbuhan wisatawan mancanegara ke Malaysia merupakan yang tertinggi di antara sesama negara ASEAN. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) kepariwisataan Indonesia diduga banyak pihak sebagai penyebab mandulnya kinerja kepariwisataan Indonesia. Di satu sisi, berbagai tapak dan wilayah destinasi wisata yang dimiliki oleh Indonesia dapat dikatakan belum dibenahi dan disiapkan untuk bisa masuk ke dalam pentas persaingan pariwisata dunia; bahkan berbagai kawasan konservasi yang meliputi 50 Taman Nasional, 75 Suaka Margasatwa, 14 Taman Buru, dan 22 Taman Hutan Raya yang dimiliki Indonesia pun hingga saaat ini masih belum mampu memainkan peranan penting dalam menangkap wisatawan mancanegara. Di sisi lain, berbagai destinasi dan kawasan wisata yang telah ada pun tidak menunjukkan adanya indikator pertumbuhan yang signifikan; baik dalam konteks kemantapan kualitas pembangunan wilayah maupun dalam konteks berbagai pembangunan kualitas lingkungan yang telah menjadi paradigma global yang juga harus menjadi perhatian dan dipenuhi oleh sektor pariwisata di Indonesia. Di antara sekian banyak destinasi wisata yang ada di Indonesia, maka Destinasi Wisata (DW) Cibodas yang terletak di Kawasan Wisata Bogor Puncak Cianjur (KW Bopunjur) adalah merupakan salah satu destinasi wisata yang penting dan perlu untuk diperhatikan. Proses pertumbuhan di wilayah ini adalah sangat penting bagi kepentingan konservasi nasional, sedangkan fungsi hidrolorologisnya adalah juga sangat penting bagi berbagai daerah di bawahnya, khususnya bagi Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Kebun Raya (KR) Cibodas dan Taman Nasional (TN) Gunung Gede Pangrango yang menjadi salah satu maskot (icon) wisata dan konservasi di DW Cibodas dan KW Bopunjur mempunyai sejarah penting dan posisi strategis bagi wilayah Jawa Barat maupun secara nasional. Kebun Raya Cibodas yang pembangunannya telah dirintis pada tahun 1830 yakni berupa kebun di belakang Istana Cipanas yang dilanjutkan dengan pengayaan tegakan Kina pada tahun 1852
3 oleh Johaness Elias Teysman, dapat dikatakan sebagai salah satu destinasi wisata tertua di Indonesia setelah KR Bogor yang dibangun pada tahun 1817. Pada tahun 1889, kawasan hutan di sekitar KR Cibodas pun telah dijadikan sebagai Cagar Alam (CA) Cibodas, yang setelah hampir 100 tahun kemudian (1980) ditingkatkan fungsinya menjadi Taman Nasional dengan nama TN Gunung Gede- Pangrango. Keberadaan dua kawasan konservasi (eksitu dan insitu) yang berada pada ketinggian 1300 meter-dpl tersebut telah menjadi pelengkap keindahan dan atraksi wisata di perkebunan teh yang telah dibangun di kawasan puncak sejak tahun 1728. Di satu sisi, sesungguhnya sejak puluhan tahun lalu DW Cibodas telah menjadi destinasi wisata yang tidak hanya menjadi maskot destinasi wisata di KW Bopunjur bagi populasi masyarakat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (bahkan Kerawang) saja melainkan juga telah dikenal secara nasional dan bahkan mancanegara. Namun di sisi lain, bukti empiris menunjukkan bahwa kawasan wisata ini tidak pernah tumbuh menjadi baik dan memenuhi harapan banyak pihak. Semakin meningkatnya kemacetan pada wilayah tersebut dari tahun ke tahun, khususnya pada akhir pekan dan musim liburan telah menjadi indikator penting tentang adanya “gangguan” yang signifikan pada dinamika sistem kepariwisataan di wilayah tersebut. Sesungguhnya, sejak awal tahun 60-an Presiden Soekarno telah mengkhawatirkan pesatnya pertumbuhan wisata dan dampak negatif yang terjadi di Kawasan Cibodas dan sekitarnya, serta telah pula memikirkan tentang pentingnya untuk penataan sebagai destinasi wisata. Namun demikian hingga saat ini, secara obyektif, KW Bopunjur tidak pernah menjadi tertata dengan baik dan benar. Pada tahun 1963, Presiden Soekarno telah mengeluarkan Perpres No. 13 Tahun 1963 tentang Penertiban Pembangunan Bangunan di Sepanjang Jalan antara Jakarta–Bogor–Puncak–Cianjur (Bopunjur) di luar batas-batas DKI Jakarta Raya, Daerah Swatantra Tingkat II Bogor dan Daerah Swatantra Tingkat II Cianjur. Dua aturan penting yang dinyatakan dalam Perpres tersebut adalah berupa keharusan adanya izin khusus dari Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga untuk pembangunan yang dilakukan 200 meter kiri kanan poros jalan Bopunjur
dan membuat rencana tata ruang kepariwisataan di wilayah tersebut. 4 Namun bahkan sampai dengan hampir 50 tahun kemudian kedua hal ini tidak dapat terwujudkan. Pada tahun 1983 Presiden Soeharto menerbitkan Kepres yang kemudian dikenal sebagai Kepres Penataan Ruang Wilayah Puncak, yaitu Kepres No. 48 Tahun 1983 tentang Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan Pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur Jalan Bopunjur di Luar Wilayah DKI Jakarta, Kotamadya Bogor, Kota Administratif Depok, Kota Cianjur dan Kota Cibinong. Kepres ini ditujukan untuk peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air serta flora dan fauna. Lebih lanjut, sejalan dengan mulai timbulnya masalah banjir di DKI Jakarta pada awal tahun 80-an, maka pada tahun 1985, Kepres No. 48 tersebut juga telah dilengkapi pula dengan Kepres No. 79 Tahun 1985 tentang Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak. Pada tahun 1999, telah pula dikeluarkan Keppres No. 114 tentang Penetapan Ruang Kawasan Bopunjur yang ditujukan untuk menjamin keberlangsungan konservasi air dan tanah, serta penanggulangan banjir bagi kawasan Bopunjur dan wilayah hilir nya. Adapun saat ini Peraturan Pemerintah RI No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional juga memasukkan Kawasan Bopunjur kedalam Kawasan Strategis Pariwisata Nasional. Sampai sekarang tidak ada satu institusi pun yang mempunyai data resmi tentang jumlah wisatawan yang mendatangi Kawasan Bopunjur dari tahun ke tahunnya. Namun bisa dipastikan bahwa jumlah wisatawan yang mendatangi kawasan ini adalah selalu meningkat. Kebijakan “buka-tutup” jalur jalan menuju Puncak yang telah diberlakukan sejak akhir tahun 90-an yang bertujuan untuk mengatasi kemacetan yang semakin panjang diakhir pekan dan musim libur dapat dijadikan sebagai salah satu indikator nyata tentang tingginya peningkatan jumlah pengunjung wisata di KW Bopunjur dari tahu ke tahun. Selain kemacetan dan peningkatan populasi penduduk di kawasan Jabodetabek, setidak-tidaknya ada dua kondisi sosial penting lainnya yang bisa dijadikan sebagai justifikasi untuk bisa dijadikan sebagai indikator tentang
5 terjadinya peningkatan jumlah pengunjung wisata ke KW Bopunjur dari tahun ke tahun, yaitu peningkatan pendapatan per kapita (dari 1300 USD pada era 80-an dan 90-an menjadi 3000 USD pada era 2000) serta tajamnya peningkatan penggunaan motor roda dua sebagai moda trasnportasi rakyat pada era 2000. Dengan pendapatan per kapita yang semakin baik, maka kemampuan masyarakat untuk mengkonsumsi jasa rekreasi yang dibutuhkannya tentu semakin baik pula, sedangkan dengan moda trasnportasi roda dua (motor) yang dimiliki menjadikan mobilitas masyarakat lebih tinggi; termasuk untuk mendatangi destinasi wisata pada setiap kesempatan waktu luang yang dimiliki. Jika di satu sisi bisa dikatakan bahwa laju peningkatan jumlah pengunjung adalah semakin meningkat, maka di sisi lain tampaknya kualitas rekreasi di KW Bopunjur cenderung terus menurun. Avenzora (2003) melaporkan bahwa kepuasan rekreasi wisatawan pada berbagai tapak rekreasi di KW Bopunjur hanyalah 19,3%, sedangkan secara empiris juga bisa dilihat bahwa berbagai fasilitas amenitas rekreasi dan wisata yang ada pada kawasan ini adalah selalu menjadi terlihat usang (out of date) sejalan dengan berjalannya waktu. Lebih lanjut, dalam konteks historis kawasan, bukti empiris menunjukkan bahwa Restoran Rindu Alam yang menjadi salah satu maskot fasilitas rumah makan di KW Bopunjur hingga sekarang masih tidak mampu meningkatkan performa amenitas dan kualitas pelayanannya secara signifikan. Adapun Hotel Safari Garden yang menjadi salah satu icon fasilitas akomodasi di kawasan ini pada dekade 80-an secara empiris terlihat telah menjadi lusuh tanpa adanya indikator re-investasi yang berarti. Bumi Perkemahan (Buper) Mandala Kitri yang dimiliki Pemetintah Daerah (Pemda) Kabupaten Cianjur, Taman Wisata (TW) Mandalawangi yang dikelola Koperasi Pegawai Negeri Indonesia (KPRI) Eidelweiss, TN Gunung Gede Pangrango yang dikelola Balai TNGGP dan KR Cibodas yang dikelola oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) harus dikatakan bahwa hingga saat ini masih belum menunjukkan performa kinerja yang signifikan dan kondusif untuk mencapai visi dan misi yang diemban oleh institusi pengelolanya. Jangankan untuk berbagai kebutuhan dan kepatutan elemen fisik dan elemen pelayanan yang patut terwujud sebagai indikator kinerja mereka, untuk kebutuhan
6 sanitasi wisatawan saja masih belum mampu dikelola dengan baik dan benar, baik dalam arti kondisi fasilitas sanitasi maupun rasio fasilitas sanitasi terhadap jumlah pengunjung. Di sepanjang jalur jalan Bopunjur, jumlah pedagang kaki lima setiap tahun semakin bertambah, sebaliknya keindahan alam (natural-scenery) yang seharusnya bisa menjadi atraksi yang memberikan kepuasan wisata dalam fase perjalanan menuju dan dari destinasi wisata adalah semakin terus menurun. Berbagai bangunan yang ada di sepanjang jalan jalur Bopunjur telah menutupi ruang pandang wisatawan untuk menikmati panorama alam pegunungan dan kebun teh yang seharusnya menjadi obyek dan atraksi wisata bagi pengunjung. Adapun keindahan dan kealamian kawasan DW Cibodas telah berubah menjadi lapangan parkir yang harus dikatakan tidak tertata dan diperburuk pula oleh kios pedagang yang menjamur dan tidak tertata serta tidak terencana aspek amenitas dan estetikanya. Berbagai retorika empiris tersebut di atas membuktikan bahwa apa yang dikhawatirkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1963 adalah telah terjadi dan terus terjadi dari tahun ke tahun di DW Cibodas dan KW Bopunjur. Ketika jumlah wisatawan terus meningkat, sedangkan kualitas jasa yang ditawarkan tidak mampu digubah dan dikelola untuk mampu mengeliminasi dampak negatif yang ditimbulkan, maka secara teoritis bisa dipastikan bahwa cepat atau lambat kualitas dan kepuasan rekreasi dan wisata pun pasti akan menurun. Lebih jauh, penurunan kualitas rekreasi dan wisata tersebut secara teoritis, pada waktunya, pasti juga akan menyebabkan turunnya nilai kesediaan membayar (willingness to pay) dari wisatawan terhadap berbagai jasa rekreasi dan wisata yang ditawarkan; yang kemudian akan berujung pada turunnya harga satuan jasa yang bisa ditawarkan kepada wisatawan. Jika dampak negatif beruntun (domino effect) di atas dibiarkan terus terjadi, maka bisa dipastikan bahwa para pihak (stakeholderss) penyedia jasa rekreasi dan wisata yang terdapat pada DW Cibodas dan KW Bopunjur akan semakin impoten untuk bisa memberikan kinerja terbaik sesuai yang diisyaratkan oleh paradigma pembangunan berkelanjutan yang telah mendunia; yang dalam sektor
7 pariwisata dikenal dengan terminologi ekowisata (ecotourism). Turunnya satuan harga jasa yang bisa ditawarkan kepada pengunjung tentu akan menyebabkan pendapatan usaha mereka akan semakin terbatas. Selanjutnya rendahnya pendapatan tentu akan menyebabkan siklus investasi akan semakin panjang dan kemampuan reinvestasi akan semakin rendah. Dalam kondisi seperti itu, maka dinamika turisme masal (mass tourism) tentunya tidak akan pernah bisa dihentikan, apalagi untuk diubah dan digubah menjadi suatu wujud kegiatan ekowisata yang telah menjadi spirit kepariwisataan dunia. Sebagai spirit dan roh dari pembangunan pariwisata, ekowisata telah mensyaratkan pentingnya untuk menegakkan 3 (tiga) pilar keberlanjutan atau sustainabilitas pada sektor pariwisata, yaitu pilar ekologi, pilar sosial-budaya dan pilar ekonomi. Setiap pembangunan pariwisata tidaklah hanya harus mampu untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologi dari tapak yang digunakannya, melainkan juga harus menjamin optimalnya fungsi ekologi dari setiap tapak yang terkait dengan kegiatan tersebut; termasuk wilayah yang menjadi rute perjalanan untuk mencapai tapak kegiatan wisata. Dalam ekowisata, keberlanjutan kehidupan sosial-budaya masyarakat pada destinasi dan sekitarnya bukan saja harus terjamin melainkan harus mampu menjadi subyek yang memberikan inspirasi dan meningkatkan makna serta kualitas bagi kehidupan masyarakat lokal itu sendiri maupun wisatawan. Demikian juga halnya dengan manfaat ekonomi yang tercipta dari suatu pembangunan ekowisata tidaklah hanya harus menjamin kesempatan pekerjaan, pendapatan serta kehidupan bagi masyarakat lokal tetapi juga harus mampu menumbuhkan keharmonisan dan peningkatan kualitas ruang kehidupan yang ada. Ketika berbagai Perpres dan Kepres seperti yang telah dipaparkan di atas ternyata tidak mampu mengatur dinamika yang terjadi sejak puluhan tahun yang lalu dan berbagai dampak negatif masih terus terjadi dan bertambah, maka mekanisme apakah yang mungkin akan bisa dipakai untuk mengeliminasi dan mengatasi berbagai dampak negatif kesemrawutan sektor pariwisata di DW Cibodas dan KW Bopunjur saat ini dan di masa yang akan datang?
8 Secara fisik, penataan ruang pada DW Cibodas dan KW Bopunjur dapat dikatakan sudah tidak mungkin lagi untuk dilakukan; kecuali hanya sebatas penetapan aturan mandul yang terpaksa harus dikeluarkan guna sekedar menunjukkan masih adanya keberadaan pemerintah sebagai regulator. Dalam konteks investasi, berbagai bangunan fisik yang telah terlanjur dibangun dengan investasi milyaran rupiah di kawasan ini mustahil untuk dipusokan; agar tapak- tapak bangunan tersebut bisa dihijaukan kembali sebagai ruang terbuka (open space) untuk mengoptimalkan fungsi ekologi kawasan. Dalam konteks sosial ekonomi, maka populasi penduduk yang telah meningkat tajam di kawasan tersebut (150.000 jiwa pada tahun 1999 meningkat menjadi 200.000 jiwa pada tahun 2009) adalah juga sudah tidak mungkin untuk direlokasi. Likuidasi investasi adalah terlalu mahal untuk mampu dibayar oleh pemerintah, demikian pula halnya dengan rekolasi populasi. Avenzora (2003) mengingatkan bahwa sejalan dengan adanya 5 (lima) fase kegiatan dalam setiap kegiatan wisata, maka pemaknaan ekowisata sebagai suatu produk ataupun pilihan manajemen (management option) seperti misalnya pemaknaan oleh Boo (1990) ataupun pemaknaan oleh Cebalos-Lascurian (1997) yang juga diadopsi oleh IUCN dari kegiatan wisata adalah pilihan pemaknaan yang perlu untuk dievaluasi. Dalam hal ini Cater dan Lowman (1994) juga telah mengkritisi pemaknaan ekowisata yang berorientasi pada tapak kegiatan tersebut sebagai suatu retorika dan ego lingkungan belaka, sama halnya dengan kritik dari Munt (1994) yang mengatakan pemaknaan demikian sebagai suatu cara kolonial untuk mengkesplorasi sumberdaya baru. Lebih lanjut, Avenzora menjelaskan bahwa pemaknaan ekowisata yang hanya berfokus pada karakter tapak destinasi wisata adalah tidak adil bagi berbagai wilayah yang dilalui dalam perjalanan menuju dan dari tapak destinasi tersebut. Ditegaskan, ekowisata harus dimaknai sebagai roh (spirit) dari segala bentuk kegiatan wisata; mulai dari ekowisata hutan (eco-forest tourism), ekowisata desa (eco-rural tourism), bahkan ekowisata kota (eco-city tourism).
9 B. Perumusan Masalah Menyadari tentang pentingnya pemaknaaan ekowisata sebagai suatu roh dan spirit bagi semua kegiatan wisata di berbagai karakteristik ruang terselenggaranya suatu kegiatan wisata, baik secara parsial ataupun secara utuh, maka berbagai persoalan ruang ekowisata yang terjadi di DW Cibodas maupun KW Bopunjur sebagaimana telah dipaparkan di atas menjadi semakin kompleks. Persoalan yang ada bukan lagi hanya mencakup aspek penataan ruang wisata melainkan juga harus mencakup karakter jasa wisata yang ditawarkan oleh rantai suplai (supply chain) maupun karakter dan pola perilaku wisata dari para wisatawan yang mengunjungi (demand chain) DW Cibodas secara khusus maupun KW Bopunjur secara umum. Sejalan dengan pola penggunaan ruang yang harus dikatakan sudah terlanjur diluar kaidah yang kondusif untuk mencapai hadirnya roh ekowisata secara optimal pada kawasan tersebut – yang bersamaan dengan sangat kecilnya potensi kemampuan pemerintah untuk melakukan suatu rekonsiliasi tataguna lahan secara maksimal pada wilayah itu – maka strategi dan proses pencapaian tegaknya pilar ekologi, pilar sosial-budaya dan pilar ekonomi secara optimum dalam kegiatan wisata pada DW Cibodas khususnya, serta KW Bopunjur umumnya menjadi semakin penting. Salah satu strategi yang potensial untuk diterapkan dalam proses pencapaian tegaknya berbagai pilar keberlanjutan tersebut adalah strategi penguatan kapasitas para pihak. Secara teoritis kiranya tidak terlalu sulit untuk dimengerti bahwa suatu penguatan kapasitas para pihak yang terlibat di dalam berbagai mata rantai kegiatan ekowisata dipercaya tidak hanya akan bisa mengatasi berbagai persoalan yang ada, tapi juga potensial untuk membentuk suatu kinerja baru yang optimum untuk menghasilkan berbagai manfaat bagi semua pihak. Untuk mewujudkan potensi teoritis tersebut, maka pertanyaan penting yang harus dijawab adalah bentuk penguatan kapasitas seperti apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh para pihak agar berbagai misi ekowisata yang perlu ditegakkan pada wilayah tersebut bisa dicapai secara bersama.
10 Pilar ekologi yang harus ditegakkan dalam kegiatan ekowisata haruslah tidak boleh hanya diartikan sebagai suatu persepsi untuk mencegah timbulnya degradasi ekologi, melainkan harus terwujud dalam tata nilai kognitif, sikap dan tindakan nyata yang mampu mencegah degradasi ekologi serta mampu menuju suatu restorasi ekologi atas berbagai degradasi yang telah terjadi. Sementara itu tidak ada keraguan para akademisi tentang berbagai manfaat yang bisa diambil dari ekowisata. Bahkan secara teoritis dapat dikatakan bahwa jika bisa dilaksanakan secara baik dan benar, maka ekowisata adalah akan menjadi suatu kegiatan ekonomi yang paling banyak manfaatnya dan sangat potensial untuk ramah terhadap lingkungan. Menyadari berbagai potensi yang bisa diharapkan dari suatu kegiatan ekowisata seperti yang telah dipaparkan di atas, maka berbagai kesemrawutan yang telah terjadi di DW Cibodas dan KW Bopunjur perlu diteliti secara detail guna mengenali dinamika yang terjadi; sehingga kemudian dicarikan solusi serta jalan keluarnya. Untuk mencoba menjawab berbagai tantangan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka serangkaian penelitian yang berorientasi untuk mendukung proses perencanaan peningkatan pembangunan ekowisata di DW Cibodas melalui strategi penguatan kapasitas para pihak telah dilakukan. Pembatasan ruang studi pada DW Cibodas dilakukan agar kompleksitas dinamika yang ada dapat dikenali secara lebih baik untuk kemudian dari berbagai hasil penelitian yang didapatkan maka diharapkan dapat menjadi pengetahuan awal untuk menemukan solusi dari kompleksitas dinamika wisata yang terjadi pada bagian ruang lainnya di KW Bopunjur. C. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui karakteristik dan sekaligus mengevaluasi kinerja para pihak yang terlibat dalam rantai suplai di Destinasi Wisata (DW) Cibodas; 2. Mengetahui karakteristik dan sekaligus mengevaluasi berbagai pola perilaku para pihak yang terlibat dalam rantai permintaan; 3. Mengetahui serta sekaligus mengevaluasi hubungan antar rantai nilai dari para pihak;
11 4. Merumuskan program penguatan para pihak yang perlu dilakukan untuk mencapai peningkatan pembangunan ekowisata Kawasan Cibodas melalui pendekatan dari bawah (bottoom up) dengan memperhatikan rantai nilai aspek–aspek suplai, permintaan dan para pihak. D. Sasaran Sasaran atau manfaat penelitian adalah mendukung terselenggaranya kegiatan ekowisata yang berkualitas di Kawasan Cibodas secara baik dan benar, yang mampu memberikan manfaat optimal bagi keberlanjutan ekologi, sosial- budaya dan ekonomi masyarakat maupun keberlanjutan manfaat finansial bagi para pengusaha, serta kepuasan optimum kepada wisatawan. Selanjutnya melalui penguatan kapasitas para pihak yang ada nantinya akan tercipta pula peningkatan permintaan aktual yang optimal dan loyal, serta terbangunnya ekowisata yang berkelanjutan di Cibodas yang bisa menjadi contoh bagi pembangunan dan pengembangan berbagai destinasi dan kawasan ekowisata lain. E. Ruang Lingkup Penelitian Untuk mencapai berbagai tujuan dan sasaran penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian dilakukan pada ruang lingkup kinerja para pihak dan perilaku pengunjung pada lokasi-lokasi sebagai berikut: 1. Destinasi Wisata (DW) Cibodas yang meliputi Kebun Raya (KR) Cibodas, Taman Nasional (TN) Gunung Gede Pangrango, khususnya pada tapak pelayanan Pintu Cibodas; 2. Desa Cibodas, Desa Cimacan dan Desa Rarahan yang masuk dalam Kecamatan Cipanas; 3. Tapak Wisata Agro (WA) Gunung Mas, Taman Safari Indonesia (TSI), Taman Wisata (TW) Matahari, Wana Wisata (WW) Curug Cilember, WW Curug Panjang, WW Curug Naga, TW Riung Gunung, Resort Lembah Pertiwi, Cansebu Amazing Resort and Camp, Melrimba Garden serta Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna; 4. Para pihak penyedia jasa akomodasi, rumah makan dan oleh-oleh di Kawasan Wisata Bopunjur; khususnya yang terdapat di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Mandalawangi.
12 F. Kerangka Pemikiran. Mempertimbangkan berbagai hal yang telah dipaparkan di muka, maka kerangka pemikiran yang dipergunakan dalam studi ini disandarkan pada suatu kerangka pemikiran perencanaan pariwisata yang berorientasi untuk merevitalisasi performa suatu kawasan wisata. Sejalan dengan tujuan dan sasaran yang diharapkan dari penelitian ini, maka kerangka berfikir proses revitalisasi yang dibutuhkan tersebut difokuskan untuk ditelaah melalui dinamika rantai nilai yang terdapat pada kawasan tersebut. Rangkaian pemikiran yang dilakukan tersebut adalah seperti terlihat pada Gambar 1. Membangun pengetahuan (Knowledge Building) Studi Pendahuluan
Studi Literatur
Evaluasi Kondisi Kekinian
Pariwisata Kebijakan Lingkungan Rantai
Suplai
Rantai
Permintaan
Kebijakan
Nasional
Rantai
Psrapihak
Kebijakan
Regional
Kebijakan
Lokal
Pembangunan
Berkelanjutan
Ekowisata ANALISIS DATA Formulasi Masalah & Sintesis
Penguatan
Kapasitas
Rantai Suplai
Penguatan Kapasitas
Rantai Permintaan
Penguatan Kapasitas
Para pihak
Opsi-opsi
Implementasi dan Strategi
Strategi Penguatan Kapasitas Para pihak Gambar 1 Kerangka pemikiran pengembangan para pihak ekowisata. 13 G. Kebaruan Banyak peneliti cenderung melakukan penelitian dalam bidang wisata selama ini menggunakan analisis rantai (chain analysis) melalui satu sisi pendekatan rantai pasok; seperti penelitian yang dilakukan Mitchell dan Phuc (2007) di Vietnam, FIAS dan OECD (2006) di Mozambik ataupun oleh Yusri (2010) di Indonesia, serta oleh Dross, Foster dan Thierstein (2006) di Munich. Kesemua penelitian tersebut membahas bagaimana suatu pasok wisata didistribusikan sampai kepada konsumen beserta nilai manfaat yang diperoleh masing-masing pihak yang terlibat dengan korbanan dan peranan yang diberikan. Penelitian-penelitian yang menekankan pentingnya rantai pasok dapat dikatakan melupakan suatu kenyataan bahwa tingkat keberhasilan pengembangan suatu produk, baik barang maupun jasa, sesungguhnya adalah tidak dapat ditentukan dari satu mata rantai saja, melainkan harus dari satu kesatuan nilai mata rantai yang utuh. Hal tersebut bukan hanya dalam konteks untuk mencapai suatu komprehensivitas analisis dan sintesis yang dilakukan melainkan juga sejalan dengan sifat jasa wisata serta karakter dan perilaku wisatawan; khususmya pada dinamika optimasi kepuasan oleh para wisatawan. Kecenderungan psikologis wisatawan yang selalu ingin mengoptimasi kepuasan dalam setiap kegiatan wisata yang dilakukan adalah selalu cenderung menimbulkan pola konsumsi jasa wisata yang sering menjadi tergolong berada diluar koridor arah penyediaan jasa pada awalnya atau bahkan berbeda sama sekali. Pergeseran pola dan perilaku konsumsi tersebut bukan hanya akan membuat terganggunya kinerja rantai pasok melainkan juga akan mengganggu fungsi ekologi, sosial budaya dan ekonomi yang menjadi pilar penting dalam pembangunan ekowisata. Dengan demikian karakteristik rantai permintaan menjadi sangat penting untuk diperhatikan dan bahkan menjadi salah satu pendekatan yang penting di dalam perencanaan ekowisata. Hal inilah yang merupakan kebaruan dari penelitian ini, yaitu melakukan evaluasi secara utuh atas nilai rantai yang ada dalam bisnis wisata di Kawasan Cibodas yang meliputi rantai suplai (supply chain), rantai permintaan (demand chain) dan rantai para pihak (stakeholders
14 chain) untuk memperoleh rantai nilai wisata (tourism value chain) sebagai dasar untuk merencanakan peningkatan kapasitas para pihak ekowisata di Kawasan Cibodas.
Download