BAB V KESIMPULAN Kritik sastra feminis merupakan

advertisement
124
BAB V
KESIMPULAN
Kritik sastra feminis merupakan kritik sastra yang berusaha menjelaskan
penggambaran perempuan dan menjelaskan potensi-potensi yang dimiliki perempuan
di tengah-tengah kekuasaan patriarki dalam karya sastra. Perspektif feminis
merupakan cara pandang yang menempatkan perempuan sebagai pusat dari
penelitian. Jadi, perempuan menjadi komponen penting dalam analisis kritik sastra
feminis, yang dilihat dari relasi gender dengan tokoh laki-laki dalam novel tersebut.
Analisis bab kedua meliputi deskripsi dan identifikasi tokoh. Dalam analisis
ini diketahui bahwa tokoh dalam novel CBK terbagi atas dua golongan yang
berlawanan, yaitu yang bersikap profeminis dan kontrafeminis. Adapun tokoh yang
berideologi feminis dalam novel CBK diwakili oleh salah satu tokoh perempuannya,
yaitu tokoh Jeng Tut. Tokoh tersebut merupakan cerminan dari perempuan yang
memiliki kesadaran adanya konstruksi sosial yang menyebabkan kaum perempuan
mengalami ketidakadilan karena dominasi seorang laki-laki di atas perempuan dan
berupaya mengadakan perlawanan terhadap suaminya untuk mendapatkan kesetaraan
gender.
Novel CBK tidak hanya menghadirkan tokoh perempuan yang mendukung ide
feminis, tetapi juga tokoh perempuan yang tidak mendukung ide feminisme seperti
Tinung. Saodah, dan Mpok Jene. Tokoh Tinung tidak sejalan dengan cita-cita feminis
125
yang mengutamakan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan karena
ideologi domestikisasi. Ia hanya ingin mendapatkan lelaki yang bisa membuat dirinya
lebih baik. Untuk itu, ia rela hidupnya didominasi dan bergantung kepada laki-laki,
yakni dengan menjadi perempuan simpanan yang bisa memberikan anak perempuan
kepada Tan Peng Liang. Hal itu dilakukannya agar bisa menjadi istri dari Tan Peng
Liang dan bisa menikmati harta serta kehidupan yang lebih layak tanpa harus menjadi
ca-bau-kan yang berganti pasangan seksual laki-laki setiap hari.
Adapun tokoh Saodah dan Mpok Jene merupakan tokoh yang ditentang kaum
feminis karena mereka memaksa Tinung untuk menjadi ca-bau-kan atau sebagai alat
pemuas nafsu laki-laki. Selain itu, ada juga tokoh Soetini atau ibu Tan Peng Liang
dari Semarang yang memegang teguh tradisi patriarki dan mengajarkan Tinung cara
menjadi istri yang baik. Selain itu, tokoh Nio Kat Nio, istri tua Tan Peng Liang dari
Semarang, juga tokoh yang ditentang kaum feminis karena ia pasrah dan tidak
melawan ketika ada perempuan lain yang merebut suaminya.
Tokoh laki-laki penentang feminisme adalah Tan Peng Liang dari Gang
Tamim Bandung yang dengan kekuasaan dan kekuatan ekonominya sering berbuat
sekehendak hati terhadap perempuan. Ada juga tokoh Tan Peng Liang dari Semarang
yang juga ditentang oleh kaum feminis karena menyakiti hati istri pertamanya yang
sedang sakit dengan memiliki perempuan lain tanpa seizin istri pertamanya.
126
Analisis bab ketiga merupakan analisis ketidakadilan gender yang dialami
tokoh perempuan. Pada novel CBK manifestasi ketidakadilan gender, salah satunya,
terlihat pada stereotipe yang melekat pada tokoh perempuan yakni perempuan
merupakan makhluk yang suka berhias diri, penuh daya tarik dan penggoda,
pemegang urusan domestik, dan menggantungkan hidup pada laki-laki. Stereotipe
yang melekat pada perempuan biasanya lebih rendah daripada stereotipe pada kaum
laki-laki sehingga perempuan menjadi inferior dan subordinatif di hadapan kaum
laki-laki.
Selain adanya stereotipe yang melekat pada perempuan, ketidakadilan gender
juga termanifestasikan dalam bentuk kekerasan terhadap perempuan yang
menyebabkan perempuan berada di bawah kekuasaan laki-laki. Adanya perbedaan
kekuasaan antara laki-laki dan perempuan menyebabkan seorang laki-laki bisa
berbuat semena-mena, bahkan dengan kekerasan. Kekerasan yang dialami dalam
novel CBK tersebut terjadi, baik pada lingkup domestik maupun publik. Pada lingkup
domestik, kekerasan terhadap perempuan muncul dalam bentuk kekerasan emosional.
Pada lingkup publik kekerasan terhadap perempuan muncul dalam bentuk kekerasan
emosional, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual. Kekerasan emosional terhadap
perempuan pada lingkup domestik berupa pengendalian hidup yang terjadi pada
tokoh Tinung, terutama setelah ia menjadi janda. Hal tersebut dilakukan oleh kedua
orang tua Tinung dan Saodah, saudara sepupunya. Adapun kekerasan emosional
terhadap perempuan pada lingkup ruang publik ialah tindakan pengucilan yang
127
dilakukan oleh masyarakat, perendahan yang dilakukan oleh ibu Bang Obar yang
menyebabkan Tinung tidak bisa berbuat apa-apa, dan setiap tamu yang datang
kepadanya menyebabkan ia hanya bisa bersikap pasrah. Kekerasan seksual yang
terjadi di ruang publik ialah ketika Tinung dijadikan jugun ianfu atau budak seks oleh
tentara Jepang yang menyebabkan ia menderita sakit kelamin.
Analisis pada bab empat merupakan analisis ide-ide feminis sebagai upaya
perjuangan tokoh perempuannya untuk melawan ketidakadilan gender. Adapun ideide feminis dalam novel CBK, antara lain, ialah perempuan harus mandiri dan mampu
menentukan nasibnya, serta perempuan harus maju dan punya harga diri. Melalui ideide feminis yang merupakan ide perwujudan dalam tokoh perempuan dalam novel
CBK tersebut diharapkan didapat kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Secara keseluruhan tokoh-tokoh di dalam novel CBK memperlihatkan adanya
sikap mendua. Di satu sisi terlihat adanya satu tokoh yang telah menyerukan ide-ide
feminis. Tampak tokoh Jeng Tut melawan ketidakadilan gender yang terjadi,
meskipun usahanya dilakukan perseorangan. Di pihak lain, ada beberapa tokoh-tokoh
yang mendukung patriarki, diantaranya ialah tokoh Tinung, Saodah, Nio Kat Nio,
Soetini.Tan Peng Liang dari Semarang, dan Tan Peng Liang dari Bandung.
Download