bab ii tinjauan pustaka

advertisement
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Jati
2.1.1 Klasifikasi, penyebaran dan syarat tumbuh
Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Tanaman ini
mempunyai nama ilmiah Tectona grandis Linn. f. Secara historis, nama tectona
berasal dari bahasa Portugis (tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki
kualitas tinggi . Menurut Sumarna (2001), dalam sistem klasifikasi, tanaman jati
mempunyai penggolongan sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Angiospermae
Sub-kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Verbenaceae
Genus
: Tectona
Spesies
: Tectona grandis Linn. f.
Tectona grandis L. f. tersebar di seluruh Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), Maluku dan Lampung. Pohon yang
dapat mencapai tinggi 45 m dengan panjang batang bebas cabang 15 – 20 m,
diameter dapat mencapai 220 cm, umumnya 50 cm, bentuk batang tidak teratur
dan beralur. Kayu teras berwarna coklat muda, coklat-kelabu, sampai coklatmerah tua atau merah-coklat. Kayu gubal berwarna putih atau kelabu kekuningkuningan. Tekstur kayu agak kasar dan tidak merata. Arah serat lurus atau
kadang-kadang agak terpadu. Permukaan kayu licin, kadang-kadang seperti
berminyak. Lingkaran tumbuh nampak jelas, baik pada bidang transversal
maupun radial, seringkali menimbulkan gambar yang indah. Kayu jati berbau
bahan penyamak yang mudah hilang (Martawijaya et al. 1981)
Pohon jati menggugurkan daunnya pada saat musim kemarau. Semakin
tinggi kadar kelembaban di atmosfir, maka semakin lama pohon jati dapat
mempertahankan dedaunannya agar tidak berguguran. Di Jawa umumnya
pengguguran daun jati terjadi di bulan Juni, selain karena cuaca juga tergantung
pada keadaan setempat dan umur pohon jati itu sendiri (Cordes 1992)
4
Jati tumbuh baik pada tanah sarang, terutama pada tanah yang mengandung
kapur. Jenis ini tumbuh di daerah dengan musim kering yang nyata, tipe curah
hujan C-F, jumlah hujan rata-rata 1200-2000 mm per tahun, pada ketinggian 0700 m dari permukaan laut (Martawijaya et al. 1981). Tempat tumbuh yang paling
bagus bagi pohon jati adalah di dataran rendah, bersuhu tinggi, di bawah 2000
kaki dml; di daerah-daerah yang tanahnya bekas endapan di bawah muka laut,
yang mengandung kapur; di daerah-daerah dengan perbedaan musim (hujan dan
kering) yang jelas (Pramoedibyo 1999). Pohon jati yang tumbuh dengan baik
dapat dilihat dari jumlah lingkaran tahunnya, yaitu sebanyak 30 sampai 40
lingkaran tahunan dengan ketebalan satu desimeter (Cordes 1992)
2.1.2 Sifat Fisik dan Kegunaan
Ditinjau dari sifat fisiknya, kayu jari mempunyai berat jenis antara 0,62-0,75
dan memiliki kelas kuat II dengan penyusutan hingga kering tanur 2,85%-5,2%
(Sumarna 2001). Sifat fisis kayu jati ditentukan oleh bentuk anatominya maupun
susunan kimia dari kayunya. Misalnya: mengenai berat jenisnya atau
kepadatannya, kekerasannya, daya lenting/pir, kelenturan dan kestabilannya
(Cordes 1992)
Karena sifatnya yang baik, kayu jati merupakan jenis kayu yang paling
banyak dipakai untuk berbagai keperluan, terutama di Pulau Jawa. Kayu jati
praktis sangat cocok untuk segala jenis kontruksi seperti tiang, balok dan gelagar
pada bangunan rumah dan jembatan, rangka atap, kosen pintu dan jendela, tiang
dan papan bendungan dalam air tawar, bantalan dan kayu perkakas kereta api,
mebel, alat-alat yang memerlukan perubahan bentuk yang kecil, kulit dan dek
kapal, lantai (papan dan parket) dan sirap. Jati merupakan kayu yang paling baik
untuk pembuatan kapal dan biasa untuk papan kapal, terutama untuk kapal yang
berlayar di daerah tropis. Kayu jati dapat juga dipakai untuk tong, pipa dan lainlain dalam industri kimia dan mempunyai daya tahan terhadap berbagai bahan
kimia. Selain itu, kayu jati dapat dipakai sebagai obat kolera dan kejang usus
(Martawijaya et al. 1981)
5
2.2 Penaksiran Produksi Kayu
Inventarisasi hutan biasanya dianggap sinonim dengan taksiran kayu. Di
dalam artian ini inventarisasi hutan adalah suatu usaha untuk menguraikan
kuantitas dan kualitas pohon-pohon hutan serta berbagai karakteristik areal tanah
tempat tumbuhnya (Husch 1987)
Kegiatan inventarisasi bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas
tentang potensi dan keadaan hutan. Untuk keperluan tersebut di Perum Perhutani
kegiatan inventarisasi hutan dilaksanakan dengan cara pengambilan contoh
sistematik dengan mempergunakan petak ukur lingkaran sebagai satuan contoh.
Kesalahan yang disyaratkan adalah maksimal 15%, yaitu penyimpangan dua kali
simpangan baku, tidak lebih dari 15% dari volume rata-rata. Berdasarkan
ketentuan ini maka intensitas sampling sekurang-kurangnya 2,5% dan tergantung
dari biaya, tenaga dan fasilitas yang tersedia (Direktorat Jenderal Kehutanan
1974)
Penaksiran volume suatu tegakan lebih dapat dilakukan dari pengukuranpengukuran yang dipandang mewakili seluruh tegakan daripada peninjauan
volume individu pohon-pohon. Tujuannya adalah untuk membuat suatu
penaksiran tegakan secara cepat tanpa mengukur semua pohon atau menentukan
volume-volumenya. Volume-volume yang diperoleh dalam cara ini bermanfaat
jika diperlukan penaksiran volume seluruhnya, tanpa dibagi data spesies, ukuran,
atau kelas-kelas kualitas (Husch 1987)
Departemen Kehutanan (1992) menjelaskan bahwa inventarisasi hutan
dengan sampling, khususnya untuk mengetahui potensi tegakan, dua informasi
penting yang diperlukan adalah luas rata-rata dan volume kayu per hektar.
Masalah yang muncul adalah apa atau bagaimana bentuk sampel yang akan
diukur serta beberapa jumlah pohon yang akan diambil sebagai sampel tersebut,
dan bagaimana memilihnya di lapangan. Dari sini lalu muncul apa yang disebut
“petak ukur” dan cara menempatkannya. Untuk hutan alam klimaks atau hutan
tanaman yang sudah tua, biasanya diambil luas petak ukur lingkaran 0,1 ha, yaitu
dengan jari-jari 17,8 m. Untuk menghindari kesulitan penepatan sampel secara
acak (random), di kehutanan biasanya dipakai penepatan sampel sistematik, yaitu
penepatan sampel yang dilakukan menurut aturan dengan keajegan tertentu, yang
6
ditetapkan sebelumnya. Dari segi statistik, penepatan sampel secara sistematik ini
tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, rumus-rumus yang dipakai dalam
sampling sistematik ini diambil dari rumus penepatan sampel secara acak. Untuk
inventarisasi hutan, penepatan sampel secara sistematik mempunyai beberapa
kelebihan dibanding dengan penepatan secara random, sebagai berikut:
1. Pelaksanaannya lebih cepat dan lebih mudah
2. Letak sampel dijamin lebih tersebar merata diseluruh bagian populasi
3. Dapat memberi manfaat lain, misalnya untuk pemetaan atau stratifikasi potensi
tegakan.
2.3 Daur
Daur adalah periode waktu yang diperlukan untuk pembentukan dan
pertumbuhan tegakan hutan sampai masak tebang dalam kondisi tertentu (Davis
1966). Menurut Simon (1993), daur atau rotasi adalah suatu periode dalam tahun
yang diperlukan untuk menanam dan memelihara suatu jenis pohon sampai
mencapai umur yang dianggap masak untuk keperluan tertentu.
Istilah daur mempunyai makna suatu jangka waktu antara waktu penanaman
hutan sampai hutan tersebut dianggap masuk untuk dipanen. Konsep daur dipakai
untuk pengelolaan hutan seumur. Untuk hutan tak seumur, istilah yang
mempunyai arti sama adalah siklus tebang (cutting cycle).
Lahirnya istilah daur berkaitan erat dengan adanya konsep hutan normal.
Secara ideal, hutan normal akan terdiri atas kelompok tegakan dari semua umur
yang mempunyai potensi sama, mulai dari umur 1 tahun sampai akhir daur. Oleh
karena itu, menentukan panjang daur merupakan salah satu faktor kunci dalam
pengelolaan hutan seumur. Sesuai dengan definisinya, masalah penentuan panjang
daur sangat berkaitan erat dengan cara menentukan waktu yang diperlukan oleh
suatu jenis tegakan untuk mencapai kondisi masak tebang, atau siap dipanen.
Lamanya waktu tersebut bergantung pada sifat pertumbuhan jenis yang
diusahakan, tujuan pengelolaan, dan pertimbangan ekonomi. Dari sinilah lahir
beberapa macam atau cara dalam menentukan panjang daur (Departemen
Kehutanan 1992)
7
Menurut Osmaston (1968), faktor-faktor yang mempengaruhi lamanya daur
adalah sebagai berikut:
1. Tingkat kecepatan pertumbuhan tegakan, yang tergantung pada jenis pohon,
lokasi tempat tumbuh serta intensitas penjarangan.
2. Karakteristik jenis, dimana harus diperhatikan umur maksimal secara alami,
umur menghasilkan benih, umur kecepatan tumbuh terbaik dan umur kualitas
kayu terbaik.
3. Pertimbangan ekonomi, dimana harus memperhatikan ukuran yang dapat
diperoleh.
4. Respon tanah terhadap penggunaan pembukaan lahan yang berulang-ulang, hal
ini erat hubungannya dengan batuan induk dan pelapukan tanah.
Departemen Kehutanan (1992) menyatakan bahwa ada lima macam daur,
sebagai berikut:
1. Daur fisik
Yaitu jangka waktu yang berhimpitan dengan periode hidup suatu jenis untuk
kondisi tempat tumbuh tertentu, sampai jenis tersebut mati secara alami.
Kadang-kadang juga didefinisikan sama dengan umur, sampai pohon tersebut
masih mampu menghasilkan biji yang baik untuk melakukan permudaan. Jadi,
daur ini tidak mempunyai hubungan yang erat dengan nilai ekonomi suatu
hutan.
2. Daur silvikultur
Yaitu jangka waktu selama hutan masih menunjukkan pertumbuhan yang baik,
dan dapat menjamin permudaan sesuatu, dengan kondisi yang sesuai dengan
tempat tumbuhnya. Daur silvikultur sangat dekat atau hampir mirip dengan
daur fisik. Daur silvikultur pada umumnya sangat panjang dan mempunyai
batas yang amat lebar.
3. Daur tehnik
Yaitu jangka waktu perkembangan sampai suatu jenis dapat menghasilkan
kayu atau hasil hutan lainnya, untuk keperluan tertentu. Untuk suatu jenis, daur
fisik atau panjang bergantung pada tujuan pengelolaannya. Misalnya, daur
untuk kayu bakar dan pulp pada umumnya pendek, tetapi daur untuk kayu
pertukangan, sering kali amat panjang.
8
4. Daur volume maksimum
Yaitu jangka waktu perkembangan suatu tegakan yang memberikan hasil kayu
tahunan terbesar, baik dari hasil penjarangan maupun tebangan akhir. Daur ini
merupakan perkembangan yang terpenting dan paling banyak dipakai di
lapangan, baik secara langsung atau tidak langsung. Panjang daur volume
maksimum ini berhimpitan dengan umur tegakan pada waktu riap rata-rata
tahunan (MAI, mean annual increment) mencapai maksimum.
5. Daur pendapatan maksimum
Daur ini juga dikenal sabagai daur “bunga hutan” maksimum (the highest
forest rental), yaitu daur yang menghasilkan rata-rata pendapatan bersih
maksimum. Disini, pendapatan bersih dihitung dari hasil penjarangan dan hasil
akhir, setelah dikurangi dengan seluruh biaya. Daur ini pada umumnya hampir
sama panjang dengan daur volume maksimum. Rata-rata pendapatan tahunan
bersih diperoleh dari total pendapatan bersih dibagi dengan panjang daur.
6. Daur finansial
Yaitu daur yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan maksimum dalam
nilai uang. Di kehutanan, keuntungan dapat dilihat dari dua sudut pandang
yang berbeda, yaitu dari nilai harapan lahan (land expectation value) dan dari
hasil finansial.
2.4 Nilai Harapan Lahan
Nilai harapan lahan adalah nilai yang didasarkan pada pendapatan bersih
yang dapat diperoleh dari suatu lahan, dihitung pada tingkat bunga tertentu. Di
kehutanan, pendapatan tidak diperoleh pada setiap tahun, melainkan secara
periodik pada tahun-tahun tertentu. Oleh karena itu, pendapatan untuk waktu yang
akan datang perlu didiskonto pada tahun perhitungan.
Penentuan daur finansial optimal dalam kajian ini didekati dengan nilai
finansial berdasarkan pendekatan Nilai Harapan Lahan. Pendekatan ini
dikemukakan oleh Davis (1966). Rumus yang digunakan, sebagai berikut:
9
Keterangan : Se
a
w
i
= Nilai Harapan Lahan (Rupiah/hektar)
= Hasil bersih panen/penebangan akhir daur (Rupiah)
= Daur (Tahun)
= Biaya atas modal (Persen)
Menurut Davis (1966), nilai harapan lahan baru sebatas nilai lahan kosong.
Oleh karena itu, nilai lahan dengan tegakan yang tumbuh di atasnya dapat
dihitung dengan rumus:
Keterangan: PNW = Present Net Worth/Nilai keuntungan bersih saat ini
NR = Nilai pendapatan bersih tegakan (yang dipanen nanti)
SEV = Nilai harapan lahan/Nilai lahan kosong
Menurut Chapman dan Meyer (1947), faktor-faktor yang mempengaruhi
nilai tegakan, sebagai berikut:
1. Jenis pohon, kualitas, ukuran dan kerapatan tegakan.
2. Kemudahan untuk dicapai (aksesibilitas).
3. Persaingan permintaan akan kayu dengan jumlah penjualan kayu dan jumlah
jenis kayu lain yang tersedia.
4. Permintaan pasar.
5. Bentuk dari penjualan kayu.
6. Jangka waktu penjualan.
Menurut Haeruman (1977), masalah yang timbul sewaktu mengadakan
penilaian stumpage, sebagai berikut:
1. Pengaruh ketidaktelitian dalam penentuan harga jual dan ongkos produksi.
2. Pengaruh perhitungan volume terhadap biaya per unit yang diturunkan dari
biaya-biaya tetap.
3. Penerapan keadaan pasar atau tawar-menawar, karena keadaan keyataan pasar
adalah validitas terakhir.
Menurut Davis (1966), terdapat tiga dasar untuk melakukan penilaian
tegakan, sebagai berikut:
1. Nilai biaya, yang didasarkan kepada biaya historis, pemindahan tempat dan
pemulihan.
10
2. Nilai pendapatan, yang diestimasi sebagai nilai sekarang dari keseluruhan
pendapatan di masa yang akan datang atau penghasilan lain yang diharapkan
dari suatu pemulihan.
3. Nilai pasar, harga pasar adalah sebagai pedoman untuk penilaian hutan yang
merupakan perbandingan yang sangat penting.
2.5 Biaya
Menurut
Lembaga
Penelitian
Ekonomi
Kehutanan
(1964),
biaya
didefinisikan sebagai semua pengorbanan tenaga dan material selama satu periode
dalam suatu perusahaan. Biaya dibagi dalam dua bagian yaitu biaya tetap dan
biaya variabel. Biaya tetap tidak tergantung pada tingkat kegiatan perusahaan,
artinya biaya tersebut tidak dipengaruhi oleh naik atau turunnya kegiatan
perusahaan sedangkan biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah sesuai
dengan naik turunnya kegiatan perusahaan (Slot dan Minnaar 1995)
Beberapa faktor yang mempengaruhi atau menentukan biaya menurut Elias
(1987), adalah sebagai berikut:
1. Besarnya kapasitas produksi dari bermacam-macam alat produksi yang
digunakan untuk memproduksi barang.
2. Nilai produksi barang
3. Lamanya pemakaian kekayaan yang diperlukan untuk memproduksi barang
tersebut.
4. Harga dari kekayaan tersebut.
2.6 Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan untuk meneliti kembali suatu analisis
kelayakan proyek, agar dapat melihat pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan
yang berubah atau ada suatu kesalahan dalam dasar perhitungan biaya-manfaat.
Analisis kepekaan (sensitivitas) adalah suatu teknik analisis yang menguji secara
sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terjadi
kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang dibuat dalam perencanaan. Hal ini
dibutuhkan dalam analisis proyek, biasanya didasarkan pada proyek yang
mengandung banyak ketidakpastian dan perubahan yang akan terjadi di masa
11
yang akan datang, proyek dapat berubah-ubah sebagai akibat empat permasalahan
utama, sebagai berikut:
1. Perubahan harga jual produk
2. Keterlambatan pelaksanaan proyek
3. Kenaikan biaya
4. Perubahan volume produksi
Jadi, analisis kepekaan dilakukan untuk melihat sampai seberapa persen
penurunan akan peningkatan faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan
perubahan dalam kriteria investasi yaitu dari layak menjadi tidak layak
dilaksanakan (Gittinger 1986).
Download