Biaya Produksi Tinggi Jadi Kendala Rabu, 30 Desember 2009 | 03:45 WIB Jakarta, Kompas - Pengembangan usaha di sektor kelautan dan perikanan terhambat tingginya biaya produksi dan pendanaan. Karena itu, pemerintah akan memudahkan akses terhadap bahan bakar minyak dan kredit. Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan Syamsu Maarif memaparkan hal itu di Jakarta, Selasa (29/12), dalam seminar ”Bedah Program Kerja 100 Hari DKP”. ”Tingginya biaya jadi kendala produksi dan peningkatan pendapatan nelayan,” ujarnya. Komponen biaya produksi, antara lain, adalah bahan bakar minyak, pakan, dan retribusi perikanan oleh pemerintah daerah. Untuk menekan harga pakan, DKP mengusulkan penghapusan pajak pertambahan nilai impor bahan baku sarana produksi perikanan budidaya. Alasannya, pakan ikan dan udang bergantung pada komponen impor, seperti bungkil kedelai, tepung terigu, jagung, dan gandum. Kemudahan akses terhadap BBM pun perlu ditingkatkan. Menurut Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi DKP Soen’an H Poernomo, kebutuhan BBM nelayan 2,4 juta kiloliter, tetapi kuota BBM bersubsidi hanya 1,2 juta kiloliter. Karena itu, DKP akan berkoordinasi dengan Pertamina terkait kuota. Terkait pendanaan, menurut Syamsu, dari total dana kredit usaha rakyat 2009, daya serap nelayan dan pembudidaya ikan di bawah 5 persen. Hal ini karena prosedur pengajuan kredit rumit dan perlu ada jaminan. ”Tiga skema peningkatan pendapatan nelayan dan pembudidaya ikan adalah bantuan sosial, pemberdayaan, dan pembiayaan,” kata dia. Nilai ekonomi potensi perikanan di Indonesia 31,935 miliar dollar AS. Produksi perikanan tangkap Indonesia peringkat keempat dunia setelah China, Peru, dan Amerika Serikat. Adapun perikanan budidaya di urutan ketiga setelah China dan India. Tahun 2009 kontribusi produk domestik bruto perikanan 2,85 persen dari PDB nasional. Adapun produksi perikanan 10 juta ton, nilai ekspor 2 miliar dollar AS. Rata-rata pendapatan nelayan atau pembudidaya ikan Rp 1 juta per orang tiap bulan. Ketua Umum Masyarakat Perikanan Nusantara Shidiq Moeslim menyatakan, pembangunan di sektor kelautan dan perikanan kurang terencana dan berorientasi jangka pendek. Akibatnya, target produksi, ekspor, dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan sulit tercapai. Ekspor Di kesempatan terpisah, Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung mengatakan, mulai 2010 Indonesia berencana mengekspor ikan tuna ke Iran. Untuk tahap awal, ditargetkan ekspor produk daging tuna setengah matang (precooked loin) 2.000 ton. ”Awal 2010, kami upayakan (ekspor) mulai jalan. Ditargetkan, sekitar 2.000 ton tuna precooked loin bisa dipasok ke Iran. Prospek lebih besar sangat terbuka,” ujar Saut. Namun, ada kendala dalam memasuki pasar Iran, yakni terkait cara pembayaran. Mekanisme pembayaran melalui letter of credit (L/C) sulit diterapkan, sebagai dampak sanksi Pemerintah AS kepada Iran. Menurut Saut, alternatif pembayaran dapat dengan telegraphic transfer. Ekspor hasil perikanan ke Iran tahun 2008 sebesar 1 juta dollar AS atau naik 74 persen dibandingkan 2007, sebesar 260.000 dollar AS. Perluasan pasar ekspor perikanan mulai dikembangkan 2009. Pasar alternatif tujuan ekspor, yakni Timur Tengah, Eropa Timur, Asia Tengah, dan Afrika. Ketua I Asosiasi Tuna Indonesia Edy Yuwono menyatakan, perluasan pasar perikanan akan dapat meningkatkan lapangan kerja, dan nilai ekspor. (LKT/evy)