BAB II

advertisement
13
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Multi Level Marketing
2.1.1 Multi Level Marketing (MLM)
Multi Level Marketing adalah salah satu metode dari perusahaan atau
pabrik (produsen) untuk
memasarkan dan mendistribusikan secara mandiri
(direct selling), tanpa ada campur tangan dari perusahaan. Target penjualan
ditentukan sepenuhnya oleh distributor independen dan jaringan penjual langsung
yang dikembangkannya. Definisi dari karakter direct selling adalah sebagai
aktivitas pemasaran yang menyertakan kontak antara pembeli dan wiraniaga di
lokasi selain toko retail (retail store). Sedangkan definisi menurut Asosiasi
Perdagangan dan Industri di Washington DC, direct selling merupakan metode
distribusi dari konsumen barang dan jasa melalui kontak personal (penjualan ke
pembeli) tidak dilokasi bisnis yang tetap (Direct Selling Education Foudation,
1992). Menurut Dewanti (2007) dalam menjalankan direct selling tersebut,
biasanya sebuah perusahaan menggunakan 2 (dua) cara, yaitu:
14
a. Single Level Marketing (Pemasaran Satu Tingkat), yang maksudnya
adalah :
Metode pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem Penjualan Langsung
melalui program pemasaran berbentuk satu tingkat, dimana Mitra Usaha
mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan
barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri.
b.
Multi Level Marketing (Pemasaran Multi Tingkat), yang maksudnya
adalah :
Metode pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem Penjualan Langsung
melalui program pemasaran berbentuk lebih dari satu tingkat, dimana
mitra usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari
hasil penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri dan
anggota jaringan di dalam kelompoknya (www.apli.or.id).
MLM adalah jalur alternatif bagi perusahaan untuk mendistribusikan barang dan
jasanya ke pasaran (jalur distribusi yang lain termasuk supermarket, toko retail, door to
door sales, dan lain-lain).
Ada beberapa alasan bagi perusahaan memilih sistem
pemasaran MLM menurut Pranadjaja (www.BestHome BizNetwork.com, 2005) antara
lain :
15
1. Biaya overhead yang rendah
Tidak seperti perusahaan retail, perusahaan MLM tidak perlu
mengalokasikan dana yang besar dalam advertising untuk menarik
konsumen. Sebagai penggantinya, dana dialihkan untuk memberikan
komisi bagi distributor yang telah memasarkan produk ke konsumen.
Selain itu, perusahaan hanya perlu memberikan komisi bagi distributor
berdasarkan hasil, yaitu dari persentase dari produk yang terjual.
2. Penetapan harga jual yang lebih mudah
Penetapan harga pada perusahaan MLM berbeda dengan marketing pada
umumnya (sistem pemasaran konvensional). Perbedaan yang paling
mendasar adalah pada harga jual produknya. Pada sistem pemasaran
konvensional harga jual sampai pada konsumen ditetapkan sebagai
berikut :
Harga Jual Produk =
Harga Pokok Produksi + Keuntungan Pabrik + Keuntungan Distributor Besar +
Keuntungan Agen +Keuntungan Grosir + Keuntungan
Pengecer
Harga tersebut akan semakin meningkat apabila perusahaan mengadakan
promosi melalui televisi, radio, koran, majalah dan lain-lain. Sedangkan
pada sistem MLM , harga jual sampai pada konsumen ditentukan sebagai
berikut :
16
Harga Jual
= Harga Pokok Penjualan
Dimana pada dasarnya konsumen yang bertindak sebagai distributor
(Anonim, 2002:7).
3. Biaya overhead distribusi yang rendah
Tipe distribusi melalui retail menggunakan serangkaian regional, negara,
kota dan retailer lokal untuk mendistribusikan barang-barang. Masingmasing perlu mendapatkan keuntungan dan melakukan mark up harga
dari barang.
Jalur distribusi non MLM :
Manufacturer
Transporter
Wholesaler
Retail
Advertise
Customer
Jalur distribusi MLM :
Manufacturer
Representative
Customers
Sumber : www.BestHome BizNetwork.com
Gambar 2.1 Jalur Distribusi non MLM dan Jalur Distribusi MLM
Dengan sistem penjualan model MLM, perusahaan dapat memotong jalur
distribusi dalam penjualan konvensional. Karena tidak melibatkan
distributor/agen
tunggal/grosir/sub
agen,
tetapi
langsung
mendistribusikan produk kepada distributor independen yang bertugas
17
sebagai pengecer atau penjual langsung pada konsumen. Biaya
pemasaran dan distribusi (transportasi, sewa gudang, gaji dan komisi
tenaga penjualan yang total mencapai 60% dari harga jual) dapat
dialihkan kepada distributor independen dengan sistem berjenjang (level)
yang umumya disesuaikan dengan pencapaian target penjualan atau
omset distributor yang bersangkutan (Harefa, 1999).
4. Tingkat pertumbuhan yang tinggi
Perusahaan MLM yang diatur dengan baik dapat berkembang dengan
tingkat pertumbuhan 20%, 50% bahkan 100% tiap bulan.
5. Tim sales dan marketing yang termotivasi
Ada banyak sekali produk yang membanjiri pasaran. Dibutuhkan dana
marketing yang besar untuk dapat memperoleh tempat dibenak
konsumen. Selain itu banyak produk yang membutuhkan penjelasan yang
rinci dibandingkan dengan yang dapat dilakukan di iklan televisi selama
30 detik. Bila perorangan, MLM dapat memberikan kesempatan untuk
mempunyai sumber penghasilan tambahan yang jika disertai dengan
kerja keras dapat menjadi sumber penghasilan yang cukup signifikan.
Distributor secara detail dapat menjelaskan pada konsumennya mengenai
produk yang dipasarkan, menjawab pertanyaan konsumen dan dapat
mengajak konsumennya untuk ikut memasarkan produk (merekrut).
18
Sistem pemasaran dengan MLM berbeda dengan sistem pemasaran
konvensional. Pada tabel berikut dijelaskan mengenai perbedaan sistem
pemasaran konvensional dengan sistem MLM :
Tabel 2.1 Perbedaan Sistem Pemasaran Konvensional dan Sistem Pemasaran
Multi Level
Pemasaran Konvensional
Multi Level Marketing
Banyak perantara.
Tidak ada perantara.
Modal besar.
Modal relatif kecil.
Tidak perlu tempat khusus. Tidak
Harus ada tempat khusus.
memerlukan fasilitas kantor.
Waktu dan tempat terbatas.
Waktu dan tempat tidak terbatas.
Penjualan diutamakan.
Pembinaan group diutamakan.
Pengembangan diri terbatas.
Pengembangan diri tidak terbatas.
Memerlukan stok barang.
Tidak memerlukan stok barang.
Tanpa keahlian dan pendidikan
Perlu keahlian dan pendidikan khusus.
tertentu, karena ada pelatihan.
Sumber : PT. Foreverindo Insanabadi, 2002
Sesungguhnya direct selling
tidak sekedar bentuk komunikasi pribadi
antar individu, melainkan 2 (dua) individu yang potensial menjual dan potensial
membeli bertukar informasi dengan kemungkinan menghasilkan satu sama lain
keuntungan transaksi (penjualan/pembelian). Karakteristik direct seling menurut
Peterson (1996), antara lain :
19
1.
Bila agen penjual juga sebagai konsumen produk.
2.
Bila Multi-level.
3.
Bila agen penjual menggunakan pengetahuan produk untuk menjual.
4.
Bila pembelian diantar dan pembayaran dapat langsung diperoleh.
5.
Bila berorientasi transaksi atau relasi.
6.
Bila agen penjual dapat bekerja secara part time maupun full time.
7.
Bila usaha penjualan dilakukan di rumah atau di tempat lain.
8.
Bila diikuti format party plan.
9.
Bila pelaksanaan sebelumnya ada pemberitahuan (undangan)
Peran tenaga penjual (sales person) dalam meningkatkan pertumbuhan
penjualan telah lama menjadi salah satu strategi pemasaran. Keberhasilan perusahaan
dalam mempertahankan hasil penjualan tidak lepas dari peran para tenaga penjual.
Dengan peran tenaga penjual perusahaan mampu menjalin hubungan yang lebih dekat
dan lebih baik dengan konsumennya. Oleh karena itu, perusahaan perlu menekankan
pada aspek peningkatan kemampuan para tenaga penjualannya. Dengan berkembangnya
kinerja tenaga penjualan, diharapkan kinerja perusahaan juga ikut berkembang. Hal ini
sejalan dengan pendapat Kotler (1997) yang menyatakan bahwa peran tenaga penjual
sebagai wakil perusahaan yang berhubungan langsung dengan para konsumen, sehingga
dapat mempengaruhi pelanggan untuk membeli atau tidak.
Melihat dari sistem yang dikembangkan dalam bisnis Multi Level Marketing
tersebut diatas, maka dapat dilihat bahwa peran tenaga penjual sangatlah penting dalam
melakukan serangkaian proses penjualan. Tenaga penjual dalam sistem pemasaran
20
MLM disebut sebagai distributor. Distributor diartikan sebagai orang yang telah
tergabung dengan perusahaan MLM. Ada 2 tipe distributor yaitu distributor pasif dan
distributor aktif. Distributor pasif adalah orang yang bergabung dengan perusahaan
MLM namun hanya untuk mengkonsumsi produknya saja sedangkan distributor aktif
adalah orang bergabung dengan perusahaan MLM selain untuk mendapatkan produknya
juga untuk menjalankan bisnis sesuai dengan sistem yang berlaku dalam perusahaan
tersebut. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan distributor adalah distributor aktif
(selanjutnya disebut distributor saja). Distributor berperan dalam melakukan promosi
terhadap produk dan penginformasian bisnis MLM (mengembangkan jaringan) sesuai
dengan sistem yang diberlakukan perusahaan.
Distributor adalah penentu keberhasilan perusahaan MLM karena dalam bisnis
MLM ini penjualan dilakukan secara face to face dan tidak di lokasi retail yang tetap,
sehingga kesetiaan terhadap seorang distributor dan kemampuan berkomunikasi secara
baik , tepat dan benar sangat dibutuhkan untuk membangun hubungan yang baik dan
berkelanjutan dengan para pelanggan (Soeratman,2002). Multi Level Marketing
mengandalkan jaringan distribusi yang terdiri atas individu-individu dengan motivasi
tinggi untuk maju di dalam memasarkan produknya. Untuk itu distributor harus
mempunyai
kemampuan
untuk
memperluas
jangkauan
distribusinya
serta
pengembangan diri sebagai wiraswasta yang handal (Mulyati,1997).
Tanpa dukungan dari distributor, maka perusahaan MLM akan sulit untuk
memasarkan produknya dan pada akhirnya kelangsungan hidupnya tidak akan bertahan
lama. Adanya proses pemasaran yang independent oleh distributor itu sendiri tanpa
21
campur tangan dari perusahaan maka karakteristik distributor harus mendapat perhatian.
Barker (1999) menyatakan bahwa karakteristik tenaga penjualan yang efektif memiliki
motivasi dari dalam dirinya untuk mengerjakan yang terbaik, mempunyai semangat
unutk menghasilkan prestasi, berkembang, terstimulasi dan mampu mengatasi tantangan
dari pekerjaannya. Distributor MLM yang memiliki karakteristik seperti di atas adalah
distributor yang efektif, mereka mengalokasikan waktu, tenaga dan pikiran mereka
untuk terus mempromosikan produk dan menginformasikan bisnisnya.
Salah satu keputusan yang penting dalam karier Network Marketing (yang
kadang-kadang disebut MLM) percaya atau tidak adalah keputusan memilih perusahaan
yang tepat bagi Distributor untuk bekerja. Perusahaan memainkan peran yang dramatis
sehubungan dengan kesuksesan Distributor Network Marketing (Gage,2004). Dukungan
dari perusahaan berupa reputasi perusahaan, produk yang berkualitas dan business plan
yang realistis akan memberikan kemudahan bagi distributor untuk menjalankan bisnis
mereka. Kemudahan tersebut akan berpengaruh terhadap kinerja distributor.
Selain karakteristik distributor dan dukungan perusahaan, dalam industri MLM
perlu adanya sebuah organisasi pembelajaran agar setiap distributor mampu
melaksanakan kerja dengan baik. Organisasi pembelajaran (learning organization)
adalah organisasi yang mendukung kegiatan atau proses pembelajaran bagi semua
anggota dan secara terus-menerus mengadakan perubahan. Oleh karenanya organisasi
tersebut harus mampu mendesain dan menciptakan suatu organisasi yang mampu
beradaptasi, berubah, berkembang dan mengubah dirinya untuk menanggapi kebutuhan,
harapan dan aspirasi orang-orang baik di dalam maupun di luar organisasi (Pedler et al,
22
1991 dalam Ariani, 2002). Dalam bisnis MLM organisasi pembelajaran akan membantu
distributor untuk mebuat harapan mereka menjadi kenyataan dengan memberikan
pendidikan bagi anggotanya.
2.2
Kepuasan
Banyak ahli yang memberikan definisi mengenai kepuasan pelanggan. Menurut
pakar pemasaran Kotler (2000) menyatakan bahwa
“Kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah
membandingkan kinerja (atau hasil) yang ia rasakan dibandingkan dengan
harapannya”. (Arief, 2006: 167)
Menurut Richard F. Gerson (1993: 150), menyatakan
”Kepuasan pelanggan bahwa harapannya telah terpenuhi atau terlampaui”.
Sedangkan menurut Lovelock (2005: 96):
”Kepuasan pelanggan adalah reaksi jangka pendek pelanggan terhadap kinerja
jasa tertentu”.
Dari pendapat para pakar tersebut dapat penulis dapat mengambil kesimpulan
bahwa secara umum pengertian kepuasan atau ketidak puasan pelanggan dilihat dari
kesesuaian antara harapan (expectation) pelanggan dengan persepsi, pelayanan yang
diterima (kenyataan yang dialami).
•
Jika kinerja yang dirasakan dibawah harapan, maka akan
menciptakan ketidakpuasan.
•
Jika kinerja yang dirasakan sesuai dengan harapan, maka akan
menciptakan kepuasan.
23
•
Jika kinerja yang dirasakan melampaui harapan, maka akan
menciptakan rasa puas dengan tingkat yang lebih tinggi (sangat
puas).
2.2.1
Kepuasan Hubungan
Didalam pemasaran seorang sales atau tenaga penjual harus dapat memberikan
hubungan yang baik kepada setiap konsumen. Karena citra perusahaan berada ditangan
tenaga penjual. Seperti yang diutarakan oleh (Kotler, 2006:185-186) Pemasaran yang
baik berkaitan dengan penetapan ekspektasi dan memenuhinya, jika tidak, konsumen
akan kecewa sehingga cepat atau lambat hubungan akan berakhir.
Dalam proses membangun pelanggan Kotler (2000) menyatakan bahwa hubungan
pelanggan dalam pemasaran perlu dikaji secara sungguh-sungguh, apa yang menarik
bagi pelanggan. Tahap tersebut dimulai dari suspects (pendugaan), setiap orang
berkeinginan membeli barang atau jasa menurut kehendak hatinya. Dalam suatu
perusahaan suspects merupakan penentu utama yang akan menjadi prospects yang
disukai, dan masyarakat mempunyai kekuatan untuk tertarik terhadap produk serta
kemampuan untuk membayarnya. Perusahaan mengharapkan prospects yang berkualitas
yang akan menjadi first time customer, dan kepuasan first time customer akan menjadi
repeat customer (Mulyana, 2002:97). Pelanggan yang puas dengan hubungan,
keinginan memutuskan hubungan berkurang, kecenderungan untuk mencoba berlindung
dari undang-undang juga akan berkurang (Hunt and Nevin, 1974 dalam Soeratman,
2002:268).
24
Distributor (wiraniaga) yang dapat dipercaya, cakap, jujur dan bermoral akan
memuaskan pelanggan dalam berhubungan (Soeratman, 2002:267-268).
Faktor kepuasan hubungan antara pelanggan dan wiraniaga menurut Doney and
Cannon dalam Soeratman (2002) adalah hubungan secara sosial, sehingga tenaga
penjual (wiraniaga/distributor) memiliki kesempatan untuk melakukan pendekatan
kepada pelanggan dan dapat merayu pelanggan. Hubungan sosial ini akan dapat
memberikan sebuah kondisi informal yang mendukung bagi arus informasi, kedekatan
interpersonal yang lebih dekat dan saling memahami kebutuhan masing-masing antara
tenaga penjual (wiraniaga/distributor) dan pelanggan secara lebih baik. Untuk
meningkatkan kesetiaan pelanggan perlu dibangun ketrampilan dari para wiraniaga
(distributor) dalam membangun hubungan yang baik dengan pelanggan (Soeratman,
2002:271).
2.2.2
Kepuasan Akan Margin
Dalam konteks Multi-Level Marketing (MLM), kepuasan margin diperoleh
pelanggan
(downline)
dengan
melakukan
pengamatan
terhadap
upline,
dan
memperkirakan benefit yang akan diperoleh bila berhubungan dengan upline tersebut.
Upline pada perusahaan MLM, biasanya membantu downline-downline-nya untuk
berhubungan dengan perusahaan, memberikan motivasi dan sikap positif, memberikan
training pengenalan produk – cara merekrut distributor baru – cara menjual, dan
langkah-langkah untuk sukses (Soeratman, 2002:268).
Kepuasan akan margin adalah keuntungan finansial yang akan didapat secara
finansial pada saat membeli, dimana kepercayaan kepada wiraniaga (distributor) akan
25
memegang peranan yang besar karena wiraniaga dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan konsumen (Soeratman, 2002:268).
2.2.3
Kepuasan Akan Produk
Dalam konteks kualitas produk dan kepuasan telah tercapai konsesus bahwa
harapan pelanggan memiliki peranan yang besar sebagai standar perbandingan dalam
evaluasi kualitas maupun kepuasan. Kualitas suatu produk harus dimulai dari kebutuhan
pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan (Kotler, 1994). Hal ini berarti bahwa
citra kualitas suatu produk yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi
pihak produsen, distributor melainkan sudut pandang atau persepsi pelanggan.
Pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati produk tersebut sehingga merekalah
yang menentukan kualitas dari produk tersebut. Faktor-faktor yang menentukan nilai
pelanggan menurut Kotler adalah persepsi pelanggan terhadap produk, pelayanan,
karyawan dan citra perusahaan. Jumlah dari nilai-nilai pelanggan terhadap keempat
faktor tersebut merupakan jumlah nilai bagi pelanggan (total customer value).
Konsep nilai pelanggan adalah sangat erat kaitannya dengan kepuasan pelanggan.
Jika harapan pelanggan dari suatu perusahaan terhadap kualitas produk, kualitas
pelayanannya dan harganya terlampaui maka perusahaan tersebut akan mendapatkan
nilai tinggi dari kepuasan pelanggan (customer satisfaction) dan selanjutnya akan
menciptakan kesenangan pelanggan (customer delight). Apakah pembeli akan puas
setelah pembelian produk terjadi bergantung pada kinerja penawaran sehubungan
dengan harapan pembeli. Secara umum, dapat didefinisikan bahwa kepuasan adalah
26
perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya
terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya (Kotler, 2003).
Kepuasan adalah paham akan kebutuhan, baik itu kebutuhan yang telah
terungkap maupun yang belum terungkap. Menurut Mulyana (2002) memahami
kebutuhan dan menciptakan kepuasan pelanggan mempunyai manfaat bagi perusahaan
sebagai berikut :
1.
Hubungan pelanggan dengan perusahaan harmonis.
2.
Memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang.
3.
Mendorong terciptanya loyalitas pelanggan.
4.
Terciptanya rekomendasi dari mulut ke mulut yang menguntungkan
perusahaan.
2.3
5.
Reputasi perusahaan menjadi baik dimata pelanggan.
6.
Laba yang diperoleh perusahaan meningkat.
Loyalitas Distributor
Apabila suatu produk atau jasa yang dipilih konsumen itu dapat memuaskan
kebutuhan dan keinginannya, maka konsumen akan memiliki suatu ingatan yang dalam
terhadap produk atau jasa tersebut. Dalam keadaan semacam ini kesetiaan konsumen
akan mulai timbul dan berkembang. Dan dalam pembelian berikutnya konsumen
tersebut akan memilih produk atau jasa yang telah memberinya kepuasan, sehingga
akan terjadi pembelian yang berulang-ulang terhadap merek tersebut.
27
Dalam teorinya, “loyalitas adalah keputusan pelanggan untuk secara sukarela
terus
berlangganan
dengan
perusahaan
tertentu
dalam
jangka
waktu
yang
lama”(Lovelock &Wright, 2005:133). Menurut Oliver dan Griffin dalam Hurriyati
(2005:129) bahwa loyalitas adalah “komitmen pelanggan bertahan secara mendalam
untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang produk/jasa terpilih
secara konsisten dimasa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha
menyebabkan perubahan perilaku”
loyalitas lebih mengacu pada wujud perilaku dari unit-unit pengambilan
keputusan untuk melakukan pembelian secara terus-menerus terhadap barang/jasa suatu
perusahaan yang terpilih.
Loyalitas juga memiliki beberapa tahapan, tahapan loyalitas menurut Kertajaya
dalam Hurriyati (2005: 129), memiliki lima tingkatan:
1. Terrorist Customer, adalah pelanggan yang suka menjelek-jelekkan
merek perusahaan dikarenakan tidak suka atau pernah tidak puas dengan
layanan atau produk yang diberikan perusahaan. Pelanggan seperti ini
bersikap seperti teroris yang suka menyusahkan perusahaan.
2. Transactional Customer, adalah pelanggan yang memiliki hubungan
dengan perusahaan yang sifatnya sebatas transaksi, pelanggan seperti ini
membeli satu atau dua kali, sesudah itu dia tidak mengulangi
pembeliannya, atau apabila melakukan pembelian lagi sifatnya kadangkadang. Pelanggan yang memiliki sifat seperti ini mudah datang dan
28
pergi karena tidak memiliki relationship yang baik dengan produk/merek
perusahaan, basis relationship-nya adalah transaksional.
3. Relationship Customer, dimana tipe pelanggan ini nilai ekuitasnya
lebih tinggi disbanding dua jenis pelanggan diatas, pelanggan jenis ini
telah melakukan repeat buying dan pola hubungannya dengan produk
atau merek perusahaan adalah relasional.
4. Loyal Customer, pelanggan jenis ini tidak hanya melakukan repeat
buying, tapi lebih jauh lagi sangat loyal dengan produk dan merek
perusahaan. Bila ada orang lain yang menjelekkan perusahaan,
pelanggan ini tetap bertahan, dia tetap bersama perusahaan seburuk
apapun orang yang menjelekkan perusahaan.
5. Advocator Customer, adalah jenis pelanggan yang terakhir yang
memiliki tingkatan yang tertinggi. Pelanggan semacam ini sangat
istimewa dan sempurna, mereka menjadi aset terbesar perusahaan bila
perusahaan memilikinya. Advocator Customer adalah pelanggan yang
selalu membela produk dan merek perusahaan, pelanggan yang menjadi
juru bicara yang baik kepada pelanggan lain dan pelanggan yang marah
apabila ada orang lain yang menjelek-jelekkan perusahaan. (Hurriyati,
2005:134-135).
Loyalitas dapat dicapai melalui dua tahap: tahap yang pertama perusahaan harus
mempunyai kemampuan dalam memberikan kepuasan kepada konsumennya agar
konsumen
mendapatkan
suatu
pengalaman
positif,
berarti
pembelian
ulang
29
diprioritaskan pada penjualan sebelumnya. Tahap yang kedua adalah perusahaan harus
mempunyai cara untuk mempertahankan hubungan yang lebih jauh dengan
konsumennya dengan menggunakan strategi forced loyalty (kesetiaan yang dipaksa)
supaya konsumen mau melakukan pembelian ulang, (Kotler and Armstrong, 2001).
Lebih lanjut lagi, definisi customer loyalty menurut Johnson et.al (2001) yaitu
“Customer loyalty is a predisposition toward purchasing and or using a particular
product, manufacturer or service provider again". Yang artinya dapat dikatakan bahwa
loyalitas konsumen adalah suatu kecenderungan untuk membeli dan atau menggunakan
lagi suatu produk atau jasa. Hal terpenting yang harus dilakukan untuk memenangkan
persaingan adalah memuaskan konsumen.
Perusahaan yang berhasil menjaga agar
konsumennya selalu puas akan lebih mudah untuk mempertahankan bahkan
mengembangkan usahanya karena konsumennya lebih setia, sehingga konsumen
tersebut kerapkali melakukan pembelian ulang dan rela membayar lebih (Johnson,
1997).
Memuaskan konsumen merupakan hal yang terbaik dalam menghadapi
persaingan. Badan usaha yang berhasil menjaga agar konsumen selalu puas
menyebabkan konsumen lebih setia, dalam arti konsumen tersebut lebih sering
membeli, rela membayar lebih banyak untuk menggunakan layanan badan usaha itu dan
akan tetap menjadi konsumen meski badan usaha itu sedang mengalami kesulitan.
Loyalitas konsumen tidak terbentuk dalam waktu yang singkat, tetapi memalui
suatu proses belajar dan berdasarkan pengalaman masa lalu dari konsumen itu sendiri
dalam melakukan penggunaan layanan yang konsisten sepanjang waktu. Bila dari
30
pengalaman tersebut konsumen tidak akan berhenti untuk mencoba jasa-jasa layanan
lainnya sampai mendapatkan layanan yang memenuhi kriteria. Konsumen yang
mempunyai loyalitas jasa terhadap suatu merek yang tinggi dapat dilihat dari
penggunaan suatu jasa tertentu secara terus-menerus meskipun ada layanan jasa pesaing
yang ditawarkan dengan harga, kenyamanan dan bentuk yang lebih baik. Loyalitas
konsumen speerti itu harus dibina dan ditingkatkan secara konsisten sehingga loyalitas
konsumen tidak hanya pada satu layanan untuk satu merek yang sama, tetapi dapat juga
setia pada layanan lain.
Wiraniaga berperan sebagai human attribute yang berfungsi sebagai pemasar
untuk mempengaruhi calon pelanggan, dan berkewajiban memuaskan kebutuhan dan
keinginan pelanggan (Djati, 2005:49).
Kesetiaan pelanggan yang meningkat terhadap produk atau layanan yang
diberikan akan membuat konsumen melakukan transaksi di masa yang akan datang pada
produk yang sama, bahwa kepuasan kepada wiraniaga mengantar untuk pembelian
dengan wiraniaga lagi (Oliver and Swan, 1989 dalam Soeratman, 2002).
31
2.4
Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai analisis kesetiaan pada distributor MLM yang pernah
dilakukan antara lain :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Soeratman (2002) menganalisis kesetiaan
pelanggan pada wiraniaga dan merek produk Multi Level Marketing
dengan menggunakan metode Structural Equation Model (SEM) dan
obyek penelitiannya adalah member dari perusahaan Multi Level
Marketing dari produk suplemen makanan. Hasil dari penelitian ini adalah
adanya hubungan yang positif antara kepuasan hubungan, kepuasan
dengan margin, kepuasan dengan produk terhadap kesetiaan pada
wiraniaga dan pada merek produk.
Download