II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN Surfaktan adalah molekul organik yang jika dilarutkan ke dalam pelarut pada konsentrasi rendah maka akan memiliki kemampuan untuk mengadsorb (atau menempatkan diri) pada antarmuka, sehingga secara signifikan mengubah karakteristik fisik antarmuka tersebut. Antarmuka adalah batas antara dua sistem seperti cairan-cairan, padatan-cairan dan gas-cairan. Suatu senyawa disebut sebagai surfaktan didasarkan pada kemampuannya untuk membentuk lapisan tunggal (monolayer) yang terorientasi pada antarmuka (udara/air atau minyak/air), dan yang lebih penting adalah kemampuannya untuk membentuk struktur misel atau gelembung pada suatu fasa. Surfaktan memiliki aktivitas permukaan yang tinggi. Karena sifat aktivitas permukaannya yang tinggi ini, seringkali surfaktan disebut sebagai bahan aktif permukaan (surface-active agent). Bahan aktif permukaan ini mampu memodifikasi karakteristik permukaan suatu cairan atau padatan (Hui, 1996e). Menurut Rieger (1985), surfaktan adalah suatu zat yang bersifat aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan antarmuka (interfacial tension, IFT) minyak-air. Surfaktan memiliki kecenderungan untuk menjadikan zat terlarut dan pelarutnya terkonsentrasi pada bidang permukaan. Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi (misalnya oil in water (o/w) atau water in oil (w/o). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi. Umumnya bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan surfaktan adalah minyak bumi, minyak nabati, karbohidrat dan hasil aktivitas mikroorganisme. Penggunaan minyak bumi sebagai bahan baku surfaktan semakin menipis karena persediaannya yang tidak dapat diperbaharui. Maka, penggunaan bahan nabati seperti minyak sawit sangat prospektif untuk digunakan sebagai bahan baku surfaktan. Hal ini didukung dengan potensi minyak sawit Indonesia yang terbesar di dunia sebagai negara pengekspor minyak sawit. Molekul surfaktan dapat digambarkan seperti berudu atau bola raket mini yang terdiri dari bagian kepala dan ekor (Gambar 1). Bagian kepala dan ekor memiliki sifat yang berbeda, disebabkan karena struktur molekulnya yang tak seimbang (konfigurasi kepala-ekor). Bagian kepala yang bersifat hidrofilik merupakan bagian yang sangat polar dan larut dengan air. Sementara bagian ekor bersifat hidrofobik merupakan bagian nonpolar dan lebih tertarik ke minyak atau lemak. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi dan peranan yang beragam di industri (Hui, 1996e). Kepala (hidrofilik) Ekor (hidrofobik) Gambar 1. Struktur molekul surfaktan Pada Gambar 2 disajikan tampilan visual orientasi bagian kepala surfaktan pada media air. Sementara surfaktan yang saling berikatan hingga membentuk satu lapisan disajikan pada Gambar 3. Gambar 2. Tampilan orientasi bagian kepala surfaktan pada media air 5 Gambar 3. Surfaktan yang membentuk satu lapisan Surfaktan dapat dibagi atas empat kelompok, yaitu kelompok anionik, nonionik, kationik dan amfoterik. Menurut Matheson (1996), kelompok surfaktan terbesar yang diproduksi dan digunakan oleh berbagai industri (dalam jumlah) adalah surfaktan anionik. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa grup sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu linear alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa olefin sulfonat (AOS), parafin (secondary alkane sulfonate, SAS), dan metil ester sulfonat (MES). Karakteristik utama surfaktan adalah pada aktivitas permukaannya. Surfaktan permukaan mampu dan meningkatkan antarmuka kemampuan suatu cairan, menurunkan meningkatkan tegangan kemampuan pembentukan emulsi minyak dalam air, mengubah kecepatan agregasi partikel terdispersi yaitu dengan menghambat dan mereduksi flokulasi dan penggabungan (coalescence) partikel yang terdispersi, sehingga kestabilan partikel yang terdispersi makin meningkat. Surfaktan mampu mempertahankan gelembung atau busa yang terbentuk lebih lama. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa surfaktan merupakan bahan aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan permukaan air dalam konsentrasi rendah. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan air dari 73 dyne/cm menjadi 30 dyne/cm setelah ditambahkan surfaktan 0,005 %. 6 B. SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) Metil Ester Sulfonat (MES) yang merupakan golongan baru dalam kelompok surfaktan anionik telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pencuci dan pembersih (washing and cleaning products). Pemanfaatan surfaktan MES sebagai bahan aktif pada deterjen telah banyak dikembangkan karena prosedur produksinya mudah, memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensinya tinggi walaupun pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, mempunyai asam lemak C16 dan C18 yang mampu memberikan tingkat detergensi yang terbaik, memiliki sifat toleransi terhadap ion Ca yang lebih baik, memiliki tingkat pembusaan yang lebih rendah dan memiliki stabilitas yang baik terhadap pH. Hasil pengujian di laboratorium memperlihatkan bahwa laju biodegradasi MES serupa dengan alkohol sulfat (AS) dan sabun, namun lebih cepat dibandingkan LAS. Hal tersebut menyebabkan metil ester sulfonat pada masa mendatang diindikasikan akan menjadi surfaktan anionik yang paling penting. Surfaktan metil ester sulfonat (MES) merupakan salah satu jenis surfaktan anionik, yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan. Minyak yang dapat digunakan untuk produksi MES adalah minyak nabati sepert minyak sawit, minyak kedelai, minyak jagung dan minyak rapeseed. Surfaktan MES memiliki kelemahan yaitu gugus ester pada struktur MES cenderung mengalami hidrolisis baik pada kondisi asam maupun basa. Kecepatan reaksi hidrolisis akan semakin cepat dengan meningkatnya suhu (Ketaren, 1986; Rosen, 2004). Penelitian mengenai proses pembuatan MES dari minyak sawit sudah dilakukan oleh Hapsari (2003) dan Mahardika (2003) tetapi MES yang dihasilkan menggunakan reaktan NaHSO3. Setelah proses sulfonasi MES yang dihasilkan perlu dimurnikan. Surfaktan MES yang belum dimurnikan mengandung produk-produk hasil samping berupa garam (disalt) yang tidak larut sehingga akan mengganggu kinerja MES sebagai surfaktan. Disalt mempunyai sensitivitas terhadap kesadahan air lebih tinggi daripada MES dan memiliki daya deterjensi 50% lebih rendah sehingga fungsionalitas dan 7 fleksibilitas menurun terutama dalam fungsinya sebagai bahan aktif permukaan penurun tegangan antarmuka. Sintesis metil ester sulfonat merupakan proses kimiawi metil ester sebagai bahan baku dengan gas SO3. Bahan baku metil ester yang digunakan dalam proses sulfonasi merupakan produk turunan dari minyak sawit yang tidak terhidrogenasi dengan karakteristik kualitas yang ditunjukkan dengan nilai bilangan iod dan parameter lainnya (MacArthur, 1998). Karakteristik metil ester yang digunakan untuk sulfonasi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik metil ester untuk bahan baku metil ester sulfonat Parameter Bobot Molekul Bilangan Iod (cg/g ME) Asam karboksilat (%) Bilangan Tak tersabunkan Bilangan Asam (mgKOH/ g ME) Bilangan Penyabunan (mg KOH/g ME) Kadar air (%) Komposisi asam lemak metil ester (%) : < C12 C12 C13 C14 C15 C16 C17 C18 >C18 Sumber : MacArthur (1998) P&G CE1270 218 0.10 0.074 0.05 0.15 Henkel ME 16 281 0.39 0.25 0.27 0.5 Chengdu 1618 284 0.19 1.89 0.06 3.8 Emery 2204 280 0.13 n/a n/a 0.4 252 197 191 n/a 0.13 0.18 0.19 0.04 0.85 72.59 0.00 26.90 0.00 0.51 0.00 0.00 0.00 0.00 0.28 0.00 2.56 0.43 48.36 1.40 46.24 0.74 0.00 0.28 0.00 1.5 0.00 60.18 1.31 35.68 1.01 0.11 0.16 0.03 4.15 0.83 25.55 2.70 64.45 1.06 Metil ester merupakan suatu senyawa yang mengandung gugus – COOR dengan R dapat membentuk alkil suatu ester. Suatu ester dapat dibentuk langsung antara suatu asam lemak dengan alkohol yang dinamakan dengan esterifikasi. Suatu asam karboksilat merupakan suatu senyawa organik yang mengandung gugus karboksil –COOH. Gugus karboksil mengandung sebuah gugus karbonildan sebuah gugus hidroksil (Fessenden dan Fessenden, 1982). 8 Proses sulfonasi untuk menghasilkan surfaktan MES dapat dilakukan dengan mereaksikan reaktan seperti SO3, H2SO4, NaHSO3, NH2SO3H, ataupun ClSO3H dengan minyak, asam lemak ataupun ester asam lemak (Kirk dan Othmer, 1964; Bernardini, 1983; Foster, 1996). Menurut Foster (1996), SO3 terlalu reaktif dan sangat eksotermik. Metil ester sulfonat merupakan surfaktan yang dihasilkan melalui proses sulfonasi metil ester (MacArthur et al., 1998). Metil ester atau biodiesel dihasilkan melalui reaksi transesterifikasi antar trigliserida berbahan baku minyak sawit, minyak kelapa atau lemak hewan dengan metanol. Gambar 4 menunjukkan reaksi transesterifikasi antara trigliserida dan metanol menghasikan metil ester dan gliserol. RCOOCH2 CH2OH Æ 3 RCOOCH3 RCOOCH2 + 3 CH3OH RCOOCH2 Minyak + CHOH CH2OH Metanol Metil Ester Gliserol Gambar 4. Reaksi transesterifikasi trigliserida dan metanol Di industri, proses sulfonasi secara langsung dilakukan dengan cara mereaksikan agen sulfonasi ke minyak pada suhu reaksi yang lebih tinggi dari titik leleh minyak. Setelah sulfonasi, sisa pereaksi yang tidak bereaksi dipisahkan dari produk hasil sulfonasi melalui proses pencucian menggunakan air garam, kemudian dinetralisasi menggunakan larutan alkali. Pencucian dan netralisasi dilakukan pada suhu antara 40 – 55 oC (Pore, 1976). Reaksi sulfonasi molekul asam lemak dapat terjadi pada tiga sisi yaitu (1) gugus karboksil; (2) bagian α-atom karbon; (3) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap) (Gambar 5). Pemilihan proses sulfonasi tergantung pada banyak faktor yaitu: karakteristik dan kualitas produk akhir yang diinginkan, kapasitas produksi yang disyaratkan, biaya bahan kimia, biaya peralatan proses, sistem pengamanan yang diperlukan, dan biaya pembuangan limbah hasil proses. Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol reaktan, suhu reaksi, 9 konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan (SO3, NaHSO3, asam sulfit), waktu netralisasi, pH dan suhu netralisasi (Foster, 1996). Gambar 5. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi Bahan baku untuk surfaktan MES adalah metil ester yang diperoleh dari proses esterifikasi minyak. Minyak yang akan dijadikan bahan untuk produksi surfaktan harus diolah menjadi metil ester terlebih dahulu. Hal ini karena minyak merupakan trigliserida yang mengandung gliserol. Dalam proses transesterifikasi akan dihasilkan metil ester dan hasil samping gliserol (Ketaren, 1986). Distribusi asam lemak yang beragam sebagai penyusun minyak sawit dan adanya ikatan rangkap dalam struktur karbon menyebabkan minyak sawit menjadi tidak stabil terhadap pengaruh oksidasi. Hampir setengah bagian komponen penyusun minyak sawit merupakan asam lemak tidak jenuh. Metil ester sebagai produk turunan minyak sawit juga mengandung ikatan ester tidak jenuh di dalamnya. Asam lemak yang telah diolah menjadi metil ester akan menjadikan senyawa yang lebih stabil terhadap suhu rendah maupun tinggi. Metil ester mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan asam lemak, diantaranya yaitu: 1) Pemakaian energi sedikit karena membutuhkan suhu dan tekanan lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak; 2) Peralatan yang digunakan murah. Metil ester bersifat non korosif dan metil ester dihasilkan pada suhu dan tekanan lebih rendah, oleh karena itu proses pembuatan metil ester menggunakan peralatan yang terbuat dari karbon steel, sedangkan asam lemak bersifat korosif sehingga membutuhkan peralatan stainless steel yang kuat; 3) lebih banyak menghasilkan hasil samping gliserin yaitu konsentrat gliserin melalui reaksi transesterifikasi kering sehingga menghasilkan konsentrat gliserin, sedangkan asam lemak, proses pemecahan 10 lemak menghasilkan gliserin yang masih mengandung air lebih dari 80%, sehingga membutuhkan energi yang lebih banyak; 4) metil ester lebih mudah didistilasi karena titik didihnya lebih rendah dan lebih stabil terhadap panas; 5) dalam memproduksi alkanolamida, ester dapat menghasilkan superamida dengan kemurnian lebih dari 90% dibandingkan dengan asam lemak yang menghasilkan amida dengan kemurnian hanya 65-70%; 6) metil ester mudah dipindahkan dibandingkan asam lemak karena sifat kimianya lebih stabil dan non korosif. Proses sulfonasi metil ester dengan gas SO3 dapat dilakukan pada skala laboratorium, skala pilot maupun skala industri. Peralatan sulfonasi yang dilakukan pada skala laboratorium yaitu bejana gelas berbentuk silinder dengan diameter bagian dalam 4 cm dan tingginya 45 cm. Gelas tersebut dilengkapi dengan jaket pendingin, saluran masuk dan keluar gas, dan termometer. Gas masuk melalui saluran atas dengan diameter saluran 8 mm. Proses sulfonasi pada skala ini dapat berlangsung secara kontinyu dengan lapisan film tipis pada reaktor. Untuk menghasilkan surfaktan metil ester sulfonat dengan kapasitas besar dapat meningkatkan skala peralatan produksi tersebut (Stein dan Baumann, 1974). Menurut Stein dan Baumann (1974), lapisan metil ester bereaksi dengan gas SO3 dari reaktor bagian atas. Pada reaktor dipasang saluran pemisah antara fase gas dan fase cairan. Metil ester yang masuk ke dalam reaktor dengan laju alir 600 gram/jam dan gas SO3 dengan konsentrasi 5 %. Sulfonasi metil ester dilakukan pada suhu 70-90 °C dengan rasio mol metil ester dan gas SO3 yaitu 1 : 1,3. Gas SO3 bersifat eksotermis dan reaksi terjadi secara cepat dengan metil ester pada suhu yang lebih rendah akibat adanya gugus karbonil dari ester, tetapi sulfonasi belum tercapai. Untuk itu diperlukan suhu yang lebih tinggi agar sulfonasi berlangsung sempurna. Penggunaan suhu 70-90 °C merupakan kondisi ideal dalam sulfonasi pada falling film reactor. Pada awal reaksi, terjadi kontak bahan dengan gas SO3 secara cepat hingga mencapai keseimbangan reaksi. Pada suhu tersebut dapat menghasilkan MES dengan bahan aktif 97 %. Metil ester sulfonat yang dihasilkan larut dalam air sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan 11 dan tegangan antarmuka. Reaksi sulfonasi metil ester dengan gas SO3 dapat digambarkan sebagai berikut. O SO3 + Rn C O Rn-1 OCH3 C C OCH3 SO2OH Sulfur trioksida Metil ester sulfonat Metil ester Gambar 6. Reaksi sulfonasi untuk pembuatan MES (Watkins, 2001) Sulfonasi metil ester terjadi dalam dua tahap. Pertama, adanya kontak bahan secara cepat antara gas SO3 dengan metil ester. Tahap kedua reaksi berlangsung lambat, suhu reaksi bergantung pada posisi gugus α. Untuk mencapai sulfonasi 95 % membutuhkan waktu 50-60 menit dengan ekses gas SO3 30 % mol dan suhu 80 °C. Tetapi, produk yang dihasilkan berwarna gelap yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemucatan terhadap metil ester sulfonat yang dihasilkan (Stein dan Baumann, 1974). Sulfonasi metil ester untuk memproduksi MES lebih kompleks dari pada sulfonasi dengan bahan baku yang lain. Karena dalam memproduksi surfaktan anionik yang lain seperti linear alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa olefin sulfonat (AOS) tidak membutuhkan proses pemucatan (bleaching). Berbeda dengan MES yang berwarna gelap sehingga memerlukan proses pemucatan (Roberts et al., 2008). Beberapa tahapan penting dalam memproduksi metil ester sulfonat antara lain; 1. Kontak antara metil ester dengan gas SO3 Jika rasio mol antara metil ester dengan gas SO3 kurang dari 1,2 maka tidak akan tercapai konversi sempurna. Pada tahap ini biasanya menggunakan falling film reactor. Jika netralisasi dilakukan pada tahap ini, maka metil ester tidak dapat terkonversi sempurna menjadi MES, dengan nilai konversi sekitar 60-75%. Netralisasi produk pada tahap ini menjadikan MES sangat sedikit dan sebagian besar akan terjadi disalt. 12 2. Tahapan penyempurnaan reaksi Dalam hal ini perlu aging dengan suhu minimal 80 °C. dengan rasio mol 1,2 selama 45 menit pada suhu 90 °C atau 3,5 menit pada suhu 120 °C akan menghasikan konversi sebesar 98 %. 3. Tahap netralisasi Jika reaksi menghasilkan asam dan tidak dinetralkan, maka akan mengurangi kualitas MES yang dihasilkan seperti warna gelap, sangat kental bahkan akan terbentuk endapan. Netralisasi dilakukan untuk mencegah pH yang terlalu rendah dan mencegah hidrolisis yang menyebabkan “disalt”. Menurut MacArthur dan Sheat (2002), penelitian mengenai produksi MES skala pilot plant secara sinambung telah dilakukan oleh Chemiton Corporation di Amerika Serikat. Produksi MES dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap proses sulfonasi dimulai dengan pemasukan bahan baku metil ester dan gas SO3 ke reaktor dan selanjutnya diikuti dengan tahap pencampuran di digester, tahap pemucatan, tahap netralisasi, dan tahap pengeringan. Bahan baku metil ester dimasukkan ke reaktor pada suhu 40 56 oC, dengan konsentrasi gas SO3 adalah 7 % dan suhu gas SO3 sekitar 42 o C. Nisbah mol antara reaktan SO3 dan metil ester sekitar 1,2 - 1,3. MES segera ditransfer ke digester pada saat mencapai suhu 85oC, dengan lama waktu pencampuran adalah 0,7 jam (42 menit). Proses pemucatan dilakukan dengan mencampurkan MES hasil digester dengan pelarut metanol sekitar 31 - 40 % (b/b, MES basis) dan H2O2 50 % sekitar 1 - 4 persen (b/b, MES basis) pada suhu 95 - 100 oC selama 1 - 1,5 jam. Ditambahkan oleh Sheats dan Foster (2003) bahwa bleached MES secara kontinyu dinetralisasi hingga mencapai nilai pH 6,5 – 7,5. Proses netralisasi dilakukan dengan mencampurkan bleached MES dengan pelarut NaOH 50 % pada suhu 55 oC. Kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak-air disebabkan oleh kemampuan surfaktan MES dalam meningkatkan gaya tarik menarik antara dua fasa yang berbeda polaritasnya. Hal ini terjadi karena struktur dari surfaktan yang memiliki dua gugus fungsional yang berbeda (Suryani et al., 2003). Fenomena tegangan antarmuka (interfacial 13 tension, IFT) memainkan peranan penting di dalam kinerja surfaktan. Bahan yang umum digunakan untuk memodifikasi tegangan antarmuka dan tegangan permukaan suatu zat adalah surfaktan yang berasal dari istilah asing surfactant (singkatan dari surface active agent). C. OLEIN SAWIT Salah satu dari beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit (Elais guinensis JACQ). Tanaman kelapa sawit secara umum tumbuh dengan waktu rata-rata 20 – 25 tahun. Pada tiga tahun pertama disebut sebagai kelapa sawit muda, hal ini dikarenakan kelapa sawit tersebut belum menghasilkan buah. Kelapa sawit mulai berbuah pada usia empat sampai enam tahun. Pada usia tujuh sampai sepuluh tahun disebut sebagi periode matang (the mature periode), dimana pada periode tersebut mulai menghasilkan buah tandan segar ( fresh fruit bunch). Tanaman kelapa sawit pada usia sebelas sampai dua puluh tahun mulai mengalami penurunan produksi buah tandan segar. Daerah penanaman tanaman sawit di Indonesia adalah daerah Jawa Barat (Lebak dan Tangerang), Lampung, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh (Ketaren, 1986). Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari biji (kernel). Minyak sawit yang dihasilkan dari sabut dikenal dengan crude palm oil (CPO) dan dari inti (biji) disebut minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO). Minyak sawit kasar (CPO) merupakan produk level pertama yang dapat memberikan nilai tambah sekitar 30 % dari nilai tambah buah segar. Pemisahan asam lemak penyusun trigliserida pada minyak sawit dapat dilakukan dengan menggunakan proses fraksinasi. Secara umum fraksinasi minyak sawit dapat menghasilkan 73 % olein, 21 % stearin, 5 % Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), dan 0,5 % limbah. Olein sawit merupakan fase cair yang dihasilkan dari proses fraksinasi minyak sawit setelah melalui pemurnian. Karakteristik fisik olein sawit bersifat cair pada suhu ruang, berbeda dengan minyak sawit (CPO) yang bersifat semi solid. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit disajikan pada Tabel 3. 14 Tabel 3. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit Asam Lemak Laurat (C12:0) Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Palmitoleat (C16:1) Stearat (C18:0) Oleat (18:1) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3) C20:0 CPOa) <1.2 0.5-5.9 32-59 < 0.6 PKOb) 40-52 14-18 7-9 0.1-1 1.5-8 27-52 5.0-14 < 1.5 1-3 11-19 0.5-2 Jenis Bahan Oleinc) Stearinc) 0.1-0.5 0.1-0.6 0.9-1.4 1.1-1.9 37.9-41.7 47.2-73.8 0.1-0.4 0.05-0.2 4.0-4.8 40.7-43.9 10.4-13.4 0.1-0.6 0.2-0.5 4.4-5.6 15.6-37.0 3.2-9.8 0.1-0.6 0.1-0.6 PFADd) 0.1-0.3 0.9-1.5 42.0-51.0 4.1-4.9 32.8-39.8 8.6-11.3 Sumber : Godin dan Spensley (1971) dalam Salunkhe et al. (1992). b) Swern (1979). c) Basiron (1996). d) Hui (1996). a) Dari tabel diatas menunjukkan bahwa olein sawit didominasi oleh asam lemak C18:1. Surfaktan dari C18 mempunyai daya deterjensi yang tinggi. Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidaksinambungan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon. Olein sawit baik digunakan sebagai bahan baku surfaktan metil ester sulfonat (MES), hal ini dikarenakan olein sawit dominan mengandung asam lemak C18 sebesar 40.7 – 43.9 % (Hui, 1996). Metil ester dari asam lemak tidak jenuh sangat mudah untuk disulfonasi oleh gas SO3, sehingga reaksi pada metil ester tidak jenuh akan lebih cepat dengan metil ester jenuh. Olein merupakan fraksi cair dari minyak sawit, berwarna kuning sampai jingga dan diperoleh dari hasil fraksinasi minyak dari daging buah sawit. Olein merupakan trigliserida yang bertitik cair rendah, serta 15 mengandung asam oleat dengan kadar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan stearin (fraksi padat dari minyak sawit). Karakterisik mutu olein sawit dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik mutu olein sawit Parameter Syarat Kadar air (% b/b, maks) 0.1 Asam lemak bebas ( % b/b, maks) 0.15 Bilangan iod (Wijs) 55 Titik lunak (°C, maks) 24 Titik keruh (°C, maks) 10 D. PENGARUH SUHU DAN LAMA PEMANASAN Menurut Anwar (2003), suhu dapat mempercepat terjadinya reaksi dengan memperluas distribusi energi dan memperbanyak jumlah molekulmolekul yang memiliki energi kinetik lebih tinggi dari pada energi aktivasinya. Pada kondisi tersebut memungkinkan semakin besarnya peluang untuk terjadinya tumbukan sehingga mempercepat terjadinya reaksi penguraian MES. Kenaikan nilai tegangan antarmuka diduga akibat terjadinya degradasi termal seperti yang terjadi pada surfaktan alfa olefin sulfonat yang diteliti oleh Hui dan Tuvell (1998) dan surfaktan MES yang diteliti oleh Hidayati (2005) dimana terjadi proses desulfonasi ikatan C-S pada struktur surfaktan MES yang ditandai dengan berkurangnya tinggi peak gugus sulfonat. Proses degradasi ini terjadi semakin cepat dengan meningkatnya suhu pemanasan. Hui dan Tuvell (1998), menjelaskan bahwa gugus sulfonat yang terurai kemudian membentuk asam sulfat. Asam sulfat yang terbentuk dalam proses desulfonasi akan menjadi katalisator untuk terjadinya penguraian ikatan C-S selanjutnya. Latifah et al (2001) menambahkan bahwa adanya katalisator dalam suatu reaksi kimia akan mengubah mekanisme reaksi dengan membuat tahapan reaksi yang memiliki energi pengaktifan lebih rendah sehingga reaksi berjalan lebih cepat dibandingkan reaksi dengan kondisi yang sama tanpa adanya katalisator. 16 E. PENGARUH SALINITAS Salinitas adalah konsentrasi total ion-ion (Na+, K+, Ca2+, Mg2+, NO3-, Cl-, HCO3-, SO42-) yang ada di air (Boyd, 1982). Salinitas merupakan jumlah seluruh bahan-bahan yang terlarut dalam garam yang terkandung di dalam satu kilogram air laut, dengan asumsi semua karbonat dikonversi menjadi oksida, maka bromin dan iodin telah diganti diklorin dan seluruh bahan organik telah teroksidasi. Peningkatan salinitas akan menaikkan tegangan antarmuka yang dihasilkan dalam pengujian. Penurunan efektifitas surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka seiring dengan peningkatan salinitas dikarenakan kandungan natrium klorida yang merupakan senyawa garam dengan ikatan ion. Senyawa garam apabila bercampur dengan air akan terurai menjadi kation (Na+) dan anion (Cl-). Adanya ion-ion akan mengurangi kinerja surfaktan MES yang disebabkan terikatnya kation pada senyawa aktif (MacArthur, 1998). F. PENGARUH KESADAHAN Kesadahan pada dasarnya menggambarkan kondisi ion Ca2+, Mg2+, dan ion-ion logam lainnya seperti Al3+, Fe2+, Mn2+, Sr2+, Zn2+, dan ion H- yang terlarut dalam air. Kesadahan total berhubungan dengan alkalinitas total, karena kation-kation kesadahan dan anion-anion alkalinitas bersumber dari larutan mineral karbonat (Boyd, 1982). Kesadahan dinyatakan dalam miligram per liter setara CaCO3. Kesadahan terbagi menjadi dua kelompok yaitu kesadahan kalsium dan kesadahan magnesium yang didasarkan atas ion logam, sedangkan yang kedua adalah kesadahan karbonat dan bikarbonat, yang didasarkan atas anion yang berasosiasi dengan ion logam. Pengelompokkan kesadahan kalsium dan magnesium berdasarkan kesadahan pada perairan alami yang banyak disebabkan oleh kation kalsium dan magnesium dibandingkan dengan kation lainnya (Boyd, 1990). Dua tipe kesadahan adalah kesadahan sementara dan kesadahan permanen. Pada kesadahan sementara, ion-ion kalsium dan magnesium berasosiasi dengan ion karbonat (CO32-) dan bikarbonat (HCO3-) (Boyd, 17 1982). Sebagai kation kesadahan, ion kalsium selalu berhubungan dengan anion yang terlarut khususnya alkalinitas CO2-, HCO3- dan OH-. Kesadahan sementara dapat dihilangkan dengan pemanasan, pada kesadahan permanen, ion kalsium dan magnesium berasosiasi dengan ion sulfat (SO42-), klor (Cl-), dan nitrat (NO3-) atau disebut juga kesadahan non karbonat. Kesadahan ini tidak dapat dihilangkan dengan pemanasan. 18