5 II. TINJAUAN PUSTAKA Permukiman Padat Kumuh Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992, permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup, di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang mendukung prikehidupan dan penghidupan. Selanjutnya lagi didefinisikan bahwa permukiman merupakan sumber informasi tentang manusia dan aktivitasnya dalam suatu habitat (Van der Zee, 1986). Permukiman merupakan kelompok tempat tinggal yang berada di sekitar ruang terbuka yang dapat digunakan secara bersama. Ukuran suatu lingkungan permukiman relatif besar dimana di dalamnya mencakup lebih dari 1200 keluarga, dan dipusatkan oleh sarana umum seperti sekolah, taman, dan pusat perbelanjaan. Gibberd dalam Simonds (1978) menjelaskan permukiman pada dasarnya merupakan kelompok sosial yang terbentuk dengan sendirinya dan tidak dapat diciptakan oleh seorang perencana. Yang dapat dilakukan oleh seorang perencana adalah membuat ketentuan mengenai kebutuhan-kebutuhan fisik utama serta merancang suatu daerah dimana dapat membuat penghuninya menghargai nilai kehidupan pada suatu tempat yang berbeda dengan tempat lainnya serta menyediakan sarana sosial seperti lapangan bermain dan fasilitas pendidikan. Permukiman padat kumuh merupakan suatu kawasan pemukiman yang terabaikan baik dari segi penyediaan fasilitas pendukung maupun daya dukung lingkungan terhadap kebutuhan orang- orang yang tinggal di dalamnya. Dalam Saefuddin dan Kusumoarto (2005) dijelaskan bahwa permukiman padat kumuh adalah kawasan pemukiman yang mempunyai ciri- ciri antara lain, kondisi prasarana dan sarana dasar yang kurang memadai, kondisi bangunan dan lokasi yang kurang layak serta kondisi sosial ekonomi penghuni yang rendah. Bappedalda DKI Jakarta menyatakan bahwa suatu permukiman dikatakan padat jika per hektarnya dihuni lebih dari 500 jiwa. Permukiman padat kumuh muncul akibat ketidakseimbangan antara peningkatan jumlah penduduk dengan peningkatan sarana dan prasarana pemukiman yang mengakibatkan merosotnya kondisi fisik lingkungan. 6 Berkenaan dengan kebutuhan hidup, semua manusia memiliki kebutuhan dasar yang sama antar individunya (Porteous,1977), yakni kebutuhan fisiologi dasar, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan bersosialisasi, kebutuhan penghargaan diri, kebutuhan akan kreativitas maupun keindahan, dan kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya. Kawasan padat kumuh tidak dapat mengakomodasikan semua atau sebagian besar dari kebutuhan mendasar ini. Hampir semua negara bekembang tidak cukup memiliki sumber daya untuk memulai program pembangunan perumahan yang bertujuan untuk menyediakan perumahan dengan standar yang memadai untuk sebagian besar penduduknya. Pendapatan perkapita yang relatif rendah menjadi hambatan utama sehingga subsidi pemerintah akan sangat tinggi. Kondisi seperti inilah yang belum dapat teratasi saat ini di negara berkembang (Lippsmeier, 1980). Kondisi dan Permasalahan Masyarakat pada Permukiman Padat Permukiman kumuh merupakan permukiman yang terjadi atau tumbuh secara spontan tanpa adanya perencanaan yang jelas. Hal ini dapat terjadi karena meningkatnya kebutuhan akan lahan tempat tinggal yang semakin tinggi. Permukiman seperti ini biasanya tidak memiliki struktur yang jelas dalam tata ruangnya dan memiliki kepadatan yang tinggi per meter perseginya serta prasarana yang sangat kurang dalam mendukung aktivitas orang- orang yang tinggal di dalamnya (Lippsmeier, 1980). Lingkungan permukiman yang padat mengakibatkan kurang atau tidak tersedianya ruang gerak bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya. Dalam Hester (1984) dijelaskan bahwa masyarakat dalam lingkungan ini merupakan masyarakat dengan golongan ekonomi menengah ke bawah. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka bersosialisasi, merefleksikan dirinya dan aktivitas rekreasi yang dilakukan di depan rumah, pinggir jalan, perempatan dan jalan- jalan umum. Dalam McHarg (1969) disebutkan bahwa faktor sosial ekonomi sangat berpengaruh pada kawasan ini seperti, pendapatan, tingkat kemiskinan, tenaga kerja, kualitas tempat tinggal, kepadatan dan jumlah penduduk, dan menimbulkan stress bagi orang- orang yang tinggal di dalamnya. 7 Umumnya, dalam suatu lingkungan permukiman perlu terdapat sebuah ruang terbuka umum yang berfungsi sebagai tempat melakukan aktivitas rekreasi, berkumpul, pendidikan dan penghubung antar beberapa lokasi dalam maupun sekitar tapak (Hester, 1984). Kondisi ideal seperti inilah yang belum dapat terpenuhi pada kawasan permukiman padat penduduk karena sebagian besar lahannya digunakan sebagai tempat tinggal. Terdapat empat permasalahan utama yang ditemukan dalam permukiman yaitu kualitas permukiman, harga rumah relatif terhadap pendapatan, kualitas lingkungan, dan diskriminasi rasial (White dalam Catanese dan Snyder, 1988). Kualitas lingkungan mengacu pada berbagai hal, meliputi kualitas lingkungan fisik, kualitas sarana dan prasarana umum, dan prilaku anti-sosial. Prasarana umum menunjuk pada barang-barang modal yang secara langsung dimiliki, disewa-beli, atau dengan suatu cara dikendalikan oleh pemerintah, dan selama jangka waktu panjang (lebih dari satu tahun) menyebabkan terjadinya arus pendapatan dan biaya. Prasarana ini terdiri dari fasilitas- fasilitas umum seperti jalan raya, jembatan, sistem drainase, dan bangunan umum. Prasarana umum mempunyai dampak besar terhadap taraf atau mutu kehidupan masyarakat, pola pertumbuhan, dan prospek perkembangan ekonominya. (Stein dalam Catanese dan Snyder, 1988). Akibatnya tidak terpenuhinya kebutuhan dasar yang paling mendasar yaitu kebutuhan fisiologis (Maslow dalam Porteous,1977) Secara fisik, masalah yang sering ditemukan dalam kawasan ini antara lain adalah masalah saluran pembuangan, MCK dan sanitasi, serta ketertiban wilayah. Masalah saluran pembuangan berhubungan langsung dengan pengelolaan sampah, dimana sering dijumpai banyak sampah menyumbat aliran air kotor sehingga menyebabkan masalah- masalah seperti air menggenang dan mengeluarkan bau tidak sedap. Lingkungan yang padat juga berpengaruh dalam lokasi penampungan kotoran (septic tank) yang terlalu dekat dengan lokasi sumur resapan air sehingga sanitasi tidak terjamin pada kawasan ini. Masalah-masalah ini merepresentasikan belum terpenuhinya kebutuhan dasar yang paling mendasar yaitu kebutuhan fisiologis (Maslow dalam Porteous, 1977). Ketertiban wilayah merupakan satu masalah sosial yang sering ditemui dalam kawasan ini yang diakibatkan oleh kemajemukan masyarakat yang tinggal di dalamnya sehingga tak jarang 8 menimbulkan bentrokan- bentrokan sosial ataupun pelanggaran peraturanperaturan maupun hukum- hukum yang berlaku pada kawasan tersebut. Revitalisasi Kawasan Peningkatan kepadatan penduduk yang diiringi dengan meningkatnya permintaan akan kawasan pemukiman membutuhkan kecermatan dari pemerintah dan pihak perencana kota dalam merencanakan pengembangan kota sehingga menghindarkan dari timbulnya kawasan- kawasan kumuh di tengah maupun di sekitar kota. Apabila di dalam ataupun di sekitar kota telah terbentuk suatu kawasan pemukiman kumuh maka perlu dilakukan suatu tindakan revitalisasi atau penataan ulang perkotaan guna meningkatkan nilai lingkungan baik secara ekologis maupun visual sehingga kawasan tersebut layak untuk ditinggali. Suatu langkah yang sangat dibutuhkan dalam penataan kembali ini adalah perencanaan kota yang memunculkan kembali suatu paradigma baru tata ruang kota yang manusiawi dan berkelanjutan (Saefuddin dan Kusumoarto, 2005). Dalam Simonds (1983) disebutkan bahwa lingkungan hidup yang ideal adalah lingkungan yang dapat mengurangi atau bahkan menghindarkan tegangan- tegangan yang terjadi antar masyarakat yang tinggal di dalamnya sehingga tercipta perkembangan yang optimum dalam hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, alam, dan sesamanya. Revitalisasi sendiri bertujuan untuk menciptakan suatu kawasan baru yang sesuai dengan teori pemukiman yang sebenarnya dan juga untuk menciptakan suatu kawasan yang dapat memberikan nilai tambah, terutama dari segi ekonomi, bagi masyarakat maupun pemerintah kota sehingga meningkatkan taraf hidup penghuninya dengan menatanya kembali dari kondisi awal yang tidak sesuai dengan teori. Selain itu revitalisasi juga bertujuan untuk menciptakan suatu kawasan yang dapat dikatakan bermakna saat orang- orang yang berada di dalamnya merasa nyaman (Weinheimer III, 1997). Revitalisasi diarahkan ke dalam pengembangan kawasan yang berkelanjutan. Revitalisasi yang mengarah pada perkembangan ekonomi kawasan bertujuan untuk menciptakan kawasan ekonomi baru bagi kota sehingga dapat menambah pemasukan bagi kota. Terdapat empat area komersil menurut Eisner, 9 Gallion, dan Eisner (1993) yaitu, central business district yang melayani kebutuhan vital dan utama dari perkotaan serta menjadi pusat perekonomian kota tersebut. Yang kedua adalah small business district yang berfungsi sebagai kawasan perekonomian kota- kota satelit. Tipe yang ketiga merupakan tipe yang diwakili oleh area pertokoan dan perbelanjaan yang jauh dari kota. Yang terakhir, merupakan unit komersil terkecil, yaitu pusat ketetanggaan yang menyediakan aktivitas perekonomian berupa pusat perbelanjaan dalam skala kecil. Pada umumnya bentuk mal merupakan bentuk umum dari kawasan ini dimana area tersebut dirancang bagi kepentingan pedestrian yang bebas dari kendaraan (Eisner, et al., 1993). Elemen- elemen penting dalam tahapan revitalisasi adalah elemen fisik dari kawasan tersebut, politik dari pemerintah pusat, ekonomi, dan kondisi atau suasana lingkungan kawasan itu sendiri ( APA, 2002 ). Elemen- elemen tersebut menjadi fokus pemikiran dalam perencanaan revitalisasi suatu kawasan. Saat ini kriteria dari kualitas lingkungan fisik tempat tinggal kita harus dibangun dari tiga kriteria yang saling berkaitan yaitu; struktur, dimana di dalamnya terdapat bangunan, jalan, utilitas dan fasilitas terbangun lainnya; ruang terbuka khusus pejalan kaki; dan tapak alami yang diwakili oleh bentuk lahan, batuan, tanaman, air dan lain sebagainya (Lippsmeier, 1980). Pedestrian Walk Pedestrian walk merupakan jalur pejalan kaki yang disediakan untuk memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan dan kenyamanan pejalan kaki tersebut (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1995). Dalam Simonds (1983) disebutkan bahwa karakter dari pedestrian walk diibaratkan seperti aliran air atau sungai yang pergerakannya mencari hambatan terkecil demi mencapai aspek fungsional dan estetik. Dua faktor utama dari pedestrian walk antara lain adalah faktor orientasi dan faktor negosiasi. Faktor yang pertama berkaitan dengan pedestrian walk sebagai landmark (ciri khas dari suatu wilayah dimana terdapat pedestrian walk tersebut di dalamnya), formalitas (pedestrian walk sebagai footways yang secara tidak langsung mengatur perilaku pejalan kaki yang berjalan di atasnya, 10 implementasinya dapat berupa penggunaan perkerasan dengan pola- pola tertentu), dan material (penggunaan material- material dalam pedestrian walk tersebut). Faktor yang kedua berkaitan dengan konflik- konflik yang terjadi antar pengguna pada pedestrian walk tersebut . Harris dan Dines (1988) menyebutkan bahwa sistem sirkulasi terbagi ke dalam dua kategori, yaitu sistem sirkulasi yang telah memiliki struktur dasar sehingga hanya perlu meningkatkan estetikanya saja dan sistem sirkulasi yang belum memiliki struktur atau bahkan belum ada sirkulasinya sehingga perlu direncanakan sesuai dengan fungsinya. Perencanaan pedestrian walk merupakan suatu proses yang kompleks dalam mengidentifikasi permasalahan- permasalahan yang potensial dan solusi- solusi yang memungkinkan dengan menganalisis keadaan fisik tapak, ekonomi dan sumberdaya sosial (Brambilla dan Longo, 1977 ). Pedestrian Shopping Streets Salah satu cara dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor adalah tersedianya kawasan ekonomi pada satu titik dalam kota. Kawasan tersebut dapat berupa koridor maupun area. Dalam bentuk koridor dapat berupa kawasan pinggir jalan utama ataupun pada jalur pedestrian. Pedestrian Shopping Streets merupakan kawasan perekonomian, umumnya perdagangan, yang membatasi jumlah atau laju kendaraan sehingga pengguna utama kawasan ini adalah pejalan kaki. Secara umum Pedestrian Shopping Streets mampu mengurangi kepadatan kendaraan, menjaga stabilitas perdagangan barang- barang retail dalam kota, mendorong aktivitas pejalan kaki umumnya wanita, anak- anak, maupun orang tua, meningkatkan penghargaan publik bagi kawasan bersejarah, dan ikut memberikan kontribusi bagi kepentingan pengelolaan pusat kota dalam menetralkan dampak migrasi penduduk dari luar (Berdichevsky, 1984). Pada perencanaan, perlu diperhatikan berbagai aspek, salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan berubah menurut waktu dan harus ditentukan berbeda-beda untuk setiap lokasi. Kebutuhan ini tergantung pada standar yang berlaku, kebudayaan, tuntutan ekonomi, dan faktor- faktor setempat lainnya (Lippsmeier, 1980). Tujuan dari penggunaan lahan komersial antara lain adalah untuk melayani 11 kebutuhan berbelanja masyarakat secara efisien dan lazim dengan menyediakan fasilitas pusat perbelanjaan (Eckbo, 1964). Penampilan dari Pedestrian Shopping Streets ini tidak hanya terbatas pada segi pengendalian jumlah dan laju kendaraan, perekonomian, maupun pelestarian lanskapnya saja tetapi juga menyangkut aspek ‘fungsi kesehatan mental’ pengguna (Gehl and Gehl, dalam Berdichevsky, 1984). Selanjutnya dikatakan pula dalam Gehl and Gehl (1966a,1966b) bahwa ‘fungsi kesehatan mental’ dari ruang publik adalah memuaskan kebutuhan sosial. Gaya hidup aktivitas ruang terbuka ini berakar dari budaya selatan Eropa, dalam penggunaan mereka akan lapangan terbuka, pasar, monumen, archway, dan cafe- cafe terbukti dapat memuaskan kebutuhan masyarakatnya akan kontak sosial, termasuk di dalamnya aktivitas window shopping dan aktivitas rekreasi lainnya, pertukaran pengetahuan antar sesama, dukungan, dan penegasan status pada area publik tersebut. Penggunaan lain Pedestrian Shopping Streets dapat menjadi tempat penyelenggaraan festival dengan mengambil tema pada event tertentu seperti Lebaran, Natal, Tahun Baru, dan lain sebagainya. Penyelenggaran kegiatan seni juga dapat dilakukan pada Pedestrian Shopping Streets ini dimana kawasan ini bisa berfungsi sebagai panggung atau teater terbuka. Dalam Hester (1984) dijelaskan bahwa ruang terbuka umum juga merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Menyangkut dengan pernyataan tersebut, Pedestrian Shopping Streets dapat menjadi alternatif bagi penyediaan ruang terbuka umum. Brambilla dan Longo (1977 ) menjelaskan bahwa konsep free-zone atau sistem pedestrian walk telah diterapkan pada ruang- ruang dalam kehidupan kota seperti pada taman – taman, plaza, dan jalan- jalan kota. Pedestrian walk sendiri terbagi atas : 1. Pedestrian District Pada pedestrian jenis ini lalu lintas kendaraan dari sebagian daerah perkotaan ditiadakan dengan mempertimbangkan unit arsitektural, komersil, dan sejarah. 12 2. Pedestrian Streets Pada pedestrian jenis ini kendaraan bermotor ditiadakan atau dilarang masuk sepanjang waktu kecuali kendaraan- kendaraan yang berkepentingan dalam perawatan dan pengelolaan tapak tersebut. Seluruh badan jalan ditutup dengan perkerasan, jalan keluar masuk tapak dekat dengan akses transportasi umum. 3. Partial Pedestrianization Pada pedestrian jenis ini terjadi pengurangan jenis kendaraan bermotor, khususnya kendaraan pribadi karena prioritas utama kawasan ini adalah pejalan kaki. Jalur pejalan kaki diperlebar dan jalur kendaraan bermotor dipersempit, maksimal dua jalur. Pada kawasan ini laju kendaraan dibatasi pada kecepatan tertentu.