Utang LN Naik 19,66 Miliar Dolar AS Sri Adiningsih, Ekonom Universitas Gajah Mada. Senin, 8 Februari 2010 JAKARTA (Suara Karya): Pembiayaan pembangunan dalam negeri yang bersumber dari utang luar negeri harus dijaga dan dikontrol ketat sehingga tidak terjadi kebocoran yang memberatkan pemerintah. "Perolehan utang itu harus digunakan secara benar untuk pembangunan agar tidak menjadi beban bagi keuangan negara. Yang perlu dijaga adalah utang dapat digunakan untuk produktivitas. Kalau bisa, dapat memberikan pendapatan tersendiri dari proyek yang dibiayai, sehingga tidak membebani generasi yang akan datang," kata ekonom Universitas Gajah Mada, Sri Adiningsih, menjawab pertanyaan Suara Karya, kemarin. Dalam pandangan Sri Adiningsih, secara nominal utang Indonesia memang mengalami peningkatan. Itu, katanya, sebagai akibat dari upaya pemerintah dalam rangka menciptakan kesinambungan pembangunan. "Apalagi, seiring dengan stimulus fiskal, yang telah menyebabkan terjadinya defisit APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara--Red)," katanya. Utang luar negeri Pemerintah Indonesia sampai akhir 2009 tercatat sebesar 169,13 miliar dolar AS. Menurut data di situs Kementerian Keuangan, kemarin, menyebutkan, jumlah itu bertambah sekitar 19,66 miliar dolar AS dibanding utang RI 2008 yang sebesar 149,47 miliar dolar AS. Penambahan tersebut akan jauh lebih besar lagi apabila nilai utang tersebut ditentukan dengan kurs saat memperolah pinjaman. Jika dilihat dalam mata uang rupiah, nilai utang pemerintah mengalami penurunan dari Rp 1.636,74 triliun pada akhir 2008 menjadi Rp 1.589,78 triliun pada akhir 2009. Ini disebabkan nilai tukar yang menguat dari Rp 10.950/dolar AS di 2008 menjadi Rp 9.400/dolar AS pada akhir 2009. Utang tersebut terdiri dari pinjaman 64,93 miliar dolar AS dan surat berharga 104,2 miliar dolar AS. Dengan menggunakan PDB Indonesia yang sebesar Rp 5.401 triliun, maka rasio utang Indonesia tercatat sebesar 29%. Sri Adiningsih berpendapat, jika diperhatikan dari proporsi utang Indonesia, terlihat telah terjadi penurunan. Penurunan terjadi hingga mencapai di bawah 30 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Karena itu, menurut Sri Adiningsih, proporsi utang hingga di bawah 30 persen sudah merupakan benchmark. Itu, katanya, berarti pemerintah dapat dikatakan mampu mengendalikan utangnya. "Ini berarti utang dapat dikendalikan," ujarnya. Akibatnya, pemerintah mendapatkan peringkat utang dari lembaga pemeringkat semisal Fitch Rating menjadi BB plus. Namun diakuinya, Indonesia memang sejak krisis terus-menerus mencari pembiayaan yang bersumber dari utang, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri, seperti pemerintah berusaha mencoba mencari pembiayaan dari penerbitan surat utang. Dia menilai amat sulit bagi pemerintah untuk tidak lepas dari utang. Namun sekali lagi, dia memberikan catatan agar utang dapat diproduktifkan sehingga tidak memberatkan masyarakat. Misalnya, sebuah perusahaan yang juga mendapatkan sumber pembiayaan dari utang, selain didukung oleh aset yang produktif. "Utang itu sebenarnya tidak selalu buruk. Utang dapat dimanfaatkan dan menutupi defisit," katanya. Ditegaskannya, utang dapat mendukung pertumbuhan suatu negara jika dapat dilakukan seproduktif mungkin. Dia mencontohkan, pemerintah dapat mengembangkan produktivitas pertanian dan revitalisasi pabrik minyak sawit mentah (CPO) melalui utang yang didapat. Perincian pinjaman yang diperoleh Pemerintah Indonesia hingga akhir Oktober 2009 adalah bilateral (41,18 miliar dolar AS), multilateral (21,53 miliar dolar AS), komersial (2,15 miliar dolar AS), dan supplier (70 juta dolar AS). Secara jumlah, utang Indonesia memang meningkat dari tahun ke tahun, namun rasio utang terhadap PDB memang menunjukkan penurunan. Hal itu sejalan dengan terus meningkatnya PDB Indonesia. (Agus/Kentos)