BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Balita
2.1.1
Definisi Balita
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau
lebih popular dengan pengertian anak usia di bawah lima tahun (Muaris H,2006).
Menurut Sutomo B dan Anggraeni DY, (2010). Balita adalah istilah umum
bagi anak usia 1-3 tahun (balita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia balita,
anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting,
seperti mandi, dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah
baik, namun kemampuan lain masih terbatas.
Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang
manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan
pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang
tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan
pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.
2.2
Konsep Pneumonia
2.2.1
Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang biasanya terjadi
pada anak-anak tetapi terjadi lebih sering pada bayi dan awal masa kanak-kanak dan
secara klinis pneumonia dapat terjadi sebagai penyakit primer atau komplikasi lain
(Hockenberry dan Wilson,2009). Menurut UNICEF/WHO (2006) pneumonia adalah
10
11
sakit yang terbentuk dari infeksi akut dari daerah sakuran pernafasan bagian bawah
secara spesifik mempengaruhi paru-paru dan Depkes RI (2007) mendefinisikan
pneumonia sebagai salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang
mengenai bagian paru (alveoli).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas,dapat ditarik kesimpulan pneumonia
adalah salah satu infeksi saluran pernafasan akut pada daerah saluran pernafasan
bagian bawah yang secara spesifik merupakan peradangan pada parenkim paru yang
lebih sering terjadi pada bayi dan awal masa kanak-kanak.
2.2.2
Klasifikasi Pneumonia
Pneumonia pada anak dapat dibedakan menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris,
pneumonia lobularis (bronchopneumonia), pneumonia interstisialis. Di Negara
berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang
sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus Pneumoniae,Haemophilus
influenza, dan Staphylococcus aureus (Said,2010).
Beberapa sumber membuat klasifikasi pneumonia berbeda-beda tergantung
dari sudut pandang. Klasifikasi pneumonia diantaranya :
Menurut Hockenberry dan Wilson (2009) pneumonia dikelompokkan
menjadi :
1. Pneumonia Lobaris yaitu: peradangan pada semua atau sebagian besar
segmen paru dari satu atau lebih
2. Bronkopneumonia yaitu: sumbatan yang dimulai dari cabang akhir dari
bronkiolus dan biasa disebut juga dengan pneumonia lobular
3. Pneumonia Interstitial
12
Depkes RI (2007) membuat klasifikasi pneumonia pada balita berdasarkan
kelompok usia diantaranya:
1. Usia anak pada umur 2 bulan - <5 tahun batuk yang menandakan bukan
pneumonia tidak ada nafas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada
kebawah, sedangkan pneumonia ditandai dengan adanya nafas cepat dan
tidak ada tarikan dinding dada ke bawah dan pneumonia berat ditandai
dengan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke depan.
2. Usia kurang dari dua bulan batuk bukan pneumonia ditandai dengan tidak
adanya nafas cepat, jika pneumonia maka akan terjadinya nafas cepat dan
adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam yang kuat.
2.3
Etiologi Pneumonia
Penelitian mengenai etiologi pneumonia masih berdasarkan penelitian di luar
Indonesia. Pada umumnya pneumonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pneumonia
pada neonates berumur 3 minggu sampai 3 bulan yang paling sering adalah akibat
bakteri. Biasanya bakteri Streptococcus Pneumoniae. Pada balita pada usia 4 bulan
sampai 5 tahun, virus merupakan penyebab tersering dari pneumonia, yaitu
respiratory syncytial virus. Negara-negara berkembang, bakteri merupakan aspek
terbesar dalam kejadian pneumonia pada balita sekitar 50% (Rizanda,2006).
2.4
Determinan Pneumonia
Model segitiga epidemiologi atau triad epidemiologi atau model rantai infeksi
(The Triangle Model of Infections) menggambarkan interaksi tiga komponen
penyakit manusia (Host), penyebab (Agent), dan lingkungan (Environment).
Menurut Mc.Keown dan Hilfinger (2004) penyakit dapat terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara faktor agent,host dan environment. Untuk memprediksi
13
penyakit,model ini menekankan perlunya analisis dan pemahaman masing-masing
komponen. Dalam model ini faktor agent adalah yang bertanggung jawab terhadap
penyebab penyakit infectious agent yaitu organisme penyebab penyakit.
Faktor host adalah individu atau populasi yang berisiko terpajan penyakit
meliputi faktor genetik atau gaya hidup. Faktor environment adalah tempat dimana
host hidup termasuk kondisi cuaca dan faktor-faktor lingkungan yang mendukung
terjadinya suatu penyakit tersebut muncul. Menurut model segitiga epidemiologi ini
sehat dan sakit dapat dipahami dengan mendalami karateristik, perubahan dan
interaksi diantara agent, host dan environment.
1.
Faktor Agent
adalah penyebab dari penyakit pneumonia yaitu berupa bakteri,virus,jamur,
dan protozoa (sejenis parasit). Namun pada penelitian ini faktor agent faktor
yang saya tidak teliti.
2.
Faktor Host (Faktor Anak)
Faktor risiko infeksi pneumonia pada (host) dalam hal ini anak balita
meliputi: usia, jenis kelamin,berat badan lahir,status imunisasi campak,
pemberian ASI eksklusif, status pemberian vitamin A,BBLR.
a. Hubungan Imunisasi Campak
Imunisasi bertujuan memberikan kekebalan kepada anak terhadap penyakit
dan menurunkan angka kematian dan kesakitan yang disebabkan penyakitpenyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Seperti diketahui 43,1% 76,6% kematian ISPA yang berkembang penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi,seperti Difteri dan Campak. Bila anak sudah dilengkapi dengan
imunisasi campak, dapat diharapkan perkembangan penyakit ISPA tidak akan
14
menjadi berat. Maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar
dalam pemberatasan ISPA. Dengan imunisasi campak yang efektif, sekitar
11% kematian pneumonia balita dapat dicegah.
Berdasarkan penelitian oleh Hatta (2001) menyatakan bahwa, balita yang
tidak mendapat imunisasi campak mempunyai risiko 2.307 kali lebih besar
untuk menderita pneumonia dibandingkan dengan balita yang mendapat
imunisasi campak.
b. Riwayat Pemberian Vitamin A
Adanya hubungan antara pemberian vitamin A dengan risiko terjadinya
pneumonia (Sommer,1984). Penelitian yang dilakukan oleh Herman (2002),
dinyatakan bahwa balita yang tidak pernah mendapatkan vitamin A dosis
tinggi lengkap mempunyai risiko untuk menderita pneumonia 4 kali
dibandingkan dengan balita yang mendapatkann vitamin A dosis tinggi
lengkap. Hasil penelitian Herman (2002) menggambarkan bahwa balita yang
tidak mendapat vitamin A dosis tinggi lengkap mempunyai peluang 3,8 kali
terkena pneumonia dibanding anak yang mempunyai riwayat pemberian
vitamin A dosis tinggi lengkap dan secara statistik mempunyai hubungan
bermakna dengan nilai OR = 3,8 (95% CI :2,4-6,2) p=0,000.
c. Riwayat Pemberian ASI
ASI (air susu ibu) adalah makanan terbaik bagi bayi karena mengandung zat
gizi paling sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi, karena itu
untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan bayi yang optimal ASI
perlu diberikan secara eksklusif (Nelson, 2000). Bayi dianjurkan untuk
disusui secara ekslusif selama 6 bulan pertama kehidupan dan pemberian ASI
dilanjutkan dengan didampingi makanan pendamping ASI, idealnya selama
15
dua tahun pertama kehidupan. Menyusui secara eksklusif terbukti
memberikan resiko yang lebih kecil terhadap berbagai penyakit infeksi dan
penyakit menular lainnya di kemudian hari. Hasil penelitian Naim (2001) di
Jawa Barat menjelaskan anak usia 4 bulan sampai 24 bulan yang tidak
mendapat ASI ekslusif menunjukkan adanya hubungan yang bermakna
terhadap terjadinya pneumonia dan memiliki risiko terjadinya pneumonia
4,76 kali dibanding anak umur 4 bulan sampai 24 bulan yang diberi ASI
eksklusif ditunjukkan dengan nilai statistik OR=4,76 (95% CI 2,98 – 7,59)
dan nilai p=0,000.
d. Berat Badan Lahir
Bayi dengan BBLR mempunyai risiko kematian yang lebih besar
dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan
pertama kelahiran karena pembentukan anti kekebalan kurang sempurna
sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit
saluran pernafasan lainnya. Hasil penelitian Herman (2002) menjelaskan
balita yang mempunyai riwayat berat badan lahir rendah (<2500 gram)
memiliki risiko 1,9 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan bayi
yang mempunyai riwayat berat badan normal ( ≥ 2500 gram) namun efek
tersebut secara statistik tidak bermakna hal ini ditunjukkan dengan nilai OR =
1,9 (95% CI:0,7-4,9) P=0,175.
e. Usia
Usia merupakan salah satu faktor risiko utama pada beberapa penyakit. Hal
ini disebabkan karena usia dapat memperlihatkan kondisi kesehatan
seseorang. Anak-anak yang berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit
pneumonia dibanding anak-anak yang berusia diatas lima tahun. Hal ini
16
disebabkan oleh imunitas yang belum sempurna dan saluran pernafasan yang
relatif sempit (Depkess RI,2004).
f. Jenis Kelamin
Dalam program P2 ISPA dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang
mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI,2004). Hal ini didukung
oleh penelitian Hananto (2004) bahwa anak laki-laki mempunyai peluang
menderita pneumonia 1,46 kali (95% CI : 0,81-1,60) dibanding anak
perempuan.
3.
Faktor Lingkungan (Environment)
Faktor Lingkungan yang dapat menjadi risiko terjadinya pneumonia pada
anak balita meliputi kepadatan hunian, paparan asap rokok, keberadaan
sirkulasi udara (jendela) didalam rumah,pengetahuan dan pendidikan ibu.
Kondisi lingkungan dapat dimodifikasi dan dapat diperkirakan dampak atau
akses buruknya sehingga dapat ditemukan solusi ataupun kondisi yang paling
optimal bagi kesehatan anak balita.
a. Kepadatan Hunian Rumah
Kepadatan hunian merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah
anggota keluarga penghuni tersebut. Keadaan tempat tinggal yang padat
dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian
Febriana (2011) menunjukkan anak balita yang tinggal di rumah dengan
tingkat hunian padat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 3,8 kali lebih
besar dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat hunian
tidak padat. Tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat
disebabkan karena luas lantai rumah yang tidak sebanding dengan jumlah
keluarga yang menempati rumah. Luas rumah yang sempit dengan jumlah
17
anggota keluarga yang banyak menyebabkan rasio penghuni dengan luas
rumah tidak seimbang. Kepadatan hunian ini memungkinkan bakteri maupun
virus dapat menular melalui pernapasan dari penghuni rumah yang satu ke
penghuni rumah lainnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor
289/Menkes/s\SK/VII/1999
tentang
persyaratan
kesehatan
perumahan,kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar (2
orang).
b. Paparan Asap Rokok
Adanya pengaruh yang sangat konperensif asap rokok dengan kejadian
pneumonia dikarenakan asap dari rokok tersebut mengandung ninkotin
sehingga sangat tidak baik jika melakukan tindakan merokok di depan balita
bahkan jika salah satu keluarga melakukan tindakan merokok di depan balita
atau bahkan balita sampai terkena paparan asap dari rokok tersebut, bahkan
status balita tersebut juga dapat dikatakan sebagai perokok pasif yang akan
berdampak mengancam alat pernafasan anak balita tersebut.
c. Keberadaan Sirkulasi Udara (Jendela) di Dalam Rumah
Jendela mempunyai fungsi sebagai sarana sirkulasi udara segar masuk
kedalam rumah dan udara yang kotor keluar rumah. Rumah yang tidak
dilengkapi sarana jendela akan menyebabkan udara segar yang masuk
kedalam rumah sangat minim. Kecukupan udara segar sangat butuh untuk
penghuni didalam rumah tersebut, karena ketidakcukupan udara segar akan
dapat berpengaruh terhadap fungsi fisiologis alat pernafasan bagi
penghuninya terutama bagi bayi dan balita.Menteri Kesehatan menyatakan
bahwa luas ventilasi sebaiknya 10% dari luas lantai.
18
Hasil penelitian yang dilakukan Herman (2002) menjelaskan bahwa ventilasi
udara rumah mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian
pneumonia (p=0,000) dimana balita yang menghuni rumah dengan ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai peluang untuk terjadinya
pneumonia sebesar 4,2 kali (95% CI:2,0 - 8,6) dibanding dengan balita yang
memenuhi rumahnya dengan ventilasi yang sesuai memenuhi syarat
kesehatan.
d. Faktor Ibu
1.
Pengetahuan Ibu
Tingkat pendidikan ibu yang rendah juga merupakan faktor resiko yang dapat
meningkatkan angka kematian terutama pneumonia.Tingkat pendidikan ibu
akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada anak yang
menderita pneumonia. Jika pengetahuan ibu untuk mengatasi pneumonia
tidak tepat ketika bayi atau balita yang sedang mengalami pneumonia, akan
mempunyai resiko meninggal karena pneumonia sebesar 4,9 kali jika
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan yang tepat
(Kartasasmita, 2010).
2.
Pendidikan Ibu
Pendidikan adalah suatu proses yang terdiri dari masukan yaitu sasaran
pendidikan dan keluaran yaitu suatu bentuk perilaku atau kemauan baru.
Pendidikan formal maupun pendidikan non formal akan mempengaruhi
seseorang dalam proses pengambilan keputusan dan bekerja. Semakin tinggi
pendidikan formal seorang ibu, semakin mudah ibu untuk menerima pesanpesan kesehatan dan semakin tinggi pula tingkat pemahaman terhadap
pencegahan dan penatalaksanaan penyakit pada bayi dan balitanya.
19
Berdasarkan hasil penelitian oleh Hatta (2001), balita yang lahir dari ibu yang
berpendidikan rendah mempunyai risiko 2,037 kali lebih besar untuk
menderita pneumonia bila dibandingkan dengan balita yang lahir dari ibu
yang berpendidikan tinggi.
Download