PENDAHULUAN Latar Belakang Matoa merupakan tumbuhan buah khas Papua. Kayunya tergolong kelompok veneer dan dimanfaatkan sebagai bahan kusen rumah; bagian kulit batang dan daun sebagai obat luka dan eksim. Variabilitas matoa telah direvisi dengan satu tipe P. pinnata Forst., berumah satu dalam suku Sapindaceae; tersebar di seluruh kawasan Malesia hingga Kepulauan Pasifik (Jacobs 1962). Karakter morfologinya masih diperdebatkan karena variasinya cukup tinggi pada pola, bentuk dan ukuran serta warna pada bagian akar, batang dan daun, sehingga di Papua, penebang pohon membedakan pada tingkat jenis, yaitu P. pinnata Forst., P. acuminata Radlk, P. tomentosa Radlk. dan P. coriacea Radlk. Selain itu, keterbatasan material generatif bergantung pada musim dan distribusi geografis yang luas menjadi beberapa kelemahan dalam identifikasi morfologi, sehingga diperlukan pendekatan lain. Varibilitas matoa terdiri atas jenis biologi di hutan alam dan varian-varian atau kultivarnya yang dibudidaya secara luas saat ini. Matoa juga dikonservasi secara ex situ di Kebun Raya Bogor, Kebun Koleksi Plasma Nutfah LIPI Cibinong, Arboretum IPB dan Balitbang dan Konservasi Alam Bogor serta ditanam di Taman Buah Mekarsari Bogor. Umumnya bibit yang ditanam berasal dari Papua dan diperbanyak secara vegetatif, sehingga siklus produktivitasnya lebih pendek, jika dibandingkan dengan jenis liarnya di hutan alam. Matoa tipe liar dan varian-variannya memiliki variasi infraspesies yang sukar dibedakan secara langsung, bahkan record datanya pun masih kurang hingga saat ini. Di lain pihak, perlindungan varietas tanaman di Indonesia telah diatur dalam Lembaran Negara No. 29 tahun 2000. Matoa beragam dalam karakter morfologinya, namun menurut Jacobs (1962) variabilitas matoa tidak stabil, sehingga cukup dikelompokkan dengan nama tunggal P. pinnata Forst. dan sinonim dengan kategori forma. Karakter morfologi terdiri atas perbedaan-perbedaan dan kemiripan-kemiripan di antara tumbuhan yang terjadi secara umum, nilainya dapat diukur dari kestabilannya, semakin banyak karakter yang stabil, maka lebih baik tingkat kepercayaannya atau sebaliknya (Lawrence 1955). Sifat fenotipe yang teramati relatif terhadap 2 perbedaan genetik yang sesungguhnya dipengaruhi oleh lingkungan, namun isozim stabil terhadap lingkungan geografis, sehingga karakterisasi bahan suatu tumbuhan dapat membantu meminimalkan pemahaman yang terbatas terhadap sifat-sifat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan (Horry 1989). Karakterisasi sifat morfologi matoa yang ada merupakan kemampuan untuk menstabilkan pengaruh faktor lingkungan terhadap fenotipenya agar diperoleh gambaran yang jelas tentang tingkat variasinya. Keragaman morfologi matoa di bawah tingkat jenis juga tidak selalu tersedia, maka penggunaan karakter tambahan selain morfologi seperti analisis isozim dapat membantu memperlihatkan pengelompokan sifat keragaman genetiknya. Isozim merupakan produk langsung dari gen, terdiri atas gabungan beberapa molekul enzim berbeda yang aktif di dalam sel organisme, bersifat polimorf dan berbeda sifat fisika dan kimianya, namun dapat mengkatalis reaksi kimia yang sama. Perbedaan molekul-molekul ini disebabkan oleh berbedanya urutan asam amino penyusunnya, sehingga menjadi dasar dilakukannya pemisahan dengan teknik elektroforesis (Markert & Moller 1959). Dalam larutan elektrolit, molekul-molekul biologis bermuatan listrik dengan beda potensial akan bermigrasi ke kutup berlawanan hingga mencapai jarak relatif sebagai pola pita isozimnya. Penanda isozim sangat berguna untuk karakterisasi dan identifikasi kultivar, penentuan asal genetik benih, membedakan keturunan hasil penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri, mendokumentasikan persentase kultivar serta menguji similaritas kultivar (Peirce & Brewbaker 1973). Sebaliknya pendekatan morfologi sudah lama dipakai untuk melakukan identifikasi, tetapi dalam banyak kasus ketersediaan material berupa bunga ataupun buah tidak selalu tersedia karena bergantung musim, ketidak-matangan bahan atau terjadi kerusakan tertentu (Torres 1983). Analisis sistem isozim untuk forma-forma matoa belum dilakukan. Dengan andanya pendekatan isozim ini diharapkan dapat melengkapi data keragaman infraspesies P. pinnata. 3 Perumusan Masalah Variasi morfologi sering dijadikan dasar penamaan matoa ke dalam beberapa jenis. Padahal menurut Jacobs (1962), sifat-sifat variabilitas matoa cukup ditempatkan pada posisi kategori forma. Matoa di hutan alam maupun yang dibudidaya memiliki variasi morfologi cukup tinggi antara lain pada: pola akar, tekstur kulit, bentuk anak daun, tepi, ujung anak daun dan warna. Selain itu, informasi tentang jenis matoa dan varian-variannya masih kurang, jika dibandingkan dengan pemanfaatan kayu dan buahnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: keterbatasan material generatif terkait musim bunga, buah dan distribusi geografis yang luas serta karakteristik varian infraspesies sukar dibedakan secara langsung menjadi beberapa kelemahan dalam identifikasi morfologi, sehingga diperlukan pendekatan isozim. Dalam analisis isozim tumbuhan, tidak semua sistem enzim yang digunakan dapat memperlihatkan pola-pola pita secara jelas, karena enzim tertentu memiliki spesifikasi terhadap molekul-molekul protein suatu tanaman. Molekul bermuatan yang dielektorforesis dengan beda potensial dalam jangka waktu tertentu dapat bermigrasi dengan jarak relatif tertentu merupakan pola pita isozim. Sistem enzim yang cocok dapat memperlihatkan sifat genetik (polimorfis) variabilitas matoa dalam wujud pola-pola pita elektroforesis. Karakterisasi morfologi dan isozim dapat menentukan perbedaan-perbedaan dan kemiripankemiripan agar dapat diukur tingkat perbedaan dan kemiripannya guna menentukan variasi matoa yang ada. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengkarakterisasi sifat morfologi dan isozim esterase, malat dehidrogenase dan peroksidase pada aksesi matoa asal hutan Papua, Kebun Raya Bogor, Kebun Koleksi Plasma Nutfah LIPI Cibinong, Arboretum Balitbang Kehutanan dan Konservasi Alam Bogor, Arboretum Institut Pertanian Bogor serta Taman Buah Mekarsari Bogor. Hasilnya diharapkan menjadi salah satu model pendekatan dalam melacak variasi jenis matoa pada kategori infraspesies dan menambah informasi tentang matoa sebagai salah satu potensi plasma nutfah agar dikonservasi secara in situ maupun ex situ.