TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Informasi Umum Kutukebul A. dugesii Kutukebul A. dugesii digolongkan ke dalam ordo Hemiptera, subordo Sternorrhyncha, famili Aleyrodidae dan subfamili Aleurodicinae (Martin et al. 2000). David Kellum dan Mike Rose entomolog dari San Diego merekomendasikan nama umum hama ini sebagai kutukebul raksasa (Giant Whitefly) dikarenakan ukurannya yang sangat besar dan untuk membedakan dengan kutukebul dari subfamili yang sama dapat dilihat dari pola pada sayapnya (Gill 1992). Biologi Kutukebul A. dugesii Telur Serangga dewasa betina mengendapkan telur yang dihasilkannya kedalam lilin yang diproduksinya. Telur diletakkan secara memutar mengikuti alur lilin yang dibentuk (Gambar 1). Biasanya lilin tersebut dibentuk dalam pola konsentris pada permukaan bawah daun (Hodges 2011). Lilin tersebut diproduksi oleh serangga imago betina saat akan meletakkan telur di tanaman inang, sedangkan imago jantan tidak memproduksi lilin (Botha et al. 2000). Kutukebul A. dugesii bereproduksi secara seksual (hanya sesekali saja parthenogenesis). Imago betina yang belum kawin (2N) akan menghasilkan keturunan jantan (1N). Telur yang dibuahi akan menjadi keturunan yang 2N (Martin et al. 2000). Imago betina dapat menghasilkan 150 – 300 telur selama hidupnya. Serangga betina yang sudah dibuahi oleh serangga jantan menempelkan telurnya di permukaan daun dengan suatu pengait khusus yaitu pedisel. Selama fase telur, calon nimfa kutukebul mendapatkan makanan dengan cara mengambil cairan dari tanaman inang (Murgianto 2010). Gambar 1 Pola peletakan telur oleh imago betina A. dugesii pada daun kembang sepatu 6 Nimfa Ketika telur menetas, nimfa instar pertama kutukebul akan bergerak untuk mencari tempat penyerapan makanan (feeding site) yang sesuai dan menetap di sana. Nimfa terdiri dari 4 instar (Nguyen & Hamon 2004) dalam siklus hidup serangga ini, hanya instar pertama yang memiliki tungkai untuk bergerak mencari tempat yang sesuai, nimfa instar 2 – 4 tidak memiliki tungkai sehingga tidak dapat bergerak walaupun kondisi lingkungan di sekitar daerah penyerapan makanan memburuk. Sampai pada tahap ini, nampak siklus hidup kutukebul mirip dengan siklus hidup serangga Famili Coccoidea lainnya. Namun pada fase terakhir, kutukebul menghentikan aktifitas makannya dan membentuk semacam kubah tempat perlindungan proses menuju imago (Murgianto 2010). Pupa Fase nimfa instar 4 biasa disebut “pupa” oleh sebagian orang walaupun secara teknis sebutan pupa tidak tepat karena hama ini tidak melewati fase istirahat (Garrison 2001). Setelah melewati fase pupa, kutukebul menjadi imago. Kulit pupa tetap tinggal pada permukaan daun untuk jangka waktu yang lama (Murgianto 2010). Nimfa instar 3 dan 4 memproduksi filamen lilin yang panjangnya dapat mencapai lebih dari 10 inchi dalam kondisi rumah kaca. Sedangkan di alam bebas lilin tersebut terkadang rusak terkena terpaan angin ataupun percikan air hujan. Umumnya pada hama lain filamen lilin yang diproduksi akan berada satu tempat dengan embun madu sehingga embun jelaga berkembang pada satu tempat yaitu dibawah permukaan daun. Berbeda dengan metode yang dilakukan kutukebul untuk mengeluarkan embun madu yaitu dengan membalikan lingula (organ berbentuk lidah dalam lubang vasiform /struktur anus) menembus permukaan daun atas, sehingga embun jelaga berkembang di permukaan atas daun (Hodges 2011). Imago Kutukebul A. dugesii merupakan kutukebul yang berukuran besar, bentuk hampir sama dengan A. dispersus. Imago A. dugesii memiliki panjang lebih kurang 4 mm, sedangkan imago A. dispersus hanya memiliki panjang 2 – 3 mm. Selain dari ukurannya yang besar, ciri khas lain A. dugesii berupa adanya pola mosaik atau totol hitam pada sayapnya (Heu et al. 2004). Ukuran imago jantan dan betina sama (Nguyen & Hamon 2004). Pembeda antara imago betina dan jantan terletak pada capit di ujung abdomen yang hanya dimiliki oleh imago 7 jantan. Imago A. dugesii relatif tidak aktif bergerak dan berkumpul di bagian bawah permukaan daun (Hodges 2011). Siklus Hidup Di Florida pada musim panas dan dingin siklus hidup dari telur sampai imago berkisar 25 – 30 hari (Nguyen & Hamon 2004). Sedangkan menurut Hodges 2011 A. dugesii memerlukan waktu 35 hari menyelesaikan satu siklus hidup di Florida pada musim panas dan dingin. A. dugesii memiliki 6 fase perkembangan yaitu telur, nimfa instar 1, nimfa instar 2, nimfa instar 3, nimfa instar 4 dan imago. Pada Gambar 2 diperlihatkan bentuk fase telur, pupa (nimfa instar 4) dan imago kutukebul A. dugesii. 1 mm 1 mm A B 1 mm C Gambar 2 Telur (A), pupa (B) dan imago (C) A. dugesii (Murgianto 2010) 8 Kisaran Inang Kutukebul A. dugesii Berdasarkan data dari Pest and Disease Image Library (PaDIL 2011) A. dugesii merupakan hama serius pada tanaman hias. Tercatat ada sekitar lebih dari 200 tanaman antara lain kembang sepatu, kamboja, alpukat, jeruk, jambu biji, kayu manis, anggrek, murbei, begonia, melati, pisang, eucalyptus, pir, apel dan aprikot. Menurut Evans GA (2008) terdapat 36 spesies tanaman yang menjadi inang A. dugesii (Tabel 1) dan Murgianto (2010) menyebutkan terdapat 38 spesies tanaman inang A. dugesii di Kabupaten Bogor, Bandung, Cianjur, Garut, Sukabumi dan Subang (Tabel 2). Tabel 1 Tanaman inang A. dugesii (Evans GA 2008) Famili Spesies Anacardiaceae Mangifera indica Annonaceae Annona sp. Apocynaceae Plumeria sp. Araceae Spathyphyllum Floribundum Araliaceae Aralia sp. Asteraceae Baccharis trinervis Begoniaceae Begonia sp. Burseraceae Bursera simaruba Cannaceae Canna sp. Ceneopodiaceae Chenopodium ambrosioides Chrysobalanaceae Chrysobalanus icaco Cucurbitae Cucurbita sp. Euphorbiaceae Acalypha wilkesiana Euphorbiaceae Chamaesyce hypericifolia Geraniaceae Geranium sp. Juglandaceae Carya pecan Labiatae Coleus scutellarioides Labiatae Salvia elegans Liliaceae Hemerrocallis sp. Lauraceae Cinnamomum sp. Lauraceae Persea americana Malvaceae Gossypium hirsutum Malvaceae Hibiscus sp. Malvaceae Hibiscus rosa-sinensis Malvaceae Hibiscus syriacus Moraceae Morus Musaceae Heliconia sp. Myrtaceae Psidium guajava Rutaceae Citrus sp. Sapotaceae Bumelia laetivierus Solanaceae Capsicum annuum Turneraceae Turnera ulmifolia Ulmaceae Trema michrantum Verbenaceae Citharexylum spinosum Verbenaceae Clerodendrum sp. Viscaceae Phoradendron leucarpum Referensi Sampson & Drew 1941 Sampson & Drew 1941 Kumashiro 2004 Evans G. et al. 2006 Caballero 1992 Caballero 1992 Evans G. et al. 2006 Evans G. et al. 2006 Evans G. et al. 2006 Sampson 1994 Sampson 1994 Evans G. et al. 2006 Evans G. et al. 2006 Evans G. et al. 2006 Evans G. et al. 2006 Evans G. et al. 2006 Evans G. et al. 2006 Evans G. et al. 2006 Evans G. et al. 2006 Kumashiro 2004 Kumashiro 2004 Cabalerro 1992 Kumashiro 2004 Evans G. et al 2006 Evans G. et al 2006 Sampson 1994 Kumashiro 2004 Kumashiro 2004 Evans G. et al. 2006 Evans G. et al. 2006 Evans G. et al. 2006 Kumashiro. 2004 Evans G. et al. 2006 Kumashiro. 2004 Kumashiro. 2004 Evans G. et al. 2006 9 Tabel 2 Tanaman inang A. dugesii (Murgianto 2010) Famili Lamiaceae Solanaceae Asteraceae Cucurbitaceae Malvaceae Malvaceae Solanaceae Arecaceae Amaranthaceae Araceae Araceae Buddlejaceae Fabaceae Dracaenaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Graminae Iridaceae Leguminoceae Lauraceae Myrtaceae Myrtaceae Solanaceae Maranthaceae Nyctaginaceae Rutaceae Poaceae Verbenaceae Cannaceae Fabaceae Laxmanniaceae Musaceae Rutaceae Solanaceae Solanaceae Fabaceae Arecaceae Arecaceae Spesies Nama lokal Lokasi Coleus sp. Solanum aculeatissimum Dahlia kelvin Secium edule Hibiscus sabdariffa Abelmochus esculentus Capsicum anuum Hyphorbe lagenicaulis Amaranthus spinosus Syngonium podophyllum Colocasia esculenta Buddleja davidii Clitoria ternatea Dracaena fragrans Ricinus communis Euphorbia pulcherima Saccharum officinarum Neomarica longifolia Phaseolus vulgaris Persea americana Psidium guajava Eugenia uniflora Solanum nigrum Marantha esculenta Bougenvilia spectabilis Citrus medica Cymbopogon narbus Premna speciosa Canna edulis Vigna unguiculata Cordyline australis Musa paradisiacal Citrus nobilis Physalis angulata Solanum melongena Psophocarpus tetragonocobus Cocos nucifera Spathyphylum sp. Jawer kotok Terong kori Bunga dahlia Labu siam Rosela Okra Cabai merah Palem botol Bayam liar Sirih gading Talas Kurika Telang Hanjuang Keliki Kastuba Tebu Bunga iris Buncis Alpukat Jambu biji Dewandaru Leunca Garut Bunga kertas Jeruk pepaya Serai Cingcau Ganyong Kacang panjang Hanjuang Pisang Jeruk garut Ciplukan Terong ungu Kecipir Kelapa Spathyphylum Bogor Bandung Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur Garut Garut Garut Garut Garut Garut Garut Garut Sukabumi Subang 10 Gejala Serangan A. dugesii pada tanaman Gejala serangan A. dugesii unik dan khas dimana permukaan bawah daun terdapat filamen lilin putih yang halus dan panjang seperti janggut yang dihasilkan oleh fase nimfa (Gambar 3A). Saat menyerang tanaman A. dugesii mengeluarkan embun madu yang menyebabkan debu terkumpul pada daun sehingga tanaman yang terserang berat kelihatan kotor dan menarik semut (Faber BA & Phillips PA 2001). Selain itu embun madu dijadikan media bagi pertumbuhan embun jelaga (Nguyen & Hamon 2004) (Gambar 3B). Embun jelaga menghambat proses fotosintesis karena cahaya matahari terhalang oleh lapisan jelaga di permukaan daun (Watson 2007). Apabila populasi A. dugesii tinggi seluruh daun bisa tertutup oleh lapisan lilin (Bellows & Hoddle 2010). A Gambar 3 B Gejala serangan A. dugesii pada tanaman, tanda menunjukkan filamen lilin putih (A) dan embun jelaga (B) panah Distribusi Kutukebul A. dugesii Di Indonesia kutukebul A. dugesii telah ditemukan di banyak area di Jawa Barat meliputi Bandung, Cianjur, Sukabumi, Subang dan Garut (Murgianto 2010). Menurut Bellows dan Hoddle (2010) sebaran A. dugesii meliputi California, Florida dan Hawaii. Sedangkan Lasalle et al. (1997) menyebutkan sebaran A. dugesii meliputi Arizona, Louisiana dan Texas, Kanada, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Afrika, Costa Rica, Belize, Guatemala, Mexico, Nikaragua, Venezuela dan Canary Islands. Musuh Alami Kutukebul A. dugesii Jenis musuh alami A. dugesii dari jenis predator yaitu Delphastus catalinae (Horn) (Coleoptera: Coccinellidae) (Garrison 2001), sedangkan dari jenis 11 parasitoid yang menyerang nimfa A. dugesii antara lain Idioporus affinis, Encarsiella noyesii; Encarsia hispida (Hymenoptera: Aphelinidae) dan Entedononecremnus krauteri (Hymenoptera: Eulophidae) (Bellows & Hoddle 2010). Di Indonesia musuh alami A. dugesii yang ditemukan terdiri dari jenis predator dan parasitoid. Jenis musuh alami A. dugesii dari jenis predator yaitu Nephaspis sp. (Coleoptera: Coccinellidae), Cryptolaemus montrouzieri (Coleoptera: Coccinellidae), Harmonia axyridis (Coleoptera: Coccinellidae), Scymnus sp. (Coleoptera: Coccinellidae). Sedangkan musuh alami dari jenis parasitoid yaitu Encarsiella noyesii (Hymenoptera: Aphelinidae), Encarsia sp. (Hymenoptera: Aphelinidae) dan Amitus sp. (Hymenoptera: Platygastridae) (Prabowo 2012). Dampak Ekonomi Kutukebul A. dugesii Menurut Watson (2007), kutukebul adalah hama penting terutama jika kutukebul menyerang tanaman bernilai tinggi seperti tanaman hortikultura meliputi tanaman hias, tanaman sayur, tanaman buah dan tanaman obat. Kutukebul A. dugesii memiliki kisaran inang yang luas. Di Indonesia diketahui menyerang 38 spesies dari 25 famili meliputi tanaman perkebunan dan hortikultura (Murgianto 2010). Selain itu A. dugesii memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi dengan tidak adanya musuh alami. Saat ini di California A. dugesii merupakan hama penting di tanaman hias (Bellows & Hoddle 2010). Serangan berat A. dugesii mengakibatkan tanaman menjadi lemah, daun menguning, kering, jatuh dan tanaman mati (Nguyen & Hamon 2004). Industri pembibitan di California mengalami kerugian ekonomi sekitar 3.4 miliar dolar Amerika per tahun akibat serangan A. dugesii (Bellows & Hoddle 2010). Pengendalian Kutukebul A. dugesii Pencegahan penyebaran hama dapat dilakukan dengan tidak membawa bahan tanaman dari wilayah terinfestasi ke area lain yang masih bebas, memastikan transportasi pengangkut sampah bersih dari area terinfestasi kutukebul ke area lain. Pengendalian dengan menggunakan bahan kimia tidak efektif, hama akan terkendali untuk sementara waktu tetapi akan diikuti dengan resurjensi hama (Faber BA & Phillips PA 2001). Selain itu penggunaan insektisida spektrum luas tidak direkomendasikan karena akan mematikan 12 musuh alaminya. Salah satu metode pengendalian yang direkomendasikan adalah pengendalian hayati dengan menggunakan musuh alami. Penggunaan sabun juga dapat digunakan mengurangi infestasi kutukebul (Heu et al. 2004). Tanaman Alpukat Klasifikasi lengkap tanaman alpukat adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Anak divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Ranales Keluarga : Lauraceae Marga : Persea Varietas : Persea americana Mill Varietas-varietas alpukat di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 1) Varietas unggul Sifat-sifat unggul tersebut antara lain produksinya tinggi, toleran terhadap hama dan penyakit, buah seragam berbentuk oval dan berukuran sedang, daging buah berkualitas baik dan tidak berserat, berbiji kecil melekat pada rongga biji, serta kulit buahnya licin. Sampai dengan tanggal 14 Januari 1987, Menteri Pertanian telah menetapkan 2 varietas alpukat unggul, yaitu alpukat ijo panjang dan ijo bundar. Sifat-sifat kedua varietas tersebut antara lain: a. Tinggi pohon: alpukat ijo panjang 5 – 8 m, alpukat ijo bundar 6 – 8 m. b. Bentuk daun: alpukat ijo panjang bulat panjang dengan tepi rata, alpukat ijo bundar bulat panjang dengan tepi berombak. c. Berbuah: alpukat ijo panjang terus-menerus, tergantung pada lokasi dan kesuburan lahan, alpukat ijo bundar terus-menerus, tergantung pada lokasi dan kesuburan lahan. d. Berat buah: alpukat ijo panjang 0.3 – 0.5 kg, alpukat ijo bundar 0.3 – 0.4 kg e. Bentuk buah: alpukat ijo panjang bentuk pear (pyriform), alpukat ijo bundar lonjong (oblong). f. Rasa buah: alpukat ijo panjang enak, gurih, agak lunak, alpukat ijo bundar enak, gurih dan agak kering. g. Diameter buah: alpukat ijo panjang 6.5 – 10 cm (rata-rata 8 cm), alpukat ijo bundar 7.5 cm. h. Panjang buah: alpukat ijo panjang 11.5 – 18 cm (rata-rata 14 cm), alpukat ijo bundar 9 cm. 13 i. Hasil: alpukat ijo panjang 40 – 80 kg/pohon/tahun (rata-rata 50 kg), alpukat ijo bundar 20 – 60 kg/pohon/tahun (rata-rata 30 kg). 2) Varietas lain Varietas alpukat kelompok ini merupakan plasma nutfah Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Tlekung (Malang). Beberapa varietas alpukat yang terdapat di kebun percobaan Tlekung (Malang) adalah alpukat merah panjang, merah bundar, dickson, butler, winslowson, benik, puebla, furete, collinson, waldin, ganter, mexcola, duke, ryan, leucadia, queen dan edranol. Manfaat Tanaman Bagian tanaman alpukat yang banyak dimanfaatkan adalah buahnya sebagai makanan buah segar. Selain itu pemanfaatan daging buah alpukat yang biasa dilakukan masyarakat Eropa adalah digunakan sebagai bahan pangan yang diolah dalam berbagai masakan. Manfaat lain dari daging buah alpukat adalah untuk bahan dasar kosmetik. Bagian lain yang dapat dimanfaatkan adalah daunnya yang muda sebagai obat tradisional (obat batu ginjal dan rematik). Sentra Penanaman Negara-negara penghasil alpukat dalam skala besar adalah Amerika (Florida, California, Hawaii), Australia, Cuba, Argentina dan Afrika Selatan. Dari tahun ke tahun Amerika mempunyai kebun alpukat yang senantiasa meningkat. Di Indonesia, tanaman alpukat masih merupakan tanaman pekarangan, belum dibudidayakan dalam skala usahatani. Daerah penghasil alpukat adalah Jawa Barat, Jawa Timur, sebagian Sumatera, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara. Ketinggian Tempat Pada umumnya tanaman alpukat dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu 5 – 1 500 mdpl. Namun tanaman ini akan tumbuh subur dengan hasil yang memuaskan pada ketinggian 200 – 1 000 mdpl. Untuk tanaman alpukat ras Meksiko dan Guatemala lebih cocok ditanam di daerah dengan ketinggian 1 000 – 2 000 mdpl, sedangkan ras Hindia Barat pada ketinggian 5 – 1 000 mdpl. Ciri-ciri buah yang sudah tua tetapi belum masak adalah: a) warna kulit tua tetapi belum menjadi cokelat/merah dan tidak mengkilap; b) bila buah diketuk dengan punggung kuku, menimbulkan bunyi yang nyaring; c) bila buah digoyang-goyang, akan terdengar goncangan biji. 14 Penetapan tingkat ketuaan buah tersebut memerlukan pengalaman tersendiri. Sebaiknya perlu diamati waktu bunga mekar sampai enam bulan kemudian, karena buah alpukat biasanya tua setelah 6 – 7 bulan dari saat bunga mekar. Untuk memastikannya, perlu dipetik beberapa buah sebagai contoh. Bila buah-buah contoh tersebut masak dengan baik, tandanya buah tersebut telah tua dan siap dipanen. Cara Panen Umumnya memanen buah alpukat dilakukan secara manual, yaitu dipetik menggunakan tangan. Apabila kondisi fisik pohon tidak memungkinkan untuk dipanjat, maka panen dapat dibantu dengan menggunakan alat/galah yang diberi tangguk kain/goni pada ujungnya/tangga. Saat dipanen, buah harus dipetik/dipotong bersama sedikit tangkai buahnya (3 – 5 cm) untuk mencegah memar, luka/infeksi pada bagian dekat tangkai buah. Periode Panen Biasanya alpukat mengalami musim berbunga pada awal musim hujan dan musim berbuah lebatnya biasanya pada bulan Desember, Januari dan Februari. Indonesia yang keadaan alamnya cocok untuk pertanaman alpukat, musim panen dapat terjadi setiap bulan. Prakiraan Produksi Produksi buah alpukat pada pohon-pohon yang tumbuh dan berbuah baik dapat mencapai 70 – 80 kg/pohon/tahun. Produksi rata-rata yang dapat diharapkan dari setiap pohon berkisar 50 kg. Tanaman alpukat yang berasal dari bibit okulasi atau sambung akan mulai berbuah pada umur 4 tahun dengan produksi 3 300 kg/ha. Produksi ini akan terus bertambah hingga mencapai kestabilan pada tahun ke-7 (panen keempat) dengan jumlah produksi rata-rata 12 000 kg/ha. Keuntungan baru dapat diperoleh pada panen kedua (tahun ke-5) dan akan stabil pada panen keempat (tahun ke-7) (Prihatman 2000).