MEMBANGUN KEUNGGULAN ORGANISASI

advertisement
MEMBANGUN KEUNGGULAN ORGANISASI BISNIS JASA
DI VELOCITY ERA MELALUI RELATIONSHIP
VALUE MANAGEMENT
Oleh:
Sudirman
Abstrak
Tulisan ini membahas tentang keunggulan organisasi bisnis jasa melalui
relationship value managemen. Esensi dari gagasan relationship marketing
sebenarnya adalah aktivitas pemasaran tidak hanya memenuhi persepsi
konsumen tetapi harus membangun kepercayaan konsumen. Pada posisi ini,
seorang marketing bertindak sebagai integrator pada lingkungan internal
melalui kemampuan menciptakan sintesa teknologi dengan kebutuhan
konsumen secara eksternal. sustainable customer relationship yang menjadi isu
utama dari pemasaran yang bertujuan untuk menciptakan superior customer
value. Ditinjau dari segi nilai untuk pelanggan dan nilai untuk organisasi,
seyogyanya terdapat dua arus nilai (Value) yakni pelanggan memperoleh value
(manfaat) produk atau jasa sesungguhnya dari hubungan relational dan
organisasi merubah nilai menjadi profitabilitas. Esensi dari konsep pemasaran
yang fokus pada pelanggan sebagai suatu falsafah yakni memahami kebutuhab
dan keinginan pelanggan, lalu menyusun tawaran total dari suatu produk
sehingga kebutuhan pelanggan dipuaskan melalui proses penciptaan nilai bagi
pelanggan
A. PENDAHULUAN
Sejak pertengahan tahun 1990-sampai dengan tahun 2000-an telah terjadi
perubahan paradigma pada lingkungan bisnis global. Pergeseran paradigma
manajemen (emergeng paradigm) sebagai akibat dari perubahan perubahan
lingkungan bisnis global dan selanjutnya berdampak pula pada perkembangan
ilmu manajemen yang biasa disebut dalam literatur-literatur sejarah pemikiran
manajemen sebagai Management Revolution Era. Konsep ini, menganut prinsip
the application of knowledge to knowledge dan ditandai dengan munculnya
teknologi informasi serta pemamfaatan internet dalam berbagai aktivitas bisnis.
Perubahan lingkungan bisnis yang berkarakteristik customer sangat memegang
kendali aktivitas bisnis saat ini, akibatnya persaingan akan menjadi semakin
tajam dan perubahan menjadi konstan, pesat, serentak, dan perpasif yang dalam
istilah lainnya biasa juga disebut sebagai velocity era, yang pada penekanannya
pada customer value strategy, continous improvement, dan organizational
system.
123
Membangun Keunggulan Organisasi Bisnis Jasa di Velocity Era Melalui Relationship
Value Management
Hasil evolusi ini telah mengubah secara sangat mendasar cara perusahaan
dijalankan dan cara memberikan value ke pelanggan. Kondisi ini, sangat
menuntut kepada kita agar dapat tenggelam ke dalam gelombang perubahan
yang sangat mendasar. Pada konsep ini, mampu membangun sustainable value
melalui speed, flexibility, integration, dan innovation. Perubahan mendasar ini
juga berdampak terhadap pada fungsi operasional manajemen yang melahirkan
gagasan-gagasan baru tentang pemasaran, defenisi dan paradigma baru
pemasaran yang memberikan suatu fondasi baru yang berwujud dalam bentuk
pemikiran baru tentan nilai dasar, asumsi, konsep, dan metode. Para pakar
pemasaran telah banyak memperbincangkan tetntang pergeseran paradigma
dalam pendekatan dan orientasi pemasaran, yakni sustainable customer
relationship yang menjadi isu utama dari pemasaran yang bertujuan untuk
menciptakan superior customer value. Seluruh kemampuan oerganisasi
dikerahkan untuk membangun dan meningkatkan hubungan kepada pelanggan
dan pemasok. Berbagai defenisi pemasaran relasional ternyata mengakui
manfaat dari interaksi aktor pemasaran karena dapat menciptakan dan
mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan. Diantara mereka.1
Ditinjau dari segi nilai untuk pelanggan dan nilai untuk organisasi,
seyogyanya terdapat dua arus nilai (Value) yakni pelanggan memperoleh value
(manfaat) produk atau jasa sesungguhnya dari hubungan relational dan
organisasi merubah nilai menjadi profitabilitas. Esensi dari konsep pemasaran
yang fokus pada pelanggan sebagai suatu falsafah yakni memahami kebutuhan
dan keinginan pelanggan, lalu menyusun tawaran total dari suatu produk
sehingga kebutuhan pelanggan dipuaskan melalui proses penciptaan nilai bagi
pelanggan.
B. PEMBAHASAN
1. Dinamika Perubahan Pemasaran
Perubahan peran pemasaran dan dinamika pemikiran-pemikiran inti
pemasaran terus mengalami pergesaran seiring dengan perkembangan zaman
yang terus bergulir dengan berbagai tantangannya. Menurut Profesor Frederick
E. Webster, Jr. Mengemukakan bahwa “ bentuk-bentuk organisasi baru,
termasuk di dalamnya adalah kemitraan strategis (strategic netwoeks),
menggantikan organisasi-organisasi yang bersifat sederhana yang melakukan
transaksi yang berbasis pasar (market-based transactions), dan bersifat
hierarkis birokratis tradisional. Fungsi manajemen pemasaran secara historis
yang berdasarkan paradigma microeconomic maxmization secara kritis harus
1
Cindy Claycomb dan Charles L. Martin (2002), Shet dan Mittal (2004).
Journal Manajemen strategi Pemasaran Jasa.
124
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
Sudirman
diuji relevansinya terhadap teori dan praktik pemasaran di era 2000-an. Sebuah
konsepsi baru pemasaran akan berfokus pada pengelolaan kemitraan strategis
dan memposisikan perusahaan jasa diantara vendors dan pelanggan dalam
value—chain dengan sasaran untuk memberikan value yang superior kepada
pelanggan. Hubungan pelanggan (customer relationship) akan dilihat sebagai
sumber daya kunci yang strategis dari sebuah bisnis.”2
Selain itu, diperlikan pemaham tentang knowladge-based marketing yang
pada dasarnya mensyaratkan perusahaan yang bergerak dibidang jasa untuk
mempunyai pengetahuan tantang way of doing business, meliputi teknologi,
persaingan yang dihadapi dan konsumen yang dilayani. Pada konsep ini,
experience-based marketing lebih menekankan pada interaktif, konektivitas, dan
kreatifitas. Berdasarkan dengan ilmu knowledge and experience-based
marketing, mengharuskan perusahaan jasa untuk terus menerus meluangkan
waktunya bagi pelanggan, memonitor gerak-gerik pesaing serta pengembangan
sistem umpan balik (feedback system) yang dapat memberikan informasi
penting bagi pengembangan produk jasa baru.3
Pergeseran paradigma dalam pemikiran pemasaran ditujukan dari
cakupan suatu hubungan pemasaran yang berubah dari transaksi (transactions)
menjadi transaksi berulang (repeat transactions) menjadi hubungan jangka
panjang (longterm relationship) menjadi kemitraan antara pembeli-penjual
(buyer-seller partnership, yang bersifat “mutual total dependence”), menjadi
aliansi strategis (strategic alliances, termasuk didalamnya joint ventures)
menjadi organisasi jaringan (network organizations), menjadi integrasi vertikal
(vertical integrations)4.
Untuk mempertimbangkan peranan baru pemasaran dalam bisnis jasa
maupun bisnis manufactur, perlu disadari bahwa pemasaran sebenarnya
beroperasi pada tiga level yang berbeda, yang mencerminkan tiga tingkat
strategi, yaitu:
1. Pada tingkat korporat: pemasaran adalah untuk analisis struktur pasar,
orientasi dan dukungan pelanggan, serta memposisikan perusahaan dalam
valuechain.
2. Pada Tingkat Bisnis Unit atau SBU (Strategic Business Unit): pemasaran
adalah untuk segmentasi dan targeting pasar, memposisikan produk, serta
memutuskan kapan serta bagaimana menjalani kemitraan.
3. Pada Tingkat Operasional: pemasaran adalah untuk marketing mix,
mengelola pelanggan, serta melakukan reseller relationship.
2
Frederick E. Webster, Jr. (1992). The Changin Role of Marketing in the
Corporation. Journal of Markerting, vol. 56.
3
Op. Cit.
4
Doyle, Peter (2000). Value-Based Marketing. Chichester, England: John
Willey and Sons. Ltd.
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
125
Membangun Keunggulan Organisasi Bisnis Jasa di Velocity Era Melalui Relationship
Value Management
Pergeseran paradigma dalam pemikiran pemasaran memberikan definisi
baru disiplin pemasaran. Hal ini menandakan bahwa disiplin ini memberikan
suatu fondasi baru yang berwujud pemikiran baru tentang nilai dasar, asumsi,
konsep dan metode. Pola pikir yang berlaku diganti dengan yag lain yakni
pengetahuan dan praktek pemasaran relasional. Para pakar pemasaran berbicara
tentang pergeseran paradigma dalam pendekatan dan orientasi pemasaran.
American Marketing Association (AMA) sebagai asosiasi dari kaum profesional
telah melakukan redefinisi disiplin pemasaran, dimana definisi tersebut telah
memasukkan unsur relationship didalamnya yakni: “pemasaran adalah suatu
fungsi organisasi dan seperangkat proses untuk menciptakan,
mengkomunikasikan, dan menyerahkan nilai kepada pelanggan dan mengelola
hubungan pelanggan dengan cara yang menguntungakan organisasi dan para
pemangku kepentingan (stakeholders)”. Perubahan ini meskipun lambat
(kurang lebih 19 tahun dari definisi sebelumnya), telah memperluas cakrawala
pengetahuan dan praktek pemasaran5.
Dalam memahami pergeseran paradigma tersebut, maka perlu
dirumuskan pengertian pamasaran relasional yang kami rujuk dari jalan pikiran
salah seorang tokoh terkemuka dalam bidang ini dari “Nordic School” yakni
Gronroos yang menegaskan bahwa “customer relationship” yang bertujuan
menciptakan “superior customer value” secara berkelanjutan yang menjadi isu
sentral dari pemasaran. Jadi seluruh kemampuan organisasi dikerahkan untuk
membangun dan meningkatkan hubungan dengan para stakeholders dan
shareholders.6
Berbagi definisi pemasaran relasional ternyata mengakui manfaat
interaksi dari aktor pemasaran karena dapat menciptakan dan mempertahankan
hubungan yang saling menguntungkan di antara mereka. Akhirnya, interaksi itu
berdampak pada “customer relationship” sebagai tujuan akhir. Singkatnya,
hubungan relasional dengan pelanggan menjadi fokus dan paradigma dominan
untuk pemasaran kontemporer7.
2. Arah Perkembangan dari Relationship Marketing ke Relationship
Value Manajemen.
Relasionship marketing dapat dipandang sebagai koreksi yang cukup
mendasar atas pemikiran dan praktik pemasaran yang telah ada sebelumnya
5
Cristopher, M dkk. (1991). Relationship Marketing. Oxpord: Butterworh-
Heinemann.
6
Op. Cit.
Bennet, Peter D. Ed. (1995). Dictionary of Marketing Terms (2nd Edition).
Lincolnwood II: NTC Publishing Group.
7
126
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
Sudirman
terutama terhadap praktik pemasaran yang lebih menekankan pada asas
transaksi (one-time transaction marketing), bahkan konsep ini dapat juga
dianggap lebih maju jika dibandingkan dengan konsep marketing –driven
strategy. Pemahaman mengenai relationship marketing merupakan hasil proses
evolusi atas berbagai konsep pemasaran dalam sejumlah bidang utama, seperti
consumer marketing, industrial marketing, non-profit marketing, social
marketing, dan Customer Relation Management8.
Esensi dari gagasan relationship marketing sebenarnya adalah aktivitas
pemasaran tidak hanya memenuhi persepsi konsumen tetapi harus membangun
kepercayaan konsumen. Pada posisi ini, seorang marketing bertindak sebagai
integrator pada lingkungan internal melalui kemampuan menciptakan sintesa
teknologi dengan kebutuhan konsumen secara eksternal. Pada konsep ini,
marketing menjebatani pelanggan ke dalam perusahaan sebagai partisipan
dalam pengembangan maupun adaptasi produk. Pada praktik ini, sesungguhnya
merupakan paradigma shift, dimana peranan dan tujuan pemasaran hanya
sekedar memanipulir konsumen, karena melibatkan konsumen secara utuh
(sharing knowledge). Dalam pola pikir ini, pemasar sebagai integrator dan tidak
lagi menekankan pada share of market yang lebih mengacu pada paradigma
lama mass marketing, tetapi share of customer yang memiliki pola pikir yang
sama sekali berbeda. Pada share of customer, parameter yang dipakai bukan
lagi pasar, tetapi individual customer dan live time value9.
Jika konsep market-based transaction menekankan bagaimana pemasar
dapat menciptakan penjualan berikutnya, maka konsep relationship marketing
memberikan perhatian pada penjualan yang telah terjadi dan berkelanjutan
(ongoing relationships). Pemasar yang menganut konsep transaction-marketing
memandang proses pemasarantelah berakhir ketika transaksi jual-beli telah
terjadi, dimana barang telah berpindah dari penjual ke pembeli atau lebih
menerapkan azas spot contract. Selanjutnya, pemasar mengarahkan perhatian
terhadap upaya untuk menciptakan transaksi berikutnya. Sedangkan, pemasar
yang menganut pendekatan relationship marketing memberikan perhatian
terhadap transaksi yang sedang berlangsung dan memanfaatkannya sebagai
dasar untuk hubungan pemasaran yang berkelanjutan di masa yang akan datang.
Dengan demikian, proses pemasaran tidak berakhir dengan terjadinya transaksi
jual beli.10
Berdasarkan dengan uraian pada konsep managemen relatinship, maka
dapat dikatakan bahwa berbeda atau lebih maju dari marketing driven strategy,
8
Buhn, M. (2003). Relationship Marketing. Essex, England: Prentice Hall.
Journal of Managemen Strategic.
9
Op. Cit.
10
Gummesson, E. (2002). Total Relationship Marketing. (2nd Edition),
Oxpord : Butterworth-Heinemann
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
127
Membangun Keunggulan Organisasi Bisnis Jasa di Velocity Era Melalui Relationship
Value Management
karena konsep ini secara eksplisit menempatkan konsumen sebagai penentu
strategi pemasaran, dan buka sebaliknya. McKenna, telah mengapresiasi konsep
relationship marketing dengan mengumpamakan pemasaran menurut konsep
relationship marketing sebagai perjalanan atau peluncuran roket ke buan di
mana keberhasilan sangat ditentukan oleh mabagaimana menyesuaikan selalu
dilakukan menuruti pergerakan bulan.
Keberhasilan pemasaran ditentukan oleh kekuatan-kekuatan
“gravitasional” dari pasar (bulan) dan organisasi (bumi). Pasar dapat menarik
suatu produk dan menempatkannya pada posisi yang unggul atau sebaliknya
menghancurkan citranya. Kekuatan-kekuatan dari organisasi dapat menarik
produk ke bawah sehingga gagal mencapai tujuannya atau sebaliknya memberi
daya dorong yang memungkinkannya lelap landas secara meyakinkan.
Kekuatan-kekuatan dari perusahaan diantranya mencakup keandalan produk
dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen, baik pada level core
product, actual product, maupun pada level augmented product, teknologi yang
diterapkan, kemampuan pendanaan, dan kemampuan di dalam menentukan
timing yang tetap. Kekuatan-kekuatan dari pasar mencakup diantaranya
hubungan dengan pelanggan yang strategis (strategic customer relationship)
karena kredibilitas suatu perusahaan. Unsur yang lain adalah dukungan
infrastruktur pemasran (pengecer, distributor, keuangan/bursa, manufaktur yang
ada di sekelilingnya dan sebagainya). Kekuatiran atau keraguan dan
ketidakpastian konsumen atas produk, persaingan, kecenderungan sosial dan
sebagainya. Semua ini dapat memberikan peluang-peluang pemasaran yang
menguntungkan, tetapi bisa juga memberikan tekanan atau ancaman yang
merugikan11.
Pada konsep ini, sesungguhnya hanya akan mempertegas pemahaman
akan arti pentingnya kedaulatan konsumen. Jadi, anggapan yang mengatakan
bahwa strategi pemasaran dapat mempengaruhi perilaku konsumen memperoleh
tantangan cukup serius, karena secara epistimologis, konsep relationship
marketing telah menempatkan pemasar sebagai bagian dari realitas konsumen,
merasakan nilai-nilai konsumen, kemudian menempatkan kedalam pelayanan
pada organisasinya. Pemasar buakan lagi sebagai objek yang berada di laur
dunia konsumen dan mengambil jarak dengannya, tetpi justru menjadi bagian
dari dirinya.
Hal lain yang lebih maju atau berbeda dari relationship marketing jika
dibandingkan dengan marketing-driven strategy, bahwa perusahaan adalah
penciptaan pasar (market creation) bukan market sharing. Dikatakan demikian
11
--------------------- (2003). Marketing Relationship Marketing operasional.”
Internasional Journal Of service Industri Management, Vol. 5, No. 5.
128
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
Sudirman
karena hubungan baik dalam jangka panjang dapat memberikan peluang bagi
diciptakannya produk-produk baru yang diminta oleh pelanggan atau
menciptakan permintaan akan produk-produk lain dari organisasi. Hal ini,
berbeda dengan perusahaan jasa yang berorientasi pada transaksi di mana
perusahaan jasa hanya berjuang untuk mengisi berbagai proporsi dari pasar
dengan produknya yang sudah ada. Pemasaran adalah proses bukan taktik
promosional. Moral dari konsep ini menekankan bahwa periklanan dan promosi
hanyalah sebagian kecil dari strategi pemasaran. Periklanan dapat memberi
penguatan atas posisi di pasar, tetapi ia tidak dapat menciptakan posisi di pasar.
Dalam membangun posisi yang berkelanjutan di pasar, maka pertama-tama
yang harus dilakukan oleh perusahaan adalah membangun hubungan yang kuat
dengan pasar dan infrastruktur pemasaran. Proses pelayanan yang memuaskan
dan kedekatan dengan pelanggan serta mendengarkan keluhan dan keinginan
mereka mengenai produk sebagai penentu posisi perusahaan.
Pada era, di mana tawaran produk untuk memenuhi suatu kebutuhan
yang spesifik begitu melimpah dan tiada perbedaan yang berarti, maka tindakan
pelayanan yang diberikan kepada pelanggan jauh lebih mempengaruhi loyalitas
pelanggan dari pada iklam yang mungkin saja klaimnya saja dengan klaim dari
perusahaan-perusahaan lain. Pemsaran adalah bersifat kulaitatif dan bukan
kuantitatif. Angka-angka dapat memberi keamanan bagi pemasar di dalam
pengambilan keputusan. Tetapi, penekanan pada penggunaan data masa kini
dan masa lampau sebagai dasar untuk memperkirakan perkembangan
pemasaran di masa depan relatif tidak cocok untuk situasi pemasaran yang
berubah-ubah dan polanya bukan merupakan kelanjutan dari apa yang telah
dikenali sebelumnya. Survei pemasaran yang menerapkan pendekatan kualitatif
mempunyai kekuatan yang lebih besar untuk menggambarkan kecenderungan
pasar mengenai produk perusahaan. Pendekatan kualitatif yang juga penting di
dalam proses penjualan, karena konsumen sering memutuskan pembeliannya
berdasarkan faktor-faktor kualitatif, yaitu: kepemimpinan, pelayanan,
realibilitas, dan reputasi perusahaan12.
Secara ringkas, perbedaan antara one-time transaction atau discrete
transaction dan relationship transaction terletak pada tiga isu kunci: waktu
asumsi tentang kriteria keputusan pembelian dan tujuan bertransaksi. Orientasi
waktu dari hubungan pada transaksi diskrit adalah jangka pendek sebatas
terciptanya transaksi, sedangkan pada relationship transaction hubungan
berkelanjutan, setetlah transaksi jual beli terjadi, maka penganut konsep ini
sangat memperhatikan juga unsur addressability dari para pelanggannya. Pada
situasi sekali transaksi, diasumsikan bahwa pembeli biasanya menggunakan
12
Barlin Halim (1965). Ilmu Ekonomi Perusahaan. Dalam: Research di
Indonesia, 1945-1965, IV, Bidang Ekonomi, sosial, dan Budaya. Jakarta: Dept. Urusan
Research Nasional Republik Indonesia.
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
129
Membangun Keunggulan Organisasi Bisnis Jasa di Velocity Era Melalui Relationship
Value Management
harga dan kriteria ekonomi lainnya dalam pengambilan keputusan pembelian,
sedangkan pada transaksi yang berkelanjutan diasumsika bahwa pembeli ingin
memuaskan kebutuhannya dalam jangka pajang melalui kualitas hubungan baik
dan pelayanan yang superior. Hal yang ketiga, menunjukkan bahwa pada situasi
sekali-transaksi, kedua pihak mempunyai kepentingan yang berbeda: pembeli
mencari harga yang menarik, sedangkan penjual ingin memaksimumkan laba.
Pada relationship marketing, ada kecenderungan yang lebih besar untuk shared
benefits, sehingga dapat dibangun hubungan yang saling mengembangkan
manfaat dan niali bagi masing-masing13.
Sejalan dengan penjelasan di atas menunjukkan bahwa dua pilar utama
relationship marketing adalah kepercayaan (trust) dan komitmen. Dengan kata
lain, pelanggan harus mempercayai pemasar dan selanjutnya berkomitmen
padanya sebelum bisa terjadi relasi saling menguntungkan dalam jangka
panjang. Kepercayaan merupakan faktor paling krusial dalam setiap relasi,
sekaligus berpengaruh pada komitmen. Apabila tidak ada kepercayaan, maka
tidak akan ada komitmen. Kepercayaan bisa diartikan sebagai” kesediaan untuk
mengandalkan kemampuan, integritas dan motivasi pihak lain untuk bertindak
dalam rangka untuk memuaskan kebutuhan dan kepentingan seseorang
bagaimana disepakati bersama secara implisit maupun eksplisit”. Sedangkan
komitmen merupakan hasrat atau keinginan kuat untuk mempertahankan dan
melanjutkan relasi yang dipandang penting dan berniali untuk jangka panjang.
Komitmen biasanya tercermin dalam prilaku kooperatif dan tindakan aktif
untuk tetap mempertahankan relasi yang telah terbina14.
Relationship marketing merupakan orientasi strategis atau filosofi
menjalankan bisnis yang lebih fokus pada upaya mempertahankan dan
menumbuhkembangkan relasi dengan pelanggan saat ini, terutama profitable
customers dan selected customers dibandingkan merebut pelanggan baru 15.
Pada konsep tersebut didasarkan pada asumsi bahwa banyak konsumen,
baik konsumen akhir maupun konsumen bisnis, lebih suka menjalin relasi
berkelanjutan dengan suatu organisasi daripada harus terus-menrus berganti
pemasok dalam rangka mendapatkan nilai yang diharapkan. Berdasarkan
asumsi tersebut dan fakta bahwa biaya mempertahankan pelanggan lebih murah
daripada biaya mendapatkan pelanggan baru, tetapi sebenarnya dalam
13
Bruhn, M. (2003). relationship marketing. Essex, England: Prentice Hall.
Sheth and Mitttal, (2004). Making relationship marketing operasional.
Internasional journal of service industri management, Vol. 5, No. 5
15
Christoper, M. Payne, A., dan Ballantyne, D. (1999). Relationship
Marketing. Oxford: Butterworh-Heinemann.
14
130
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
Sudirman
perspektif yang lebih luas Relationship Marketing tidak hanya concern dengan “
Keeping of them” Getting of customers” (traditional marketing)16.
Sebagai artikulasi paradigma baru ini, maka Gumesson menyusun nilai
dasar pemasaran relasional, yaitu17:
1. Majemen pamasaran dimekarkan menjadi manajemen organisasi yang
berorientasi pada pemasaran (marketing-oriented),
2. Kolaborasi jangka panjang dan kreasi niali bersama atas dasar “win-win”.
Artinya, tekanan utama pada retensi pelanggan, menghalangi defeksi
pelanggan dan akuisis pelanggan menjadi nomor dua.
3. Semua pihak harus aktif dan bertanggung jawab dalam suatu hubungan
interaktif.
4. Mementingkan hubungan relasional dan layanan, bukan pada nilai
birokratif legal.
Berlandaskan pada prinsip-prinsip relationship marketing yang
dikemukan oleh McKenna (1995) dan Konsep yang dikemukakan oleh
Gumesson (2002)18. Pada konsep ini, mencoba mengembangkan apa yang
disebut sebagai nilai dasar dari relationship value management dengan
mempertimbangkan tiga hal yang menjadi pemikiran inti dalam
mengembangkan relationship marketing menjadi value management yakni:
1. Penerapan strategi “cunsomer livetime value.” Strategi ini diterapkan
karena mengantisipasi persaingan dinamis dalam pemberian value. Saat ini,
lingkungan teknologi digital telah menciptakan ekonomi tanpa batas dan
pasar bebas, value akan menjadi konsep inti yang paling penting, karena
para pesaing dan pelanggan beroperasi secara global, maka perusahaan,
individu, dan institusi (profit maupun nirlaba) harus bersaing dalam
memberikan value yang lebih baik kepada prospek pelanggan mereka.
Mengapa? Karena kita telah memasuki era of choices. Dengan demikian
pilihan terbaik adalah pilihan memberikan value terbaik. Mereka juga
harus menyadari perubahan yang tidak terduga dalam lingkungan bisnis,
yang mungkin menciptakan kebutuhan perubahan value. Dari sudut
pandangan pelanggan, value harus dianggap baik sebagai faktor
“menerima” dan “memberi”. Sebagai konsekuensi asas ini adalah para
pemasar senantiasa berusaha fokus pada retensi pelanggan serta
pertumbuhannya, akuisisi pelanggan baru menjadi prioritas kedua.
2. Fokus pada tanggung jawab seluruh organisasi terhadap tim yang “crossfunctional” dan bukan pada pekerjaan fungsional setiap departemen.
Lingkungan bisnis yang selalu berubah, mengubah sifat persainagn.
16
Op. Cit.
Doyle, Ben M. (2000). Value-Based Marketing.Chichester, England: John
Wiley dan Sons Ltd.
18
Op. Cit.
17
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
131
Membangun Keunggulan Organisasi Bisnis Jasa di Velocity Era Melalui Relationship
Value Management
3.
Persaingan yang sesungguhnya bukanlah di anatara perusahaan, individu
atau institusi, tetapi di antara jaringan organisasi yang terintegrasi
(integrated organization networks). Sementara itu, organisasi menjadi
lebih process-oriented daripada function oriented, pemasaran bukan hanya
merupakan fungsi yang terpenting lagi; pemasaran bahkan bukan lagi nama
sebuah departemen. Lebih mendasar lagi, pemasaran harus menjadi disiplin
(discipline) setiap orang dalam organisasi. Dengan demikian, setiap orang
dalam organisasi harus menjadi pemasar. Pemasaran harus menjadi “jiwa”
setiap orang. Konsep pemasaran harus menjadi sebuah konsep bisnis
strategis: sebagai sebuah “konsep payung” (umbrella concept) untuk setiap
proses lintas- fungsional, sebuah “konsep arahan” (directive concept) untuk
CEO, dan sebuah “konsep keuntungan” (profit concept) untuk seluruh
stakeholder.
Cakupan yang diperluas, dimana organisasi fokus pada pengelolaan
pembinaan hubungan dengan banyak ranah pasar ataau petaruh untuk
keberhasilan jangka panjang. Pemasarang juga digunakan oleh organisasi
nirlaba, negara, orang, politisi, dan linnya. Kemudian, harus
mempertimangkan tiga stakeholder penting, yaitu: pelanggan, karyawan,
dan shreholder. Organisasi harus mampu menciptakan penawaran dan
mempertukarkan values dengan mereka untuk mencapai transaksi,
kepuasan, dan retensi. Dengan demikian, pemasaran sebagai sebuah
disiplin harus secara khusus diimplementasikan kepada pelanggan
(external marketing), karyawan (internal Marketing), dan shareholder
(investor marketing). Sebenarnya, kita dapat memperluas defenisi
pelanggan untuk setiap stakeholder eskternal, seperti: pemasok, dealer,
bankir, pemerintah, publik, dan lain-lain. Karena itu pemasaran dapat juga
digunakan dalam penciptaan, penawaran, dan pertukaran value dengan
semua stakeholder.
Dari ketiga prinsip dasar tersebut, dapat dibentuk model strategi
pemasaran relasional yang bertujuan mewujudkan rerangka strategi yang dapat
membangun keunggulan daya saing organisasi dengan mempergunakan
hubungan relasional dari berbagai petaruh sebagai wahana kegiatan pemasaran.
Bila kembali melihat esensi dari pemasaran itu sendiri sebagai “exchange
ralationship between the organizational and its customer”, maka dalam konteks
relasional pemasaran pemasaran berpusat pada customer relationship, di mana
masing-masing pihak yang terkait dapat memenuhi kebutuhannya melalui
melalui berbagai bentuk pertukaran dalam kondisi win-win. Dengan demikian,
132
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
Sudirman
pemasaran harus diletakkan dalam konteks system aproach dan long-term
perspective19.
Dalam kerangka long term perspektive inilah perusahaan jasa perlu
meletakkan relationship marketing sebagai strategi pemasaran jangka panjang
yang ditunjukkan untuk mengembangkan dan meningkatkan hubungan yang
terus menerus yang langgen dengan konsumen. Kepentingan strategic yang ada
di balik itu sebenarnya adalah bagaimana mempertahankan dan meningkatkan
hubungan relasional yang telah terbina dengan pelanggan yang suda ada
(exaiting costumer) sekalipun tidak berarti bahwa merubut konsumen baru
tidaklah dianggap penting. Dalam pola hubungan relasional ini, interactive
marketing menjadi sangat penting. Moments of truth didalam interaksi pembelipenjual menjadi sangat kritikal. Bilamana Moments of truth tidak ditangani
dengan baik, maka perusahaan jasa akan kehilangan moment of opportunity, dan
dalam situasi seperti ini, traditional marketing services (7p’s: product, price,
place, promotional, pople, physical avvidance, and process) tidak mampu
mengatasinya. Hal ini menjadi pertimbangan mengapa kotler dalam suatu forum
mengemukakan pandangan tentang pemasarang yang tidak berdiri sendiri.
Pemasaran terdiri dari: C (create), C (communicate), D (deliver), V (value), T
(target market), P (profit). Tugas uatama sebagai pemasar adalah to create
(menciptakan), communicate (mengomunikasikan), dan deliveri value
(menghantar niali) kepada target market (pasar sasaran) untuk menghasilkan
profit20.
3. Implikasi Teoritis Relationship Marketing dalam Bidang Pemasarang
Jasa
Konsep relationship marketing, menuntut pemasar pada bidang jasa
menekankan pentingkay hubungan baik jangka panjang dengan konsumen dan
ifrastruktur pemasaran dan secara struktural-organisasional, kesadaran tersebut
diwujudkan dalam bentuk-bentuk hubungan dan komitmen yang menyeluruh.
Dengan demikian, bagi suatu organisasi yang menerapkan konsep ini berlaku
pandangan bahwa marketing is everything is marketing.
Relationship marketing merupakan konsep yang atraktif dan mampu
menarik perhatian banyak pihak. (akademisi, praktisi, dan konsultan bisnis)
karena konsep ini mampu menyatukan sejumlah pemikiran pemasara,
diantaranya manajemen penjualan, strategic thinking, bussiness- to- business
dan affinity marketing.
19
Kotler, Philips dan Jain, Dipak C. Maesincee, Suvit (2000). Marketing
Muves. Boston, MA: Harvard Business School Press.
20
Op. Cit.
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
133
Membangun Keunggulan Organisasi Bisnis Jasa di Velocity Era Melalui Relationship
Value Management
Relatinship marketing telah menjadi suatu mashab baru dalam berbagai
aliran disiplin pemikiran pemasaran. Mengikuti rerangka klasifikasi (metriks)
perbagai teori pemasaran yang telah dikembangkan oleh Sheth et. al. (1988)
maka relationship marketing dapat dimasukkan ke dalam dimensi interaktifnon-ekonomis karena memperhatiakan independendi antara pelaku serta
menekankan pada peretukaran sebagai fondasi teori pemasaran. Parvatiyar dan
Sheth (2000) mengatakan bahwa relationship marketing memiliki potensi
menjadi suatu disipilin dan mengembankan teorinya sendiri jika ranahnya
dibatasi pada aspek hubungan perusahaan dengan pelanggan21. Suatu teori
umum pemasaran dapat dikembangkan dari prinsip-prinsip relationship
marketing. Jika kita mengakui pergeseran paradigma dari pemaasaran
transksional ke pemasaran relationship marketing. Pada kenyataan ini memiliki
arti bahwa apa yang kita kenal dengan istilah pemasaran telah berubah menjadi
pemasaran tradisonal. Namun demikian, ada beberapa pakar pemasaran yang
tidak setuju memasukkan relationship marketing hanya menekankan
pandangannya terhadap bagaimana menjaga hubungan baik kepada pelanggan,
tanpa pernah mengemukakan bagaimana hubungan itu dibangun berdasarkan
kualitas hubungan itu sendiri.22
4. Implikasi Managerial Relationship Marketing Dalam Bidang Pemasaran
Jasa: Perlu Perubahan “Mindset”.
Pada hakikatnya, relationship marketing mencerminkan perubahan
paradigma dalam pemasaran, yaitu dari semula difokuskan pada
transaksi/akuisisi pelanggan menjadi relasi/retensi pelanggan. Secara historis,
kebanyakan perusahaan jasa lebih berfokus pada upaya menarik pelanggan
baru, sehingga perubahan ke arah strategi relationship marketing menuntut
perubahan dalam hal mind set, budaya organisasi, sistem penilaian kinerja dan
kompensasi karyawan.
Upaya dalam mencapai tujuan perusahaan jasa, baik dalam bentuk laba,
Volume penjualan, pangsa pasar, pertumbuhan, misi sosial, maupun tujuan
lainnya dapat dicapai melalui upaya memuaskan pelanggan. Caranya, tidak
semata-mata dengan menekankan pada aspek transaksi (transaction marketing),
namun lebih berfokus pada aspek hubungan (relationship marketing). Berbeda
dengan transaaction marketing lebih menekankan pentingnya jalinan kerjasama
yang saling menguntungkan dengan pelanggan dengan jangka panjang. Untuk
itu, dibutuhkan strategi, kinerja, kompetensi inti, sumber daya (lam organisasi
21
Parvatiyar, A. Dan Sheth, J.N. (1997) paradigm Shift in Interfirm
Marketing Relationship. “ dalam J.N. Sheth dan A. Parvatiyar (eds), Research in
Marketing, Vol. 13., Grenenwich.
22
Ibid.
134
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
Sudirman
manusia, alam, financial, teknologi, informasi dan waktu), dan koodinasi.
Selain itu, diperlukan sinergi antar fungsi dalam organisasi demipenciptaan nilai
bagi terwujudnya kepuasan dan loyalitas pelanggan23.
Paradigma relationship marketing bertujuan menutup “loop” yang
terjadi antara “attracting customers” (sebagai “firts act”) dan keeping of them”
(sebagai”second act”) melalui integrasi tiga unsur quality, customer service,
marketing24.
Pemasaran dapat diibaratkan sebagai sebuah “ember besar” penjualan,
periklanan, dan program promosi yang menuangkan bisnis ke dalam ember.
Selama program tersebut efektif maka ember tersebut akan penuh. Namun,
hanya ada satu masalah, bilamana konsumen tidak puas dengan apa yang dia
telah peroleh, maka lubang pada ember tersebut akan membesar dan semakin
cepat kehilangan bisnis daripada apa yang bisa diperoleh. Teori ember besar ini
(Bucket Theory of Marketing) ini sebenarnya mengilustrasikan bahwa strategi
relationship marketing yang mencoba menambal luabng pada ember menjadi
hal yang penting dalam strategi. Masalah tersebut, sering kali menjadi
persoalan. Di dalam praktik perusahaan jasa lebih menekankan pada akusisi
konsumen (“firts act”) dan mangabaaikan “memeliharanya” (“second act”)25.
Didalam system approach, selain keempat aspek utama dalam strategi
pemasaran yang diuraikan oleh Gronroos ataupun model integrasi dari
Christoper, Payne, Ballantyne, yang penting diperhatikan didalam melakukan
transformasi paradigma dari transaction marketing ke relationship marketing
adalah sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Zeithaml dan Bitner “untuk
mengimplementasikan relationship strategy maka yang perlu dilakukan adalah
perubahan mindset, budaya organisasi dan system imbalan. Sbagai contoh,
misalnya, kebanyakan perusahan jasa seringkali menerapkan sistem sistem
insentif atas dasar “ attracting new cusdtomers” dan jarang sekali (bahkan tidak
ada) meneraapkan sistenm insentif atas dasar retaining current accounts
“sehingga sekalipun banyak orang yang sangat mendukung sekali pentingnya
“cutomer retention” tetapi sistem organisasi yang berlaku justru tidak
mendukung implementasinya26.
23
Ibid.
Peck, H. & Payne, A. Christopher, M. & Clark, M. (1999). Relationship
Marketing: Strategic and Implementation. Oxford: Butterworth – Heinemann.
25
Hakansson, H. Dan Henjesand, Inge-Jane Waluszewski, A. (2004).
Introduction: Rethingking Marketing. “dalam H. Hakansson dan D. Harrison. Dan A.
Waluszewski (eds), Rethingking Marketing. West Sussex England: John Wiley dan
Sons. Ltd.
26
Ibid.
24
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
135
Membangun Keunggulan Organisasi Bisnis Jasa di Velocity Era Melalui Relationship
Value Management
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pendahuluan maupun pembahasan, maka terdapat
beberapa yang menjadi kesimpulan pada tulisan ini adalah sebagai berikut:
Pada hakikatnya, relationship marketing mencerminkan perubahan
paradigma dalam pemasaran, yaitu dari semula difokuskan pada
transaksi/akuisisi pelanggan menjadi relasi/retensi pelanggan. Secara historis,
kebanyakan perusahaan jasa lebih berfokus pada upaya menarik pelanggan
baru, sehingga perubahan ke arah strategi relationship marketing menuntut
perubahan dalam hal mind set, budaya organisasi, sistem penilaian kinerja dan
kompensasi karyawan.
Paradigma relationship marketing pada esensinya memperlakukan
konsumen sebagai “mitra” dalam suatu pertukaran yang saling mengutungkan
win-win situation dan tidak win lose. Dalam situasi seperti ini dapat
disimpulkan bahwa transaction marketing mindset masih dominan dalam proses
pertukaran pembeli dan penjual.
Konsep relationship marketing, menuntut pemasar pada bidang jasa
menekankan pentingkay hubungan baik jangka panjang dengan konsumen dan
ifrastruktur pemasaran dan secara struktural-organisasional, kesadaran tersebut
diwujudkan dalam bentuk-bentuk hubungan dan komitmen yang menyeluruh.
Dengan demikian, bagi suatu organisasi yang menerapkan konsep ini berlaku
pandangan bahwa marketing is everything is marketing.
2. Saran
Berdasarkan uraian pendahuluan, pembahasan, dan kesimpulan,
terdapat beberapa yang menjadi saran-saran tulisan ini, yaitu:
a. Para pemasar sebaiknya membina hibungan baik kepada pelanggan agar
para pelangan akan terus melakukan transaksi pembelian secara
berkelanjutan.
b. Para pemasar hendaknya selalu berusaha untuk memenuhi keingan
pelanggan agar pemenbuhan kepuasan pelangan dapat terus ditingkatka.
c. Para pemasar senantiasa dapat selalu mendengarkan keluha-keluhan yang
dialami oleh setiap customer dan selalu berupaya untuk melukan
perbaikan-perbaikan yang sifatnya dapat lebih memperkuat hubungan
kemitraan dengan pelanggan.
d. Berupaya untuk terus menciptakan nilai-nilai dalam organisasi sebagai
perekat hubungan dengan customer.
136
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
Sudirman
DAFTAR PUSTAKA
Barlin Halim (1965). Ilmu Ekonomi Perusahaan. Dalam: Research di Indonesia,
1945-1965, IV, Bidang Ekonomi, sosial, dan Budaya. Jakarta: Dept.
Urusan Research Nasional Republik Indonesia.
Bennet, Peter D. Ed. (1995). Dictionary of Marketing Terms (2nd Edition).
Lincolnwood II: NTC Publishing Group.
Buhn, M. (2003). Relationship Marketing. Essex, England: Prentice Hall.
Journal of Managemen Strategic.
Christoper, M. Payne, A., dan Ballantyne, D. (1999). Relationship Marketing.
Oxford: Butterworh-Heinemann.
Doyle, Ben M. (2000). Value-Based Marketing.Chichester, England: John
Wiley dan Sons Ltd.
Cindy Claycomb dan Charles L. Martin (2002), Shet dan Mittal (2004). Journal
Manajemen strategi Pemasaran Jasa.
Frederick E. Webster, Jr. (1992). The Changin Role of Marketing in the
Corporation. Journal of Markerting, vol. 56.
Gummesson, E. (2002). Total Relationship Marketing. (2nd Edition), Oxpord :
Butterworth-Heinemann.
Hakansson, H. Dan Henjesand, Inge-Jane Waluszewski, A. (2004).
Introduction: Rethingking Marketing. “dalam H. Hakansson dan D.
Harrison. Dan A. Waluszewski (eds), Rethingking Marketing. West
Sussex England: John Wiley dan Sons. Ltd.
Kotler, Philips dan Jain, Dipak C. Maesincee, Suvit (2000). Marketing Muves.
Boston, MA: Harvard Business School Press.
Parvatiyar, A. Dan Sheth, J.N. (1997) paradigm Shift in Interfirm Marketing
Relationship. “ dalam J.N. Sheth dan A. Parvatiyar (eds), Research in
Marketing, Vol. 13., Grenenwich.
Peck, H. & Payne, A. Christopher, M. & Clark, M. (1999). Relationship
Marketing: Strategic and Implementation. Oxford: Butterworth –
Heinemann.
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
137
Membangun Keunggulan Organisasi Bisnis Jasa di Velocity Era Melalui Relationship
Value Management
Sheth and Mitttal, (2004). Making relationship marketing operasional.
Internasional journal of service industri management, Vol. 5, No. 5
--------------------- (2003). Marketing Relationship Marketing operasional.”
Internasional Journal Of service Industri Management, Vol. 5, No. 5.
138
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
Download