TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sistematika jeruk nipis adalah sebagai berikut ; Divisi : Spermatophyta, Subdivisi : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo : Rutales, Famili : Rutaceae, Genus : Citrus, Spesies : Citrus aurantifolia Swingle (Steenis, 2003). Jeruk nipis termasuk jenis tumbuhan perdu yang banyak memiliki dahan dan ranting. Tingginya sekitar 0,5-3,5 meter. Batang pohonnya berkayu ulet, berduri dan keras, sedangkan permukaan kulit luarnya berwarna tua dan kusam (Dalimartha, 2006). Daun tanaman jeruk termasuk daun tunggal, berbentuk bulat telur (oval) dan memiliki tangkai daun pendek. Ujung daun runcing, demikian pula pangkalnya juga meruncing, tetapi daun agak rata, helai daun kaku dan tebal. Permukaan daun bagian atas mengandung lilin, pektin, licin dan mengkilap berwarna hijau tua dan memiliki tulang-tulang daun menyirip, sedangkan permukaan daun bagian bawah berwarna hijau muda (Cahyono, 2005). Bunga jeruk nipis berbentuk tandan pendek, berada di ketiak daun pada pucuk. Banyaknya bunga per tandan sekitar 1-10 kuntum. Bunga putih terlihat sewaktu masih kuncup. Daun kelopaknya berbentuk cawan, dan bercuping sekitar 4-6. Mahkota bunga sebanyak 4-6 helai, dan panjangnya sekitar 8-12 cm. Benang sarinya berjumlah antara 20-25 utas. Tangkai putiknya mudah dibedakan dengan bakal buah. Kepala putiknya bersifat reseptif pada saat bunga mekar. Serbuk sarinya tak akan dipencarkan sampai bunga mekar (Sarwono, 2004). Universitas Sumatera Utara Struktur dan komposisi jeruk nipis hampir sama dengan lemon. Buah berbentuk bola, kulit buah berwarna hijau kekuningan saat tua (matang) serta mempunyai ketebalan 0,2-0,5 cm, sedangkan daging buahnya berwarna kekuningan. Jeruk nipis memiliki aroma yang khas serta rasa yang masam yang jauh lebih kuat dibanding dengan jeruk yang lain (Ermawati, 2008). Syarat Tumbuh Iklim Jeruk nipis bisa ditanam di daerah dengan kriteria sebagai berikut : 1) Daerah sangat basah, yaitu daerah yang rata-rata bulan keringnya dalam setahun sebanyak 0-1,5 bulan, 2) Daerah basah, yaitu daerah yang rata-rata bulan keringnya dalam setahun antara 1,5-3 bulan, 3) Daerah agak basah, yaitu daerah yang bulan keringnya rata-rata dalam setahun antara 3-4,5 bulan. Ada pula beberapa bahan rujukan yang menyebutkan bahwa jeruk nipis menyukai daerah tanam agak kering dengan jumlah rata-rata bulan keringnya dalam setahun antara 4,5-6 bulan (Setiadi dan Parimin, 2004). Dapat ditanam di daerah antara 400 LU-400 LS. Banyak terdapat pada daerah 20-400 LU dan 20-400 LS. Di daerah tropis, dapat ditanam di dataran rendah sampai ketinggian 650 m dpl. Di daerah khatulistiwa dapat di tanam sampai ketinggian 2000 m dpl. Temperatur optimal 25-30 0C. Sinar matahari sangat diperlukan untuk pertumbuhan jeruk oleh karena itu jeruk yang ditanam di tempat terlindung pertumbuhannya kurang baik dan mudah terserang penyakit (Purnomosidhi, 2007). Curah hujan optimal 1500 mm/tahun ditambah dengan pengairan/diairi yang baik, jadi di daerah beriklim kering (2-4 bulan atau 4-6 bulan kering). Universitas Sumatera Utara Tanaman jeruk membutuhkan banyak persinaran matahari, yaitu sekitar 50-70 %. Keadaan udara yang lembab akan menimbulkan lebih banyak penyakit cendawan, sebaliknya keadaan udara yang kering akan menimbulkan lebih banyak serangan hama terutama scale insect (kutu perisai) dan kutu-kutu pengisap lainnya. Di daerah-daerah jeruk di Indonesia rata kelembabannya berkisar 50-85 % dan 70-80 % (Joesoef, 1993). Tanah Jeruk nipis bisa tumbuh pada daerah berketinggian antara 0-1000 m di atas permukaan laut (dpl) untuk semua jenis tanah. Namun, jeruk nipis lebih menyukai tanah alkali dengan derajat keasaman (pH) tanah antara 5-6. Jeruk nipis toleran terhadap kekeringan. Jika ditanam di daerah kering dengan kondisi tanah kurang subur, jeruk nipis masih bisa tumbuh dan berbuah, asalkan pengairannya baik dan pemberian pupuknya cukup (Setiadi dan Parimin, 2004). Jeruk nipis terbaik tumbuhnya di daerah yang agak kering dengan tanah yang sarang (gembur). Tanah yang longgar dan tidak lekas padat, sehingga air berlebihan (air hujan) bisa cepat dialirkan/dilarutkan. Jeruk sama sekali tidak tahan terhadap air yang tergenang (penyakit akar). Tanah yang banyak mengandung pasir dan air yang tidak dalam, lebih dari 1,50 m, baik sekali untuk perkebunan jeruk (Joesoef, 1993). Tanaman jeruk menghendaki drainase yang baik. Kekurangan air akan mempengaruhi pertumbuhan vegetatif, sedangkan pada saat pembungaan dan pembesaran buah kondisi air harus tercukupi. Drainase yang tidak tertata dengan baik akan menganggu perkembangan akar dan menyebabkan akar busuk. Universitas Sumatera Utara Tanaman jeruk membutuhkan solum cukup dalam (optimum <100 cm), kecuali bibit setek/cangkokan (BPTP, 2011). Perbanyakan Tanaman Dengan Setek Setek adalah salah satu cara pembiakan tanaman tanpa melalui proses penyerbukan (vegetatif), yaitu dengan jalan pemotongan pada batang, cabang, akar muda, pucuk ataupun daun dan menumbuhkannya di dalam suatu media padat maupun cair sebelum dilakukan penyapihan. Hampir semua bagian tanaman dapat dipakai sebagai setek, tetapi yang sering digunakan adalah bagian batang muda yang subur (Jinus et al., 2012). Setek adalah metode perbanyakan tanaman buah dengan memisahkan bagian tanaman kemudian ditempatkan pada kondisi yang sesuai untuk menumbuhkan bagian yang lengkap dan mengikuti seluruh karakter induknya. Metode ini biasanya digunakan untuk tanaman yang mudah berakar dan cepat dan memperbanyak tanaman sangat cepat dan murah. Setek memiliki 4 jenis, yaitu : setek batang, setek daun, setek tunas daun dan setek akar (Bal, 2001). Pengadaan bibit dengan cara suatu cara pembiakan vegetatif setek pada yang paling umumnya mudah merupakan dan murah (Harahap, 1972 dalam Omon et al., 1989). Yasman dan Smits (1988), menyebutkan beberapa keuntungan dari sistem setek antara lain adalah : hasilnya homogen, dapat diproduksi dalam jumlah dan pada waktu yang diinginkan dan dapat memperbanyak genotip-genotip yang baik dari suatu jenis pohon (Irwanto, 2003). Setek batang merupakan bahan yang umum digunakan sampai saat ini. Setek batang ini dapat dibagi menjadi 4 macam, yaitu berkayu keras (hardwood), Universitas Sumatera Utara setengah keras (semi-hardwood), kayu lunak (softwood), dan golongan herba (herbaceous). Bagian tanaman yang dapat digunakan untuk setek diambil dari cabang yang sehat, bagian tersebut terletak pada sisi yang terkena sinar matahari, sehingga cukup mengandung bahan makanan (karbohidrat) untuk menyediakan makanan pada setek. Bagian pucuk cabang tanaman mengandung karbohidrat rendah, oleh karenanya perlu dibuang. Bahan setek yang baik diambil dari bagian tengah dan dasar cabang/ranting. Setek tersebut mempunyai sedikitnya dua mata tunas (dua ruas) (Ashari, 1995). Pada umumnya panjang setek ialah 15-20 cm dan mempunyai 3-5 mata tunas. Pemotongan yang rendah dilakukan dengan cara miring dibawah mata tunas untuk meningkatkan penyerapan unsur hara. Pemotongan yang tinggi dilakukan pada sudut yang benar untuk mengurangi ukuran pelukaan dan sejauh mungkin jauh dari mata tunas atas untuk menghindari pengeringan. Setek diikat dalam ikatan kecil (20-25 setek) dan ditanam dalam tanah yang lembab untuk beberapa waktu untuk penyembuhan luka yang disebut dengan kalus (Bal, 2001). Pertumbuhan setek dipengaruhi oleh interaksi faktor genetik dan faktor lingkungan (Hartmann et al., 1997). Faktor genetik terutama meliputi kandungan cadangan makanan dalam jaringan setek, ketersediaan air, umur tanaman (pohon induk), hormon endogen dalam jaringan setek, dan jenis tanaman. Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan penyetekan antara lain media perakaran, kelembaban, suhu, intensitas cahaya dan teknik penyetekan (Danu et al., 2011). Pemilihan tanaman induk yang sehat dapat mengurangi terjadinya serangan penyakit pada saat penyetekan sehingga dapat meningkatkan persentase Universitas Sumatera Utara keberhasilan setek. Pemilihan umur bahan setek yang tepat juga dapat meningkatkan persentase keberhasilan setek. Bahan setek yang memiliki cadangan karbohidrat yang cukup akan lebih mudah dalam berakar dan bertunas karena cadangan karbohidrat tersebut diperlukan sebagai sumber energi dalam pembentukan akar dan tunas (Pratama, 2012). Kemampuan batang untuk berakar juga dipengaruhi oleh faktor yang terdapat di dalam sel-sel batang seperti kandungan auksin. Komponen penting lainnya dalam pengakaran batang adalah status hara tanaman. Kandungan nitrogen dan karbohidrat yang tinggi berhubungan dengan pertumbuhan akar yang kuat dan berpengaruh pada jumlah akar yang dihasilkan. Selain faktor dalam sel, faktor lingkungan juga berpengaruh dalam induksi akar (Kurniatusolihat, 2009). Proses pembentukan akar pada setek meliputi tiga tahap, yaitu inisiasi akar, pembentukan primordial akar dan terbentuknya akar baru. Setelah terjadi inisiasi akar, sel-selnya terus mengadakan pembelahan dan berkembang menjadi primordial akar. Pembelahan sel terus berlangsung sampai terbentuknya ujung akar. Ujung akar tumbuh kearah luar melalui kalus yang terdapat pada dasar setek batang tanaman yang dibiakkan (Purdyaningsih, 2012). Setek dikatakan hidup jika mampu mengeluarkan akar dan tunas, namun jika yang tumbuh hanya salah satunya maka tanaman tersebut tidak akan bertahan lagi karena dapat mengalami proses kematian dengan ciri-ciri fisik yaitu warna daun menguning atau batang mengering. Untuk dapat bertahan hidup maka setek memerlukan cadangan makanan dan hormon auksin endogen yang berasal dari bahan setek tersebut. Bahan setek sangat berpengaruh terhadap besarnya persentase hidup. Hal ini sesuai pendapat dari Harjadi dan Koesriningrum (1973) Universitas Sumatera Utara yang menyatakan bahwa semakin panjang bahan setek maka cadangan makanan seperti karbohidrat dan nitrogen akan semakin banyak sehingga dapat menghasilkan tunas dan akar yang lebih baik dengan taraf persentase hidup yang tinggi (Pujawati, 2009). Pengambilan setek pucuk pada bibit, harus tersisa satu atau dua daun pada batang pokok dimana bahan setek diambil, supaya reetraisasi (pertunasan) baru dapat terbentuk lagi, sedangkan pada seteknya sendiri harus ada sedikit 2 atau 3 daun yang melekat. Peranan daun pada setek juga cukup besar, karena daun akan melakukan proses asimilasi dan hasil asimilasi tentu dapat mempercepat pertumbuhan akar. Tetapi jumlah daun yang terlalu banyak, mempunyai proses transpirasi yang besar (Irwanto, 2001). Bagian ujung cabang atau pucuk tanaman merupakan tempat sintesis auksin yang akan membantu terbentuknya akar pada setek. Auksin yang ada pada bagian pucuk kemudian diedarkan ke bagian-bagian yang ada dibawahnya termasuk tempat kedudukan tunas-tunas cabang (Dwidjoseputro, 1994). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryati (2010) bahwa setek pucuk pada tanaman jeruk siam menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dari setek batang tersier bagian tengah dan setek daun (Fanesa, 2011). Auksin disintesis di pucuk batang dekat meristem pucuk, jaringan muda (misal daun muda) dan terutama bergerak arah ke bawah batang (polar), sehingga terjadi perbedaan kadar auksin di pucuk batang dan di akar. Aktivitasnya meliputi perangsangan dan penghambatan pertumbuhan, tergantung pada konsentrasi auksinnya. Jaringan yang berbeda memberikan respon yang berbeda pula terhadap Universitas Sumatera Utara kadar auksin yang dapat merangsang atau menghambat pertumbuhan tanaman (Fahmi, 2014). IBA (Indole Butyric Acid) Auksin berperan penting dalam perkecambahan benih dan pertumbuhan tanaman. Auksin dapat bekerja sendiri atau berkombinasi dengan hormon lain, dapat merangsang atau menghambat berbagai peristiwa yang berbeda, dari mulai peristiwa reaksi enzim secara individual sampai pembelahan sel dan pembentukan organ. Respon tanaman terhadap zat pengatur tumbuh sangat ditentukan oleh jenis tanaman, fase pertumbuhan tanaman, jenis zat pengatur tumbuh, konsentrasi zat pengatur tumbuh dan cara aplikasi. Penggunaan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang paling efektif dalam merangsang perkecambahan dan pertumbuhan tanaman. ZPT auksin memiliki sifat mudah rusak oleh cahaya matahari secara langsung sehingga harus lebih hati-hati dalam aplikasi dan penyimpanannya (Fahmi, 2014). Auksin sintetik juga bergerak melalui lintasan yang sama dengan IAA. Pengangkutan cara ini tentu berbeda dengan pengangkutan melalui floem. Pertama, pergerakan auksin adalah lambat, hanya kira-kira 1 cm/jam, baik pada batang maupun pada akar, tetapi tetap 10 kali lebih cepat dari proses difusi. Kedua, pengangkutan auksin bersifat polar, pada batang pengangkutan akan selalu bersifat basi-petal walaupun posisi batang dibalik dan pada akar bersifat akropetal. Ketiga, pergerakan auksin membutuhkan energi metabolik. Kebutuhan energi ini terbukti karena penghambatan sintesis ATP dan ketidaktersediaan oksigen menghambat pengangkutan auksin. Penghambat pengangkutan auksin kuat antara lain 2,3,5-asam triiodobenzoat (TIBA) dan asam naftiltalamat (naphthylthalamic Universitas Sumatera Utara acid, disingkat NPA), TIBA dan NPA mengganggu pengangkutan auksin secara langsung dan tidak melalui gangguan pada ketersediaan energi metabolisme. Kedua senyawa ini disebut antiauksin (Lakitan, 1996). Mekanisme kerja auksin adalah dengan menginisiasi pemanjangan sel dan juga memacu protein tertentu yang ada di membran plasma sel tumbuhan untuk memompa ion H+ ke dinding sel. Ion H+ mengaktifkan enzim tertentu sehingga memutuskan beberapa ikatan silang hidrogen rantai molekul selulosa penyusun dinding sel. Sel tumbuhan kemudian memanjang akibat air yang masuk secara osmosis (Fahmi, 2014). Tujuan penggunaan hormon perakaran adalah untuk meningkatkan keberhasilan setek berakar, mempercepat perakaran serta untuk meningkatkan kualitas akar adventif, termasuk keseragaman tumbuhnya akar. Setek tanaman yang mudah membentuk akar tidak memerlukan bantuan hormon. Hormon perakaran sintesis yang sering digunakan adalah asam indol-3 butirat (IBA) dan asam naptalen asetat (NAA). IBA kemungkinan merupakan bahan yang terbaik, karena tidak menimbulkan keracunan sampai pada konsentrasi tinggi, serta dapat mendorong perakaran pada kebanyakan setek tanaman. Pemakaian hormon ini dapat berupa tepung, pasta atau dalam bentuk cairan/larutan (Ashari, 1995). Gambar 1. Rumus Bangun Asam Indol-3 Butirat (IBA) Universitas Sumatera Utara Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk merangsang pertumbuhan adalah indole butyric acid (IBA), indole acetic acid (IAA) dan napthalene acetic acid (NAA). IBA dan NAA lebih efektif daripada IAA, sebab keduanya lebih stabil digunakan dalam penyetekan. Menurut Salisbury dan Ross (1992), NAA lebih efektif dari IAA karena NAA tidak dapat dirusak oleh IAA oksidase atau enzim lainnya, sehingga bertahan lebih lama. Sedangkan IBA lazim digunakan untuk memacu perakaran dibandingkan dengan NAA atau auksin lainnya. IBA bersifat aktif (Nurzaman, 2005). Hormon IBA adalah salah satu hormon yang termasuk dalam kelompok auksin. Selain dipakai untuk merangsang perakaran, hormon IBA juga mempunyai manfaat yang lain seperti menambah daya kecambah, merangsang perkembangan buah, mencegah kerontokan, pendorong kegiatan kambium dan lain-lainnya (Irwanto, 2001). IBA yang diberikan pada setek mengakibatkan sel penerima mengeluarkan H+ ke dinding sel primer serta mempengaruhi pelenturan dinding sel. Akibat adanya H+ tersebut, pH sel akan menjadi turun sehingga enzim yang berperan dalam pemecahan ikatan polisakarida dinding sel menjadi aktif, akibatnya adalah terjadi pengenduran dinding sel dan pemanjangan akar yang cepat melalui air yang masuk secara osmosis ke dalam sel tanaman tersebut (Salisbury dan Ross, 2005). Indole Butyric Acid (IBA) lebih stabil sifat kimia dan mobilitasnya di dalam tanaman selain dari pada itu pengaruhnya lama. Sifat-sifat IBA inilah yang menyebabkan pemakaiannya lebih berhasil. ZPT ini tetap berada di dekat tempat Universitas Sumatera Utara yang diberikan dan tidak menyebar ke bagian setek lain sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan bagian lain (Sulastri, 2004). IBA adalah auksin terbaik yang umum digunakan, karena tidak beracun untuk tanaman pada konsentrasi yang tinggi dan efektif merangsang perakaran dari beberapa spesies tanaman. IBA adalah senyawa yang relatif stabil dan umur simpan dari produk IBA dapat diperpanjang dengan cara disimpan pada tempat gelap dan alat pendingin (Hartmann et al., 2002). Mekanisme kerja IBA dalam membantu pertambahan diameter setek adalah dengan cara memacu protein tertentu yang terdapat di dalam membran plasma sel untuk memompa ion H+. Pompa ion H+ tersebut menyebabkan kondisi asam pada dinding sel tanaman sehingga mengaktifkan enzim tertentu yang mampu memutuskan ikatan silang hidrogen pada rantai selulosa dinding sel tanaman. Akibat kehilangan ikatan silang hidrogen diantara mikrofibrilmikrofibril selulosa menyebabkan serat-serat dinding sel tanaman menjadi longar dan lentur sehingga dinding sel tanaman menjadi lebih plastis (Jinus et al., 2012). Penggunaan IBA untuk merangsang pembentukan akar pada setek telah banyak dilakukan dengan hasil yang cukup memuaskan. Pada tanaman jeruk manis pemberian IBA dengan konsentrasi 250 ppm dengan lama perendaman 2 jam berpengaruh nyata terhadap setek berakar dan persentase setek hidup jika dibandingkan tanpa pemberian IBA (Wibisono,1987). Perendaman pangkal setek jambu biji di dalam IBA 250 ppm selama 12 jam dapat meningkatkan jumlah akar yang terbentuk (Jawal et al. dalam Lukitariatis, 1996). Hasil penelitian Irawan (1999) menunjukkan bahwa pencelupan setek bulian dalam larutan IBA Universitas Sumatera Utara 1500 ppm selama 5 detik memberi pengaruh terbaik pada pertumbuhan setek (Gusniwati et al., 2007). Zat pengatur tumbuh yang optimal untuk pembentukan sistem perakaran setek damar adalah IBA 200 ppm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi IBA yang diberikan pada setek damar, maka akan semakin berkurang pertumbuhan dan perkembangan akarnya sehingga pemberian IBA dengan konsentrasi tinggi dapat menghambat pertumbuhan akar setek damar. Hartman et al. (1997) menyebutkan bahwa zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan hara yang dalam jumlah tertentu aktif merangsang, menghambat, merusak pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pemberian zat pengatur tumbuh IBA dengan konsentrasi sebesar 200 ppm menghasilkan persentase setek berakar tanaman damar yang tertinggi walaupun tidak berbeda nyata dengan konsentrasi lainnya (Danu et al., 2011). Universitas Sumatera Utara