Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah BELAJAR KEPADA SEORANG MULLAH: Menelusuri Pemikiran Khomeini Asmawi Mahfudz* Abstraksi Imam Khomeini adalah sosok pribadi yang memperoleh pendidikan agama yang sangat memadai dari berbagai cabang ilmu Islam murni seperti al-Qur‟an, Tafsir, Hadist, Fiqh, Ushul Fiqh, Akhlak dan Tasawuf. Di samping itu ia juga mempelajari Kaligrafi, Filsafat, Logika. Kemudian ia menulis berbagai buku baik mengenai ilmu pengetahuan, keagamaan, Politik, Filsafat, Akhlak, dan Tasawuf. Karyanya yang paling populer adalah Kasf al-Asrâr dan Wilayat al-faqih yang berisi sikap politik dan gagasan besar Imamahnya. Imam Khomeini di samping sebagai seorang mujtahid, juga seorang pejuang dan pemikir. Ia banyak melahirkan ide-ide baik yang berkaitan dengan politik, sosial, pendidikan, keagamaan, kenegaraan, filsafat dan ilmu pengetahuan. Mengingat Khomeini adalah pejuang melawan rezim yang tiran dan kuat, maka sebagian besar pemikirannya dikembangkan dalam perspektif politik termasuk ketika ia mengungkapkan pemikirannya tentang persoalan keagamaan. Dalam bidang politik gagasannya yang paling menonjol adalah upayanya membentuk sistem pemerintahan theokratis dan lembaga wilayat al-faqih (pemerintahan ahli hukum Islam). Faqih inilah sampai sekarang yang memiliki kekuasaan tertinggi, bukan presiden. Bahkan presiden diangkat oleh faqih dan harus tunduk kepadanya. Kata Kunci : Khomeini, Pemikiran dan Mullaah Pendahuluan Imam Khomeini, adalah Ruhullah al-Musawi al-Khomeini. Dia lahir 20 Jumad al-Akhir 1320 H. (24 September 1902 M) di kota Khomeini, sekitar 300 km selatan Teheran.1 Kedua orang tuanya berasal dari keluarga ulama terkenal di pusat Iran. Ibunya (w. 1917) adalah putri Akhund Hajj Mulla Husayn Khonsasi, mujtahid yang sangat dihormati di * 1 Pembantu Dekan I Fakultas Syari'ah Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri dan Dosen STAIN Tulungagung Grolier Incorporated, The Encyclopedia of America, Vol 16, (USA: Grolier Incorporated, 1992), 420. Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 1 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah Isfahan.2 Ayahnya, sayid Musthofa, syahid di tangan penguasa Dinasti Qajar. Sedangkan kakeknya, Sayid Ali Syah, seorang ulama Naisabur yang akhirnya pindah ke Kasymir juga diketahui mati syahid. Melalui sang kakek inilah nasab Khomeini bersambung kepada Fatimah binti Rasulullah, melalui Ja‟far al-Shadiq. Dengan demikian, Khomeini berada dalam keluarga yang bertradisi keulamaan disamping masih terhitung keluarga ahl al-bait. Keadaan demikian membentuk sosok Khomeini sebagai seseorang yang memiliki kepribadian tangguh dalam perjuangan, taat menjalankan agama, dan memiliki pengaruh yang besar terutama di kalangan Syi‟ah yang memang mensyaratkan seseorang imam harus keturunan Nabi. Pendidikan tulis-bacanya dimulai di rumah, sedangkan pendidikan formal pertamanya di Khomein, di sebuah maktab Khaaneh, milik Akhmad Mulla Abu al-Qasim, dekat dengan rumah Khomeini kecil. Setelah menyelesaikan pendidikan al-Qur‟an di maktab tersebut, ia melanjutkan studinya ke berbagai sekolah dan ulama, antara lain: Ayatullah Aqa Mirza Muhammad Ali Adib Tehrani (1934-1949). Kepadanya, Khomeini belajar kitab Muthawwal. Ayatullah Aqa Mirza Sayid Ali Yatsrib Kasyani (18931959), Kepadanya Khomeini belajar Ushul al-Fiqh dan Fiqh pada tingkat awal. Kemudian keduanya belajar dan mengikuti kuliah-kuliah dari Ayatullah Ha‟iry. Kepada Ayatullah Hajj Sayyid Muhammad Taqi Khwansari (1887-1915), Khomeini belajar Fiqh. Ayatullah Hajj Abd alKarim Ha‟iry Yazdi (1859-1936), ia belajar Fiqh dan Usul Fiqh tingkat lanjutan mulai 1926-1936. Pada 1922 Khomeini telah menyelesaikan pelajaran tertinggi dan dilibatkan membantu Ayatullah Ha‟iry dalam kegiatan mengajar. Ketika sang guru wafat, Khomeini sudah dikenal sebagai ulama yang berpengetahuan tinggi.3 Bertolak dari data-data pendidikannya itu dapat digambarkan grafik perkembangan Khomeini dalam pergumulan intelektualisme yang selanjutnya tampak terpancar pada kepribadiannya dalam memimpin umat. Secara garis besar tradisi intelektualisme yang di dalaminya dapat dibagi atas tiga fase: fase pertama, ia dipengaruhi pendidikan dasar dengan basis kemampuan elementer berupa baca tulis, fase kedua ia dipengaruhi pengajaran fiqh dan ushul fiqh dari Ayatullah Hairy, dan fase ketiga merupakan masa pengembangan intelektual Khomeini secara horizontal. Pada fase ketiga ini konsentrasi Khomeini tidak hanya pada fiqh dan ushul 2 Ringkasan Biografi, Pidato-pidato dan Wasiat Imam Khomeini, (Jakarta: Kedutaan Besar Iran, 1989), 1. 3 Muhammad Taqi Ja‟fari, Sekilas tentang Imam Khomeini, (Jakarta: Kantor Pers dan Pusat Informasi Kedubes Iran di Jakarta, t.t.,), 43-44. Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 2 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah fiqh semata, tetapi telah dikombinasi dengan berbagai disiplin keilmuan, bahkan ia mulai tertarik pada bidang politik. Di antara guru-gurunya tersebut, yang paling besar pengaruhnya terhadap kepribadian Khomeini adalah Ayatullah Ali Syahabady, seorang teolog, faqih dan politikus yang aktif menentang kebijakan Reza Syah. Ketiga macam keahlian gurunya inilah yang mewarnai kepribadian Imam Khomeini.4 Maka tidak mengherankan dalam perjuangan berikutnya Khomeini senantiasa menentang sistem pemerintah yang telah mapan, sebagai bentuk warisan karakter gurunya itu. Adapun karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan, keagamaan dan politik, juga dalam bidang filsafat, irfan (tasawuf) dan akhlak. Sedangkan bahasan masalah politik yang dikaitkan dengan persoalan ilmu kalam, ditulis dalam bukunya Kasf al-Asrar dan Wilayat al-Faqih. Keduanya merupakan karya yang paling populer di samping merupakan karya yang mencerminkan sikap politik Khomeini dan gagasan besar imamahnya.5 Genealogi keluarga Khomeini tersebut menunjukkan bahwa mulai generasi paling awal (Rasulullah) hingga generasi anaknya (Musthafa dan Ahmad) membuktikan Khomeini berada dalam lingkup garis keturunan yang senantiasa aktif dalam perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Pemikiran Khomeini Ayatullah Khomeini, di samping sebagai seorang mujtahid yang keras dan tak kenal menyerah,6 adalah seorang pemikir Islam yang sangat tangguh memperjuangkan aspirasi Islam. Ia banyak melahirkan ide-ide baik yang berkaitan dengan politik, sosial, pendidikan, keagamaan, kenegaraan, maupun filsafat dan ilmu pengetahuan. Ide-idenya adalah sebagai berikut: a. Bidang Politik Pemikiran politik Khomeini baru dipublikasikan untuk pertama kalinya pada 1943, yaitu dalam bukunya yang berjudul Kasyf-AL Asrar (Mengungkap Rahasia). Buku ini berisi serangan tajam terhadap berbagai kebijaksanaan Reza Syah yang merupakan buku Sicrets of Thousand Years yang ditulis pada 1930-an oleh seorang anggota gerakan Ahmad Kasrovi, 4 The Encyclopedia of America, Loc. cit. Muhammad Taqi Ja‟fari, Op. cit., 52-55. 6 Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan Ayatullah Khomeini, (Jakarta: Pustaka Antara, 1979), 49. 5 Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 3 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah sebuah gerakan yang menyerang para mullah dan madrasah Syiah yang dianggap sebagai sumber keterbelakangan Iran.7 Dalam Kasyfi Asrar, Khomieni berpendapat bahwa kaum ulama harus mengendalikan pemerintahan. Ini tidak berarti kaum ulama harus menjadi Syah, seorang menteri, atau panglima militer, namun mereka harus mampu mengawasi badan-badan legislatif dan eksekutif sebuah negara Islam. Dalam buku ini, Khomeini juga mengajukan konsep tentang perlunya dibentuk suatu sistem pemerintahan Islam.8 Bersamaan dengan munculnya ide tentang konsep pemerintahan Islam itu, ia melancarkan manuver politik yang didasarkan pada data-data historis untuk menyerang paham sekulerisme dalam pemerintahan yang mulai merajalela dan menjadi kecenderungan penguasa Iran pada waktu itu. Sekulerisme yang secara diametral bertentangan dengan Islam itu tumbuh sangat jelas, sehingga Khomeini benar-benar menyerang paham pemisahan yang dibangun dari tradisi Barat ini. Dalam bukunya, Hukumate Islami (Pemerintahan Islam) yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi al-Hukumat al-Islamiyah, Khomeini mengatakan bahwa pemisahan antara negara dan agama tidak dikenal di masa Nabi Muhammad sampai masa Ali ibn Abi Thalib. Hal ini terlihat dalam praktik Nabi dan para penerusnya. Nabi mengangkat gubernur di setiap daerah, mengangkat hakim di berbagai pengadilan, dan mengirim duta-duta ke berbagai daerah kerajaan di sekitar Madinah.9 Pemerintahan yang dijalankan di masa Nabi tunduk pada hukum Islam yang berasal dari Tuhan. Tuhan diposisikan pada tingkat paling tinggi dalam penentuan-penentuan kebijakan pemerintah terutama pada perumusan hukum atau undang-undang. Artinya, kekuasaan-kekuasaan sentral manusia dalam menentukan konstitusi yang menjadi kecenderungan sistem pemerintah Barat berupaya digeser dan diganti dengan kekuasaan Tuhan, yang sekaligus merupakan antitesis terhadap kecenderungan umum. Oleh karena itu, menurut Khomeini, pemerintahan Islam adalah sebuah pemerintahan yang patuh pada hukum Allah dan Rasul-Nya, bukan hukum yang dibuat oleh rakyat atau para wakil mereka.10 Menurut 7 Mohsen M. Milani, The Making of Iran Islamic Revolution, (New York: Westview Press, 1988,), 150. 8 Edward Abrahamian, Khomeinsm, Op. cit., 8, Nikki K. Keddie, Roots of Revolution: An Interpretative History of Modern Iran, (New Haven and London: Yale University Press, 1981), 242. 9 Imam Khomeini, al-Hukumat al-Islamiyah, (Tehran: al-Maktabah al-Islamiyah, t.t.,), 12. 10 Ibid., 14. Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 4 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah Khomeini, kekuasaan tertinggi dalam pembuatan undang-undang berada di tangan Tuhan. Badan legislatif dalam pemerintahan Islam, sebagai wakilwakil rakyat, tidak berhak membuat hukum, tapi hanya mengolah hukumhukum dari al-Qur‟an dan al-Hadits yang kemudian dijadikan haluan umum yang berlaku dalam negara Islam. Dengan kata lain, hukum tidak berasal dari aspirasi rakyat atau wakil-wakilnya, tetapi dari Tuhan yang harus diikuti oleh manusia.11 Dalam sikap politik dan hubungan internasional, Khomeini menganut paham universalisme, yaitu mengharuskan umat Islam membela saudara-saudaranya di manapun berada. Menurutnya, bila musuh menyerang batas-batas negara Islam, maka seluruh umat Islam di seluruh dunia wajib mempertahankannya dengan cara dan alat apa pun yang digunakannya, dan bila perlu jiwa harus dikorbankan. Demikian pula, jika ada rencana-rencana tertentu bangsa asing yang akan membawa pada dominasi terhadap negara-negara Islam, maka setiap Muslim wajib menentang rencana itu.12 Pandangan ini mungkin diilhami - meskipun tidak secara keseluruhan – oleh paham PanIslamisme yang berasal dari Jamaluddin al-Afghani, seorang pembaru sekaligus pengembara politik yang berjuang berpindah-pindah dari Afghanistan – India – Mesir – Perancis dan kemudian Turki. Berkenaan dengan kemerdekaan setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Khomeini berpendapat bahwa orang yang berada di bawah naungan negara Islam akan memperoleh lindungan hukum. Oleh karena itu, umat Islam dilarang membahayakan keamanannya, memasuki rumahnya dengan paksa, menahan atau memenjarakannya, atau megucilkannya. Dalam pemerintahan Islam, setiap orang harus yakin dan percaya penuh pada kebijaksanaan hukum Nabi, dan tidak satu pun aparat hukum yang diperbolehkan bertindak menentang hukum itu.13 Ketika proklamasi berdirinya Republik Islam Iran dibacakan, Khomeini mengemukakan beberapa peraturan, antara lain : menyatakan bahwa tidak ada penindasan dalam Islam. Islam memberikan kemerdekaan bagi segala kalangan; wanita, pria, hitam, putih, dan sebagainya. Rakyat harus merasa takut pada dirinya, bukan pada pemerintah, yaitu hendaknya 11 Ibid., 41 Ibid., 34. Lihat juga Clive Irving, The Sayings of Khomeini (Wejangan Khomeini), Alih Bahasa Hadinata, (Jakarta: Walsy, 1981,), 42. 13 Clive Irving, Ibid., 53. 12 Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 5 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah mereka mempunyai keadaran hukum.14 Khomeini berpendapat bahwa keadilan harus ditegakkan. Menurutnya, hukum berlaku bagi setiap warga negara tanpa pandang bulu. Hukum adalah untuk kemaslahatan seluruh masyarakat dan warga negara, bukan untuk keuntungan sekelompok orang yang berkedudukan tinggi saja. Nabi sendiri mengajarkan bahwa seandainya Fatimah, anaknya mencuri, niscaya dipotong tangannya.15 Di sini tampaknya Khomeini berusaha meneruskan ketegasan Islam tentang penyamaan derajat manusia (human dignity) yang disebut egalitarianisme baik dalam masalah sosial, politik maupun hukum. Tema egalitarianisme ini memang merupakan tema yang strategis untuk diangkat dalam melancarkan menuver politik terutama dilihat dari perspektif masyarakat yang pada umumnya merasa nasib mereka tidak mendapat perhatian. Dengan mengangkat tema egalitarianisme ini lebih mudah bagi Khomeini untuk merekrut dukungan dari rakyat secara besar-besaran dan terlebih lagi konsep ini sebagai berwajah protes terhadap tindakan para penguasa Iran pada waktu itu yang bersikap diskriminatif. b. Bidang Sosial Pemikiran Khomeini di bidang sosial dapat dilihat antara lain pada konsep tentang fungsi kepemilikan manusia. Menurut Khomeini, semua yang dimiliki manusia adalah berasal dari Tuhan, dan karena itu cepat atau lambat akan kembali kepadanya-Nya. Bagi umat Islam, kepemilikan terhadap harta harus berfungsi sosial. Umat Islam wajib membantu saudaranya yang terkena musibah. Musibah itu sendiri merupakan ujian bagi manusia untuk berbuat baik kepada orang lain.16 Dari segi fungsinya, tidak ada harta milik individual sebab jika harta difungsikan sebagai milik individu bisa menyebabkan kesenjangan sosial dan tiada kepedulian terhadap kalangan ekonomi lemah sehingga keberadaan umat secara hakiki akan terancam oleh sikap individualistis. Solidaritas sosial ini bukan berarti secara mutlak hak milik individu tidak diakui sama sekali. Islam tetap mengakui hak milik individu, hanya yang ditekankan adalah fungsi sosialnya. Untuk mengaplikasikan konsep solidaritas sosial tersebut, Imam Khomeini dan para pemuka Iran lain melakukan berbagai upaya untuk meringankan beban orang-orang miskin, termasuk juga orang yang 14 Wazarat al-Irsyad al-Islami, Mukhtarat min Aqwal al Imam al-Khomeini, (Teheran: 1402 H. hl. 42. 15 Ibid., 43. 16 Syafiq Basri, Iran Pasca Revolusi, (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), 86. Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 6 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah terkena musibah. Misalnya dibentuk Bunyad Mustad’afin (Lembaga Fakir Miskin), Bunyad Syahid (Lembaga Pengurusan Keluarga Para Syahid), Qomitah Imdal Imam (Komisi Bantuan Dana Imam), dan lain-lain sebagainya.17 Lembaga-lembaga ini tidak sekadar simbul-simbul sosial saja, tetapi benar-benar berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pembangunan kesejahteraan sosial menurut Khomeini, tidak terlepas dari pembangunan mental spiritual. Oleh karena itu, kesejahteraan sosial mempunyai keterkaitan dengan sikap dan tingkah laku masyarakat. Bila moral masyarakat baik, tingkat kejahatan menurun, maka kesejahteraan dan keamanan sosial akan meningkat. Dengan demikian, kebiasaan-kebiasaan buruk yang mendorong manusia ke arah kejahatan harus diberantas. Memberantas kejahatan adalah dengan mengisi jiwa mereka dengan moral agama.18 Tampaknya yang menjadi perhatian Khomeini adalah memberantas penyebab pertama kejahatan atau akar-akar kejahatan yang berupa krisis moralitas agama. Sejak dini masyarakat harus dijiwai oleh kesadaran agama sebagai kekuatan spiritual yang mampu membendung kejahatan yang pada akhirnya akan mewujudkan kesejahteraan sosial. Hal ini tentu saja bukan satu-satunya pendekatan, sebab tanpa pembangunan yang berkesinambungan maka kesejahteraan sulit terealisasikan. Khomeini sendiri tidak mengingkari urgensi pembangunan itu sehingga semasa ia berkuasa pembangunan tetap berjalan walaupun menghadapi hambatan akibat perang dengan Irak selama 8 tahun. c. Bidang Pendidikan Dalam hal pendidikan, Khomeini melakukan perubahan struktur dan kurikulum pendidikan serta islamisasi lembaga-lembaga pendidikan, termasuk semua perguruan tinggi umum di seluruh Iran. Tindakan ini disebut dengan revolusi kebudayaan. Realisasinya dimulai pada 21 Mei 1980 dengan ditutupnya seluruh universitas. Pada tanggal 17 Juni 1980, Khomeini menunjuk tujuh orang sebagai anggota Dewan Tinggi Revolusi Kebudayaan yang bertujuan untuk mengembangkan rencana-rencana pendidikan bagi perguruan-perguruan tinggi umum. Baru tiga tahun berikutnya, setelah sistem baru pendidikan disahkan, perguruan-perguruan tinggi tersebut dibuka kembali.19 Tindakan Khomeini dalam menutup lembaga-lembaga pendidikan tersebut agaknya ditunjukkan untuk 17 Ibid., hal. 87. Majalah Yaum al-Quds, no. 14, Ramadhan 1405 H., 13. 19 Ibid. 18 Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 7 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah menegaskan bahwa perubahan yang diinginkan adalah sangat serius. Dia menghendaki bahwa proses islamisasi pendidikan benar-benar tuntas sampai akar-akarnya. Penuntasan proses ini harus dilakukan melalui pembongkaran (dekonstruksi) lalu perbaikan kembali (rekonstruksi) secara besar-besaran. Dalam amanatnya kepada para pengawal Revolusi Kebudayaan, Khomeini menjelaskan bahwa diadakannya tindakan tersebut adalah demi menghilangkan sistem pendidikan liberal dan komunis, sebab universitas adalah tempat di mana para penanggung jawab bangsa dihasilkan. Menurutnya, untuk terbentuknya perpaduan antara ulama dan intelektual, sehingga tidak terjadi pertentangan di antara keduanya, diperlukan sistem pendidikan yang di samping mengajarkan pengetahuan umum juga pengetahuan agama.20 Argumentasi yang diungkapkan Khomeini ini membuktikan betapa ia ingin memadukan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Lebih dari itu, ia ingin mendasari integritas ilmu itu dengan dasar aksiologis Islam. John L. Esposito mengatakan “meskipun Khomeini mengaku bahwa dia tidak bermaksud membagi ilmu pengetahuan menjadi dua katagori yang terpisah, Islam dan non Islam, dia tetap berpendirian bahwa ilmu harus didasarkan atas moralitas dan nilainilai Islam”.21 Out put dari dunia pendidikan diharapkan menjadi manusiamanusia yang ahli baik sebagai politikus, cerdik pandai, maupun industrialis. Masyarakat Islam memerlukan mereka agar bekerja untuk kepentingan negara. Dengan demikian, tugas kenegaraan tidak semuanya dilakukan ulama, tapi juga oleh para ahli sesuai dengan spesialisasi masing-masing.22 Harapan ini menggambarkan konsekuensi logis dari upayanya menghapuskan dikotomi pendidikan, sehingga ada kerjasama dari seluruh ahli dalam membangun negara. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa Khomeini sendiri sama sekali tidak menghendaki agar rakyat hanya menempuh pendidikan agama semata, tetapi perlu penyebaran pelajar ke berbagai disiplin ilmu sebagai realisasi dari pesan Islam dalam surat al-Taubah : 122 yang artinya : Tidak sepatutnya bagi orang-orang Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi 20 Yaum al-Quds, no. 14, Ramadhan 1405 H., 13. John L. Esposito, Islam dan Pembangunan, terj. Sahat Simamora, (Jakarta: Renika Cipta, 1992), 175. 22 Nasir Tamara, Revolusi Iran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), 370-371. 21 Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 8 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.23 d. Bidang Kenegaraan Dalam bidang kenegaraan, pemikiran-pemikiran Khomeini tampaknya telah memberikan warna khusus terhadap model pemerintah Islam yang cukup membedakan dengan pemerintahan yang ditawarkan pembaru lainnya. Pemikiran tersebut antara lain menyangkut kekuasaan eksekutif, negara Islam dan keterbukaan rakyat dalam menentukan peraturan negara. Kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang sangat menentukan, bukan saja dalam menegakkan peraturan yang dibuat pemerintah, melainkan juga dalam mengaplikasikan wahyu. Karena itu kekuasaan eksekutif ini menjadikan suatu keharusan yang senantiasa ditegakkan, dan telah menjadi doktrin syi‟ah imamiah. Khomeini menegaskan bahwa undang-undang memerlukan Sulthan al-Tanfidziyah (executive power) atau kekuasaan pelaksana, agar mensejahterakan manusia. Islam adalah agama yang mengandung hukum-hukum yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, memerlukan badan pelaksana. Karena itu, adanya lembaga eksekutif wajib hukumnya, sebagai bagian utama dari akidah imamiyah.24 Adanya undang-undang yang berdasarkan wahyu dan kekuasaan pelaksana itu menuntut adanya negara Islam. Di samping itu juga bisa ditunjukkan oleh adanya kewajiban yang harus dilaksanakan bersama baik yang sifatnya ibadah sosial meupun sanksi akibat pelanggaran. Bagi Khomeini, tidak ada alasan untuk meningalkan kewajiban membayar zakat, jizyah, kharaj, khumus dan lain-lain, dan juga pelaksanaan hukum qishas dalam pidana Islam. Sebab ini menunjukkan kewajiban membentuk pemerintah Islam. Orang-orang yang menolak berarti menentang universalitas dan kekuasaan hukum Islam serta kelangsungan iman sendiri.25 Namun, Khomeini tidak menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan universalitas itu. Hanya saja barangkali yang dimaksudkan dengan menetang universalitas adalah menetang sesuatu ajaran yang kebenarannya dianggap baku di kalangan umat Islam. Jika maksud ini yang dikehendaki, sebenarnya Khomeini terlalu subjektif dalam memahami hukum qishas 23 Nasir Tamara, Revolusi Iran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), 370-371. Imam Khomeini, al-Hukumiyah al-Islamiyah, (Teheran: al-Maktabah alIslamiyah al-Kubra, t.t.,) 23. 25 Ibid., 29-31. 24 Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 9 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah sebab sebagian ulama mulai mempertanyakan apakah harus dilaksanakan secara ketat atau bisa dalam bentuk lain yang tujuannya sama. Wujudnya negara Islam menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu. Umat Islam wajib memilihara ketertiban, mempertahankan daerahnya dan kemerdekaannya. Orang lain harus menghormati kedaulatan negara itu, artinya mereka tidak boleh melanggar wilayah negara tersebut. Demikian pula mereka tidak boleh mengambil hasil hutan, tambang, hasil laut dan kekayaan alam lainnya dengan sewenang-wenang. Maka tidak menutup kemungkinan adanya pelanggaran-pelanggaran baik berasal dari dalam maupun dari luar, yang harus dikenai sanksi hukum. Adanya kemungkinan pelanggaran tersebut membawa Khomeini pada suatu pernyataan bahwa Islam mengajarkan kepada umatnya agar mempunyai angkatan perang yang kuat untuk menjaga keamanan negara itu.30 Keberadaan angkatan perang ini bagi suatu negara menjadi keniscayaan. Bila dibanding Saudi Arabia yang tidak memiliki angkatan perang sebelum perang teluk pertama, maka pikiran Khomeini cukup maju. Apalagi jika diperhatikan bahwa pikiran itu disandarkan pada Islam; memiliki referensi wahyu atau hasil interpretasi terhadap wahyu. Selanjutnya untuk mengetahui bentuk negara yang diinginkan Khomeini dapat ditelusuri melalui pernyataan-pernyataannya sebagai berikut: Dalam pemerintahan Islam harus ada majlis atau badan legislatif yang merancang dan membuat undang-undang berbagai hal dengan sumber al-Qur‟an dan al-Hadits. Maka hukum Islam (perintah Allah) mempunyai kekuasaan mutlak yang mengikat semua individu dan pemerintah Islam, ketaatan kepada Nabi, dan wali al-amr (pemerintah) berdasarkan kepada Allah.26 Seperti halnya dikutip Moojan Momen, Khomeini menegaskan bahwa Islam bukan hanya agama etnik, tetapi merupakan keseluruhan hukum dan prinsip-prinsip yang penting, bagi pemerintah dan administrasi sosial. Karena itu pemerintah Islam yang benar adalah pemerintah konstitusional dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah sebagai undang-undangnya.27 Artinya, suatu pemerintahan yang segala pranata sosial-politiknya didasarkan pada hukum atau undang-undang yang bersandar atas pesan-pesan wahyu, al-Qur‟an dan al-Sunnah. Rakyat sebenarnya juga dilibatkan dalam menentukan peraturan suatu negara tetapi dikendalikan secara ketat oleh al-Qur'an dan al-Sunnah. 26 27 Ibid., 41-42. Moojan Momen, An Introduction to Shi’i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi’ism, (New Haven an London:Yale University Perss, 1985), 195196. Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 10 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah Maka pemikiran Khomeini tentang bentuk negara ini agaknya lebih condong kepada theokrasi (kekuasaan Tuhan) dari pada demokrasi. Corak theokrasi ini membedakan dengan demokrasi yang menjadi kecenderungan sebagian besar pembaru Islam zaman modern dan juga membedakan dengan Theodemokrasi model Abu al-A‟la Maududi. Jika theokrasi menempatkan wahyu Tuhan pada posisi yang paling menentukan, maka pada demokrasi posisi tersebut dikendalikan oleh suara rakyat. Sedangkan theodemokrasi menempatkan gabungan wahyu Tuhan dengan suara rakyat. Secara tidak langsung, pada kenyataannya model theodemokrasi inilah yang menjadi kecenderungan sebagian besar negara-negara Islam. Kenyataan ini menimbulkan penilaian bahwa konsep al-Maududi tentang sistem pemerintahan lebih diterima dari pada konsep Khomeini. Di dalam pengendaliaan pemerintahan atau negara yang bercorak theokrasi itu, maka penguasa harus benar-benar orang pilihan sehingga bagi Khomeini, penguasa harus memiliki syarat-syarat: fuqaha (berpengetahuan tentang hukum syari‟ah), „adalah (bersikap adil), dan kafa’ah (mampu memerintah, cakap dalam administrasi negara dan memiliki kecerdasan).28 Maka penguasa pemerintah Islam haruslah seorang faqih. Faqih ini memiliki kedudukan paling tinggi, di atas presiden, bahkan presiden harus tunduk dan minta penjelasan hukum Islam kepada faqih tersebut. Di samping itu faqih juga mengawasi pekerjaanpekerjaan lembaga eksekutif demi menjaga konstitusi. Dengan kata lain ia juga memegang otoritas yudikatif di samping otoritas lainnya. Kekuasaankekuasaan yang paling menentukan seperti pengangkatan presiden, pernyataan perang dan damai berada di tangannya. Oleh karena itu, pemerintahan yang dibangun Khomeini disebut dengan Wilayat al-Faqih (pemerintahan ahli hukum Islam), karena menurut pandangannya, faqih adalah penafsir hukum Islam dan satu-satunya penguasa politik masyarakat yang sah pada masa-masa gaib.29 Syarat kedua berupa ‘adalah (bersikap adil). Syarat ini lebih berorientasi pada perwujudan nilai-nilai sosial dan egalitarian, sedangkan syarat kafa’ah mencerminkan perlunya figur pimpinan yang memiliki kemampuan manajerial. e. Bidang Keagamaan Pemikiran Khomeini di bidang keagamaan tidak jarang dikaitkan dengan kepentingan politik perjuangan menegakkan keadilan sehingga interpretasinya terhadap konsep agama cenderung bersifat politis dan cara penafsiran ini bahkan telah biasa mewarnai ini khutbah jum‟at. Misalnya, 28 29 Hukumat al-Islamiyah, Op. cit., 45-49. Espasito, Op. cit., 163 Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 11 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah pernyataan diri sebagai orang Islam, menurut Khomeini tidak cukup dengan kata-kata, tetapi harus dimanifestasikan dalam perbuatan.30 Ini adalah salah satu amanatnya dalam peringatan maulid Nabi Muhammad yang ditujukan kepada pemimpin sebagian negeri Islam (Arab) agar tidak lagi melayani kepentingan-kepentingan Amerika. Amanat ini menunjukkan betapa Khomeini ingin menegaskan keharusan mewujudkan ucapan keislaman dalam bentuk tindakan-tindakan dalam praktik kehidupan kaum Muslim. Islam memberikan perintah untuk bergerak menciptakan kebaikan di dunia seperti terlihat dari tujuan mendirikan shalat, yakni mencegah kemunkaran. Oleh karena itu, bagi Khomeini, shalat yang tidak mendidik pelakunya untuk mencegah kezaliman, keburukan dan kemunkaran, tidak dapat disebut shalat.31 Terlepas dari kebenaran tujuan mendirikan shalat ini, yang jelas shalat telah diangkat sebagai bahasa politik dalam membangkitkan sikap revolusioner, yakni sikap tegar dalam merombak segala tindakan yang tidak sesuai dengan pesan-pesan Islam, terutama dominasi dan intervensi negara adidaya, Amerika. Bagaimana Khomeini dapat mengkaitkan tujuan shalat yakni mencegah kemunkaran dengan menyingkirkan dominasi negara adidaya, Amerika. Begitu jauh ia mengkorelasikan dua variabel itu. Namun, maksud Khomeini itu dapat kita tangkap bahwa dengan memunculkan doktrin teologis ini diharapkan mendapat dukungan besar atau membangkitkan masyarakat Iran dalam menentang Amerika karena memiliki referensi al-Qur‟an. Padahal kalau dicermati, mencegah kemunkaran lebih sebagai fungsi daripada tujuan shalat. Oleh karena itu, tampaknya terlalu jauh menghubungkan shalat dengan penggusuran dominasi negara adidaya, Amerika mengingat fungsi shalat yang berupa mencegah kemunkaran itu menekankan pada penjagaan pribadi orang yang shalat. Tidak jauh berbeda dengan konsep shalat, konsep intizhar (menanti kehadiran Imam) yang selama ini terefleksi dalam sikap yang pasif diadakan perubahan untuk dijadikan alat politik menentang ketidakadilan atau kesewenang-wenangan. Bagi Khomeini, menanti kehadiran Imam Muntazahar (al-Mahdi) bukan berarti harus bersikap diam berpangku tangan, melainkan sebaliknya harus bergerak dan mempersiapkan 30 31 Al-Shaheed, No. 118, 1984, Teheran, 2. Al-Tawheed, Vol. II, No. 2, Quarterly Journal of Islamic Though and Culture, January, 1986, Teheran, 37. Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 12 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah kedatangannya dengan mendirikan negara Islam.32 Oleh karena itu, konsep intizhar dalam pemahaman Khomeini memiliki sifat progresif dan positif, artinya menatap masa depan dengan persiapan yang sematang-matangnya dan penuh rasa optimis. Maka konsep intizhar bagi Khomeini bukan semata-mata doktrin Syi‟ah yang berdimensi agama, melainkan juga memiliki nuansa-nuansa politik yang kental sekali. Pemikiran-pemikiran Khomeini tentang keagamaan tersebut menimbulkan kesan bahwa pemikirannya itu berwatak revoluisioner. Lantaran watak revolusioner yang begitu kuat, sikap Khomeini ini dianggap sebagai sesuatu yang ada di luar kebiasaan kaum Syi‟ah yang mempraktikkan taqiyah (melindungi diri bila keyakinan agama dan dirinya terancam).33 Kendatipun kita juga mencatat bahwa tidak seluruh aliran dalam Syi‟ah sepakat terhadap konsep taqiyah itu. f. Bidang Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan, Khomeini banyak mengungkapkan gagasan-gagasannya. Ulama, baginya, harus memiliki pengetahuan yang luas, tidak hanya dalam soal-soal yang berkaitan dengan ibadah, tetapi juga harus mampu menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan urusan-urusan kemasyarakatan. Undang-undang dasar yang disusun bersama para pemuka Islam lainnya telah mencakup berbagai persoalan yang dibutuhkan oleh masyarakat Islam,34 termasuk prinsipprinsip yang bertalian dengan aqidah imamiyah tentang kewajiban menuntut ilmu pengetahuan.35 Seruan ini untuk meningkatkan potensi intelaktual para ulama sebagai kelompok yang menjadi tumpuhan pertanyaan masyarakat, agar tidak terasing di dunia lingkungannya sendiri yang selalu berubah dan berkembang yang menuntut jawaban mereka. Tujuan ini diupayakan tercapai dengan mengembangkan pandangan makna ulama tersebut yang sebelumnya hanya dipahami terbatas pada penguasaan ilmu-ilmu agama. Hamid Enayat “Khomeini‟s Concept of Guardianship of the Jurist”, dalam Islam in the Political Process. James P. Pistacory (ed.), (London: Cambridge University Press, 1983), 174. 33 Ibid., 174-175. 34 Islamic Republik Party Weekly Bulletin, No. 34, Vol. 1, 19 Juni 1981, Teheran, 10. 35 UUD Republik Islam Iran, (Jakarta: Humas Kedutaan Besar Republik Islam Iran), 23. 32 Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 13 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah Dalam peningkatan potensi inteletual, Khomeini berupaya untuk menyamakan kedudukan pria dan wanita tanpa diskriminasi sedikit pun. Dia menegaskan bahwa Revolusi Islam memberikan kesempatan yang sama kepada kaum wanita untuk berdampingan dengan pria dalam menuntut ilmu pengetahuan dan filsafat.36 Islam sendiri tidak pernah membedakan sama sekali antara hak pria dan wanita dalam pendidikan. Hanya saja pernyataan klasik ini berguna menepis kekhawatiran di kalangan masyarakat terhadap nasip kaum wanita, bahwa jangan-jangan revolusi Islam yang diperjuangkan itu justru membelenggu hak-hak mereka. Dorongan-dorongannya kepada umat Islam untuk senantiasa melakukan pengkajian ilmu pengetahuan terus digulirkan. Motivasi ini terutama diarahkan pada objek al-Qur‟an, sebab al-Qur‟an di samping merupakan kitab petunjuk bagi umat Islam juga banyak memberikan wawasan ilmiah jika didalami dengan menggunakan pendekatan ilmuilmu yang terkait dengan konsep-konsepnya. Maka Khomeini mengingatkan bahwa al-Qur‟an tidak akan memberikan maknanya yang luas kepada manusia sebelum mereka menganalisis dan mengkajinya.37 Hal ini menunjukkan adanya kebebasan dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur‟an tanpa harus tunduk pada penafsiran-penafsiran ulama sebelumnya. Bahkan kebebasan itu mencakup usaha men-ta’wil-kan ayat-ayat yang dipandang samar artinya, sebagai suatu kebiasaan yang ditempuh filosof dalam memahami sebagian ayat-ayat al-Qur‟an. Ini berarti filsafat, sebagimana ilmu pengetahuan, juga dianjurkan untuk dipelajari dan didalaminya. Anjuran ini, terutama tentu saja ditujukan kepada intelektual Muslim. Selanjutnya ia menyarankan bahwa ulama Islam harus memperlengkapi dirinya dengan ilmu dan filsafat, di samping sikap ketaqwaan yang ikhlas dalam beribadah kepada Allah.38 Pemikiran Khomeini di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan ini tidak terlepas dari latar belakang kehidupan agamanya sebagai seorang yang ber-mazhab Syiah Imamiyah Isna 'Asyariyah yang memiliki tradisi dan doktrin yang sangat kuat dalam pendalaman filsafat dan ilmu pengetahuan, sebab dalam teologi, Syi‟ah sepaham dengan Mu‟tazilah kecuali ke-ma’shum-an Imam sebagai sumber timbulnya kebenaran di 36 Yaum al-Quds, No. 13, Jumad al-Sani 1404 H. 22. Shaheed, No. 118, Loc. cit., 38 Ain Najaf, Qiyadhah al-Ulama’ wa al-Ummah al-Islamiyah, (Teheran: Barad al-Ilm, t.t.,), 45. 37 Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 14 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah samping wahyu. Faham Mu‟tazilah tersebut adalah faham yang dinamis dan mengajak seseorang untuk berpikiran maju. Penutup Dari uraian di muka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Khomeini telah berusaha merumuskan pemikirannya dalam banyak bidang (politik, sosial, pendidikan, kenegaraan, filsafat dan ilmu pengetahuan) yang selalu berupaya membangkitkan semangat Islam, sehingga gagasan-gagasannya mengandung muatan politis yang sangat tinggi di samping anti kemapanan atau tradisi yang berlaku dikalangan Syi‟ah yang dipandang kurang menguntungkan. Dia memiliki kecenderungan untuk menjelaskan dimensi-dimensi pemikirannya itu dalam perspektif politik. Barangkali ini adalah keniscayaan bagi sosok Khomeini yang sedang melakukan perlawanan terhadap rezim yang tiran pada masa hidupnya. Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 15 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah DAFTAR PUSTAKA Abrahamian, Ervan, Khomeinism: Essay on the Islamic Republic, (London: IB. Tauris & Co. Ltd., 1993) Abrahamian, Edward, Iran Between Two Revolutions, (Princeton: Princeton University Press, 1982) Basri, Syafiq, Iran Pasca Revolusi, (Jakarta: Sinar Harapan, 1987) Enayat, Hamid “Khomeini‟s Concept of Guardianship of the Jurist”, dalam Islam in the Political Process. James P. Pistacory (ed.), (London: Cambridge University Press, 1983) Esposito, John L., Islam dan Pembangunan, terj. Sahat Simamora, (Jakarta: Renika Cipta, 1992) Incorporated, Grolier, The Encyclopeda of America, Vol 16, (USA: Grolier Incorporated, 1992) Irving, Clive, The Sayings of Khomeini (Wejangan Khomeini), Alih Bahasa Hadinata, (Jakarta: Walsy, 1981,) Ja‟fari, Muhammad Taqi, Sekilas tentang Imam Khomeini, (Jakarta: Kantor Pers dan Pusat Informasi Kedubes Iran di Jakarta, t.t.,) Keddie, Nikki K., Roots of Revolution: An Interpretative History of Modern Iran, (New Haven and London: Yale University Press, 1981) Khomeini, Imam, al-Hukumat al-Islamiyah, (Tehran: al-Maktabah alIslamiyah, t.t.,) Milani, Mohsen M., The Making of Iran Islamic Revolution, (New York: Westview Press, 1988,) Momen, Moojan, An Introduction to Shi’i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi’ism, (New Haven an London:Yale University Perss, 1985) Najaf, Ain, Qiyadhah al-Ulama’ wa al-Ummah al-Islamiyah, (Teheran: Barad al-Ilm, t.t.,) Puar, Yusuf Abdullah, Perjuangan Ayatullah Khomeini, (Jakarta: Pustaka Antara, 1979) Ringkasan Biografi, Pidato-pidato dan Wasiat Imam Khomeini, (Jakarta: Kedutaan Besar Iran, 1989) Tamara, Nasir, Revolusi Iran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981) UUD Republik Islam Iran, (Jakarta: Humas Kedutaan Besar Republik Islam Iran). Wazarat al-Irsyad al-Islami, Mukhtarat min Aqwal al Imam al-Khomeini, (Teheran: 1402 H.). Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 16 Asnawi Mahfudz, Belajar Kepada Seorang Mullah Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 17