BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penelitian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Penelitian
Sektor pertanian pada saat ini mengalami permasalahan yang cukup
mengkhawatirkan. Ketersediaan lahan yang semakin menyusut mengakibatkan
produksi hasil pertanian semakin menurun. Di samping itu kebijakan pemerintah
untuk menjaga stabilitas ketersediaan pangan dengan memberikan kemudahan
impor adalah sesuatu yang ironis. Hal ini bertolak belakang dengan kenyataan
bahwa kita adalah bangsa agraris yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor
pertanian, namun petani justru merupakan kelompok masyarakat yang berada
pada sektor dengan pendapatan terendah, sehingga sektor pertanian kini dianggap
sebagai sektor yang tidak menjanjikan. Hal ini menjadi suatu alasan yang kuat
bagi para petani untuk meninggalkan sektor pertanian dan beralih pada sektor lain
dan mengalihfungsikan atau menjual lahan yang mereka miliki untuk
dialihfungsikan ke sektor non pertanian yang mereka anggap lebih menjanjikan.
Di kawasan strategis pariwisata, permasalahan alih fungsi lahan menjadi
dilema yang cukup sulit untuk diurai. Di satu sisi pemerintah daerah memiliki
kepentingan untuk mendukung sektor pariwisata yang dikembangkan oleh
masyarakat dalam rangka meningkatkan nilai jual kepariwisataan daerah, dengan
memberikan kemudahan perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non
pertanian untuk dibangun berbagai fasilitas
(amenities).
Namun
di
sisi
dan jasa pendukung pariwisata
lain pemerintah mengemban tugas
untuk
1
mempertahankan sektor pertanian dengan melakukan pengendalian alih fungsi
lahan. Situasi ini
sebagaimana dinyatakan oleh Muhammad Iqbal dan
Sumaryanto (2007), bahwa :
Peraturan perundangan-undangan yang berlaku kadangkala bersifat
paradoksal dan dualistik. Di satu sisi bermaksud untuk melindungi alih
fungsi lahan sawah, namun di sisi lainnya pemerintah cenderung
mendorong pertumbuhan industri yang notabene basisnya membutuhkan
lahan. 1
Penetapan Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur melalui
peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional menunjukkan keseriusan pemerintah untuk mengembangkan
sektor kepariwisataan di kawasan Borobudur, sedangkan di sisi lain keberadaan
sektor pertanian sebagai penopang utama daerah juga harus dipertahankan dengan
mengendalikan alih fungsi lahan yang terjadi dengan penetapan kebijakan
perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Laju
pembangunan
merupakan
alasan
yang
seringkali
memaksa
masyarakat untuk mengalihfungsikan lahan pertanian. Perkembangan yang terjadi
tersebut menyebabkan pola kehidupan petani semakin sulit untuk menghindarkan
diri dari keterpaksaan melepaskan tanahnya karena praktik perizinan yang
memungkinkan alih fungsi tanah berdasarkan Rencana tata Ruang Wilayah
(RTRW) Daerah Tingkat II, yang karena alasan kepentingan pembangunan
mengarahkan alih fungsi tanah tersebut (Sumardjono, 2008). Kawasan Pariwisata
Borobudur merupakan wilayah yang menjadi objek pembangunan untuk
1
Iqbal dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada
Masyarakat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
2
meningkatkan daya jual sektor pariwisata, namun tanpa disadari pergeseran yang
terjadi sebagai dampak pembangunan ini justru mengurangi nilai budaya yang
selama ini melekat pada masyarakat Borobudur sebagai warisan budaya dunia.
Baiquni (2009) menyatakan bahwa :
Pembangunan yang terus meningkat membawa konsekuensi bagi
kehidupan, tata ruang dan lingkungan hidup. Beban yang terlalu besar
sebagai magnet pariwisata, telah membawa perubahan citra Borobudur
warisan dunia ini semakin merosot. Belum lagi meningkatnya pengalihan
kepemilikan lahan dari petani dan penduduk setempat pada para spekulan
tanah. Bila kecenderungan ini terus berlangsung dikhawatirkan terjadi
marjinalisasi, penduduk setempat terpelanting dari tanah leluhurnya.2
Kepemilikan atas lahan bukan merupakan suatu hak kepemilikan dengan
sifat yang tak terbatas. Dalam situasi yang menyangkut kepentingan umum, maka
hak kepemilikan lahan dapat dialihkan kepada pemerintah dengan memperhatikan
penggantian kerugian atasnya. Untuk melakukan perlindungan atas lahan
pertanian, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, diantaranya adalah dengan
menerapkan regulasi di tingkat daerah untuk menetapkan lahan pertanian sebagai
lahan lestari dengan mempertimbangkan tata ruang dan prioritas pembangunan.
Konservasi lahan pertanian di wilayah KSN Borobudur memiliki 2 (dua)
peran penting, yaitu menjaga dan meningkatkan produksi sektor pertanian, serta
melestarikan nilai-nilai budaya yang berakar dari pola kehidupan masyarakat
petani yang telah berkembang saat ini. Oleh sebab itu tidak sudah sepantasnya
pemerintah menegakkan aturan Rencana Tata Ruang Wilayah dengan lebih tegas,
2
Baiquni, Muhammad. 2009. Belajar dari Pasang Surut Peradaban Borobudur dan Konsep
Pengembangan Pariwisata Borobudur.Forum Geografi. Hlm 36. Vol 23 No 1. Juli 2009
3
karena ada dua sektor penting penopang pendapatan masyarakat dan pendapatan
asli daerah yang harus dipertahankan.
Wilayah strategis pariwisata adalah salah satu contoh wilayah yang
mengalami alih fungsi dengan angka yang cukup tinggi, baik untuk pembangunan
perumahan maupun pengembangan usaha pendukung pariwisata . Dari tahun ke
tahun luas lahan sawah di Kabupaten Magelang mengalami penurunan. Pada
tahun 2005 lahan sawah di Kabupaten Magelang tercatat seluas 37.445 hektar dan
menyusut hingga tinggal 37.219 hektar pada tahun 2011 (Handari, 2012). Realita
ini menjadi sebuah pertanyaan besar tentang bagaimana konsistensi pemerintah
dalam
melaksanakan
kebijakan
perlindungan
lahan
pertanian
pangan
berkelanjutan sebagaimana termaktub dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun
2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magelang 2010-2030.
Tabel 1.1.Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian
Tahun 2003-2010
(sumber : Kantor Pertanahan Kabupaten Magelang, dalam Handari (2012))
4
Data di atas menunjukkan bahwa perubahan penggunaan tanah untuk
perumahan pada tahun 2003 adalah seluas 179.007 m2, dari keseluruhan tanah
yang diproses untuk mendapatkan Izin Perubahan Penggunaan Tanah seluas
230.007 m2, atau sebesar 78%. Pada tahun 2010, permohonan IPPT yang masuk
adalah seluas 79.972 m2, dan diperuntukan sebagai perumahan adalah seluas
60.857 m2 atau 76% dari keseluruhan permohonan IPPT pada tahun tersebut.
Meskipun permohonan IPPT tersebut diajukan untuk mengalihfungsikan lahan
pertanian ke sektor perumahan, namun dalam praktiknya perumahan tersebut juga
digunakan untuk mengelola suatu usaha. Untuk beberapa kasus yang terjadi di
wilayah KSN Borobudur adalah perumahan difungsikan sebagai tempat tinggal
pemiliknya sekaligus homestay atau pertokoan.
Perubahan penggunaan lahan dapat dapat terjadi karena adanya perubahan
rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena
mekanisme pasar. Dua hal terakhir terjadi lebih sering pada masa lampau karena
kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai tata ruang
wilayah, atau rencana tata ruang wilayah yang sulit diwujudkan. Alih fungsi dari
pertanian ke non pertanian terjadi secara meluas sejalan dengan kebijaksanaan
pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan
fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam
penyediaan tanah (Widjanarko, dkk, 2006, dalam Irsalina, 2010).
Pemerintah sebenarnya memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah
sebidang lahan dapat dialihfungsikan dengan memberikan Perizinan Peruntukan
Penggunaan Tanah (IPPT , Izin Pemanfaatan Tanah dan Izin Lokasi), sebagai
5
upaya untuk mempertahankan keberadaan lahan pertanian tanaman pangan. Izin
adalah salah satu instrument yang digunakan dalam hukum administrasi.
Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan
tingkah laku warga Negara (Listyawati, 2010). Namun di sisi lain kewenangan
untuk memutuskan persetujuan perizinan perubahan penggunaan tanah oleh
pemangku kepentingan justru dilandaskan pada kepentingan politis yang hanya
menguntungkan pihak-pihak tertentu, sehingga mengakibatkan alih fungsi lahan
terus berlangsung walau kebijakan pengendalian telah ditetapkan.
Regulasi tentang pengendalian konversi (alih fungsi) tanah pertanian
sebenarnya telah berlaku sejak ditebitkannya Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 53 Tahun 1989, Keppres No 33/1990, Surat Edaran (SE) Menteri Negara
Agraria No 410-2261 1994, hingga Undang Undang RI Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, bertujuan untuk
mendorong ketersediaan lahan pertanian dalam rangka menjaga kemandirian,
ketahanan dan kedaulatan pangan.
Menurut kajian strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang
dilakukan oleh Direktorat Pangan dan Pertanian Kementriaan Perencanaan
Pembangunan Nasional/ Bappenas pada tahun 2006 dinyatakan bahwa
pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat
mengurangi ketersediaan lahan pertanian, telah berlangsung sejak tahun 90-an.
Rancangan
Rencana
Strategis
Kementrian
Pertanian
tahun
2010-2014
mengungkapkan data konversi sawah menjadi lahan non pertanian dari tahun
1999-2002 mencapai 563.159 hektar atau 187.719,7 hektar/tahun. Antara tahun
6
1981-1999, neraca pertambahan lahan sawah seluas 1,6 juta hektar, namun antara
tahun 1999-2002 terjadi penciutan luas lahan seluas 0,4 juta hektar atau 141.285
hektar/tahun (Nana Apriyana, 2011).
Dalam praktiknya pemerintah mengalami inkonsistensi kebijakan, yaitu
suatu kondisi yang menggambarkan ketidaksesuaian antara norma-norma yang
termuat dalam kebijakan dengan implementasi yang terjadi di lapangan
(Fatichudi, 2008). Diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Peraturan Daerah Nomor 5
Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magelang 20102030, semestinya dapat menjadi dasar bagi penerbitan IPPT, namun terjadi
inkonsistensi berupa ketidaktegasan pemerintah dalam menerapkan regulasi.
Tidak ada sanksi yang jelas terhadap pelanggaran yang terjadi, sekaligus insentif
yang memadai bagi masyarakat yang menaati.
1. 2.
Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Wacana pembentukan wilayah KSN Borobudur yang diamanatkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana tata Ruang
Wilayah Nasional semestinya dapat menjadi sebuah sarana bagi pemerintah untuk
dapat menegakkan regulasi tentang alih fungsi lahan secara konsisten. Sektor
pertanian dapat menjadi sebuah paket wisata yang mendukung pariwisata dalam
KSN Borobudur apabila ditangani dengan profesional. Tujuan pembentukan
wilayah KSN Borobudur untuk melestarikan lahan pertanian sebagai salah satu
7
cultural landscape (bentang budaya) semestinya juga didampingi dengan
program-program yang mendukung sektor pertanian.
Upaya yang semestinya ditegakkan pemerintah daerah secara berkeadilan
adalah pengendalian perizinan peruntukan penggunaan tanah pertanian ke non
pertanian dengan menggunakan aturan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Magelang sebagai acuan secara konsisten. Perizinan tersebut memiliki peran yang
sangat strategis dalam mengendalikan konversi lahan pertanian ke non pertanian.
Namun di sisi lain ada fenomena yang terjadi di wilayah strategis pertanian yang
sekaligus merupakan wilayah strategis pariwisata dan perkotaan yaitu semacam
keengganan masyarakat untuk bertahan di sektor pertanian, karena sektor
pertanian mereka nilai tidak lagi menjanjikan. Sektor pariwisata, perdagangan,
dan industri menjadi pilihan untuk menggantungkan penghidupan mereka. Sektor
pertanian membutuhkan waktu yang lama bagi masyarakat untuk dapat memetik
hasilnya, dengan tingkat ketidakpastian yang cukup tinggi. Berbeda dengan sektor
lain yang tidak membutuhkan modal besar dan tingkat ketidakpastian yang
rendah, masyarakat dapat segera menikmati hasil.
Pertanyaan penelitian ini adalah :
1. Bagaimana efektivitas implementasi Kebijakan Pengendalian Alih
Fungsi Lahan dari pertanian ke non pertanian pada kawasan strategis
pariwisata KSN Borobudur Kabupaten Magelang?
2. Faktor apa sajakah yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan dari
pertanian ke non pertanian di wilayah KSN Borobudur?
8
3. Bagaimanakah upaya pemerintah untuk mempertahankan sektor
pertanian
di
wilayah
KSN
Borobudur
sekaligus
mendorong
pembangunan sektor pariwisata di kawasan tersebut dan sejauh mana
upaya penerapan sanksi terhadap pelanggaran perizinan alih fungsi
lahan?
1. 3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1.
Menganalisis efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan
pertanian ke non pertanian pada kawasan strategis pariwisata KSN
Borobudur Kabupaten Magelang.
2.
Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang
mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di
wilayah KSN Borobudur Kabupaten Magelang.
3.
Menganalisis sejauh mana upaya pemerintah terkait dengan kebijakan
apa yang diterapkan di wilayah KSN Borobudur untuk mengendalikan
alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian sekaligus dapat
meningkatkan nilai jual pariwisata, serta sanksi yang perlu diterapkan
agar tidak terjadi pembiaran terhadap pelanggaran perizinan alih
fungsi lahan
1. 4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan :
9
1.
Dapat
mengetahui
seberapa
efektif
pelaksanaan
kebijakan
pengendalian alih fungsi lahan di wilayah KSN Borobudur
2.
Dapat menjelaskan tentang situasi dilematis yang dihadapi masyarakat
pemilik
lahan dan petani di wilayah KSN Borobudur Kabupaten
Magelang yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan
3.
Dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten
Magelang,
khususnya
instansi-instansi
terkait
yang
memiliki
kewenangan dalam memberikan pertimbangan bagi perizinan
perubahan penggunaan tanah pada wilayah KSN Borobudur
Kabupaten Magelang, terkait kebijakan apa yang efektif untuk
diterapkan bagi wilayah dengan 2 (dua) sektor unggulan yaitu
pertanian dan pariwisata, termasuk insentif dan disinsentif yang
diterapkan.
1. 5.
Perbandingan dengan Penelitian Terdahulu
Berikut adalah perbandingan penelitian ini dengan penelitian-penelitian
yang telah ada sebelumnya:
10
Tabel 1.2. Perbandingan dengan Penelitian Terdahulu
Nama Peneliti dan Judul
Penelitian
No
Bentuk Penelitian
Jenis Penelitian
1 Widi Astuti (2014),
Tesis
metode gabungan
Efektifitas Kebijakan
antara kuantitatif dan
Pengendalian Alih Fungsi
kualitatif
Lahan pada Kawasan Strategis
Nasional (KSN) Borobudur
Kabupaten Magelang
Tujuan Penelitian
Mengetahui efektivitas kebijakan pengendalian
alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian
pada kawasan strategis pariwisata KSN
Borobudur Kabupaten Magelang sebagai
kawasan cagar budaya sekaligus kawasan yang
memiliki nilai investasi tinggi
Metodologi
Teknik penentuan sampel dilaksanakan
dengan purposive sampling dan
penentuan informan dengan judgement
sampling
Teknik menentukan informan
Primer dan sekunder Alih fungsi penggunaan lahan di wilayah
dilaksanakan dengan Purposive Sampling
penelitian tersebut membawa dampak
dan Snowball Sampling
negatif berupa degradasi lingkungan dan
menimbulkan potensi konflik sosial.
Namun secara ekonomi membawa manfaat
dengan terjadinya investasi dan
penyerapan tenaga kerja
2 Tree Setiawan Pamungkas
Tesis
(2014), Implementasi
Kebijakan Alih Fungsi Lahan
di Lembah Sungai Tambak
Bayan Kabupaten Sleman
(2014)
Kualitatif
Mengidentifikasi dan mendeskripsikan faktor
yang mempengaruhi Kebijakan Alih Fungsi
Lahan di lembah sungai Tambak Bayan Kab.
Sleman
3 Radjasa (2013), Transformasi Disertasi
Keagamaan Komunitas
Muslim Kasus Muhamadiyah
dalam Merespon Perubahan
Sosial Ekonomi di Kawasan
Pariwisata Borobudur.
Kualitatif
Penelitian ini difokuskan pada proses
Melalui observasi dan wawancara
perubahan keagamaan yang berlangsung secara mendalam pada rentang waktu 2009 –
dialektis ketika merespon perubahan
2011
lingkungan sosial ekonomi. Berangkat dari
asumsi bahwa agama merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi etika ekonomi, dan
agama itu sendiri sangat terpengaruh oleh
suasana sosial ekonomi, penelitian ini mengkaji
’transformasi keagamaan komunitas
Muhammadiyah di kawasan pariwisata
Borobudur’.
Jenis data
Kesimpulan
Primer dan sekunder Kebijakan pengendalian alih fungsi lahan
belum berjalan secara efektif di wilayah
KSN Borobudur karena kurangnya daya
dukung kebijakan di sektor pertanian yang
dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Di samping itu perlu dilaksanakan
kebijakan di sektor pariwisata untuk
mengembangkan budaya dan pariwisata
yang berbasis pada pola kehidupan
masyarakat di sektor pertanian.
Primer dan sekunder Komunitas keagamaan selalu mengalami
transformasi dan terus membentuk
habitus baru sesuai dengan struktur sosial
yang berlaku, demikian sebaliknya
struktur sosial selalu mengalami
transformasi sesuai dengan kehendak para
aktor yang hidup di dalamnya.
11
No
Nama Peneliti dan Judul
Penelitian
Bentuk Penelitian Jenis Penelitian
4 MF.Anita Widhy Handari,
Tesis
metode gabungan
Implementasi Kebijakan
antara kuantitatif dan
Perlindungan Lahan Pertanian
kualitatif
Pangan Berkelanjutan (2012)
Tujuan Penelitian
Metodologi
Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi Teknik penentuan informan dan sample
implementasi kebijakan perlindungan lahan
menggunakan purposive, quota dan
pertanian pangan berkelanjutan dan
jugdement sampling
menentukan strategi dalam mencapai
perlindungan lahan pertanian berkelanjutan di
Kabupaten Magelang dengan membandingkan
tingkat alih fungsi lahan di wilayah perkotaan
dengan pedesaan.
Jenis data
Kesimpulan
Primer dan sekunder Di Kabupaten Magelang implementasi
kebijakan perlindungan lahan pertanian
berkelanjutan baru sampai pada tahap
identifikasi lokasi dan belum ada suatu
peraturan daerah yang mengatur tentang
hal tersebut.
5 Dwita Hadi Rahmi (2012)
Pusaka Saujana Borobudur
Studi Hubungan Antara
Bentang Lahan dan Budaya
Masyarakat
Merumuskan konsep pusaka saujana
Borobudur yang kontekstual dengan mengkaji
potensi dan interaksi antara sistem
bentanglahan dan sosio-budaya masyarakat.
Primer dan sekunder Kristalisasi konsep pusaka saujana
Borobudur ini merupakan penyatuan dari
3 (tiga) dimensi, yaitu: wujud, nilai
keunggulan, dan mandala Borobudur.
Wujud pusaka saujana Borobudur dapat
diapresiasi dalam empat aspek: a) pola
pengolahan lahan; b) tata kehidupan; c)
arsitektur kawasan; dan d) bentukanbentukan alami; dan keempatnya menyatu
membentuk panorama kawasan. Wujud
pusaka saujana ini mengandung empat
nilai keunggulan, yaitu: a) struktur
bentanglahan yang berkualitas; b)
kekayaan dan kemenerusan nilai-nilai
lokal; c) peran sejarah dan sumberdaya
pusaka; dan d) kandungan nilai-nilai
pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Disertasi
kualitatif (studi
kasus)
Pengumpulan data primer dengan cara
observasi, wawancara, dan uji
laboratorium, serta analisis dengan
membangun penjelasan naratif, analisis
runtut waktu, analisis spasial, dan
analisis bentang lahan (layer-cake
relationships)
12
Nama Peneliti dan Judul
Penelitian
No
Bentuk Penelitian
6 Endah Sri Widiastuti,
Tesis
Pengendalian Peruntukan
Pemanfaatan Tanah untuk
Perumahan yang Dibangun
Pengembangan di Kabupaten
Sleman(2008)
7 Moh. Fatichudin, Alih Fungsi Tesis
Lahan Pertanian ke Non
Pertanian dan Implementasi
Kebijakannya dalam
Kaitannya dengan
Keberlanjutan Fungsi Lahan
Pertanian di Kabupaten
Semarang (2008)
Jenis Penelitian
Tujuan Penelitian
Metodologi
Jenis data
Kualitatif naturalistik Mendeskripsikan implementasi pengendalian Teknik menentukan informan
Primer dan Sekunder
(berorientasi pada penggunaan tanah untuk perumahan yang
dilaksanakan dengan Purposive Sampling
kondisi alamiah)
dibangun pengembang di Kab. Sleman dan
mengetahui faktor yang mempengaruhi
pengendalian penggunaan tanah untuk
perumahan
deduktif kualitatif Mengevaluasi pelaksanaan Perda No 14 Tahun Teknik menentukan informan
Primer dan sekunder
dengan pendekatan 2003 tentang Ijin Perubahan Penggunaan Tanah dilaksanakan dengan purposive sampling
formative evaluation Pertanian dan Non Pertanian di Kabupaten
Semarang.
Kesimpulan
Kinerja implementasi pengendalian
peruntukan pemanfaatan taah untuk
perumahan yang dibangun pengembang di
Kab. Sleman dengan menggunakan
instrumen Izin Penggunaan Pemanfaatan
Tanah masih lemah dan belum efektif
Hasil penelitian menunjukkan telah
terjadi inkonsistensi kebijakan, yang
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
adanya kontradiksi antar peraturan,
kurangnya sosialisasi, rendahnya
kesadaran masyarakat, situasi
politik/pengaruh politik dan validitas data
perda nomor 14 tahun 2003 tentang Ijin
Penggunaan Tanah (IPPT) dari Pertanian
ke Non Pertanian.
13
Download