BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penelitian Sektor pertanian pada saat ini mengalami permasalahan yang cukup mengkhawatirkan. Ketersediaan lahan yang semakin menyusut mengakibatkan produksi hasil pertanian semakin menurun. Di samping itu kebijakan pemerintah untuk menjaga stabilitas ketersediaan pangan dengan memberikan kemudahan impor adalah sesuatu yang ironis. Hal ini bertolak belakang dengan kenyataan bahwa kita adalah bangsa agraris yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian, namun petani justru merupakan kelompok masyarakat yang berada pada sektor dengan pendapatan terendah, sehingga sektor pertanian kini dianggap sebagai sektor yang tidak menjanjikan. Hal ini menjadi suatu alasan yang kuat bagi para petani untuk meninggalkan sektor pertanian dan beralih pada sektor lain dan mengalihfungsikan atau menjual lahan yang mereka miliki untuk dialihfungsikan ke sektor non pertanian yang mereka anggap lebih menjanjikan. Di kawasan strategis pariwisata, permasalahan alih fungsi lahan menjadi dilema yang cukup sulit untuk diurai. Di satu sisi pemerintah daerah memiliki kepentingan untuk mendukung sektor pariwisata yang dikembangkan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan nilai jual kepariwisataan daerah, dengan memberikan kemudahan perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian untuk dibangun berbagai fasilitas (amenities). Namun di sisi dan jasa pendukung pariwisata lain pemerintah mengemban tugas untuk 1 mempertahankan sektor pertanian dengan melakukan pengendalian alih fungsi lahan. Situasi ini sebagaimana dinyatakan oleh Muhammad Iqbal dan Sumaryanto (2007), bahwa : Peraturan perundangan-undangan yang berlaku kadangkala bersifat paradoksal dan dualistik. Di satu sisi bermaksud untuk melindungi alih fungsi lahan sawah, namun di sisi lainnya pemerintah cenderung mendorong pertumbuhan industri yang notabene basisnya membutuhkan lahan. 1 Penetapan Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur melalui peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menunjukkan keseriusan pemerintah untuk mengembangkan sektor kepariwisataan di kawasan Borobudur, sedangkan di sisi lain keberadaan sektor pertanian sebagai penopang utama daerah juga harus dipertahankan dengan mengendalikan alih fungsi lahan yang terjadi dengan penetapan kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Laju pembangunan merupakan alasan yang seringkali memaksa masyarakat untuk mengalihfungsikan lahan pertanian. Perkembangan yang terjadi tersebut menyebabkan pola kehidupan petani semakin sulit untuk menghindarkan diri dari keterpaksaan melepaskan tanahnya karena praktik perizinan yang memungkinkan alih fungsi tanah berdasarkan Rencana tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah Tingkat II, yang karena alasan kepentingan pembangunan mengarahkan alih fungsi tanah tersebut (Sumardjono, 2008). Kawasan Pariwisata Borobudur merupakan wilayah yang menjadi objek pembangunan untuk 1 Iqbal dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Masyarakat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2 meningkatkan daya jual sektor pariwisata, namun tanpa disadari pergeseran yang terjadi sebagai dampak pembangunan ini justru mengurangi nilai budaya yang selama ini melekat pada masyarakat Borobudur sebagai warisan budaya dunia. Baiquni (2009) menyatakan bahwa : Pembangunan yang terus meningkat membawa konsekuensi bagi kehidupan, tata ruang dan lingkungan hidup. Beban yang terlalu besar sebagai magnet pariwisata, telah membawa perubahan citra Borobudur warisan dunia ini semakin merosot. Belum lagi meningkatnya pengalihan kepemilikan lahan dari petani dan penduduk setempat pada para spekulan tanah. Bila kecenderungan ini terus berlangsung dikhawatirkan terjadi marjinalisasi, penduduk setempat terpelanting dari tanah leluhurnya.2 Kepemilikan atas lahan bukan merupakan suatu hak kepemilikan dengan sifat yang tak terbatas. Dalam situasi yang menyangkut kepentingan umum, maka hak kepemilikan lahan dapat dialihkan kepada pemerintah dengan memperhatikan penggantian kerugian atasnya. Untuk melakukan perlindungan atas lahan pertanian, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, diantaranya adalah dengan menerapkan regulasi di tingkat daerah untuk menetapkan lahan pertanian sebagai lahan lestari dengan mempertimbangkan tata ruang dan prioritas pembangunan. Konservasi lahan pertanian di wilayah KSN Borobudur memiliki 2 (dua) peran penting, yaitu menjaga dan meningkatkan produksi sektor pertanian, serta melestarikan nilai-nilai budaya yang berakar dari pola kehidupan masyarakat petani yang telah berkembang saat ini. Oleh sebab itu tidak sudah sepantasnya pemerintah menegakkan aturan Rencana Tata Ruang Wilayah dengan lebih tegas, 2 Baiquni, Muhammad. 2009. Belajar dari Pasang Surut Peradaban Borobudur dan Konsep Pengembangan Pariwisata Borobudur.Forum Geografi. Hlm 36. Vol 23 No 1. Juli 2009 3 karena ada dua sektor penting penopang pendapatan masyarakat dan pendapatan asli daerah yang harus dipertahankan. Wilayah strategis pariwisata adalah salah satu contoh wilayah yang mengalami alih fungsi dengan angka yang cukup tinggi, baik untuk pembangunan perumahan maupun pengembangan usaha pendukung pariwisata . Dari tahun ke tahun luas lahan sawah di Kabupaten Magelang mengalami penurunan. Pada tahun 2005 lahan sawah di Kabupaten Magelang tercatat seluas 37.445 hektar dan menyusut hingga tinggal 37.219 hektar pada tahun 2011 (Handari, 2012). Realita ini menjadi sebuah pertanyaan besar tentang bagaimana konsistensi pemerintah dalam melaksanakan kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagaimana termaktub dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magelang 2010-2030. Tabel 1.1.Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian Tahun 2003-2010 (sumber : Kantor Pertanahan Kabupaten Magelang, dalam Handari (2012)) 4 Data di atas menunjukkan bahwa perubahan penggunaan tanah untuk perumahan pada tahun 2003 adalah seluas 179.007 m2, dari keseluruhan tanah yang diproses untuk mendapatkan Izin Perubahan Penggunaan Tanah seluas 230.007 m2, atau sebesar 78%. Pada tahun 2010, permohonan IPPT yang masuk adalah seluas 79.972 m2, dan diperuntukan sebagai perumahan adalah seluas 60.857 m2 atau 76% dari keseluruhan permohonan IPPT pada tahun tersebut. Meskipun permohonan IPPT tersebut diajukan untuk mengalihfungsikan lahan pertanian ke sektor perumahan, namun dalam praktiknya perumahan tersebut juga digunakan untuk mengelola suatu usaha. Untuk beberapa kasus yang terjadi di wilayah KSN Borobudur adalah perumahan difungsikan sebagai tempat tinggal pemiliknya sekaligus homestay atau pertokoan. Perubahan penggunaan lahan dapat dapat terjadi karena adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar. Dua hal terakhir terjadi lebih sering pada masa lampau karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai tata ruang wilayah, atau rencana tata ruang wilayah yang sulit diwujudkan. Alih fungsi dari pertanian ke non pertanian terjadi secara meluas sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanah (Widjanarko, dkk, 2006, dalam Irsalina, 2010). Pemerintah sebenarnya memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah sebidang lahan dapat dialihfungsikan dengan memberikan Perizinan Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT , Izin Pemanfaatan Tanah dan Izin Lokasi), sebagai 5 upaya untuk mempertahankan keberadaan lahan pertanian tanaman pangan. Izin adalah salah satu instrument yang digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku warga Negara (Listyawati, 2010). Namun di sisi lain kewenangan untuk memutuskan persetujuan perizinan perubahan penggunaan tanah oleh pemangku kepentingan justru dilandaskan pada kepentingan politis yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, sehingga mengakibatkan alih fungsi lahan terus berlangsung walau kebijakan pengendalian telah ditetapkan. Regulasi tentang pengendalian konversi (alih fungsi) tanah pertanian sebenarnya telah berlaku sejak ditebitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 53 Tahun 1989, Keppres No 33/1990, Surat Edaran (SE) Menteri Negara Agraria No 410-2261 1994, hingga Undang Undang RI Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, bertujuan untuk mendorong ketersediaan lahan pertanian dalam rangka menjaga kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan. Menurut kajian strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang dilakukan oleh Direktorat Pangan dan Pertanian Kementriaan Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas pada tahun 2006 dinyatakan bahwa pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi ketersediaan lahan pertanian, telah berlangsung sejak tahun 90-an. Rancangan Rencana Strategis Kementrian Pertanian tahun 2010-2014 mengungkapkan data konversi sawah menjadi lahan non pertanian dari tahun 1999-2002 mencapai 563.159 hektar atau 187.719,7 hektar/tahun. Antara tahun 6 1981-1999, neraca pertambahan lahan sawah seluas 1,6 juta hektar, namun antara tahun 1999-2002 terjadi penciutan luas lahan seluas 0,4 juta hektar atau 141.285 hektar/tahun (Nana Apriyana, 2011). Dalam praktiknya pemerintah mengalami inkonsistensi kebijakan, yaitu suatu kondisi yang menggambarkan ketidaksesuaian antara norma-norma yang termuat dalam kebijakan dengan implementasi yang terjadi di lapangan (Fatichudi, 2008). Diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magelang 20102030, semestinya dapat menjadi dasar bagi penerbitan IPPT, namun terjadi inkonsistensi berupa ketidaktegasan pemerintah dalam menerapkan regulasi. Tidak ada sanksi yang jelas terhadap pelanggaran yang terjadi, sekaligus insentif yang memadai bagi masyarakat yang menaati. 1. 2. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Wacana pembentukan wilayah KSN Borobudur yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana tata Ruang Wilayah Nasional semestinya dapat menjadi sebuah sarana bagi pemerintah untuk dapat menegakkan regulasi tentang alih fungsi lahan secara konsisten. Sektor pertanian dapat menjadi sebuah paket wisata yang mendukung pariwisata dalam KSN Borobudur apabila ditangani dengan profesional. Tujuan pembentukan wilayah KSN Borobudur untuk melestarikan lahan pertanian sebagai salah satu 7 cultural landscape (bentang budaya) semestinya juga didampingi dengan program-program yang mendukung sektor pertanian. Upaya yang semestinya ditegakkan pemerintah daerah secara berkeadilan adalah pengendalian perizinan peruntukan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian dengan menggunakan aturan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magelang sebagai acuan secara konsisten. Perizinan tersebut memiliki peran yang sangat strategis dalam mengendalikan konversi lahan pertanian ke non pertanian. Namun di sisi lain ada fenomena yang terjadi di wilayah strategis pertanian yang sekaligus merupakan wilayah strategis pariwisata dan perkotaan yaitu semacam keengganan masyarakat untuk bertahan di sektor pertanian, karena sektor pertanian mereka nilai tidak lagi menjanjikan. Sektor pariwisata, perdagangan, dan industri menjadi pilihan untuk menggantungkan penghidupan mereka. Sektor pertanian membutuhkan waktu yang lama bagi masyarakat untuk dapat memetik hasilnya, dengan tingkat ketidakpastian yang cukup tinggi. Berbeda dengan sektor lain yang tidak membutuhkan modal besar dan tingkat ketidakpastian yang rendah, masyarakat dapat segera menikmati hasil. Pertanyaan penelitian ini adalah : 1. Bagaimana efektivitas implementasi Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan dari pertanian ke non pertanian pada kawasan strategis pariwisata KSN Borobudur Kabupaten Magelang? 2. Faktor apa sajakah yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian di wilayah KSN Borobudur? 8 3. Bagaimanakah upaya pemerintah untuk mempertahankan sektor pertanian di wilayah KSN Borobudur sekaligus mendorong pembangunan sektor pariwisata di kawasan tersebut dan sejauh mana upaya penerapan sanksi terhadap pelanggaran perizinan alih fungsi lahan? 1. 3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Menganalisis efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan pertanian ke non pertanian pada kawasan strategis pariwisata KSN Borobudur Kabupaten Magelang. 2. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di wilayah KSN Borobudur Kabupaten Magelang. 3. Menganalisis sejauh mana upaya pemerintah terkait dengan kebijakan apa yang diterapkan di wilayah KSN Borobudur untuk mengendalikan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian sekaligus dapat meningkatkan nilai jual pariwisata, serta sanksi yang perlu diterapkan agar tidak terjadi pembiaran terhadap pelanggaran perizinan alih fungsi lahan 1. 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan : 9 1. Dapat mengetahui seberapa efektif pelaksanaan kebijakan pengendalian alih fungsi lahan di wilayah KSN Borobudur 2. Dapat menjelaskan tentang situasi dilematis yang dihadapi masyarakat pemilik lahan dan petani di wilayah KSN Borobudur Kabupaten Magelang yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan 3. Dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang, khususnya instansi-instansi terkait yang memiliki kewenangan dalam memberikan pertimbangan bagi perizinan perubahan penggunaan tanah pada wilayah KSN Borobudur Kabupaten Magelang, terkait kebijakan apa yang efektif untuk diterapkan bagi wilayah dengan 2 (dua) sektor unggulan yaitu pertanian dan pariwisata, termasuk insentif dan disinsentif yang diterapkan. 1. 5. Perbandingan dengan Penelitian Terdahulu Berikut adalah perbandingan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya: 10 Tabel 1.2. Perbandingan dengan Penelitian Terdahulu Nama Peneliti dan Judul Penelitian No Bentuk Penelitian Jenis Penelitian 1 Widi Astuti (2014), Tesis metode gabungan Efektifitas Kebijakan antara kuantitatif dan Pengendalian Alih Fungsi kualitatif Lahan pada Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur Kabupaten Magelang Tujuan Penelitian Mengetahui efektivitas kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian pada kawasan strategis pariwisata KSN Borobudur Kabupaten Magelang sebagai kawasan cagar budaya sekaligus kawasan yang memiliki nilai investasi tinggi Metodologi Teknik penentuan sampel dilaksanakan dengan purposive sampling dan penentuan informan dengan judgement sampling Teknik menentukan informan Primer dan sekunder Alih fungsi penggunaan lahan di wilayah dilaksanakan dengan Purposive Sampling penelitian tersebut membawa dampak dan Snowball Sampling negatif berupa degradasi lingkungan dan menimbulkan potensi konflik sosial. Namun secara ekonomi membawa manfaat dengan terjadinya investasi dan penyerapan tenaga kerja 2 Tree Setiawan Pamungkas Tesis (2014), Implementasi Kebijakan Alih Fungsi Lahan di Lembah Sungai Tambak Bayan Kabupaten Sleman (2014) Kualitatif Mengidentifikasi dan mendeskripsikan faktor yang mempengaruhi Kebijakan Alih Fungsi Lahan di lembah sungai Tambak Bayan Kab. Sleman 3 Radjasa (2013), Transformasi Disertasi Keagamaan Komunitas Muslim Kasus Muhamadiyah dalam Merespon Perubahan Sosial Ekonomi di Kawasan Pariwisata Borobudur. Kualitatif Penelitian ini difokuskan pada proses Melalui observasi dan wawancara perubahan keagamaan yang berlangsung secara mendalam pada rentang waktu 2009 – dialektis ketika merespon perubahan 2011 lingkungan sosial ekonomi. Berangkat dari asumsi bahwa agama merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi etika ekonomi, dan agama itu sendiri sangat terpengaruh oleh suasana sosial ekonomi, penelitian ini mengkaji ’transformasi keagamaan komunitas Muhammadiyah di kawasan pariwisata Borobudur’. Jenis data Kesimpulan Primer dan sekunder Kebijakan pengendalian alih fungsi lahan belum berjalan secara efektif di wilayah KSN Borobudur karena kurangnya daya dukung kebijakan di sektor pertanian yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Di samping itu perlu dilaksanakan kebijakan di sektor pariwisata untuk mengembangkan budaya dan pariwisata yang berbasis pada pola kehidupan masyarakat di sektor pertanian. Primer dan sekunder Komunitas keagamaan selalu mengalami transformasi dan terus membentuk habitus baru sesuai dengan struktur sosial yang berlaku, demikian sebaliknya struktur sosial selalu mengalami transformasi sesuai dengan kehendak para aktor yang hidup di dalamnya. 11 No Nama Peneliti dan Judul Penelitian Bentuk Penelitian Jenis Penelitian 4 MF.Anita Widhy Handari, Tesis metode gabungan Implementasi Kebijakan antara kuantitatif dan Perlindungan Lahan Pertanian kualitatif Pangan Berkelanjutan (2012) Tujuan Penelitian Metodologi Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi Teknik penentuan informan dan sample implementasi kebijakan perlindungan lahan menggunakan purposive, quota dan pertanian pangan berkelanjutan dan jugdement sampling menentukan strategi dalam mencapai perlindungan lahan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Magelang dengan membandingkan tingkat alih fungsi lahan di wilayah perkotaan dengan pedesaan. Jenis data Kesimpulan Primer dan sekunder Di Kabupaten Magelang implementasi kebijakan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan baru sampai pada tahap identifikasi lokasi dan belum ada suatu peraturan daerah yang mengatur tentang hal tersebut. 5 Dwita Hadi Rahmi (2012) Pusaka Saujana Borobudur Studi Hubungan Antara Bentang Lahan dan Budaya Masyarakat Merumuskan konsep pusaka saujana Borobudur yang kontekstual dengan mengkaji potensi dan interaksi antara sistem bentanglahan dan sosio-budaya masyarakat. Primer dan sekunder Kristalisasi konsep pusaka saujana Borobudur ini merupakan penyatuan dari 3 (tiga) dimensi, yaitu: wujud, nilai keunggulan, dan mandala Borobudur. Wujud pusaka saujana Borobudur dapat diapresiasi dalam empat aspek: a) pola pengolahan lahan; b) tata kehidupan; c) arsitektur kawasan; dan d) bentukanbentukan alami; dan keempatnya menyatu membentuk panorama kawasan. Wujud pusaka saujana ini mengandung empat nilai keunggulan, yaitu: a) struktur bentanglahan yang berkualitas; b) kekayaan dan kemenerusan nilai-nilai lokal; c) peran sejarah dan sumberdaya pusaka; dan d) kandungan nilai-nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Disertasi kualitatif (studi kasus) Pengumpulan data primer dengan cara observasi, wawancara, dan uji laboratorium, serta analisis dengan membangun penjelasan naratif, analisis runtut waktu, analisis spasial, dan analisis bentang lahan (layer-cake relationships) 12 Nama Peneliti dan Judul Penelitian No Bentuk Penelitian 6 Endah Sri Widiastuti, Tesis Pengendalian Peruntukan Pemanfaatan Tanah untuk Perumahan yang Dibangun Pengembangan di Kabupaten Sleman(2008) 7 Moh. Fatichudin, Alih Fungsi Tesis Lahan Pertanian ke Non Pertanian dan Implementasi Kebijakannya dalam Kaitannya dengan Keberlanjutan Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Semarang (2008) Jenis Penelitian Tujuan Penelitian Metodologi Jenis data Kualitatif naturalistik Mendeskripsikan implementasi pengendalian Teknik menentukan informan Primer dan Sekunder (berorientasi pada penggunaan tanah untuk perumahan yang dilaksanakan dengan Purposive Sampling kondisi alamiah) dibangun pengembang di Kab. Sleman dan mengetahui faktor yang mempengaruhi pengendalian penggunaan tanah untuk perumahan deduktif kualitatif Mengevaluasi pelaksanaan Perda No 14 Tahun Teknik menentukan informan Primer dan sekunder dengan pendekatan 2003 tentang Ijin Perubahan Penggunaan Tanah dilaksanakan dengan purposive sampling formative evaluation Pertanian dan Non Pertanian di Kabupaten Semarang. Kesimpulan Kinerja implementasi pengendalian peruntukan pemanfaatan taah untuk perumahan yang dibangun pengembang di Kab. Sleman dengan menggunakan instrumen Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah masih lemah dan belum efektif Hasil penelitian menunjukkan telah terjadi inkonsistensi kebijakan, yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adanya kontradiksi antar peraturan, kurangnya sosialisasi, rendahnya kesadaran masyarakat, situasi politik/pengaruh politik dan validitas data perda nomor 14 tahun 2003 tentang Ijin Penggunaan Tanah (IPPT) dari Pertanian ke Non Pertanian. 13