5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis 2.1.1. Sejarah Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit yang diderita manusia sama tuanya dengan sejarah manusia. Penemuan lesi pada tulang-tulang belakang mummi yang sesuai dengan TB ditemukan di Heidelberg, diduga berasal dari tahun 5000 SM. Demikian juga halnya di Italia diduga berasal dari tahun 4000 SM. Keadaan ini juga dijumpai di Denmark dan lembah Jordan. Di Mesir juga ditemukan lukisan-lukisan pada dinding berupa bentuk kelainan tulang belakang yang sesuai dengan penemuan TB spinal pada mummi. Di Indonesia catatan paling tua dari penyakit ini adalah seperti didapatkan pada salah satu relief di candi Borobudur yang tampaknya menggambarkan kasus tuberkulosis (Putra, 2010). Hipokrates juga mendeskripsikan tentang penyakit ini dan menyebutnya Pthisis. Akhirnya pada tahun 1882 Robert Koch menemukan basil tuberkulosis sebagai penyebabnya dan hasil penemuannya dipresentasikan pada tanggal 24 Maret 1882 di Berlin. Hal ini di peringati sebagai hari TB sedunia (TB Day) (Putra, 2010). 2.1.2. Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang banyak menginfeksi manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini banyak menginfeksi paru dan jika di obati dengan baik penyakit ini dapat sembuh. Transmisi penyakit biasanya melalaui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien yang terinfeksi TB (Mario dan Richard, 2011). Universitas Sumatera Utara 6 2.1.3. Etiologi dan Faktor Risiko TB paru Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis. Organisme ini termasuk ordo Actinomycetalis, familia Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Genus Mycobacterium memiliki beberapa spesies diantaranya Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil tuberkulosis berbentuk batang ramping lurus, tapi kadangkadang agak melengkung, dengan ukuran panjang 2μm-4μm dan lebar 0,2μm–0,5μm. Organisme ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul, bila diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau granular. Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria tahan asam dan merupakan mikobakteria aerob obligat dan mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk mengganda dan pertumbuhan pada media kultur biasa dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu (Putra, 2010). Suhu optimal untuk tumbuh pada 37ºC dan pH 6,4 – 7,0. Jika dipanaskan pada suhu 60ºC akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Sel nya terdiri dari rantai panjang glikolipid dan phospoglican yang kaya akan mikolat (Mycosida) yang melindungi sel mikobakteria dari lisosom serta menahan pewarna fuschin setelah disiram dengan asam (basil tahan asam) (Herchline, 2013). Faktor- faktor yang meningkatkan risiko terinfeksi TB adalah (Hiswani, 2002): 1. Faktor Sosial Ekonomi Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan TB. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TB, karena pendapatan yang kecil Universitas Sumatera Utara 7 membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syaratsyarat kesehatan. 2. Status Gizi Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Infeksi Non-TB seperti: campak, cacar air dan batuk rejan dikatakan juga menjadi salah satu faktor yang meningkatkan risiko terinfeksi TB (Batra, 2012). 3. Umur Penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif (15 – 50) tahun. Dewasa ini dengan terjadinya transisi demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB-Paru. 4. Jenis Kelamin Penyakit TB paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agen penyebab TB paru. Universitas Sumatera Utara 8 2.1.4. Patogenesis TB paru Infeksi TB berasal dari udara yaitu melalui inhalasi droplet saluran nafas yang mengandung kuman – kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Setelah berada dalam ruang alveolus, biasanya dibagian bawah lobus atas paru atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel mengakibatkan reaksi radang. Leukosit polimorfonuklear memfagosit bakteri tersebut namun tidak membunuhnya. Sesudah hari pertama, leukosit akan diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi. Bakteri terus difagosit dan berkembang di didalam sel (Price and Standridge, 2006). Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumoni kecil dan disebut sarang primer atau focus ghon. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus. Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi: (Amin dan Bahar 2007) a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, klasifikasi di hilus, dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena kumannya dorman c. Berkomplikasi dan menyebar. Kuman yang dorman akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa. TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di bagian atas paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk tuberkel yakni suatu granuloma yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringat ikat Universitas Sumatera Utara 9 sekitar dan bagian tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk keju. Bila jaringan keju dibatukkan akan menimbulkan kavitas (Amin dan Bahar, 2007). 2.1.5. Klasifikasi TB Paru Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum TB paru di kategorikan menjadi: (Amin dan Bahar, 2007) 1. TB paru BTA positif a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA positif b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakkan positif 2. TB Paru BTA Negatif a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan menunjukkan tuberkulosis positif 2.1.6. Gejala Klinis TB paru Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal berupa gejala respiratorik (PDPI, 2011). 1. Gejala respiratorik Gejala respiratorik sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai gejala yang cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala respiratorik terdiri dari: (PDPI, 2011) a. Batuk > 2 minggu b. Batuk darah Universitas Sumatera Utara 10 c. Sesak nafas d. Nyeri dada. 2. Gejala sistemik Gejala sistemik yang dapat timbul berupa: a. Demam b. Keringat malam c. Anoreksia d. Berat badan menurun. 2.1.7. Diagnosis TB paru Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif). (DepKes RI, 2002) Selain itu semua yang memiliki kontak dengan penderita TB paru BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut yaitu sewaktu pagi sewaktu (SPS) (DepKes RI, 2002). Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada pemeriksaan fisik kelainan pada umumnya terletak di apeks paru pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara nafas bronchial, dapat di jumpai suara amforik jika didapati kavitas (PDPI, Universitas Sumatera Utara 11 2011). Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas dapat dijumpai atrofi dan retraksi otot-otot interkostal paru-paru yang terinfeksi menjadi lebih menciut dan menarik mediastinum (Amin dan Bahar, 2007). Pada pemrikasaan foto toraks gambaran TB yang mencurigai TB aktif adalah: (PDPI, 2011) 1. Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah 2. Kavitas, terutama lebih dari satu dan dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular 3. Bayangan bercak miliar 4. Efusi pleura. Ada beberapa cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB yaitu dengan cara konvensional dan tidak konvensional. Cara konvensional terdiri dari pemeriksaan mikroskopik, biakan kuman, uji kepekaan terhadap obat, dan identifikasi keberadaan kuman isolat serta pemeriksaan histopatologis (Kusuma, 2007). Pemeriksaan sputum merupakan hal yang penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah bisa ditegakkan. Dikatakan BTA + jika ditemukan dua atau lebih dahak BTA + atau 1 BTA + disertai dengan hasil radiologi yang menunjukkan TB aktif (PDPI, 2011). Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu pagi sewaktu (SPS). Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakkan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu Universitas Sumatera Utara 12 meemberikan gambaran g yyang khas pada p TB paaru, sehinggga sering teerjadi oveerdiagnosiss. Gambarran kelain nan radiollogik paruu tidak selalu s meenunjukkan aktifitas penyakit. Un ntuk lebih jelasnya j lihhat alur pro osedur diaagnostik unttuk suspek T TB paru (D DepKes RI, 2007). 2 G Gambar 2.1 1. Alur Diaggnosis Tuberkulosis Paru P pada O Orang Dew wasa (D DepKes RII, 2007) Universitas Sumatera Utara 13 Berdasarkan American Academy of Pediatrics (AAP), tes kulit diindikasikan untuk segera dilakukan pada anak-anak berikut: 1. Anak yang sudah berkontak dengan orang yang disangka menderita TB atau penderita TB aktif 2. Imigran yang berasal dari daerah endemik TB (seperti Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin) 3. Anak yang hasil pemeriksaan radiografi dan gejala klinis yang mengarah kepada TB. Tes kulit tuberkulin tahunan diindikasikan pada anak yang terinfeksi dengan HIV atau anak yang tinggal satu rumah dengan penderita HIV. Tes secara berkala 2 sampai 3 tahun diindikasikan pada anak yang terpapar dengan individu yang berisiko tinggi, termasuk tunawisma, orang yang terinfeksi HIV, penggunaan obat-obatan, dan orang yang tinggal di panti. Tes yang dilakukan pada anak yang berusia 4-6 tahun dan 11-16 tahun diindikasikan pada anak yang: 1. Anak tanpa faktor risiko namun tinggal pada daerah dengan prevalensi TB yang tinggi 2. Anak yang orangtuanya beremigrasi dari wilayah dunia dengan prevalensi TB yang tinggi atau anak yang mengalami paparan potensial secara terus menerus dengan melakukan perjalanan ke daerah endemik. Tes kulit tuberkulin dilakukan dengan melakukan injeksi tuberkulin yang berasal dari purified protein derivative (PPD) dengan dosis 0,1 ml secara intrakutan kemudian dipantau indurasi lokal yang muncul (bukan kemerahan) dengan palpasi, diameter transversal dan dicatat dalam millimeter setelah 48-72 jam setelah injeksi. Interpretasi hasil pemeriksaan ini dapat dilihat pada tabel 2.2. Universitas Sumatera Utara 14 Tabel 2.1. Interpretasi Ukuran Diameter Reaksi Uji Tuberkulin (Kenyorini, 2006) INDURASI Indurasi ≥ 5 mm KETERANGAN Close Contact dengan individu yang diketahui suspek TB dalam 2 tahun terakhir Suspek TB aktif dengan bukti dari klinis dan radiologis. Terinfeksi HIV. Individu dengan perubahan radiologis berupa fibrotik, tanda TB. Close contact dengan individu yang diketahui/suspek TB dalam waktu 2 tahun. Suspek TB aktif dengan bukti dari klinis dan radiologis. Individu dengan perubahan radiologis berupa fibrotik, tanda TB Individu yang transplantasi organ dan imuncompromised Indurasi ³ 10 mm Datang dari daerah dengan prevalensi tinggi TB Individu dengan HIV negatif Universitas Sumatera Utara 15 tetapi pengguna napza. Konversi uji tuberkulin menjadi 10 mm dalam 2 tahun Individu dengan kondisi klinis yang merupakan resiko tinggi TB : Indurasi ³15 mm DM Malabsorbsi CRF Tumor di leher dan kepala Leukemia, lymphoma Penurunan BB > 10% Silikosis Bukan risiko tinggi tertular TB Konversi uji tuberkulin menjadi > 15 mm setelah 2 tahun Penegakkan diagnosis TB pada anak dapat menggunakan sistem skoring seperti terlihat pada tabel 2.1. Berdasarkan tabel tersebut dapat kita tentukan skor seorang anak, dengan keterangan, jika skornya ≥ 6 maka dikatakan positif menderita TB. Universitas Sumatera Utara 16 Tabel 2.22. Skoring Untuk U Men negakkan Diagnosis D TB T pada Annak (Pediattrica In ndonesiana a, 2012) 2.11.8. Pengo obatan TB P Paru Pengobatan TB b ertujuan un ntuk: (PDPI,, 2011) a. Menyemb buhkan passien dan mengemballikan kualiitas hidup dan produktiviitas h kematian b. Mencegah c. Mencegah h kekambuhhan d. Menguran ngi penularaan h terjadinya resistensi obat o e. Mencegah Pengobatan TB tterbagi men njadi dua fase f yaitu ffase intensif dan fasse lanjutan dan lama pengobatan n 6-8 bulan n. Obat Annti Tuberku ulosis (O OAT) lini peertama terddiri dari; IN NH, rifampiccin, Pirazinnamid, etam mbutol dann Streptom micin. OAT T lini keduaa; kanamisin, kapreom misin, amik kasin, kuuinolon, sikloserin, setinnamid (PDP PI, 2011). Pandu uan pengobaatan TB yaittu: (Amin dan d Bahar, 22007) Universitas Sumatera Utara 17 1. Kategori I yaitu TB paru BTA +, TB paru BTA - dengan lesi luas dan TB ekstra paru yang berat dapat diberikan 2RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE 2. Kategori II yaitu kasus gagal, kambuh, dan putus berobat dapat diberikan 2RHZES/1RHZ/5RHE 3. Kategori III TB paru BTA- lesi minimal atau TB ekstra paru lesi minimal dapat diberikan; 2RHZ/4RH 4. Kategori IV TB kronis sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau INH seumur hidup 2.1.9. Pencegahan TB Paru Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat dan petugas kesehatan (Hiswani, 2002). A. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan. 1. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat 2. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap bayi harus diberikan vaksinasi BCG 3. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya 4. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TB paru. Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan 5. Desinfeksi, cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, tempat Universitas Sumatera Utara 18 tidur dan pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup. Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular 6. Penyelidikan orang-orang kontak. Uji kulit tuberkulin bagi seluruh anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila cara-cara ini negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif 7. Pengobatan khusus. Penderita dengan TB paru aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter. 8. B. Tindakan Pencegahan. 1. Status sosial ekonomi rendah yang merupakan salah satu faktor terinfeksi TB, seperti kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan 2. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspek,dan perawatan 3. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan 4. BCG, vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan bagi ibunya dan keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa tempat pencegahan 5. Memberantas penyakit TB pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan pasteurisasi air susu sapi Universitas Sumatera Utara 19 6. Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karena menghirup udara yang tercemar debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya 7. Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TB paru 8. Pemeriksaan screening dengan uji kulit tuberkulin pada kelompok berisiko tinggi, seperti para emigran, orang-orang yang melakukan kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit, petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen 9. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan uji kulit tuberkulin. 2.1.10. Pengendalian, Pengobatan dan penyuluhan yang dilaksanakan pada penderita Tuberkulosis A. Pengendalian Penderita Tuberkulosis 1. Petugas dari puskesmas harus mengetahui alamat rumah dan tempat kerja penderita 2. Petugas turut mengawasi pelaksanaan pengobatan agar penderita tetap teratur menjalankan pengobatan dengan jalan mengingatkan penderita yang lupa. Disamping itu agar menunjuk seorang pengawas pengobatan dikalangan keluarga. 3. Petugas harus mengadakan kunjungan berkala kerumah-rumah penderita dan menunjukkan perhatian atas kemajuan pengobatan serta mengamati kemungkinan terjadinya gejala sampingan akibat pemberian obat. B. Pengobatan Penderita Tuberkulosis 1. Penderita yang dalam dahaknya mengandung kuman dianjurkan untuk menjalani pengobatan di puskesmas Universitas Sumatera Utara 20 2. Petugas dapat memberikan pengobatan jangka pendek di rumah bagi penderita secara darurat atau karena jarak tempat tinggal penderita dengan puskesmas cukup jauh untuk bisa berobat secara teratur 3. Melaporkan adanya gejala sampingan yang terjadi, bila perlu penderita dibawa ke puskesmas C. Penyuluhan Penderita Tuberkulosis 1. Petugas baik dalam masa persiapan maupun dalam waktu berikutnya secara berkala memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas melalui tatap muka, ceramah dan media massa yang tersedia diwilayahnya, tentang cara pencegahan TB paru 2. Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya pada waktu kunjungan rumah dan memberi saran untuk terciptanya rumah sehat, sebagai upaya mengurangi penyebaran penyakit 3. Memberikan penyuluhan perorangan secara khusus kepada penderita agar penderita mau berobat rajin teratur untuk mencegah penyebaran penyakit kepada orang lain 4. Menganjurkan perubahan sikap hidup masyarakat dan perbaikan lingkungan demi tercapainya masyarakat yang sehat 5. Menganjurkan masyarakat untuk melapor apabila diantara warganya ada yang mempunyai gejala-gejala penyakit TB paru 6. Berusaha menghilangkan rasa malu pada penderita oleh karena penyakit TB paru bukan penyakit yang memalukan, dapat dicegah dan disembuhkan seperti halnya penyakit lain 7. Petugas harus mencatat dan melaporkan hasil kegiatannya kepada koordinatornya sesuai formulir pencatatan dan pelaporan kegiatan kader. Universitas Sumatera Utara 21 2.1.11. Komplikasi dan Prognosis TB Terdapat berbagai macam komplikasi TB paru pada toraks, dimana komplikasi dapat terjadi di paru-paru, saluran nafas, pembuluh darah, mediastinum, pleura ataupun dinding dada. Komplikasi ini akan menimbulkan sindroma gawat nafas akut yang dapat dinilai dari radiologis berupa gambaran ground glass opacity atau konsolidasi paru. (Jeoung and Lee, 2008) Komplikasi TB ini dapat terjadi baik pada pasien yang diobati ataupun tidak. Secara garis besar, komplikasi TB dikategorikan menjadi: (Kim, et al. 2001) 1. Lesi Parenkim ‐ Tuberkuloma dan Kavitas ‐ Sikatriks ‐ Kerusakan paru tahap akhir ‐ Aspergiloma ‐ Bronkogenik karsinoma 2. Lesi saluran nafas ‐ Bronkiektasis ‐ Stenosis trakeobronkial ‐ Bronkolitiasis 3. Lesi vaskular ‐ Trombosis dan arteritis arteri pulmonal ‐ Dilatasi arteri bronkhial ‐ Aneurisma rassmussen 4. Lesi mediastinum ‐ Klasifikasi limfe node ‐ Oesofagomediastinal atau esofagobronchial fistula ‐ Pericarditis constrictive ‐ Medistainitis fibrosis Universitas Sumatera Utara 22 5. Lesi Pleura ‐ Fibrothorax ‐ Fistula bronkopleura ‐ Pneumothorax 6. Lesi dinding dada ‐ TB kosta ‐ Spondylitis TB ‐ Keganasan Prognosis dapat menjadi buruk bila dijumpai keterlibatan ekstraparu, keadaan imunodefisiensi, usia tua, dan riwayat pengobatan TB sebelumnya. Pada suatu penelitian TB di Malawi, 12 dari 199 orang meninggal, dimana faktor risiko terjadinya kematian diduga akibat BMI yang rendah, kurangnya respon terhadap terapi dan keterlambatan diagnosa. (Herchline, 2013) Kesembuhan sempurna biasanya dijumpai pada kasus non-MDR dan non-XDR TB, ketika regimen pengobatan selesai. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi dengan sistem DOTS memiliki tingkat kekambuhan 0-14 %. Pada negara dengan prevalensi rendah TB, kekambuhan biasanya timbul 12 bulan setelah pengobatan selesai dan biasanya diakibatkan oleh relaps. Hal ini berbeda pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi, dimana kekambuhan diakibatkan oleh reinfeksi. (Herchline, 2013) 2.2. Penelusuran Kontak pada TB 2.2.1. Penelusuran Kontak Penelusuran kontak merupakan komponen penting dari penanggulangan TB dan bergantung pada pemberitahuan cepat dari penyakit. Keputusan tentang sejauh mana penelusuran kontak adalah untuk menjadi panduan oleh klinis dan indikasi epidemiologis. (Christensen, 2008) Universitas Sumatera Utara 23 Penelusuran kontak adalah suatu cara yang dikembangkan dengan baik untuk mengontrol suatu penyakit yang bertujuan menemukan kasuskasus dengan mengikuti rantai infeksi penyakit tersebut (Eames, 2006). Untuk kasus infeksi menular seksual yang dikatakan kontak yang relevan adalah dengan siapa pasien melakukan hubungan seksual selama masa infeksius dan bayi yang berasal dari ibu yang terinfeksi. Untuk infeksi yang menular melalui darah, seperti Human Immunodeficiency Virus (HIV), hepatitis B dan C, penggunaan jarum suntik bersama, penerima transfusi darah, dan yang tidak sengaja terpapar dengan darah yang terinfeksi juga seharusnya dipantau (Australian Contact Tracing, 2010). Penelusuran kontak merupakan salah satu cara untuk memutuskan rantai penularan TB. 2.2.2. Tujuan dan Manfaat Tujuan dan Manfaat dilakukan penelusuran kontak adalah (Christensen, 2013): a) Mengidentifikasi orang lainnya yang mungkin terinfeksi yang sudah mengalami kontak dengan seorang yang penderita TB b) Memberikan pengarahan bagi orang yang menderita TB laten dan menawarkan mereka penggobatan TB laten c) Mengidentifikasi lebih banyak kasus TB yang terdapat di antara orang- orang yang berkontak dengan penderita TB. 2.2.3. Waktu dan Luasnya Investigasi dari Penelusuran Kontak Perkiraan risiko penularan hendaknya dapat menjadi panduan dalam menentukan prioritas dan kecepatan dari penyelidikkan penelusuran kontak. Individu memiliki hak untuk diberitahu tentang risiko besar bagi kesehatan mereka dan merekomendasikan tindakan untuk mengelola risiko tersebut. Namun, menasihati orang yang berpotensi terpapar TB dapat menyebabkan terjadinya kecemasan individual, organisasional dan komunitas. Oleh karena itu, perlu Universitas Sumatera Utara 24 dilakukan penilaian risiko yang komprehensif dengan waktu yang tepat pada sumber kasus dan pengembangan strategi skrining kontak. Di mana setelah seseorang ditentukan memerlukan skrining, petugas pelayanan TB harus memberi tahu orang yang berpotensi terpapar, risikonya, dan merekomendasikan skrining tanpa penundaan 2.2.4. Metode Penelusuran Kontak Langkah- langkah yang perlu dilakukan bagi petugas yang akan melakukan penelusuran kontak adalah (Christensen, 2013) : 1. Mengkategorikan kasus sesuai dengan derajat infeksiusnya 2. Mengumpulkan data orang- orang yang mengalami kontak dan membaginya sesuai dengan risiko paparannya terhadap TB, yaitu tingkat paparan tinggi, sedang, dan rendah 3. Menilai orang- orang yang mengalami kontak dan dicurigai serta menetapkan apakah terdapat infeksi TB pada paru dan laring 4. Jika ada bukti terjadinya penularan pada orang yang berkontak dengan risiko tinggi, lakukanlah penilaian dan skrining terhadap orang- orang yang mengalami kontak dengan risiko sedang. Dalam kebanyakan kasus skrining kontak yang berkaitan dengan kasus BTA positif akan dimulai sebelum diagnosis TB dikonfirmasi. Penyelidikan kontak TB dapat ditunda sambil menunggu hasil kultur, jika Nucleic Acid Amplification (NAA) yaitu hasil test asam nukleat untuk TB adalah negatif dan kemungkinan klinis TB pada kasus indeks dinilai sebagai TB rendah. 2.2.5. Kategori Kasus Berdasarkan Infeksinya Tingkat penularan kasus, yang ditentukan dari klinis, radiologis, temuan tes asam nukleat, dan bakteriologis dapat dikategorikan sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 25 a. Penularan Tinggi BTA positif, atau keterlibatan laring, foto sinar X dada menunjukkan kavitasi, bukti penularan ke kontak lain b. Penularan Sedang BTA negatif, tapi pembiakan sputum positif atau tes asam nukleat positif, penyakit pleura (tanpa keterlibatan paru) atau pewarnaan bilasan bronkial positif c. Penularan Rendah BTA negatif dan kultur negatif 2.2.6. Menentukan Periode Menular Menentukan periode menular penting untuk menentukan kelompok prioritas untuk dilakukan penelusuran kontak. Secara umum, periode menular dianggap 3 bulan sebelum diagnosis TB ditegakkan, kecuali tanggal munculnya gejala diketahui dengan pasti dan jelas. Dalam beberapa keadaan, waktu untuk memulai penelusuran kontak harus dilakukan lebih awal (seperti pada kasus di mana penyakitnya simptomatik dan berlarut-larut atau kasus di mana terbentuk kavitas besar yang menunjukkan penyakit yang sudah berlarut-larut dan infeksius) Pasien dapat dipertimbangkan tidak lagi infeksius untuk dilakukan penelusuran kontak jika: a. pengobatan yang efektif telah diberikan dua minggu atau lebih (yang dikonfirmasi dengan tes kerentanan terhadap obat anti tuberkulosis) b. gejala telah berkurang c. ada bukti dari respon mycobacteriologic (yaitu penurunan jumlah BTA positif yang terdeteksi pada pewarnaan sputum). Keberadaan organisme yang resisten terhadap obat-obatan dapat memperpanjang masa infeksiusnya. Setiap pasien dengan tanda infeksius yang memanjang (terlepas dari hasil kepekaan biakan), harus dinilai ulang untuk mencari kontak yang belum teridentifikasi. Kriteria yang Universitas Sumatera Utara 26 lebih ketat untuk menentukan akhir periode menular harus diterapkan untuk pasien yang tinggal bersama di suatu tempat yang ramai (seperti di panti, tempat penampungan tunawisma, dan lembaga permasyarakatan). Orang-orang ini harus memiliki hasil BTA negatif tiga kali berturut-turut pada sputum yang diambil dalam rentang waktu 8-24 jam. Setidaknya satu dari spesimen ini harus diambil pada pagi hari. 2.2.7. Menetapkan Prioritas dalam Skrining Kontak harus dikategorikan ke dalam kelompok risiko berikut: 1. Kelompok risiko tinggi : a. Kontak sering, lama dan dekat dalam lingkungan tertutup selama masa penularan Yang termasuk kelompok ini adalah: 1) Semua orang yang tinggal di rumah atau tempat tinggal yang sama 2) Kerabat dekat dan teman-teman, dan 3) Rekan kerja dekat yang berbagi wilayah kerja kecil dalam ruangan yang sama pada setiap hari. 2. Kelompok risiko menengah a. Kontak yang sering tetapi kurang intens dengan kasus indeks b. Kelompok ini mungkin termasuk: kerabat dekat lainnya, temanteman, kelas teman sekolah, rekan kerja dan tetangga yang tidak termasuk dalam kelompok risiko tinggi. Mendapatkan rincian kontak risiko menengah tidak diperlukan pada awalnya, dan hanya perlu dikejar jika ada bukti penularan pada kelompok berisiko tinggi Universitas Sumatera Utara 27 3. Kelompok risiko rendah Kelompok ini mencakup kontak lain di sekolah atau di tempat kerja atau sosial lingkungan tidak termasuk dalam kelompok risiko tinggi atau menengah. Mendapatkan rincian kontak risiko rendah tidak diperlukan pada awalnya, hanya perlu menjadi dilakukan jika ada bukti penularan pada risiko tinggi dan risiko menengah kelompok. Pengelompokan ini sulit dilakukan karena sering terjadi tumpang-tindih dalam prosesnya. Kegiatan skrining perlu dievaluasi dan dikembangkan secara individual. Setelah penelusuran kontak telah dilakukan pada setiap kelompok risiko, evaluasi hasil harus dilakukan untuk menentukan apakah transmisi sudah terjadi. 2.2.8. Faktor-faktor Yang Perlu Dipertimbangkan Ketika Melakukan Penilaian Kontak TB dan Skrining Risiko berkembangnya infeksi TB laten menjadi TB aktif meningkat pada: a. Anak berusia kurang dari lima tahun, b. Orang yang terinfeksi HIV, c. Orang yang mengkonsumsi sama dengan atau lebih besar dari 15mg prednison atau yang setara untuk lebih dari empat minggu, d. Orang yang mendapat terapi imunosupresif lainnya seperti kemoterapi kanker dengan agen multipel, obat anti penolakan untuk transplantasi organ dan antagonis Tumor Necrosis Factor (anti-TNF α), e. Orang dengan kondisi medis tertentu lainnya seperti kanker, silikosis, diabetes mellitus, dan gagal ginjal, f. Orang yang telah menjalani gastrektomi atau operasi jejunoileal. Di mana kontak diketahui memiliki faktor risiko untuk perkembangan dari laten menjadi TB aktif (seperti yang dijelaskan di atas), mereka Universitas Sumatera Utara 28 harus ditawarkan skrining terlepas dari tingkat paparan kasus menular, Volume udara, laju pembuangan dan sirkulasi dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan penularan pada ruang tertutup. Dilusi partikel TB infeksius dipengaruhi oleh volume udara, sirkulasi lokal dan ventilasi kamar. Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada intensitas, frekuensi dan durasi terpapar. 2.2.9. Waktu dan Luasnya Skrining Kontak a. Skrining orang yang terkena risiko tinggi terlebih dahulu Kontak risiko tinggi pada kasus yang sangat menular harus diskrining dalam waktu tujuh hari setelah diagnosis. Kontak risiko tinggi pada kasus penularan menengah dan rendah harus diskrining dalam waktu dua minggu setelah diagnosis. Skrining kontak pada kontak berisiko tinggi kasus TB ekstra paru dapat dilakukan untuk mengidentifikasi sumber kasus. Pada kasus di mana infeksi TB dapat diperoleh di masa lalu, skrining kontak mungkin tidak diperlukan. b. Skrining pada kontak yang memiliki risiko menengah dan rendah Skrining dilakukan pada kontak kelompok risiko menengah hanya jika ada bukti penularan, yaitu, jika diduga adanya konversi tes kulit tuberkulin, pada kelompok berisiko tinggi. Skrining dilakukan pada kelompok risiko rendah hanya jika ada bukti penularan pada kelompok risiko sedang. Sebagai panduan, jika sepuluh atau lebih kontak berisiko tinggi telah diuji menggunakan tes kulit tuberkulin dan tidak terbukti mengalami infeksi TB, lebih lanjut biasanya tidak perlu. Jika kurang dari sepuluh kontak yang diuji, dan hasilnya negatif, pertimbangan yang cermat harus sebelum menghentikan penyelidikan kontak. Universitas Sumatera Utara 29 2.2.10. Prosedur Skrining Prosedur skrining diuraikan di bawah ini. Pengelolaan kontak tergantung pada temuan pada kunjungan pertama dan berikutnya. a. Penilaian pertama: Pada kunjungan pertama kontak, riwayat klinis singkat harus diambil untuk: 1. Mengklarifikasi risiko paparan dan menentukan masa risiko paparan dengan penderita TB infeksius untuk menentukan waktu yang tepat menjalani skrining tes kulit tuberkulin 2. Catat riwayat pemberian vaksin Bacillus Calmette Guerin (BCG), riwayat infeksi TB laten sebelumnya, dan berat badan 3. Periksa tanda dan gejala tuberkulosis Periksa juga kondisi medis yang dapat meningkatkan risiko progresi TB laten menjadi TB aktif 4. Periksa keadaan-keadaan yang dapat mengganggu hasil tes kulit tuberkulin Pada kontak yang memiliki riwayat TB atau riwayat infeksi TB laten, tes kulit tuberkulin tidak berguna jika dilakukan untuk mengetahui infeksi yang baru terjadi dan pemeriksaan menggunakan sinar harus dilakukan untuk menemukan adanya bukti infeksi yang aktif. Semua kontak yang memiliki riwayat infeksi TB laten baik yang sudah terdokumentasi maupun yang belum terdokumentasi harus menjalani pemeriksaan uji tuberkulin yang dibaca setelah 48 sampai 72 jam kemudian. Jika hasilnya positif, maka lakukan pemeriksaan foto sinar X dan diperiksa ulang oleh dokter. Jika hasilnya negatif, maka diperiksa ulang 8 sampai 10 minggu setelah paparan terakhir terhadap kasus TB infeksius. b. Tes kulit tuberkulin kedua Tes kulit tuberkulin kedua harus dilakukan delapan sampai sepuluh minggu setelah paparan terakhir ke kasus menular TB. Hal ini tidak Universitas Sumatera Utara 30 diperlukan untuk kontak kasus ekstraparu atau jika tes kulit tuberkulin pertama dilakukan sepuluh minggu atau lebih setelah kontak terakhir dengan kasus infeksi. Reaksi tes dibaca 48 sampai 72 jam kemudian. Jika positif, maka lakukan pemeriksaan sinar X dan dokter hendaknya melakukan pemeriksaan ulang. Jika hasilnya negatif, tidak perlu penelusuran yang lebih lanjut. Orang yang mengalami gangguan imun, atau sedang dalam pengobatan yang menekan sistem imunitas, harus menjalani pemeriksaan sinar X dan dinilai kembali oleh dokter. 2.2.11. Follow Up Kelompok Kontak Tertentu a. Orang yang tes kulit tuberkulin positif Manajemen yang direkomendasikan pada orang yang teridentifikasi sebagai penderita dengan tes kulit tuberkulin positif, baik pengobatan infeksi laten TB atau pun pemeriksaan menggunakan sinar X dilakukan sesuai dengan kebijakan terapi preventif. Pada keadaan di mana tidak terdapat resistensi obat multipel, penatalaksanaan infeksi TB laten umumnya direkomendasikan jika orang tersebut diduga baru terinfeksi dan faktor risiko mengalami reaksi obat rendah. Jika pengobat infeksi TB laten tidak diberikan, maka orang tersebut harus menjalani konseling untuk diberikan pemahaman mengenai risiko TB dan dianjurkan untuk mencari pertolongan medis jika muncul gejala dan tanda pada masa yang akan datang. Bagi mereka yang tidak mendapatkan pengobatan di mana tidak terdapat resistensi obat multipel, maka pemeriksaan menggunakan sinar X dibutuhkan saat itu dan setiap 6 bulan sampai 2 tahun. b. Anak-anak Seluruh kontak anak-anak yang berusia kurang dari 5 tahun harus dinilai secara medis dan menjalani tes kulit tuberkulin pada awalnya. Anak dengan risiko tinggi dan berumur di bawah 5 tahun dengan hasil Universitas Sumatera Utara 31 uji tuberkulin negatif harus dirujuk kepada dokter untuk mendapatkan pengobatan TB laten. Anak yang berusia 5 tahun ke atas dengan hasil uji tuberkulin negatif biasanya tidak membutuhkan pemeriksaan sinar X. Anak dengan hasil uji tuberkulin positif harus segera dirujuk ke dokter. c. Wanita Hamil Wanita hamil yang merupakan kontak TB aktif harus menjalani pemeriksaan tes kulit tuberkulin. Jika hasilnya positif, maka harus dirujuk untuk mendapatkan penatalaksanaan. Jika tidak terdapat tanda dan gejala, pemeriksaan menggunakan sinar X dan pengobatan TB laten dapat ditunda sampai setelah melahirkan dengan pengawasan yang ketat dan diberikan konseling. Jika wanita tersebut mengalami tanda dan gejala infeksi TB, maka wanita tersebut harus segera dirujuk ke ahli paru. Universitas Sumatera Utara