hasil dan pembahasan

advertisement
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Manajemen Budidaya Guppy
Tempat pengambilan sampel ikan hias Guppy (Poecilia reticulata) yang
sakit pada studi kasus ini terletak di daerah Babakan Tengah, kelurahan Babakan
Kampus IPB, Dramaga Bogor. Toko Ikanku merupakan tempat jual beli ikan hias.
Toko Ikanku mengambil ikan dari para petani di daerah Bogor. Asal Guppy
berasal dari daerah Parung dan Cibinong, Bogor. Petani ikan Guppy di Parung
membudidayakan ikannya di kolam-kolam terbuka sedangkan petani ikan di
Cibinong membudidayakan ikannya di dalam akuarium. Petani melakukan
pemijahan ikan tersebut dilakukan di kolam dan ketika akan bertelur maka
penetasan dilakukan di dalam akuarium hingga telur tersebut menjadi larva. Larva
yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam kolam maupun akuarium. Ikan
diberi pakan hidup berupa cacing sutera yang diperoleh dari lingkungan kotor,
sungai, lumpur, dan hasil limbah. Petani ikan Guppy memakai air kolam terbuka
yang memiliki resiko penyakit lebih tinggi.
Transportasi dari petani menuju Toko Ikanku menggunakan wadah plastik
dan dibawa dengan menggunakan motor. Ikan pertama kali datang langsung
dimasukkan akuarium karantina. Ikan dikarantina selama 3-5 hari disesuaikan
suhu airnya 25-28 oC. Sebelum dimasukkan akuarium display dilakukan berbagai
persiapan. Akuarium display dicuci bersih dengan methylene blue kemudian
dikeringkan selama sehari. Sumber air berasal dari air sumur. Air yang digunakan
untuk pemeliharaan di Toko Ikanku berasal dari air sumur yang mengandung
tingkat oksigen yang rendah. Air sumur di tampung selama 1-2 hari di dalam
reservoir dan diberi aerasi. Penampungan air bertujuan untuk menghilangkan gas
karbondioksida dan gas beracun serta menurunkan pH.
Ikan Guppy ditempatkan dalam akuarium berukuran panjang x lebar x
tinggi 40 x 25 x 25 sentimeter dengan kepadatan dalam akuarium 100 ekor ikan.
Air yang digunakan adalah air yang cukup mengandung oksigen dan jernih. Ikan
Guppy dipelihara dengan suhu optimal untuk pemeliharaan sekitar 25-28 ° C. Ikan
diberi pakan hidup berupa cacing sutra. Ikan juga diberi pakan kering buatan.
Pemilihan pakan ikan kering berdampak pada meningkatnya tingkat kekeruhan air.
Pengamatan gejala klinis
Pengamatan gejala klinis sampel ikan pada studi kasus ini menunjukkan
ikan mengalami lesi hemoragi dan ptekhie di kulit. Ikan tersebut terlihat lesu,
gerak renangnya lambat dan keseimbangannya terganggu sehingga berenang
secara vertikal dengan kepala di bawah (Gambar 2).
8
Gambar 2 Ikan Guppy sampel ini menunjukkan gejala klinis dengan berenang
secara vertikal.
Pemeriksaan patologi anatomi
Sampel ikan Guppy yang diangkat pada studi kasus ini berjumlah satu
ekor. Sampel ikan Guppy yang diperiksa memiliki ukuran panjang 3,8 cm.
Pemeriksaan patologi anatomi pada sampel ikan menunjukkan adanya lesi berupa
hemoragi dan ptekhie di beberapa tempat diantaranya kulit daerah abdomen,
lateral dan sekitar dorsal (Gambar 3). Sisik di sekitar area lesi tampak terlepas.
Pada fokus lesi terdapat erosi dermal. Penampakan insang tampak pucat namun
tidak terlihat lesi spesifik (Gambar 4).
9
a
b
c
Gambar 3 (a) Ikan Guppy (Poecilia reticulata) mengalami lesi hemoragi dan
ptekhie pada bagian dorsal dan lateral (panah). (b) Ikan Guppy
(Poecilia reticulata) mengalami lesi hemoragi dan ptekhie pada bagian
lateral dextra (panah). (c) Ikan Guppy (Poecilia reticulata) mengalami
lesi hemoragi dan ptekhie pada bagian lateral sinistra (panah).
10
Gambar 4 Insang ikan Guppy (Poecilia reticulata) terlihat pucat namun tidak
menunjukkan lesi yang spesifik.
a
a
b
c
c
b
Gambar 5 Organ internal rongga abdomen ikan Guppy (Poecilia reticulata).
a. hati, b. usus, c. gonad.
Pemeriksaan patologi anatomi pada organ internal tidak menemukan
kelainan yang signifikan. Insang, hati, usus dan folikel ovum berwarna pucat dan
tidak ditemukan adanya lesi (Gambar 5). Pemeriksaan jantung, ginjal dan
gelembung renang tidak dilakukan karena ukuran ikan sangat kecil (3,8 cm)
sehingga sulit diidentifikasi. Pengamatan mikroskopis sangat diperlukan untuk
pengamatan organ lebih lanjut.
Pemeriksaan histopatologi
Hasil pengamatan histopatologi pada sampel ikan Guppy menunjukkan
jaringan kulit mengalami infiltrasi sel radang disertai protozoa yang menginvasi
11
permukaan kulit hingga menembus ke lapisan otot. Pada kulit di sekitar lesi erosi
juga ditemukan fokus-fokus hemoragi yang ditandai adanya sel-sel darah merah.
Protozoa dalam jumlah besar menginfeksi kulit pada bagian epidermis dan dermis.
Epidermis terlepas, mengalami degenerasi, serta terjadi epidermal dermatitis yang
ditandai dengan infiltrasi sel radang mononuklear pada lapisan epidermis dan
dermis.
E
D
Gambar 6 Protozoa ditemukan dari lapisan epidermis hingga ke bagian profundal
dari epidermis. Epidermis mengalami peradangan akibat infestasi
protozoa (panah kuning), mengundang infiltrasi sel radang mononuklear
limfositik (panah hitam) dan fokus-fokus hemoragi (panah merah).
Infeksi protozoa dari permukaan menembus ke dalam dermis.
Peradangan menyebabkan kerusakan jaringan otot yang parah terlihat
sebagai nekrosa otot (panah hijau) dan degenerasi otot (panah oranye),
Pewarnaan HE.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, perubahan histopatologi yang
ditemukan pada organ otot antara lain degenerasi dan nekrosa, (Gambar 6 dan 7).
Infiltrasi protozoa terlihat di antara lapisan otot yang lebih dalam (Gambar 7),
menyebabkan kerusakan jaringan yang parah, nekrosis dan merubah morfologi
jaringan kulit. Di beberapa bagian, deformasi struktur kulit terlihat lebih jelas.
Ruang-ruang besar terbentuk diantara serabut otot. Massa homogen merah muda
karena kerusakan otot terlihat jelas.
12
Gambar 7 Infiltrasi protozoa (panah merah) terlihat di antara lapisan otot yang
lebih dalam. Kerusakan jaringan otot terlihat nekrosa otot (panah
hijau), pewarnaan HE.
Protozoa yang menginfeksi ikan sampel terlihat melalui pewarnaan
Hematoksilin-Eosin (Gambar 8) dan Periodic Acid Schiff (PAS) (Gambar 9).
Pemeriksaan morfologi protozoa menunjukkan bentuk tubuh bulat, oval, seperti
pear, dengan ujung anterior menyempit. Pengukuran tubuhnya didapatkan panjang
rata-rata 50,5 µm (35-73.7 µm) dan lebar 32,4 µm (31-43 µm). Makronukleus
berbentuk bulat dan terkadang oval dengan ukuran rata-rata 18,59 x 12,85 µm
(Gambar 8) sedangkan pengukuran mikronukleus tidak dilakukan karena
seringkali tidak terlihat. Pada lapisan epidermis terlihat reaksi pigmentasi berlebih
akibat infeksi protozoa (Gambar 10).
13
Gambar 8
Protozoa berespon basofilik terhadap pewarnaan HE (panah kuning)
Protozoa mendigesti eritrosit ikan, di dalam dan di sekitar protozoa
terdapat butiran eritrosit (panah merah). Makronukleus protozoa terlihat
oval (panah biru), pewarnaan HE, Bar = 50 µm.
Gambar 9
Protozoa (panah hitam) terwarnai oleh pewarnaan PAS sehingga
bewarna merah magenta, pewarnaan PAS.
14
Gambar 10 Reaksi pigmentasi (panah hitam) di dalam sel mukus, pewarnaan
PAS.
Hasil pengamatan histopatologi pada sampel ikan Guppy menunjukkan
jaringan insang yang rusak parah. Parasit protozoa ditemukan menginfeksi insang
(Gambar 11). Terlihat pada pembesaran fokus objektif 20x parasit menginfiltrasi
kapiler lamela primer insang. Perubahan histopatologi lain yang ditemukan pada
insang adalah udema lamela (Gambar 12). Udema lamela menyebabkan epitel
lamela sekunder hampir terlepas dari kapiler bahkan sempurna terlepas dari
lamela primer.
Gambar 11 Infiltrasi protozoa (panah hitam) pada lamela primer, pewarnaan PAS.
15
Gambar 12 Udema lamela (panah biru), pewarnaan PAS.
Gambar 13
Gambaran mikroskopis hati ikan Guppy, terdapat kongesti dan
degenerasi lemak hepatosit. Pewarnaan HE.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, perubahan histopatologi yang
ditemui pada organ hati antara lain degenerasi lemak parah dan kongesti (Gambar
13). Gelembung renang ikan Guppy tidak menunjukkan lesi yang spesifik.
Terlihat akumulasi melanophore di serosa (Gambar 14).
16
Gambar 14 Gambaran serosa dari gelembung renang ikan Guppy dan akumulasi
melanophore (panah hitam), pewarnaan HE.
Perubahan pada usus ikan Guppy tidak ditemukan parasit baik protozoa,
helminth dan ektoparasit. Lapisan lamina propria dan tunika muskularis tidak
mengalami kelainan spesifik. Lumen usus dan vili rapat. Pada lapisan mukosa
terlihat udema dan kongesti (Gambar 15).
Gambar 15
Udema (panah kuning) dan kongesti pada usus ikan Guppy,
pewarnaan HE.
17
Pembahasan
Berdasarkan pengamatan histopatologi pada sampel ikan Guppy terlihat
adanya parasit protozoa di jaringan kulit, otot dan insang. Protozoa yang biasanya
menginfeksi jaringan tersebut, diantaranya adalah Ichthyobodo sp., Chilodonella
sp., Ichthyophthirius multifiliis, Uronema sp., Trichodina sp., dan Tetrahymena
spp. (Bruno et al. 2006). Untuk menspesifikasikan jenis protozoa yang
menginfeksi diperlukan pengamatan karakteristik morfologi, pengukuran bentuk
tubuh, keberadaan protozoa, dan lesi akibat invasi yang ditimbulkan yang
dicocokkan dengan literatur yang ada (Noga 2010).
Pemeriksaan morfologi protozoa yang ditemukan menunjukkan bentuk
tubuh bulat, oval, seperti pear, dengan ujung anterior menyempit. Karakteristik
morfologi Ichthyobodo sp. memiliki bentuk tubuh oval atau berbentuk ginjal
dengan dua pasang flagela untuk bergerak (Bruno et al. 2006). Menurut Anshary
(2008) Chilodonella sp. memiliki tubuh yang kecil, berbentuk oval, dorsal dan
ventral tubuhnya datar, dan terdapat silia di permukaannya. Ichthyophthirius
multifiliis merupakan protozoa berbentuk bulat/oval dan permukaan tubuhnya
diselaputi silia. Makronukleus Ichthyophthirius multifiliis berbentuk seperti tapal
kuda dan mikronukleusnya berbentuk bulat (Bruno et al. 2006). Protozoa
Uronema sp. mempunyai bentuk tubuh ovoid, memiliki silia yang jarang dan silia
caudal yang panjang, dan satu makronukleus dan mikronukleus. Protozoa ini
sering menginfeksi spesies ikan perairan air laut (Azad et al. 2007; Noga 2010).
Karakteristik morfologi Trichodina sp. menurut Basson & van As (2006) ialah
berbentuk bulat dan simetris. Pada bagian mulutnya dilengkapi alat penghisap
berbentuk seperti jangkar. Karakteristik morfologi protozoa yang ditemukan
serupa dengan protozoa Tetrahymena spp. yang memiliki bentuk tubuh pyriform,
oval, bentuk buah pear, tubuh simetris radial, memiliki silia seluruh tubuh, dan
ujung anterior menyempit (Hoffman et al. 1975; Bruno et al. 2006; Leibowitz &
Zilberg 2009). Protozoa yang menginfeksi ikan terlihat berwarna basofilik melalui
pewarnaan HE dan memberikan reaksi positif terhadap pewarnaan PAS.
Astrofsky et al. (2002) juga melaporkan dalam kajiannya bahwa Tetrahymena spp.
berespon basofilik terhadap pewarnaan HE dan bereaksi positif terhadap
pewarnaan PAS.
Protozoa-protozoa pada kasus ini berukuran panjang rata-rata sekitar 50,5
µm (35-73.7 µm) dan lebar 32,4 µm (31-43 µm). Makronukleus berbentuk bulat
dan terkadang oval dengan ukuran rata-rata 18,59 x 12,85 µm. Mikronukleus
protozoa tidak terlihat pada sediaan kasus ini. Ukuran protozoa berikut ukuran
makronukleus pada kasus ini serupa dengan referensi Astrofsky et al. (2002) yang
menyebutkan protozoa Tetrahymena spp berukuran panjang 50 - 100 µm dan
ukuran lebar 30 - 60 µm, sedangkan menurut Leibowitz dan Zilberg (2009)
protozoa Tetrahymena spp. memiliki satu makronukleus berbentuk oval
berukuran 18.25 x 16.83 µm dan satu mikronukleus berukuran 5.73 x 5.40 µm.
Makronukleus dan mikronukleus ini dapat terlihat jelas dengan mikroskop
elektron atau scanning electron microscopy (SEM). Makronukleus Tetrahymena
spp. yang oval sering terlihat pada potongan jaringan (Bruno et al. 2006).
Pengamatan mikronukleus Tetrahymena spp. pada potongan jaringan sering kali
sulit teridentifikasi. Menurut Leibowitz dan Zilberg (2009) tidak semua
18
Tetrahymena spp menunjukkan pembentukan mikronukleus yang penting untuk
keperluan konjugasi dan rekombinasi seksual.
Gambar 16 Histopatologi Tetrahymena corlissi. Di dalam vakuola Tetrahymena
corlissi terlihat nukleus eritrosit ikan yang dicerna. (Sumber:
Hoffman et al. 1975)
Ikan Guppy mengalami kerusakan jaringan kulit yang parah akibat
protozoa yang menginvasi permukaan kulit hingga menembus ke lapisan lebih
dalam. Lesi berupa erosi epidermis serta degenerasi hingga nekrosa terjadi pada
otot. Temuan patologi anatomi kulit ikan mengalami hemoragi di beberapa tempat
diantaranya kulit daerah abdomen, lateral dan sekitar dorsal. Hasil pengamatan
histopatologi pada sampel ikan Guppy menunjukkan fokus-fokus hemoragi yang
ditandai adanya sel-sel eritrosit. Pada kasus ini, protozoa terlihat memakan sel
eritosit yang dapat diidentifikasi dari sitoplasma protozoa yang berisi sel darah
merah. Hoffman et al. (1975) dan Bruno et al. (2006) melaporkan hal yang sama
yaitu bahwa protozoa Tetrahymena spp. terlihat mendigesti eritosit pada potongan
jaringan.
Protozoa dalam jumlah besar menginfeksi kulit ikan pada bagian epidermis
dan dermis. Epidermis mengalami nekrosa dan terlepas dari membran basal, serta
terjadi epidermal dermatitis yang ditandai dengan infiltrasi sel radang
mononuklear pada lapisan epidermis dan dermis. Menurut Leibowitz dan Zilberg
(2009) Tetrahymena spp. yang berada di epidermis, bergerak sangat perlahan dan
menghancurkan jaringan dengan bantuan silianya dan terus berpenetrasi hingga ke
dalam otot. Tetrahymena spp. mempunyai enzim cysteine protease yang dapat
mendegradasi polipeptida (Leibowitz et al. 2010). Penetrasi protozoa pada sampel
ikan terlihat di antara lapisan otot yang lebih dalam (gambar 13). Penetrasi
menyebabkan kerusakan jaringan seperti degenerasi dan nekrosa. Kondisi serupa
pernah dilaporkan oleh Imai et al. (2000) pada sampel ikan Guppy yang berasal
dari Singapura. Ikan Guppy pada kasus tersebut mengalami ulkus dan sisik yang
lepas. Pengamatan histopatologi menemukan Tetrahymena spp. di kantong sisik
dan di antara serabut otot. Leibowitz dan Zilberg (2009) juga melaporkan temuan
lesi nekrosa pada epitel kulit ikan hingga ke otot. Ciliata dalam jumlah yang
19
banyak ditemukan dihubungkan dengan lesi tersebut. Pada jaringan otot yang
terletak jauh dari lesi kulit, Tetrahymena spp. ditemukan di antara serabut otot.
Penampakan insang secara makroskopis tampak pucat dengan lesi yang
tidak spesifik. Pengamatan histopatologi insang pada sampel ikan Guppy kasus ini
menunjukkan jaringan insang yang rusak. Parasit protozoa ditemukan
menginfiltrasi kapiler lamela primer insang. Lesi insang dari infestasi
Tetrahymena spp. yang ditemukan di dalam pembuluh darah lamela primer insang
dilaporkan juga oleh Bruno et al. (2006), Leibowitz & Zilberg (2009) dan Monks
(2012). Udema lamela menyebabkan epitel lamela sekunder hampir terlepas dari
lamela primer. Protozoa yang terakumulasi di kapiler insang dapat menyebabkan
efek obstruksi (trombus). Protozoa menghalangi pengambilan dan penyaluran
oksigen sehingga menyebabkan ikan hipoksia (kekurangan oksigen). Udema
lamela disebabkan meningkatnya tekanan hidrostatik intravaskular yang
menimbulkan perembesan cairan plasma darah keluar ke ruang interstitium.
Kondisi peningkatan tekanan hidrostatik terjadi pada pembuluh darah yang
kongesti karena terdapat trombus yang menyumbat aliran darah.
Kemiripan morfologi serta lesi yang ditimbulkan dengan literatur,
mengarahkan bahwa protozoa kasus ini adalah Tetrahymena spp. Tetrahymena
spp. diklasifikasikan dalam subkelas Hymenostomatia. Protozoa bersilia,
Tetrahymena spp., adalah agen penyebab utama penyakit yang menyerang Guppy
dan umumnya dikenal sebagai 'Guppy-killer parasite ' (Hoffman et al. 1975; Imai
et al. 2000; Leibowitz et al. 2005).
Pengamatan gejala klinis sampel ikan terlihat lesu, gerak renangnya
lambat dan keseimbangannya terganggu sehingga berenang secara vertikal.
Terganggunya keseimbangan berenang ikan ini diduga karena terjadi kerusakan
pada gelembung renang (gas bladder) (Wildgoose 2007). Pengamatan
histopatologi gelembung renang pada sampel ikan Guppy tidak menunjukkan lesi
yang signifikan. Akumulasi melanophore ditemukan pada serosa gelembung
renang. Melanophore yang ditemukan menunjukkan ikan dalam kondisi stres.
Kondisi stres akut menyebabkan kenaikan sekresi kortisol oleh hormon
adrenokortikotropin (ACTH). Melanophore-stimulating hormone (MSH) dan
beta-endorphin (beta-endorphin) juga menstimulasi lepasnya kortisol. Kenaikan
kortisol menyebabkan Alpha-MSH menstimulasi persebaran granula melanin pada
ikan. Pigmentasi terjadi karena adaptasi ikan terhadap lingkungan (Bonga 2011).
Temuan lesi lain yang didapatkan selain pada kulit, otot dan insang adalah
pada hati dan usus. Perubahan histopatologi yang ditemukan pada organ hati
adalah degenerasi lemak dan kongesti. Imai et al. (2000) melaporkan invasi
parasit Tetrahymena spp. pada ikan Guppy ditemukan di rongga abdomen, organ
internal, seperti usus, hati, mata, rongga kepala, dan medulla spinalis. Pada kasus
ini tidak ditemukan lesi signifikan pada usus ikan Guppy, tidak juga ditemukan
parasit baik protozoa ataupun helminth. Udema dan kongesti pada usus
menunjukkan adanya peradangan akut dan ringan.
Perubahan lingkungan akuarium yang memburuk menyebabkan ikan
menjadi stres. Ikan yang stress akan mengalami penurunan sistem imun sehingga
mudah terserang penyakit seperti Tetrahymena spp.. Ikan yang stres juga dapat
mengalami penurunan nafsu makan dan ikan menjadi lesu. Asupan makanan yang
kurang karena nafsu makan menurun menyebabkan terjadi katabolisme cadangan
makanan dalam tubuh seperti glikogen, protein dan lemak. Cadangan glikogen di
20
hati dan otot dipecah untuk mempertahankan kadar glukosa darah melalui proses
glikogenolisis. Pemecahan cadangan lemak dan protein juga terjadi untuk
mendapat sumber energi baru (glukoneogenesis). Penggunaan cadangan glikogen
dan lipolisis dari jaringan adiposa akan meningkatkan kadar asam lemak bebas di
dalam darah. Banyaknya asupan lemak bebas akan terakumulasi di dalam sel hati
sehingga merusak jalur metabolisme lemak. Degenerasi lemak secara mikroskopis
akan memperlihatkan sel hati membesar berisi vakuola lemak pada sitoplasma
(Cheville 1999).
Udema dan kongesti yang ditemukan di usus merupakan tahapan reaksi
peradangan akut. Kongesti dapat disebabkan oleh gangguan sistemik yang dapat
mengganggu pengosongan darah vena. Terkadang kerja jantung untuk memompa
darah gagal, keadaan ini dapat mengakibatkan gangguan aliran darah. Kelainan
pada jantung tidak dapat teramati karena organ jantung tidak terpotong. Udema
adalah bagian dari reaksi peradangan akut. Kenaikan lokal permeabilitas dinding
pembuluh darah terhadap protein memungkinkan molekul-molekul besar ini lolos
dari pembuluh (Abrams 1994).
Perubahan pada saluran pencernaan dapat terjadi karena modifikasi diet
pangan dan kondisi sistem pertahanan tubuh inang. Kondisi stress menyebabkan
menurunnya sistem pertahanan. Penurunan sistem pertahanan menyebabkan
keseimbangan bakteri flora di dalam saluran pencernaan terganggu. Jika jumlah
bakteri patogen lebih banyak dibandingkan jumlah bakteri apatogen, maka bakteri
patogen akan menginvasi usus dan menyebabkan penyakit. Mikrobiota usus yang
apatogen penting untuk pemeliharaan kesehatan inang, menyediakan energi dan
nutrisi seperti vitamin K dan B12 serta perlindungan terhadap invasi organisme
patogen (Woodmansey 2007).
Infeksi parasit protozoa Tetrahymena spp. ini diduga berasal dari air yang
digunakan untuk pemeliharaan ikan. Air berasal dari lingkungan yang kotor
dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Pembersihan kotoran di dasar
akuarium yang kurang bersih dan masih menyisakan bahan organik seperti feses
ikan dan sisa pakan, juga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan akuarium.
Kondisi akuarium dengan kotoran yang larut dalam air, amonia tinggi dapat
menghambat pertumbuhan ikan. Lingkungan yang kotor juga dapat menjadi
sumber penularan penyakit. Menurut Leibowitz et al. (2005) kualitas air yang
buruk, termasuk amonia dan bahan organik, dan suhu air rendah meningkatkan
kerentanan ikan terhadap infeksi. Kandungan bahan organik dan nutrisi tinggi
dapat digunakan oleh parasit, sehingga meningkatkan populasinya di dalam air.
Kondisi stres pada ikan juga mengakibatkan meningkatnya kerentanan terhadap
agen infeksius.
Bharati et al. (2001) menyebutkan dalam tulisannya, protozoa bersilia,
seperti Tetrahymena spp. dapat menjadi indikator stress pada lingkungan perairan.
Protozoa ini dapat bertahan pada tingkat oksigen terlarut yang rendah dan
kandungan bahan organik yang tinggi. Menurut Monks (2012), Tetrahymena spp.
memiliki siklus hidup yang mirip dengan protozoa bersilia lainnya. Berkembang
biak secara vegetatif melalui pembelahan sel dan secara seksual melalui konjugasi
dan pertukaran materi genetik antara sel-sel. Tetrahymena spp. tidak
membutuhkan inang untuk melengkapi siklus hidup mereka. Sebagai akibatnya,
parasit ini dapat hidup selama bertahun-tahun di akuarium tanpa menyebabkan
21
penyakit, dan tiba-tiba akan menyebabkan masalah jika kondisi dalam akuarium
memburuk atau ikan yang dipelihara menjadi stres atau memiliki luka.
Petani ikan hias Guppy yang menggunakan air kolam terbuka untuk usaha
budidayanya cenderung tidak memperhatikan kandungan gas dan bahan organik
dalam kolam tersebut. Ikan Guppy dewasa yang siap dijual akan didistribusikan
ke suplier atau ke pengumpul. Transportasi yang tidak sesuai dengan aturan dapat
menyebabkan ikan bergesekan dengan ikan lain sehingga menyebabkan lapisan
lendir rusak. Menurut Leibowitz et al. (2005) ikan lebih rentan terinfeksi protozoa
saat pengiriman ikan. Faktor predisposisi tetrahymenosis ikan adalah akibat
kepadatan populasi ikan yang tinggi, tingginya akumulasi bahan organik, dan
penurunan pH yang disebabkan oleh akumulasi CO2. Kondisi pada saat
pengemasan dan transportasi ikan dapat menyebabkan stress berat, yang
kemungkinan akan meningkatkan kerentanan ikan terhadap patogen (Barton &
Iwama 1991).
Tetrahymena spp. merupakan protozoa bersilia yang hidup bebas di air
tawar. Infeksi Tetrahymena spp. di alam dapat ditransmisikan secara horizontal
dengan perantara air. Protozoa Tetrahymena spp. dapat melekat pada permukaan
kulit dan insang ikan yang mengalami erosi. Protozoa ini memakan bahan organik
seperti bakteri dan potongan sel yang hancur serta bersifat saprozoik bersilia
(Kozloff 1990). Ikan yang stress akan mengalami penurunan nafsu makan
sehingga menyebabkan penurunan imunitas tubuh. Imunitas ikan yang rendah
menyebabkan kegagalan pertahanan tubuh ikan Rute infeksi Tetrahymena spp.
dimulai dari penetrasi parasit ke kulit kemudian masuk ke dalam otot, dari sana
mencapai organ internal dan sirkulasi darah. Selain masuk melalui luka yang
terbuka protozoa ini dapat juga menginfeksi dengan berpenetrasi pada kulit yang
tidak terluka tetapi saat kondisi ikan stress (Imai et al. 2000).
Pengendalian dan pencegahan infeksi parasit protozoa menurut Basson dan
van As (2006) antara lain, menjaga kualitas air dengan membersihkan sisa pakan
yang berlebih, menjaga kestabilan kandungan bahan organik dan kimia, dan
temperatur, serta menjaga air agar terbebas dari patogen dan polutan. Kolam dan
tangki/akuarium harus dikosongkan secara teratur dan dasarnya harus dibersihkan
dengan kapur. Akuarium juga dapat dibuat bebas dari parasit dengan cara
menyiramnya dengan formalin 5%. Jaring untuk menangkap ikan, ember dan
peralatan lain yang dipergunakan dalam budidaya harus bersih. Ikan yang baru
harus selalu rutin diobati dan dikarantina selama beberapa hari sebelum
dimasukkan ke dalam kolam/akuarium yang sudah didesinfeksi. Ikan harus diberi
pakan yang seimbang dan tidak berlebihan. Suplai oksigen harus mencukupi dan
temperatur harus tepat. Kepadatan ikan dalam kolam harus dijaga agar tidak
terlalu padat. Mengurangi penanganan (handling) ikan dan melakukan
pemeriksaan ikan dari parasit secara rutin.
Leibowitz et al. (2010) melaporkan bahwa gabungan aplikasi immunostimulan dan mandi garam mampu mengobati infeksi eksternal secara efektif.
Pengobatan terhadap ikan yang terinfeksi superfisial oleh Tetrahymena spp. dapat
dicoba dengan pemberian parasitisida protozoa seperti formalin dan peningkatan
salinitas. Pengobatan topikal dengan menggunakan imersi dan mandi garam
kurang efektif dalam mengobati infeksi sistemik pada ikan (Astrofsky et al. 2002).
Leibowitz et al. (2010) juga melaporkan pengobatan menggunakan niclosamide
dengan dosis 100 mg kg-1 terhadap infeksi Tetrahymena spp. sangat efektif.
22
Pemberian albendazole dan chloraquine juga efektif melawan invasi Tetrahymena
spp.. Menjaga kondisi lingkungan tetap stabil dapat membantu pengobatan Guppy
(Monks 2012). Pemberian pakan yang tinggi kadar asam lemak asam arachidonat
membantu penyembuhan Guppy dari infeksi (Noga 2010).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pengamatan patologi anatomi dan histopatologi morfologi
protozoa menggunakan pewarnaan HE dan PAS serta studi literatur maka
protozoa yang menginfeksi kulit, otot, dan insang kasus ikan Guppy ini adalah
Tetrahymena spp.
Saran
Mempelajari kemungkinan adanya parasit protozoa Tetrahymena spp. pada
pakan organik. Konfirmasi jenis spesies pada protozoa Tetrahymena spp. dengan
bantuan Polymerase chain reaction (PCR).
DAFTAR PUSTAKA
Abrams GD. 1994. Gangguan sirkulasi. Di dalam Price SA, Wilson LM, editor.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Hlm: 93-95.
Alifuddin M, Priyono A, Nurfatimah A. 2002. Inventarisasi parasit pada ikan hias
yang dilalulintaskan di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta.
Jurnal Akuakultur Indonesia 1(3): 123-127.
Anonim. 2012. Gupi. [terhubung berkala]. http://id.wikipedia.org/wiki/Gupi.[26
Agustus 2012].
Anshary H. 2008. Modul Pembelajaran Berbasis Student Center Learning (SCL)
Mata Kuliah Parasitologi Ikan. Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Hasanuddin. Hlm: 27-50.
Areechon N, Chansue N, Ponpornpisit A. 2001. Systemic granulomatosis in
guppies Poecilia reticulata. Kasetsart Journal (Natural Science) 35: 456459.
Aryanto H. 1997. Dinamika Populasi Ikan Guppy (Poecilia reticulata Peters).
[skripsi]. Semarang: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Diponegoro. Hlm: 6-9.
Astrofsky KM, Schech JM, Sheppard BJ, Obenschain CA, Chin AM, Kacergis
MC, Laver ER, Bartholomew JL, Fox JG. 2002. High mortality due to
Tetrahymena sp. infection in laboratory-maintained zebrafish
(Brachydanio rerio). Comparative Medicine 52(4): 363-367.
Azad IS, Al-Marzouk A, almatar S, Al-Gharabally H. 2007. Scuticociliatosisassociated mortalities and histopathology of natural infection in cultured
Download