Warna-warni Hukum Perkawinan Beda Agama Oleh ASNAWI

advertisement
Warna-warni Hukum Perkawinan Beda Agama
Warna-warni Hukum Perkawinan Beda Agama
Oleh ASNAWI IHSAN, S.H.I.
Harian Pikiran Rakyat 19-04-05
DALAM paragraf kedua dari tulisan tersebut, "AM" berpandangan bahwa model perkawinan
yang dibenarkan menurut Allah SWT adalah perkawinan yang didasarkan pada satu akidah.
Lebih jelas lagi dalam paragraf ketiga "AM" menegaskan bahwa berdasarkan ajaran Islam,
kehidupan yang bahagia hanya bisa didapatkan dari perkawinan yang memiliki keyakinan agama
yang sama. Sebaliknya jika suami-istri berbeda agama, akan menimbulkan banyak persoalan.
Pada bagian selanjutnya "AM" memberikan pendapat bahwa Islam dengan tegas melarang
seorang wanita Islam kawin dengan pria non-Muslim, baik musyrik maupun Ahlulkitab. Begitu
juga pria Muslim dilarang menikahi perempuan musyrik. Adapun hukum perkawinan pria
Muslim dengan wanita kitabiyah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang
membolehkan dan ada pula yang melarang. Namun secara implisit "AM" lebih cenderung
memihak pandangan yang mengharamkan.
Di bagian akhir artikel tersebut, "AM" menawarkan solusi bahwa untuk menyelesaikan pesoalan
perkawinan beda agama, aturan yang dibuat negara mengenai boleh tidaknya harus berpijak pada
hukum agama. Dan seluruh pemeluk agamanya wajib menaatinya.
Akar teologis
Akidah (teologi) dalam tradisi pemikiran Islam tidak lebih dari sebuah rumusan konsepsional
mengenai pandangan ketuhanan dan berbagai persoalan yang berkaitan dengan hal tersebut
dengan menjadikan Alquran dan sunah sebagai pijakan. Dalam sejarah Islam klasik terdapat
beberapa aliran pemikiran akidah (teologi) seperti Asy'ariyah, Mu'tazilah, Syi'ah dll. Status
kebenaran dari masing-masing aliran akidah (teologi) ini pun bersifat ijtihad. Artinya tidak dapat
diposisikan sebagai kebenaran mutlak. Pada perkembangan selanjutnya, aliran-aliran formal
tersebut pun mencair. Saat ini, para pemikir keagamaan lebih memfokuskan pada persoalanpersoalan kontemporer, seperti isu pluralisme.
Persoalan krusial berkaitan dengan pluralisme adalah, apakah Islam sebagai satu-satunya agama
yang benar? Atau agama selain Islam juga membawa kebenaran dan keselamatan? Dari sinilah
dimulai perdebatan kelompok eksklusif dengan kelompok inklusif-pluralis. Pemikir eksklusif
berkeyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diterima di sisi Allah.
Jalan keselamatan untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat hanya melalui
keimanan yang diformalkan melalui syahadat lalu diikuti dengan menjalankan aturan-aturan
keagamaan (syariat).
Adapun kelompok inklusif-pluralis berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan
keselamatan sendiri-sendiri. Setiap agama selama memiliki konsep ketuhanan (monoteisme),
mengajarkan kebaikan dan mengimani kehidupan akhirat tidak dapat dikatakan agama yang
salah dan sesat. Walaupun memiliki pandangan yang berbeda, kedua kelompok ini acapkali
merujuk pada sumber yang sama, Alquran surat Ali Imran/3:19, 64, 85, Al-Baqarah/2:62, AlMaidah/5:48 dan An-Nahl/16:36. Kondisi ini menjadi sangat menarik di mana kita dapat melihat
bahwa Islam begitu luas membuka ruang ijtihad bagi para penganutnya untuk mengoptimalkan
potensi kemanusiaannya -- dengan tetap berpegang pada sumber autentik ajaran Islam -- dalam
menghadapi berbagai persoalan kehidupan.
Pandangan teologis sebagai kerangka logis dalam memahami aspek-aspek fundamental ajaran
agama akan memberikan pengaruh kuat terhadap perilaku penganutnya. Dalam tradisi Islam,
sekumpulan formulasi pemahaman Islam yang digali dari Alquran dan sunah melalu proses
ijtihad untuk mengatur prilaku manusia -- termasuk persoalan perkawinan -- disebut fikih.
Sebagai hasil rekayasa cerdas pemikiran manusia, tidak ada jaminan bahwa di dalamnya tidak
mengandung kesalahan dan kekeliruan.
Dengan demikian fikih pun bersifat ijtihad. Artinya dapat disimpulkan bahwa semua pendapat
yang berkaitan dengan hukum perkawinan beda agama pun bersifat relatif. Mungkin benar dan
mungkin juga salah. Seorang eksklusif cenderung akan menjadikan fikih eksklusif sebagai acuan
dalam menjalankan kehidupan. Begitupun sebaliknya dengan seorang yang inklusif-pluralis. Di
sinilah kita dapat menemukan benang merah mengapa kelompok eksklusif melarang perkawinan
beda agama sementara kelompok inklusif-pluralis membolehkannya.
Walaupun terjadi perbedaan yang tajam, kedua belah pihak tidak berhak untuk mengklaim
bahwa pendapat kelompoknya lebih benar dan pendapat kelompok lain keliru. Sebab dalam
tradisi hukum Islam dibenarkan terjadinya perbedaan ketetapan hukum atau ketetapan hukum
yang beragam dalam satu kasus hukum. Atau yang dikenal dengan istilah ikhtilaf. Adapun
ikhtilaf dalam tradisi hukum Islam dapat dibagi ke dalam 2 kategori utama.
Pertama, ikhtilaf tadaddi, yaitu ikhtilaf kontradiktif. Di mana terjadi pertentangan dalam
ketetapan hukum dan secara logis tidak dapat dipertemukan, misalnya sebuah mazhab
mengatakan haram dan mazhab lainnya mengatakan halal. Kedua, ikhtilaf tanawwu', yaitu
ikhtilaf variatif. Di mana ketetapan-ketetapan hukum yang bertentangan yang variasi-variasinya
bisa diterima secara logis dan bisa dipertemukan. Misalnya variasi duduk Rasulullah saw. saat
salat. (Abu Ameenah Bilal Philips, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh, 2005:199)
Keragaman hukum
Perkawinan adalah urusan muamalah. Sesuai dengan kaidah hukum Islam, hukum asal dari
persoalan muamalah adalah mubah (boleh) hingga ditemukan dalil-dalil syar'i yang
mengharamkannya (Al-ashl fi al-asyya' al-ibahah illa ma dalla addalil 'ala tahrimihi). Jika
demikian, hukum asal perkawinan beda agama adalah boleh hingga ditemukan dalil-dalil yang
mengharamkannya. Dalil dalil yang menjadi rujukan mengenai perkawinan beda agama adalah
Alquran surat Al-Baqarah/2:221, Al-Maidah/5:5, dan Al-Mumtahanah/60:10.
Dari kajian mendalam terhadap tiga ayat ini dengan didukung kajian sunah, perilaku sahabat,
pendapat-pendapat ulama terdahulu, dan pertimbangan sosiokultural maka terlahirlah ketetapan
hukum mengenai perkawinan beda agama itu. Bagi pemikir yang sampai pada kesimpulan
bahwa ayat-ayat di atas diduga berkehendak melarang perkawinan beda agama maka akan
menetapkan hukum haram. Bagi pemikir yang sampai pada kesimpulan bahwa ayat-ayat di atas
diduga tidak berkehendak melarang perkawinan beda agama maka akan menetapkan hukum
mubah (boleh). Perbedaan ketetapan hukum ini terjadi karena pemahaman yang berbeda
mengenai definisi dan batasan term musyrik dan ahlulkitab. Karena memang tidak ada
kesepakatan ulama mengenai kelompok mana saja yang masuk dalam kategori musyrik dan
ahlulkitab.
Di bawah ini beberapa ketetapan hukum mengenai perkawinan beda agama.
(1) Hukum perkawinan wanita Muslim dengan pria non-Muslim
Sayid Sabiq (Fiqh As-Sunnah, jilid II:95) mengatakan bahwa ulama fikih sepakat mengharamkan
perkawinan perempuan Muslim dengan pria non-Muslim dari golongan mana pun sebagaimana
dilansir dalam Q.S. Al-Baqarah/2:221. Menurut Ali Ash-Shabuni (Rawai Al-Bayan -tafsir Ayat
Al-Ahkam min Al-Quran, Juz I:289) Q.S. Al-Mumtahanah/60:10 mengandung kemutlakan yang
mencakup juga ahlulkitab dan non-Muslim lainnya termasuk murtad dari Islam.
Maulana Muhammad Ali (Quran Suci: Teks Arab Terjemah dan Tafsir, terjemahan, 1993:119)
mengatakan bahwa Alquran sebenarnya tidak menyebutkan secara tegas larangan perkawinan
wanita Muslim dengan pria non-Muslim. Namun dalam praktiknya mayoritas umat Islam sejak
dulu memang menolak model perkawinan tersebut. Ketidaksetujuan itu semata-mata didasari
atas ijtihad bahwa seorang wanita Muslim yang menikah dengan pria non-Muslim akan
menemukan banyak problem jika tinggal dalam keluarga non-Muslim.
Mahmoud Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Naim
(Dekonstruksi Syari'ah/2001:345-346) berpendapat bahwa larangan pengharaman perkawinan
model ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan.
Namun untuk konteks sekarang di mana wanita dan pria memiliki kebebasan dan kemampuan
tanggung jawab yang sama di depan hukum, larangan ini sudah tidak berlaku lagi.
Sejalan dengan itu, penelitian sosial yang dilakukan Noryamin Aini mengenai praktik
perkawinan beda agama di Yogyakarta mendapatkan hasil mengejutkan. Di mana figur ibu
secara konsisten sangat dominan membawa anak-anaknya memeluk agama yang dianutnya. Data
ini meruntuhkan asumsi dan mitos klasik seperti yang dikutip Maulana Muhammad Ali. Untuk
itu, tidak ada lagi alasan empiris yang dapat dijadikan dasar melarang perkawinan beda agama.
(Gatra: 21 Juni 2003).
Zainun Kamal berpendapat bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan pria non-Muslim mana
pun selain pria kafir musyrik Quraisy. Menurutnya, Q.S. Al-Mumtahanah/60:10 bermaksud
melarang perkawinan wanita Muslim dengan pria kafir musyrik Quraisy, bukan lainnya.
Pendapat ini diambil dari Ibnu Katsir, Tafsir Alquran Al-Adzim, Jilid 4 hal 19, Al- Zamakhsyari,
Al-Kasysyaf, Jilid 4 hal 92 dan Al-Fakhruddin Al-Razi, Tafsir Al-Kabir, Jilid 29 hal 305.
(2) Hukum perkawinan pria Muslim dengan wanita musyrik dan Ahlulkitab.
Ibnu Umar berpendapat bahwa hukum perkawinan pria Muslim dengan wanita ahlulkitab adalah
haram. Sama haramnya dengan perempuan musyrik. Alasannya karena perempuan ahlulkitab
juga berlaku syirik dengan menuhankan Isa. Alasan lain karena ayat yang membolehkan
perkawinan ini Q.S. Al-Maidah/5:5 dianulir (naskh) dengan Q.S. Al-Baqarah/2:221. (lihat Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz II:36).
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal melarang perkawinan pria Muslim dengan
wanita musyrik dan membolehkan dengan wanita Yahudi dan Nashrani. (Mahmud Yunus,
Hukum Perkawinan dalam Islam/1996:50). Sekalipun ahlulkitab tersebut meyakini trinitas tidak
menjadi persoalan karena yang tepenting mereka mempunyai kitab samawi dan tetap berstatus
sebagai ahlulkitab. (Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Ar'ba'ah, Juz IV:176).
Rasyid Ridha berpandangan bahwa maksud dari Q.S. Al-Baqarah/2:221 dan AlMumtahanah/60:10 adalah untuk melarang perkawinan pria Muslim dengan wanita musyrik
Arab. Dengan demikian kebolehannya bukan hanya menikah dengan perempuan Yahudi dan
Nasrani saja, melainkan juga dengan wanita-wanita mana pun. Baik Majusi, Shabi'ah, Hindu,
Budha, orang-orang Cina dan Jepang sekalipun. Karena menurutnya mereka itu termasuk
ahlulkitab yang berisi tauhid sampai sekarang. (Muhammmad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir
Al-Manar, Jilid VI:193)
Tawaran solusi konteks Indonesia
Menanggapi solusi yang ditawarkan "AM" bahwa negara harus berpijak pada hukum agama
berkaitan dengan perkawinan beda agama, secara prinsip penulis sepakat. Namun penulis lebih
menekankan bahwa negara harus bersikap akomodatif terhadap keragaman hukum perkawinan
beda agama. Tidak seperti yang selama ini terjadi dengan masih berlakunya Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang jelas-jelas memihak
pendapat yang melarang perkawinan beda agama secara mutlak.
Akibat dari keberpihakan itu, kedua produk hukum ini tidak efektif dan banyak dilanggar
masyarakat. Saran penulis untuk menghindari sikap diskriminatif dan menciptakan hukum yang
efektif, negara harus merevisi Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI
(Kompilasi Hukum Islam) dengan menghilangkan poin-poin yang menutup peluang perkawinan
beda agama. Selain itu negara juga harus membuat undang-undang catatan sipil yang mampu
mengakomodasikan semua kepentingan elemen di masyarakat. Catatan sipil harus mampu
memfasilitasi pencatatan peristiwa-peristiwa penting termasuk perkawinan beda agama.***
Penulis, Mantan Aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Alumnus Fakultas Syari'ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Download