1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perusahaan merupakan organisasi yang ditujukan untuk mendapatkan
profit, dan oleh karenanya membutuhkan pengambilan keputusan yang tepat
untuk mencapai tujuan tersebut. Pengambilan keputusan dilakukan oleh
manajemen perusahaan tersebut, dan setiap manajer memiliki peran tersendiri
dalam keputusan penting yang akan diambil. Manajer keuangan misalnya,
merupakan penentu setiap keputusan yang berhubungan dengan keuangan
perusahaan dan manajer diharapkan mengambil keputusan yang dapat
memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham (Brigham & Houston, 2004).
Manajer keuangan pada dasarnya memiliki peran penting dalam
menentukan pilihan investasi apa yang akan diambil oleh perusahaan berdasarkan
tingkat keuntungan yang ditawarkan serta tingkat risiko yang harus ditanggung,
mengatur seberapa banyak aliran kas yang dibutuhkan dari pasar finansial
(investor) untuk mendanai investasi yang telah dipilih, serta menentukan seberapa
besar bagian dari proyeksi keuntungan tersebut yang akan dikembalikan kepada
para investor (Brealey, Myers, & Allen, 2011). Dalam usahanya mendapatkan
arus kas dari pasar finansial tersebut, manajer keuangan tentunya harus mampu
menarik perhatian para investor, serta bersaing dengan perusahaan lain untuk
mendapatkan dana yang dibutuhkan.
1
Persaingan dalam memperebutkan dana di pasar finansial tersebut
membuat para investor memiliki beragam pilihan investasi yang dapat disesuaikan
dengan karakteristik masing-masing individu terhadap risiko. Salah satu model
yang memetakan hubungan antara tingkat pengembalian dan risiko yang sudah
dipakai dalam waktu yang lama, serta masih menjadi standar yang banyak
digunakan oleh para praktisi hingga saat ini adalah Capital Asset Pricing Model
(CAPM) (Damodaran, 2012). Dalam model tersebut, investor dapat menentukan
ekspektasi
terhadap
tingkat
pengembalian
yang
diharapkan
dengan
mempertimbangkan berbagai aspek seperti tingkat pengembalian bebas risiko,
tingkat pengembalian rata-rata pasar, serta beta dari sebuah aset. Beta, yang
menunjukkan tingkat sensitivitas perubahan harga suatu aset terhadap perubahan
harga rata-rata di pasar, pada akhirnya digunakan oleh investor untuk mengukur
tingkat risiko dari suatu aset karena tingkat pengembalian bebas risiko serta
tingkat pengembalian rata-rata di pasar pada umumnya sama diantara setiap aset
yang berada di pasar atau industri yang sama.
Investor pada dasarnya juga memiliki persepsi tersendiri dalam menilai
aset, dimana nilai yang dilekatkan pada sebuah aset seharusnya didasarkan pada
ekspektasi terhadap arus kas yang dapat dihasilkan di masa mendatang
(Damodaran, 2012). Hasil penelitian Finger (1994) menunjukkan bahwa jumlah
profit yang didapatkan perusahaan serta arus kas yang diberikan terhadap investor
pada saat ini berpengaruh signifikan dalam memprediksi arus kas yang mampu
dihasilkan perusahaan terhadap investor di masa depan.
2
Informasi mengenai tingkat profitabilitas dari sebuah perusahaan tersebut
tentunya akan berpengaruh terhadap ekspektasi tingkat pengembalian yang
diharapkan investor di masa mendatang. Investor selanjutnya juga akan melihat
beta dari sebuah perusahaan sebagai salah satu komponen dalam menentukan
level risiko dari suatu aset, dan membandingkannya dengan tingkat profitabilitas
dari perusahaan di industri yang sama untuk menentukan perusahaan mana yang
dapat memberikan nilai tambah yang paling besar di masa mendatang. Hal ini
tentu saja akan memengaruhi preferensi investor dalam memilih suatu aset, dan
pada akhirnya juga ikut memengaruhi tingkat pengembalian yang harus
ditawarkan oleh sebuah perusahaan dalam keputusan pendanaannya. Pada
akhirnya, perbandingan tingkat profitabilitas perusahaan dengan pemain lain di
industri yang sama akan memengaruhi biaya atas struktur modal suatu
perusahaan, dan dalam jangka panjang memengaruhi nilai perusahaan tersebut.
Manajer keuangan yang menyadari hal tersebut tentunya akan berusaha
untuk membuat kinerja perusahaannya menjadi lebih baik dibandingkan dengan
kompetitornya di industri yang sama, dan pada akhirnya akan memengaruhi
keputusan investasi yang akan diambil oleh perusahaan (Brealey, Myers, & Allen,
2011). Perusahaan akan berusaha semaksimal mungkin agar dapat memiliki
kinerja diatas rata-rata industri sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan
mereka di mata investor.
Dengan melihat fakta tersebut, selanjutnya dapat digunakan asumsi yang
dipakai oleh Miller dan Bromiley (1990) bahwa manajer keuangan sebagai
pengambil keputusan akan menjadikan rata-rata kinerja industri sebagai target
3
performa yang harus dicapai oleh perusahaan, dan untuk mencapai target tersebut
pengambil keputusan memiliki serangkaian alternatif mengenai rencana investasi
apa saja yang dapat dijalankan oleh perusahaan. Rencana investasi tersebut
kemudian akan dievaluasi berdasarkan tingkat risiko serta ekspektasi tingkat
pengembalian yang dapat dihasilkan, dan pada akhirnya akan menentukan posisi
perusahaan relatif terhadap industrinya di tahun selanjutnya.
Nickel dan Rodriguez (2002) kemudian menjelaskan pengaruh dari
ekspektasi tingkat pengembalian terhadap posisi perusahaan tersebut yang akan
sangat berpengaruh terhadap psikologis dari pengambil keputusan. Ketika
ekspektasi dari sebuah alternatif investasi menunjukkan hasil yang bagus (berada
diatas rata-rata industri dan melewati target performa), maka pengambil keputusan
akan cenderung menghindari risiko (risk-averse). Sebaliknya, ketika ekspektasi
dari sebuah alternatif investasi menunjukkan hasil yang tidak bagus (berada
dibawah rata-rata industri dan gagal melewati target performa), maka pengambil
keputusan akan cenderung mengambil risiko (risk-seekers).
Fenomena psikologis dari para pengambil keputusan ini sebelumnya telah
diteliti oleh Bowman (1980) dimana perusahaan dengan performa kurang baik
(atau bahkan merugi) cenderung mengambil keputusan investasi yang lebih
berisiko daripada perusahaan dengan performa yang baik dan stabil. Fenomena ini
kemudian dikenal sebagai Bowman’s paradox, dimana terdapat hubungan yang
negatif antara tingkat risiko (risk) yang ditanggung dengan ekspektasi tingkat
pengembalian (return) yang diharapkan oleh para pengambil keputusan pada
sebuah perusahaan. Paradoks baru ini sangat bertentangan dengan Expected
4
Utility Theory yang pernah dikemukakan oleh Von Neumann dan Morgenstern
pada dekade 1940, dimana para pengambil keputusan cenderung memiliki
hubungan yang positif antara tingkat risiko dengan tingkat pengembalian yang
diharapkan. Singkatnya, investor seharusnya akan meminta tingkat pengembalian
yang lebih tinggi jika dihadapkan pada aset yang memiliki tingkat risiko yang
lebih tinggi pula, bukan sebaliknya.
Penelitian yang dilakukan oleh Bowman tersebut kemudian memancing
beragam penelitian baru yang berusaha untuk mencari penjelasan logis atas
paradoks pada hubungan antara tingkat risiko dan tingkat pengembalian yang
diharapkan. Salah satunya adalah Prospect Theory yang dikemukakan oleh
Kahneman dan Tversky (1979) dimana pengambilan keputusan dalam sebuah
ketidakpastian dapat dilihat sebagai pilihan diantara dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama adalah mendapatkan keuntungan (gains) sedangkan yang
kedua justru mendapatkan kerugian (losses), dan keduanya didefinisikan relatif
terhadap level target yang dimiliki oleh setiap pengambil keputusan.
Dalam penelitian selanjutnya, prospect theory ini kemudian juga
digunakan untuk menguji perilaku pengambil keputusan di level perusahaan.
Fiegenbaum dan Thomas (1988) menemukan bahwa hubungan antara tingkat
risiko dan tingkat pengembalian sebenarnya bervariasi tergantung pada periode
yang dipilih, namun ketika konsep level target pada prospect theory dipakai
dengan menggunakan median Return on Equity (ROE) pada level industri sebagai
titik relatif, perusahaan yang berada dibawah level target sebagian besar
menunjukkan perilaku risk-seekers.
5
Perilaku tersebut pada dasarnya mencerminkan adanya kecenderungan
untuk menghindari kerugian (loss-aversion) diantara para pengambil keputusan.
Kahneman, Knetsch, dan Thaler (1991) menjelaskan bahwa ada dua kesimpulan
penting dalam mempelajari pengambilan keputusan yang berisiko berdasarkan
prinsip loss-aversion. Pertama, pertimbangan utama dalam mengambil sebuah
keputusan bukan terletak pada seberapa besar kekayaan yang didapatkan, namun
relatif terhadap sebuah level target yang ditentukan oleh masing-masing individu.
Kedua, keputusan yang menimbulkan kerugian akan lebih menghantui seseorang
agar tidak mengulangi hal yang sama, jika dibandingkan ketika keputusan yang
diambil berhasil mendapatkan keuntungan. Kedua hal ini tentunya menjelaskan
kenapa para pengambil keputusan dari perusahaan yang sebelumnya berada di
bawah level target menjadi lebih berani dalam mengambil risiko, tentunya dengan
harapan bahwa perusahaan dapat melampaui level target dari industri pada tahun
selanjutnya.
Pengaruh dari prinsip loss-aversion ini kemudian dibuktikan oleh Chou et
al. (2009) dalam penelitiannya dimana terdapat hubungan negatif antara tingkat
risiko dengan tingkat pengembalian pada perusahaan yang gagal mencapai level
target industri, dan hubungan yang positif antara tingkat risiko dengan tingkat
pengembalian pada perusahaan yang berhasil mencapai level target industri.
Selain itu, hubungan negatif tersebut ternyata lebih kuat jika dibandingkan dengan
hubungan positif yang terjadi yang semakin membuktikan adanya kecenderungan
diantara para pengambil keputusan untuk menghindari kerugian.
6
Penelitian mengenai Prospect Theory di Indonesia sebelumnya pernah
dilakukan oleh Raymond (2014) dimana hasil yang didapatkan juga sesuai dengan
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kahneman dan Tversky (1979),
Bowman (1980), dan Chou et al. (2009). Pengambil keputusan pada level
perusahaan di Indonesia memiliki kecenderungan untuk mengambil risiko (risktakers) apabila perusahaan berada di bawah level target industri, dan memiliki
kecenderungan untuk menghindari risiko (risk-averse) apabila perusahaan berada
di atas level target industri.
Meskipun telah membuktikan prospect theory pada pengambil keputusan
pada level perusahaan di Indonesia, namun penelitian yang dilakukan oleh
Raymond (2014) masih menggunakan dasar-dasar dari penelitian yang dilakukan
oleh Fiegenbaum dan Thomas (1988). Oleh karena itu, diperlukan pengembangan
penelitian lebih lanjut untuk semakin mendukung konsep prospect theory diantara
para pengambil keputusan pada level perusahaan di Indonesia. Penelitian yang
dilakukan oleh Kliger dan Tsur (2011) merupakan salah satu cara baru dalam
menganalisis konsep prospect theory pada level pengambil keputusan di sebuah
perusahaan. Perbedaan mendasar diantara penelitian yang dilakukan oleh
keduanya adalah dalam penentuan level target industri, dimana pada penelitian
yang dilakukan oleh Fiegenbaum dan Thomas (1988), level target industri
ditentukan dari median yang dibuat pada akhir periode waktu pengamatan (expost measurement). Pada penelitian yang dilakukan oleh Kliger dan Tsur (2011),
level target industri ditentukan berdasarkan median industri pada tahun
sebelumnya (ex-ante measurement).
7
Penelitian dengan menggunakan ex-post measurement menggunakan
asumsi bahwa situasi serta kebiasaan yang dimiliki oleh perusahaan tidak berubah
dalam periode pengamatan, sedangkan faktanya, perilaku dari para pengambil
keputusan dalam perusahaan sangat dipengaruhi oleh kondisi serta hasil yang
diperoleh perusahaan pada tahun sebelumnya, sehingga diperlukan penelitian
dengan menggunakan ex-ante measurement (Kliger dan Tsur, 2011). Hal inilah
yang mendasari diperlukannya penelitian lebih lanjut mengenai konsep prospect
theory pada perilaku pengambil keputusan di perusahaan di Indonesia. Oleh
karena itu penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh Kliger dan Tsur
(2011) tersebut akan diadopsi dalam penelitian ini sehingga diharapkan hasil yang
diperoleh nantinya dapat mempertegas hasil penelitian yang sebelumnya telah
dilakukan oleh Raymond (2014).
Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Kliger dan Tsur (2011)
berhasil membuktikan bahwa pengambil keputusan pada level perusahaan yang
berhasil mencapai level target industri akan cenderung menghindari risiko (riskaverse), dah sebaliknya, pengambil keputusan pada level perusahaan yang gagal
mencapai level target industri akan cenderung mengambil risiko (risk-takers). Hal
ini dibuktikan dengan adanya hubungan negatif antara posisi sebuah perusahaan
relatif terhadap level target industri (reference point) pada tahun sebelumnya,
dengan level risiko yang diambil perusahaan pada tahun setelahnya. Selisih antara
Return on Equity (ROE) perusahaan dengan median ROE industri yang dijadikan
reference point pada tahun setelahnya digunakan sebagai proxy dalam
menentukan level risiko yang diambil perusahaan. Semakin besar selisih yang
8
terjadi, maka semakin besar risiko yang diambil oleh sebuah perusahaan pada
tahun tersebut.
1.2
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan penjelasan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah
yang diteliti dalam penelitian ini adalah “Apakah posisi relatif perusahaan dengan
reference point industri pada tahun tertentu berpengaruh terhadap level risiko
yang diambil perusahaan pada tahun selanjutnya?”
1.3
Tujuan Penelitian
Dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah untuk “Menguji pengaruh posisi relatif perusahaan dengan
reference point industri pada suatu tahun terhadap level risiko yang diambil
perusahaan pada tahun selanjutnya”.
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Bagi Akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi melalui bukti
empiris dalam melihat pengaruh teori behavioral finance, khususnya
Prospect Theory terhadap pengambilan keputusan yang dilakukan pada
level perusahaan. Hasil dari penelitian ini diharapkan juga dapat
9
memberikan masukan bagi penelitian di bidang manajemen keuangan di
masa mendatang.
2. Manfaat Bagi Investor
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai perilaku
para pengambil keputusan di level perusahaan dalam melihat ekpektasi
pasar, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan
dalam menentukan keputusan investasinya.
3. Manfaat Bagi Praktisi
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan penjelasan kepada para
pelaku bisnis mengenai pola perilaku para pengambil keputusan di level
perusahaan ketika dihadapkan pada situasi tertentu. Hal ini untuk
membantu memahami pada situasi apa pengambil keputusan dapat
bertindak secara tidak rasional, mengingat semua pengambil keputusan
pada dasarnya merupakan manusia normal yang tidak selalu mengambil
keputusan yang rasional.
1.5
Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini disusun sebagai
berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang permasalahan, rumusan
masalah yang ingin diselesaikan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta
sistematika penulisan yang digunakan.
10
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Selanjutnya dalam bab ini akan dibahas mengenai konsep teori serta tinjauannya
dilihat dari berbagai literatur serta penelitian terdahulu agar dapat dilakukan
pengembangan terhadap hipotesis yang ingin dibuktikan dalam penelitian ini.
BAB III
METODE PENELITIAN
Kemudian dalam bab ini akan diuraikan mengenai data dan sampel, definisi
operasional dari variabel independen dan dependen, model pengujian hipotesis, uji
asumsi klasik, serta pemilihan model regresi dalam penelitian.
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan berisi analisis yang dilakukan terhadap data serta pembahasan secara
mendalam mengenai hasil dari pengolahan data yang telah dilakukan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini akan berisi kesimpulan dari pembahasan yang telah dilakukan
pada bab sebelumnya, berbagai keterbatasan yang dihadapi dalam penelitian, serta
beberapa rekomendasi yang didapatkan dari penelitian ini.
11
Download