139 BAB V KESIMPULAN Antara orang Dayak

advertisement
BAB V
KESIMPULAN
Antara orang Dayak, perladangan berpindah, dan praktik keagamaannya sering
dianggap sebagai kesatuan sistem yang harmonis. Begitu juga dengan citra mereka
sebagai pelestari alam yang arif melekat pada sistem perladangan maupun
kepercayaannya. Dalam studi yang saya lakukan di desa Tumbang Kajamei
menemukan bahwa hubungan tersebut tidak selalu sinergis. Kaharingan, sebagai
kepercayaan lokal orang Dayak di sana dihidupi dan dibesarkan justru dari hasil
aktivitas yang mengancam kelestarian hutan dan lingkungan mereka sendiri yakni
penambangan emas.
Bagaimana hal itu bisa terjadi saya memulai penjelasan dari perubahan sistem
ekonomi utama penduduk Kajamei, yaitu dari perladangan berpindah menjadi
penambangan emas. Perladangan berpindah adalah aktivitas ekonomi yang
memanfaatkan kelimpahan lahan di hutan dan modal sosial pertukaran tenaga kerja
antar rumah tangga; royong. Kebutuhan akan uang tunai dipenuhi dari ekstraksi hasil
hutan terutama rotan yang masih komplementer dengan sistem lahan perladangan;
antara orientasi pasar dan subsisten seimbang. Hadirnya PT. SBK tahun 1978
mengakselerasi ketimpangan kedua orientasi ekonomi tersebut. Area konsesi
perusahaan menutup gerak dari perladangan dan perpindahan desa, meningkatnya
populasi penduduk dan membuat akses lahan semakin langka. Di sisi lain perusahaan
dengan program pemberdayaan dan dibukanya jalan desa ke kota meningkatkan
139
integrasi pasar, kebutuhan akan uang tunai, serta hadirnya banyak pendatang.
Eksploitasi hutan seperti membalak kayu dan menambang emas menjadi pilihan
sebagian penduduk Kajamei karena dirasa memberi penghasilan besar yang instan
walaupun lebih banyak resiko daripada berladang.
Perubahan sistem ekonomi dari perladangan berpindah menjadi penambangan
emas mengubah unit produksi utama masyarakat dari royong yang bercorak komunal
diusahakan menjadi individu-rumah tangga. Ketika royong resiko usaha dibagi dalam
komunitas, maka dalam tambang emas resiko kegagalan dan akumulasi keuntungan
dilakukan oleh tiap-tiap rumah tangga.
Perubahan pola produksi inilah yang juga termanifestasikan dalam praktik
keagamaan orang Kajamei. Pada masa lalu, ritual yang sering digelar adalah berskala
(pengorbanan) kecil atau sedang dalam fase perladangan dan kebutuhan yang
mendesak seperti pengobatan balian dan ritus daur hidup. Kebanyakan ritual-ritual
Kaharingan tersebut digelar seperti halnya usaha ladang yaitu dengan memanfaatkan
royong dalam hal pembiayaan maupun tenaga kerja. Ritual Kaharingan yang berskala
besar seperti bahajat besar dan tiwah hanya dapat dilakukan oleh golongan
bangsawan dan elite desa. Pada era penambangan emas membuat pembiayaan dari
praktik Kaharingan sebagian besar akan dipenuhi dengan biaya dana dan upah untuk
tenaga kerjanya, hanya sebagian kecil yang akan diupayakan melalui pertukaran
seperti royong. Pekerjaan di ladang telah menjadi urusan tiap keluarga sendiri-sendiri
dan aktivitas ekonomi baru membuat rumah tangga di Kajamei merasa tidak perlu
lagi untuk menggelar selametan usaha ladang. Setelah sistem ekonomi pasar
140
menguat, sulit kini untuk mewujudkan ritual bahajat besar (lebih dari dua babi) yang
diusung bersama-sama melalui royong atau pertukaran material dan tenaga kerja
ritual. Sejak tahun 1990an ritual pesta panen (bagawi) sudah tidak dilakukan secara
komunal seluruh kampung dan hanya dilakukan oleh masing-masing keluarga yang
membuka ladang dengan skala yang lebih kecil (pengorbanan ayam). Ritual pesta
panen yang merupakan pesta komunal desa, saat ini bertransformasi menjadi pestapesta bahajat besar yang digelar suatu rumah tangga.
Kemakmuran dari penambangan emas ini kemudian memungkinkan kelas
bawah terbuka kesempatan untuk menggelar tiwah dan bahajat besar ketika memiliki
akses dan bernasib baik mendapat untung menambang. Bagi kalangan orang biasa
yang memiliki uang banyak dari tambang emas saat ini bukan perkara sulit untuk
menggelar tiwah untuk leluhurnya. Upacara dan pesta tersebut dapat menjadi apa
yang dikatakan Geertz sebagai “vehicle of meaning” (De Jong, 2013: 210) untuk
memberi kesempatan bagi keluarga yang sebelumnya merupakan “orang bawah”
terlegitimasi status sosialnya menjadi kelas atas baru. Ritual Kaharingan yang
dibiayai dari penambangan emas dengan demikian tidak lagi fokus pada tujuan-tujuan
komunitas (secara sosial maupun kosmologis), melainkan lebih berfokus pada prinsip
akumulasi status sosial individu dan rumah tangga.
Sedangkan bagi mereka yang tergolong sebagai peladang, ritual-ritual tidak
akan digelar ketika bukan dalam kondisi mendesak sehingga mereka perlu menggelar
balian. Item yang diperlukan untuk ritual yang sering mereka gelar seperti bahajat
tahun dan kebaktian juga tidak terlalu besar sebagaimana balian kecil, yaitu dengan
141
pengorbanan ayam dan dilakukan oleh masing-masing rumah tangga. Manifestasi
keagamaan di kalangan peladang juga lebih variatif sejak golongan ini lebih responsif
terhadap tawaran rasionalisasi dari agama baru. Bahkan tidak sedikit diantara
peladang yang pada akhirnya berpindah agama ke Kristen yang hadir melalui guruguru pendatang untuk meminimalisir beban adat dari Kaharingan. Praktik keagamaan
dari kalangan peladang ini dapat dilihat sebagai sebuah strategi “mencari aman” di
hari depan yang analog dengan sikap peladang dalam sisi ekonomi.
Maka tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa Kaharingan, sebagai
kepercayaan lokal orang Dayak di Kajamei justru kini dihidupi dan dibesarkan oleh
mereka yang memiliki aktivitas mengancam kelestarian hutan dan lingkungan mereka
sendiri. Sedangkan para peladang, kini justru memeluk agama lain selain Kaharingan.
Sebagai penutup, dapat dikatakan bahwa dinamika Kaharingan seperti yang terjadi di
Kajamei tersebut sulit untuk dilepaskan dari proses transformasi agraria dan ekspansi
sumber daya yang terjadi di Kalimantan secara umum. Ekspansi kapital besar seperti
hadirnya perusahaan kayu serta pergeseran agraris ditinggalkannya perladangan
menuju sistem ekonomi pasar menjadi dasar dari perubahan sosial, ekonomi, maupun
keagamaan di masyarakat Dayak.
142
Download