BAB V KESIMPULAN Antara orang Dayak, perladangan berpindah, dan praktik keagamaannya sering dianggap sebagai kesatuan sistem yang harmonis. Begitu juga dengan citra mereka sebagai pelestari alam yang arif melekat pada sistem perladangan maupun kepercayaannya. Dalam studi yang saya lakukan di desa Tumbang Kajamei menemukan bahwa hubungan tersebut tidak selalu sinergis. Kaharingan, sebagai kepercayaan lokal orang Dayak di sana dihidupi dan dibesarkan justru dari hasil aktivitas yang mengancam kelestarian hutan dan lingkungan mereka sendiri yakni penambangan emas. Bagaimana hal itu bisa terjadi saya memulai penjelasan dari perubahan sistem ekonomi utama penduduk Kajamei, yaitu dari perladangan berpindah menjadi penambangan emas. Perladangan berpindah adalah aktivitas ekonomi yang memanfaatkan kelimpahan lahan di hutan dan modal sosial pertukaran tenaga kerja antar rumah tangga; royong. Kebutuhan akan uang tunai dipenuhi dari ekstraksi hasil hutan terutama rotan yang masih komplementer dengan sistem lahan perladangan; antara orientasi pasar dan subsisten seimbang. Hadirnya PT. SBK tahun 1978 mengakselerasi ketimpangan kedua orientasi ekonomi tersebut. Area konsesi perusahaan menutup gerak dari perladangan dan perpindahan desa, meningkatnya populasi penduduk dan membuat akses lahan semakin langka. Di sisi lain perusahaan dengan program pemberdayaan dan dibukanya jalan desa ke kota meningkatkan 139 integrasi pasar, kebutuhan akan uang tunai, serta hadirnya banyak pendatang. Eksploitasi hutan seperti membalak kayu dan menambang emas menjadi pilihan sebagian penduduk Kajamei karena dirasa memberi penghasilan besar yang instan walaupun lebih banyak resiko daripada berladang. Perubahan sistem ekonomi dari perladangan berpindah menjadi penambangan emas mengubah unit produksi utama masyarakat dari royong yang bercorak komunal diusahakan menjadi individu-rumah tangga. Ketika royong resiko usaha dibagi dalam komunitas, maka dalam tambang emas resiko kegagalan dan akumulasi keuntungan dilakukan oleh tiap-tiap rumah tangga. Perubahan pola produksi inilah yang juga termanifestasikan dalam praktik keagamaan orang Kajamei. Pada masa lalu, ritual yang sering digelar adalah berskala (pengorbanan) kecil atau sedang dalam fase perladangan dan kebutuhan yang mendesak seperti pengobatan balian dan ritus daur hidup. Kebanyakan ritual-ritual Kaharingan tersebut digelar seperti halnya usaha ladang yaitu dengan memanfaatkan royong dalam hal pembiayaan maupun tenaga kerja. Ritual Kaharingan yang berskala besar seperti bahajat besar dan tiwah hanya dapat dilakukan oleh golongan bangsawan dan elite desa. Pada era penambangan emas membuat pembiayaan dari praktik Kaharingan sebagian besar akan dipenuhi dengan biaya dana dan upah untuk tenaga kerjanya, hanya sebagian kecil yang akan diupayakan melalui pertukaran seperti royong. Pekerjaan di ladang telah menjadi urusan tiap keluarga sendiri-sendiri dan aktivitas ekonomi baru membuat rumah tangga di Kajamei merasa tidak perlu lagi untuk menggelar selametan usaha ladang. Setelah sistem ekonomi pasar 140 menguat, sulit kini untuk mewujudkan ritual bahajat besar (lebih dari dua babi) yang diusung bersama-sama melalui royong atau pertukaran material dan tenaga kerja ritual. Sejak tahun 1990an ritual pesta panen (bagawi) sudah tidak dilakukan secara komunal seluruh kampung dan hanya dilakukan oleh masing-masing keluarga yang membuka ladang dengan skala yang lebih kecil (pengorbanan ayam). Ritual pesta panen yang merupakan pesta komunal desa, saat ini bertransformasi menjadi pestapesta bahajat besar yang digelar suatu rumah tangga. Kemakmuran dari penambangan emas ini kemudian memungkinkan kelas bawah terbuka kesempatan untuk menggelar tiwah dan bahajat besar ketika memiliki akses dan bernasib baik mendapat untung menambang. Bagi kalangan orang biasa yang memiliki uang banyak dari tambang emas saat ini bukan perkara sulit untuk menggelar tiwah untuk leluhurnya. Upacara dan pesta tersebut dapat menjadi apa yang dikatakan Geertz sebagai “vehicle of meaning” (De Jong, 2013: 210) untuk memberi kesempatan bagi keluarga yang sebelumnya merupakan “orang bawah” terlegitimasi status sosialnya menjadi kelas atas baru. Ritual Kaharingan yang dibiayai dari penambangan emas dengan demikian tidak lagi fokus pada tujuan-tujuan komunitas (secara sosial maupun kosmologis), melainkan lebih berfokus pada prinsip akumulasi status sosial individu dan rumah tangga. Sedangkan bagi mereka yang tergolong sebagai peladang, ritual-ritual tidak akan digelar ketika bukan dalam kondisi mendesak sehingga mereka perlu menggelar balian. Item yang diperlukan untuk ritual yang sering mereka gelar seperti bahajat tahun dan kebaktian juga tidak terlalu besar sebagaimana balian kecil, yaitu dengan 141 pengorbanan ayam dan dilakukan oleh masing-masing rumah tangga. Manifestasi keagamaan di kalangan peladang juga lebih variatif sejak golongan ini lebih responsif terhadap tawaran rasionalisasi dari agama baru. Bahkan tidak sedikit diantara peladang yang pada akhirnya berpindah agama ke Kristen yang hadir melalui guruguru pendatang untuk meminimalisir beban adat dari Kaharingan. Praktik keagamaan dari kalangan peladang ini dapat dilihat sebagai sebuah strategi “mencari aman” di hari depan yang analog dengan sikap peladang dalam sisi ekonomi. Maka tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa Kaharingan, sebagai kepercayaan lokal orang Dayak di Kajamei justru kini dihidupi dan dibesarkan oleh mereka yang memiliki aktivitas mengancam kelestarian hutan dan lingkungan mereka sendiri. Sedangkan para peladang, kini justru memeluk agama lain selain Kaharingan. Sebagai penutup, dapat dikatakan bahwa dinamika Kaharingan seperti yang terjadi di Kajamei tersebut sulit untuk dilepaskan dari proses transformasi agraria dan ekspansi sumber daya yang terjadi di Kalimantan secara umum. Ekspansi kapital besar seperti hadirnya perusahaan kayu serta pergeseran agraris ditinggalkannya perladangan menuju sistem ekonomi pasar menjadi dasar dari perubahan sosial, ekonomi, maupun keagamaan di masyarakat Dayak. 142