Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu KESEHATAN SAPI PERAH DALAM RANGKA GERAKAN NASIONAL INDUSTRI PERSUSUAN DI INDONESIA (Health of Dairy Cattle in the Dairy Industry as Nationwide Movement) Yulvian Sani, Eni Martindah dan Bambang N. Utomo Balai Besar Penelitian Veteriner Jl. RE Martadinata No. 30, Bogor 16114 vian [email protected] ABSTRACT The dairy cattle is one of important commodities in Indonesia for milk production to provide public requirement for nutritive foods. The dairy industries develops since an increased demands for milk and beef following population growth and improvement of public health and welfare. However, the domestic production of milk is still below the national demands on milk consumption. The development of dairy industry should also consider for animal health and milk quality. Animal health is regarded as an important factor in dairy milk production. Infectious and non-infectious diseases become a major problem in dairy cattle agribusiness in I ndonesia to produce milk optimally. Infectious diseases such as mastitis and brucellosis are commonly noted in Indonesian dairy milk farms. Non-infectious diseases such as metabolic diseases and toxicities are frequently faced by farmers that may reduce productivity and milk quality. Various innovation has been i ntroduced to overcome dairy health through developing veterinary technologies such as diagnostic techniques, veterinary drugs and vaccines. Key words: Dairy cattle, milk, public health ABSTRAK Sapi perah merupakan salah satu komoditas strategis di I ndonesia untuk menghasilkan susu dalam memenuhi kebutuhan 22 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional lndustri pangan bergizi bagi masyarakat. lndustri persusuan berkembang terus setiap tahun karena meningkatnya permintaan susu dan daging, yang sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat terhadap keseimbangan gizi terhadap protein hewani. Namun produksi susu dalam negeri masih rendah dibandingkan dengan permintaan nasional untuk konsumsi susu dalam negeri. Pembangunan industri persusuan perlu pula memperhatikan kesehatan hewan dan kualitas susu yang dihasilkan. Kesehatan ternak merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi produksi ternak termasuk produksi susu sapi perah. Penyakit infeksius dan non-infeksius menjadi kendala untuk memproduksi susu secara optimal dalam usaha peternakan sapi perah di Indonesia. Penyakit infeksius, seperti mastitis dan brucellosis, adalah penyakit yang sering dijumpai di I ndonesia, demikian pula dengan penyakit non-infeksius, seperti gangguan metabolisme dan keracunan, sering ditemukan pada peternakan sapi perah yang dapat menurunkan produktivitas dan kualitas air susu yang dihasilkan. Berbagai terobosan telah dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan sapi perah dan produknya (susu) melalui pengembangan berbagai teknologi veteriner seperti teknik diagnosa, obat dan vaksin hewan. Kata kunci: Sapi perah, susu, kesehatan. PENDAHULUAN Susu merupakan komoditas strategis di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan bergizi bagi masyarakat. Usaha peternakan sapi perah sebagai salah satu komponen i ndustri persusuan di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Perkembangan industri persusuan ini disebabkan karena meningkatnya permintaan susu dan daging, yang sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, kesadaran masyarakat terhadap keseimbangan gizi terhadap protein hewani. Namun demikian produksi susu dalam negeri masih 23 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu rendah dibanding dengan permintaan nasional untuk konsumsi susu dalam negeri. Hasil sensus sapi dan kerbau yang dilakukan pada awal tahun 2011 tercatat sebanyak 16,7 juta ekor (15,4 juta ekor sapi dan 1,3 juta ekor kerbau) tersebar diberbagai wilayah di I ndonesia. Sebanyak 597.129 ekor diantaranya adalah sapi perah yang memproduksi susu untuk konsumsi dalam negeri (DITJENNAK dan KESWAN, 2011a). Sebanyak 98% dari populasi sapi perah di Indonesia tersebar di pulau Jawa yakni 27,2% di Jawa Barat; 36,8% di Jawa Tengah; 0,9% di DKI Jakarta dan 1,9% di DI Yogyakarta ( DITJENNAK dan KESWAN, 2011a). Rata-rata kepemilikan sapi pada tingkat peternakan rakyat mencapai 2 - 4 ekor per peternak, yang hanya mampu memproduksi susu nasional sebesar 30% dari konsumsi nasional. Produksi susu pada peternakan tradisional rata-rata sekitar 8 - 10 liter/ekor/hari, yang mana dengan menerapkan manajemen modern dapat mencapai 20 liter/ekor/hari. Sementara itu, konsumsi susu rata-rata masyarakat Indonesia relatif masih rendah yakni mencapai 6 - 7 liter/kapita/tahun yang mana konsumsi rata-rata negara tetangga jauh lebih tinggi seperti 10 liter/kapita/tahun di Vietnam, 20 liter/kapita/tahun di Malaysia, 30 liter/kapita/hari di Singapura dan 40 liter/kapita/hari di India (DITJENNAK dan KESWAN, 2011 b). Pemerintah telah menetapkan indeks kinerja utama untuk konsumsi protein hewani pada tahun 2013 sebesar 6,9 24 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri gram/kapita/hari yang berasal dari daging (4,25%), telur (4,42%) dan susu (9,74%). Indeks kinerja utama ini menunjukkan bahwa bahwa produksi susu mengalami peningkatan yang sangat nyata mencapai 9,74% pada tahun mendatang (DITJENNAK dan KESWAN, 2011 b). Lebih dari 95% susu yang dihasilkan di Indonesia berasal dari sapi perah dan hanya sebagian kecil berasal dari ternak lain seperti kerbau dan kambing perah.Sapi perah yang dipelihara oleh peternak umumnya jenis Frisien Holstein (FH) dan terdapat sebagian kecil dari jenis Hissar khususnya di Sumatera Utara. Untuk mencapai indeks kinerja utama konsumsi protein hewani tersebut, maka perlu dilakukan peningkatan populasi dan produksi ternak khususnya sapi perah. Dalam pengembangan industri persusuan di I ndonesia perlu pula memperhatikan kesehatan hewan dan kualitas susu yang dihasilkan oleh sapi perah. Kesehatan ternak merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi produksi ternak termasuk produksi susu sapi perah. Penyakit infeksius dan non- i nfeksius menjadi kendala untuk memproduksi susu secara optimal dalam usaha peternakan sapi perah di Indonesia. Penyakit infeksius, seperti mastitis dan brucellosis,adalah penyakit yang sering dijumpai di Indonesia, demikian pula dengan penyakit metabolisme dan non-infeksius, keracunan,sering seperti gangguan ditemukan pada peternakan sapi perah yang dapat menurunkan produktivitas 25 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu dan kualitas air susu yang dihasilkan. Mastitis merupakan peradangan kelenjar susu yang sangat merugikan akibat penurunan produksi dan kualitas susu. Sedangkan brucellosis dapat menimbulkan abortus, kematian pedet (neonatal mortality), kelemahan pedet, infertilitas dan penurunan produksi susu. Sapi perah sering mengalami gangguan metabolik hypocalcemia), asetonemia grass seperti (ketosis), tetany milk dan fever (parturient metabolik asidosis (hypomagnesaemia), (bloat/tympany). Kasus keracunan pada sapi perah yang sering dijumpai adalah keracunan nitrat-nitrit, mineral, logam berat dan tanaman beracun. Oleh karena itu, kualitas pakan dan konsentrat diperhatikan. yang Gambar 1. Usaha peternakan sapi perah modern di Lembang, Bandung 26 diberikan pada ternak perlu Gambar 2. Usaha peternakan sapi perah tradisional di Bogor Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri Gambar 3. Sistem pemerahan susu menggunakan mesin elektronik minimal risiko pencemaran Gambar 4. Sistem pemerahan susu secara tradisional, berisiko terjadinya pencemaran Disamping itu, perlu pula memberikan perhatian terhadap kontaminasi balk kimiawi maupun mikroba dan residu yang sering dijumpai selama proses pasca panen. Berbagai terobosan telah dilakukkan untuk mengatasi masalah kesehatan sapi perah dan produknya (susu) melalui pengembangan berbagai teknologi veteriner seperti teknik diagnosa, obat dan vaksin hewan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produksi dan kualitas susu dibahas dalam makalah ini. MASTITIS Mastitis merupakan salah satu penyakit yang berbahaya dan merugikan, karena dapat menurunkan produksi susu dan kualitas air susu. Kerugian akibat mastitis relatif cukup besar, karena mastitis merupakan peradangan kelenjar susu 27 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu yang apabila dibiarkan tanpa dilakukan pengobatan dapat menimbulkan pengerasan kelenjar ambing, pengecilan ukuran ambing, penyumbatan saluran ambing, pengeringan ambing dan ternak menjadi tidak produktif. Kerugian akibat mastitis terdiri dari penurunan produksi, pemendekan masa l aktasi, penurunan kualitas susu dan biaya pengobatan. ( SUPAR, 1997) melaporkan bahwa penurunan produks susu akibat mastitis subklinis berkisar antara 14,6 sampai dengan 19,0% per hari atau sekitar 2 liter untuk setiap ekor sapi per hari (SUPAR, 1997). Jika kasus mastitis subklinis tidak dikendalikan secara intensif, kerugian ditaksir mencapai Rp. 8,5 Milyar per tahun (HIRST et al., 1985). Mastitis merupakan peradangan kelenjar ambing yang disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme patogen seperti bakteri dan jamur. Mastitis dikelompokan menjadi dua bentuk yakni: mastitis klinis dan subklinis. Mastitis subklinis sulit dideteksi karena tanda-tanda peradangan tidak tampak kecuali penurunan produksi susu. Bagi petugas l apang yang berpengalaman gejala mastitis subklinis dapat dideteksi dengan ditemukannya pengerasan pada salah satu kelenjar ambing, kesulitan dalam pemerahan dan perubahan warna susu. Untuk konfirmasi kasus mastitis subklinis maka diperlukan perangkat bewarna seperti uji yang menggunakan reagen Californian mastitis test ( CMT), teknik Aulendorfermastitis probe (AMP) atau reagen IPB-1 mastitis test. 28 Pengujian tersebut dilakukan untuk mengetahui Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri kandungan sel somatik dalam air susu. Sementara itu pads mastitis klinis terdapat 3 tipe patogenitas antara lain: 1. Perakut-kelenjar susu membengkak, panas, nyeri dan mengeluarkan sekresi abnormal disertai dengan demam dan gejala lain seperti depresi, denyut nadi lemah dan anoreksia; 2. Akut-perubahan kelenjar ambing seperti pada mastitis perakut tetapi demam dan depresi lebih ringan sampai sedang; dan 3. Subakut -tidak perubahan ada perubahan secara sistemik, pada kelenjar susu dan sekresi yang dikeluarkan tidak begitu jelas. Etiologi Mastitis disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme patogen seperti bakteri dan jamur yang masuk ke dalam ambing melalui saluran puting susu. Faktor predisposisi yang perlu diperhatikan munculnya mastitis adalah: hygienitas dalam pemerahan susu, manajemen pemerahan, l uka kulit ambing dan keberadaan mikroba paatogen disekitar kandang sapi perah. Penularan agen penyakit terjadi antar puting pada satu ambing dan antar hewan pada satu kandang. Berbagai jenis kuman yang dapat menimbulkan mastitis pada sapi perah antara lain Streptococcus sp., Staphylococcus sp., dan Coliform serta jamur seperti Candida sp. Prevalensi mastitis subklinis di beberapa peternakan sapi perah di Pulau Jawa 29 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu jauh Iebih tinggi dibanding mastitis klinis (akut dan kronis), yaitu 37 - 67% (mastitis subklinis) dan 5 - 30% (mastitis klinis) (SUPAR, 1997). Gambar 5. Ambing sapi perah mengalami mastitis subklinis. Puting ambing mengecil (panah) sehingga air susu tidak/sulit keluar saat diperah Mastitis subklinis sulit dideteksi secara visual karena tidak memberikan gejala klinis yang jelas kecuali penurunan produksi susu. Penetapan diagnosa untuk mastitis subklinis adalah melalui penghitungan jumlah sel somatik (umumnya neutrofil) dengan menggunakan California Mastitis Test atau I alnnya (KAHAN and LINE, 2010). SUPAR dan ARIYANTI (2008) melaporkan bahwa dalam kajian pengendalian mastitis subklinis pada sapi perah telah diisolasi penyebab mastitis, yang didominasi oleh bakteri Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactia, Staphylococcus epidermidis (91,5%). Sedangkan SAM etal., (2011) melaporkan kejadian mastitis subklinis pascaerupsi gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah seperti tertera padaTabel 1. 30 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri Tabel 1. Kejadian mastitis subklinis serta isolasi dan identifikasi agen penyebab mastitis subklinis Sampling/ l okasi Sampling I Yogyakarta Boyolali Sampling II Yogyakarta Boyolali Sampling I II' Yogyakarta Boyolali n 28 22 6 57 43 14 positip mastitis subklinis n (%) 57,1% 11 (50%) 5(83,3%) 35,1% 16(37,2%) 4(28,6%) 37 62,2% 23 15(65,2%) 14 8(57,1%) I solasi dan i dentifikasi penyebab mastitis subklinis TPC tidak diukur Streptococcus sp. Staphylococcus sp. Bacillus sp. Leuconostoc sp. Micrococcus sp. Aerococcus sp. Streptococcus sp. Staphylococcus sp. Bacillus sp. Eschericia coli. Klebsiella sp. 1,3x103 s/d 2,1x107 koloni/m I Pseudomonas sp. Streptococcus sp. Staphylococcus sp. Bacillus sp. TPC > BMCM. Eschericia coli. Klebsiella sp. Pseudomonas sp. TPC : Total plate count BMCM: Batas maksimum cemaran mikroba (5 x 103 koloni/ml) Selain mastitis bakterial, mastitis mikotik yang disebabkan oleh infeksi jamur sering pula ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Gejala klinis mastitis mikotik sulit dibedakan dari mastitis bakterial karena gejala klinis yang sama. Diagnosa mastitis mikotik ini dapat dikenal dengan kejadian yang berlangsung secara 31 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu berlangsung secara kronik (dalam waktu lama). Agen penyebab mastitis mikotik umumnya adalah Cryptococcus neoformans (SCHALM et al., 1971), Candida albicans, Candida spp. l ain dan Geotrichum sp (HASTIONO et al., 1983). Prevalensi mastitis subklinis di beberapa peternakan sapi perah di Pulau Jawa jauh lebih tinggi dari yang klinis, dimana mastitis subklinis berkisar antara 37 - 67%, sementara mastitis klinis berkisar antara 5 - 30% (Tabel 2). Tabel 2. Prevalensi mastitis pada sapi perah di Indonesia. Lokasi (tahun) Sukabumi, Bandung (1985) Sukabumi, Bandung, Bogor (1994) Pasuruan, Jawa Timur (1985) Pasuruan, Jawa Timur (1991) Baturaden, Jawa Tengah (1984) Boyolali, Jawa Tengah (1985) Daerah Istimewa Yogyakarta (1985) Mastitis (%) Subklinis Klinis 63,0 75,2 67,0 38,3 55,8 62,5 36,9 5,0 7,8 5,0 20,0 24,3 30,0 10,7 Diagnosa Mastitis Mastitis subklinis tidak memberikan tanda-tanda yang jelas dimana sapi terlihat sehat dengan nafsu makan yang baik, kecuali produksi susu berada dibawah normal, terdapat puting susu yang mengecil dan kesulitan dalam sekresi susu pada kuartir yang terinfeksi. Penetapan diagnosa mastitis subklinis dilakukan berdasarkan perhitungan sel somatik 32 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri yang terdapat di dalam air susu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, sel somatik diukur menggunakan reagen seperti Californian mastitis test, reagen IPB-1 mastitis test atau Aulendorfer mastitis probe. Balai Besar Penelitian Veteriner telah mengembangkan teknik deteksi mastitis subklinis secara tidak langsung yang merupakan modifikasi dari teknik Aulendorfer mastitis probe (AMP) yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia ( SUPAR, 1997). Prosedur AMP ini adalah: 1. Pereaksi AMP, terdiri dari 40 gram Na-doecyl hydrogen sulfate 240 gram 80 ng phenolphtalein dalam aquades 50 ml Harnstoff Urea kemudian 2. ditambah aquades sampai volume 1000 ml. Prosedur kerja: a. Masukkan 3 ml sampel susu ke dalam tabung reaksi. b. Tambahkan pereaksi AMP sebanyak 3 ml, kocok perlahan-lahan sampai rata. c. Buat garis-garis mendatar sejajar mulai skala 0 sampai 8 setinggi campuran susu tersebut dipakai untuk penilaian reaksi. 3. d. Didiamkan dalam temperatur kamar selama 24 jam. Pembacaan: - Perubahan yang terjadi di dalam tabung adalah terbentuknya suspensi gelatinous pada dasar tabung, berwarna agak putih yang naik keatas, 33 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu bagian bawah menjadi agak jernih. Intensitas materi gelatinous tersebut berupa DNA dari sel somatik yang lisis karena pengaruh deterjen pereaksi atau senyawa-senyawa protein yang sangat komplek yang diekresikan dalam susu. Materi gelatinous tersebut secara proporsional sebanding dengan intensitas peradangan kelenjar susu. Reaksi dibaca pada garis-garis sejajar yang masing-masing unit sepanjang 1 cm, sedangkan skala garis-garis tabung. sejajar diletakkan dibelakang Nilai intensitas sel radang atau sel somatik yang paling tinggi adalah 8 (hampir seluruh isi tabung tampak berisi suspensi gelatinous warna putih), dan yang terendah nilainya 1 (hampir seluruh tabung tampak jernih). Nilai uji AMP berkisar dari 1 s/d 8 yakni: nilai 1 - 2 (sehat); 3 - 5 (mastitis subklinis sedang); dan 6 - 8 ( mastitis subklinis berat). Hasil evaluasi mastitis subklinis menggunakan metode AMP dapat menentukan apakah sapi perlu diobati atau tidak, dan secara ekonomis dapat mengurangi penggunaan obat-obatan pada sapi perah, sehingga kerugian mastitis dapat ditekan. 34 peternak terhadap Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri Sementara itu SAM et al. (2011) menggunakan reagen IPB-1 mastitis test pada saat mempelajari munculnya gejala masstitis subklinis pada sapi perah di sekitar kawasan rawan bencana Merapi. Prosedur kerja mastitis test ini, sebagai berikut: sebanyak 2 ml sampel air susu diteteskan pada petri disc, kemudian ditambahkan pereaksi mastitis test IPB-1. Campuran dikocok perlahan sampai rata dan didiarnkan pada suhu kamar sampai timbulnya koagulasi pada campuran tersebut (positip = terjadi koagulasi susu; dan negatip = tidak terjadi koagulasi). Hasil evaluasi mastitis subklinis menggunakan metoda ini dapat menentukan apakah sapi perlu diobati atau tidak, sehingga secara ekonomis dapat mengurangi biaya penggunaan obat-obatan yang relatif mahal. Selain itu, identifikasi dan isolasi agen penyebab mastitis subklinis sampel lapang tersebut. dapat dilakukan terhadap Pengendalian dan pengobatan Mastitis Pengendalian mastitis diutamakan dengan meminimal- kan terjadinya infeksi silang antar puting susu yang terinfeksi ke puting susu yang sehat pada satu ternak atau antar ternak, diikuti dengan pengobatan sapi yang terinfeksi pada saat kering kandang. Pengobatan mastitis Minis sangat dianjurkan, dan pilihan antibiotik untuk kasus yang disebabkan oleh Streptococcus sp dan Staphylococcus sp yang tidak resisten adalah penisilin. Namun, sebagian 35 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu Gambar 6. Pengambilan sampel susu untuk diuji dengan reagen IPB-1 Gambar 7. Sampel susu yang mengalami perubahan warna merupakan mastitis s: bklinis Gambar 8. Prosedur pengujian mastitis subklinis Gambar 9. Hasil uji mastitis subklinis Gambar 10. Sampel susu yang menunjukkan mastitis subklinis (kanan) dan normal (kiri) 36 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri besar isolat Staphylococcus telah resisten terhadap penisilin, sehingga semi-sintetis penisilin seperti cloxacillin l ebih efektif. Pengobatan mastitis akan memberikan hasil terbaik jika dilakukan saat kering kandang. Hal ini telah dibuktikan oleh SUPAR dan ARIYANTI (2008), dimana sapi penderita mastitis subklinis yang diobati dengan cloxacillin pada saat kering kandang memiliki rataan produksi 1.615 liter selama 90 hari/ekor, sementara yang tidak mendapat perlakuan memiliki rataan produksi 1.320 liter dalam 90 hari/ekor. Tergantung dari jenis antibiotika yang digunakan, air susu setelah pemberian antibiotik agar tidak dikonsumsi, untuk itu rekomendasi withdrawal time harus diperhatikan dengan baik. Sementara itu, SAM et al. (2011) melakukan pengobatan mastitis subklinis yang teridentifikasi pada sapi perah di pemberian Pengobatan Mastilak Yogyakarta setelah erupsi gunung preparat mastitis antibiotika komersial, subklinis dilakukan Merapi Mastilak. melalui irigasi pada setiap kuartir yang menunjukkan gejala mastitis subklinis. Pemberian preparat Mastilak dilakukan sebanyak 2 kali dengan interval waktu 3 hari tergantung derajat keparahan mastitis subklinis. BRUCELLOSIS Brucellosis merupakan penyakit infeksi kronis pada sapi yang menyebabkan abortus, pedef lahir lemah atau kematian pedet, infertilitas dan penurunan produksi susu 37 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu ( ENRIGHT, 1990). Sapi pada semua umur peka terhadap brucellosis dan infeksi ini dapat berlangsung bertahun-tahun. Pada sapi betina abortus merupakan gejala klinis yang utama, umumnya terjadi pada umur kebuntingan antara 5 dan 7 bulan. Pada hewan jantan brucellosis dapat mengakibatkan infeksi pada testis (YOUNG, 1983). Selain itu brucellosis pada sapi perah banyak ditemukan di Indonesia dengan tingkat kejadian yang bervariasi. Brucellosis telah menyebar ke beberapa provinsi di I ndonesia dimana prevalensi tinggi ditemui di Indonesia Bagian Timur dan Sulawesi Selatan dan prevalensi rendah di Kalimantan dan Sumatera. Brucellosis disebabkan oleh i nfeksi kuman Brucella abortus.Brucellosis pada sapi saat ini telah menyebar di 26 provinsi di Indonesia, kecuali Bali dan Lombok yang dinyatakan bebas pada tahun 2002 ( DITJENNAK, 1981). Prevalensi brucellosis pada sapi perah sangat !)ervariasi dari 1 % hingga 40% (SUDIBYO dan RONOHA, :DJO, 1989; SUDIBYO et al., 1991; SUDIBYO et al., 1997). Penulara i BruCE Ilosis bakterimia pada sapi bersifat kronis dengan fase yang subklinis. Predeleksi bakteri tersebut terutama pada uterus sapi betina. Penularan penyakit biasanya terjadi melalui makanan atau saluran pencernaan, selaput lendir mata (PLOMET dan PLOMET, 1988), kulit yang l uka, 38 ambing, inseminasi buatan dengan semen yang Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri tercemar dan placenta (BLOOD dan HANDERSON, 1979). Sapi dewasa dan terutama sapi yang sedang bunting sangat peka terhadap infeksi B. abortus, sedangkan pada dara dan sapi tidak bunting banyak yang resisten terhadap infeksi (EDINGTON dan DONHAM, 1939). Penularan melalui inhalasi juga dilaporkan terutama ketika ternak sehat dan ternak yang mengalami abortus ditempatkan dalam satu kandang yang padat dengan sanitasi buruk (ALTON, 1984). Kuman B. abortus dalam jumlah besar dapat dikeluarkan oleh sapi perah yang terinfeksi dan mengalami abortus. Selain itu jugs secara intermiten dapat mengeluarkan kuman ke dalam colostrum dan susu. Feces, urine dan cairan hygroma juga berperan sebagai sumber penularan penyakit. Leleran dari organ genitalia akan terus mengandung kuman B. abortus dalam jumlah besar dalam beberapa minggu setelah parturisi normal atau setelah mengalami abortus. Sapi jantan dapat terinfeksi brucellosis jika terjadi abortus dalam peternakan tersebut. Sekali terinfeksi, maka kuman akan berlokasi di testis dan akan diekskresikan dalam jumlah besar melalui semen pada fase akut. Sapi jantan yang terinfeksi juga dapat mengekresikan kuman melalui feces, urin dan cairan hygroma. Kuman Bruce/la dapat diekskresikan dalam semen sehingga perkawinan alam dari sapi jantan yang terinfeksi dapat menularkan penyakit pada betina pasangannya, i nseminasi begitu juga perkawinan dengan buatan dengan menggunakan semen yang 39 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu terkontaminasi . Brucella. Ternak yang terinfeksi Brucella dapat bertindak sebagai karier (reservoir) penularan ke ternak sehat lainnya melalui plasenta dari janin yang gugur, kotoran sapi, air, pakan dan peralatan kandang yan terinfeksi. Lalu-Iintas perdagangan sapi juga berperanan dalam penyebaran penyakit tersebut. Gejala klinis Masa inkubasi kuman setelah infeksi pada sapi bervariasi dari 15 hari sampai beberapa bulan tergantung pada jalan masuknya infeksi dan banyaknya kuman yang menginfeksi. Gejala klinis utama brucellosis pada sapi betina adalah terjadinya abortus pada kebuntingan trimester akhir (5 - 7 bulan). GEERING et al. (1995) melaporkan bahwa 30 - 80% abortus terjadi pada sapi-sapi yang peka dan beberapa kasus endometritis dan retensi plasenta juga dilaporkan. Sapi yang terinfeksi dapat melahirkan pedet yang lemah atau kematian pedet, retensi plasenta dan penurunan produksi susu. Sapi yang terinfeksi brucellosis dalam waktu l ama dapat mengakibatkan infertilitas sampai dengan sterilitas, sedangkan pada sapi jantan, brucellosis dapat menyebabkan orchitis dan epididimitis. Diagnosis Diagnosis brucellosis pada sapi berdasarkan pemeriksaan bakteriologi dan serologi. Kuman B. abortus dapat diisolasi dari plasenta, tetapi untuk mendapatkan 40 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri kultur yang murni idsola dari lambung dan paru-paru fetus abortus. Selain itu dapat pula dilakukan kultur dari beberapa sistem reticuloendothelial, khususnya supramammary lymph nodes, dan dan kelenjar susu. Ketepatan diagnosis brucellosis secara serologis merupakan faktor yang sangat penting untuk mencapai keberhasilan program pengendalian dan pemberantasan brucellosis. Serum agglutinasi test digunakan sebagai metode diagnosis standar. Uji agglutinasi dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi dalam susu, semen, dan plasma. Teknik ELISA juga telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi dalam susu dan serum. Jika menggunakan uji serum agglutinasi maka agglutinasi serum yang terjadi pada pengenceran 1:100 atau lebih dari sapi yang tidak divaksinasi dan pengenceran 1:200 pada sapi yang divaksinasi pada umur 4 dan 12 bulan dianggap sebagai positip dan sapi dinyatakan sebagai reaktor. Pengamatan kasus brucellosis pada kelompok sapi perah dapat ditentukan dengan cara pengambilan contoh secara bertingkat. Diagnosis awal dilakukan dengan uji penyaringan yaitu uji milk ring test (MRT) (Gambar 12) pada contoh air susu (bulk). Uji MRT ini digunakan untuk deteksi awal atau skrening infeksi brucella pada sekelompok sapi perah biasanya dilakukan pada sampel susu bulk. Apabila hasil uji MRT pada susu positip selanjutnya diagnosis diperkuat pengambilan contoh secara darah serologis dari yaitu i ndividu sapi dengan pada 41 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu sekelompok tersangka untuk diuji dengan Rose Bengal Plate Test (RBPT). Serum yang bereaksi positip RBPT dilanjutkan dengan uji pengikatan komplemen atau Complement Fixation Test ( CFT) sebagai uji penentu diagnosis. Pengendalian Brucellosis pada sapi sulit diobati karena kuman bersifat i ntraseluler sehingga pengobatan tidak efektif. Beberapa jenis antibiotik dikembangkan untuk pengobatan brucellosis pada sapi untuk eliminasi kuman Brucella sp dari sapi yang terinfeksi, yaitu long acting oxytetracyclin dan streptomycin yang diberikan secara intramuskular dan infus secara i ntramamary yang dilakukan dalam waktu 6 minggu ( RADWAN et al., 1993). Pengendalian brucellosis pada sapi di I ndonesia dilakukan sesuai dengan lokasi dan prevalensi penyakit ini. Untuk daerah dengan prevalensi tinggi dilakukan melalui program vaksinasi dan kontrol pergerakan penyakit secara ketat, sedangkan pada daerah dengan prevalensi rendah dilakukan test and slaughter (potong bersyarat). Pemerintah saat ini sedang mengimplementasikan program eradikasi brucellosis secara gradual melalui pendekatan pulau ke pulau. Mulai tahun 2005, program pengendalian brucellosis pada sapi perah diprioritaskan pada sapi perah di Pulau Jawa melalui program vaksinasi di daerah tertular dan pengujian untuk menentukan reaktor. 42 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri Gambar 12. Susu positif MRT ditandai dengan adanya cincin berwarna biru pada permukaan susu Menurut ALTON et al. (1988), pengendalian brucellosis pada sapi dapat dilakukan dengan program vaksinasi dan potong bersyarat. Vaksin yang biasa digunakan adalah vaksin aktif B. abortus S19 ( NICOLETTI, 1990) hanya saja vaksin tersebut dilaporkan mempunyai beberapa kelemahan yaitu keguguran pada sapi bunting yang divaksin (NICOLETTI, 1977), i nfeksi permanen ( CORNER et al., 1987) dan adanya residu antibodi yang berkepanjangan sehingga mengacaukan diagnosis pada saat potong bersyarat ( MORGAN, 1977). Vaksin brucellosis yang telah digunakan dalam pengendalian brucellosis di banyak negara adalah vaksin aktif S19 yang dibuat dari strain B. abortus halus/smooth. Pemakaian vaksin B. abortus S19 dalam pengendalian penyakit adalah banyaknya false positive (positip palsu) pada sapi yang divaksinasi. Istilah "false positive" ini adalah secara serologis pada pemeriksaan l aboratorium positif tetapi hewan tidak menunjukkan sakit. 43 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu Sapi yang divaksinasi Brucella strain 19 mungkin akan menunjukkan hasil "false positives" apabila vaksin diberikan pada sapi setelah dewasa kelamin (biasanya lebih dari 10 bulan), atau karena divaksinasi 2 kali (BUNDLE et al., 1987). Vaksin B. abortus S19, Iipopolisachharida (LPS) mengandung komponen perosamin rantai 0 (BUNDLE et al., 1987). Perosamine rantai 0 merupakan antigen paling dominan yang terdeteksi pada hewan maupun manusia yang terinfeksi. Aglutinasi antibodi yang dideteksi dengan uji serologi standar brucellosis adalah spesifik untuk perosamine O-chain (DiAz et al., 1968). Kuatnya respon kekebalan humoral yang timbul dengan adanya O-chain i nilah yang mengakibatkan adanya masalah untuk diagnosis serologi karena mengakibatkan Fesidu antibodi yang berkepanjangan sehingga menyulitkan uji serologi antara sapi yang divaksin dengan sapi yang terinfeksi secara alami. PENYAKIT METABOLIK Penyakit metabolik (gangguan metabolisme) merupakan salah satu penyakit yang sering ditemukan pada sapi perah selama periode awal laktasi terutama pada saat produksi susu tertinggi. Penyakit ini disebabkan karena proses metabolisme yang sangat berlebihan sehingga terjadi ketidakseimbangan antara input (asupan) pakan terhadap output (sekresi) untuk menjaga proses kebuntingan dan laktasi (BLOWEY, 1988; PAYNE, 1989). Sindroma penyakit ini 44 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri meliputi: (a) milk fever (parturient -hypocalcaemia), (b) hypomagnesaemia (grass tetany), (c) ketosis (acetonaemia) dan (d) fatty liver syndrome (sindroma perlemakan hati). Umumnya, penyakit metabolik didefinisikan sebagai gangguan keseimbangan homeostasis internal yang disebabkan karena terjadinya perubahan abnormal dalam proses metabolisme. Oleh karena itu, metabolit utama yang berperan dalam penyakit ini adalah kalsium, magnesium dan glukosa yang secara klinis ditandai dengan milk fever, grass tetany, asetonaemia dan ketosis. Sedangkan sistem metabolisme lainnya seperti air, mineral dan mikro-mineral, elektrolit, protein dan energi mengalami ketidakseimbangan sehingga menimbulkan keragaman dalam gejala klinis penyakit ini. Milk Fever (Parturient Hypocalcemia) Penyebab penyakit Milk fever secara teknis disebut sebagai parturient hypocalcemia atau parturient paresis yang berarti penurunan kadar kalsium darah pada saat melahirkan. Penyakit ini biasanya disertai dengan penurunan suhu tubuh menjadi subnormal. Kejadian penyakit berlangsung secara akut yang diikuti dengan penurunan kadar kalsium darah (hipokalsemia) secara cepat dari normal (9,5 mg/dl) menjadi <_ 5 mg/dl. Gejala paresis muncul seiring dengan penurunan kadar kalsium darah dan diikuti dengan comatose (pingsan). 45 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu Umumnya penyakit ini muncul dalam 3 hari setelah melahirkan. Kegagalan homeostasis kalsium pada awal laktasi merupakan penyebab utama milk fever. Kebutuhan yang mendadak terhadap kalsium untuk sintesis kolostrum di dalam kelenjar ambing yang berlaktasi merupakan faktor penyebab kegagalan homeostasis kalsium. Perubahan pola pemberian pakan dan proses pencernaan pada saat melahirkan akan mengganggu keseimbangan metabolisme mineral di dalam tubuh. Foetus menyerap kalsium dari plasenta sebesar 0,2 g/jam dan akan berhenti pada saat lahir, tetapi kebutuhan kalsium tersebut akan terus meningkat dengan berlangsungnya proses laktasi sebesar 1 g Ca/jam. Pada sapi dengan produksi susu yang tinggi dapat mencapai 2 g Ca/jam. Sapi umumnya akan beradaptasi dengan cara mengatur kecepatan aliran masuk (inflow) dan keluar (outflow) dari kalsium, tetapi proses adaptasi ini berlangsung tidak sempurna karena adanya hypokalsemia sementara (transient) sebagai penyebab turunnya kalsium normal dari 9,5 mg/dl menjadi 7,0 mg/dl, terutama pada sapi yang lebih tua pada saat kelahiran ketiga dan berikutnya. Keparahan hypokalsemia hanya bergantung pada output (keluarnya) kalsium melalui susu pada hari pertarna laktasi. Akan tetapi, hal terpenting adalah beberapa sapi dapat menderita hypokalsemia yang lebih parah dibanding sapi lainnya 46 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri bahkan dengan tingkat produksi susu yang sama. Tingkat kritis kalsium plasma adalah 6,5 mg/dl, karena kadar kalsium pada hypokalsemia ini terlihat tidak sabanding dengan motilitas saluran pencernaan. Kondisi stasis pada saluran pencernaan akan menghambat pasokan kalsium dari pakan dan sapi akan segera mengalami hypokalsemia yang parah, menurun sekitar 4,5 mg/dl, dimana gejala klinis mulai terlihat. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya gejala klinis milk fever pada sapi perah, antara lain (PAYNE, 1989): 1. Tingkat produksi susu: Tingkat produksi susu yang sangat tinggi sering mengalami parturient hypocalcaemia. 2. Umur: Bertambahnya umur seekor hewan akan menurunkan tingkat metabolisme umum. Sapi yang lebih tua akan mengalami penurunan pergantian mineral tulang dan begitu pula kapasitas penyerapan kalsium oleh l ambung. Sapi yang lebih tua menghadapi resiko tinggi terhadap parturient hypcalcaemia. 3. Asupan (intake) diet kalsium sebelum kelahiran: Sapi yang mendapatkan diet kalsium yang berlebihan akan l ebih peka dibanding yang menerima diet kalsium yang rendah. 4. Stasis saluran pencernaan: Proses laktasi pada sapi perah bergantung pada kondisi fungsional saluran 47 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu pencernaan dan bila terjadi menimbulkan hypocalcaemia klinis. gangguan dapat 5. Keseimbangan diet: Keseimbangan diet merupakan faktor predisposisi parturient hypocalcaemia, sebagai contohnya status "asam" atau "basa" (pH) dari total diet. Gejala klinis Rendahnya kadar kalsium darah dapat men+mbulkan hipersensitivitas pada membran syaraf serta otot dan kemudian terjadi hipereksibilitas dan grass tetany. Namun, pada stadium akhir milk fever akan terjadi paralisis otot bukan tetany. Sapi perah yang menderita milk fever umumnya melalui 3 stadium yaitu: 1. Stadium pertama mungkin tidak terlihat karena penyakit berlangsung dengan cepat. 2. Stadium kedua ditandai dengan berbaring pada sternal (sternal recumbency). 3. Stadium ketiga melibatkan kolaps dan koma. Pengobatan dan pencegahan Pengobatan Milk Fever diarahkan kepada mengembalikan kadar kalsium darah pada kondisi normal tanpa penundaan serta mencegah terjadinya kerusakan otot dan syaraf akibat hewan berbaring terlalu lama. Keberhasilan pengobatan tergantung pada serveilan yang dilakukan 48 secara terus menerus khususnya terhadap Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri stadium awal penyakit. Kalsium boroglukonat adalah obat standar untuk milk fever yang diberikan melalui injeksi secara intravenous sebanyak 25% larutan. Strategi pencegahan penyakit bergantung pada kondisi peternakan (tingkat kejadian penyakit), musim pada saat calving dan kondisi hijauan pakan ternak. Kasus penyakit milk fever biasanya tinggi pada kelahiran musim hujan (basah) dan hijauan pakan ternak yang basah. Hal tersebut disebabkan karena (a) rumput mengandung kalsium yang rendah, (b) rumput mengandung magnesium yang rendah, dan (c) selama kelahiran biasanya terjadi periode stasis l ambung dan hal ini akan menurunkan kemampuan sapi mengabsorbsi kalsium. Grass Tetany (Hypomagnesemia) Grass tetany disebut juga hypomagnesaemia akut, hypomagnesaemia tetany, I aktasi tetany dan grass staggers. Penyakit ini bersifat fatal pada ruminansia yang berlangsung secara cepat tanpa gejala klinis sebelum kematian hewan pada lokasi dimana ditemukan terjatuh. Grass tetany sering dijumpai pada hewan yang digembalakan di lapang dimana sapi yang sedang laktasi paling peka terhadap penyakit ini. Gambaran hypomagnesemia diagnostik dimana penyakit terjadi i ni penurunan adalah kadar magnesium di dalam darah dari tingkat normal 2,5 mg/dl menjadi <_ 0,5 mg/dl. Perawatan hewan perlu dilakukan bila mendapatkan hasil analisis darah yang mengindikasikan 49 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu terjadi penurunan kadar magnesium darah. Sapi yang mengalami hypomagnesemia umumnya memperlihatkan gejala klinis dalam waktu bersamaan dengan hypokalsemia, dimana hal ini penting dalam mendiagnosa penyakit karena munculnya gejala tetany dilaporkan diakibatkan penurunan kadar kalsium dalam darah secara mendadak. Penyebab penyakit Grass tetany disebabkan karena menurunnya (defisiensi) kadar magnesium dalam darah sapi yang digembalakan di l apangan. Sapi yang dikandangkan dan diberi ransum konsentrat serta rumput kering jarang mengalami grass tetany. Masa laktasi dapat meningkatkan kebutuhan magnesium sehingga sapi laktasi menjadi beresiko untuk mengalami grass tetany. Masalah utama adalah tidak cukupnya asupan magnesium dari pakan yang disertai dengan beberapa faktor lainnya dimana terbatasnya penyerapan magnesium dari usus. Secara umum, beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada penyakit grass tetany i ni, antara lain: 1. Rumput muda mengandung magnesium yang lebih rendah dibandingkan dengan rumput tua atau kering. 2. Rumput dengan daun tunggal dan ramping mengandung magnesium lebih rendah daripada rumput dengan daun j amak (multiple) dan lebar. 3. Pemupukan rumput dengan nitrogen dan kalium dapat menghambat penyerapan magnesium oleh tanaman dan 50 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri juga mencegah penyerapan magnesium oleh mukosa usus. 4. Diet kalsium yang berlebihan dapat menghambat absorbsi magnesium, dan oleh sebab itu pengapuran l ahan rumput dapat meningkatkan potensi tetany pada sapi yang digembalakan. 5. Pakan yang mengandung protein tinggi penyerapan magnesium, yang meningkatkan kadungan amonia dalam rumen dapat menghambat dimana disebabkan terjadinya presipitasi magnesium amonium forsfat. 6. Beberapa jenis pengikat mineral (magnesium) terdapat di dalam saluran pencernaan hewan, ketobutirat atau asam transakonitat. seperti asam Gejala klinis Kejadian penyakit ini berlangsung secara akut (sangat cepat) dimana sapi terlihat menderita sangat parah sekali atau mati tanpa gejala klinis. Sapi umumnya dijumpai mati di tempat dimana hewan mengalami kolaps dengan gejala tetany. Sapi terlihat berlari-lari secara liar dan kemudian j atuh dengan gejala konvulsi. Bila kesembuhan sementara terjadi dapat diikuti dengan konvulsi yang lebih parah kemudian kematian. Gejala akut Iainnya yang mungkin terlihat adalah hyperthermia, kontraksi otot yang parah berkaitan dengan tetany serta detak jantung yang tidak teratur dan berbunyi. Pada kasus kronik, sapi akan 51 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu mengalami hipersensitif. Sapi akan terlihat galak serta sulit untuk dipegang dan gejala ini akan berlangsung untuk beberapa hari sampai memasuki stadium konvulsi. Pengobatan dan pencegahan Pengobatan sangat diperlukan untuk diberikan segera pada hewan yang diduga menderita grass tetany Cegah sapi perah dari timbulnya spasmus dan tetany (kekejangan) dengan memberikan terapi magnesium. Segera berikan l arutan magnesium sulfat 25% sebanyak 400 ml secara oral. Larutan ini dapat pula diberikan secara subkutaneus bila hewan dapat dipegang atau diikat, dan hindari pemberian secara intravenus karena dapat mempercepat timbulnya serangan jantung yang bersifat fatal. Pada saat yang sama, terutama bila terlihat gejala spasmus, dapat diberikan sedativa untuk menenangkan hewan dan mengurangi resiko serangan jantung, kemudian diberikan kombinasi preparat magnesium dan garam kalsium secara perlahan melalui i ntravena. Pencegahan diarahkan untuk meningkatkan intake magnesium. Strategi pencegahan penyakit umumnya dilakukan dengan memberikan suplemen magnesium pada masa-masa kritis seperti pada musim penggembalaan pada rumput yang basah. 52 hujan dan Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri Asetonemia ( Ketosis) Asetonemia juga disebut ketosis atau hypoglisemia ketosis yang sering ditemukan pada sapi perah pada masa awal Iaktasi. Ketosis disebabkan karena ketidak seimbangan antara input dan output energi metabolisme. Penyakit ini merupakan gangguan metabolisme yang terjadi pada awal laktasi dan berkaitan erat dengan hypoglisemia, ketonaemia, ketonuria, hilang nafsu makan, kehilangan berat badan dan i nkoordinasi ( BLOWEY, 1988). Gejala neural dapat timbul pada beberapa sapi perah berupa lethargy dan kekejangan. Penyebab penyakit Mekanisme asetonemia diawali dengan gangguan metabolisme karbohidrat untuk menghasilkan energi. Pakan yang mengandung karbohidrat tinggi dipecah oleh mikro- organisme rumen menjadi asam propionat dan kemudian dibawa ke dalam hati untuk digunakan menghasilkan glukosa. Sapi pada masa awal laktasi umumnya tidak mampu mengkonsumsi cukup energi dari diet pakannya untuk mencukupi kebutuhan energi dalam menghasilkan susu, oleh karena itu, tubuh mendapatkan energi dari cadangan lemak. Lemak dipecah menjadi asam lemak kemudian melalui aliran darah dibawa ke jaringan hati. Gejala klinis Gejala awal dari asetonemia adalah penurunan produksi susu dan bau aseton dari pernapasan, susu dan urin sapi 53 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu penderita. Selanjutnya sapi tidak mau mengkonsumsi konsentrat meskipun tetap mengkonsumsi rumput kering atau silase. Bulu terlihat kusam dan sapi mengalami lethargy yang diikuti dengan berhentinya ruminasi dan penurunan produksi susu secara drastis. Aseton dapat pula mempengaruhi otak dimana sapi menjadi liar, keluar busa dari mulut, menjilati berbagai benda disekitarnya dan berdiri dengan menjulurkan kepala ke atas. Pengobatan dan pencegahan Pengobatan penyakit dapat dilakukan tahapan pengobatan yaitu: melalui tiga 1. Penyuntikan obat untuk meningkatkan kadar glukosa darah dan mempercepat metabolisme hati. Obat yang digunakan umumnya anabolik steroid atau kelompok glukokortikoid. 2. Obat yang diberikan secara oral untuk meningkatkan kadar gula darah dan memperbaiki metabolisme seperti sodium propionat dan gliserol. 3. Perawatan individual secara terpisah pada hewan yang sakit dengan memberikan pakan khusus seperti molases. Pencegahan penyakit diarahkan untuk tetap menjaga pemberian diet pakan yang benar. Ransum harus mengandung energi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dalam masa produksi. Tahapan pencegahan penyakit yang dapat dilakukan, antara lain: 54 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri 1. Hindari kelebihan lemak pada masa akhir laktasi dan selama periode kering kandang. 2. Tingkatkan intake pakan secara bertahap untuk laktasi. 3. Tingkatkan konsentrat bertahap sesuai tingkat produksi susu. 4. Gunakan rasio konsentrat yang seimbang mengandung tidak lebih dari 16 - 18% protein. 5. Setelah masa puncak laktasi, karbohidrat yang rnudah tercerna dapat diganti secara bertahap dengan pakan yang lebih murah. 6. Jaga palatibilitas hijauan pakan ternak. METABOLIK ASIDOSIS (BLOAT/TYMPANY) Metabolik asidosis pada sapi perah umumnya disebabkan karena intake berlebihan dari karbohidrat mudah terfermentasi. Fermentasi karbohidrat berlangsung di dalam rumen untuk menghasilkan asam laktat dimana terjadi perubahan keasaman di dalam rumen secara mendadak sehingga hewan kehilangan nafsu makan dan indigesti serta asidosis sistemik. Karbohidrat difermentasi di dalam rumen akan menghasilkan campuran asam lemak terbang, asetat, propionat dan butirat. Asam laktat juga dapat dihasilkan di dalam tubuh, tetapi dalam jumlah yang kecil dan sementara (SEAWRIGHT, 1989). Kelebihan asam laktat kadang-kadang dapat terakumulasi yang menyebabkan korosi pada dinding rumen, nekrosis sel epitel dan menimbulkan asidosis 55 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu metabolik. Asidosis dapat berlangsung secara akut maupun kronik. Bentuk akut terjadi karena mengkonsumsi karbohidrat atau grain dalam jumlah yang berlebihan. Bentuk kronik sering trjadi pada sapi penggemukan karena diberi diet yang tidak seimbang mengandung minimal (tidak mudah tercerna) rumput yang diikuti dengan pakan konsentrat tinggi. Penyebab penyakit Penyebab asidosis adalah mengkonsumsi karbohidrat tinggi. Toksisitasnya bergantung pada kecepatan proses fermentasi, dimana pakan yang digiling halus cenderung l ebih berbahaya dibanding whole grain. Penyebab utama asidosis adalah akumulasi asam laktat secara berlebihan di dalam rumen. Gejala klinis Keparahan penyakit bergantung pada jumlah pakan yang mudah terfermentasi dikonsumsi oleh hewan. Gejala klinis utama yang terlihat adalah pembesaran rumen dan spasmus abdominal serta hewan berhenti melakukan ruminasi. Dalam kurun waktu 24 jam, sapi penderita akan mengalami stagger dan kolaps. Hewan kelihatan mabuk, buta asimetris dengan denyut jantung tinggi, dan selanjutnya hewan mengalami anoreksi, depresi dan dehidrasi. 56 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri Pengobatan dan pencegahan Pengobatan asidosis bergantung pada bentuk asidosisnya apakah asidosis ruminal atau sistemik. Namun demikian tindakan pertama dalam pengobatan asidosis ini adalah mengurangi tekanan yang disebabkan akibat pembentukan gas (bloat) sebelum terjadi kegagalan jantung. Berikan obat-obatan bloat secara intraruminal seperti larutan magnesium oksida untuk mendispersi gas di dalam rumen. Dalam hal ini dapat diberikan cairan minyak seperti minyak kelapa dan minyak sayuran sebanyak 500 ml. Pada kasus bloat parah, perlu dilakukan trokar untuk mengeluarkan gas rumen. Trokar dan kanula dimasukan ke dalam rumen pada sisi kiri hewan, 5 cm di belakang tulang iga terakhir dan 15 cm di bawah tulang spinus. Teknik alternatif lain untuk mengeluarkan gas rumen dapat - dilakukan dengan menggunakan sonde lambung. Untuk asidosis sistemik dapat diobati dengan menggunakan infusi cairan isotonik (1,3%) sodium bikarbonat yang diinjeksikan secara i ntravena. Bila hewan juga mengalami kelumpuhan akibat paresis atau hypokalsemia, maka kalsium boroglukonat dapat diberikan untuk penyembuhannya. Pencegahan diarahkan untuk mencegah terjadi pembesaran rumen (bloat). Sapi dapat diberikan diet bijibijian secara bertahap. Kandungan rumput kering dalam ransum perlu dijaga keseimbangannya dengan baik untuk mencegah terjadinya pembesaran rumen. Larutan 57 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu penyangga (buffer) dapat dicampurkan ke dalam diet seperti sodium bikarbonat, dimana antibiotik dapat pertumbuhan bakteria penghasil asam laktat. menekan KERACUNAN Keracunan pada sapi perah bergantung pada kualitas pakan dan konsentrat yang diberikan. Seiring dengan pola peternakan sapi di Indonesia yang menerapkan sistem pengandangan ternak dan cut and carry, hijauan pakan ternak menjadi sumber utama timbulnya keracunan pada sapi perah. Umumnya kasus keracunan yang sering dijumpai pada sapi perah terdiri dari keracunan nitrat-nitrit, mineral, logam berat dan tanaman beracun. Keracunan pada sapi perah umumnya menimbulkan gejala klinis yang sama yaitu kekusaman, kehilangan nafsu makan, rasa sakit pada abdominal dan beberapa diantaranya dapat menimbulkan gejala syaraf, dilakukan. sehingga diagnosa penyakit akan sulit Konfirmasi penyebab keracunan umumnya dilakukan dengan uji laboratorium secara kimiawi. Selain itu, pengobatan untuk keracunan juga mengalami kesulitan kecuali mengurangi atau menghilangkan gejala klinis yang ditimbulkan. Fluorosis Fluorosis adalah keracunan kronik yang umumnya disebabkan karena mengkonsumsi sejumlah kecil fluorine 58 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri dari diet pakan atau air minum. Fluorin berasal dari kegiatan i ndustri yang dapat mengkontaminasi rumput di sekitar pabrik. Secara alamiah fluorin banyak terdapat di dalam batu atau cadas dan sering dikaitkan dengan fosfat sehingga tanah dan sumber air dapat mengandung fluorin dalam jumlah yang besar bahkan sampai 8,7 ppm di dalam sumber air ( SEAWRIGHT, 1989). Kontaminasi rumput oleh fluorida dari proses industri atau pemberian kapur fosfat pada lahan dilaporkan dapat menimbulkan fluorosis pada sapi bila mengkonsumsi rumput dari lahan tersebut. Salah satu gejalanya adalah kelumpuhan yang mungkin disebabkan karena adanya fraktura tulang pada kaki hewan atau adanya eksostosis (penonjolan) pada persendian tulang kaki. Abnormalitas pada gigi dapat pula terjadi pada keracunan fluorin terutama pada hewan muda berupa keretakan dan terkelupasnya email gigi sapi. Fluorosis pada sapi perah berlangsung secara kronik akibat mengkonsumsi diet pakan dan air minum yang terkontaminasi fluorine. Fluorin dapat dijumpai pada batubatuan yang sering dihubungkan dengan fosfat, sehingga tanah dan air disekitarnya terkontamonasi fluorin. Pengapuran lahan tanam untuk rumput dengan kapur fosfat merupak penyebab umum dari fluorosis dan jumlah yang l ebih besar dapat tertelan oleh sapi bila pakan ternak disuplementasi dengan batuan fosfat yang murah. Polusi 59 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu oleh asap dan debu dari industri dapat mengkontaminasi rumput, lahan dan air disekitar pabrik tersebut. Pengobatan dan pencegahan Pengobatan mengeluarkan hanya hewan dapat dari dilakukan padang rumput dengan yang terkontaminasi atau tidak memberikan rumput tercemar, kemudian dapat diberikan vitamiun A dan D agar fluorin diekskresikan secara perlahan. Garam kalsium dapat diberikan secara intravena untuk menggantikan kalsium terpresipitasi di dalam serum. Pemberian kalsium dan fosfat dalam jumlah yang cukup dapat membantu penyimpanan fluorin di dalam tulang. Tembaga (Cu) Senyawa cuprum (Cu) digunakan secara luas dalam kegiatan pertanian dan veteriner sebagai fungisida, bakterisida, moluskisida dan antelhementika dan menjadi sumber keracunan pada hewan setiap saat. Tembaga merupakan elemen esensial untuk kesehatan dan keracunan pada hewan merupakan akibat pengobatan terhadap defisiensi tembaga melalui suplementasi cuprum secara berlebihan (SEAWRIGHT, 1989). Keracunan tembaga dapat disebabkan karena mengkonsumsi garam tembaga secara berlebih melalu pakan yang terkontaminasi. Tanaman dapat terkontaminasi 60 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri oleh penyemprotan fungisida dan air mungkin mengandung tembaga akibat parasitisida atau pada saat tindakan eradikasi siput berlangsung. Rumput dapat j uga mengandung tembaga berlebihan setelah pemupukan dengan garam tembaga untuk memperbaiki defisiensi cuprum. Pada kawasan industri, polusi oleh cuprum memungkinkan untuk terjadi. Gejala klinis Garam tembaga merupakan koagulan protein maka konsumsi garam tembaga ini secara berlebihan akan mengakibatkan iritasi pada mukosa saluran pencernaan. Maka gastroenteritis parah yang diikuti dengan nyeri abdominal dan diare parah merupakan gejala klinis yang l angsung terlihat. Selanjutnya hewan akan mengalami shock parah diikuti dengan penurunan suhu tubuh dan peningkatan denyut jantung. Kolaps dan kematian dapat terjadi dalam 24 j am setelah gejala klinis pertama terlihat. Pada anak sapi yang mampu bertahan hidup akan terlihat hemoglobinuria dan hemoragi masif, gangguan fungsi saluran pencernaan, dan jaundice disebabkan secara karena haemoglobinuria. mendadak. anemia Met hemoglobin akut Kematian dan ternak nephrosis sering terdeteksi dan packed cell volume (PCV) mangalami penurunan dari 40% menjadi 10% dalam 48 jam (SEAWRIGHT, 1989). 61 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu Pengobatan dan pencegahan Pengobatan pada kasus keracunan akut dianjurkan untuk memberikan sedativa gastrointestinal dan pengobatan simptomatik. Ternak yang mengalami keracunan akut dapat diobati dengan penyerapan molybdenum sulfat untuk cuprum dari saluran membatasi pencernaan dan merangsang mobilisasi dari hati dan ekskresi melalui urin. Pemberian 50 - 500 mg amonium molybdat dan 0,3 - 1 g sodium sulfat setiap hari secara oral selama 3 minggu dianjurkan untuk mencegah terjadinya fase akut penyakit ini. Selenium (Se) Keracunan selenium (Se) sering terjadi pada daerah dengan kadar Se tinggi di dalam tanah, dimana tanaman yang terdapat di atas tanah tersebut memiliki kemampuan menyerap (akumulator) Se dari tanah atau terjadi pemberian Se secara berlebihan (Seawright, 1989). Hewan yang terintoksikasi mengalami kebutaan dan menunjukkan gejala syaraf seperti menundukan kepala, emasiasi, lumpuh dan rontok bulu. Gejala klinis Kasus keracunan Se akut memperlihatkan gejala sulit bernapas, diare encer, demam dari tacchycardia. Sering pula dijumpai gerakan dan postur abnormal dan diikuti dengan kematian 62 mendadak. Nekropsi memperlihatkan Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional lndustri pembendungan dan nekrosis hati serta pembendungan pada medulla ginjal, ulserasi pada rumen dan kerusakan jaringan yang luas pada hati, paru-paru dan myocardium. Pada keracunan Se kronik terdapat dua bentuk gejala keracunan, yaitu: 1) "blind stagger" yang memperlihatkan gejala syaraf seperti langkah kaku, kebutaan, paralisis dan mati akibat kegagalan pernapasan dan 2) "ill-thrift" yang menunjukkan gejala kekusaman bulu, emasiasi, Wit keras dan rontok bulu serta tidak aktif. Pada kondisi ini sering juga dijumpai abnormalitas tapak kaki dan kepincangan biasanya bersifat parah. Nekropsi terlihat atrophy dan dilatasi jantung, nekrosis hati dan glomerulonephritis. Pengobatan dan pencegahan Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian diet protein tinggi dan pemberian preparat tembaga secara oral. Pencegahan dilakukan dengan menghindari pemberian hijauan yang mengandung selenium tinggi (akumulator) dan berhati-hati dalam penyuntikan preparat selenium dalam mengatasi defisiensi selenium pada ternak. Cobalt (CO) Cobalt (Co) adalah komponen penting dari vitamin B12 yang disintesa oleh bakteria di dalam rumen. Vitamin B12 dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mencerna selulosa. Kelebihan vitamin ini akan diabsorbsi oleh sapi dan berperan 63 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu penting dalam metabolisme energi. Perubahan pada defisiensi cobalt menyebabkan ketidak mampuan hewan untuk memanfaatkan energi pada diet pakannya sehingga sindrom penyakit ini disebut juga sebagai "pine". Sapi perah dilaporkan dapat mengalami penurunan produksi susu dan i nfertilitas (SEAWRIGHT, 1989). Penyebab penyakit Penyakit ini dapat disebabkan karena tanah tempat tumbuhnya rumput atau hijauan pakan ternak mengalami defisiensi Co, sehingga tanaman tersebut juga akan mengalami defisiensi Co. Gejala klinis Gejala klinis untuk defisiensi Co tidak begitu nyata seperti defisiensi mineral lainnya. Gejala yang umum terlihat adalah penurunan nafsu makan, kehilangan bobot badan, pica dan diare. Hewan penderita sering pula menunjukkan gejala anemia dan hypoglysemia. Pengobatan dan pencegahan Pengobatan dan pencegahan defisiensi Co dapat dilakukan dengan memberikan suplementasi cobalt secara oral kemudian diikuti dengan penyuntikan vitamin B 12 secara parenteral. Preparat Co direkomendasikan ke dalam diet sapi sebesar 0,07 mg/kg bahan keying. 64 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri Nitrat - Nitrit Nitrat di dalam rumen akan diubah menjadi nitrit. Senyawa ini diabsorbsi dari saluran pencernaan untuk dialirkan melalui darah dimana akan berikatan dengan hemoglobin Keracunan sehingga nitrat-nitrit mencegah merupakan masuknya masalah oksigen. dalam peternakan ruminansia yang disebabkan karena konsumsi urea secara berlebihan dan mendadak. Kondisi yang sama juga sering terjadi pada saat ternak mendapatkan pakan hijauan yang segar dengan kandungan protein terlarut yang tinggi sehingga dapat difermentasi dengan cepat. Masalah lain yang berkaitan dengan keracunan nitrat adalah bila ternak digembalakan atau diberi rumput yang diberi pupuk dengan kandungan nitrat tinggi, terutama pada saat musim kering. Penyebab penyakit Biji-bijian umumnya mengandung nitrat dalam jumlah yang toksik, terutama setelah dilakukan pemupukan lahan dengan menggunakan senyawa nitrogenus. Beberapa tanaman tertentu dapat mengandung nitrat dalam jumlah yang lebih besar terutama tanaman muda, gandum dan j erami. Beberapa tanaman lainnya dapat mengakumulasi nitrat dalam jumlah yang berbahaya bagi kesehatan ternak seperti rumput Urochloa panicoides. Sementara itu air sumur 65 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu yang dalam dilaporkan dapat mengandung nitrat hingga 1.700 - 3.000 ppm (SEAWRIGHT, 1989). Gejala klinis Gejala klinis - utama dari keracunan nitrat adalah dyspnoea diikuti dengan pernapasan yang cepat akibat anoxia. Anoxia disebabkan karena pembentukan methemoglobin pada saat nitrit diabsorbsi. Nitrit juga bertindak sebagai vasodilatator sehingga menimbulkan anoxia pada jaringan. Gejala klinis ini juga diikuti oleh gangguan sistem syaraf pusat seperti salivasi, tremor, i nkoordinasi dan kematian ternak. Absorbsi nitrit ke dalam darah mengakibatkan terikatnya nitrit dengan hemoglobin yang dapat menghambat darah untuk membawa oksigen, sehingga gejala klinis yang ditimbulkan meliputi sesak napas, menggigil, megap-megap dan kolaps. Gejala awal yang dapat dilihat adalah nyeri perut, diare, muntah dan salivasi. Kematian methemoglobin darah (SEAWRIGHT, 1989). sapi dapat mencapai 9 terjadi g/100 bila ml kadar darah Pengobatan dan pencegahan Pengobatan dapat dilakukan dengan cara menyuntikan methylene blue secara intravena sebanyak 20 mg/kg pada sapi. Bila bahan toksik yang dikonsumsi lebih banyak, maka penyuntikan perlu diulangi kembali dalam kurun waktu 6 - 8 j am kemudian. 66 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri Pencegahan penyakit dilakukan dengan cara memberikan diet pakan yang cukup karbohidrat dan hindari dari pemberian hijauan yang mengandung nitrat tinggi atau tanaman akumulator untuk nitrat. Begitu pula dengan pemberian jerami dan silase perlu dibatasi karena jenis pakan ini dapat mengandung nitrat yang cukup tinggi. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kasus mastitis khususnya mastitis subklinis masih cukup tinggi di Indonesia yang dapat menimbulkan kerugian bagi peternak akibat rendahnya produktivitas sapi perah dan kualitas susu yang dihasilkan. 2. Demikian pula penyakit brucellosis sering dijumpai di berbagai sentra peternakan sapi perah. Sapi terinfeksi penyakit sehingga brucellosis produktivitas mengalami penurunan. sering dan mengalami keguguran reproduktivitas ternak 3. Sementara itu, penyakit non-infeksius yang sering muncul di peternakan sapi perah adalah gangguan metabolisme, defisiensi mineral esensial dan kawin berulang. 4. Berbagai teknologi baik teknik diagnosa, obat dan vaksin telah dihasilkan untuk pengendalian penyakit pada sapi perah seperti teknik RBT, CFT dan ELISA. 67 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu DAFTAR PUSTAKA ALTON, G.G. 1984. Report on Consultancy in Animal Brucellosis in Indonesia. ALTON, G., L.M. JONES, R.D. ANGUS and J.M. VERGER. 1988. Techniques for the Brucellosis Laboratory. INRA, Paris. BLOOD, D.C. and J.A. HANDERSON.1979. Veterinary Medicine 5thEd. Bailliere Tindall. London. BLOWEY, R.W. 1988. A Veterinary Book for Dairy Farmers. Farming Press Limited. p: 157 - 179. BUNDLE, D.R., J.W. CHERWONOGRODSKY, M. CAROLF and M.B. PERRY. 1987. The Lipopolysaccharides of Brucella abortus and B. Militensis. Ann. Inst. Pasteur Microbiol. 138: 92 - 98. CORNER, L.A., G.G. ALTON and H. IYER. 1987. Distribution of Brucella abortus in infected cattle. Aust. Vet.J. 64: 242 244. DIAZ, L.J., D. LEONG and J. WILSON. 1968. Diagnosis of brucellosis by serology. Veterinary Microbiology. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 1981. Penyakit Keluron Menular (Brucellosis). Pedoman Pengendalian Penyakit Menular. Bina Direktorat Kesehatan Hewan. Dirjen Peternakan. Jakarta. Ditjennak, 2006. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN dan KESEHATAN HEWAN. 2011a. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011. CV. Karya Cemerlang. him. 79 - 101. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN dan KESEHATAN HEWAN. 2011 b. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2010 - 2011. EDINGTON, B.H. and C.R. DONHAM. 1939. Infection and Reinfection experiment with Bang's disease. J. Agric.Res. 59: 609 - 618. ENRIGHT, F.M. 1990. The pathogenesis and pathobiology of Brucella infection in domestic animals, p. 301 - 320. In: K. Nielsen and J. R. Duncan (Ed.), Animal brucellosis. CRC Press, Inc., Boca. Raton, Fla. 68 Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri GEERING WA, J.A. FORMAN and M.J. NUNN. 1995. Exotic Diseases of Animals: A Field Guide for Australian Government Publishing Veterinarians, Australian Service, Canberra. HASTIONO, S., D. GHOLIB, SUDARISMAN, P. ZAHARI clan L. NATALIA. 1983. Mastitis mikotik pada sapi perah. Pertemuan Il miah Penelitian pendahuluan. Pros. Ruminansia Besar, Cisarua, 6 - 9 Desember 1982. Puslitbang Peternakan, Bogor: 193 - 201. HIRST, R.G., A. NURHADI, A. ROMPIs, J. EMINS, SUPARTONO and Y. SETIADI. 1985. The detection subclinical mastitis i n the tropic and the assessment of associated milk production losses. Proc. of the third AAAP Animal Science Congress. Seoul, Korea. I: 498 - 500. KAHAN, C.M. and S. LINE. 2010. The Merck Veterinary Manual.l0th Ed. Merck and Co., USA. pp.1248 -- 1257. MORGAN, W.J.B. 1977. The Diagnosis of Brucella abortus I nfection in Britain. In: R.P. Crawford and R.J. Hidalgo ( Eds), Bovine Brucellosis. An International Symposium. Texas A&M Press. College Station. 21 - 29. NICOLETTI P. 1977. A preliminary report on the efficacy of adult cattle vaccination using strain 19 in selected dairy herds in Florida. Proc. 80th Annu. Met. US Animal Health Assoc. 91 - 100. NICOLETTI P. 1990. Vaccination. In: K. Nielsen and J. R. Duncan (ed.), Animal brucellosis. CRC Press, Inc., Boca Raton,Fla.p. 283 - 300. PAYNE, J.M. 1989. Metabolic and Nutritional Diseases of Cattle. Blackwell Scientific Publications. p: 1 - 40. PLOMET. M. and A.M. PLOMET. 1988. Virulence of Brucella: bacterial growth and decline in mice. Annales de Recherces Veterinaires. 19(1): 65 - 67. RADWAN, A.I., BEKAIRI, S.I., AL-BOKMY, A.M., PRASAD, P.V., MOHAMMAD, O.M. and HUSSAIN, S.T. 1993. Successful therapeutic regimens for treating Brucella melitensis and Brucella abortus infections in cows. Review Scientific Techniques (OIE) 12(3): 909 - 922. 69 Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu dan M.I. CAHYONO, 2011. Pengendalian Mastitis Dalam Rangka Recovery Produksi Susu Sapi Perah Pascaerupsi Gunung Merapi di Propinsi DIY dan Jawa Tengah. Laporan Akhir Litkajibangrap Merapi. SANI, Y., INDRANINGSIH, S. MUHARSINI SCHALM, O.W., E.J. CARROLL and N.C. JAIN. 1971. Bovine Mastitis. Lea & Febiger, Philadelphia, USA. SEAWRIGHT, A.A. 1989. Animal Health in Australia. Chemical and Plant Poisons. 2(2):195 - 232. SUDIBYO, A DAN P. RONOHARDJO. 1989. Brucellosis pada sapi perah di Indonesia. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. hlm. 25 - 31. SUDIBYO, A., P. RONOHARDJO, B. PATTEN dan Y. MUKMIN. 1991. Status brucellosis pada sapi potong di Indonesia. Penyakit Hewan. 23 (41): 18 - 22. SUDIBYO A., E.D. SETIAWAN dan S. BAHRI. 1997. Evaluasi Vaksinasi Brucellosis pada Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur. Laporan Penelitian Tahun Anggaran 1996/1997. Balitvet, Bogor. 1997. Mastitis subklinis pada sapi perah di I ndonesia: Masalah dan pendekatannya. Wartazoa 6(2): 48-52. SUPAR. SUPAR dan T. ARYANTI. 2008. Kajian pengendalian mastitis subklinis pada sapi perah. Pros. 'Prospek industri sapi perah menuju perdagangan bebas 2020. Jakarta, 21 April 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. YOUNG E.J. 1983. Human Brucellosis. Rev. Infect. Dis. 5: 821 -824. 70