5 penjualan dan pembelian, kerjasama lembaga pemasaran

advertisement
5
penjualan dan pembelian, kerjasama lembaga pemasaran), kinera pasar (marjin
pemasaran, farmer’sshare, integrasi pasar vertikal.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan menjelaskan beberapa penelitian-penelitian yang terkait
dengan pemasaran menggunakan pendekatan struktur, perilaku, dan kinerja pasar.
Dalam bab ini juga akan terlihat perbedaan dan persamaan penelitian ini dengan
penelitian terdahulu.
Struktur Pasar Komoditas Pertanian
Penelitian yang dilakukan oleh Azizi et al. (2011) mengenai analisis
pemasaran garam rakyat di Kabupaten Pati Jawa Tengah, diperoleh bahwa
struktur pasar garam rakyat cenderung kepada pasar yang oligopsonik. Dalam
menentukan struktur pasar garam di Kabupaten Pati ini peneliti hanya
menggunakan perbandingan jumlah partisipan pasar. Akan berbeda sekali dengan
penelitian yang akan di lakukan, dimana penulis menggunakan beberapa alat
analisa dalam menentukan struktur pasar garam di Kabupaten Sumenep, seperti
CR4.
Penelitian selanjutnya mengenai analisa pemasaran garam rakyat studi
kasus Kecamatan Kalianget Kaupaten Sumenep yang dilakukan oleh Suherman et
al. (2011) dimana strutur pasar dianalisa secara kualitatif maupun kuantitaif.
Analisa kualitatif dapat dilihat dari jumlah penjual dan pembeli, diferensiasi
produk dan hambatan keluar masuk pasar. Sedangkan analisa kuantitaf
menggunakan analisa konsentrasi ratio. Dilihat dari jumlah penjual dan pembeli
yang tidak seimbang, maka pemasaran garam di Desa Kertasada Kecamatan
Kalianget dikategorikan sebagai pasar tidak efisien, karena beberapa tingkat pasar
hampir semuanya mengarah ke pada pasar monopsoni. Sedangkan dilihat dari
aspek diferensiasi produk, tidak ada perubahan bentuk yang dapat menciptakan
nilai tambah dari garam yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemasaran yang
terlibat. Sedangkan hambatan keluar masuk pasar dapat dilihat dari kondisi
dimana petani yang memiliki hubungan seperti pinjaman kepada tengkulak, tidak
bisa memilih menjual garam kepada saluran pemasaran yang lain yang dapat
memberikan harga yang lebih baik. Sedangkan dalam pasar antara tengkulak
dengan tengkulak lainnya tidak dapat keluar masuk pasar secara bebas, karena
para tengkulak kesulitan dalam mendapatkan garam dari petani, hal ini
disebabkan para petani sebagian besar terikat secara tidak formal dengan
tengkulak lain yang sudah lama memiliki ikatan dengan mereka.
Kementerian Perdagangan di tahun 2010 juga melakukan penelitian
mengenai pemasaran garam dengan pendekatan struktur. Penelitian ini membahas
mengenai struktur pasar garam di beberapa wilayah Indonesia. Pemanfaatan hasil
produksi garam di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan sebagai daerah produsen
biasanya langsung dijual ke pedagang besar, baik untuk konsumsi lokal maupun
untuk provinsi lain. Di beberapa wilayah seperti di Indonesia Bagian Timur,
biasanya pabrikan mendatangkan garam dari Surabaya atau Makasar, kemudian
6
diolah (yodifikasi) dan selanjutnya dipasarkan. Jumlah pabrikan sebagai produsen
garam beryodium relatif sedikit, sementara lembaga perantara selanjutnya makin
banyak. Khusus untuk kawasan Nabire, produsen pengolah hanya satu perusahaan
dan daerah Papua tidak memiliki produsen pengolah sama sekali. Setelah di olah
di pabrikan penjualan produk dari pabrikan umumnya dijual ke pedagang besar
propinsi (distributor) atau kabupaten dan selanjutnya dijual ke pengecer.
Mengalirnya barang ke tangan konsumen pastinya memerlukan informasi pasar.
Informasi pasar biasanya bersumber dari distributor atau pedagang besar. Para
pedagang maupun petani biasanya memperoleh informasi harga dari sesama
pedagang maupun media massa. Sedangkan untuk harga jual ke pedagang
pengecer atau ke level pemasarannya selanjutnya berdasarkan modal pembelian
ditambah dengan biaya transportasi dan keuntungan. Sehingga pasar garam
disimpulkan menjadi pasar oligopoli.
Dalam beberapa penelitian lainpun menunjukkan bahwa struktur pasar
yang dihadapi oleh petani adalah pasar oligopsoni (Bosenaet al 2011; Mmasa et al
2013; Funke et al; 2012). Dimana beberapa penelitian ini disimpulkan
menggunakan beberapa indikator yaitu jumlah partisipan dalam pasar, nilai CR4,
hambatan keluar masuk pasar.
Perilaku Pasar Komoditas Pertanian
Penelitian Suherman et al. (2011) mengenai pemasaran garam di
Kecamatan Kalianget mengenai perilaku pasar menyatakan terdapat praktek tidak
jujur dalam pemasaran garam, hal ini terlihat dari kejadian dimana petani yang
memiliki hubungan dengan tengkulak menetapkan harga garam di bawah standar
yang telah ditentukan oleh pemerintah. Begitu juga dengan penelitian yang
dilakukan oleh Azizi et al. (2011) mengenai pemasaran garam di Kabupaten Pati
adanya kolusi dalam pemasaran garam di daerah ini. Beberapa lembaga
pemasaran yang terlibat dalam pemasaran garam yaitu : petani garam sebagai
produsen, pedagang pengumpul, pedagang perantara dan pedagang besar, maka
pedagang pengumpul merupakan agen atau kaki tangan pedagang perantara
maupun pedagang besar. Pedagang Besar memiliki peran yang dominan dan dapat
menguasai info pasar.
Kementerian Perdagangan (2010) dalam penelitiannnya mengenai perilaku
pasar garam menyimpulkan bahwa terdapat sembilan poin yang menggambarkan
perilaku pasar garam di Indonesia :
1. Pada umunya tidak ditemui pemasaran yang dilakukan secara berkelompok
antar produsen pabrikan.
2. Perlakuan terhadap produk oleh produsen pabrikan umumnya adalah sortasi,
proses yodifikasi, pengemasan hingga pendistribusian. Pendekatan fungsi
dalam pemasaran garam di beberapa wilayah Indonesia ini mencakup : a)
fungsi pengangkutan, pergerakan produk dari daerah sentra produksi ke
konsumen akhir melalui beberapa tahap. Sehubungan dengan negara kita
adalah negara kepulauan pengangkutan garam dari pulau ke pulau biasanya
menggunakan kapal laut, hal ini dikarenakan transportasi ini lah yang biayanya
lebih rendah, namun risiko yang ditanggung lembaga pemasaran lebih tinggi.
Setelah produk sampai di pelabuhan, biasanya akan diambil oleh pihak-pihak
7
pabrikan, yang nantinya produk akan di olah dan dipasarkan kembali ke
konsumen akhir menggunakan jalur darat atau sesuai dengan sarana dan
prasarana yang tersedia. b) Fungsi sortasi, fungsi ini biasanya dilakukan lagi di
tingkat pedagang perantara, dikarenakan jarak yang jauh akan mengakibatkan
produk rusak. c) Fungsi pengemasan, pengemasan bertujuan untuk
mempermudah penjualan dan melindungi produk dari kerusakan. Biasanya di
level pabrikan garam telah di kemas ke dalam botol atau plastik. Kemasan ini
biasanya berukuran 0.25 kg, 0.5 kg dan 1 kg, bungkusan-bungksusan ini
nantinya dikemas lagi dalam karung plastik berisi 40 pak, dan setiap pak berisi
6 bungkus. d) Fungsi penyimpanan, kegiatan penyimpanan dilakukan
menunggu garam laku terjual sekaligus sebagai stok, fungsi penyimpanan
disetiap level pemasaran sangat penting untuk menjaga stok karena ditakutkan
terjadinya kerusakan sarana angkutan atau mengalami hambatan dalam proses
distribusi pada saat musim hujan. Ketidakpastian penawaran (supply) akan
mempengaruhi harga, hal ini juga lah yang menyebabkan fungsi penyimpanan
sangat penting. e) Fungsi pembelian dan penjualan, dengan mengalirnya
barang dari produsen ke konsumen akhir pastinya akan melakukan fungsi
pembelian dan penjualan ini.
3. Kolusi antar lembaga pemasaran biasanya tidak terjadi pada sesama distributor
atau pedagang besar, demikian juga di tingkat pedagang pengecer. Asosiasi
garam di daerah tertentu mengatur skema pendistribusian garam mulai dari
pabrikan hingga area distribusi.
4. Perlakuan terhadap produk oleh lembaga perantara hanya meliputi
pendistribusian.
5. Diversifikasi penjualan oleh lembaga perantara berdasarkan kualitas terhadap
produk garam sudah dilakuan sejak dari pabrikan. Beberapa pabrikan biasanya
telah memberi merek, kemasan dan kandungan yang berbeda untuk kebutuhan
konsumen yang beragam.
6. Sistem pembelian produk dari produsen pabrikan oleh lembaga perantara
umumnya melalui distributor. Namun di beberapa pedagang langsung membeli
ke pabrikan.
7. Sistem penentuan harga antara produsen pabrikan dengan lembaga perantara
umunya relatif tetap dan disarkan pada hasil tawar menawar di antara
keduanya. Penentuan harga di beberapa daerah terpencil lebih banyak
ditentukan oleh pabrikan dan pedagang besar dan pengecer hanya menerima
harga.
8. Sistem pembayaran dari lembaga perantara ke produsen dapat dilakukan
dengan beberapa cara yaitu : pembayaran tunai sesuai dengan jumlah
pembelian atau setelah dikurangi biaya produksi, pembayaran secara tempo
sesuai dengan hasil kesepakatan produsen dengan lembaga perantara. Biasanya
tempo yang diberikan maksimal satu minggu setelah sebelumnnya lembaga
perantara memberikan uang muka pada produsen.
9. Praktek-praktek tidak jujur diantara lembaga perantara umumnya tidak
dijumpai.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Bosena et al. (2011)dalam
metodologinya untuk menganalisis perilaku pasar, maka peneliti mendeteksi
indikator penetapan harga yang tidak wajar dan tidak adil di setiap level
pemasaran. Isu-isu yang dipertimbangkan adalah adanya pemasaran formal dan
Download