1 BEBERAPA ASPEK PENGELOLAAN DAN

advertisement
1
BEBERAPA ASPEK
PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN
SITU-SITU SEBAGAI WAHANA REKREASI DAN SUMBER PAD*)
Oleh: Tarsoen Waryono **)
Pendahuluan
Hijrahnya Universitas Indonesia yang berdomisili di perbatasan antara DKI Jakarta
(Jakarta Selatan) dan Jawa Barat (Kota Depok), nampaknya membawa makna yang cukup
berarti bagi tumbuh berkembangnya wilayah Kota Depok. Demikian halnya dengan definitif
diberlakukannya Otonomi Daerah (Otoda) tahun 2001, perubahan status pemerintahan Depok
menjadi “Kota” nampaknya kini telah sejajar dengan kota-kota lain, serta menjadi strategis
kedududukannya karena peranan fungsinya baik sebagai buffer cities dan atau counter
magnet Jakarta sebagai Ibukota Negara.
Wilayah Kota Depok seluas 20.029 ha, berdasarkan karakteristik kondisi fisik
wilayahnya merupakan bentang hamparan resapan air, terdiri atas kawasan terbangun 8.640
ha, baik penggunaan tapak untuk pemukiman (7.084 ha), bangunan sarana pendidikan (224
ha), jasa perkantoran dan pusat-pusat kegiatan ekonomi (125 ha), kawasan industri (980 ha),
kawasan bangunan khusus (227 ha), dan sisanya seluas 11.389 ha, merupakan hamparan
penggunaan lain, meliputi hamparan kawasan budidaya 9.082 ha, sarana olah raga 311 ha,
situ-situ 119 ha, dan seluas 1.877 ha merupakan kawasan penggunaan lain-lain. Fenomena
alam yang spesifik hingga difungsikannya wilayah Depok sebagai kawasan resapan air,
nampaknya mendudukan posisi situ-situ yang kini tinggal 119 ha (9,2% dari luas wilayah Kota
Depok), untuk tetap dipertahankan, dilestarikan serta dimanfaatkan secara optimal. Hal ini
mengingat arti pentingnya potensi sumberdaya situ-situ atas peranan fungsi dan jasanya
sebagai kawasan tandon air dan pengendali banjir.
Fenomena Alam Proses Terbentuknya Situ-situ
Proses pembentukan struktur geologi wilayah Depok, erat kaitannya dengan daerahdaerah sekitarnya baik Bogor Barat maupun Bogor Utara (Cibinong, Klapanunggal). Formasi
ini terdiri dari batu pasir halus sampai kasar, konglomerat dan batu lempung berusia Miosen
Awal. Fakta fisik yang masih dapat dikenali, tersingkap di Selatan Tenggara Parung Panjang,
bagian Barat Laut Kabupaten Bogor. Pada kala Miosen Tengah terjadi proses Pesesaran
geser, terjadi di Timur Laut (Bogor Utara), dengan dua garis sesar yaitu, membentang mulai
dari Citerep, Cibubur dan berakhir di Jatinegara, dan paparan yang menjulang kearah Utara
mencakup wilayah Cibinong, Parung hingga Pasar Minggu.
*). Diskusi Pengembangan Situ-situ di Wilayah Kota Depok. Hari Lingkungan Hidup Pemda Kota Depok 5 Juni, 2001.
**). Staf Pengajar Jur. Geografi FMIPA Universitas Indonesia dan Tim Forum Pemerhati Lingkungan Kota Depok
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
2
Pada kala Miosen akhir (Pleitosin Awal), wilayah-wilayah ini terangkat kembali, saat
terjadi aktivitas Gunung Api di bagian Selatan (Bogor Tengah), baik G. Gede, G. Pangrango
maupun G. Salak, yang menghasilkan batuan gunung api muda. Endapan-endapan vulkanik
ini terdistribusi secara alami dan menutup punggungan dan lembah hamparan muka bumi
mulai dari Citerep, Cibinong, parung, Depok, hingga Pasar Minggu dan Ulujami. Distribusi
endapan alluvial pada daerah-daerah cekungan (lembah), yang pada akhirnya terbentuklah
situ-situ alami dan berangsur-angsur mulai dari Bogor Bagian Barat hingga DKI Jakarta.
Karakteristik, Penyebaran dan Ancamannya
Hamparan situ-situ berdasarkan proses pesesarannya dibedakan menjadi tiga bagian
hamparan, yaitu (a) hamparan bagian Barat menyusur dari daerah Bogor Barat, Parung dan
berakhir di daerah Ciputat (Situ Gantung), (b) hamparan bagian Timur mulai dari Cibubur
(Rawa Dongkal), Klapadua, dan berakhir di Senayan, dan (c) hamparan bagian Tengah mulai
dari Cibinong, komplek (baru) Pemda Bogor, Citayam-Depok, Pasar Minggu, dan Ulujami;
Karakteristik situ-situ secara alamiah pada hamparan Bagian Barat dan Timur,
dicirikan oleh pengaruh tata air permukaan dangkal hingga terbatas dengan mata-mata air
tanah. Oleh sebab itu limpasan air hujan merupakan sumber utamanya, hingga pada saat
musim kemarau kadang-kala terjadi kekeringan. Berbeda halnya dengan situ-situ di bagian
Tengah, cenderung dipengaruhi oleh tata air peralihan antara air permukaan dan air tanah
dalam, hingga tidaklah mengherankan apabila pada musim kemarau masih tersedia air,
bahkan melimpah karena bersumber dari mata air tanah dalam. Atas dasar itulah wilayahwilayah yang dicirikan oleh kondisi situ-situ yang dipengaruhi oleh sumber air tanah dalam,
sangatlah wajar hingga ditetapkan sebagai wilayah atau kawasan resapan air tanah.
Situ-situ di wilayah Kota Depok pada awalnya tercatat 26 lokasi (± 235 ha), tersebar
secara sporadis di seluruh wilayah Depok; dan kini tercatat tinggal 19 buah atau seluas 119
ha. Berdasarkan kondisi fisiknya tergolong baik 6 buah (36,45 ha), kurang baik 4 buah (26
ha), rusak 4 buah (33,30 ha), dan tidak berfungsi sebagai kawasan tandon air 5 buah (23,25
ha). Ancaman terhadap keberadaan situ-situ di wilayah ini, selama 15 tahun terakhir
cenderung disebabkan oleh desakan alih fungsi status kawasan tandon air menjadi wilayah
pemukiman. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, niscaya akan menimbulkan malapetaka yang
erat kaitannya dengan pelestarian sumberdaya air, serta berpengaruh langsung terhadap
wilayah di bagian bawahnya.
Secara umum ancaman terhadap keberadaan dan kelestarian situ-situ di wilayah Kota
Depok, dapat dikelompokan menjadi tiga bagian yaitu; (a). Konversi atau alih fungsi status;
akibat semakin laju pertumbuhan penduduk, yang cenderung memacu kebutuhan ruang dan
lahan untuk kepentingan pemukiman, (b). Pendangkalan; endapan lumpur hasil sedimentasi
ditambah dengan limbah padat sampah organik yang bersumber dari rumah tangga; (c).
Pencemaran oleh limbah; baik yang bersumber dari home industri maupun limbah-limbah
rumah tangga yang terbawa oleh limpasan aliran air yang terakumulasi. Sebagai akibat yang
ditimbulkannya, dapat berpengaruh terhadap biota perairan, dan proses eutrofikasi (penyuKumpulan Makalah Periode 1987-2008
3
buran), hingga semakin melimpahnya gulma air eceng gondok (Eichornia crassipes), yang
cenderung mempercepat pendangkalan, dan kekeringan karena tingginya penguapan.
Manajemen Pengelolaan Situ Secara
Terpadu Berkelanjutan
Kondisi fisik wilayah situ-situ berdasarkan proses terbentuknya, pada hakekatnya
merupakan kunci dasar pendekatan sebagai bahan pertimbangan dalam manajemen
penangananya. Hal ini mengingat bahwa potensi daya dukung lingkungan situ-situ seperti
jenis tanah (batuan asal), besaran curah hujan, dan kondisi penutupan vegetasinya,
berpengaruh terhadap sifat fisik-kimia tanah, yang erat kaitannya dengan ancaman yang
cukup potensial terhadap kelestarian dan keberadaan situ-situ.
Mencermati atas proses terbentuknya situ-situ, pendekatan konsepsi pengelolaannya,
seyogyanya didasarkan atas kaidah konservasi tanah dan air. Pemaduserasian antara
pemanfaatan situ secara optimal dengan upaya-upaya (olahdaya) pelestarian terhadap daya
dukung lingkunganya, merupakan alternatif yang dinilai terjitu. Membangun kawasan hijau
sebagai penyangga kawasan tandon air dalam bentuk hutan kota, dipaduserasikan dengan
pengembangan sarana rekreasi wisata air, nampaknya menjadi strategis untuk memulihkan
kembali keberadaan situ-situ yang kini dinilai sangat memprihatinkan. Untuk itu, harapan
munculnya arahan kebijakan sebagai kaidah dan rambu-rambu untuk tujuan penyelamatan,
pelestarian dan pemanfaatan secara optimal terhadap kawasan tandon air, akan mendudukan
posisi strategis atas prestasi yang dicapai oleh Pemda Depok dalam mempertahankan
wilayahnya sebagai kawasan resapan air tanah. Hal ini mengingat karena peranan fungsinya
yang berpengaruh langsung terhadap wilayah di bagian hilirnya.
Rentrada (Rencana Strategi Pembangunan Daerah) Kota Depok, dalam kaitannya
dengan penanganan situ-situ secara terpadu dan berkelanjutan, paling tidak akan memuat
hal-hal sebagai berikut; (a) Pembangunan sumberdaya alam perairan dan lingkungannya,
diarahkan untuk mewujudkan keserasian antara kegiatan-kegiatan manusia dan ekosistem
yang mendukungnya, hingga tujuan terciptanya kota Depok yang indah, nyaman, bersih dan
menarik dapat diwujudkan, melalui kegiatan-kegiatan berbasis kemasyarakatan dalam hal
pembangunan berwawasan lingkungan, peningkatan budaya dan sadar terhadap pentingnya
keserasian lingkungan hidup. (2). Pemanfaatan sumberdaya air dan tanah yang mempunyai
nilai ekonomis dan fungsi sosial, diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang
terkoordinasi, melalui berbagai penggunaan yang jelas. Tata guna air dan lahan
diselenggarakan secara terpadu, hingga menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup
sebagai pendukung kawasan tandon air.
Agar tujuan dan sasaran kebijakan pengelolaan dan pengembangan ekosistem
perairan (situ-situ), secara terpadu dan berkelanjutan dapat diimplementasikan secara
rasional, pendekatan utamanya dilakukan melalui perbaikan kawasan penyangga situ-situ,
dalam bentuk perbaikan habitat baik melalui rehabilitasi kawasan, pemilihan jenis budidaya
yang dinilai sesuai (cocok) dengan kondisi habitat dan ekosistemnya, serta jelas Instansi yang
bertanggung-jawab menanganinya sesuai dengan kewenangannya.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
4
Aspek Pengelolaan dan Pengembangan Situ-situ
Aplikasi pengelolaan dan pengembangan ekosistem perairan pada dasarnya
dilakukan melalui penyusunan rencana tapak yang merupakan langkah awal dalam tahapan
penyusunan konsep desain detail engineringnya. Dalam penyusunannya, dirumuskan sebagai
gambaran alokasi dan penempatan (tata letak) pengisian ruang tapak pengembangan
ekosistem perairan secara terpadu, yang mencakup beberapa unsur perpaduan antar lokasi,
kondisi fisik wilayah dan lingkungan di sekitarnya, yang erat kaitannya dengan aspek
pemanfaatannya.
Didasari atas kriteria dasar pengelolaan dan pengembangan situ-situ secara terpadu
berkelanjutan, seperti uraian terdahulu dengan memperhatikan aspek daya dukung fisik
wilayahnya, untuk itu dalam perencanaanya perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a)
Aspek kelembagaan; situ-situ di wilayah Kota Depok secara ekologis, hendaknya dipandang
sebagai satu kesatuan kawasan tandon air yang mempunyai keterkaitan satu dengan lainnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengelolaannya perlu direncanakan secara terpadu
dengan melibatkan beberapa Instansi terkait, yang meliputi unsur pemerintah, swasta dan
masyarakat sebagai stake holder, (b) Aspek Teknis; secara teknis pengelolaan dan
pengembangan situ-situ harus melibatkan beberapa disiplin ilmu, karena dalam pelestarianya
mencakup upaya konservasi sumberdaya air, tanah dan ekosistemnya, yang erat kaitannya
dengan kondisi fisik wilayah pada masing-masing situ, (c) Aspek IPTEK; pentingnya ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam pengelolaan dan pengembangan situ-situ, karena erat
kaitannya dengan upaya pemanfaatan secara optimal baik untuk kepentingan rekreasi dan
wisata air, budidayaan perikanan, serta pemanfaatan untuk kepentingan pengairan (irigasi),
dan (d) Aspek sumber PAD; pengelolaan sumberdaya perairan secara terpadu berkelajutan,
melalui manajemen yang rasional, selain mampu dan menjamin atas peningkatan pendapatan
masyarakat sekitar, juga merupakan sumber PAD yang seiring dan sejalan dengan tingkat
profesional manajemen pengelolaannya.
Akhirnya disimpulkan bahwa keberhasilan pengelolaan situ-situ secara terpadu
berkelanjutan, sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) dan peningkatan pendapatan
masyarakat sekitar (PPM), berdasarkan peranan fungsinya (pengatur tata air, iklim mikro,
habitat flora dan fauna, wahana rekreasi, dan penopang budidaya pertanian), sangat
ditentukan oleh partisipatif para stake holder dan tingkat profesi-nalisme penangannya.
Uraian Penutup
Mencermati potensi situ-situ di Kota Depok dalam kaitannya dengan Wilayah
Pengelolaan Resapan Air di JABODETABEK; nampaknya kini telah tiba saat bahwa penataan
dan pengembangan tata ruang wilayah Depok lebih cenderung untuk di arahkan guna
mendukung potensi sumberdaya air tanah dalam. Hal ini mengingat bahwa wilayah Kota
Depok lebih dari 78,2% merupakan wahana alamiah sumber pengatur tata air tanah di
sekitarnya.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
5
Terdegradasinya kawasan-kawasan tandon air (situ-situ) di Wilayah Kota Depok,
pengelolaannya lebih rasional dengan memberdayakan masyarakat di sekitarnya hingga
terciptanya keterpaduan dalam pengelolaan yang berkelanjutan. Hal ini mengingat bahwa
selain sebagai sumber PAD juga menjamin peningkatan pendapatan masyarakat di
sekitarnya.
Agar gagasasn di atas dapat diimplementasikan, nampaknya kerjasama antara
Pemda Kota Depok dengan FMIPA Universitas Indonesia menjadi strategis kedududukannya
dalam kaitannya untuk menindaklanjuti pentingnya pengelolaan kawasan konservasi wilayah
tandon air di Kota Depok dan sekitarnya.
Daftar Pustaka
Achmadi, UF, 1978. Efek Pencemaran Air Tanah terhadap Masyarakat Perkotaan. Widyapura,
XII. Tahun 1878.
Adiwilaga, M; et all, 1998. Strategi Pengelolaan Situ-situ: Studi Kasus Program
Pengelolaan Situ Cikaret, Cibinong, Kabupaten Bogor. Workshop Pengelolaan Situsitu di Wilayah DKI Jakarta. Kerjasama Bapedalda dengan Fakultas Kehutanan IPB
Bogor.
Arif, B. 1998. Peranan Sektor Pengairan dalam pengelolaan situ-situ di wilayah Jabatabek.
Workshop Pengelolaan Situ-situ di Wilayah DKI Jakarta. Kerjasama Bapedalda
dengan Fakultas Kehutanan IPB Bogor.
Anonimuos, 1990. Kumpulan per-Undang-undangan (Lingkungan Hidup dan, Konser-vasi
Sumberdaya Alam).
________, 1997. Pemantapan data Situ-situ/waduk di DKI Jakarta dan Sekitarnya. Dinas
Kehutanan DKI Jakarta.
Biampoen, 1984. Masalah Kualitas Lingkungan Hidup Manusia, Pendekatan Perencanaan
Kota. Makalah Seminar Badan Pembinaan Kesehatan Jiwa Masyarakat.
Dinas Kehutanan DKI Jakarta, 1997. Informasi Cagar Alam Di DKI Jakarta. Publikasi Dinas
Kehutanan DKI Jakarta.
Dinas Tata Kota DKI Jakarta, 1998. Kebijaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Terhadap
Keberadaan Lahan Basah di DKI Jakarta. Seminar dan Pameran Lahan Basah,
Dalam Rangka memperingati lahan basah sedunia tahun 1998. Komisi Nasional
Pengelolaan Lahan Basah, Jakarta
FMIPA-Universitas Indonesia, 1989. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Kesehatan
Lingkungan Hidup Di Perkotaan Menjelang Tahun 2000.
Gunawan, E. 1988. Kebijaksanaan Pengelolaan Situ-situ di Wilayah Jabotabek. Workshop
Pengelolaan Situ-situ di Wilayah DKI Jakarta. Kerjasama Bapedalda dengan Fakultas
Kehutanan IPB Bogor.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
6
Lesmana, H. 1998. Peranan Situ-situ Buatan di Kawasan Industri MM 2100. Workshop
Pengelolaan Situ-situ di Wilayah DKI Jakarta. Kerjasama Bapedalda dengan Fakultas
Kehutanan IPB Bogor.
Notodihardjo. Mardjono, 1979. Pengembangan Wilayah Sungai di Indonesia. Departemen
Pekerjaan Umum.
Sandy.IM, 1978. Geomorfologi Terapan. Jurusan Geografi FMIPA-UI.
Sitanala Arsyad, 1989. Konservasi Tanah dan Air. Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Sugandhy, A. 1998. Peran Ekosistem Lahan Basah Dalam Memelihara Kualitas Lingkungan
Hidup. Seminar dan Pameran Lahan Basah, Dalam Rangka memperingati lahan
basah sedunia tahun 1998. Komisi Nasional Pengelolaan Lahan Basah, Jakarta.
Waryono, T dan Suprijatna, N. 1997. Aspek Pemberdayaan Atas Kekurang Perdulian
Masyarakat Terhadap Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Jurusan Geografi FMIPAUniversitas Indonesia.
Waryono,. T. 1997. Prisip Dasar manajemen Konservasi Biologi Untuk Mencapai Tujuan.
Program Pasca Sarjana Biologi Universitas Indonesia.
_______________, 1997. Konsepsi Dasar Pembangunan Hutan Kota di DKI Jakarta. Makalah
Utama Pelatihan Petugas Hutan Kota. Dinas Kehutanan DKI Jakarta.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
Download