II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transgenik Salah satu pendekatan untuk perbaikan genetik organisme akuatik yang muncul sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri baru-baru ini adalah transgenesis, yaitu proses transfer gen-gen asing ke inang yang baru (Lutz, 2001). Teknik ini digunakan untuk mengintroduksikan karakter-karakter genetik yang baru atau over-ekspresi ke suatu individu melalui introduksi gen asing yang disambungkan ke genom inang dan diharapkan dapat diwariskan ke keturunannya melalui sel gonad (Yoshizaki, 2001). Prinsip utama dari teknik transfer gen adalah memasukkan DNA asing ke dalam nukleus suatu sel target dan menggabungkannya ke genom inang. Aplikasi teknologi ini sendiri dapat meningkatkan kualitas ikan, seperti pertumbuhan, resistensi terhadap penyakit dan adaptasi terhadap lingkungan yang ekstrim (Sarmasik, 2002). Teknik transgenesis pertama kali dilaporkan sukses pada ikan koki (Carassius auratus) di Cina pada pertengahan tahun 1980-an (Hulata, 2001). Sejak saat itu, eksperimen mengenai transgenik telah dilakukan pada berbagai laboratorium di seluruh dunia pada 35 spesies ikan yang berbeda (Anderson, 2004). Selanjutnya akhir abad ke-19 teknik ini berkembang pada strain-strain ikan yang bernilai komersial dan difokuskan pada peningkatan pertumbuhan. Kemudian cDNA hormon pertumbuhan dan sekuen-sekuen genom lebih dari 40 ikan telah diisolasi, dikarakterisasi dan digunakan untuk pembuatan konstruksi gen ”all fish” untuk transformasi pada spesies ikan lain (Teufel et al., 2002). Langkah awal dalam teknik transgenesis adalah mendesain dan membuat suatu konstruksi DNA. Konstruksi DNA yang dapat menyandikan suatu protein yang spesifik harus mengandung sekuen DNA yang bertindak sebagai promoter dan terminator untuk menghasilkan suatu protein pada suatu jaringan spesifik, pada waktu yang tepat dan pada konsentrasi yang cukup (Beaumont & Hoare, 2003) dalam proses transkripsi gen target (Lutz, 2001). Umumnya konstruksi gen ini dihasilkan melalui pemotongan sekuen-sekuen DNA dari sumber-sumber yang berbeda seperti mamalia, burung, insekta, bakteri dan virus yang ditransfer ke embrio-embrio ikan melalui mikroinjeksi (Dunham, 2004). Penggunaan 4 konstruksi DNA ini ternyata menimbulkan beberapa masalah misalnya hal yang tidak dapat diterima untuk ikan-ikan yang dikonsumsi manusia dan meningkatnya resiko ekologi (Rajesh & Majumdar, 2006). Konstruksi DNA yang terdiri dari sekuen-sekuen ”all-piscine” telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Du et al. (1992) dalam Rahman & Maclean (1999), yang menggunakan suatu konstruksi gen (opAFPcsGH) yang mengandung gen GH salmon chinook (Oncorhynchus tschawytscha) yang dikontrol oleh sekuen promoter protein antibeku dari ikan ocean pout (Macrozoarces americanus) untuk menghasilkan transgenik salmon Atlantik (Salmo salar). Peningkatan pertumbuhan ikan salmon transgenik tersebut dilaporkan 2 sampai 6 kali lipat melebihi kontrol. Contoh lainnya, ikan hias strain baru yaitu ikan zebra memiliki warna tertentu yang dapat terlihat pada kondisi cahaya biasa dengan mengintroduksikan gen GFP (green fluorescent protein), YFP (yellow fluorescent protein) dan RFP (red fluorescent protein) (Gong et al., 2002). Ikan dipertimbangkan sebagai kandidat yang paling baik untuk pemasaran hewan transgenik pertama untuk konsumsi manusia (Zbikowska, 2003). Hal ini disebabkan karena ikan memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan hewan lain seperti mamalia, yaitu fekunditas yang tinggi, pembuahannya eksternal dan perkembangan embrio yang dapat diamati dengan mudah. Selain itu proses embriogenesis cepat melalui pembentukan dan tahap morfologi yang jelas karena embrio transparan (Winkler et al., 1990; Iyengar et al., 1996). Penggunaan ikan khususnya dalam penelitian juga dapat menurunkan eksploitasi mamalia secara signifikan, mengurangi biaya dan waktu (Zbikowska, 2003). 2.2 Teknik Mikroinjeksi Beberapa teknik transgenesis dapat digunakan untuk mengintroduksikan fragmen DNA asing ke dalam embrio atau gamet spesies akuatik. Saat ini teknik yang umum digunakan adalah mikroinjeksi, elektroporasi, dan transfer gen dengan mediasi sperma (Tsai, 2003). Masing-masing teknik ini memiliki keuntungan dan kerugian bergantung pada spesies hewan yang digunakan untuk 5 studi transfer gen. Contohnya mikroinjeksi dan elektroporasi saat ini digunakan untuk transfer gen pada ikan yang bertelur, sedangkan teknik lainnya seperti transfer gen mediasi vektor retroviral digunakan pada ikan yang melahirkan anak (tanpa bertelur) (Sarmasik, 2002). Mikroinjeksi merupakan teknik yang dipertimbangkan paling efektif dalam transfer gen pada vertebrata tingkat tinggi seperti tikus dan domba. Dalam teknik ini, transgen secara langsung dimikroinjeksikan ke dalam pronukleus telurtelur yang telah dibuahi (Sarmasik, 2002). Aplikasi mikroinjeksi pada ikan sendiri memiliki beberapa kelemahan seperti nukleus dari telur yang telah dibuahi sangat sulit diidentifikasi di bawah mikroskop karena nukleus telur kecil dan volume sitoplasma yang besar, korion telur yang sangat keras seperti telur pada ikan salmon yang menyebabkan telur sulit ditembus oleh jarum mikroinjeksi (Yoshizaki, 2001). Untuk mengatasi masalah-masalah ini, beberapa peneliti membuat ikan transgenik dengan cara penyuntikan gen dengan jumlah copy yang banyak ke dalam sitoplasma telur yang telah dibuahi sebagai alternatif penyuntikan ke inti telur (Alimuddin et al., 2003). Untuk mengatasi masalah korion telur yang keras, korion dapat dibuang dengan menggunakan proteinase dan selanjutnya telur dapat disuntik dengan mudah (Ueno et al., 1994 dalam Alimuddin et al., 2003). Selain itu, perkembangan embrio yang cepat setelah pembuahan dan sel tunggal telur yang telah dibuahi dalam beberapa jam berubah menjadi embrio multiseluler. Ini mengimplikasikan bahwa jika injeksi transgen tidak dilakukan secepatnya dalam beberapa jam pertama, walaupun injeksi itu berhasil akan menghasilkan ikan dewasa yang mosaik untuk transgen (Rahman & Maclean, 1991). Umumnya transgen yang diinjeksikan pada tahap 1 sel dapat terintegrasi ke dalam genom semua sel. Akan tetapi integrasi ini seringkali hanya ada setelah beberapa kali pembelahan sel yang menghasilkan embrio yang tidak membawa transgen atau disebut mosaik (Beaumont & Hoare, 2003). 2.3 Promoter Promoter merupakan sekuen DNA yang terletak upstream (terminal 5’) dari titik awal transkripsi suatu gen (Toha, 2001) yang berperan dalam mengatur letak, waktu dan tingkat ekspresi gen yang akan muncul (Beaumont & Hoare, 6 2003). Menurut Glick dan Pasternak (2003), suatu promoter yang kuat merupakan promoter yang memiliki aktivitas yang tinggi terhadap RNA polimerase yang mengakibatkan daerah yang berbatasan downstream dicetak secara teratur. Promoter inilah yang menjadi kekuatan gen untuk mengekspresikan ciri-cirinya pada tingkat yang sangat tinggi dan juga potensial dalam mempengaruhi gen yang lain dalam suatu organisme (Anderson, 2004). Promoter pertama yang digunakan dalam bioteknologi ikan diisolasi dari genom virus (misalnya Rous Sarcoma Virus (RSV), Simian Virus (SV40) atau Cytomegalovirus (CMV)), mamalia (misalnya mouse metallothionein-1 (mMT1)), burung (misalnya promoter β-aktin dari ayam) atau katak Xenopus laevis (1αenhanced promoter). Tingkat ekspresi gen yang dihasilkan ternyata rendah sehingga pencarian promoter-promoter ikan yang lebih efektif tetap dilakukan secara intensif selama 15 tahun terakhir (Teufel et al., 2002). Promoter β-aktin dari berbagai spesies ikan telah dilaporkan sebagai promoter ubiquitous yang efisien dalam penelitian ikan transgenik. Promoter βaktin dari ikan medaka telah diisolasi dan dengan menggunakan gen reporter lacZ menunjukkan ekspresi yang kuat pada ikan medaka, promoter β-aktin dari ikan zebra juga menunjukkan hal yang sama setelah diinjeksikan pada ikan zebra (Hwang et al., 2003). Kedua promoter di atas disebut sebagai promoter homolog yaitu promoter yang menggunakan konstruksi gen homolog spesies yaitu donor dan penerima berasal dari spesies yang sama, sedangkan promoter heterolog adalah promoter yang menggunakan konstruksi gen heterospesies yaitu donor dan penerima donor berasal dari spesies yang berbeda dengan ikan transgenik yang dihasilkan (Rajesh & Majumdar, 2006). Berdasarkan beberapa penelitian penggunaan promoter homolog menghasilkan ekspresi gen lebih baik dibandingkan dengan promoter heterolog. Seperti pada ikan zebra menggunakan promoter β-aktin dari ikan kakap merah menunjukkan tingkat kelangsungan hidup hanya 63% dibandingkan dengan penggunaan promoter ini pada spesies yang sama tingkat kelangsungan hidupnya mencapai 95% (Kato et al., 2007). Menurut Palmiter et al. (1982) dalam Nam et al. (2008), bahwa suatu promoter yang berasal dari spesies yang berbeda (heterolog) kemungkinan tidak mengenal RNA polimerase inang yang mengendalikan ekspresi gen. Selain itu, penggunaan 7 promoter heterolog secara potensial mengakibatkan regulasi ”feedback negative”. Namun, beberapa promoter β-aktin heterolog yang telah digunakan dalam penelitian transgenesis dapat menghasilkan ekspresi gen yang baik pada ikan uji seperti penelitian yang dilakukan oleh Yoshizaki (2001) dengan menggunakan βaktin dari ikan medaka ternyata mampu mengekspresikan gen GFP yang kuat pada ikan rainbow trout. Faktor-faktor transkripsi yang mempengaruhi aktivitas promoter β-aktin adalah boks TATA, boks CCAAT dan CC(A/T) 6GG atau motif CArG. Motif CArG berperan dalam pengaturan ekspresi transgen (Takagi et al., 1994). Menurut Liu et al. (1990), motif CArG berada pada 2 tempat, yang pertama ada di antara boks CCAAT dan boks TATA, dan yang kedua berada pada intron 1. Motif CArG ysng terletak pada intron 1 berfungsi sebagai peningkat (enhancer) dalam aktivitas transkripsi. Boks TATA merupakan elemen yang umum dijumpai pada sekuens promoter yang berperan sebagai tempat melekatnya (binding) RNA polimerase pada saat transkripsi RNA akan berlangsung (Glick & Pasternak, 2003). Secara in vitro penghapusan boks TATA membuat promoter tidak aktif dan pada in vivo aktivitasnya menurun (Quitschke et al., 1989). Selanjutnya dikatakan aktivitas promoter β-aktin tergantung pada keberadaan elemen CCAAT, dengan adanya elemen ini tingkat aktivitas tertinggi promoter β-aktin tercapai (Quitschket et al., 1989). Pembuatan konstruksi gen memerlukan promoter dengan elemen CCAAT, boks TATA, motif CArG, ekson 1 dan intron 1 (Higashijima et al., 1997). Dalam proses transkripsi mula-mula pra-mRNA yang besar disintesis, disebut heterogenous nuclear RNA (hnRNA) yang di dalamnya terkandung bagian intron yaitu ruas-ruas gen yang akan hilang pada mRNA fungsional (mature) dan ekson yaitu ruas-ruas gen yang ditranskripsikan ke dalam mRNA fungsional (mature) dan akan ditranslasi menjadi protein (Jusuf, 2001). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hwang et al. (2003), dari penderetan, ukuran dan variasi sekuen antara ikan nila, ikan mas dan ikan medaka dalam intron, elemen promoter dan ekson ternyata promoter β-aktin antara ketiga ikan ini terdapat kemiripan nukleotida. Persentase homologi sekuen genom β-aktin ikan nila termasuk intron 1 adalah 54,7% dengan ikan medaka dan 48,9% dengan ikan mas. Namun, jika 8 dibandingkan dengan ekson 1 persentase homologi sekuen genom β-aktin ikan nila adalah 86,8% dengan ikan medaka dan 74,1% dengan ikan mas. Hal ini menunjukkan bahwa promoter β-aktin dari ikan nila memiliki homologi yang lebih tinggi pada ikan medaka dibandingkan dengan ikan mas. 2.4 Gen Target GFP (Green Fluorescent Protein) Promoter dikatakan efektif apabila gen target yang disambungkan ke promoter dapat terekspresi dengan level yang tinggi. Menurut Iyengar et al. (1996), gen penanda yang biasa digunakan dalam pengujian aktivitas promoter yaitu gen chloramphenicol acetyl transferase (CAT), neomycin phosphotransferase (NEO), -galactosidase (lacZ), luciferase, green fluorescent protein (GFP), tyrosinase, dan melanin concentrating hormone. Gen GFP merupakan gen yang mengkodekan protein yang berpendar hijau dan dapat divisualisasikan ekspresinya pada sel hidup dengan menggunakan sinar ultraviolet (Chalfie, 1994 dalam Iyengar et al., 1996). Selain itu, gen ini tidak memerlukan substrat tambahan untuk ekspresinya (Chalfie, 1994 dalam Iyengar et al., 1996). Berdasarkan penelitian Yoshizaki et al. (2000) dalam Dunham (2004), GFP pertama kali dapat diamati dengan menggunakan promoter rainbow trout vasa-like gene pada tahap blastula, tetapi ekspresinya pada sel spesifik tidak terdeteksi. Pada tahap pembentukan bintik mata, kira-kira 30% embrio transgenik yang dapat mengekspresikan GFP dalam sel-sel bakal gonad dan meningkat hingga 70% setelah penetasan. Sel-sel yang mengekspresikan GFP terletak pada daerah genital. Selain itu ekspresi GFP dengan menggunakan promoter vasa medaka dapat juga terdeteksi pada daerah ventrolateral usus halus pada tahap sirkulasi darah, tetapi setelah penetasan pindah ke daerah gonadal (Kinoshita & Tanaka, 2002 dalam Dunham, 2004). Gen GFP awalnya diisolasi dari ubur-ubur (Aequorea victoria) yang memancarkan cahaya hijau berpendar dengan kuat dan stabil. Perkembangan saat ini, GFP telah dimutasi dan pendarannya menjadi lebih kuat, yaitu enhanced GFP (EGFP) (Arai et al., 2001). Varian lain dari GFP juga telah diisolasi oleh Felts et al. (2001), yaitu hrGFP (humanized Renilla reniformis Green Fluorescent Protein) yang berasal dari Anthozoa (soft coral). Kelebihan dari hrGFP 9 dibandingkan dengan EGFP adalah memiliki intensitas pendaran lebih tinggi, lebih konsisten, lebih rendah tingkat sitotoksisitasnya, kisaran stabilitas pH yang lebih luas dan lebih resisten terhadap pelarut organik, detergen serta protease. Gen GFP ini dinamakan humanized hrGFP karena dalam gen ini terjadi modifikasi satu atau lebih kodon yang tidak sesuai menjadi susunan kodon yang cocok untuk sel manusia. 10