AKUPUNKTUR UNTUK MAXILOFACIAL

advertisement
AKUPUNKTUR UNTUK MAXILOFACIAL
DR. Koosnadi Saputra, dr., SpR.
Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Akupunktur
Puslitbang Sisjakkes Depkes RI
Pendahuluan
Permasalahan nyeri selalu menarik untuk dibahas karena nyeri adalah
merupakan problema yang menyangkut seluruh umat manusia, apalagi
akupunktur telah menunjukkan keberhasilannya sejak ribuan tahun lalu untuk
mengurangi bahkan membebaskan manusia dari penderitaan nyeri, bahkan
WHO pun telah merekomendasikan nyeri sebagai satu indikasi untuk terapi
akupunktur.
Sebagaimana didefinisikan oleh IASP (International Association for Study
of Pain), nyeri adalah unpleasant sensory and emotional experience
associated with actual or potential tissue damage or described in
terms of such damage. Nyeri adalah sensasi yang mempunyai posisi spesial
diantara bentuk sensasi yang lain, merupakan satu mekanisme protektif untuk
tubuh. Disamping mempunyai nilai informatif, input dari reseptor nyeri sangat
kuat mempengaruhi status emosional manusia.
Maxilofacial adalah daerah yang penting, baik fungsional maupun
kosmetik, dimana masalah rahang dan wajah sangat menentukan kwalitas
hidup, baik kelainan fungsi maupun keluhan nyeri. Akupunktur sering menjadi
pilihan bagi penderita maxilofacial, karena dapat sebagai komplemen terapi
medis yang lain.
Akupunktur dalam penelitian faal tubuh
Banyak studi yang menerangkan mekanisme fungsional akupunktur
terutama regulasi fungsi organ tubuh, cara kerja analgesik, proses imunologik
dan fungsi penyembuhan jaringan yang dicoba diterangkan dengan sistim
sarah, sistim nerohumoral, neroendokrin.
Penjelasan diatas dihubungkan dengan saraf perifer, sumsum tulang belakang
dan pusat-pusat diotak.
Tusukan jarum dihubungkan dengan nerotransmiter khususnya opiat
endogen yang sangat populer dari mekanisme faal akupunktur. Han (1997)
mengatakan efek rangsang spesifik titik akupuktur yang tidak melalui struktur
syaraf, kemungkinan berasal dari transmiter humoral yang belum dapat
diterangkan dengan jelas, tetapi reaksi morfofungsional organ atau jaringan
yang dapat mensekresi zat nerokimia dalam akupunktur dapat dibuktikan
dengan berbagai cara, baik pada hewan coba maupun relawan.
Secara umum, meskipun diketahui bahwa beberapa titik akupunktur
dapat meningkatkan kadar endorfin dalam darah maupun sistemik, tetapi
mempunyai daerah tangkapnya berbeda, antara lain :
1. Titik usus besar no.4 untuk daerah kepala atau leher
2. Titik perikardium no.6 untuk daerah dada
1
3. Titik lambung no.6 untuk daerah atas abdomen
4. Titik limpa no.6 untuk daerah pelvis
Dengan demikian penggunaan titik akupunkturpun berbeda sesuai dengan
kebutuhan daerah organ sasaran yang dituju, modulasi rangsangan titik
akupunktur juga menentukan reaksi faal dari organ sasaran (Han & Terenius,
1982)
Hantaran rangsang dari titik akupunktur
Nakatani, 1950 dalam Jing Yu, et al (1990) menamakan titik akupunktur
sebagai “Low resistance point” dan jalur meridian sebagai “Low resistance line”
dengan pengukuran hambatan kulit dibanding jaringan sekitarnya. Penelitian
titik dan meridian akupunktur juga dilakukan dengan teknologi kedokteran
nuklir melalui penyuntikan isotop teknesium perteknetat pada titik akupunktur
dilanjutkan dengan pelacakan dibawah kamera gamma (Saputra 1991,
Vernejoul 1991)
Saputra 1999, membuktikan keberadaan titik akupunktur adalah daerah
aktif listrik pada permukaan tubuh sebagai model pace maker jaringan yang
mempunyai aktifitas spesifik sebagai model hantaran rangsang yang tidak
selalu melalui model anatomis yang sudah diketahui.
Akupunktur untuk anti inflamasi
Akupunktur yang mempunyai dasar filosofi Yin Yang dapat diartikan
sebagai homeostasis dalam kedokteran konvensional, dimana keseimbangan
tersebut dapat melawan serangan penyakit dari luar melalui regulasi bioenergi,
menurut Bossy & Kahan dari Texas Medical School, konsep Yin Yang diatas
merupakan regulasi dari sistim imun. Menurut Nagano & Bossy, dari semua
sistim yang relatif paling berhubungan dengan akupunktur adalah peningkatan
opioid peptida.
Mekanisme penghambatan nyeri dan analgesia
Analgesia dapat dicapai dari berbagai jalan :
Di level medulla spinalis dimediasi oleh aktivasi oleh serabut naik kaliber besar
(Aα dan Aβ ). Rangsangan pada reseptor non noxious melalui serabut Aβ
dapat menghambat transmisi signal nociceptive di cornu posterior. Hal tersebut
merupakan dasar dari teori gerbang (gate theory) dan Melzack dan Wall. Input
ke cornu posterior juga berasal dari serabut descenderen yang berasal dari
supraspinal, melalui aktivasi interneuron yang menghambat (inhibitory
interneuron), terjadi di lamina II – IV berasal dari
 Periaquaductal grey (PAG) bersifat endorphinergic
 Nucleus raphe magnus (NRM) bersifat serotonergic
 Nucleus reticularis paragigantocellularis (NRPG) bersifat
noradrenergic
 Locus coeruleus (LC) bersifat noradrenergic
Semuanya akan merangsang/mengaktivasi interneuron melalui pelepasan
enkephalin di lamina II – IV dimana berakhir di ujung-ujung syaraf C yang
membawa rangsang nyeri lambat.
2
A. TRIGEMINAL NEURALGIA
Trigeminal sensory system
Adalah digambarkan dalam bagian skematik seperti dibawah ini :
Masalah trigeminal neuralgia (Hopwood, 1997)
Terutama nyeri yang sangat mengganggu kwalitas hidup menimbulkan
rasa ketakutan, marah sekaligus putus asa dengan serangan yang sering
mendadak timbul pada waktu aktif maupun istirahat. Penyebab trigeminal
neuralgia juga sering idiopatik, meskipun juga merupakan simptom dari lesi
sentral maupun tekanan dari ganglion N trigeminus. Oleh karena itu tujuan
dari terapi akupunktur adalah :
a. mengurangi sampai menghilangkan nyeri
b. menghilangkan spasme otot wajah
c. mengurangi kecemasan untuk mengembalikan keseimbangan hidup
Titik akupunktur yang dipakai untuk terapi trigeminal neuralgia
a. titik analgesia untuk daerah kepala dan leher, yaitu titik LI 4 yang
terletak pada otot dorsal manus inter ori I
3
b. titik paru pada telinga sebagai titik analgesia dan mempunyai akses
langsung pembentukan opiat endogen
c. titik lokal pada wajah dan daerah sensoris N trigeminus, yaitu :
- daerah mandibula : ST 4, ST 5, ST 6
- daerah pelipis : ST 8
4
Pola rangsangan pada titik akupunktur (Zaofa dkk, 1994)
a.
titik Li.4 diberikan dengan frekwensi rendah dan intensitas tinggi (< 10
Hz)
b.
titik lokal wajah (ST 4, ST 5, ST 6 dan ST 8) diberikan dengan frekwensi
tinggi dan intensitas rendah (>100Hz).
Tujuan rangsangan tersebut adalah :
Li.4 menimbulkan peningkatan sekresi opiat endogen (β
endorphin)
yang
akan
mempengaruhi
nucleus
trigeminus
pada
mesensefalon.
Titik lokal wajah akan menghilangkan spasme otot dan blokade
nyeri pada modalitas saraf tepi setelah ganglion semi lunar untuk
peningkatan met enkephalin dan serotonin.
Peningkatan opiat endogen juga merangsang imun respon
pembentukan interleukin, substansi P, dan pengingkatan peranan kelenjar
pituitary juga hypothalamus anterior yang memproduksi “Corticotrophin
Releasing Factor”
Modalitas Laser pada Trigeminal Neuralgia
Laser untuk tujuan Biostimulasi secara umum mempengaruhi mediator
biokimiawi antara lain cytokines, histamine, bradykinin dan sistim komplemen,
serotonin, dan prostaglandin yang merangsang proliferasi sel dan "Matrix
Remodelling". Banyak penelitian pada hewan coba dari laser untuk tujuan foto
biomodulasi antara lain; rat, mouse, guinea pig, rabbit, dengan hasil yang
dilaporkan tentang elektrofisiologi pada jaringan setelah pemberian penyinaran
laser.
Penggunaan sinar laser lunak pada akupunkur pada awalnya dipikirkan
untuk mengganti jarum pada terapi akupunktur terutama untuk menghilangkan
rasa nyeri otot oleh Dr. Friederich Plong dari Canada tahun 1970 tanpa
diketahui dasar penggunaan laser itu pada akupunktur dan terus
dikembangkan oleh Kroetlinger tahun 1980, juga pakar dari China, Jepang, dan
Eropa ; antara lain Wei 1981, Wu 1983, Qin 1987, Oshiro dan Calderhead 1988,
Shiroto et al 1989 dan Baxter 1989, dan mulai dapat diterangkan dasar
penggunaan laser lunak pada bio stimulasi akupunktur, tetapi yang terlihat
sampai saat ini terutama hasil empirik setelah perangsangan sinar laser.
Sedangkan yang terjadi pada titiknya sendiri belum dapat dijelaskan dengan
tuntas. Sejak tahun 1991, Baxter mulai melakukan penelitian penyembuhan
luka dengan penyinaran laser dengan hasil 62 % baik. Sebelumnya, yaitu
tahun 1982 mulai dilakukan penelitian laser untuk tujuan anesthesia lokal dan
disimpulkan adanya efek neurofarmakologi dan neurofisiologi nyeri setelah
pemberian laser.
Laser yang dipakai adalah jenis lunak (λ 600 – 1300 nm). Setiap titik
terapi 2 – 3 Joule/cm2 dilakukan 12 – 15 kali tergantung dari beratnya keluhan
5
Titik akupunktur untuk pengobatan Trigeminal Neuralgia dengan Laser
Modalitas stimulasi elektrik pada trigeminal neuralgia
Pada titik akupunktur yang mempunyai :
 Titik tangkap analgesia daerah leher dan kepala, yaitu LI.4 diberikan
rangsangan listrik. Gelombang listrik kontinyu, frekwensi rendah (< 10 Hz)
dan intensitas rendah selama 10 – 15 menit
 Titik tangkap lokal daerah wajah diberikan rangsangan listrik. Gelombang
listrik kontinyu, frekwensi tinggi dan intensitas rendah selama 10 – 15 menit.
Frekwensi terapi
Apabila parah, 2 x setiap hari selama 10 hari, sedangkan apabila ringan setiap
hari selama 1 bulan
B. TEMPOROMANDIBULAR JOINT DISORDER
Temporomandibular joint (TMJ) atau sendi rahang adalah satu-satunya sendi
bergerak yang terdapat di daerah wajah. Sendi ini sering mengalami kelainan yang
berkaitan dengan otot-otot daerah leher dan bahu. Karena itu, kelainan pada TMJ harus
selalu dipikirkan dalam menghadapi kasus kelainan muskuloskeletal daerah leher, dan
sebaliknya.
Anatomi dan Fisiologi TMJ
TMJ adalah sendi dengan tipe “ball and socket” (bola dan mangkok) yang
menghubungkan mandibula di bagian bawah dengan os temporalis di bagian atas.
Mandibula memiliki ujung yang bentuknya membulat (condylus mandibula) yang
berperan sebagai ‘bola’ dan bergerak di dalam ‘mangkok’ fossa temporalis. Di antara
condylus mandibula dan fossa temporalis terdapat suatu piringan (meniskus) dari
jaringan fibrous yang berfungsi sebagai pelumas pada pergerakan rahang sekaligus
sebagai peredam guncangan.
Dalam menjalankan fungsinya TMJ berkaitan erat dengan otot-otot pengunyah di
sekitarnya. Otot-otot yang berperanan dalam pergerakan rahang ke atas-bawah,
depan-belakang, dan menyamping adalah m. masseter dan m. temporalis. Untuk
melakukan gerakan mengunyah, menguap, berbicara, dan gerakan-gerakan rahang
yang lain diperlukan adanya koordinasi yang baik antara TMJ dan otot-otot pengunyah
di sekitarnya.
Definisi
6
Temporomandibular joint disorder (TMD) adalah kelainan pada TMJ yang
ditandai dengan nyeri tajam ataupun tumpul di daerah TMJ yang juga dapat menjalar
ke sekitarnya, keterbatasan atau gangguan pergerakan rahang, dan terkadang diikuti
timbulnya suara tambahan pada pergerakan rahang. Gejala-gejala tersebut
menimbulkan gangguan dalam proses mengunyah, menelan, menguap, maupun
berbicara.
Etiologi
Adapun hal-hal yang dapat menimbulkan TMD adalah sebagai berikut:
 Riwayat memiliki kebiasaan mengerot (bruxism)
 Susunan gigi geligi yang tidak teratur
 Pemasangan gigi palsu yang tidak tepat
 Trauma, baik yang berat maupun yang lebih ringan (misalnya trauma yang terjadi
pada saat makan atau mengunyah, menguap)
 Stres psikologis
Patofisiologi
Masalah yang terjadi pada TMD dapat meliputi otot, sendi, ataupun keduanya.
Sedangkan syaraf yang terlibat dalam patofisiologi TMD adalah N. Trigeminus (N V).
Hal ini menjelaskan mengapa nyeri yang timbul pada TMD dapat dirasakan di luar area
TMJ (dapat berupa sakit kepala, nyeri di daerah mata, rasa tertekan di sinus, nyeri di
telinga ataupun di gigi), sesuai dengan persyarafan N. V. Masing-masing cabang dari
N. V terdiri atas dua jenis serabut, yaitu serabut bermyelin dan serabut tak bermyelin.
Serabut bermyielin menghantarkan rangsangan nyeri dengan lebih cepat dan
menimbulkan sensasi nyeri tajam. Sedangkan serabut tak bermyelin yang berukuran
lebih kecil lebih peka terhadap sensasi nyeri tumpul – kronik dan tekanan. Hal ini
menjelaskan mengapa pada TMD dapat timbul jenis nyeri yang berbeda pada kasus
yang berbeda.
Kelainan Otot pada TMD
Kelainan otot dan jaringan konektif adalah penyebab TMD yang paling umum.
Kelainan otot yang dimaksud adalah kekakuan atau spastisitas dari otot-otot
pengunyah (m. Masseter dan m. Temporalis). Spastisitas akan menyebabkan
gangguan aliran darah pada otot yang bersangkutan, yang kemudian menimbulkan
iskemia dan kerusakan jaringan disertai nyeri. Nyeri itu sendiri akan menimbulkan
spasme otot lebih jauh. Akhirnya akan terjadi siklus spasme –nyeri – spasme yang
berujung pada terjadinya TMD.
Spastisitas otot-otot pengunyah, seringkali disebabkan oleh kebiasaan seharihari yang salah, seperti menggertakkan gigi maupun mengerot. Menggertakkan gigi
yang dimaksud adalah kebiasaan menggigit atau mengunyah sesuatu secara terus
menerus, seperti es, permen karet, pensil, kuku-kuku jari tangan, saat seseorang
dalam keadaan. Kebiasaan ini umumnya dipicu oleh suatu stres emosional. Sedangkan
mengerot (bruxism) adalah kebiasaan mengkertakkan gigi saat dalam keadaan tidur
(tidak sadar). Kedua kebiasaan tersebut menimbulkan kelelahan pada otot-otot
pengunyah yang selanjutnya akan mengalami spasme. Adanya masalah atau kelainan
pada susunan gigi geligi dan oklusi terkadang juga dapat menimbulkan ketegangan
pada otot-otot pengunyah dan memicu siklus spasme – nyeri – spasme.
Dalam banyak kasus, ketegangan otot secara primer terletak di daerah leher
dan bahu, yang kemudian menimbulkan nyeri pada TMJ. Dikatakan bahwa 75% dari
7
nyeri di daerah mulut dan wajah adalah nyeri alih (reffered pain) dari trigger points
yang terletak pada otot-otot daerah bahu dan leher. (16) Karena itu, untuk setiap
kelainan TMD dengan spastisitas otot, harus ditanyakan dan dilakukan pemeriksaan
untuk mencari nyeri dan spastisitas otot-otot daerah leher dan bahu.
Sistem stomatognathic adalah adalah suatu unit fungsional dari tubuh yang
terdiri dari beberapa jaringan dengan asal dan struktur yang berbeda-beda, namun
bekerja dalam suatu kesesuaian untuk melaksanakan tugas fungsional masing-masing.
Komponen utama dalam sistem tersebut adalah TMJ yang berhubungan dengan
dengan otot dan ligamen di daerah leher. Struktur lain yang terlibat antara lain
komponen rangka (maxilla dan mandibula), lengkung gigi, jaringan lunak (kelenjar liur,
syaraf dan pembuluh darah). Semua struktur ini saling bekerja sama untuk mencapai
efisiensi yang maksimal dengan tetap memberikan perlindungan untuk semua struktur
yang terlibat.
Peningkatan aktivitas pada otot-otot pengunyah akan mempengaruhi otot-otot
yang berperanan dalam ’counter support’ (m. Sternocleidomastoideus dan m.
Trapezius), yang berakibat memendeknya otot-otot leher bagian posterior dan
memanjangnya otot-otot bagian bagian, disertai kecondongan badan ke anterior.
Posisi kepala yang condong ke anterior selanjutnya akan menyebabkan kelainan posisi
dan fungsi dari mandibula sehingga terjadi peningkatan ketegangan otot-otot
pengunyah dan berujung pada terjadinya TMD.
Kelainan Sendi pada TMD
Kelainan yang dapat terjadi pada TMJ sama dengan kelainan yang umum terjadi
pada sendi tubuh, yaitu penggunaan sendi sacara berlebihan (overuse), arthritis,
dislokasi, dan kelainan perkembangan. (4) Masalah utama yang timbul pada kasus TMD
adalah terjadinya pergesaran cakram (meniscus) tulang rawan yang berperanan
sebagai peredam guncangan di dalam sendi ”ball and socket”. Cakram ini juga bisa
mengalami kompresi pada kasus dimana terdapat kebiasaan mengerot (bruxism) atau
menggertakkan gigi.
Dalam kasus-kasus yang pecah, cakram sendi dapat bergeser sepenuhnya, yang
akhirnya menyebabkan pecahnya cakram, sehingga tulang-tulang pembentuk sendi
(mandibula dan fossa temporalis) bergesakan secara langsung tanpa bantalan. Hal ini
dapat disebabkan tidak hanya oleh bruxism, melainkan juiga dapat disebabkan oleh
trauma pada rahang. Dapat timbul suara ’popping’ yang disebabkan oleh condilus
mandibula di bawah cakram yang bergeser dari tempatnya. Namun, adanya suara
tambahan (popping atau clicking) saja belum tentu menunjukkan adanya suatu
kelainan.
Manifestasi Klinis
Pasien dengan TMD pada umumnya datang dengan tiga keluhan utama, yaitu
nyeri, gangguan pergerakan rahang, atau timbulnya suara tambahan pada pergerakan
rahang. Nyeri yang timbul seperti telah dijelaskan sebelumnya, dapat bersifat tumpul
ataupun tajam. Nyeri timbul pada pergerakan rahang, misalnya mengunyah, menguap,
dan berbicara. Nyeri dirasakan di area lokal TMJ, preauricular, pelipis, atau telinga.
Nyeri juga dapat menjalar ke telinga, wajah, mata, kepala, leher, atau bahu.
Selain nyeri, pasien umumnya mengeluhkan adanya gangguan pada pergerakan
rahang. Rahang terkadang tiba-tiba ’macet’ saat membuka atau menutup mulut, atau
pada saat mengunyah. Pasien harus menggoyang-goyangkan rahangnya beberapa
saat untuk menghilangkan sensasi ’macet’ tersebut. Pasien juga dapat mengalami
kesulitan untuk membuka mulutnya lebar-lebar. Akibat gangguan pergerakan rahang
8
tersebut, pasien sering kali harus memotong makanannya kecil-kecil atau mengganti
jenis makanan tertentu dengan jenis makanan yang lebih lunak.
Adanya suara tambahan (popping, clicking) pada pergerakan rahang terkadang
juga dikeluhkan oleh pasien. Suara tambahan tersebut menunjukkan bahwa kelainan
terletak pada bagian persendian dari TMJ.
Anamnesa
Selain ketiga keluhan di atas, pasien harus ditanya mengenai adanya riwayat
traumapada daerah rahang (terkena pukulan atau kecelakan saat mengendarai
sepeda motor). Demikian pula harus dicari kemungkinan adanya faktor-faktor
psikologis dan psikososial sebagai pencetus stres, yang berperan besar dalam
menimbulkan gangguan otot pada TMD. Selanjutnya harus ditanyakan mengenai
keadaan sendi-sendi lain di luar TMJ, untuk mencari kemungkinan adanya
osteoarthritis atau rheumatoid arthritis sebagai pencetus keluhan pada TMJ.
Pemeriksaan Fisik
Mula-mula harus dilakukan inspeksi secara umum untuk melihat keadaan gigi
pasien (susunan gigi, oklusi, pola menggigit yang abormal), TMJ, serta otot-otot daerah
wajah dan kepala, apakah didapatkan deformitas ataupun kekakuan otot. Selanjutnya
harus diamati pola gerakan membuka dan menutup rahang, apakah didapatkan
deviasi atau deformitas.
Selanjutnya palpasi dilakukan di daerah preauricular, daerah m. Masseter dan
m.Temporalis. Sambil melakukan palpasi, pemeriksa meminta pasien untuk membuka
dan menutup mulut beberapa kali. Dengan demikian akan dapat diketahui ada
tidaknya suara tambahan pada pergerakan TMJ, sambil secara bersamaan dilakukan
penekanan untuk memastikan apakah suara tambahan yang muncul diikuti dengan
nyeri atau tidak. Pasien diminta untuk membuka mulut selebar mungkin untuk diamati
jarak antara gigi rahang atas dan rahang bawah. Bila berjarak kurang dari 4 cm,
dikatakan terjadi keterbatasan gerak membuka mulut. Palpasi juga bertujuan untuk
menilai ada tidaknya ketegangan otot ataupun deformitas pada TMJ dan sekitarnya.
Apabila pada palpasi saat membuka dan menutup mulut tidak didapatkan suara
tambahan, dapat dilakukan auskultasi dengan bantuan stetoskop pada area TMJ.
Dengan menggunakan stetoskop diharapkan adanya suara tambahan yang minimal
sudah dapat diketahui sejak awal.
Pemeriksaan Tambahan
Sebagai pemeriksaan tembahan, dapat dilakukan panoramic dental X-rays
untuk memeriksa keadaan dan susunan gigi. Untuk susunan tulang dapat dilakukan
pemeriksaan CT-scan, sementara MRI lebih sesuai untuk menilai keadaan jaringan
lunak dari TMJ, seperti piringan sendi atau ligamennya.
9
Nyeri Temporomandibular dengan TMJ
Terapi
Terapi TMD Secara Konvensional
Banyak faktor yang terlibat dalam proses terjadinya TMD, sehingga terapi untuk TMD
juga meliputi banyak modalitas, yaitu:
1. Perubahan gaya hidup. Penderita TMD perlu mengistirahatkan rahang dengan
memilih jenis makanan yang lebih lunak dan menggigitnya dalam ukuran yang
lebih kecil. Pasien juga perlu diberi pengertian untuk berusaha menghentikan
kebiasaan menggertakkan gigi, mengerot, ataupun mengunyah permen karet.
2. Medikamentosa. Untuk terapi TMD dapat digunakan obat-obatan yang umum
digunakan untuk nyeri sendi pada umumnya, antara lain NSAID, acetaminophen,
muscle relaxants, dan mungkin dapat ditambahkan obat-obatan anti depressants
dosis rendah bila gejala psikologis.
3. Terapi fisik. Pemijatan dan latihan untuk pelemasan otot (stretching), penggunaan
TENS (Trans-cutaneous Electrical Nerve Stimulation). Dapat pula dilakukan kompres
panas-dingin bergantian untuk membantu mengurangi ketegangan otot dan
dengan demikian mengurangi nyeri.
4. Psikoterapi. Karena stres psikologis merupakan salah satu penyebab yang berperan
besar dalam proses terjadinyaTMD, maka psikoterapi harus dilaksanakan oleh
pasien dengan dugaan masalah psikologis sebagai penyebabnya.
5. Perawatan gigi. Penggunaan ’night guard’ (umumnya pada malam hari), dapat
bermanfaat untuk membuat otot-otot pengunyah relaks, sekaligus untuk mencegah
pasien menggerakkan gigi atau mengerot. Namun penggunaan ’night guard’ ini
sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu pada dokter gigi yang berkompeten.
Terkadang juga dibutuhkan koreksi susunan gigi atau ataupun oklusi oleh
orthodontist.
6. Operasi. Upaya koreksi dengan operasi adalah upaya terakhir yang dilakukan bila
modalitas terapi yang mlain gagal dan nyeri masih menetap.
TMD dalam Ilmu Akupunktur
Berdasarkan ilmu akupunktur, gangguan pada sendi rahang (TMD) berhubungan
erat dengan serangan faktor patogen angin dingin. Dingin, cenderung menyebabkan
koagulasi dan kontraksi dari otot-otot, tendon, dan pembuluh darah, sehingga
menimbulkan spasme dari otot-otot rahang.
Trauma dan regangan yang berlebihan pada sendi rahang (misalnya membuka
mulut terlalu lebar) juga merupakan salah satu faktor resiko. Faktor trauma ini dapat
menimbulkan nyeri pada rahang dan keterbatasan gerakan mulut.
Berdasarkan patofisiologinya, dalam ilmu akupunktur kelainan sendi rahang dapat
dibedakan menjadi dua tipe, yaitu:
1. Tipe serangan angin dingin
Onset terjadi perlahan-lahan, tidak mendadak, dan bertambah parah secara
bertahap. Kondisi ini dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Angin dan dingin
adalah faktor patogen yang menyebabkan koagulasi dan kontraksi dari meridian di
daerah wajah dan otot-otot rahang. Umumnya disebabkan oleh paparan angin
dingin selama pasien tidur.
Gejala yang menyertai adalah spasme kronis dari otot-otot rahang, rasa nyeri
seperti teregang, kelemahan, kekakuan, adanya suara tambahan pada pergerakan
10
sendi rahang, keterbatasan pada pergerakan mulut ataupun abnormalitas
pergerakan rahang bawah.
Pada pasien yang mengalami kondisi ini dalam waktu lama, dapat terjadi
komplikasi seperti berkunang-kunang, tinitus, kelemahan secara umum, wajah
pucat, dan kelelahan. Gejala-gejala tersebut umumnya disebabkan karena kesulitan
menelan dalam waktu lama, berkurangnya intake makanan, dan kondisi badan
yang semakin melemah. Gejala lain yang dapat dijumpai adalah selaput lidah putih
tipis dan nadi yang lemah (membenang).
2. Tipe traumatik
Kondisi ini umumnya terjadi unilateral. Trauma menyebabkan pembengkakan
ataupun nyeri pada wajah di sekitar TMJ. Dengan ‘detumescence’ yang bertahap,
penderita akan mengalami nyeri ataupun keterbatasan gerak pada sisi yang
terkena saat mengunyah ataupun membuka mulut. Beberapa orang pasien
mengalami sakit kepala dan gangguan pendengaran. Dari pemeriksaan didapatkan
selaput lidah kuning tipis dan nadi yang dalam.
Sisi dagu yang terkena umumnya diposisikan sedikit legerakan rahang.bih tinggi
dibandingkan sisi yang normal. Selain itu juga didapatkan nyeriyang hebat di area
sekitar TMJ, keterbatasan pergerakan mulut, dan suara tambahan pada pergerakan
rahang.
Terapi Akupunktur untuk TMD
Akupunktur adalah salah satu alternatif yang terapi untuk TMD yang
memberikan hasil yang memuaskan. Terapi akupunktur dilakukan berdasarkan
patofisiologi yang terjadi, yaitu:
Tipe serangan angin dingin
Prinsip terapi mengusir dingin dan mengaktifkan meridian untuk menghilangkan
nyeri. Pemilihan titik : ST 7 (xiaguan), LI 4 (hegu), EX-HN 5 (taiyang), GB 20 (fengchi).
Penusukan dapat dilakukan unilateral maupun bilateral, dengan manipulasi sedasi
Tipe traumatik
Prinsip terapi menghilangkan stasis untuk mengaktifkan meridian, mengaktifkan
aliran darah untuk menghilangkan nyeri. Pemilihan titik : ST 7 (xia guan), LI 4 (he gu),
EX-HN 5 (tai yang). Penusukan dilakukan unilateral pada sisi yang terkena dengan
metode manipulasi sedasi. Skedul terapi setiap hari selama 10 x dan dapat diulang
setelah evaluasi 3 hari. Tambahan rangsangan LASER lunak pada TMJ dengan dosis 2
Joule setiap penderita datang dan sangat meningkatkan kwalitas terapi.
11
Kesimpulan
 Akupunktur dapat memberikan alternatif pengobatan pada Trigeminal
Neuralgia dan Temporomandibular joint disorder (TMD)
 Modalitas elektrik dan Laser dapat meningkatkan kwalitas terapi akupunktur
pada Trigeminal Neuralgia
Daftar Pustaka
Baxter GD. Therapeutic Laser. Theory and Practice. Churchill Livingstone. 1994
Beiser A. Concept of Modern Physics. McGraw Hill Inc. 1981
Chen Moxun, et al. Atlas of cross sectional anatomy of human 14 meridians and
acupoints. science press, Beijing – New York, 1998
Chester AN, Martellucci S, Scheggi AM. Laser System for Photobiology and
Photomedicine. Nato ASI Series. Plenum Press, New York - London, 1991
Cho,Z.H., etal, Neuro Acupuncture, vol 1 : Neuroscience Basics, Q-puncture Inc,
Los Angeles, 2001.
David F Mayor. Electroacupuncture. A practical manual and resourse. Churchill
Livingstone Elsevier, 2007
Farber SD. Neurorehabilitation. A multisensory approach. WB.Saunders Co, 1982 :
65
Ganglin Yin, Di Fu. Three Needle Technique, Atlantic Institute of Oriental Medicine.
2002
Gellman H. Acupuncture Treatment for Musculosceletal Pain: Taylor & Francis
Publ. Office USA, 2002.
Han JS. The Neurochemical Basis of Pain Relief by Acupuncture. A Collection of
Paper 1973-1987, Beijing Medicine University 1990.
Hopwood V, Lovesey M, Mokone S. Acupuncture and related technique in
physical therapy. Churchill Livingstone, 1997 : 191
Hou LD. Muscle Injuries and Pain Involving Back and Limbs. Clinical and
experimental studies on acupuncture treatment of muscle injuries: TCM Press CA
91744, USA, 2000.
Jie Lu Shao. Acupuncture for Musculoskeletal Injury, People’s Medical Publsihing
House, Beijing-London-New york. 2008
Jin GY, et al. Contemporary Medical Acupuncture. A system Approach. Higher
Education Press, 2006.
Kittelberger,K.P., Borsook,D., Neural Basis of Pain in Borsook,D., etal, The
Massachusetts General Hospital Handbook of Pain Management, Little,
Brown and Company, Boston, 1995
Lu Shaojie. Handbook of Acupuncture in the treatment of Nervous System
Disorders. Donica Publ. 2002
12
Myers TW. Anatomy Trains. Myofascial Meridian for Manual and Movement
Therapists. Churchill Livingstone, 2001.
Naeser MA, Wei XB. Laser acupuncture. An introductory textbook for treatment of
pain, paralysis, spasticity and other disorders. Boston Chinese Med., 1994 : 72
Naeser MA, Wei XB. Short Synopsis : Efficacy of Low Energy Laser in the
Stimulation of Hair Growth in Alopecia Areata ang Alopecia Totalis in
Adults and Children. Naeser Lecture Notes.
Saputra K. Acupuncture Technique Treating Trigger Point. Konas Indonesian Pain
Society 25-27 April 2002.
Saputra K. Acupuncture. Bioenergetic and Homeostasis Network, LP3A 2003.
Saputra K. Akupunktur analgesia. Meridian Vol. IV/3. DPD PAKSI Jatim, 1997 : 142 –
151
Saputra K. Laser untuk biostimulasi pada akupunktur. Meridian Vol. IV/1. DPD
PAKSI Jatim, 1997 : 48-50
Saputra, Koosnadi, dkk., Akupunktur untuk cedera otot dalam buku Akupunktur
Olahraga, LP3A-AAS-Hidami, Surabaya. 2008.
Schneideman I. Medical acupuncture, Acupuncture in the inner ealer. Everbest
Printing Co Ltd, Hongkong 1988
Sherwood,L; Human Physiology From Cell to System, Chapter 4 Neuronal
Physiology Chapter 5 The Central Nervous System, Chapter 6 the
Peripheral Nervous System : Afferent Division, Thomson, Brooks/Cole,
Australia, 2004.
Sidharta Priguna, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam praktek umum. PT. Dian
Rakyat, Jakarta. 1983.
Starmard,C.F., Booth,S., Churchill’s Pocketbook of Pain, Chapter 1 Anatomy and
Physiology of Pain, Churchill Livingstone, Edinburgh, 1998.
Starwynn D. 2004. Microcurrent Electro-Acupuncture. Bio-electric Principles,
Evaluation and Treatment. Desert Heart Press, Phoenix, Arizona.
Stone, R. A Course in Manipulative Therapy with Principles and Illustrations of
the New Energy Concept of the Healing Art.
Tao Ma Y, Mila Ma, Zang Hee Ch. Biomedical Acupuncture for Pain Management.
An integrative approach. Elsevier Churchill Livingstone, 2005
--. WHO International Standard Terminologies on Traditional Medicine in the
Western Pacific Region. World Health Organization Western Pacific Region,
WHO 2007
--. WHO Standard Acupuncture Point Locations in the Western Pacific Region.
World Health Organization Western Pacific Region, WHO 2008
Wright,A., Neurophysiology of pain and pain modulation, in Strong,J., etal, Pain :
a Textbook for Therapists, Churchill Livingstone, Edinburgh, 2004.
Zaofa Z, Ding Z, Xiping J. Fundamental and clinical practice of electroacupuncture.
Beijin Science & Tech. Press, 1994 : 175
13
Download