Produksi dan Perubahan Fisiologi Rambutan Binjai

advertisement
KONDlSl POHON PASCA INDUKSI PEMBUNGAAN
MASA OFF-YEAR
Pendahuluan
Latar Belakang
Induksi pembungaan pada pohon buah-buahan dapat dilakukan dengan cara
menghambat
pertumbuhan
vegetatif
tanaman,
meningkatkan
akumulasi
karbohidrat tersimpan di tajuk pohon, atau mengganggu keseimbangan hormonal
di dalamnya. Perlakuan fisik dengan cara menghambat 1 memutuskan aliran
karbohidrat dari tajuk ke akar telah digunakan dalam skala komersial untuk
mengatur produksi jeruk di Israel, Amerika, Spanyol, dan Afiika Selatan (Cohen
et al. 1988 dalam Rabe dan Krajewski 1995) diketahui mampu membungakan
rambutan di luar musim (Poenvanto et al. 2000).
Perlakuan kerat batang utama dapat memutuskan pasokan fotosintat dari
tajuk ke daerah perakaran. Pada kondisi tertentu, perlakuan tersebut mampu
meningkatkan akumulasi pati tajuk, menurunkan akumulasi pati di akar dan dapat
menyebabkan pohon mengalami stres akar. Stres akar yang berlebihan dapat
mengganggu hngsi akar dalam menyerap air dan hara untuk memenuhi
kebutuhan tanaman. Hasil percobaan Schecter et al. (1994) menunjukkan,
perlakuan kerat pada cabang-cabang apel dengan cara membuang kulit cabang
secara melingkar selebar 1.5 cm dapat menurunkan kadar hara makro (N, P, K,
Ca, Mg) dan mikro (Mn, Cu, Zn, B, Fe) daun dari cabang-cabang apel yang tidak
berbuah. Perlakuan kerat batang utama secara melingkar dengan membuang kulit
batang sekitar 4 - 5 cm di bawah percabangan sebanyak dua keratan dengan lebar
efektif 1 mm pada pohon satsuma Mihowase dapat menurunkan kadar klorofil
107
daun secara nyata. Pada kondisi tanaman tercukupi kebutuhan airnya, kadar
nitrogen tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan kerat batang, namun dalam
keadaan defisit air, perlakuan kerat batang dapat menurunkan kadar nitrogen daun
(Peng dan Rabe 1996).
Dalam kondisi lingkungan yang mendukung dan pohon dalam kondisi sehat,
jaringan floem yang terputus di batang utama akibat perlakuan kerat batang dapat
terbentuk dan tersarnbung kembali. Menurut Rabe dan Krajewski (1995) floem
yang terbentuk di bekas luka keratan tidak pernah teregenerasi secara sempurna,
sehingga mengakibatkan translokasi floem menjadi lambat secara permanen.
Dengan tidak lancarnya aliran metabolit dari tajuk ke akar, dapat mengakibatkan
kebutuhan akar akan hasil fotosintat tidak terpenuhi secara optimal. Kondisi
tersebut diduga mampu mempengaruhi pertumbuhan akar dan kemampuan akar
dalam penyerapan hara serta sintesis hormon-hormon tertentu.
Dalam pembentukan dan pembesaran buah, buah akan membutuhkan
banyak hasil fotosintat. Menurut Akao et al. (1981) dalam Goldschmidt (1999)
untuk perkembangan reproduktif, tanaman banyak mendapat suplai dari
karbohidrat tersimpan. Dengan semakin lebatnya buah yang terbentuk, maka
akan semakin banyak membutuhkan hasil fotosintat untuk pertumbuhannya.
Dengan demikian semakin banyak karbohidrat tersimpan yang diremobilisasi
untuk dialirkan ke daerah pembentukan buah.
Lebar luka keratan harus sesuai, tidak terlalu lebar dan tidak terlalu sempit,
agar kulit atas dan bawah luka keratan dapat menyatu tepat pada waktunya.
Sebelum luka tersambung kembali, diharapkan pohon telah cukup menerima stres
fisik untuk inisiasi pembungaan.dan diharapkan luka telah pulih kembali setelah
108
tanaman berhasil berbuah. Hal ini diperlukan agar pertumbuhan akar tanaman
tidak terganggu dan mampu berfbngsi secara normal.
Berdasarkan ha1 tersebut di atas maka dilakukan pengamatan waktu yang
diperlukan jaringan kulit batang terluka untuk dapat menyatu kembali serta
melihat anatomi jaringan yang terbentuk di bekas luka keratan. Hal lain yang
perlu diamati adalah kondisi pohon pasca perlakuan kerat batang - KNO3 pada
pohon yang pernah dan belum pernah dikerat, dengan arah untuk melihat sampai
sejauh mana perlakuan kerat batang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup
pohon rambutan.
Tujuan Percobaan
Tujuan dilakukannya percobaan ini adalah untuk mengetahui:
1. Pemulihan luka dan kesempurnaan sambungan setelah perlakuan kerat
batang.
2. Penampilan tajuk pohon setelah perlakuan kerat batang dan .setelah masa
berbuah selesai.
Hipotesis Percobaan
1.
Jaringan floem yang terputus akibat perlakuan kerat batang akan dapat
tersambung kembali.
2.
Perlakuan kerat batang mempengaruhi penampilan tajuk pohon.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Percobaan
Percobaan lapang dilaksanakan pada bulan April 2000 hingga Maret 2002,
berlokasi di Kebun Buah Blok B Taman Buah Mekarsari, Cileungsi - Bogor pada
ketinggian tempat 80 m dpl.
109
Analisis anatomi jaringan dilaksanakan mulai bulan Oktober 2001 hingga
April 2002 di Laboratorium Sitologi
-
Herbarium Bogoriense, Bogor;
Laboratorium Bioteknologi Kehutanan - Biotrop, Tajur-Bogor; dan Laboratorium
Mikrobiologi - Puslitbang Kehutanan, Gunung Batu - Bogor.
Bahan dan AIat Percobaan
Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini adalah rambutan Binjai
berumur 4 tahun berlokasi di areal Kebun Buah Blok B Taman Buah Mekarsari.
Bahan kimia dan peralatan yang digunakan adalah bahan dan alat untuk
analisis anatomi jaringan serta mikroskop binokuler berkamera.
Metode Percobaan
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan pohon percobaan yang
digunakan pada Percobaan "Pembungaan dan Produksi Rambutan Binjai 08-Year
setelah Induksi Pembungaan pada Fase Tumbuh Berbeda" (Percobaan I, 11, dan
111) serta Percobaan "Fluktuasi Perubahan Pati Tajuk-Akar dan Hubungannya
dengan Pembungaan dan Produktivitas Rambutan Binjai" (Percobaan IV).
Pada Percobaan I, 11,111, dan IV dilakukan pengamatan:
1. Perubahan yang terjadi pada daun setelah perlakuan kerat batang-KN03 pada
pohon yang pernah dan belum pernah dikerat batang tahun sebelumnya.
2. Pembentukan kalus dan penyambungan kalus atas dan bawah luka keratan.
3. Perubahan fisik pohon setelah buah dipanen.
Analisis anatomi jaringan
hanya dilakukan pada Percobaan
IV.
Pengambilan jaringan baru di daerah luka keratan dilakukan setelah ada kalusl
jaringan yang menghubungkan bagian atas dan bawah luka keratan. Sarnpel
diambil dengan cara melakukan sedikit penyayatan setebal 0.5 cm dan sepanjang
110
lcm pada tempat dimana diperkirakan terjadi penyambungan floem dari bagian
atas dengan bagian bawahnya. Selain itu, sebagai perbandingan juga dilakukan
pengamatan pada pohon kontrol yang belum pernah dikerat dan dibekas luka kerat
tahun sebelumnya.
Jaringan sampel dimasukan ke dalam botol bekas film yang berisi FAA dan
kemudian dibekukan dalam parafin. Untuk melihat apakah jaringan floem yang
terbentuk tersebut sempurna, dilakukan pemotongan jaringan sampel tersebut
setipis mungkin dengan bantuan mikrotom dan diamati dibawah mikroskop.
Untuk memudahkan pengamatan dan pembahasan, preparat tersebut difoto secara
mikroskopik pada perbesaran 40x dan 100x.
Hasil Percobaan
Penampakan Daun
Sebagian besar pohon percobaan yang mendapat perlakuan kerat batang
dengan dan tanpa KN03 menguning daunnya pada 4 MSP, seperti t.mpak pada
Gambar 30 dan 31. Daun yang menguning tersebut, sebagian besar adalah daun
yang berada di ujung ranting yang sudah berkembang penuh. Gejala tersebut
muncul baik pada Percobaan I, 11, III maupun IV. Ada sekitar 60% pohon
Percobaan IV menunjukkan gejala seperti tersebut di atas, sedangkan pada
Percobaan 1,II, dan 111 bervariasi seperti yang terlihat pada Gambar 32.
Selama penelitian berlangsung, terdapat dua pohon yang mendapat
perlakuan kerat batang dari pohon yang pernah dikerat, mati mendadak setelah
sebelumnya menunjukkan gejala dessiensi hara yang cukup berat, dimana lebih
dari 90% daunnya klorosis dan mulai ada gejala nekrosis pada pinggir-yinggir
daunnya. Setelah dilakukan analisis di daerah perakarannya tidak ditemukan
111
adanya penyakit ataupun hama yang menyerang. Kedua pohon tersebut mati pada
9 dan 10 MSP. Sedangkan setelah periode panen buah, terdapat dua buah pohon
yang pertumbuhannya sangat merana seperti tampak pada Gambar 33, daunnya
banyak yang rontok dan rendah sekali laju pertumbuhannya. Kalus belum
terbentuk dibekas luka keratan hingga 15 BSP pada kedua pohon tersebut
(Gambar 33). Sedangkan pada pohon lainnya, luka sudah tertutup kalus dan
secara visual kalus yang tumbuh dari luka atas dan luka bawah keratan sudah
tersambung serta tarnpak normal pertumbuhannya (Gambar 34 dan 35).
Gambar 30. Gejala defisiensi unsur hara pada daun rambutan Binjai setelah
perlakuan kerat batang - KN03
Gambar 31. Penampilan fisik pohon pada 10 minggu setelah perlakuan kerat
batang - KN03
Mengingat terdapat 2 pohon mati dan sebagian besar tanaman menunjukkan
gejala yang sama, maka pada 10 MSP tajuk disemprot dengan pupuk daun yang
mengandung ektrak ikan bercampur humid acid + hlvic acid dan tanah di bawah
tajuk disiram dengan larutan humid acid. Satu minggu setelah penyemprotan,
gejala defisiensi unsur hara mulai berkurang (daun menguning berangsur-angsur
menghijau kembali) pada sebagian besar pohon.
1
Pohn Percotean 3
i
Gambar 32. Diagram persentase pohon percobaan yang menunjukkan gejala
kekurangan unsur hara setelah perlakuan kerat batang-KNOs dan
perlakuan kerat tahun sebelumnya pada 10 MSP
Tajuk Pohon
Perlakuan kerat batang secara nyata menurunkan kerimbunan pohon
rambutan Binjai Percobaan I, I11 dan IV tetapi tidak pada Percobaan 11, dapat
dilihat dari rendahnya jumlah anak daun per ranting per pohon (Gambar 33 dan
36). Kondisi ini diduga ada hubungannya dengan perlakuan kerat batang dan
tinggi rendahnya buah yang dihasilkan pohon tersebut.
"hmbm 33. Pemmpk behs luka keraEan pada 15 BSP dari poQon yaug
w
pernah dikerat h g m luka b m belurn menyatu @ri) dan
-wi-wm
&bar
34. Pmmpilan Mas luka keratan (IS BSP)
h h bPu telah
menyatu l a dari pohon yang belm pemah dikesrd @hi)
dm
-*&yaw=)
Oambar35. Penampilanbekas lulrakaatan (15 BSP) dmpnluhbarutelah
menyatu 100 % dsti p o h yang pemah dikerrd (kki) dan
penampilan*h~(Irarran)
Pada Percobaan I, kerimbunan pohon perlakuan kerat batang menurun
dibandingkan pohon kontrol dari pohon yang belum pernah dikerat batang, baik
perlakuan tersebut dikombinasikan ataupun tidak dengan KN03 dari pohon yang
belum pernah dikerat maupun pernah dikerat sebelumnya. Perlakuan KN03 tidak
menyebabkan daun rontok. Tingginya kerontokan daun pada pohon dikerat
dikombinasikan dengan KN03 bukan disebabkan oleh perlakuan KN03 yang
diberikan, tetapi lebih disebabkan oleh perlakuan kerat batangnya, mengingat
jumlah anak daun per ranting dari pohon yang dikerat dikombinasikan dengan
perlakuan KN03 dengan yang hanya mendapat perlakuan kerat batang saja tidak
berbeda nyata.
-
An& Daun per Ranting Pohon
I
[cl
[dl
Data dalam satu gambar yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda
nyata secara statistika menurut uji BNT 5%
Gambar 36. Jumlah anak daun rambutan Binjai per ranting sampel setelah
perlakuan kerat batang dan KNO3 pada 12 BSP. [a] Percobaan I;
[b] Percobaan 11; [c] Percobaan 111; [dl Percobaan IV
115
Kondisi pohon Percobaan 111 setelah berbuah tidak jauh berbeda dengan
kondisi pohon Percobaan I. Dimana pohon yang diberi perlakuan kerat batang
saat kondisi pohon dorman, tingkat kerontokan daumya tinggi. Jumlah rata-rata
anak daun pohon tersebut 30% lebih sedikit dibandingkan pohon yang tidak
dikerat batangnya (Gambar 36).
Pada Percobaan 11, perlakuan kerat batang tidak meningkatkan kerontokan
daun rambutan Binjai, meskipun ada kecenderungan pohon yang dikerat
mempunyai daun lebih sedikit dibandingkan pohon yang tidak dikerat (Garnbar
36).
Kondisi pohon Percobaan IV setelah berbuah tidak jauh berbeda dengan
pohon Percobaan I dan 111. Pohon yang diberi perlakuan kerat batang saat kondisi
pohon dorman, tingkat kerontokan daunnya tinggi. Jumlah rata-rata anak daun
pohon tersebut 40-55 persen lebih sedikit dibandingkan pohon yang tidak dikerat
batangnya (Gambar 36). Bahkan pada beberapa pohon, kondisi tajuknya cukup
parah, yaitu pohon yang pernah dikerat kemudian mendapat kerat batang kembali
mempunyai tingkat kerontokan > 75% seperti tampak pada Gambar 33.
Penyembuhan Luka Kerat Pasca Perlakuan Kerat Batang
Penutupan luka kerat pohon Percobaan I lebih lambat dibandingkan pohon
Percobaan I1 dan 111. Pada Percobaan I, saat 23-27 MSP baru ada sekitar 66.7%
bekas luka keratan yang tertutup kalus dan tersambung. Sedangkan pada
Percobaan 11, saat 19 MSP sudah terdapat 66.7% pohon percobaan yang luka
bekas keratannya tertutup kalus dan tersambung. Penutupan luka bekas keratan
pohon Percobaan I11 juga lebih cepat dibandingkan Percobaan I, sekitar 66,7%
luka keratan sudah tertutup kalus dan tersambung kembali pada 16-20 MSP
(Tabel 14 dan 15).
Tabel 14. Penutupan luka oleh jaringan kalus pada rambutan Binjai yang
diperlakukan pada bulan April, Mei, dan Juni 2000.
Pernah Dikerat
Waktu
U1.
Belum Pernah Dikerat
kerat + KN03
Pengeratan
kerat
kerat
kerat + K N 0 3
1
23
MSP
(Okt.)
27
MSP
(Nov)
23
MSP
(Okt.)
27
MSP
(Nov)
15 April '00 mat i
27 MSP (Nov) 27 MSP (Nov)
[31
2
Percob. 1 3 27 MSP(Nov)
23 MSP (Okt.)
[31
[31
1 27 MSP (Des) 19 MSP (Okt.) 19 MSP(0kt.) 19 MSP (Okt.)
15 Mei '00 19 MSP (Okt.) 19 MSP (Okt.)
141
2 19 MSP (Okt.)
Percob. 2
3 19 MSP (Okt.) 19 MSP(0kt.)
[dl
23 MSP(Nov)
1
mati
20 MSP (Nov) 20 MSP (Nov) 20 MSP (Nov)
12 Juni '00 16 MSP (Okt.) 20 MSP (Nov)
[31
2 16 MSP (Okt.)
Percob. 3 3 16 MSP (Okt.) 20 MSP (Nov)
[41
[31
Keterangan :
Pada saat pengamatan terakhir (3 1 Januari 2001), kondisi luka keratan sbb. :
[O] = belum ada kalus tumbuh di jaringan yang terluka
[l] = < 25% jaringan terluka muncul kalus
[2] = 25% < x < 50% jaringan terluka muncul kalus
[3] = 50% < x < 75% jaringan terluka muncul kalus
[4] = 75% < x < 100%jaringan terluka muncul kalus
[5] = 100 % jaringan terluka muncul kalus
Hingga pengamatan bulan Januari 2001, baik pada Percobaan I (35 MSP),
Percobaan I1 (3 1 MSP) maupun Percobaan I11 (28 MSP), masih ada luka keratan
yang belum tertutup kalus 100% (baru sekitar 50-75 persen luka keratan tertutup
kalus), yaitu pada perlakuan kerat batang tanpa KN03 dari pohon yang pernah
dikerat dan belum pernah dikerat serta dari pohon yang mendapat perlakuan kerat
batang+KNOs dari pohon yang belum pernah dikerat. Bahkan pada Percobaan 111,
yaitu pohon yang diberi perlakuan kerat batang tanpa KN03 dari pohon yang
belum pernah dikerat, ada yang persentase penyambungan lukanya masih rendah,
yaitu kurang dari 50% lebar luka keratan.
Tabel 15. Penyambungan luka oleh jaringan kalus pada rambutan Binjai yang
diperlakukan pada bulan April, Mei, dan Juni 2000, pengamatan
dilakukan hingga 3 1 Januari 200 1.
I
J
Waktu Kalus Atas dan Kalus Bawah Tersambung
Belum Pernah Dikerat
Pernah Dikerat
Waktu ..................Ul.
...............................................
.................
kerat + KNO3
kerat
Pengeratan
kerat + KN03
kerat
1 23 MSP (Okt.) 23 MSP (Okt.) 27 MSP (Nov) 27 MSP (Nov)
15 April '00 mati
27 MSP (Nov) 27 MSP (Nov)
131
2
23
MSP
(Okt.)
[3]
Percob. 1 3 27 MSP (Nov)
[2]
1 27 MSP @es) 19 MSP (Okt.) 19 MSP (Okt.) 19 MSP (Okt.)
15 Mei '00 19 MSP (Okt.) 19 MSP (Okt.)
[41
2 19 MSP (Okt.)
23 MSP (Nov)
Percob. 2 3 19 MSP (Okt.) 19 MSP (Okt.)
131
20
MSP (Nov)
(Nov)
20
MSP
(Nov)
20
MSP
1
mati
12 Juni '00 16 MSP (Okt.) 20 MSP (Nov)
131
2 16 MSP (Okt.)
Percob. 3 3 16 MSP (Okt.) 20 MSP (Nov)
PI
[21
Keterangan:
Saat pengamatan terakhir (3 1 Januari 2001), kriteria penampilan luka keratan sbb:
[O] = belum ada jaringan kalus atas dan bawah tersambung
[ l ] = < 25% jaringan kalus atas dan bawah tersambung
[2] = 25% < x < 50% jaringan kalus atas dan bawah tersambung
[3] = 50% < x < 75% jaringan kalus atas dan bawah tersambung
[4] = 75% < x < 100%jaringan kalus atas bawah tersambung
[5] = 100 % jaringan kalus atas dan bawah tersambung
%
,
Pada perlakuan kerat batang+KNOs dari pohon yang pernah .dikerat tahun
sebelumnya, luka keratan telah 100% tertutup kalus pada 16 MSP untuk
Percobaan 111, dan 19-27 MSP untuk Percobaan 11, serta 23-27 MSP untuk
Percobaan I.
Kecepatan penyambungan luka kerat pohon Percobaan IV lebih lambat
dibandingkan pohon Percobaan I, 11, dan III. Pada saat akhir pengamatan bulan
Januari 2001 atau saat 3 1 MSP, baru ada 33.3% pohon yang luka keratannya telah
tertutup kalus dan tersambung loo%, yaitu untuk pohon yang diberi perlakuan
kerat batang + KN03 dari pohon yang pernah dikerat tahun sebelumnya.
Sedangkan untuk pohon yang diberi perlakuan kerat batang + KN03 dari pohon
yang belum pernah dikerat batangnya baru ada 33,3% pohon yang jaringan
lukanya telah 100% tertutup oleh kalus, namun belum ada satupun yang telah
tersarnbung 100% (Tabel 16 dan 17). Hal ini terjadi diduga akibat stress Yang
diterima pohon Percobaan IV lebih berat dibandingkan pohon Percobaan I, 11, dan
111, yaitu akibat adanya pengambilan sampel jaringan berupa ranting dan akar
sebanyak 8 kali selama percobaan berlangsung pada seluruh pohon Percobaan IV.
Tabel 16. Penutupan luka oleh jaringan kalus pada rambutan Binjai yang
diperlakukan pada bulan Mei 2000 dari Percobaan IV.
Belum Pernah Dikerat
Pernah Dikerat
Ulangan
1
[41
[ll
23 MSP (November)
Kerat + KN03
2
[41
3
1
MSP
(Januari)
3
[I]
Keterangan :
Saat pengamatan terakhir (3 1 Januari 2001), kriteria penampilan luka keratan sbb:
[O] = belum ada kalus tumbuh di jaringan yang terluka
[l ] = < 25% jaringan terluka muncul kalus
[2] = 25% < x < 50% jaringan terluka muncul kalus
[3] = 50% < x < 75% jaringan terluka muncul kalus
[4] = 75% < x < 100%jaringan terluka muncul kalus
[5] = 100 % jaringan terluka muncul kalus
Perlakuan
Tabel 17. Penyambungan luka oleh jaringan kalus pada rambutan Binjai yang
diperlakukan pada bulan Mei 2000 dari Percobaan IV.
Ulangan
1
2
Kerat + K N 0 3
Perlakuan
3
Pernah Dikerat
[Ol
23 MSP(November)
101
Belum Pernah Dikerat
[41
[41
[41
Keterangan :
[O] = belum ada jaringan kalus atas dan bawah tersambung
[I] = < 25% jaringan kalus atas dan bawah tersambung
[2] = 25% = x < 50% jaringan kalus atas dan bawah tersarnbung
[3] = 50% = x < 75% jaringan kalus atas dan bawah tersambung
[4] = 75% = x < 100% jaringan kalus atas bawah tersambung
[5] = 100 % jaringan kalus atas dan bawah tersarnbung
119
Pembentukan Jaringan Floem di Bekas Luka Keratan
Pada percobdn ini dilakukan pemutusan jaringan floem dengan cara
membuang sebagian kulit batang utama secara melingkar selebar 1 cm. Kambium
yang menempel pada batang dilindungi dari kekeringan dengan cara ditutup
lakban hitam agar tetap lembab. Fahn (1991) mengatakan, salah satu hngsi
penting dari kambium adalah membentuk kalus di atas luka. Kalus terdiri atas
massa jaringan parenkima lunak yang dengan cepat terbentuk di atas atau di
bawah permukaan terluka pada batang dan akar. Sel-sel luar pada massa yang
bersifat parenkima itu dapat bergabus (periderm). Dibawah lapisan protektif ini,
kambium yang tersusun kembali akan membentuk jaringan pembuluh baru.
Selain itu kambium dapat dibentuk kembali dari xilem yang belum matang
dibawahnya, jika segera terlindungi dari kekeringan setelah luka terbentuk. Selsel xilem yang belum dewasa mampu membentuk jaringan halus yang di
dalamnya bisa tumbuh kambium baru.
Pada percobaan ini, jaringan luka kerat bisa tertutup kalus 100% dan
tersambung antara atas dan bawah luka keratan paling cepat 23 MSP pada
Percobaan I, sedangkan Percobaan I1 pada 19 MSP, dan Percobaan I11 pada 16
MSP, yaitu pada bulan Oktober 2001 dimana pada saat tersebut sebagian besar
pohon sedang membentuk buah.
Hasil analisis jaringan menunjukkan, kulit batang yang dikerat mampu
membentuk kembali jaringan pembuluh (floem), namun tidak sempurna. Hasilnya
beragam tergantung pada stres yang pernah dialami pohon tersebut.
Pohon Pernah Dikerad
Pada tahun pertama setelah kerat batang, unsur tapis yang terbentuk pada
pohon pernah dikerat, kemudian dikerat lagi tahun berikutnya, sulit ditemukan.
Komponen yang banyak terbentuk pada jaringan baru tersebut adalah sel
parenkima, parenkima jari-jari empulur, sklereid, kolenkima, dan sejumlah kecil
protofloem (Gambar 37 a). Eames dan MacDaniels (1953) mengatakan, jaringan
floem merupakan jaringan yang klompleks. Pada angiospermae, jaringan floem
terdiri dari sel tapis (sieve tube), sel tetangga (companion cells), satu atau
beberapa bentuk parenkima floem, serat floem, sklereid, dan beragam sel-sel
sekresi.
a
Jaringan parenkima merupakan jaringan dasar (ground tissue) tersusun dari
sel-sel hidup dengan struktur morfologi serta fisiologi yang bervariasi dan masih
melakukan segala kegiatan proses fisiologis (Sutrian 1992). Parenkima
berkembang dari prokambium dan menjadi bagian dari jaringan pembuluh,
mempunyai peranan penting dalam penyembuhan luka serta regenerasi (Hidayat
1995). Sel-sel ini berfbngsi sebagai penyimpan cadangan makanan berupa zat
dapat larut yang disimpan pada vakuola dan bahan-bahan padat yang disimpan
dalam vakuola dan sitoplasma sel-sel tersebut (Eammes dan MacDaniels 1953).
Pada tahun pertarna, sel-sel parenkima banyak ditemukan, selnya berbentuk bulat
panjang, dengan zat pewarna safianine+aniline memberikan warna keunguan pada
bagian dalam sel yang dibelah melintang (Gambar 37 a). Selain parenkima, sel
yang paling banyak ditemukan adalah parenkima jari-jari empulur, sel berbentuk
persegi panjang dan memberikan warna merah tua (Gambar 37 a). Sutrian (1992)
mengatakan, parenkima jari-jari empulur disebut juga sebagai parenkima
121
pengangkut, karena berguna sebagai alat angkut yang menghubungkan jaringan
sebelah luar dan sebelah dalam. Di dalam perenkima pengangkut ini banyak
ditemukan butir-butir amilum. Parenkima jari-jari empulur, merupakan parenkima
sistim radial, dinding-dinding selnya tidak mengayu dan tetap tipis. Setelah
jaringan floem berhenti bekerja, keadaannya dapat tetap tidak mengalami
perubahan atau akan mengalami sklerefikasi menjadi sklereid (Sutrian 1992).
Pada tahun pertama, di dekat karnbium jaringan bekas dikerat dari pohon
yang telah mengalami dua kali kerat batang, banyak ditemukan kolenkima
(Gambar 37 a). Kolenkima yang ditemukan adalah kolenkima lakuna, yaitu
0
jaringan kolenkima yang penebalannya hanya berlangsung pada permukaan ruang
antar sel. Apabila dilihat dibawah mikroskop, akan tampak sebagai kumpulan sel
dengan penebalan tidak teratur, selnya jernih tampak putih mengkilat (Sutrian
1992). Dengan pewarnaan aniline+safianine, kolenkima lakuna tersebut tampak
sebagai kumpulan sel berdinding tebal berwarna pink, dengan bagian dalam sel
putih jernih (Gambar 37 a). Jaringan kolenkima berfungsi sebagai jaringan
mekanik yang bertugas menyokong tumbuhan, berdinding primer, lunak, lentur,
dan tidak berlignin. Kolenkima merupakan sel hidup, bersifat plastis dan dapat
meregang secara permanen bersama dengan pertumbuhan organ tempatnya berada
(Hidayat 1995). Fahn (1 99 1) mengatakan, kolenkima adalah jaringan penunjang
tanaman muda, dalam jangka waktu yang lama dapat menjadi sel bersklereid.
[a]. h m h karat 12 BSP
Gambar37. h m ~ j ~ f l o e m d i W l u k a b ( a , b , c , d , e )
dikerat saat umm 4 tahun danjlcontrol (f). Kb = J. Kambium;
JF=J.moem;Kt=J*~kb=kam~~~a=~awal,pr=
p t d o e m ; pj = p e n k h ajari-jari emplur", pf = p & h a fhmq
k l = k o I ~ s l d = ~ s k n = & l ~ F P = J . F l ~ e ~
~ F S = J . F I o e m ~
Jaringan penguat laimya yang bisa ditemukan di tahun pertama setelah
kerat batang adalah sel-sel sklereid atau yang biasa disebut dengan sel batu. Sel
sklereid biasa ditemukan di jaringan floem, berfbngsi sebagai penyokong,
pelindung, dan kadang-kadang juga penyimpan cadangan makanan (Hidayat
1995). Sel-sel ini mudah dibedakan dari sel-sel jaringan sekitarnya karena ukuran,
bentuk dan ketebalan dindingnya (Sutrian 1992). Sklereid berkembang dari selsel parenkima melalui penebalan sekunder dinding selnya. Dinding sekunder ini
sangat tebal dengan lapisan-lapisan konsentris sangat banyak. Sklereid seringkali
muncul dekat jaringan-jaringan luka, diduga berkembang sebagai reaksi terhadap
beberapa gangguan fisiologik (Fahn 1991). Pada penampang melintang jaringan
floem Gambar 37 a, sklereid tampak berbeda dengan sel-sel laimya, ukurannya
lebih besar dan tampak tebal dengan warna merah muda, berada didekat sel-sel
parenlcima dan jari-jari empulur.
Tahun pertama setelah batang dikerat, tidak ditemukan unsur tapis awal
(sieve tube) sebagaimana jaringan floem kontrol pada pohon yang sudah pernah
dikerat (Gambar 37 f). Sel yang ditemukan mampu berfbngsi sebagai sel
pengangkut adalah protofloem (Gambar 37 a), yaitu jaringan pembuluh dari
bagian tumbuhan muda yang sedang mengalami pemanjangan (Sutrian 1992).
Komponen pembuluh tapis ini sempit dan daerah tapisnya hanya dapat dikenali
dengan susah payah. Pembuluh tapis protofloem hanya aktif dalam jangka waktu
yang singkat dan hancur (Fahn 1991). Pada tahun kedua setelah kerat batang,
unsur tapis mulai bisa ditemukan pada pohon yang pernah dikerat, tetapi
jumlahnya sangat sedikit dan pendek serta terputus-putus (Gambar 37 b).
124
Jaringan floem di bekas luka keratan pohon pernah dikerat pada tahun kedua
berbeda dengan tahun pertama (Gambar 37 a dan 35 b). Pada tahun kedua,
parenkima jari-jari empulur mulai berkurang dan letaknya tidak serapat tahun
pertama,. demikian juga dengan parenkima floem menjadi sangat berkurang
digantikan dengan protofloem. Jaringan kolenkima menjadi sangat sulit
ditemukan, sebaliknya sklereid jumlahnya meningkat (Gambar 37 b). Unsur tapis
awal mulai bisa ditemukan, meskipun jumlahnya sangat sedikit serta pendek dan
terputus. Unsur tapis awal merupakan bagian jaringan floem yang bertugas dalam
penyaluran hasil fotosintesis, merupakan sel penting pada floem (Fahn 1995).
Dinding unsur tapis berupa dinding primer dan jarang berlignin. Protoplas unsur
tapis mengalami banyak perubahan selama pertumbuhannya. Mula-mula, sel
penuh dengan sitoplasma. Pada waktu sel menjadi dewasa, suatu lapisan dinding
baru terbentuk di atas dinding primer. Lapisan ini disebut lapisan kulit dalam
kerang karena dalam keadaan segar berkilauan seperti bagian dalam kulit kerang.
Pada waktu sel sudah tua, lapisan tersebut mengerut dan menjadi jauh lebih tipis
(Hidayat 1995). Pada irisan melintang kulit batang rambutan, unsur tapis awal
mempunyai ukuran sel lebih besar dibandingkan sel-sel sekitarnya. Dengan
menggunakan zat pewarna aniline + safianine, unsur tapis tampak bening dengan
dinding sel berwarna biru muda (Garnbar 37 b). Di dalam unsur tapis terdapat
daerah tapis (sieve area) dan pada daerah tapis ini terdapat alas tapis atau papan
tapis (sieve plate). Unsur tapis (sieve tubes) tersusun dari sel-sel yang
protoplasnya melekat pada dinding selnya, adapun nukleusnya telah lenyap. Selsel ini memiliki turgor yang tetap, sehingga unsur tapis tetap dalam keadaan
terbuka dan tidak tertekan karena pertumbuhan sel-sel lainnya (Sutrian 1992).
125
Pohon Belum Pernah DiRerat
Pembentukan jaringan floem tahun pertama di bekas luka keratan pohon
belum pernah dikerat jauh lebih baik dibandingkan pohon yang sudah pernah
dikerat tahun sebelumnya. Unsur tapis awal yang masih segar sudah mulai bisa
ditemukan pada tahun pertama di dekat sel-sel kambium pembuluh (Gambar 37
c), jurnlah lebih banyak dan untaiannya lebih panjang dibandingkan unsur tapis
awal pada pohon yang pernah dikerat (Gambar 37 b) meskipun tidak sebanyak
jaringan floem kontrol (Gambar 37 f). Selain unsur tapis awal, juga ditemukan sel
sklerenkima, sklereid, dan parenkima jari-jari empulur.
Pada jaringan bekas luka kerat dari pohon belum pernah dikerat, selain
ditemukan jaringan penguat berupa sklereid juga ditemukan jaringan penguat
lainnya seperti sel sklerenkima. Pada Gambar 37 c, tampak bahwa sel-sel
sklerenkima bentuknya tidak setajam sel sklereid. Menurut Fahn (1991) sel
sklerenkima (serat) berkembang dari sel meristem, sedangkan skelerid (&I batu)
berkembang dari sel parenkima yang dindingnya mengalami penebalan. Pada
tahun pertama setelah kerat, sel sklerenkima lebih banyak ditemukan
dibandingkan sklereid pada pohon yang belum pernah dikerat tahun sebelumnya.
Warna kedua sel tersebut sama, hanya terlihat penebalan selnya berbeda,
penebalan sel sklereid jauh terlihat lebih tajamltebal dibandingkan sel
sklerenkima. Sel sklerenkima tidak ditemukan lagi pada tahun kedua, sedangkan
jaringan penguat lainnya seperti sklereid dapat ditemukan (Gambar 37 d).
Pada tahun kedua, unsur tapis awal sudah lebih banyak terbentuk
dibandingkan tahun pertama. Unsur tapis awal pada tahun kedua, jaraknya lebih
jauh dari sel kambium, sedangkan pada tahun pertarna jaraknya relatif lebih dekat
dengan sel-sel kambium. Pada tahun pertarna, dari setelah jaringan kambium
langsung terbent.uk unsur tapis awal, sedangkan pada tahun pertarna unsur tapis
awal berada setelah protofloem.
Pada tahun ketiga, selain jaringan floem primer juga terdapat jaringan floem
sekunder. Pada jaringan floem primer, protofloem dan unsur tapis sudah mulai
menipis (unsur tapis lanjut), seperti tampak pada Gambar 37 e. Menurut Hidayat
(1995) ha1 itu disebabkan oleh tekanan keluar akibat silinder xilem semakin
membesar.
Floem primer terdorong keluar, hngsi pengangkutan terhenti,
protofloem membentuk serat. Sel yang berdinding tipis akan rebah dan remuk.
Pada floem sekunder, selain terdapat unsur tapis awal yang terlihat adalah
sklereid, protofloem yang sudah menipis (memanjang), dan parenkima jari-jari
empulur.
Antara jaringan floem dengan korteks tidak terlihat batas yang jelas pada
Gambar 37 c.
Hidayat (1995) mengatakan, pada batang tanaman tahunan
berkayu, batas antara korteks dan daerah jaringan pembuluh sering tidak jelas
karena tidak ada endodermis, namun lapisan korteks terdalam memiliki sifat
kimiawi dan fisiologi yang serupa dengan endodermis.
Pohon Kontrol
Pada kulit batang pohon kontrol, terdapat jaringan floem sekunder dan
jaringan floem primer. Pada jaringan floem sekunder terdapat unsur tapis awal
yang berangkai membentuk deretan yang tidak terputus (Garnbar 37 f ) . Ukuran
sel unsur tapis besar, dapat dibedakan dengan sel-sel sekitarnya. Ukuran unsur
tapis awal kulit batang rambutan yang besar jernih berbeda dengan sel sekitarnya
mirip dengan unsur tapis awal yang terdapat pada sayatan melintang floep Vitis
127
vinifera oleh Esau (1965) dalam Hidayat (1995) dan irisan melintang jaringan
floem oleh Zimmerman dan Brown (1971) dalam Teiz dan Zeiger (1991).
Jaringan floem merupakan jaringan majemuk. Unsur tapis, yang melaksanakan
penyaluran hasil fotosaintesis, merupakan sel penting dalam floem. Lewatnya
hasil fotosintesis dalam unsur tapis lebih cepat dari pada dalam sel parenkima
biasa. Kecepatan transportasi floem bervariasi dari 10-100 cm per jam atau
bahkan lebih (Zimmermann 1961, 1963 dalam Fahn 1991). Zimmermann (1964)
dalam Fahn (1991) memperkirakan, unsur tapis akan kosong 3-10 kali setiap
Selain terdapat unsur tapis awal, pada jaringan floem sekunder juga terdapat
protofloem, sklereid, parenkima floem, dan parenkima jari-jari empulur serta ada
sejumlah kecil sel kolenkima. Pada jaringan floem sekunder, parenkima jari jari
empulurnya cukup rapat pada daerah dekat dengan kambium. Sel-sel parenkima
floem jumlahnya juga relatif sedikit, berada dekat dengan sel-sel kambium. Sel
penguat lebih didominasi oleh skleried, sel penguat lainnya seperti kolenkima
jumlahnya sangat sedikit dan letaknya pun berdekatan dan harnpir menyatu
d a g a n sklereid. Sel protofloem segar (bulat jernih) berada pada daerah dekat
kambium, sedangkan pada daerah dekat dengan unsur tapis awal sudah menipis,
meskipun masih ditemukan beberapa yang masih berbentuk bulat jernih (Gambar
36 f).
Pada kulit batang rambutan umur 5 tahun, jaringan floem primernya
mempunyai dua lapis unsur tapis lanjut yang sudah menipis dan terputus-putus
serta telah kehilangan hngsinya (Gambar Lampiran 7; Gambar 37 f). Hal ini
terjadi karena dengan semakin bertambah besarnya empulur batang ,karena
pertumbuhan sekunder yang membesar, rnaka floem primer akan terdorong
keluar. Sel-sel floem (unsur tapis) yang berdinding tipis akan rebah dan remuk,
tidak dapat mengikuti
pertambahan diameter empulur karena tidak mampu
membelah diri akibat telah hilangnya inti pada unsur tapis.
Sutrian (1992)
mengatakan, pada saat mulai tidak aktifhya pembuluh tapis, muncul callose di
daerah plasmodesmata dan seringkali melakukan penekanan terhadap benangbenang plasmodesmata sehingga berbentuk lebih kecil. Selain itu callose juga
muncul menyumbat pori-pori daerah tapis sehingga tidak berfbngsi lagi.
Jaringan penguat lainnya yang bisa ditemukan di tahun pertama setelah
kerat batang adalah sel-sel sklereid atau yang biasa disebut dengan sel batu.
Dalam kulit pohon, perubahan jaringan parenkima menjadi sklereid diduga
penyebabnya adalah usia jaringannya (Fahn 1991). Pada penampang melintang
jaringan floem (Gambar 37 f ) , sklereid tampak berbeda dengan sel-sel lainnya,
ukurannya lebih b e a r dan tampak tebal dengan warna merah muda, berada
didekat sel-sel parenkima dan jari-jari empulur.
Pembahasan
Tajuk Pohon
Pada tanaman yang diberi perlakuan kerat batang muncul gejala seperti
kekurangan unsur hara dalam ha1 ini magnesium. Daun tua menguning dimulai
dari bagian tengah ke pinggir daun. Gejala tersebut mulai muncul sekitar empat
minggu dari saat pohon diberi perlakuan kerat batang. Menurut Marschner
(1995), gejala awal tanaman kekurangan magnesium adalah lembar daun dewasa
menguning atau terjadi klorosis pada tulang-tulang daun tua. Jones et al. (1991)
menambahkan, bila defisiensi ini meningkatfparah maka akan menunjukkan
gejala nekrosis. Hasil percobaan Schecter et al. (1994) rnenunjukkan, kadar
magnesium dalam daun ape1 menwun setelah perlakuan kerat pada cabang-cabang
tidak berbuah. Lavo, Goldschmidt, dan Frank (1995) mengatakan, adanya
kekurangan magnesium dan kalsium di daun dapat menyebabkan peningkatan
kadar pati daun dan peningkatan nisbah pati-gula terlarutnya. Salisbury dan Ross
(1992)
mengatakan,
magnesium merupakan kofaktor
pengaktif enzim
pengkatalisis tiap reaksi yang terlibat dalam lintasan utama pembentukan sukrosa
dan ini merupakan salah satu alasan penting mengapa magnesium penting bagi
tumbuhan. Dengan adanya deffisiensi magnesium, maka sintesis sukrosa menurun
yang mengakibatkan terjadinya penimbunan pati di daun. Hasil percobaan
menunjukkan, kadar pati daun dan lculit ranting pohon meningkat setelah diberi
perlakuan kerat batang (Gambar 20 dan 22). Kadar pati daun meningkat diduga
disebabkan oleh dua faktor, yaitu pertama, menurunnya aliran karbohidrat tajuk
,
ke pangkal batang; kedua, akar kekurangan energi untuk melalrukan aktifitasnya
dalam menyerap unsur hara, karena terhentinya pasokan karbohidrat ke daerah
perakaran. Berdasarkan uraian di atas, menurunnya kemampuan akar dalam
menyerap hara tertentu seperti magnesium dapat menyebabkan peningkatan kadar
pati di daun.
Munculnya
gejala
defisiensi
unsur
magnesium,
diduga
rnampu
mempengaruhi proses fisiologi dalam pohon rambutan Binjai, seperti laju
fotosintesis. Adanya gangguan pada proses fotosintesa diduga mempengaruhi laju
pertumbuhan vegetatif tanaman. Hasil percobaan menunjukkan, perlakuan kerat
batang-KNa secara nyata menurunkan produksi tunas pucuk daun rambutan
Binjai pada 9, 10 dan 13 MSP (Gambar 8; Tabel 3 dan 4). Menurut Jones et. al.
.
130
(1991), magnesium merupakan elemen penting dari molekul klorofil dan sebagai
kofaktor penting dari enzim-enzim yang mengaktiflcan proses fosforilasi.
Perlakuan kerat batang pada musim panas setelah periode gugur buah fisiologi
dapat menurunkan kadar klorofil daun, sedangkan kadar N daun tidak dipengaruhi
oleh perlakuankerat batang pada kondisi tanaman tercukupi kebutuhan airnya
(Peng dan Rabe 1966). Berdasarkan urain di atas, perlakuan kerat batang di duga
mampu menurunkan laju fotosintesis rambutan Binjai yang disebabkan oleh
menurunnya kadar klorofil dalam daun dan tingginya kadar pati daun. Tingginya
kadar pati dalam daun diduga menyebabkan daun jenuh berfotosintesis. Pendapat
ini didukung oleh hasil percobaan yang dilakukan Schechter et al. (1994); Roper
dan Williams (1989) dimana laju fotosintesis daun pohon yang dikerat rendah,
resistensi stomata dan kadar COz internalnya tinggi. Selanjutnya Schechter et al.
(1994) mengatakan, hasil tersebut tidak mendukung pengaruh balik penghambatan
fotosintesis dan memperlihatkan keadaan spesifik dimana kapasitas .sink untuk
menggunakan hasil fotosintesis telah jenuh. Kekuatan sink secara nyata berkurang
akibat akumulasi karbohidrat yang berlebihan dalam daun.
Selain terjadi gejala deffisiensi, pohon yang diberi perlakuan kerat batang
pada percobaan ini ada yang mati (dua pohon dari 72 pohon yang digunakan
dalam percobaan). Munculnya defisiensi unsur hara yang cukup berat dan adanya
pohon yang pernah dikerat batangnya mati diduga dikarenakan akar mengalami
stres berat akibat kemarau panjang dan tingginya kedalaman air tanah di tempat
tumbuh tanaman tersebut.
Kedalaman air tanah di lokasi percobaan tinggi,
ditandai dengan cepat mengeringnya rumput di lokasi percobaan tersebut dan
retaknya tanah disekitar pohon. Hasil pengamatan Liferdi et al. (2000)
131
menunjukkan sebaran akar rambutan Binjai berada pada kedalaman 10-80 cm dari
permukaan tanah dengan jumlah akar serabut sedang. Hal ini didukung oleh
Tindall et al. (1994) yang mengatakan, perakaran rambutan tidak dalam
menembus tanah, meskipun ujung akar utamanya bisa memanjang hingga
beberapa meter dari permukaan tanah, namun akar-akar lateralnya kebanyakan
didapati tumbuh pada area relatif dekat pemukaan tanah. Selanjutnya hasil
pengamatan Lim dan Diezbalis (1995) menunjukkan, sekitar 80% akar rambutan
berada pada 15 cm dari permukaan tanah, sehingga bersifat sensitif terhadap
kekeringan. Menurut Erner (1988) dalam Rabe dan Krajweski (1995), perlakuan
kerat batang termasuk teknik yang efektif dalam pembungaan pohon jeruk jika
diaplikasikan pada saat yang tepat, tetapi teknik ini merupakan prosedur yang
rentan. Kerat batang tiap tahun dapat merusak pohon, dimana pertumbuhan akar
terganggu dan meningkatkan akumulasi zat perusak yang belum teridentifikasi
dalam daun serta terjadinya diferensiasi tunas bunga yang. berlebihan.
Subhadrabandhu dan Yapwattanaphun (2000) mengatakan, kerat batang dan kerat
cabang dapat menginduksi dormansi dan meningkatkan pembungaan, pembuahan,
dan produksi lengkeng, namun hasil tersebut tidak konsisten sehingga tidak bisa
direkomendasikan untuk diaplikasikan skala komersial. Selanjutnya Cohen et al.
(1988) dalam Rabe dan Krajewski (1995) mengatakan, kerat batang sudah
beberapa tahun diaplikasikan pada pohon jeruk di Israel, Arnerika, Spanyol, dan
Afi-ika Selatan, namun tetap merupakan ha1 yang kontroversial dan seyogyanya
hanya diaplikasikan pada pohon yang kondisinya sehat.
Perlakuan kerat batang secara nyata menurunkan kerimbunan pohon
rambutan Binjai pada Percobaan I, 111 dan IV, tetapi tidak pada Percobaan 11. Hal
132
ini terlihat dari rendahnya jumlah anak daun per ranting per pohon (Gambar 35).
Pengaruh tersebut nyata pada pohon yang diberi perlakuan kerat batang saat
tanaman sedang donnan (akhir flush kedua, ketiga, dan keempat), tetapi tidak
pada pohon yang dikerat batangnya saat aktif memunculkan daun baru
(pertengahan flush ketiga). Hasil ini didukung oleh percobaan Adulsak-KooDuang (1984), dimana perlakuan kerat batang pada pohon leci menyebabkan
kerontokan daun pada 4-5 BSP, kerontokan pada varietas 0-Hea lebih tinggi
dibandingkan kerontokan pada varietas Hong-Huay. Goldschmidt dan Golomb
(1982) mengatakan, kadar klorofil daun pohon Wilking yang berbuah lebat
menurun hingga 213 kadar klorofil daun normal. Hal ini mengindkasikan adanya
gangguan pada sistem fotosintesanya. Apabila dilihat secara keseluruhan pada
Tabel 1, Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 35, terlihat bahwa pohon yang
mengalami kerontokan daun tinggi adalah pohon yang dikerat saat tanaman dalam
kondisi donnan dan produksi buah per pohonnya nyata meningkat lebih tinggi
dibandingkan pohon kontrol. Berdasarkan ha1 tersebut, diduga menurunnya
kerimbunan tajuk pohon setelah berbuah ada hubungannya dengan kondisi pohon
saat perlakuan kerat batang dan tinggi rendahnya buah yang dihasilkan pohon
tersebut.
Kerontokan daun yang cukup tinggi setelah berbuah lebat diduga
berhubungan dengan menurunnya kemampuan akar dalam menyediakan hara
yang dibutuhkan selama pembentukan dan pembesaran buah akibat perlakuan
kerat batang. Hasil percobaan Schecter et al. (1994) menunjukkan perlakuan kerat
cabang-cabang ape1 yang tidak berbuah menurunkan kadar unsur N, P, K, Ca, Mg,
Mn, Cu, Zn, B, dan Fe daun secara nyata. Pada percobaan ini diduga akar
133
rambutan tidak mampu menyerap hara secara optimal akibat adanya gangguan
pada jaringan floem di batang utarna.
Selama pembentukan dan pertumbuhan buah, cadangan makanan yang
tertimbun di bagian atas tajuk pohon diduga banyak digunakan untuk
pertumbuhan dan perkembangan buah. Pohon yang berbuah lebat akan lebih
banyak menghabiskan cadangan makanan dibandingkan pohon yang tidak lebat
buahnya. Hasil percobaan menunjukkan, pohon yang mendapat perlakuan kerat
batang menghasilkan buah jauh lebih lebat (400 - 1000 persen lebih tinggi)
dibandingkan pohon yang tidak mendapat perlakuan kerat (Gambar 13 dan 14);
sedangkan pembentukan floem di bekas luka keratan tidak sempurna (Gambar 37
a dan 37 c). Beberapa pohon ada yang luka keratannya belum tertutup kalus dan
menyambung (Tabel 1 5, 16, 17, dan 18; Gambar 33). Hasil percobaan pada pohon
leci oleh Adulsak-Koo-Duang (1984) menunjukkan, pembentukan kalus pada
bekas keratan lambat, pada 1-8 BSP belum ada kalus yang terbentuk pada bekas
luka keratan. Kecepatan penyembuhan luka kerat berbeda antar varietas.
Pembelahan kalus di luka bekas keratan pohon leci varietas 0-Hea lebih lambat
dibandingkan pada varietas Hong-Huay. Diduga pembentukan jaringan floem
yang tidak sempurna menyebabkan kemampuan akar dalam mensuplai hara
menurun.
Hal ini terjadi karena akar tidak memperoleh karbohidrat secara
memadai untuk menyerap hara secara aktif
Sedangkan sink buah untuk
memperoleh karbohidrat dari pohon yang berbuah lebat dari pohon yang
mendapat perlakuan kerat batang sangat h a t yang mengakibatkan remobilisasi
karbohidrat dari cadangan karbohidrat organ non fotosintetik (batang, cabang,
ranting) tidak mencukupi, untuk itu perlu juga mengambil cadangan karbqhidrat
134
dari organ fotosintetik (daun). Diduga ha1 ini yang menyebabkan pohon yang
berbuah lebat mengalami kerontokan daun cukup tinggi (Gambar 33 dan 36).
Pada Percobaan 11, perlakuan kerat batang tidak meningkatkan kerontokan
daun rambutan Binjai, meskipun ada kecenderungan pohon yang dikerat
mempunyai daun lebih sedikit dibandingkan pohon yang tidak dikerat. Diduga
ada hubungannya dengan produksi buah yang dihasilkan pohon tersebut, dimana
perlakuan kerat batang tidak secara nyata meningkatkan produksi buah pohon
Percobaan I1 (Gambar 13). Dengan demikian remobilisasi cadangan makanan
yang tersimpan dalam tajuk pohon Percobaan I1 untuk pertumbuhan buahnya
tidak sebesar pada pohon berbuah lebat di Percobaan I dan Percobaan 111.
Sehingga kerontokan daun pasca berbuah pohon Percobaan I1 tidak sebanyak
pohon Percobaan I dan Percobaan 111.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan
jaringan floem di bekas luka keratan yang tidak sempurna dan adanya jaringan
luka kerat belum tertutup oleh kalus pada beberapa pohon, secara tidak langsung
menyebabkan pohon yang berbuah lebat menurun kerimbunannya setelah buah
dipanen. Pohon berbuah lebat lebih banyak menghabiskan cadangan makanan
yang tersimpan dalam tajuk tanaman untuk pertumbuhan buahnya. Sedangkan
pasokan karbohidrat dari hasil fotosintesis saat pertumbuhan buah berlangsung
tidak banyak membantu. Hasil fotosintesis saat pertumbuhan buah berlangsung
tidak mampu menutupi kebutuhan karbohidrat untuk pertumbuhan buah. Diduga
laju fotosintesis menurun akibat tidak mendapat suplai hara secara memadai dari
akar. Kemampuan akar menyerap hara menurun karena akar kekurangan energi
untuk menyerap hara yang diperlukan daun berfotosintesis. Hal ini menyebabkan
135
cadangan makanan (pati) yang tersimpan di daun ikut terkuras untuk memenuhi
kebutuhan buah untuk pertumbuhannya, sehingga terjadi kerontokan daun yang
cukup tinggi pasca berbuah.
Luka Kerat
Dalam melakukan kerat batang, jaringan yang dibuang adalah kulit kayu
(floem, korteks, dan epidermis), sedangkan sel kambium yang menempel pada
batang (xilem) tidak dibuang. Sel kambium tersebut dilindungi dari kekeringan
dengan cara ditutup lakban hitam.
Hidayat (1995) mengatakan, kambium
merupakan meristem lateral, pada batang, sel ini akan membelah secara periklinal,
dimana sel yang ada di sebelah luar berkembang menjadi jaringan floem. Dengan
masih tertinggalnya kambium di bekas luka keratan dan dilindunginya kambium
tersebut dari kekeringan, maka kambium tersebut akan mampu berploriferasi
membentuk kalus dan selanjutnya akan berdifferensiasi membentuk jaringan
floem.
Pada percobaan ini luka di bekas keratan mampu membentuk kalus. Kalus
yang terbentuk tersebut diduga berasal dari sel kambium dan sel parenkima yang
berploriferasi. Sel mati di permukaan sayatan akan terurai dan membentuk lapisan
nekrotik, seperti bekas luka pada penyembuhan luka. Sel utuh di bawah lapisan
nekrotik akan membesar, membelah, dan membentuk jaringan kalus yang mengisi
ruang antara jaringan terluka. Akhirnya, akan terjadi pertemuan kalus yang
tumbuh dari atas bekas luka dengan kalus yang tumbuh dari bawah bekas luka.
Kalus yang tumbuh dibekas luka mampu berdifferensiasi menjadi sel kambium.
Penyesuaian letak kambium dari tiap-tiap pihak memudahkan terjadinya
kesinambungan kambium dan keberhasilan dalam penyatuan jaringan sekunder
136
yang terjadi kemudian (Hidayat 1995). Hasil percobaan menunjukkan, pada
awalnya jaringan luka kerat mengandung banyak sel-sel parekima, baik
parenkima floem maupun parenkima jari-jari empulur. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 37 a, yaitu pada tahun pertama setelah kerat batang pada pohon yang
pernah dikerat tahun sebelumnya, lebih banyak membentuk sel parenkima pada
tahun pertama setelah kerat batang. Tingginya sel parenkima yang terbentuk pada
tahun pertama adalah reaksi kambium akibat luka kerat.
Sebagaimana yang
dikatakan Fahn (1991), yaitu salah satu hngsi dari kambium adalah membentuk
kalus atau jaringan luka di atas luka. Jaringan ini terdiri atas massa jaringan
parenkima lunak yang cepat terbentuk di atas atau di bawah permukaan terluka.
Kalus dapat terbentuk oleh pembelahan sel-sel parenkima pada floem,
korteks atau jejari pembuluh, tetapi terutama oleh kambium. Selain itu kambium
bisa juga terbentuk dari sel-sel xilem yang belum matang. Sel-sel xilem hidup
yang belum dewasa tersebut dapat membentuk jaringan kalus yang didalamnya
tumbuh kambium baru. Sel-sel luar kalus akan membentuk lapisan periderm.
Dibawah lapisan protektif (periderm), kambium yang tersusun kembali
membentuk jaringan pembuluh baru (Fahn 1991). Hasil percobaan menunjukkan
kalus yang menutup luka bekas keratan mampu membentuk jaringan pembuluh
(floem) namun tidak sempurna. Hasilnya bervariasi tergantung stres yang dialami
pohon tersebut.
Pembentukan jaringan floem pada pohon yang dikerat dua kali selama dua
tahun berturut-turut lebih lambat dibandingkan yang hanya mengalami satu kali
kerat. Pada tahun pertarna, pohon yang dikerat dua kali baru mampu membentuk
parenkima floem, parenkima jari-jari empulur, kolenkima, sklereid dan pedikit
137
protofloem (Gambar 37 a). Unsur tapis awal belum dapat ditemukan. Unsur tapis
awal baru bisa ditemukan pada tahun kedua setelah kerat, dengan jumlah sangat
sedikit, pendek dan terputus-putus (Gambar 37 b). Berbeda dengan pohon yang
baru mendapat perlakuan kerat batang satu kali, unsur tapis awal sudah mulai bisa
ditemukan pada tahun pertama setelah kerat batang, rangkaian sel unsur tapis
cukup panjang (Gambar 37 c) meskipun masih terputus-putus tidak seperti unsur
tapis jaringan floem kontrol (Gambar 37 f).
Pohon yang mengalami kerat batang dua kali riskan terhadap stres
lingkungan, karena jaringan floem yang terbentuk di bekas luka keratan tidak
sempurna dan sangat sulit ditemukan adanya unsur tapis awal.
Gambar 33
menunjukkan pohon yang mengalami kerat batang dua kali mengalami
kerontokan daun sangat tinggi setelah berbuah. Meskipun produksi buahnya
meningkat, perlakuan kerat dua kali dalam dua tahun berefek kurang baik bagi
kelanjutan pertumbuhannya. Diduga erat kaitannya dengan terkurasnya cadangan
makanan dalam pohon tersebut dan tidak sempurnanya pembentukan floem pada
bekas luka keratan. Pada tahun pertama, pohon yang dikerat dua kali, tidak
ditemukan adanya unsur tapis awal (Gambar 37 a), unsur tapis awal baru
ditemukan pada tahun kedua dengan jumlah sangat sedikit dan pendek (Gambar
37 b). Sutrian (1992) mengatakan, untuk dapat befingsi, floem harus dalam
keadaan hidup. Floem befingsi mengangkut dan menyebarkan zat-zat makanan
yang merupakan hasil fotosintesis dari sumber ke bagian lain yang memerlukan.
Gardner et al. (1991) mengatakan, zat-zat yang diangkut oleh jaringan floem
adalah karbohidrat (90%) dalam ha1 ini adalah gula yang bersifat pereduksi (gula
tanpa kelompok aldehida atau keton yang terbuka: sukrosa atau rafinosa), ,selain
138
itu juga ditemukan substansi yang mengandung nitrogen (asam amino, amida, dan
urida) dan zat pengatur tumbuhan, nukleotida, dan beberapa hara anorganik.
Dengan demikian apabila unsur tapis tidak terbentuk atau sedikit jumlahnya, maka
pengangkutan karbohidrat, protein, zat pengatur tumbuh dan juga hara anorganik
akan terhambat yang dapat berakibat pada menurunnya pertumbuhan dan
perkembangan tanaman.
Pada tahun pertama setelah kerat batang, pohon yang dikerat dua kali belum
membentuk unsur tapis awal, tetapi sudah membentuk protofloem (Gambar 37 a).
Protofloem mampu mengangkut zat-zat makanan ke bagian yang memerlukan
karena dalam protofloem dapat ditemukan daerah tapis meskipun hanya dapat
dikenali dengan susah payah. Namun demikian pembuluh tapis protofloem ini
hanya aktif dalam jangka waktu relatif pendek (Fahn 1991).
Selain sel-sel
protofloem, dalam jaringan floemnya juga ditemukan parenkima floem. Menurut
Zimmermann (196 1, 1963) dalam Fahn (1 99 1), pengangkutan hasil fotosintesis
dapat melewati sel parenkima biasa meskipun kecepatannya jauh lebih rendah
dibandingkan lewat unsur tapis.
Pada tahun ketiga setelah kerat batang, jaringan floem dari pohon yang
hanya mengalami satu kali kerat batang, semakin lebar (Gambar 37 e)
dibandingkan tahun pertama dan tahun kedua (Gambar 37 c dan 37 d). Dimana
dengan pembesaran yang sama (40x), jaringan korteks tidak tampak pada luka
kerat umur 3 tahun, tetapi pada umur 1 dan 2 tahun jaringan korteksnya terlihat.
Meskipun jaringan floemnya semakin lebar, namun yang masih aktif mengangkut
bahan makanan (jaringan floem sekunder) hanya sebagian saja yaitu yang dekat
dengan jaringan kambium (Gambar 37 e).
Sebagian besar jaringannya ,sudah
139
tidak aktif lagi (jaringan floem primer). Hidayat (1995) mengatakan jumlah floem
sekunder tidak banyak dan tetap terbatas karena sumbu di sebelah dalam floem
senantiasa membesar dan floem tidak cukup sering membelah untuk mengimbangi
penebalan sumbu tersebut, maka floem yang barn dibentuk oleh kambium akan
mendesak keluar sehingga floem tua (floem primer) terhimpit menjadi tak
berfbngsi dan terdorong keluar. Fungsi pengangkutan terhenti dan pada banyak
I
turnbuhan dikotil, protofloem membentuk serat. Sel yang berdinding tipis akan
rebah atau remuk. Bila pertumbuhan sekunder berlangsung terus menerus, maka
floem sekunder pun akan terkena tekanan dari bagian dalam karena silinder xilem
terus membesar garis tengahnya.
Kesimpulan
1. Penyambungan jaringan terbentuk pada luka kerat bagian atas dan bawah
keratan dari pohon yang dikerat pada akhir flush kedua lebih lambat
dibandingkan pohon yang dikerat saat flush ketiga atau setelab akhir flush
keempat karena lebih lambat membentuk kalus.
2. Jaringan floem batang utama yang dikelupas mampu terbentuk kembali,
namun tidak normal seperti jaringan floem kontrol.
3. Pembentukan jaringan floem pohon yang dikerat batang dua kali dengan
interval waktu satu tahun lebih lambat dibandingkan pohon baru dikerat satu
kali.
4. Pohon dikerat dan berbuah lebat menurun kerimbunan daunnya setelah panen
buah. Daun pohon dikerat namun tidak berbuah lebat, masih serimbun daun
pohon kontrol.
Download