(Lam), Tithonia Dive

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Tithonia diversifolia(Hamsley) A. Gray, Ageratum conyzoidesvarhirtum(Lam)dan
Ampas sagu.
Tithonia diversifolia(Hamsley) A. Graymerupakan tumbuhan yang banyak
tumbuh sebagai semak di pinggir jalan, tebing, dan sekitar lahan pertanian.Tingginya
dapat mencapai 2,5 m, menghasilkan biji dan apabila dipangkas akan ter-jadi
pertumbuhan vegetatif kembali. Tumbuhan tersebut lebih dikenal dengan bunga
matahari liar atau bunga matahari Meksiko, bunganya berwarna kuning, daun dan cabangnya lunak sehingga dibeberapa negara digunakan sebagai kayu bakar
Biomassa T. diversifolia (Hamsley) A. Gray cukup besar dan dianggap se-
bagai gulma namun dapat dimanfaatkan untuk melindungi tanah pertanian, pupuk
hihijau dan mulsa (Nyasim et al., 1997).Tanaman tersebut menyebar hampir di
seluruh dunia, dan sudah dimanfaatkan sebagai kompos oleh petani di Kenya, namun
di Indonesia belum banyak dimanfaatkan (Hartatik, 2007). Kandungan hara
T.diversifolia (Hamsley) A. Graycukup tinggi terutama N, P, K yaitu 3.5%, 0.38%
dan 4.1%, Pemanfaatan T. diversifolia (Hamsley) A. Gray sebagai kompos ternyata
mampu meningkatkan pH tanah, menurunkan Al-dd serta meningkatkan kandungan
P, Ca dan Mg tanah serta mampu mensubtitusi N dan K pupuk buatan pada tanah
ultisol(Hartatik, 2007). Hakim dan Agustian, (2008) melaporkan bahwa komposT.
diversifolia (Hamsley) A. Graydapat menggantikan 50% pupuk buatan, selain itu
pemberian T.diversifolia (Hamsley)A.Graydapat meningkatkan kesuburan tanahdan
meningkatkan produktivitas tanaman.
Ageratum conyzoidesvarhirtum(Lam)adalah sejenis gulma pertanian
anggota suku Asteraceae, berasal dari Amerika tropis, khususnya Brazil. Gulma
tersebut banyak ditemui di lahan pertanian Indonesia dan lebih dikenal dengan
babandotan atau babadotan (Sd.); wedusan (Jw.); dus-bedusan (Md.); serta
Whiteweed (Inggris), Chick weed, Goatweed, dinamakan Goatweed karena bau
yang
dikeluarkannya
menyerupai
bau
kambing.Gulma
A.conyzoidesvarhirtum(Lam)termasuk tumbuhan terna semusim, tumbuh tegak,
tingginya mencapai 30-90 cm dan bercabang.Kandungan hara biomassanya adalah
6
6,66% N; 0,17% P dan 2,03% K (Bintoro et al., 2008).Gulma A.conyzoides var
hirtum (Lam) memiliki daya racun terutama pada daunnya sehingga dinegara
Baratbadotan dimanfaatkan sebagai insektisida dan nematisida. Senyawa volatil
yang terdapat pada A.conyzoides varhirtum
(Lam)yang berkontribusi sebagai
alelopati adalah precocenes, turunan monoterpen dan seskuiterpen. Noguchi
(2001) melaporkan bahwa ekstrak tajuk A.conyzoides var hirtum (Lam) mampu
menghambat
perke-cambahan
Amaranthus
caudatus,
rumput
Digitaria
sanguinalis (L) Scop dan sela-da (Lactuca sativa L).Tiga asam fenolat yang
berperan sebagai senyawa alelopati pada daun A.conyzoidesvarhirtum(Lam)
adalah asam galat, asam koumalat, as-sam proto-katekuat.Senyawa alelopati
tersebut akan meningkat ketika tanaman ditanam dalam kondisi kekurangan hara
atau terinfeksi oleh jamur dan kutu.
Sifat umum gulma T.diversifolia (Hamsley) A. Gray dan A.conyzoides var
hirtum (Lam) adalah mempunyai daya adaptasi yang kuat dan daya persaingan
tinggi sehingga populasinya melimpah di alam. Selain itu pada biomassa kedua
gulma tersebut mengandung senyawa fenol dan derivatnya yang dapat dimanfaatkan selain sebagai herbisida, juga insektisida dan fungisida.
Limbah
sagu
merupakan
ampas
empulur
yang
telah
diambil
patinya.Limbah sagu tersebut telah banyak digunakan sebagai substrat untuk
budidaya ja-mur, pakan ternak, produksi enzim dan absorban, selain itu limbah
tersebut meru- pakan alternatif sumber bahan organik untuk kompos.Penambahan
bahan organik ampas sagu meningkatkan pH tanah, nisbah C/N, P tersedia,
jumlah basa, KTK tanah serta menurunkan Al-dd. Ampas sagu perlu
didekomposisikan terlebih da-hulu sebelum digunakan sebagai media tanam
karena mengandung selulosa deng-an nisbah C/N tinggi.Menurut Djoefrie dan
Sudarman (1996), ampas sagu banyak mengandung unsur hara yang bermanfaat
bagi tanaman.Kandungan haranya adalah 53,92% C; 0,04% N; 0,02% P; 0,64%
K; 1-3% Ca; 0,01% Mg; 22,1% selulosa dan 14,3% hemiselulosa (Rumawas et
al.,1996). Flach (1997) menya-takan bahwa dalam batang sagu terdapat
kandungan polifenol.Senyawa tersebut dapat dimanfaatkan sebagai herbisida
7
nabati sekaligus difungsikan sebagai mulsa dan tambahan bahan organik bagi
tanaman.
Mikroorganisme perombak bahan organik
Mikroorganise perombak bahan organik merupakan aktivator biologis yang
tumbuh alami atau sengaja diberikan untuk mempercepat pengomposasn dan
meningkatkan mutu kompos. Jumlah dan jenis mikroorganisme menentukan keberhasilan proses pengomposan. Proses pengomposan bahan organik di alam tidak
dilakukan oleh satu mikroorganisme monokultur tetapi dilakukan oleh konsorsia
mikroorganisme. Beberapa jenis bakteri termasuk beberapa jenis aktinomisetes
juga mampu mendegradasi polimer selulosa, hemiselulosa dan lignin namun kemampuan degradasinya lebih rendah dibanding fungi. Bakteri lebih berperan pada
degradasi polisakarida sederhana.
Bakteri perombak bahan organik dapat ditemukan di tempat yang mengandung senyawa organik berasal dari sisa-sisa tanaman yang telah mati. Bakteri
mampu memutuskan ikatan rantai C penyusun senyawa lignin (bahan berkayu),
selulosa (bahan berserat) dan hemiselulosa yang merupakan komponen penyusun
bahan organik pada sisa tanaman, namun proses perombakannya lebih lambat bila
dibanding senyawa polisakarida sederhana (amilum, disakarida dan monosakarida). Fungi mempunyai kemampuan yang lebih baik dibanding bakteri dalam
mengurai sisa-sisa tanaman (selulosa, hemiselulosa dan lignin). Umumnya, mikroba yang mampu mendegradasi selulosa juga mampu mendegradasi hemiselulosa.
Mikroorganisme dapat mempercepat proses pengomposan tergantung komposisi kimia bahan organik yang komposkan. Selulosa merupakan polimer glukosa yang saling berikatan oleh ikatan β-1-4 glikosidik, banyak ditemukan pada
tumbuhan.Mikrorganisme selulotik mampu merombak selulosa pada tumbuhan
tersebut karena mampu menghasilkan enzim selulase. Enzim selulase merupakan
kelompok enzim yang mampu memutuskan ikatan β-1-4 glikosidik dalam
molekul selulosa, selodekstrin, selobiosa dan turunan selulosa lainnya yang ter-
8
dapat pada tanaman.Mikroorganisme menggunakan enzim tersebut untuk menghidrolisis selulosa menjadi gula terlarut yang selanjutnya digunakan sebagai
sumber karbon dan nutrisi bagi pertumbuhannya. Enzim selulase hanya dapat dihasilkan oleh fungi dan bakteri selulotik..Enari (1983) melaporkan bahwa fungi
menunjukkan aktivitas selulotik lebih tinggi dibandingkan bakteri dan aktinomisetes. Fungi yang ditemukan mempunyai kemampuan tinggi dan efisien dalam
merombak selulosa antara lain Trichodermasp, Aspergilussp, Penicilliumsp,
Sporotrichum sp, Fusariumsp dan Chaetomium sp (Gaur, 1982). Trichoderma
viride merupakan organism pertama yang dipilih untuk digunakan dalam produksi
selulase untuk hidrolisis selulosa secara enzimatik. Spesies tersebut mampu menghasilkan selulase dalam jumlah banyak dibanding fungi lain seperti Humicola
grisea, Sporotrichum thermophila dan Gliocladium viride sehingga berpotensi
untuk agen perombak selulosa (Hardjo et al., 1989). MenurutReese et al., (1950)
fungi selulotik mampu memecah substrat selulosa secara sinergis karena mempunyai enzim C1 (aktif menghidrolisis selulosa alami) dan Cx (aktif merombak
selulosa terlarut, misalnya CMC). Trichodermasp adalah salah satu contoh fungi
dekomposer selulosa yang mempunyai kombinasi enzim C1 dan Cx dari tiga
komponen enzim selulase (Wiseman, 1981).
Mikroba selulotik seperti bakteri dan fungi selulotik menghasilkan enzim
selulase yang menghidrolisis selulosa kristal menjadi oligosakarida yang lebih
kecil dan akhirnya menjadi glukosa yang berfungsi sebagai sumber karbon dan
unsur hara bagi pertumbuhan mikroba tersebut. Selain berperan penting dalam
dekomposisi karbon, mikroorganisme selulotik juga ada yang mampu menyerang
patogen tumbuhan atau fungi antagonis (Ilmen et al., 1997).Mikroba tersebut
mampu mempercepat proses pengomposan sekitar 2-3 minggu, kemudian tetap
bertahan hidup dalam kompos dan aktif berperan sebagai agen pengendali hayati
untuk mengendalikan patogen tanah saat diberikan ke tanah.
Aktivitas mikroba selulotik dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen, suhu,
aerasi atau difusi oksigen ke dalam kompos, kelembaban, pH, keberadaan
karbohidrat dan proporsi relatif lignin dalam residu.Beberapa bakteri penghasil
selulase adalah genus Acetobacter, Bacillus, Cellulomonas, Cythopaga,Pseudo-
9
monas, Sarcina, dan Vibrio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa bakteri yang dapat menghasilkan selulase antara lain: Pseudomonas flurescent var
cellulose,Cellulomonas fimi, Bacillus subtilis, Clostridium
thermocellum,
Acetobacter xylinum (Heck et al., 2002).
Pengomposan
Sharmaet al., (1997) mendefinisikan pengomposan sebagai proses dekomposisi oksidatif-biologi dari penyusunan bahan-bahan organik dalam keadaan
terkendali. Sebagai proses biologi, pengomposan memerlukan keadaan yang
khusus seperti suhu, kelembaban, pH, aerasi, dan rasio C/N. Hasil akhir proses
pengomposan yaitu humus, unsur-unsur kimiawi terutama unsur karbon, nitrogen,
fosfor dan kalium yang bisa dengan mudah dibebaskan dalam bentuk tersedia bagi
tanaman. Pengomposan meliputi tiga fase yaitu proses awal pengomposan
komponen-komponen yang mudah terdegradasi, kemudian fase termofilik yaitu
degradasi bahan-bahan seperti selulosa melalui aktivitas oksidasi mikroorganisme
dan terakhir fase maturasi dan stabilisasi. Proses pengomposan melibatkan bahanbahan organik, mikroorganisme dan faktor lingkungan sehingga terjadi proses
transformasi kimia, biologi dan fisik substrat di bawah keadaan lingkungan yang
terkendalimenghasilkan kompos (Gambar1).
Gambar 1. Proses umum pengomposan limbah padat organik (dimodifikasi
dari Rynk, 1992)
10
Pramono et al., (2003) mengemukakan bahwa limbah organik merupakan
bahan pokok pengomposan sekaligus sumber pupuk organik potensial. Salah satu
indikator pengomposan berlangsung adalah munculnya suhu termofil pada tumpukan bahan organik.Pada kisaran suhu tersebut dianggap kompos telah matang dan
berbagai penyakit dan bibit gulma yang terbawa telah mati sehingga jika diaplikasikan pada tanaman tidak memberikan dampak merugikan pada lingkungan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengomposan adalahukuran danstruktur bahan, suhu, ketersediaan oksigen, rasio C/N, kadar air pada tumpukan
dan pH.
Struktur dan Ukuran Bahan Baku
Laju pengomposan bahan organik tergantung dari sifat bahan yang dikomposkan. Sifat bahan diantaranya jenis tanaman, umur dan komposisi kimia tanaman. Semakin muda umur tanaman, proses dekomposisi akan berlangsung cepat
disebabkan kadar airnya masih tinggi, nitrogen tinggi, nisbah C/N serta kandungan lignin rendah.
Ukuran bahan organik mempunyai pengaruh positif terhadap proses
pengomposan. Makin kecil ukuran partikel bahan organik makin besar permukaan
yang dapat diserang mikroorganisme. Ukuran yang terlalu kecil menghambat gerakan air dan O2 ke dalam tumpukan kompos dan pergerakan CO2 keluar. Ukuran
partikel terlalu besar menyebabkan luas permukaan yang diserang mikroorganisme lebih sedikit dan proses pengomposan berjalan lambat (Dalzell et al.,
1987). Ukuran partikel yang sesuai untuk pengomposan ditinjau dari aspek sirkusi udara adalah 5-10 cm.
Suhu
Suhu sangat berpengaruh pada proses pengomposan karena berhubungan
dengan jenis mikroorganisme yang terlibat. Pada tahap awal proses pengomposan
secara aerobik berlangsung cepat, hal tersebut disebabkan adanya mikroorganisme
yang terlibat membutuhkan oksigen dan air untuk merombak bahan organik dan
11
mengasimilasikan sejumlah karbon, nitrogen, fosfor, belerang dan unsur lain
untuk sintesis protoplasma sel tubuhnya. Asimilasi karbon lebih banyak dgunakan
sebagai sumber energi untuk membentuk protoplasma dan memperbanyak diri.
Hasil metabolik utama adalah CO2, humus, air dan energi. Energi digunakan untuk
pertumbuhan
mikrooganisme
dan
sisanya
dalam
bentuk
panas
sehinggamenyebabkan suhu meningkat dalam tumpukan. Suhu akan menurun
sesuai de-ngan kandungan karbon yang dapat dikomposkan.
Suhu optimum pengomposan adalah 40-60°C dengan suhu maksimum
75°C. Menurut Gaur (1982) pada suhu 40°C, aktivitas mikroorganisme mesofil
akan digantikan oleh mikroorganisme termofil. Bila suhu mencapai 60°C aktivitas
jamur berhenti dan proses dekomposisi dilanjutkan oleh aktinomisetes dan
bakteri. Suhu dibagian tengah tumpukan kompos pada awal pengomposan bisa
mencapai 55-75°C setelah itu berangsur-angsur turun ke suhu lingkungan (25°C)
yang menandakan kompos telah matang. Suhu tinggi tersebut merupakan keadaan
yang baik untuk menghasilkan kompos steril karena selama suhu pengomposan
lebih dari 60°C (dipertahankan selama 3 hari) mikroorganisme patogen parasit
dan benih gulma akan mati. Kurva suhu timbunan bahan kompos tergantung pada
nisbah volume timbunan terhadap permukaan. Makin tinggi timbunan bahan yang
dikomposkan dalam wadah pengomposan, makin besar isolasi panas dan timbunan menjadi panas.
Pembalikan yang dilakukan secara teratur juga menyebabkan bahan yang
ada dibagian luar yang kurang panas dipindahkan ke bagian tengah yang lebih
panas.
Ketersediaan Oksigen dan Pembalikan
Kadar oksigen yang ideal dalam proses pengomposan adalah 10-18%., kekurangan oksigen mengakibatkan mikroorganisme aerobik mati dan akan tergantikan oleh mikroorganisme anaerobik. Aerasi sangat diperlukan untuk mengurangi
kadar air yang tinggi pada bahan organik yang akan dikomposkan dan menjaga
12
agar pada proses pengomposan selalu ada udara segar dan menghindari kondisi
anaerob.
Bahan baku kompos terdiri atas campuran berbagai bahan organik yang memiliki sifat terdekomposisi berbeda, ada yang mudah dan sukar terdekomposisi.
Oleh sebab itu selama proses pengomposan, campuran bahan baku kompos perlu
diaduk sehingga mikroba perombak bahan baku bisa menyebar secara merata dan
aktivitasnya bisa lebih efektif. Pengadukan sebaiknya dilakukan seminggu sekali.
Nisbah C/N
Nisbah C/N merupakan faktor terpenting dalam laju pengomposan. Transformasi bahan organik menjadi pupuk melibatkan aktivitas mikroorganisme sangat tergantung pada kadar karbon dan nitrogen yang terdapat dalam bahan. Nisbah
C/N sangat penting untuk memasok hara yang diperlukan mikroorganisme selama
proses pengomposan. Karbon diperlukan oleh mikroorganisme sebagai sumber
energi dan nitrogen diperlukan untuk membentuk protein. Perubahan residu organik menjadi pupuk dipengaruhi oleh nisbah C/N residu yang dikomposkan.
Rasio C/N untuk proses pengomposan berkisar antara 30-40, tetapi proses pengkomposan dapat berlangsung lebih baik jika rasio C/N antara 25-35.
Setiap bahan organik memiliki nisbah C/N yang berbeda. Limbah ternak
memiliki nisbah C/N lebih rendah dibanding C/N tanaman, oleh sebab itu pengggunaan limbah ternak sebagai bahan baku kompos harus dicampur dengan bahan
organik yang memiliki nisbah C/N tinggi sehingga dapat menghasilkan imbangan
C/N optimal. Selama pengomposan akan terjadi penurunan nilai nisbah C/N akibat terbentuknya CO2 sementara nilai N cenderung konstan (Dalzel et al., 1987).
Rochaeni et al., (2003) menyatakan bahwa rasio C/N kompos matang berkisar 1020.
Kelembaban (RH).
Kadar air atau kelembaban ideal untuk proses pengomposan aerobik berkisar 40-60% dengan kadar air terbaik 50%. Kadar air tersebut harus dipertahankan
13
untuk memperoleh jumlah populasi mikroorganisme terbesar karena semakin besar populasinya maka makin cepat proses dekomposisinya.
Derajat Kemasaman (pH)
Salah satu faktor kritis bagi pertumbuhan mikroorganisme adalah derajat kemasaman (pH). Pada awal pengomposan pH bahan kompos turun (cenderung agak
asam) karena bahan organik dirombak menghasilkan asam organik, setelah beberapa hari nilai pH akan naik akibat dekomposisi protein yang membebaskan
amoniak. Kemasaman yang terlalu tinggi pada kondisi awal akan menghalangi
aktivitas mikroorganisme (Dalzell et al., 1987). Jika nilai pH tinggi biasanya diturunkan dengan menambahkan bahan yang bereaksi asam (mengandung nitrogen) seperti urea atau kotoran hewan. pH ideal dalam proses pengomposan adalah
antara 6-8 dengan tingkat masih diterima adalah pH 5 (Rochaeni et al., 2003).
Pemanfaatan Kompos
Pemanfaatan bahan organik untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian telah lama dilakukan oleh petani dalam sistem membudidayakan berbagai
komoditas pertanian.Pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, limbah pemotongan
hewan atau kotoran hewan merupakan jenis bahan organik yang biasa digunakan
pada lahan pertanian. Bahan organik yang berasal dari sisa tanaman mengandung
bermacam-macam unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman
setelah mengalami proses pengomposan. Menurut Gaur (1982), kompos yang
berkualitas mengandung 1.0%-1.5% Nitrogen, 0.44% Fosfor dan 1.25% Kalium,
tidak berbau, strukturnya remah, warnanya coklat tua hingga kehitaman.
Proses pengomposan melibatkan mikroorganisme selulotik dan lignolitik
dari kelompok bakteri, fungi dan aktinomisetes. Organisme tersebut memperoleh
energi dan karbon dari hasil pengomposan bahan organik. Iklim tropis Indonesia
sangat mendukung keragaman mikroba termasuk mikroba aktivator yang berperan
dalam proses pengomposan bahan organik menjadi kompos. Pemanfaatan kompos
14
yang diperkaya mikroba aktivator sangat penting dan bermanfaat bagi petani
dalam meningkatkan daya dukung lahan untuk peningkatan produksi.
Pemanfaatan kompos dalam budidaya tanaman memiliki peranan positif
baik secara fisik, kimia maupun biologi.Penggunaan kompos dapat memperbaiki
struktur tanah dan menjadi unsur utama dalam budidaya tanaman secara organik,
selain itu kompos mendukung tersedianya unsur hara sehingga dapat dimanfaatkan tanaman untuk pertumbuhan.Keberadaan mikroba dalam kompos juga
dapat menekan populasi patogen tular tanah. Beberapa mikroba golongan bakteri
antagonis (Bacillus spp, Actinomycetes, Pseudomonas spp) dan golongan fungi
antagonis (Trichoderma spp, Penicillium spp, Aspergillus spp) merupakan mikroba terbanyak yang terdapat dalam kompos (Chet dan Inbar 1994; Michel,2002).
Sejumlah laporan hasil penelitian menyebutkan penggunaan kompos dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen.Kompos sebagai substrat yang baik untuk pertumbuhan sejumlah mikroorganisme agens hayati seperti
Trichoderma spp.,Fusarium oxysporum non patogenik (FoNP), Bacillus sp
sehingga aplikasi kompos ke dalam tanah dapat mengurangi serangan patogen
tanaman.
Zhang et al., (1996) melaporkan bahwa kompos yang diaplikasikan pada
tanaman mentimun dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap Pythium sp
dan Colletotrichum arbiculare (Berk & Mont) Arx. Pengujian yang telah
dilakukan oleh peneliti di Jerman, Jepang, Israel dan AS menunjukkkan bahwa
penggunan kompos dalam bentuk ekstrak kompos efektif untuk pengendalian beberapa penyakit hawar daun pada kentang, layu fusarium, embun tepung dan
kudis (ATTRA 1998). Hasil penelitian Syamsudin (2002) menunjukkan aplikasi
ekstrak kompos dari bokashi dan jerami mampu menekan infeksi Colletotrichum
capsicipada buah cabai masing-masing 43,3% dan 56,6%.
Pengunaan kompos yang berasal dari A.conyzoides var hirtum (Lam),
T.diversifolia(Hamsley) A. Gray, ampassagu dan mikroba aktivator dalam peningkatan produksi dan ketahanan tanaman cabai terhadap penyakit yang disebabkan P.capsiciL. sebagai pupuk organik pada tanaman cabai masih terbatas. Hal
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain ketersediaan kompos bioaktif
15
siap pakai belum memadai dan pemahaman petani atau masyarakat akan manfaat
kompos bioaktif. Masih banyak petani yang membakar bahan organik sisa panen
atau membuang biomassa sisa panen, sehingga asupan bahan organik ke lahan
pertanian menjadi berkurang. Oleh sebab itu, tersedianya informasipemanfaatan
kompos sangat bermanfaat dalam peningkatan produksi cabai merah.
Penyakit Busuk Phytopthora pada Cabai.
Genus Phytophthora memiliki banyak spesies yang bersifat patogenik pada
berbagai spesies tanaman inang dan menyerang tanaman pada setiap fase
pertumbuhan dan setiap bagian tanaman termasuk bunga dan buah (Zitter 1989;
Charles et al., 1995). Beberapa spesies diantaranya menginfeksi di atas dan di
bawah permukaan tanah bahkan menginfeksi keduanya. Siklus hidup patogen
tersebut melalui seedbornejugasoilborne seperti misalnya Phytophthora capsici
dengan gejala yang luas menyebabkan kematian tanaman akibat pembentukan
kanker pada batang akibatnya mati pucuk, bercak pada daun dan mati cabang
(Erwin dan Ribeiro, 1996 dan Babadoost, 2004).
Tanaman inang utama patogen penyebab penyakit busuk phytophthora
diantaranya cabai, tomat, ketimun dan terung. Patogen tersebut menginfeksi
tanaman pada fase pertumbuhan vegetatif terutama bagian batang. Proses serangan patogen tersebut tergantung dari fase yang diinfeksi. Infeksi lebih awal pada
tanaman akan menyebabkan kematian tanaman, sedangkan infeksi pada fase pertumbuhan lebih lanjut tidak menyebabkan kematian tetapi menyebabkan kerusakan parah. Jika menginfeksi pada fase bibit akan menyebabkan damping-off
tetapi jumlah kematiannya relatif rendah jika kondisi lingkungan tidak terlalu
lembab.
Gejala awal pada tanaman cabai di lapang yang terserang penyakit busuk
phytophthora biasanya akar berwarna coklat kehitaman. Pembusukan secara melingkar pada pangkal batang menyebabkan tanaman cepat layu dan mati. Apabila
patogen menginfeksi batang, maka bagian dalamnya akan mengalami discoloration, mengeras sehingga tanaman mudah roboh. Selanjutnya, batang dan cabang
16
mengalami pembusukan, berwarna hitam, dan cabang serta daun menjadi layu.
Gejala lain yang nampak adalah bercak berbentuk korset pada batang kemudian
daerah disekitar bercak menjadi layu, bahkan seluruh tanaman menjadi layu dan
mati karena patogen telah menginvasi ujung cabang sebelum munculnya bercak
pada batang (Zitter, 1989; Louws et al., 2002).
Gejala khas pada daun berupa bercak gelap dengan bentuk dan ukuran yang
tidak beraturan.Jaringan tersebut mengering dan tampak seperti terbakar matahari.Dalam
waktu
empat
hari
serangan
tersebut
meluas
keseluruh
daun.Gejalaserangan pada buah diawali dengan bercak berwarna gelap ditutupi
dengan spora dan miselium fungi tersebut dan buah yang terinfeksi
mengakibatkan benihnya akan terinfeksi oleh patogen tersebut (Zitter, 1989). Di
dalam jaringan inang, P. capsici menyebabkan terjadinya gangguan aktivitas
fotosintesis dengan meng-gunakan precursor C18:3 untuk biosintesis fungi,
sehingga terjadi disfungsi bio- sintesis C18:3 yang merupakan komponen utama
asam lemak pada membran tilakoid tanaman (Soulie et al., 1989).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk pengendalian penyakit busuk phytophthora pada tanaman cabai, tetapi hasilnya masih belum memuaskan. Penggunaan fungisida belum sepenuhnya dapat mengendalikan penyakit tersebut (Parra dan
Ristaino, 1998). Penggunaan berbagai kultivar cabai melalui upaya breeding juga
telah dilakukan secara ekstensif, namun belum ada kultivar cabai yang telah dilepas secara komersial bersifat resisten terhafap P.capsici (Oelke et al., 2003).
Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Phytophthora.capsiciL.
Tanaman yang tahan terhadap penyakit adalah tanaman yang mampu menghambat perkembangan patogen sehingga patogen tersebut tidak dapat berkembang
dan menyebar, sedangkan tanaman rentan adalah tanaman yang tidak mampu
menghambat perkembangan patogen penyebab penyakit. Ketahanan tanaman terhadap penyakit dikelompokkan menjadi ketahanan struktural dan ketahanan fungsional. Ketahanan sruktural disebut juga ketahanan pasif atau ketahanan prainfeksi,adalah ketahanan terhadap penyakit yang disebabkan oleh struktur tanam-
17
an itu sendiri yang menyebabkan patogen tidak menyukai atau tidak dapat melakukan invasi kedalam tanaman tersebut, misalnyaseperti adanya lignin pada dinding sel, tebal dan kerasnya epidermis, adanya duri pada permukaan vegetatif atau
lapisan lilin pada buah.Ketahanan fungsional disebut juga ketahanan aktif atau
pascainfeksi, adalah ketahanan yang disebabkan oleh adanya reaksi biokimia
tanaman sehingga perkembangan patogen terhambat. Ketahanan tersebut terjadi
karena meningkatnya aktivitas enzim tertentu atau terbentuknya senyawa toksik
seperi fitoaleksin yang dapat mematikan patogen (Agrios, 1997).
Download