BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hipertensi Menurut American Heart

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
Menurut American Heart Association (AHA),hipertensi didefinisikan
sebagai meningkatnya tekanan darah sistolik diatas 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik diatas 90 mmHg.Menurut The Eighth Report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood
Pressure (JNC VIII)hipertensi merupakan keadaan yang paling sering ditemukan
pada pelayanan kesehatan dan selanjutnya mengakibatkan infark miokard, stroke,
gagal ginjal dan kematian bila tidak dideteksi dan diterapi secepat mungkin.
2.2 Klasifikasi Hipertensi
Tabel 2.1Klasifikasi tekanan darah menurut ESH/ESC (2013)
Kategori
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Optimal
<120
Dan
< 80
Normal
120-129
Atau
80-84
Prehipertensi
130-139
Atau
85-89
Hipertensi tahap I
140-159
Atau
90-99
Hipertensi tahap II
160-179
Atau
100-109
Hipertensi tahap III
≥180
Dan
≥ 110
2.3 Etiologi
Hipertensi dapat terjadi akibat proses penyakit lain, seperti penyakit
diabetes melitus, gagal ginjal dan lain sebagainya, tetapi lebih dari 90% pasien
menderita hipertensi esensial, suatu penyakit yang mana meningkatnya tekanan
darah tanpa diketahui penyebabnya. Riwayat hipertensi dalam keluarga
8
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan kemungkinan seseorang menderita penyakit hipertensi. Hipertensi
esensial terjadi empat kali lebih banyak dibandingkan hipertensi sekunder
(hipertensi yang disebabkan adanya penyakit lain). Faktor-faktor lingkungan
seperti cara hidup dengan stress, diet tinggi natrium, kegemukan dan merokok
(Mycek, 2001).
2.4 Faktor Risiko
Risiko pada hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor
risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor-faktor
yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik/keturunan dan usia.
Faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas, nutrisi dan merokok
(Yogiantoro, 2006).
a.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
i. Genetik/keturunan
Riwayat keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung akan
meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lebih besar, terutama pada hipertensi
primer. Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan lebih besar
kemungkinan
untuk
menderita
hipertensi
jika
orangtuanya
menderita
hipertensi.Jika salah satu dari orangtua kita menderita hipertensi, maka 25%
kemungkinan kita akan menderita hipertensi. Jika kedua orangtua kita menderita
hipertensi, kemungkinan kita akan menderita penyakit tersebut 60% (Yogiantoro,
2006).
ii. Usia
Hipertensi erat kaitannya dengan usia, semakin bertambahnya usia
seseorang semakin besar risiko terserang hipertensi. Pertambahan usia
9
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan berkurangnya elastisitas arteri, sehingga risiko terkena hipertensi
lebih besar, oleh karena ituprevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup
tinggi yaitu sekitar 40% dengan kematian sekitar 50% diatas usia 60 tahun.
Meskipun hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun paling sering dijumpai
pada orang berusia 35 tahun atau lebih. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami
pada jantung, pembuluh darah dan hormon. Bila perubahan tersebut disertai
faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi(Yogiantoro, 2006).
b.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
i. Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stres
berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Stres atau
ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, bingung, cemas, berdebar-debar, rasa
marah, dendam, rasa takutdan rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak
ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat
serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stres berlangsung
cukup lama, tubuh berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan
organ atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau
penyakit maag (Yogiantoro, 2006).
ii. Obesitas
Obesitas atau kegemukan dimana berat badan mencapai indeks massa
tubuh >25 (berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter),
juga merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya hipertensi. Curah
jantung dan volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari
10
Universitas Sumatera Utara
penderita hipertensi yang tidak obesitas. Pada obesitas tahanan perifer berkurang
atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan aktivitas renin
plasma yang rendah. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena
beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan
untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah
yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi
tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan
frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin
menyebabkan tubuh menahan natrium dan air. Penelitian epidemiologi juga
membuktikan bahwa obesitas merupakan ciri khas pada populasi pasien
hipertensi(Yogiantoro, 2006).
iii. Nutrisi
Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya
hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan
volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh
peningkatan ekskresi kelebihan garam tersebut sehingga akan kembali pada
keadaan hemodinamik yang normal. Pada hipertensi esensial mekanisme ini
terganggu, di samping ada faktor lain yang berpengaruh (Yogiantoro, 2006).
Kebiasaan konsumsi lemak jenuh juga erat kaitannya dengan peningkatan
berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga
meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan
darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh terutama lemak dalam makanan yang
bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh yang berasal
11
Universitas Sumatera Utara
dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman
dapat menurunkan tekanan darah(Yogiantoro, 2006).
iv. Merokok
Hubungan antara merokok dengan peningkatan risiko kardiovaskular telah
banyak dibuktikan. Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida
yang dihisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak
lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis
dan hipertensi. Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya
tekanan darah segara setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap
rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil didalam paruparu dan diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah
mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada
kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan
menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat
karena tekanan yang lebih tinggi. Tekanan darah akan tetap tinggi sampai 30
menit setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan
menghilang, tekanan darah juga akan menurun dengan perlahan (Yogiantoro,
2006).
2.5 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin
II dari angiotensinI oleh angiotensin converting enzyme (ACE).Angiotensin
converting enzyme memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan
darah.Mula-mula, renin (diproduksi oleh ginjal) akan mengubah angiotensinogen
menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah
12
Universitas Sumatera Utara
menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki peranan kunci dalam menaikkan
tekanan darah melalui dua aksi utama.Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi
hormon antidiuretik (ADH).Antidiuretik diproduksi di hipotalamus (kelenjar
pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume
urin.Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar
tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang
pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah (Sherwood, 2001).
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada
ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya
konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume
cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan
darah. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat
komplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap perfusi
jaringan yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume
sirkulasi darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas
pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu
oleh beberapa faktor meliputi faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat
stress dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi. Perjalanan
penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadangkadang
muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang
13
Universitas Sumatera Utara
lama, hipertensi persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi,
dimana kerusakan organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan
susunan saraf pusat (Sherwood, 2001).
14
Universitas Sumatera Utara
2.6 Farmakoterapi Hipertensi
Penatalaksanaan hipertensimenurut JNC VIII pada Gambar 2.1.
Dewasa usia ≥ 18 tahun dengan hipertensi
Melakukan perubahan gaya hidup
Menetapkan target tekanan darah dan memulai terapi penurun
tekanan darah berdasarkan usia, diabetes dan Chronic Kidney
Disease (CKD)
Usia
≥ 60 tahun
Target TD
SBP <150 mmHg
DBP <90 mmHg
Semua usia
Diabetes
Tanpa CKD
Usia
< 60 tahun
Target TD
SBP <140 mmHg
DBP <90 mmHg
Memulai terapi dengan
diuretik thiazide atau ACEI
atau ARB atau CCB,
tunggal atau kombinasi
Target TD
SBP <140 mmHg
DBP <90 mmHg
Memulai terapi dengan
diuretik thiazide atau
CCB, tunggal atau
kombinasi
Semua usia
CKD dengan atau
tanpa diabetes
Target TD
SBP <140 mmHg
DBP <90 mmHg
Memulai terapi ACEI
atau ARB, tunggal
atau kombinasi
dengan obat kelas
lain
Pilihan strategi titrasi terapi obat
a. Maksimalkan terapi pertama sebelum menambahkan yang kedua atau
b. Menambahkan terapi kedua sebelum mencapai dosis maksimum dari terapi
pertama atau
c. Memulai dengan 2 kelas terapi secara terpisah atau dalam kombinasi
15
Universitas Sumatera Utara
2.6.1
Angiotensin Converting EnzymeInhibitor(ACEI)
Angiotensin Converting Enzymemembantu produksi angiotensin II
berperan dalam pengaturan tekanan darah.Angiotensin Converting Enzyme
didistribusikan pada beberapa jaringan dan ada pada beberapa tipe sel yang
berbeda tetapi pada prinsipnya merupakan sel endothelial.Tempat utama produksi
angiotensin II adalah pada pembuluh darah bukan ginjal (Sukandar, 2009).
Angiotensin Converting EnzymeInhibitormenurunkan produksi angiotensin
II (mencegah perubahan angiotensin I menjadi angiostensin II), meningkatkan
kadar bradikinin dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis melalui
penurunan curah jantung dan dilatasi pembuluh arteri akibat berkurangnya jumlah
angiotensin II di dalam darah, contoh dari ACEI ialah captopril dan enalapril
(Fauci, 2008).
2.6.2
Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Angiotensin Receptor Blocker bekerja dengan cara menghambat secara
langsung pada reseptor angiotensin II yang terdapat pada jaringan. Obat-obat
golongan ini tidak memiliki efek terhadap metabolisme bradikinin sehingga
merupakan
penghambat
yang
lebih
selektif
terhadap
efek
angiotensin
dibandingkan dengan ACEI, sebab terdapat enzim-enzim lain ACE yang dapat
menghasilkan angiotensin II.Obat ARB menimbulkan keuntungan yang serupa
dengan ACEI pada pasien yang menderita gagal jantung dan ginjal kronik.Efek
sampingnya mirip juga dengan efek samping ACEI, termasuk risiko pada
kehamilan.Batuk dan angioedema dapat terjadi namun lebih jarang pada pengguna
ARB dibandingkan pada pengguna ACEI, contoh ARB ialah valsartan dan
losartan (Benowitz, 2010).
16
Universitas Sumatera Utara
2.6.3
Calcium Channel Blocker (CCB)
Calcium Channel Blokermenyebabkan relaksasi jantung dan otot polos
dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan (voltage
sensitive), sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel.
Relaksasi otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan
reduksi tekanan darah.Antagonis kanal kalsium pada hidropiridin dapat
menyebabkan aktifasi refleks simpatetik dan semua golongan ini (kecuali
amlodipin) memberikan efek inotropik negatif (Sukandar, 2009).Mekanisme
kerjanya dalam hipertensi adalah menghambat influks kalsium ke dalam sel otot
polos arteri, contoh CCB ialah amlodipin dan nifedipin (Benowitz, 2010).
2.6.4
Diuretik
Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan cara membuang
kelebihan air dan natrium di dalam tubuh melalui pengeluaran urin. Berkurangnya
air dalam darah mengakibatkan volume darah dan curah jantung menurun,
sehingga pekerjaan jantung ringan.Menurunnya tekanan darah dapat dilihat
dengan terjdinya diuresis.Natrium diduga berperan dalam tahanan vaskular
dengan meningkatnya kekakuan pembuluh darah dan reaktivitas saraf,
kemungkinan berhubungan dengan peningkatan pertukaran natrium-kalsium yang
menghasilkan suatu peningkatan kalsium intraseluler.Efek-efek tersebut dilawan
oleh diuretik atau oleh pembatasan natrium (Benowitz, 2010).
Diuretik efektif menurunkan tekanan darah sebesar 10-15 mmHg pada
sebagian besar penderita dan diuretik sering memberikan efek pengobatan yang
memadai bagi hipertensi esensial ringan dan sedang.Untuk hipertensi yang lebih
berat, diuretik digunakan dalam kombinasi dengan obat vasodilator untuk
17
Universitas Sumatera Utara
mengontrol kecenderungan terjadinya retensi natrium yang disebabkan oleh obatobat tersebut.Respon vaskular yaitu kemampuan untuk konstriksi atau dilatasi
dikurangi oleh obat-obat simpatologik dan vasodilator, sehingga pembuluh darah
berlaku seperti suatu tabung yang tidak fleksibel.Sebagai akibatnya, tekanan darah
menjadi sangat peka terhadap volume darah. Pada hipertensi berat banyak
menggunakan obat kombinasi, sehingga tekanan darah bisa dikontrol dengan baik
bila volume darah adalah 95% dari normal tetapi sukar dikontrol bila volume
darah adalah 105% dari normal, contoh diuretik tiazid ialah klorotiazid dan
hidroklorotiazid (Benowitz, 2010).
2.6.5
Penghambat Reseptor Beta(β Bloker)
Βeta bloker menurunkan tekanan darah melalui penurunan curah jantung
akibat penurunan denyut jantung dan kontraktilitas.Mekanisme utama β bloker
adalah menghambat reseptor β1 pada otot jantung sehingga secara langsung akan
menurunkan denyut jantung. Penghambat β dibedakan menjadi penghambat β
selektif dan penghambat β non selektif.Penghambat β selektif hanya memblok
reseptor β1 dan tidak memblok β2.Penghambat β non selektif memblok kedua
reseptor baik β1 maupun β2.Adrenoseptor β1 dan β2 terdistribusi di seluruh
tubuh, tetapi terkonsentrasi pada organ-organ dan jaringan tertentu.Reseptor β1
lebih banyak pada jantung dan ginjal, sedangkan reseptor β2 lebih banyak
ditemukan pada paru-paru, liver, pankreas dan otot halus arteri.Perangsangan
reseptor
β1
menaikan
denyut
jantung,
kontraktilitas
dan
pelepasan
renin.Perangsangan reseptor β2 menghasilkan bronkodilatasi dan vasodilatasi.
Atenolol, βxolol, bisoprolol dan metoprolol adalah penyekat kardio selektif, jadi
lebih aman penggunaannya daripada penyekat yang non selektif seperti
18
Universitas Sumatera Utara
propanolol, metoprolol dan asebutolol pada pasien asma, penyakit arteri perifer
dan diabetes melitus(Depkes,RI., 2006).
2.7Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah suatu keadaan kelebihan kadar glukosa dalam
tubuh disertai dengan kelainan metabolik akibat gangguan hormonal dan dapat
menimbulkan berbagai komplikasi kronik. Diabetes melitus juga merupakan
penyakit yang menahun atau tidak dapat disembuhkan (Mansjoer, dkk.,2000).
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2011), seseorang dapat
didiagnosis sebagai penderita diabetes melitus apabila mempunyai gejala klasik
diabetes melitus seperti poliuria, polidipsi dan polifagi serta dengankadar gula
darah sewaktu ≥200 mg/dl dan gula darah puasa ≥126mg/dl.
2.8Klasifikasi Diabetes Melitus
American Diabetes Association (ADA) mengklasifikasikan diabetes
melitusmenjadi 4 yaitu diabetes melitus tipe I, diabetes melitus tipe II, diabetes
gestational dan diabetes melitus tipe khusus (Price dan Wilson, 2005).
1) Diabetes Tipe I
Diabetes tipe I (insulin-dependent diabetes mellitus atau IDDM)
merupakan diabetes yang disebabkan oleh proses autoimun sel- T (autoimmune TCell attack) yang menghancurkan selβpankreas 80-90%, yang dalam keadaan
normal menghasilkan hormon insulin, sehingga insulin tidak terbentuk dan
mengakibatkan penumpukan glukosa dalam darah. Pasien dengan diabetes tipe I
membutuhkan penyuntikan insulin langsung untuk mengendalikan kadar glukosa
darah. (Smeltzer dan Bare, 2001).
19
Universitas Sumatera Utara
2) Diabetes Tipe II
Diabetes melitus tipe II(non-insulin-dependent diabetes mellitus atau
NIDDM) adalah diabetes melitus yang tidak tergantung dengan insulin.Diabetes
melitus ini terjadi karena sel β pankreas tidak dapat menghasilkan insulin yang
cukup dan tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif sehingga
terjadi kelebihan gula dalam darah. Diabetes melitus tipe II dapat terjadi pada usia
pertengahan dan kebanyakan penderita memiliki kelebihan berat badan (Smeltzer
dan Bare, 2001).
3) Diabetes Gestastional (Diabetes Kehamilan)
Diabetes gestastional adalah diabetes yang terjadi pada masa kehamilan
dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Diabetes gestastional disebabkan
karena peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik
terhadap toleransi glukosa. Diabetes gestastional dapat hilang setelah proses
persalinan selesai (Smeltzer dan Bare, 2001).
4) Diabetes Melitus Tipe Lain
Diabetes melitus tipe lain merupakan diabetes yang terjadi karena adanya
kerusakan pada pankreas yang memproduksi insulin dan mutasi gen serta
mengganggu sel β pankreas sehingga mengakibatkan kegagalan dalam
menghasilkan insulin secara teratur sesuai dengan kebutuhan tubuh. Sindrom
hormonal yang dapat mengganggu sekresi dan menghambat kerja insulin yaitu
sindrom chusing, akromegali dan sindrom genetik (Smeltzer dan Bare, 2001).
2.9 Etiologi
Dokter dan para ahli belum mengetahui secara pasti penyebab diabetes
melitus tipe I, namun yang pasti penyebab utamanya adalah faktor genetik atau
20
Universitas Sumatera Utara
ketururnan oleh orangtua kepada anak.beberapa faktor pendukung yang lain di
lingkungan dapat memicu sistem imun untuk mengganggu produksi hormone
insulin.
Menurut Smeltzer danBare(2002) DM tipe II disebabkan sel β tidak cukup
menghasilkan insulin dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya
kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer
dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.Sel βtidak mampu
mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif
insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada
rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang
sekresi insulin lain. Dengan demikian, sel β pankreas mengalami desensitisasi
terhadap glukosa.
2.10 Faktor Risiko
Diabetes melitus tipe I tidak bisa menular melainkan diturunkan oleh
orangtua kepada anak.Anggota keluarga yang menderita DM tipe I memiliki
kemungkinan lebih besar terserang DM dibandingkan dengan keluarga yang tidak
pernah terserang DM.
Diabetes melitus tipe II lebih banyak dijumpai di Indonesia. Faktor risiko
diabetes melitus tipe II antara lain gaya hidup, usia, ras atau suku bangsa, riwayat
keluarga dengan diabetes mellitus tipe II dan obesitas(Soegondo, 2004).
a. Gaya Hidup
Gaya hidup menjadi salah satu penyebab utama terjadinya diabetes
melitus.Diet dan olahraga yang tidak baik berperan besar terhadap timbulnya
21
Universitas Sumatera Utara
diabetes melitus yang dihubungkan dengan minimnya aktivitas sehingga
meningkatkan jumlah kalori dalam tubuh.
b. Usia
Peningkatan usia juga merupakan salah satu faktor risiko yang penting.
Kadar gula darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif
setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif.
c. Ras atau suku bangsa
Suku bangsa Amerika Afrika, Amerika Meksiko, Indian Amerika, Hawai,
dan sebagian Amerika Asia memiliki resiko diabetes dan penyakit jantung yang
lebih tinggi. Hal itu sebagian disebabkan oleh tingginya angka tekanan darah
tinggi, obesitas, dan diabetes pada populasi tersebut.
d. Riwayat keluarga
Meskipun penyakit ini terjadi dalam keluarga, cara pewarisan tidak
diketahui kecuali untuk jenis yang dikenal sebagai diabetes pada usia muda
dengan dewasa. Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang
diabetes maka kesempatan untuk menyandang diabetes akan meningkat. Ada
empat bukti yang menunjukkan transmisi penyakit sebagai ciri dominal
autosomal.Pertama transmisi langsung tiga generasi terlihat pada lebih dari 20
keluarga.Kedua didapatkan perbandingan anak diabetes dan tidak diabetes 1:1 jika
satu orang tua menderita diabetes.Pengaruh genetik sangat kuat, karena angka
konkordansi diabetes tipe 2 pada kembar monozigot mencapai 100%.Risiko
keturunan dan saudara kandung pasien penderita NIDDM lebih tinggi dibanding
diabetes tipe I. Hampir empat persepuluh saudara kandung dan sepertiga
22
Universitas Sumatera Utara
keturunan akhirnya mengalami toleransi glukosa abnormal atau diabetes yang
jelas.
e. Obesitas
Overweight atau obesitas erat hubungannya dengan peningkatan risiko
sejumlah
komplikasi
yang
dapat
terjadi
sendiri-sendiri
atau
secara
bersamaan.Seperti yang telah disebutkan di awal, komorbiditas itu dapat berupa
hipertensi, dislipidemia, stroke, diabetes tipe II, disfungsi pernafasan, gout,
osteoartritis dan jenis kanker tertentu.Penyakit kronik yang paling sering
menyertai obesitas adalah diabetes tipe II, hipertensi dan hiperkolesterolemia
(Soegondo, 2004).
2.11 Patofisiologi
Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel β
pankreas.Insulin yang dikeluarkan oleh sel β ini dapat diibaratkan sebagai anak
kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel, untuk kemudian
di dalam sel glukosa itu dimetabolisme menjadi energi. Bila insulin tidak ada,
maka glukosa akan tetap berada dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di
dalam darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan akan lemah karena tidak
ada sumber energi (Soegondo, 2004).
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe II sebenarnya tidak begitu jelas,
tetapi faktor-faktor risiko seperti yang dijelaskan sebelumnya diduga berperan
penting dalam terjadinya resistensi insulin.Pada DM tipe II jumlah sel β
berkurang sampai 50-60% dari normal, jumlah sel alfa meningkat (Soegondo,
2004).
23
Universitas Sumatera Utara
2.12Farmakoterapi Diabetes Melitus
2.12.1 Insulin
Insulin adalah salah satu hormon didalam tubuh manusia yang dihasilkan
atau diproduksi oleh sel β pulau langerhans di dalam kelenjar pankreas.Insulin
bekerja dengan membuka pintu sel jaringan seperti otot dan jaringan lemak,
sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel (Soegondo, 2004).
Adapun insulin yang digunakan, yaitu:
a. Insulin yang bekerja cepat (rapid-acting)
Tiga analog insulin injeksi yang bekerja cepat yaitu insulin lispro, insulin
aspart dan insulin glulisin yang memungkinkan menggantikan insulin pada waktu
makan secara lebih fisiologis karena kerjanya yang cepat dan puncak kerjanya
yang segera tercapai lebih menyerupai sekresi insulin endogen normal
dibandingkan insulin reguler dan memiliki keuntungan lain karena insulin dapat
diberikan segera sebelum makan tanpa mengganggu kontrol glukosa.
b. Insulin yang bekerja singkat (short-acting)
Insulin regular adalah suatu insulin yang bekerja singkat serta dibuat
melalui teknik DNA rekombinan untuk memproduksi suatu molekul yang identik
dengan insulin manusia. Secara spesifik bila insulin regular diberikan pada waktu
makan, kadar glukosa darah meningkat lebih cepat dibandingkan peningkatan
kadar insulin sehingga menyebabkan hiperglikemia postprandial pada awalnya
dan peningkatan risiko terjadinya hipoglikemia postprandial selanjutnya. Insulin
regular harus disuntikkan 30-45 menit atau lebih lama sebelum makan untuk
meminimalkan ketidaksesuaian tersebut (Nolte, 2010).
24
Universitas Sumatera Utara
c. Insulin dengan masa kerja sedang
Insulin NPH (neutral protamine hagedorn) atau isofan adalah insulin yang
dengan masa kerja sedang serta absorpsinya dan mula kerja yang lambat dibuat
dengan menggabungkan insulin dan protamin dalam jumlah yang sesuai sehingga
kedua zat tersebut tidak ada yang tidak membentuk kompleks “isofan”. Dosis
akan mengatur profil kerja insulin tersebut, secara spesifik dalam dosis kecil,
insulin ini memiliki puncak kerja yang lebih rendah dan lebih awal serta lama
kerja yang pendek, hal yang sebaliknya akan terjadi pada dosis besar.
d. Insulin dengan masa kerja sangat lama (ultra–long-acting)
Insulin glargin adalah insulin yang masa kerjanya sangat lama dan
“tidakberpuncak” (memiliki plateau konsentrasi plasma yang lebar).Insulin ini
dirancang sebagai pengganti insulin basal.Insulin glargin adalah analog insulin
yang larut dalam larutan asam namun terpresipitasi pada pH tubuh yang lebih
netral setelah disuntikkan secara subkutan. Masing-masing molekul insulin
perlahan-lahan larut dari depot kristalin dan menyebabkan tercapainya kadar
insulin sirkulasi yang rendah dan berkesinambungan. Insulin glargin biasanya
diberikan sekali sehari (Nolte, 2010).
2.12.2 Sulfonilurea
Mekanisme kerja obat ini yaitu merangsang pelepasan insulin dari sel β
pankreas, mengurangi kadar glukagon dalam serum dan meningkatkan pengikatan
insulin pada jaringan target dan reseptor. Golongan obat ini yang utama
digunakan
adalah
glipizid.Diberikan
tolbutamid,
peroral,
turunan
obat-obat
ini
generasi
terikat
kedua
pada
gliburid
protein
dan
serum,
dimetabolisme oleh hati dan diekskresikan oleh hati atau ginjal.Kontraindikasi
25
Universitas Sumatera Utara
pemakaian obat golongan ini adalah pada pasien insufisiensi hati atau ginjal
karena ekskresi obat-obat tersebut terlambat, mengakibatkan akumulasi dan dapat
menimbulkan hipoglikemia.Sulfonilurea dapat menembus plasenta dan dapat
mengosongkan insulin dari pankreas janin, karena itu pada perempuan hamil
seharusnya pengobatan dengan insulin (Mycek, 2001).
2.12.3 Biguanida
Dari turunan ini hanya metformin yang masih tersedia.Selain metformin
harus ditarik dari perdagangan karena cukup sering menimbulkan laktasidosis
dengan sebagian menyebabkan kematian setelah pemberian sediaan tersebut,
khususnya pada pasien penderita insufisiensi ginjal. Setelah pemberian metformin
secara oral pada penderita diabetes melitus, kadar gula darah menurun sesuai
dosis yang diberikan. Pembebasan insulin dari sel β tidak terjadi, maka efek
hipoglikemik tidak perlu ditakutkan. Metformin diindikasikan pada penderita
diabetes dewasa yang tidak tertolong dengan diet (Mutschler, 1999).
2.12.4 Tiazolidindion
Tiazolidindion meningkatkan sensitivitas insulin pada otot, hati dan
jaringan lemak dan menghambat glukoneogenesis dan menurunkan resistensi
insulin. Kerja farmakologisnya luas berupa penurunan kadar glukosa dengan jalan
meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Akibatnya
penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan oto meningkat. Dua
tiazolidendion kini tersedia yaitu pioglitazon dan rosiglitazon.Suatu senyawa yang
sempat ada dipasaran yaitu troglitazon telah ditarik karena menimbulkan
toksisitas hati (Nolte, 2010).
26
Universitas Sumatera Utara
2.12.5 Penghambat alfa glukosidase
Akarbose bekerja dengan cara menghambat alfa-glukosidase sehingga
mencegah penguraian sukrosa dan kerbohidrat kompleks dalam usus halus dengan
demikian memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat. Akarbose
dimetabolisme
di
saluran
cerna
oleh
bakteri
intestinal
dan
enzim
pencernaan.Fraksi metabolit ini diabsorbsi dan dieksresikan melalui urin. Efeknya
adalah menurunkan kadar gula darah sesudah makan. Penghambat alfa
glukosidase dapat digunakan sebagai monoterapi pada pasien usia lanjut atau pada
pasien dengan didominasi hiperglikemia postprandial. Obat ini harus diberikan
diawal saat makan (Sukandar, 2009).
2.13 Farmakoekonomi
Farmakoekonomi didefinisikan sebagai analisis biaya terapi obat pada
sistem pelayanan kesehatan. Lebih spesifik, studi farmakoekonomi adalah proses
identifikasi, pengukuran dan membandingkan biaya, resiko dan manfaat dari
program pelayanan atau program terapi dan menentukan alternatif yang
memberikan outcame kesehatan terbaik untuk sumber daya yang digunakan.
Farmakoekonomi mengidentifikasi, mengukur dan membandingkan biaya sumber
daya yang digunakan dengan konsekuensi (klinik, ekonomi, humanistik) dari
produk dan pelayanan farmasi.Bagi praktisi, digunakan sebagai pertimbangan
biaya yang diperlukan untuk mendapatkan produk atau pelayanan farmasi
dibandingkan dengan konsekuensi (outcame) yang diperoleh untuk menetapkan
alternatif
mana
yang
memberikan
keluaran
optimal
per
rupiah
yang
dikeluarkan.Informasi ini dapat membantu pengambilan keputusan klinik dalam
memilih terapi yang paling cost-effective.Biaya didefinisikan sebagai nilai dari
27
Universitas Sumatera Utara
sumber daya yang digunakan dalam suatu program atau terapi obat. Konsekuensi
didefinisikan sebagai efek, output atau outcame dari suatu program atau terapi
obat (Andayani, 2013).
Farmakoekonomi diperlukan karena sumber daya terbatas, misalnya pada
rumah sakit pemerintah dengan dana terbatas, sehingga sangat penting bagaimana
memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia dan pengalokasian
sumber daya yang tersedia secara efisien (Vogenberg, 2001). Hasil analisis
farmakoekonomi bisa dijadikan sebagai informasi yang dapat membantu para
pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan
yang tersedia agar pelayanan kesehatan lebih efektif dan efisien. Informasi
farmakoekonomi pada saat ini dianggap sama pentingnya dengan informasi
khasiat dan keamanan obat dalam menentukan pilihan obat mana yang akan
digunakan (Trisna, 2010).
2.14 Tipe Farmakoekonomi
Tipe farmakoekonomi meliputi Cost-Minimization Analysis (CMA), CostEffectiveness Analysis (CEA), Cost-Benefit
Analysis (CBA),
Cost-Utility
Analysis (CUA),Cost of Illness (COI), Cost-consequence dan teknik analisis
ekonomi lain yang memberikan informasi yang penting bagi pembuat keputusan
dalam sistem pelayanan kesehatan untuk mengalokasikan sumber daya yang
terbatas. Setiap metode, mengukur biaya dalam rupiah tetapi berbeda dalam
mengukur dan membandingkan outcome kesehatan (Vogenberg, 2001).
28
Universitas Sumatera Utara
a. Cost-Minimization Analysis (CMA)
Cost-minimization analysisadalah tipe analisis yang menentukan biaya
program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis
ini digunakan untuk menguji biaya yang dihubungkan dengan intervensi yang
sama dalam bentuk hasil yang diperoleh (Orion, 1997).Cost-minimization
analysismempunyai kelebihan yaitu analisis yang sederhana karena autcome yang
diasumsikan ekivalen, sehingga hanya biaya dari intervensi yang dibandingkan
(Andayani, 2013).
b. Cost-Effectiveness Analysis (CEA)
Cost-effectiveness analysis adalah tipe analisis yang membandingkan
biaya suatu intervensi dengan beberapa ukuran non-moneter, yang berpengaruh
terhadap hasil perawatan kesehatan.Cost-effectiveness analysismerupakan salah
satu cara untuk memilih dan menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa
program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria
penilaian program mana yang akan dipilih didasarkan pada discounted unit cost
dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai
discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis atau
pengambil keputusan (Tjiptoherianto dan Soesetyo, 2008).
Cost-effectiveness
analysismengukur
outcome
dalam
unit
natural
(misalnya mmHg, kadar kolesterol, hari bebas gejala). Kelebihan utama dari
pendekatan ini adalah outcome lebih mudah diukur jika dibandingan dengan costutility analysisi (CUA) atau cost-benefit analysis (CBA) dan klinisi lebih familiar
dengan mengukur outcometersebut selalu dicatat dan dievaluasi dalam uji klinik
maupun praktek klinik (Andayani, 2013).
29
Universitas Sumatera Utara
Hasil akhir perhitungan CEA dapat juga berupa cost-effectiveness ratio
(CER) yaitu rasio perkiraan biaya program atau kegiatan tertentu dengan jumlah
efek atau hasil (output). Jadi keputusan akhir dalam memilih antara alternatif
kegiatan adalah dengan membandingkan cost-effectiveness ratio dari tiap-tiap
kegiatan dan dihitung menggunakan rumus berikut:
CER =
𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡
𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸
Incremental cost-effectiveness ratio (ICER) didefinisikan sebagai rasio
perbedaan antara biaya dari dua alternatif dengan perbedaan efektivitas antara
alternatif dan dihitung berdasarkan persamaan berikut:
ICER =
𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡 −𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡𝐡
𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸 −𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸
c. Cost-Benefit Analysis (CBA)
Cost-benefit analysismerupakan alternatif yang dipilih tidak mempunyai
outcome yang sama. Baik outcome maupun biaya yang terjadi dihitung dan diukur
dengan menggunakaan satuan uang.Cost-benefit
analysisdihitung dengan
membedakan alternatif mana yang mempunyai keuntungan relatif lebih besar
dibandingkan dengan antara biaya yang terjadi. Penelitian CBA dilakukan bila
sumber daya terbatas dan pilihan harus dilakukan terhadap beberapa alternatif
yang paling menguntungkan (Vogenberg, 2001).Kelebihan dari CBA adalah
beberapa outcome yang berbeda dapat dibandingkan, dimana outcome diukur
dalam nilai mata uang (Andayani, 2013).
30
Universitas Sumatera Utara
d. Cost-Utility Analysis (CUA)
Cost-utility analysisdisebut juga Analisis Biaya Kegunaan. Penetapan
output dalam bentuk outcome, yaitu berupa peningkatan kualitas hidup. Seperti
CEA, cost-utility analysis (CUA) membandingkan biaya terhadap program
kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan kesehatan yang
diakibatkan perawatan kesehatan. Dalam CUA, peningkatan kesehatan diukur
dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years/QALYs) dan
hasilnya ditunjukkan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Dalam kualitas
dan kuantitas hidup dapat dikonversikan kedalam nilai QALYs. Keuntungan dari
analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup, kekurangannya
bergantung pada penentuan QALYs pada status tingkat kesehatan pasien (Orion,
1997).
Kelebihan CUA adalah outcome kesehatan yang berbeda dan penyakit
dengan beberapa outcome dapat dibandingkan dengan menggunakan satu unit
pengukuran, yaitu QALYs.Pada analisis CUA yaitu menggabungan morbiditas
dan mortalitas kedalam satu unit pengukuran tanpa perlu mengukur nilai moneter
dari suatu outcome kesehatan (Andayani, 2013).
2.15Kategori Biaya
Kategori biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi empat
kategori (Bootman, 2005).
a. Biaya Langsung Medis (Direct Medical Cost)
Biaya langsung medis adalah biaya yang paling sering diukur, merupakan
biaya yang digunakan secara langsung untuk memberikan terapi kepada
31
Universitas Sumatera Utara
pasien.Misalnya biaya obat, test diagnostik, kunjungan dokter, jasa perawat atau
biaya kamar rawat inap.
b. Biaya Langsung Non-Medis (Direct Non-Medical Cost)
Biaya langsung non-medis adalah biaya untuk pasien atau keluarga pasien
yang terkait langsung dengan perawatan pasien, tetapi tidak terkait langsung
dengan terapi.Contoh dari biaya langsung non-medis ialah transportasi dari rumah
ke rumah sakit, jasa pelayanan anak-anak pasien atau penginapan dan makanan
yang dibutuhkan keluarga selama terapi berlangsung.
c. Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost)
Biaya tidak langsung adalah biaya yang disebabkan waktu pasien tidak
bisa bekerja untuk mendapatkan terapi atau produktivitas yang berkurang karena
pengaruh penyakit atau terapi yang diterima.Sebagai contoh pasien kehilangan
pendapatan karena sakit yang berkepanjangan sehingga tidak dapat memberikan
nafkah pada keluarganya atau pendapatan berkurang karena kematian yang cepat.
d. Biaya Tidak Terduga (Intangible Cost)
Biaya tidak terduga merupakan biaya yang dikeluarkan karena efek
samping penyakit atau efek samping dari terapi. Antara lain seperti biaya untuk
nyeri atau cacat, kehilangan kebebasan dan efek samping.
32
Universitas Sumatera Utara
Download