BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hipertensi Menurut American Heart Association (AHA),hipertensi didefinisikan sebagai meningkatnya tekanan darah sistolik diatas 140 mmHg dan tekanan darah diastolik diatas 90 mmHg.Menurut The Eighth Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VIII)hipertensi merupakan keadaan yang paling sering ditemukan pada pelayanan kesehatan dan selanjutnya mengakibatkan infark miokard, stroke, gagal ginjal dan kematian bila tidak dideteksi dan diterapi secepat mungkin. 2.2 Klasifikasi Hipertensi Tabel 2.1Klasifikasi tekanan darah menurut ESH/ESC (2013) Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg) Optimal <120 Dan < 80 Normal 120-129 Atau 80-84 Prehipertensi 130-139 Atau 85-89 Hipertensi tahap I 140-159 Atau 90-99 Hipertensi tahap II 160-179 Atau 100-109 Hipertensi tahap III ≥180 Dan ≥ 110 2.3 Etiologi Hipertensi dapat terjadi akibat proses penyakit lain, seperti penyakit diabetes melitus, gagal ginjal dan lain sebagainya, tetapi lebih dari 90% pasien menderita hipertensi esensial, suatu penyakit yang mana meningkatnya tekanan darah tanpa diketahui penyebabnya. Riwayat hipertensi dalam keluarga 8 Universitas Sumatera Utara meningkatkan kemungkinan seseorang menderita penyakit hipertensi. Hipertensi esensial terjadi empat kali lebih banyak dibandingkan hipertensi sekunder (hipertensi yang disebabkan adanya penyakit lain). Faktor-faktor lingkungan seperti cara hidup dengan stress, diet tinggi natrium, kegemukan dan merokok (Mycek, 2001). 2.4 Faktor Risiko Risiko pada hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik/keturunan dan usia. Faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas, nutrisi dan merokok (Yogiantoro, 2006). a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi i. Genetik/keturunan Riwayat keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung akan meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lebih besar, terutama pada hipertensi primer. Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan lebih besar kemungkinan untuk menderita hipertensi jika orangtuanya menderita hipertensi.Jika salah satu dari orangtua kita menderita hipertensi, maka 25% kemungkinan kita akan menderita hipertensi. Jika kedua orangtua kita menderita hipertensi, kemungkinan kita akan menderita penyakit tersebut 60% (Yogiantoro, 2006). ii. Usia Hipertensi erat kaitannya dengan usia, semakin bertambahnya usia seseorang semakin besar risiko terserang hipertensi. Pertambahan usia 9 Universitas Sumatera Utara mengakibatkan berkurangnya elastisitas arteri, sehingga risiko terkena hipertensi lebih besar, oleh karena ituprevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40% dengan kematian sekitar 50% diatas usia 60 tahun. Meskipun hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun paling sering dijumpai pada orang berusia 35 tahun atau lebih. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung, pembuluh darah dan hormon. Bila perubahan tersebut disertai faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi(Yogiantoro, 2006). b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi i. Stres Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stres berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, bingung, cemas, berdebar-debar, rasa marah, dendam, rasa takutdan rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama, tubuh berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organ atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag (Yogiantoro, 2006). ii. Obesitas Obesitas atau kegemukan dimana berat badan mencapai indeks massa tubuh >25 (berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter), juga merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya hipertensi. Curah jantung dan volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari 10 Universitas Sumatera Utara penderita hipertensi yang tidak obesitas. Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air. Penelitian epidemiologi juga membuktikan bahwa obesitas merupakan ciri khas pada populasi pasien hipertensi(Yogiantoro, 2006). iii. Nutrisi Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan garam tersebut sehingga akan kembali pada keadaan hemodinamik yang normal. Pada hipertensi esensial mekanisme ini terganggu, di samping ada faktor lain yang berpengaruh (Yogiantoro, 2006). Kebiasaan konsumsi lemak jenuh juga erat kaitannya dengan peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh yang berasal 11 Universitas Sumatera Utara dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah(Yogiantoro, 2006). iv. Merokok Hubungan antara merokok dengan peningkatan risiko kardiovaskular telah banyak dibuktikan. Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi. Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah segara setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil didalam paruparu dan diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Tekanan darah akan tetap tinggi sampai 30 menit setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah juga akan menurun dengan perlahan (Yogiantoro, 2006). 2.5 Patofisiologi Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensinI oleh angiotensin converting enzyme (ACE).Angiotensin converting enzyme memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah.Mula-mula, renin (diproduksi oleh ginjal) akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah 12 Universitas Sumatera Utara menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH).Antidiuretik diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin.Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah (Sherwood, 2001). Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat komplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap perfusi jaringan yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume sirkulasi darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa faktor meliputi faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stress dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi. Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadangkadang muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang 13 Universitas Sumatera Utara lama, hipertensi persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat (Sherwood, 2001). 14 Universitas Sumatera Utara 2.6 Farmakoterapi Hipertensi Penatalaksanaan hipertensimenurut JNC VIII pada Gambar 2.1. Dewasa usia ≥ 18 tahun dengan hipertensi Melakukan perubahan gaya hidup Menetapkan target tekanan darah dan memulai terapi penurun tekanan darah berdasarkan usia, diabetes dan Chronic Kidney Disease (CKD) Usia ≥ 60 tahun Target TD SBP <150 mmHg DBP <90 mmHg Semua usia Diabetes Tanpa CKD Usia < 60 tahun Target TD SBP <140 mmHg DBP <90 mmHg Memulai terapi dengan diuretik thiazide atau ACEI atau ARB atau CCB, tunggal atau kombinasi Target TD SBP <140 mmHg DBP <90 mmHg Memulai terapi dengan diuretik thiazide atau CCB, tunggal atau kombinasi Semua usia CKD dengan atau tanpa diabetes Target TD SBP <140 mmHg DBP <90 mmHg Memulai terapi ACEI atau ARB, tunggal atau kombinasi dengan obat kelas lain Pilihan strategi titrasi terapi obat a. Maksimalkan terapi pertama sebelum menambahkan yang kedua atau b. Menambahkan terapi kedua sebelum mencapai dosis maksimum dari terapi pertama atau c. Memulai dengan 2 kelas terapi secara terpisah atau dalam kombinasi 15 Universitas Sumatera Utara 2.6.1 Angiotensin Converting EnzymeInhibitor(ACEI) Angiotensin Converting Enzymemembantu produksi angiotensin II berperan dalam pengaturan tekanan darah.Angiotensin Converting Enzyme didistribusikan pada beberapa jaringan dan ada pada beberapa tipe sel yang berbeda tetapi pada prinsipnya merupakan sel endothelial.Tempat utama produksi angiotensin II adalah pada pembuluh darah bukan ginjal (Sukandar, 2009). Angiotensin Converting EnzymeInhibitormenurunkan produksi angiotensin II (mencegah perubahan angiotensin I menjadi angiostensin II), meningkatkan kadar bradikinin dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis melalui penurunan curah jantung dan dilatasi pembuluh arteri akibat berkurangnya jumlah angiotensin II di dalam darah, contoh dari ACEI ialah captopril dan enalapril (Fauci, 2008). 2.6.2 Angiotensin Receptor Blocker (ARB) Angiotensin Receptor Blocker bekerja dengan cara menghambat secara langsung pada reseptor angiotensin II yang terdapat pada jaringan. Obat-obat golongan ini tidak memiliki efek terhadap metabolisme bradikinin sehingga merupakan penghambat yang lebih selektif terhadap efek angiotensin dibandingkan dengan ACEI, sebab terdapat enzim-enzim lain ACE yang dapat menghasilkan angiotensin II.Obat ARB menimbulkan keuntungan yang serupa dengan ACEI pada pasien yang menderita gagal jantung dan ginjal kronik.Efek sampingnya mirip juga dengan efek samping ACEI, termasuk risiko pada kehamilan.Batuk dan angioedema dapat terjadi namun lebih jarang pada pengguna ARB dibandingkan pada pengguna ACEI, contoh ARB ialah valsartan dan losartan (Benowitz, 2010). 16 Universitas Sumatera Utara 2.6.3 Calcium Channel Blocker (CCB) Calcium Channel Blokermenyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan (voltage sensitive), sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan darah.Antagonis kanal kalsium pada hidropiridin dapat menyebabkan aktifasi refleks simpatetik dan semua golongan ini (kecuali amlodipin) memberikan efek inotropik negatif (Sukandar, 2009).Mekanisme kerjanya dalam hipertensi adalah menghambat influks kalsium ke dalam sel otot polos arteri, contoh CCB ialah amlodipin dan nifedipin (Benowitz, 2010). 2.6.4 Diuretik Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan cara membuang kelebihan air dan natrium di dalam tubuh melalui pengeluaran urin. Berkurangnya air dalam darah mengakibatkan volume darah dan curah jantung menurun, sehingga pekerjaan jantung ringan.Menurunnya tekanan darah dapat dilihat dengan terjdinya diuresis.Natrium diduga berperan dalam tahanan vaskular dengan meningkatnya kekakuan pembuluh darah dan reaktivitas saraf, kemungkinan berhubungan dengan peningkatan pertukaran natrium-kalsium yang menghasilkan suatu peningkatan kalsium intraseluler.Efek-efek tersebut dilawan oleh diuretik atau oleh pembatasan natrium (Benowitz, 2010). Diuretik efektif menurunkan tekanan darah sebesar 10-15 mmHg pada sebagian besar penderita dan diuretik sering memberikan efek pengobatan yang memadai bagi hipertensi esensial ringan dan sedang.Untuk hipertensi yang lebih berat, diuretik digunakan dalam kombinasi dengan obat vasodilator untuk 17 Universitas Sumatera Utara mengontrol kecenderungan terjadinya retensi natrium yang disebabkan oleh obatobat tersebut.Respon vaskular yaitu kemampuan untuk konstriksi atau dilatasi dikurangi oleh obat-obat simpatologik dan vasodilator, sehingga pembuluh darah berlaku seperti suatu tabung yang tidak fleksibel.Sebagai akibatnya, tekanan darah menjadi sangat peka terhadap volume darah. Pada hipertensi berat banyak menggunakan obat kombinasi, sehingga tekanan darah bisa dikontrol dengan baik bila volume darah adalah 95% dari normal tetapi sukar dikontrol bila volume darah adalah 105% dari normal, contoh diuretik tiazid ialah klorotiazid dan hidroklorotiazid (Benowitz, 2010). 2.6.5 Penghambat Reseptor Beta(β Bloker) Βeta bloker menurunkan tekanan darah melalui penurunan curah jantung akibat penurunan denyut jantung dan kontraktilitas.Mekanisme utama β bloker adalah menghambat reseptor β1 pada otot jantung sehingga secara langsung akan menurunkan denyut jantung. Penghambat β dibedakan menjadi penghambat β selektif dan penghambat β non selektif.Penghambat β selektif hanya memblok reseptor β1 dan tidak memblok β2.Penghambat β non selektif memblok kedua reseptor baik β1 maupun β2.Adrenoseptor β1 dan β2 terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkonsentrasi pada organ-organ dan jaringan tertentu.Reseptor β1 lebih banyak pada jantung dan ginjal, sedangkan reseptor β2 lebih banyak ditemukan pada paru-paru, liver, pankreas dan otot halus arteri.Perangsangan reseptor β1 menaikan denyut jantung, kontraktilitas dan pelepasan renin.Perangsangan reseptor β2 menghasilkan bronkodilatasi dan vasodilatasi. Atenolol, βxolol, bisoprolol dan metoprolol adalah penyekat kardio selektif, jadi lebih aman penggunaannya daripada penyekat yang non selektif seperti 18 Universitas Sumatera Utara propanolol, metoprolol dan asebutolol pada pasien asma, penyakit arteri perifer dan diabetes melitus(Depkes,RI., 2006). 2.7Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu keadaan kelebihan kadar glukosa dalam tubuh disertai dengan kelainan metabolik akibat gangguan hormonal dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik. Diabetes melitus juga merupakan penyakit yang menahun atau tidak dapat disembuhkan (Mansjoer, dkk.,2000). Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2011), seseorang dapat didiagnosis sebagai penderita diabetes melitus apabila mempunyai gejala klasik diabetes melitus seperti poliuria, polidipsi dan polifagi serta dengankadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dl dan gula darah puasa ≥126mg/dl. 2.8Klasifikasi Diabetes Melitus American Diabetes Association (ADA) mengklasifikasikan diabetes melitusmenjadi 4 yaitu diabetes melitus tipe I, diabetes melitus tipe II, diabetes gestational dan diabetes melitus tipe khusus (Price dan Wilson, 2005). 1) Diabetes Tipe I Diabetes tipe I (insulin-dependent diabetes mellitus atau IDDM) merupakan diabetes yang disebabkan oleh proses autoimun sel- T (autoimmune TCell attack) yang menghancurkan selβpankreas 80-90%, yang dalam keadaan normal menghasilkan hormon insulin, sehingga insulin tidak terbentuk dan mengakibatkan penumpukan glukosa dalam darah. Pasien dengan diabetes tipe I membutuhkan penyuntikan insulin langsung untuk mengendalikan kadar glukosa darah. (Smeltzer dan Bare, 2001). 19 Universitas Sumatera Utara 2) Diabetes Tipe II Diabetes melitus tipe II(non-insulin-dependent diabetes mellitus atau NIDDM) adalah diabetes melitus yang tidak tergantung dengan insulin.Diabetes melitus ini terjadi karena sel β pankreas tidak dapat menghasilkan insulin yang cukup dan tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif sehingga terjadi kelebihan gula dalam darah. Diabetes melitus tipe II dapat terjadi pada usia pertengahan dan kebanyakan penderita memiliki kelebihan berat badan (Smeltzer dan Bare, 2001). 3) Diabetes Gestastional (Diabetes Kehamilan) Diabetes gestastional adalah diabetes yang terjadi pada masa kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Diabetes gestastional disebabkan karena peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa. Diabetes gestastional dapat hilang setelah proses persalinan selesai (Smeltzer dan Bare, 2001). 4) Diabetes Melitus Tipe Lain Diabetes melitus tipe lain merupakan diabetes yang terjadi karena adanya kerusakan pada pankreas yang memproduksi insulin dan mutasi gen serta mengganggu sel β pankreas sehingga mengakibatkan kegagalan dalam menghasilkan insulin secara teratur sesuai dengan kebutuhan tubuh. Sindrom hormonal yang dapat mengganggu sekresi dan menghambat kerja insulin yaitu sindrom chusing, akromegali dan sindrom genetik (Smeltzer dan Bare, 2001). 2.9 Etiologi Dokter dan para ahli belum mengetahui secara pasti penyebab diabetes melitus tipe I, namun yang pasti penyebab utamanya adalah faktor genetik atau 20 Universitas Sumatera Utara ketururnan oleh orangtua kepada anak.beberapa faktor pendukung yang lain di lingkungan dapat memicu sistem imun untuk mengganggu produksi hormone insulin. Menurut Smeltzer danBare(2002) DM tipe II disebabkan sel β tidak cukup menghasilkan insulin dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.Sel βtidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Dengan demikian, sel β pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa. 2.10 Faktor Risiko Diabetes melitus tipe I tidak bisa menular melainkan diturunkan oleh orangtua kepada anak.Anggota keluarga yang menderita DM tipe I memiliki kemungkinan lebih besar terserang DM dibandingkan dengan keluarga yang tidak pernah terserang DM. Diabetes melitus tipe II lebih banyak dijumpai di Indonesia. Faktor risiko diabetes melitus tipe II antara lain gaya hidup, usia, ras atau suku bangsa, riwayat keluarga dengan diabetes mellitus tipe II dan obesitas(Soegondo, 2004). a. Gaya Hidup Gaya hidup menjadi salah satu penyebab utama terjadinya diabetes melitus.Diet dan olahraga yang tidak baik berperan besar terhadap timbulnya 21 Universitas Sumatera Utara diabetes melitus yang dihubungkan dengan minimnya aktivitas sehingga meningkatkan jumlah kalori dalam tubuh. b. Usia Peningkatan usia juga merupakan salah satu faktor risiko yang penting. Kadar gula darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif. c. Ras atau suku bangsa Suku bangsa Amerika Afrika, Amerika Meksiko, Indian Amerika, Hawai, dan sebagian Amerika Asia memiliki resiko diabetes dan penyakit jantung yang lebih tinggi. Hal itu sebagian disebabkan oleh tingginya angka tekanan darah tinggi, obesitas, dan diabetes pada populasi tersebut. d. Riwayat keluarga Meskipun penyakit ini terjadi dalam keluarga, cara pewarisan tidak diketahui kecuali untuk jenis yang dikenal sebagai diabetes pada usia muda dengan dewasa. Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang diabetes maka kesempatan untuk menyandang diabetes akan meningkat. Ada empat bukti yang menunjukkan transmisi penyakit sebagai ciri dominal autosomal.Pertama transmisi langsung tiga generasi terlihat pada lebih dari 20 keluarga.Kedua didapatkan perbandingan anak diabetes dan tidak diabetes 1:1 jika satu orang tua menderita diabetes.Pengaruh genetik sangat kuat, karena angka konkordansi diabetes tipe 2 pada kembar monozigot mencapai 100%.Risiko keturunan dan saudara kandung pasien penderita NIDDM lebih tinggi dibanding diabetes tipe I. Hampir empat persepuluh saudara kandung dan sepertiga 22 Universitas Sumatera Utara keturunan akhirnya mengalami toleransi glukosa abnormal atau diabetes yang jelas. e. Obesitas Overweight atau obesitas erat hubungannya dengan peningkatan risiko sejumlah komplikasi yang dapat terjadi sendiri-sendiri atau secara bersamaan.Seperti yang telah disebutkan di awal, komorbiditas itu dapat berupa hipertensi, dislipidemia, stroke, diabetes tipe II, disfungsi pernafasan, gout, osteoartritis dan jenis kanker tertentu.Penyakit kronik yang paling sering menyertai obesitas adalah diabetes tipe II, hipertensi dan hiperkolesterolemia (Soegondo, 2004). 2.11 Patofisiologi Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel β pankreas.Insulin yang dikeluarkan oleh sel β ini dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel, untuk kemudian di dalam sel glukosa itu dimetabolisme menjadi energi. Bila insulin tidak ada, maka glukosa akan tetap berada dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di dalam darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan akan lemah karena tidak ada sumber energi (Soegondo, 2004). Penyebab resistensi insulin pada DM tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor risiko seperti yang dijelaskan sebelumnya diduga berperan penting dalam terjadinya resistensi insulin.Pada DM tipe II jumlah sel β berkurang sampai 50-60% dari normal, jumlah sel alfa meningkat (Soegondo, 2004). 23 Universitas Sumatera Utara 2.12Farmakoterapi Diabetes Melitus 2.12.1 Insulin Insulin adalah salah satu hormon didalam tubuh manusia yang dihasilkan atau diproduksi oleh sel β pulau langerhans di dalam kelenjar pankreas.Insulin bekerja dengan membuka pintu sel jaringan seperti otot dan jaringan lemak, sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel (Soegondo, 2004). Adapun insulin yang digunakan, yaitu: a. Insulin yang bekerja cepat (rapid-acting) Tiga analog insulin injeksi yang bekerja cepat yaitu insulin lispro, insulin aspart dan insulin glulisin yang memungkinkan menggantikan insulin pada waktu makan secara lebih fisiologis karena kerjanya yang cepat dan puncak kerjanya yang segera tercapai lebih menyerupai sekresi insulin endogen normal dibandingkan insulin reguler dan memiliki keuntungan lain karena insulin dapat diberikan segera sebelum makan tanpa mengganggu kontrol glukosa. b. Insulin yang bekerja singkat (short-acting) Insulin regular adalah suatu insulin yang bekerja singkat serta dibuat melalui teknik DNA rekombinan untuk memproduksi suatu molekul yang identik dengan insulin manusia. Secara spesifik bila insulin regular diberikan pada waktu makan, kadar glukosa darah meningkat lebih cepat dibandingkan peningkatan kadar insulin sehingga menyebabkan hiperglikemia postprandial pada awalnya dan peningkatan risiko terjadinya hipoglikemia postprandial selanjutnya. Insulin regular harus disuntikkan 30-45 menit atau lebih lama sebelum makan untuk meminimalkan ketidaksesuaian tersebut (Nolte, 2010). 24 Universitas Sumatera Utara c. Insulin dengan masa kerja sedang Insulin NPH (neutral protamine hagedorn) atau isofan adalah insulin yang dengan masa kerja sedang serta absorpsinya dan mula kerja yang lambat dibuat dengan menggabungkan insulin dan protamin dalam jumlah yang sesuai sehingga kedua zat tersebut tidak ada yang tidak membentuk kompleks “isofan”. Dosis akan mengatur profil kerja insulin tersebut, secara spesifik dalam dosis kecil, insulin ini memiliki puncak kerja yang lebih rendah dan lebih awal serta lama kerja yang pendek, hal yang sebaliknya akan terjadi pada dosis besar. d. Insulin dengan masa kerja sangat lama (ultra–long-acting) Insulin glargin adalah insulin yang masa kerjanya sangat lama dan “tidakberpuncak” (memiliki plateau konsentrasi plasma yang lebar).Insulin ini dirancang sebagai pengganti insulin basal.Insulin glargin adalah analog insulin yang larut dalam larutan asam namun terpresipitasi pada pH tubuh yang lebih netral setelah disuntikkan secara subkutan. Masing-masing molekul insulin perlahan-lahan larut dari depot kristalin dan menyebabkan tercapainya kadar insulin sirkulasi yang rendah dan berkesinambungan. Insulin glargin biasanya diberikan sekali sehari (Nolte, 2010). 2.12.2 Sulfonilurea Mekanisme kerja obat ini yaitu merangsang pelepasan insulin dari sel β pankreas, mengurangi kadar glukagon dalam serum dan meningkatkan pengikatan insulin pada jaringan target dan reseptor. Golongan obat ini yang utama digunakan adalah glipizid.Diberikan tolbutamid, peroral, turunan obat-obat ini generasi terikat kedua pada gliburid protein dan serum, dimetabolisme oleh hati dan diekskresikan oleh hati atau ginjal.Kontraindikasi 25 Universitas Sumatera Utara pemakaian obat golongan ini adalah pada pasien insufisiensi hati atau ginjal karena ekskresi obat-obat tersebut terlambat, mengakibatkan akumulasi dan dapat menimbulkan hipoglikemia.Sulfonilurea dapat menembus plasenta dan dapat mengosongkan insulin dari pankreas janin, karena itu pada perempuan hamil seharusnya pengobatan dengan insulin (Mycek, 2001). 2.12.3 Biguanida Dari turunan ini hanya metformin yang masih tersedia.Selain metformin harus ditarik dari perdagangan karena cukup sering menimbulkan laktasidosis dengan sebagian menyebabkan kematian setelah pemberian sediaan tersebut, khususnya pada pasien penderita insufisiensi ginjal. Setelah pemberian metformin secara oral pada penderita diabetes melitus, kadar gula darah menurun sesuai dosis yang diberikan. Pembebasan insulin dari sel β tidak terjadi, maka efek hipoglikemik tidak perlu ditakutkan. Metformin diindikasikan pada penderita diabetes dewasa yang tidak tertolong dengan diet (Mutschler, 1999). 2.12.4 Tiazolidindion Tiazolidindion meningkatkan sensitivitas insulin pada otot, hati dan jaringan lemak dan menghambat glukoneogenesis dan menurunkan resistensi insulin. Kerja farmakologisnya luas berupa penurunan kadar glukosa dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Akibatnya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan oto meningkat. Dua tiazolidendion kini tersedia yaitu pioglitazon dan rosiglitazon.Suatu senyawa yang sempat ada dipasaran yaitu troglitazon telah ditarik karena menimbulkan toksisitas hati (Nolte, 2010). 26 Universitas Sumatera Utara 2.12.5 Penghambat alfa glukosidase Akarbose bekerja dengan cara menghambat alfa-glukosidase sehingga mencegah penguraian sukrosa dan kerbohidrat kompleks dalam usus halus dengan demikian memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat. Akarbose dimetabolisme di saluran cerna oleh bakteri intestinal dan enzim pencernaan.Fraksi metabolit ini diabsorbsi dan dieksresikan melalui urin. Efeknya adalah menurunkan kadar gula darah sesudah makan. Penghambat alfa glukosidase dapat digunakan sebagai monoterapi pada pasien usia lanjut atau pada pasien dengan didominasi hiperglikemia postprandial. Obat ini harus diberikan diawal saat makan (Sukandar, 2009). 2.13 Farmakoekonomi Farmakoekonomi didefinisikan sebagai analisis biaya terapi obat pada sistem pelayanan kesehatan. Lebih spesifik, studi farmakoekonomi adalah proses identifikasi, pengukuran dan membandingkan biaya, resiko dan manfaat dari program pelayanan atau program terapi dan menentukan alternatif yang memberikan outcame kesehatan terbaik untuk sumber daya yang digunakan. Farmakoekonomi mengidentifikasi, mengukur dan membandingkan biaya sumber daya yang digunakan dengan konsekuensi (klinik, ekonomi, humanistik) dari produk dan pelayanan farmasi.Bagi praktisi, digunakan sebagai pertimbangan biaya yang diperlukan untuk mendapatkan produk atau pelayanan farmasi dibandingkan dengan konsekuensi (outcame) yang diperoleh untuk menetapkan alternatif mana yang memberikan keluaran optimal per rupiah yang dikeluarkan.Informasi ini dapat membantu pengambilan keputusan klinik dalam memilih terapi yang paling cost-effective.Biaya didefinisikan sebagai nilai dari 27 Universitas Sumatera Utara sumber daya yang digunakan dalam suatu program atau terapi obat. Konsekuensi didefinisikan sebagai efek, output atau outcame dari suatu program atau terapi obat (Andayani, 2013). Farmakoekonomi diperlukan karena sumber daya terbatas, misalnya pada rumah sakit pemerintah dengan dana terbatas, sehingga sangat penting bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia dan pengalokasian sumber daya yang tersedia secara efisien (Vogenberg, 2001). Hasil analisis farmakoekonomi bisa dijadikan sebagai informasi yang dapat membantu para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar pelayanan kesehatan lebih efektif dan efisien. Informasi farmakoekonomi pada saat ini dianggap sama pentingnya dengan informasi khasiat dan keamanan obat dalam menentukan pilihan obat mana yang akan digunakan (Trisna, 2010). 2.14 Tipe Farmakoekonomi Tipe farmakoekonomi meliputi Cost-Minimization Analysis (CMA), CostEffectiveness Analysis (CEA), Cost-Benefit Analysis (CBA), Cost-Utility Analysis (CUA),Cost of Illness (COI), Cost-consequence dan teknik analisis ekonomi lain yang memberikan informasi yang penting bagi pembuat keputusan dalam sistem pelayanan kesehatan untuk mengalokasikan sumber daya yang terbatas. Setiap metode, mengukur biaya dalam rupiah tetapi berbeda dalam mengukur dan membandingkan outcome kesehatan (Vogenberg, 2001). 28 Universitas Sumatera Utara a. Cost-Minimization Analysis (CMA) Cost-minimization analysisadalah tipe analisis yang menentukan biaya program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini digunakan untuk menguji biaya yang dihubungkan dengan intervensi yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh (Orion, 1997).Cost-minimization analysismempunyai kelebihan yaitu analisis yang sederhana karena autcome yang diasumsikan ekivalen, sehingga hanya biaya dari intervensi yang dibandingkan (Andayani, 2013). b. Cost-Effectiveness Analysis (CEA) Cost-effectiveness analysis adalah tipe analisis yang membandingkan biaya suatu intervensi dengan beberapa ukuran non-moneter, yang berpengaruh terhadap hasil perawatan kesehatan.Cost-effectiveness analysismerupakan salah satu cara untuk memilih dan menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria penilaian program mana yang akan dipilih didasarkan pada discounted unit cost dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis atau pengambil keputusan (Tjiptoherianto dan Soesetyo, 2008). Cost-effectiveness analysismengukur outcome dalam unit natural (misalnya mmHg, kadar kolesterol, hari bebas gejala). Kelebihan utama dari pendekatan ini adalah outcome lebih mudah diukur jika dibandingan dengan costutility analysisi (CUA) atau cost-benefit analysis (CBA) dan klinisi lebih familiar dengan mengukur outcometersebut selalu dicatat dan dievaluasi dalam uji klinik maupun praktek klinik (Andayani, 2013). 29 Universitas Sumatera Utara Hasil akhir perhitungan CEA dapat juga berupa cost-effectiveness ratio (CER) yaitu rasio perkiraan biaya program atau kegiatan tertentu dengan jumlah efek atau hasil (output). Jadi keputusan akhir dalam memilih antara alternatif kegiatan adalah dengan membandingkan cost-effectiveness ratio dari tiap-tiap kegiatan dan dihitung menggunakan rumus berikut: CER = π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅ πΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈ Incremental cost-effectiveness ratio (ICER) didefinisikan sebagai rasio perbedaan antara biaya dari dua alternatif dengan perbedaan efektivitas antara alternatif dan dihitung berdasarkan persamaan berikut: ICER = π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅ −π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΅ πΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈ −πΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈ c. Cost-Benefit Analysis (CBA) Cost-benefit analysismerupakan alternatif yang dipilih tidak mempunyai outcome yang sama. Baik outcome maupun biaya yang terjadi dihitung dan diukur dengan menggunakaan satuan uang.Cost-benefit analysisdihitung dengan membedakan alternatif mana yang mempunyai keuntungan relatif lebih besar dibandingkan dengan antara biaya yang terjadi. Penelitian CBA dilakukan bila sumber daya terbatas dan pilihan harus dilakukan terhadap beberapa alternatif yang paling menguntungkan (Vogenberg, 2001).Kelebihan dari CBA adalah beberapa outcome yang berbeda dapat dibandingkan, dimana outcome diukur dalam nilai mata uang (Andayani, 2013). 30 Universitas Sumatera Utara d. Cost-Utility Analysis (CUA) Cost-utility analysisdisebut juga Analisis Biaya Kegunaan. Penetapan output dalam bentuk outcome, yaitu berupa peningkatan kualitas hidup. Seperti CEA, cost-utility analysis (CUA) membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan. Dalam CUA, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years/QALYs) dan hasilnya ditunjukkan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Dalam kualitas dan kuantitas hidup dapat dikonversikan kedalam nilai QALYs. Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup, kekurangannya bergantung pada penentuan QALYs pada status tingkat kesehatan pasien (Orion, 1997). Kelebihan CUA adalah outcome kesehatan yang berbeda dan penyakit dengan beberapa outcome dapat dibandingkan dengan menggunakan satu unit pengukuran, yaitu QALYs.Pada analisis CUA yaitu menggabungan morbiditas dan mortalitas kedalam satu unit pengukuran tanpa perlu mengukur nilai moneter dari suatu outcome kesehatan (Andayani, 2013). 2.15Kategori Biaya Kategori biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi empat kategori (Bootman, 2005). a. Biaya Langsung Medis (Direct Medical Cost) Biaya langsung medis adalah biaya yang paling sering diukur, merupakan biaya yang digunakan secara langsung untuk memberikan terapi kepada 31 Universitas Sumatera Utara pasien.Misalnya biaya obat, test diagnostik, kunjungan dokter, jasa perawat atau biaya kamar rawat inap. b. Biaya Langsung Non-Medis (Direct Non-Medical Cost) Biaya langsung non-medis adalah biaya untuk pasien atau keluarga pasien yang terkait langsung dengan perawatan pasien, tetapi tidak terkait langsung dengan terapi.Contoh dari biaya langsung non-medis ialah transportasi dari rumah ke rumah sakit, jasa pelayanan anak-anak pasien atau penginapan dan makanan yang dibutuhkan keluarga selama terapi berlangsung. c. Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost) Biaya tidak langsung adalah biaya yang disebabkan waktu pasien tidak bisa bekerja untuk mendapatkan terapi atau produktivitas yang berkurang karena pengaruh penyakit atau terapi yang diterima.Sebagai contoh pasien kehilangan pendapatan karena sakit yang berkepanjangan sehingga tidak dapat memberikan nafkah pada keluarganya atau pendapatan berkurang karena kematian yang cepat. d. Biaya Tidak Terduga (Intangible Cost) Biaya tidak terduga merupakan biaya yang dikeluarkan karena efek samping penyakit atau efek samping dari terapi. Antara lain seperti biaya untuk nyeri atau cacat, kehilangan kebebasan dan efek samping. 32 Universitas Sumatera Utara