(vnr) tujuan pembangunan berkelanjutan tujuan 5: mencapai

advertisement
DRAF 5 APRIL 2017
VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR)
TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN TUJUAN 5:
MENCAPAI KESETARAAN GENDER DAN
MEMBERDAYAKAN KAUM PEREMPUAN
Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan bukan hanya merupakan Tujuan 5 SDGs,
tetapi terkait dengan hampir seluruh tujuan SDGs dengan masing-masing target spesifiknya. Pada tahun
ini, indikator gender pada SDGs yang dilaporkan meliputi diskriminasi terhadap perempuan,
perkawinan usia anak, kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di semua
tingkat pengambilan keputusan, akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi, serta
penggunaan teknologi untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan. Laporan ini dibuat
melalui kerjasama berbagai pihak, yaitu pemerintah, organisasi kemasyarakatan, filantropi dan
bisnis, serta akademisi dan pakar. Uraian pada laporan VNR ini mencakup analisis trend dan
keberhasilan, tantangan dan cara mengatasi tantangan, inovasi dan upaya penting pencapaian
tujuan, emerging issues, dan pembelajaran.
I. ANALISIS TREND DAN KEBERHASILAN
A. Mengakhiri Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan
Target untuk mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan antara lain
tercermin dari meningkatnya jumlah perundang-undangan/kebijakan yang mendukung
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Pancasila sebagai Ideologi Negara (khususnya sila "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”)
menjamin hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif untuk laki-laki
dan perempuan. Sedangkan UUD 1945 sebagai Hukum Dasar dan Landasan Konstitusional
memberikan kepastian hukum untuk berlaku adil serta pelakuan yang sama. Selain itu Indonesia
telah ikut meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination
Against Women) yang diterjemahkan menjadi UU Nomor 7 Tahun 1984 dimana Indonesia
berkomitmen untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan
jenis kelamin, baik dibidang ekonomi maupun politik.
Kebijakan-kebijakan penting yang terkait kesetaraan gender di Indonesia meliputi:
1. Inpres Nomer 9 Tahun 2000 yang mengharuskan pelaksanaan PUG di semua sektor
pembangunan, di semua tingkat pemerintahan untuk mencapai kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan.
2. UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
mengatur penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagai penghormatan terhadap hak
asasi manusia tanpa adanya diskriminasi gender.
3. UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
mengatur perlindungan bagi perempuan dan anak.
4. UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum, menjamin keterlibatan perempuan
dalam Pemilu, yang mengatur persyaratan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya
30%.
DRAF 5 APRIL 2017
5. Perpres Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan
Anak dalam Konflik Sosial, mengatur perlindungan perempuan dan anak disaat terjadinya
konflik sosial
6. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, mengatur mengenai partisipasi warga (termasuk
perempuan) dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pembangunan desa.
7. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 6 Tahun 2015
tentang Sistem Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Peraturan Mentri ini
mengatur mengenai akses perempuan dan anak dalam pelayanan di bidang ekonomi, politik,
hukum, sosial, dan budaya.
8. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 136 & 137 tentang
Kesehatan Reproduksi mengatur tanggung jawab Pemerintah untuk memberikan informasi,
pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi untuk remaja
B. Menghilangkan semua praktek berbahaya Terhadap Perempuan dan Anak Perempuan.
Kemajuan dalam hal ini ditunjukkan oleh: (1) Menurunnya proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang
berstatus kawin sebelum berusia 15 tahun dan sebelum berusia 18 tahun; (2) Menurunnya perkawinan
usia anak; (3) Meningkatnya median usia kawin pertama perempuan; (4) Menurunnya angka kelahiran
pada remaja; dan (5) Meningkatnya APK SMA/SMK/MA/sederajat (laki-2 dan perempuan). Uraian
masing-masing indikator adalah sebagai berikut:
Perkawinan Usia Anak
Gambar 5.1. menunjukkan proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau berstatus
hidup bersama sebelum umur 15 tahun dan sebelum umur 18 tahun yang cenderung menurun.
30.0
27.4
25.8
24.5
24.7
25.0
24.2
24.3
22.8
22.4
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
3.0
2.5
2.5
2.4
2.0
1.9
1.8
1.1
1.1
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
0.0
Usia Perkawinan Pertama < 15 tahun
Usia Perkawinan Pertama < 18 tahun
Gambar 5.1. Prevalensi Perkawinan Usia Anak di Indonesia, 2008-2016
Sumber: BPS, Susenas 2008-2016
Data menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan yang menikah di usia anak masih hidup dalam
rumah tangga pada tingkat kesejahteraan terendah1. Data pada tahun 2016 menunjukkan bahwa sekitar 2
dari 10 perempuan usia 20-24 tahun yang pernah kawin, menikah pertama kali sebelum usia 18 tahun.
Angka tersebut lebih rendah hampir 20% dibandingkan tahun 2008, meskipun demikian tren selama
1
Kemajuan yang Tertunda, Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia, BPS dan UNICEF, 2016
DRAF 5 APRIL 2017
sewindu terakhir menunjukkan penurunan yang lambat. Penurunan yang lebih cepat terjadi pada usia
perkawinan pertama kurang dari 15 tahun. Pada tahun 2016 persentase perempuan usia 20-24 tahun yang
pernah kawin dan menikah pertama kali sebelum usia 15 tahun telah menurun hingga sepertiga dari angka
pada tahun 2008.
Median usia kawin pertama perempuan pernah kawin umur 25-49 tahun.
Menurunnya prevalensi perkawinan di usia anak berdampak pada meningkatnya median umur kawin
pertama. Gambar 5.2 dan Tabel 5.1 menunjukkan median umur kawin pertama perempuan pernah kawin
umur 25-49 tahun telah mengalami trend kenaikan dari 17,1 tahun pada tahun 1991 menjadi 20,1 tahun
pada 2012.
Gambar 5.2.
Tabel 5.1.
Median usia kawin pertama perempuan
pernah kawin umur 25-49 tahun
Perubahan
SDKI
SDKI
1997 1997
2012
2015
Total
Perkotaan
Perdesaan
18.6
20.4
17.9
20.1
21.2
19.0
1.5
0.8
1.1
Jika dibandingkan data SDKI 1997 dan SDKI 2012, terlihat bahwa sejak tahun 1997 perempuan telah
mulai menunda pernikahan selama satu setengah tahun. Peningkatan median umur kawin pertama lebih
tinggi pada perempuan yang tinggal di daerah pedesaan (sebesar 1,1 tahun) dibandingkan daerah
perkotaan (sebesar 0,8 tahun). Namun, secara umum, perempuan umur 25-49 tahun yang tinggal di
perkotaan menikah dua tahun lebih lambat dibandingkan perempuan yang tinggal di perdesaan (21,5
tahun dibanding 19,1 tahun).
Hubungan yang positif terlihat pada median umur kawin pertama dan tingkat pendidikan. Sebaliknya,
terdapat hubungan negatif antara median umur kawin pertama dengan tingkat ekonomi. Perempuan pada
kuintil kekayaan teratas menikah lebih lambat dibandingkan perempuan pada kuintil kekayaan terbawah.
Median umur kawin pertama perempuan umur 25-49 tahun pada kuintil kekayaan teratas adalah 22,6
tahun dan pada perempuan kuintil kekayaan terbawah adalah 19,1 tahun. Pola yang sama juga terjadi
pada perempuan pernah kawin umur 25-49 tahun.
Angka kelahiran pada perempuan umur 15-19 tahun (Age Specific Fertility Rate/ASFR)
Penurunan prevalensi perkawinan usia anak dan meningkatnya median usia kawin pertama
perempuan menyebabkan penurunan angka kelahiran pada perempuan umur 15-19 tahun, seperti
terlihat pada Gambar 5.3.
DRAF 5 APRIL 2017
67
80
62
61
60
51
51
48
10.4
8.5
9.5
40
12.2
20
11.2
12.2
0
1991
1994
ASFR 15 - 19 th
1997
2002-03
2007
2012
Persen yang pernah melahirkan
Gambar 5.3. Tren Angka Kelahiran Pada Remaja 15-19 tahun per 1000 kelahiran (SDKI )
Sumber: SDKI
Jika diperhatikan Tabel 5.2. Penurunan ASFR tersebut terjadi di daerah perdesaan. Namun demikian
ASFR kelompok umur 15-19 perempuan yang tinggal di daerah pedesaan masih dua kali lebih tinggi
dibandingkan perempuan yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini antara lain disebabkan oleh median
umur kawin pertama di perdesaan masih sekitar 19 tahun, sedangkan di perkotaan sudah mencapai 21,2
tahun (SDKI 2012).
Tabel 5.2. Age-Specific Fertility Rates Menurut Wilayah
SDKI 1997
32
79
62
Perkotaan
Perdesaan
Total
SDKI 2012
32
69
48
Perubahan
0
-10
-14
Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA/SMK/MA/ Sederajat.
Data capaian pendidikan menunjukkan bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pada jenjang
sekolah menengah sudah tercapai (Gambar 5.4). Hal ini terlihat sejak tahun 2011, dimana rasio APK
perempuan terhadap laki-laki pada jenjang SMA/SMK/ MA/sederajat adalah sekitar 100, yang berarti
partisipasi perempuan pada jenjang sekolah menengah sama dengan laki-laki.
74.0
74.5
74.0
74.5
66.0
67.2
68.5
69.1
63.9
65.9
2007
63.0
62.7
2006*
59.7
58.4
40.0
59.7
59.2
50.0
56.0
57.4
60.0
62.5
62.6
70.0
74.0
74.5
80.0
Laki-laki
Perempuan
30.0
20.0
10.0
0.0
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
DRAF 5 APRIL 2017
Gambar 5.4. Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA/SMK/MA/sederajat menurut Jenis Kelamin di
Indonesia, 2006-2016
* Angka tahun 2006 hanya mencakup pendidikan formal
Sumber: BPS, Susenas 2006-2016
C. Kesempatan Yang Sama Bagi Perempuan Untuk Memimpin Di Semua Tingkat
Pengambilan Keputusan
Kemajuan yang dicapai dalam rangka menjamin partisipasi penuh dan efektif, dan kesempatan yang sama
bagi perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik,
ekonomi, dan masyarakat dapat dilihat dari: (1) Meningkatnya proporsi perempuan di lembaga legislatif
di tingkat pusat dan di sejumlah daerah; dan (2) Meningkatnya proporsi perempuan yg berada di posisi
managerial. Uraian masing-masing indikator adalah sebagai berikut:
Proporsi Kursi yang Diduduki Perempuan di Lembaga Legislatif di Tingkat Pusat
Proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR tingkat nasional memiliki trend meningkat, walaupun
berfluktuasi (Gambar 5.5). Pada pemilu tahun 2004 keterwakilan perempuan di DPR sebesar 11,84% dan
meningkat menjadi sebesar 17,86% pada tahun 2009. Namun pada tahun 2014 sedikit menurun menjadi
17,3%.
17.32
2009
2014
8.80
11.82
12.50
12.40
11.80
9.13
8.04
10
6.74
15
5.88
Persentase
20
17.86
25
5
0
1955
1971
1977
1982
1987
1992
1997
Tahun Pemilu
1999
2004
Gambar 5.5. Persentase Anggota DPR Perempuan Hasil Pemilu Tahun 1950-2014
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015
Selain itu, setiap provinsi mempunyai empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Gambar 5.6
menunjukkan pada periode 2014-2019 terdapat 3 provinsi yang mempunyai anggota DPD perempuan
lebih banyak dari laki-laki (3 banding 1), 6 propinsi memiliki anggota DPD perempuan dan laki-laki sama
(masing-masing 2 orang), serta 13 provinsi mempunyai anggota DPD perempuan lebih sedikit dibanding
laki-laki (1 banding 3). Sebelas propinsi lainnya tidak memiliki anggota DPD perempuan.
DRAF 5 APRIL 2017
4
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 1 1 1
Jumlah
3
2
1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 3 3 3
0
Laki-laki
Perempuan
Gambar 5.6. Jumlah Anggota DPD Perempuan Periode 2014-2019 menurut Provinsi
Sumber Badan Pusat Statistik, 2015
Proporsi perempuan yang berada di posisi managerial
Gambar 5.7. menunjukkan proporsi perempuan di posisi managerial (Eselon 1-IV) di lembaga eksekutif
yang cenderung meningkat dalam periode 2011-2015, walaupun pada tahun 2015 menurun dibanding
tahun 2014.
Persentase
25.86
24.54
15.85
32.38
33.39
31.12
31.18
19.58
16.41
9.17
12.84
20,60
20.09
34.39
30.47
21.19
20.66
15.04
16.39
2013
2014
33.19
Eselon I
32.64
Eselon II
19.72
Eselon III
15.67
Eselon IV
Eselon V
13.04
8,30
2011
2012
2015
Gambar 5.7. Persentase PNS Perempuan yang Menduduki Jabatan Eselon IIV Tahun 2011-2015
Sumber: BPS RI, Statistik Indonesia 2012-2016/Badan Kepegawaian Negara
D. Akses Universal Terhadap Kesehatan Seksual Dan Reproduksi
Capaian dalam menjamin akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi seperti yang telah
disepakati dalam Programme of Action dari ICPD (the International Conference on Population and
Development; the Beijing Platform for Action) adalah sebagai berikut:
Unmet need KB (Kebutuhan Keluarga Berencana/KB yang tidak terpenuhi).
DRAF 5 APRIL 2017
Unmet need mengindikasikan demand terhadap alat dan obat kontrasepsi yang tidak terpenuhi.
Pengetahuan, biaya, dan jarak dari tempat tinggal ke fasilitas layanan, dan belum optimalnya kualitas
layanan dapat menjadi faktor penyebab unmet need. Data menunjukkan, terjadi penurunan unmet need
dari 17,0% pada tahun 1991 menjadi 13,1% dan 11,4% pada tahun 2007 dan 2012. Namun angka ini
masih tinggi, di atas Unmet need nol persen sesuai harapan universal coverage.
17
1991
15.3
13.6
1994
1997
13.2
2003
13.1
2007
11.4
2012
Gambar 5.8. Tren Unmet Need di Indonesia (SDKI 1991 – 2012)
Pengetahuan dan pemahaman Pasangan Usia Subur (PUS) tentang metode kontrasepsi modern.
Gambar 5.9. menunjukan pengetahuan tentang metode kontrasepsi untuk semua perempuan kawin umur
15-49 dan pria kawin umur 15-54. Hampir semua perempuan dan pria kawin di Indonesia (99 % dan 97
%) pernah mendengar dan mengetahui paling tidak satu alat/cara KB. Hampir semua responden yang
mengetahui paling tidak satu alat/cara KB tersebut mengetahui tentang alat/cara KB modern.
Suatu Cara
Suatu Cara Modern
99.0 98.9
98.6 98.3
97.3 97.2
94.5 94.1
Perempuan
Menikah
Laki-laki Menikah
2007
Perempuan
Menikah
Laki-laki Menikah
2012
Gambar 5.9. Pengetahuan PUS Tentang Alat KB
Sumber: SDKI Tahun 2007 - 2012
Suntikan dan pil merupakan alat/cara KB yang paling banyak diketahui oleh perempuan di Indonesia (96
%). Di antara metode kontrasepsi modern, metode yang paling sedikit diketahui responden adalah
kontrasepsi darurat, diafragma, dan metode amenore laktasi (MAL). Secara umum, pria kurang
mengetahui tentang metode kontrasepsi daripada perempuan, kecuali untuk kondom di mana pengetahuan
pria lebih tinggi daripada perempuan. Perempuan mengetahui rata-rata 7 metode kontrasepsi, sedangkan
pria kurang dari 6 metode kontrasepsi.
DRAF 5 APRIL 2017
Undang-undang atau Peraturan Pemerintah (PP) yang menjamin perempuan umur 15-49 tahun
untuk mendapatkan pelayanan, informasi dan pendidikan terkait kesehatan seksual dan
reproduksi
Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 136 & 137 tentang Kesehatan
Reproduksi mengatur tanggung jawab Pemerintah untuk memberikan informasi, pendidikan dan layanan
untuk remaja selama itu tidak bertentangan dengan norma moral dan agama.
Lebih lanjut sebagai pelaksanaan UU tentang Kesehatan, maka Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014
tentang Kesehatan Reproduksi dalam Pasal 8 ditegaskan bahwa setiap perempuan berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan ibu untuk mencapai hidup sehat dan mampu melahirkan generasi yang sehat dan
berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu. Pelayanan kesehatan ibu harus dilakukan sedini
mungkin mulai dari masa remaja sesuai dengan perkembangan mental dan fisik. Penyelenggaraan
Pelayanan Kesehatan ibu melalui:
1. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja
2. Pelayanan Kesehatan Masa sebelum Hamil, Hamil, Persalinan, dan Sesudah Melahirkan
3. Pengaturan Kehamilan, pelayanan kontrasepsidan kesehatan seksual
4. Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi.
Sementara UU No. 52 tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga,
Pasal 20-22 menjelaskan bahwa pemerintah menyelenggarakan Program KB yang bertujuan antara lain
untuk meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan KB dan Kespro.
Selanjutnya Pasal 23 menjelaskan Pemerintah dan Pemda wajib meningkatkan akses dan kualitas
informasi pendidikan, konseling, dan pelayanan kontrasepsi.
E. Meningkatkan penggunaan teknologi yang memampukan, khususnya teknologi informasi
& komunikasi untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan
Proporsi individu yang menguasai/memiliki telepon genggam
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah menghadirkan berbagai kemudahan dan membuka
peluang bagi seluruh manusia, termasuk untuk para perempuan agar lebih berdaya dengan membuka
akses bagi perempuan terhadap ilmu pengetahuan untuk kepentingan pendidikan maupun pengembangan
karir, memberi peluang untuk menjadi pengusaha sambil tetap menjalankan peran domestiknya, serta
memungkinkan perempuan untuk berinteraksi dengan komunitas yang lebih luas.
64.4
63.4
52.1
50.4
2015
Laki-laki
Perempuan
2016
Gambar 5.10. Proporsi individu yang menguasai/memiliki telepon genggam menurut jenis kelamin
di Indonesia, 2015-2016
DRAF 5 APRIL 2017
Sumber: BPS, Susenas 2015-2016
Gambar 5.10. menunjukkan peningkatan proporsi individu (perempuan dan laki-laki) di Indonesia yang
menguasai/memiliki telepon genggam dalam dua tahun terakhir. Persentase perempuan yang memiliki
telepon genggam lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Beberapa faktor yang menghambat perempuan
dalam mengakses teknologi informasi, termasuk telepon genggam, adalah biaya, kemampuan membaca
dan penguasaan bahasa, termasuk juga peran perempuan dalam pengambilan keputusan di rumah tangga.2
II. TANTANGAN DAN CARA MENGATASI
1. Keterwakilan perempuan di parlemen belum mencapai 30% seperti ditargetkan dalam affirmative
action (UU No. 8/ Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum), karena streotipi gender yang
mengatakan bahwa politik adalah ranah kaum laki-laki. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan
pemahaman ranah politik juga mencakup kaum perempuan dalam bentuk sosialisasi, public
awareness dan program pengkaderan serta peningkatan kapasitas secara berkala kepada kader
maupun caleg perempuan.
2. Masih tingginya angka ASFR 15-19 tahun yaitu 48 per 1000 perempuan yang disebabkan
rendahnya usia kawin pertama perempuan, dan tingginya angka pernikahan anak. diperlukan
upaya promosi melalui program KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) di masyarakat dan
institusi formal dan meningkatkan APK SMA/MA/SMK/sederajat.
3. Regulasi pada Pengarus Utamaan Gender (PUG) di Indonesia sudah cukup kuat, namun
implementasinya masih menghadapi tantangan seperti mindset dan political will terkait PUG yang
masih beragam, dan ketersediaan data terpilah yang belum optimal. Diperlukan peningkatan
pemahaman dan pengetahuan (best practices) serta mempelajari dan mengidentifikasikan apa
yang berhasil dan apa yang tidak berhasil. Selain itu, perlu dilakukan adalah dengan fokus pada
kasus yang operasional tanpa harus menanti semua prasyarat untuk melakukan PUG terpenuhi.
Meskipun kecil dalam skala, tetapi lebih strategis dan instrumental untuk mencapai tujuan.
III. INOVASI DAN UPAYA PENTING PENCAPAIAN TUJUAN
Inovasi dalam pelaksanaan PUG terkait penetapan dasar hukum:
1. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam
Pembangunan Nasional, yang menginstruksikan kepada seluruh kementerian/lembaga (K/L) dan
pemerintah daerah untuk mengintegrasikan gender pada setiap tahapan proses pembangunan
(perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi) pada seluruh bidang
pembangunan.
2. Rencana Pembangunan Nasional (jangka panjang-20 tahun, menengah-5 tahun, dan pendek-1
tahun) sejak tahun 2000 - saat ini menetapkan gender sebagai salah satu prinsip pengarusutamaan
untuk seluruh program/kegiatan pembangunan. Kebijakan PUG diintegrasikan ke dalam sistem
perencanaan dan penganggaran, yang memuat kebijakan, indikator, dan sasaran yang terpilah
gender dari berbagai K/L, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait dalam
penyusunannya.
2
Hafkin, N. J., & Taggart, N. (2001). Gender, information technology, and developing countries: An analytic study. Office of
Women in Development, Bureau for Global Programs, Field Support and Research, United States Agency for International
Development.
DRAF 5 APRIL 2017
3. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 119/PMK.02/2009 yang terus diperbaharui setiap
tahun dan menjadi PMK Nomor 163 tahun 2016 terkait dengan penyusunan dan penelaahan
rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L), yang di dalamnya memuat
Anggaran Responsif Gender (ARG).
4. Permendagri No. 67/2011 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah, sebagai bentuk
upaya percepatan kelembagaan PUG di Pemerintah Daerah.
5. Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG (Stranas PPRG) 2012-2014 yang disertai
dengan Petunjuk Pelaksanaan PPRG untuk K/L dan Pemerintah Daerah dan ditandatangani
melalui Surat Edaran Bersama (SEB) empar Menteri yaitu Menteri PPN/Kepala Bappenas,
Menteri Keuangan, Menteri PP dan PA, dan Menteri Dalam Negeri. Tujuan disusunnya Stranas
PPRG adalah agar pelaksanaan PUG dalam tataran siklus pembangunan menjadi lebih terarah,
sistematis dan sinergis, serta berkelanjutan, baik di tingkat nasional, maupun di tingkat daerah.
6. UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memandatkan ‘partisipasi perempuan’ dalam
pelaksanaan pembangunan desa, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan
pembangunan desa.
7. PP dan PA No. 6 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak, yang bertujuan
untuk membantu K/L dalam penyusunan PPRG. Peraturan menteri tersebut diperbaharui
denganPermen PP dan PA No. 5 Tahun 2014 tentang Sistem Penyelenggaraan Data Gender dan
Anak
Inovasi terkait tools/alat bantu pelaksanaan strategi PUG melalui PPRG:
1. Pada tahun 1998 dilakukan pengembangan peranti analisis gender yaitu GAP (Gender Analysis
Pathway) oleh Bappenas bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
dan Canadian International Development Agency (CIDA). GAP merupakan peranti analisis
gender khusus untuk para perencana dalam melakukan analisis dan perumusan
kebijakan/program/kegiatan pembangunan agar menjadi responsif gender.
2. Dalam rangka mempercepat pelaksanaan PUG, perspektif gender tidak hanya diintegrasikan ke
dalam sistem perencanaan tetapi juga penganggaran. Kemudian Kementerian Keuangan
mengembangkan peranti untuk penganggaran yang responsif gender yaitu Gender Budget
Statement (GBS), yang kemudian dikenal dengan Lembar Anggaran Responsif Gender (Lembar
ARG).
Inovasi terkait implementasi PUG di Kementerian/Lembaga/Pemda:
1. Anugerah Parahita Ekapraya (APE) merupakan bentuk penghargaan bagi K/L dan Pemda yang
peduli terhadap kesejahteraan perempuan dan laki-laki dalam upaya perwujudan kesetaraan
gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak. APE tahun 2016 yang mendapatkan
penghargaan kategori mentor untuk tingkat K/L yaitu: Kementerian Keuangan, Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas, dan Kementerian Pertanian; tingkat Provinsi yaitu: Jawa Timur, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau; dan tingkat Kabupaten/Kota
yaitu: Surabaya, Badung, Denpasar, Bandung, dan Rembang.
2. Komitmen yang kuat dari Kementerian Keuangan dalam pelaksanaan PUG dapat terlihat dari
beberapa inovasi berikut yaitu: 1) perlombaan implementasi PUG tahunan pada satker vertikal
lingkup Kementerian Keuangan; 2) Kantor Pajak Ramah Anak di KPP Pratama Demak yang
memiliki ruang khusus bermain bagi anak; 3) jalur layanan khusus bagi perempuan hamil, lansia,
dan penyandang disablitasi di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Surakarta dan Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Subang; dan 4) integrasi isu gender dalam SOP kegiatan diklat di Balai
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Palembang melalui penyediaan kamar khusus (double bed)
dan ruang bermain anak bagi peserta diklat yang memiliki balita.
DRAF 5 APRIL 2017
3. Inovasi juga ditunjukkan oleh Kementerian Pertanian, antara lain: 1) alat analisis gender MultiDimension Scaling yaitu pengembangan piranti analisis gender yang digunakan untuk
menemukan isu gender pada program/kegiatan yang diadaptasi dari metode evaluasi di bidang
perikanan (Rapfish Software berbasis MS Excel); dan 2) integrasi gender dalam kebijakan teknis
seperti Pedoman Pengelolaan Kegiatan Responsif Gender, Panduan Sistem Pemantauan, Evaluasi
dan Pelaporan Kegiatan Kementerian Pertanian, Pedoman Pengelolaan Irigasi Partisipatif yang
Responsif Gender.
4. Inovasi di Kementerian Pendidikan adalah ditetapkannya Permendiknas No. 84 Tahun 2008
Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan dan Kerangka
Kerja Pegarusutamaan Gender Bidang Pendidikan, sebagai berikut.
5. Untukmengetahui prevalensi kekerasan kekerasan terhadap perempuan, Kementerian PP dan PA
bekerjasama dengan BPS melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN)
pada akhir tahun 2016 untuk pertama kali.
IV. EMERGING ISSUES
Isu Kekerasan terhadap Perempuan tercantum pada Tujuan 5 SDGs yaitu Target 5.2 Menghapuskan
segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang publik dan pribadi, termasuk perdagangan
orang dan eksploitasi seksual, serta berbagai jenis eksploitasi lainnya. Adapun indikator yang diukur
adalah: (1) Proporsi perempuan dewasa dan anak perempuan (umur 15-64 tahun) mengalami kekerasan
(fisik, seksual, atau emosional) oleh pasangan atau mantan pasangan dalam 12 bulan terakhir; (2)
Prevalensi kekerasan terhadap anak perempuan; (3) Proporsiperempuan dewasa dan anak
perempuan(umur 15-64 tahun) mengalami kekerasan seksual oleh orang lain selain pasangan dalam 12
bulan terakhir; (4) Persentase korban kekerasan terhadap perempuan yang mendapat layanan
komprehensif. Untuk mengukur indikator kekerasan terhadap perempuan, saat ini BPS melakukan Survei
Kekerasan terhadap Anak (SKtA) dan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN).
Survei Kekerasan terhadap Anak (SKtA)
Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), BPS,
Kementerian PPN/Bappenas melakukan kerja sama untuk Survei Kekerasan terhadap Anak (SKtA) untuk
pengukuran indikator kekerasan terhadap anak perempuan. Data tentang kekerasan anak sangat terbatas
dan kurang comprehensive, selama ini hanya dari laporan kasus, bersifat administratif dan bukan
prevalensi. Survei-survei terkait kekerasan (SDKI, Riskesdas, MICS) masih terbatas, baik secara
DRAF 5 APRIL 2017
metodologi maupun geografis. RPJMN tahun 2010-2014 menjadikan data perlindungan anak sebagai
salah satu prioritas, hal ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi Pemerintah Indonesia, karena data dan
informasi yang menyeluruh akan menjadi dasar untuk merencanakan, mengimplementasikan, memonitor,
mengevaluasi kebijakan dan program perlindungan anak dengan tepat. Untuk itu Kemensos, melalui
Badiklit mengadakan Survei Kekerasan terhadap Anak (SKtA) dengan metodologi yang kuat untuk
mendapatkan data Prevalensi atau gambaran estimasi.
Kuesioner yang digunakan merupakan kuesioner yang dikembangkan oleh Centre of Disease Control and
Prevention (CDC Atlanta/USA), yang telah digunakan di beberapa negara serta diadaptasi sesuai kondisi
di Indonesia. Oleh karenanya perlu dilakukan 3 adaptasi kuesioner agar sesuai dengan situasi dan budaya
Indonesia. Survei ini juga mempertimbangkan Etik dan Perlindungan Anak, dengan melampaui ethical
clearance dari Komite Etik, Litbangkes /Kemenkes dan memperoleh Ethical Approval dengan nomor:
LB.02.01/5.2/KE.24.5/2013 tanggal 13 Juni 2013. Namun demikian survei ini masih memeiliki
keterbatasan, diantaranya: (1) data konteks pada setiap responden yang mengalami lebih dari satu
kejadian untuk setiap jenis kekerasan tidak dapat dikumpulkan; (2) seorang dewasa yang memiliki
pengalaman kekerasan seksual pada masa kanak-kanak dan tidak mengingat kembali kejadian tersebut,
(recall bias) khususnya saat kejadian kekerasan seksual pada usia yang sangat muda oleh seseorang yang
kenal dengan korban; (3) Ada kecenderungan responden kurang mengemukakan suatu kejadian jika
pelakunya dikenal oleh mereka.
Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN)
Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), BPS,
Kementerian PPN/Bappenas melakukan kerja sama untuk Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional
(SPHPN) 2016. Survei ini dilakukan dalam rangka untuk mengumpulkan data yang terkait dengan
pengalaman hidup perempuan Indonesia, yang dapat digunakan sebagai indikator untuk menyusun
kebijakan dan evaluasi program perlindungan hak-hak perempuan serta menyajikan data serta informasi
yang bermanfaat untuk kajian maupun penyadaran semua pihak bahwa kaum perempuan itu harus
dilindungi. Adapun tujuan khusus pelaksanaan SPHPN adalah untuk: (1) Mengetahui prevalensi
perempuan yang pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya; (2) Mengetahui
prevalensi perempuan yang pernah mengalami kekerasan dari selain pasangan; (3) Mengetahui prevalensi
yang pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangan dan atau selain pasangan.
.
V. PEMBELAJARAN
1. Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang) Perempuan - Tingkat
Kabupaten di Lombok Timur dan Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, 2016 3
Musrenbang perempuan merupakan salah satu inisiatif penerapan kebijakan di Indonesia terutama
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan
Nasionaldi Indonesia. Secara umum, Musrenbang Perempuan di Indonesia belum populer bahkan hanya
sedikit pemerintah daerah memiliki komitmen untuk menyelenggarakannya. Kabupaten Lombok Timur
3
Ditulis oleh Tim Institut KAPAL Perempuan, sebuah organisasi perempuan non pemerintah yang didirikan tahun
2000 dengan kegiatan utama melakukan pemberdayaan perempuan melalui pendidikan kepemimpinan
perempuan untuk membangun kesadaran kritis yang berkeadilan gender dan inklusif. Kontak person: Misi dan
Justin, email: [email protected], [email protected], telp. 021-7988875, website:
www.kapalperempuan.org
DRAF 5 APRIL 2017
dan Lombok Utara merupakan salah pemerintah kabupaten yang mempelopori Musrenbang Perempuan di
provinsi Nusa Tenggara Barat.
Musrenbang perempuan ini berperan dalam mengisi kesenjangan musrenbang reguler yang selama ini
cenderung meninggalkan kepentingan perempuan sehingga menghambat upaya kesetaraan gender.
Musrenbang Perempuan telah dirasakan manfaatnya oleh perempuan terutama dalam mewadahi
partisipasi, membuka akses untuk menyuarakan kepentingan perempuan agar masuk kedalam kebijakan,
program dan penganggaran pemerintah. Dengan demikian, Musrenbang perempuan berkontribusi dalam
mendorong terwujudnya perencanaan dan penganggaran yang pro-poor dan responsif gender.
Musrenbang perempuan juga merupakan upaya melibatkan kelompok yang selama ini tertinggal dalam
pembangunan, merealisasi “No one left behind” dan secara khusus “No woman left behind”.
Musrenbang Perempuan dapat terwujud dari adanya kolaborasi antara pemerintah daerah, organisasi
perempuan dan kelompok perempuan dari kalangan akar rumput. Keberhasilan mengembangkan inisiatif
musrenbang perempuan ini dipengaruhi oleh tiga pihak yaitu:
 Keterbukaan kepala daerah dalam hal ini bupati dan wakil bupati, dan komitmen dan kemauan keras
dari para SKPD dalam hal ini Bappeda, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
serta BPMPD dari kedua kabupaten, Lombok Timur dan Lombok Utara Propinsi NTB.
 Inisiatif dan dorongan dari masyarakat sipil khususnya gerakan perempuan yaitu organisasiorganisasi perempuan yang melakukukan upaya-upaya pemberdayaan perempuan yang tergabung
dalam “Gerakan Gender Watch” di NTB yaitu Lembaga Pemberdayaan Sumber Daya Mitra
(LPSDM), Nusa Tenggara Barat dan Institut KAPAL Perempuan, Jakarta.
 Kesiapan perempuan terutama perempuan akar rumput yang telah memiliki kesiapan berpartisipasi.
Mereka telah memiliki kapasitas untuk mengidentifikasiisu-isu gender, melakukan analisa dan
kemampuan menyuarakan kepentingannya dalam forum-forum pengambilan keputusan. Kapasitas
ini diproses oleh LPSDM dan Institut KAPALPerempuan melalui pendidikan non formal yaitu
Sekolah Perempuan yang dikembangkan di desa-desa.
Musrenbang Perempuan di Lombok Timur dan Lombok Utara ini telah mencapai tujuan sebagaimana
yang diharapkan, antara lain (a) mendorong peningkatan partisipasi perempuan kelompok perempuan
independent diluar PKK, khususnya perempuan miskin dan kelompok marjinal untuk terlibat dalam
proses perencanaan pembangunan, (b) memastikan isu-isu perempuan dan kelompok marginal masuk
dalam perencanaan dan penganggaran sebagai upaya mengisi kesenjangan dalam musrenbang reguler
selama ini lebih mementingkan pembangunan fisik seperti pembangunan jalan dan jembatan; (c)
DRAF 5 APRIL 2017
mempersiapkan keterwakilan perempuan untuk menjadi tim delegator pada Musrenbang reguler supaya
dapat mengawal usulan perempuan masuk dalam dokumen perencanaan dan penganggarannya.
Program dan anggaran yang berhasil didorong melalui proses Musrenbang Perempuan ini adalah:
1. Di Lombok Utara:
 Tahun 2017 pemerintah kabupaten Lombok Utara mereplikasi “Sekolah Perempuan” sebuah
model pemberdayaan perempuan untuk kesetaraan gender yang dikembangkan oleh
organisasi LPSDM dan Institut KAPAL Perempuan dalam Gerakan Gender Watch.
 Pemerintah kabupaten Lombok Utara memasukkan Sekolah Perempuan menjadi program
pemerintah untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam RPJMD tahun 2016-2021 di 33
desa.
 Pemerintah kabupaten Lombok Utara memberikan prioritas pencegahan dan penghentian
perkawinan anak dengan mengintervensi hukum adat atau Awig-Awig di Desa Bayan
kecamatan Bayan Lombok Utara
 Tahun 2017 ini di kabupaten Lombok Utara akan menjadi musrenbang Perempuan dan Anak
dari kelompok remaja dan kelompok muda (pemuda dan mahasiswa).
2. Di Lombok Timur:
 Kabupaten Lombok Timur menyediakan anggaran untuk partisipasi perempuan dengan
mendanai Musrenbang Perempuan pada tahun 2016 sebesar Rp. 12.000.000 dan pada tahun
2017 sebesar Rp. 25.400.000 yang mencakup 20 kecamatan.
 Dinas Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak menganggarkan kegiatan
Pendidikan Politik untuk Perempuan sebesar Rp. 54.890.000,-. Program dan penganggaran
ini dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik.
 Bappeda Kabupaten Lombok Timur bekerjasama dengan LPSDM dan Mitra Samya
menyusun Modul Musrenbang yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan Musrenbang
Perempuan.
 Pemerintah kabupaten Lombok Timur memberikan prioritas pencegahan dan penghentian
perkawinan anak dengan mengintervensi hukum adat atau Awig-Awig di Desa Montong
Betok kecamatan Montong Gading, Lombok Timur yang isinya mencegah perkawinan anak.
1.
2.
Pelaksanaan Musrenbang Perempuan Kabupaten Lombok Utara 2016 dan Peserta Musrenbang perempuan dari delegasi
Anggota Sekolah Perempuan di Kabupaten Lombok Utara Tahun 2016
Anggota Sekolah Perempuan aktif dalam Proses Diskusi Klinis (Musrenbang Perempuan Kabupaten Lombok Timur Tahun
2014)
DRAF 5 APRIL 2017
Usulan Prioritas Masing-masing kelompok yang akan difinalisasi oleh Tim Perumus (Lombok Timur, 2014)
Proses Diskusi Klinis Masing-masing Kelompok (Musrenbang Perempuan Kabupaten Lombok Timur Tahun 2015).
Musrenbang perempuan telah dilaksanakan di Lombok Timur yang pertama pada 24 – 25 Februari tahun
2014 dan kedua pada 24 – 25 Februari 2015, dan sejak tahun 2016 hingga tahun 2017 pelaksanaan
musrenbang perempuan sampai pada tingkat kecamatan. Sedangkan di Lombok Utara, Musrenbang
Perempuan yang pertama dilaksanakan pada tanggal 22 Maret 2016. Peserta Musrenbang Perempuan
terutama perwakilan dari anggota Sekolah Perempuan dipersiapkan untuk mengikuti Musrenbang dan
mereka aktif dalam forum terutama dalam mengungkap data, mengidentifikasi masalah, menganalisis
penyebab dan menyusun usulan-usulan. Di setiap Musrenbang Perempuan ini rata-rata dihadiri oleh 100
perempuan yang terdiri dari unsur perwakilan SKPD-SKPD (BPMPPKB, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan,
dan lain-lain), perwakilan dari semua desa, perwakilan komunitas (anggota Sekolah Perempuan,
kelompok minoritas, perempuan miskin), kader perempuan tingkat desa, LSM, media, dan organisasi
keagamaan.
Download