DRAF 5 APRIL 2017 VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN TUJUAN 5: MENCAPAI KESETARAAN GENDER DAN MEMBERDAYAKAN KAUM PEREMPUAN Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan bukan hanya merupakan Tujuan 5 SDGs, tetapi terkait dengan hampir seluruh tujuan SDGs dengan masing-masing target spesifiknya. Pada tahun ini, indikator gender pada SDGs yang dilaporkan meliputi diskriminasi terhadap perempuan, perkawinan usia anak, kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan, akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi, serta penggunaan teknologi untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan. Laporan ini dibuat melalui kerjasama berbagai pihak, yaitu pemerintah, organisasi kemasyarakatan, filantropi dan bisnis, serta akademisi dan pakar. Uraian pada laporan VNR ini mencakup analisis trend dan keberhasilan, tantangan dan cara mengatasi tantangan, inovasi dan upaya penting pencapaian tujuan, emerging issues, dan pembelajaran. I. ANALISIS TREND DAN KEBERHASILAN A. Mengakhiri Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan Target untuk mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan antara lain tercermin dari meningkatnya jumlah perundang-undangan/kebijakan yang mendukung kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Pancasila sebagai Ideologi Negara (khususnya sila "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”) menjamin hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif untuk laki-laki dan perempuan. Sedangkan UUD 1945 sebagai Hukum Dasar dan Landasan Konstitusional memberikan kepastian hukum untuk berlaku adil serta pelakuan yang sama. Selain itu Indonesia telah ikut meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women) yang diterjemahkan menjadi UU Nomor 7 Tahun 1984 dimana Indonesia berkomitmen untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin, baik dibidang ekonomi maupun politik. Kebijakan-kebijakan penting yang terkait kesetaraan gender di Indonesia meliputi: 1. Inpres Nomer 9 Tahun 2000 yang mengharuskan pelaksanaan PUG di semua sektor pembangunan, di semua tingkat pemerintahan untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. 2. UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengatur penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagai penghormatan terhadap hak asasi manusia tanpa adanya diskriminasi gender. 3. UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, mengatur perlindungan bagi perempuan dan anak. 4. UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum, menjamin keterlibatan perempuan dalam Pemilu, yang mengatur persyaratan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. DRAF 5 APRIL 2017 5. Perpres Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial, mengatur perlindungan perempuan dan anak disaat terjadinya konflik sosial 6. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, mengatur mengenai partisipasi warga (termasuk perempuan) dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pembangunan desa. 7. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 6 Tahun 2015 tentang Sistem Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Peraturan Mentri ini mengatur mengenai akses perempuan dan anak dalam pelayanan di bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya. 8. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 136 & 137 tentang Kesehatan Reproduksi mengatur tanggung jawab Pemerintah untuk memberikan informasi, pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi untuk remaja B. Menghilangkan semua praktek berbahaya Terhadap Perempuan dan Anak Perempuan. Kemajuan dalam hal ini ditunjukkan oleh: (1) Menurunnya proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum berusia 15 tahun dan sebelum berusia 18 tahun; (2) Menurunnya perkawinan usia anak; (3) Meningkatnya median usia kawin pertama perempuan; (4) Menurunnya angka kelahiran pada remaja; dan (5) Meningkatnya APK SMA/SMK/MA/sederajat (laki-2 dan perempuan). Uraian masing-masing indikator adalah sebagai berikut: Perkawinan Usia Anak Gambar 5.1. menunjukkan proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau berstatus hidup bersama sebelum umur 15 tahun dan sebelum umur 18 tahun yang cenderung menurun. 30.0 27.4 25.8 24.5 24.7 25.0 24.2 24.3 22.8 22.4 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 3.0 2.5 2.5 2.4 2.0 1.9 1.8 1.1 1.1 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 0.0 Usia Perkawinan Pertama < 15 tahun Usia Perkawinan Pertama < 18 tahun Gambar 5.1. Prevalensi Perkawinan Usia Anak di Indonesia, 2008-2016 Sumber: BPS, Susenas 2008-2016 Data menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan yang menikah di usia anak masih hidup dalam rumah tangga pada tingkat kesejahteraan terendah1. Data pada tahun 2016 menunjukkan bahwa sekitar 2 dari 10 perempuan usia 20-24 tahun yang pernah kawin, menikah pertama kali sebelum usia 18 tahun. Angka tersebut lebih rendah hampir 20% dibandingkan tahun 2008, meskipun demikian tren selama 1 Kemajuan yang Tertunda, Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia, BPS dan UNICEF, 2016 DRAF 5 APRIL 2017 sewindu terakhir menunjukkan penurunan yang lambat. Penurunan yang lebih cepat terjadi pada usia perkawinan pertama kurang dari 15 tahun. Pada tahun 2016 persentase perempuan usia 20-24 tahun yang pernah kawin dan menikah pertama kali sebelum usia 15 tahun telah menurun hingga sepertiga dari angka pada tahun 2008. Median usia kawin pertama perempuan pernah kawin umur 25-49 tahun. Menurunnya prevalensi perkawinan di usia anak berdampak pada meningkatnya median umur kawin pertama. Gambar 5.2 dan Tabel 5.1 menunjukkan median umur kawin pertama perempuan pernah kawin umur 25-49 tahun telah mengalami trend kenaikan dari 17,1 tahun pada tahun 1991 menjadi 20,1 tahun pada 2012. Gambar 5.2. Tabel 5.1. Median usia kawin pertama perempuan pernah kawin umur 25-49 tahun Perubahan SDKI SDKI 1997 1997 2012 2015 Total Perkotaan Perdesaan 18.6 20.4 17.9 20.1 21.2 19.0 1.5 0.8 1.1 Jika dibandingkan data SDKI 1997 dan SDKI 2012, terlihat bahwa sejak tahun 1997 perempuan telah mulai menunda pernikahan selama satu setengah tahun. Peningkatan median umur kawin pertama lebih tinggi pada perempuan yang tinggal di daerah pedesaan (sebesar 1,1 tahun) dibandingkan daerah perkotaan (sebesar 0,8 tahun). Namun, secara umum, perempuan umur 25-49 tahun yang tinggal di perkotaan menikah dua tahun lebih lambat dibandingkan perempuan yang tinggal di perdesaan (21,5 tahun dibanding 19,1 tahun). Hubungan yang positif terlihat pada median umur kawin pertama dan tingkat pendidikan. Sebaliknya, terdapat hubungan negatif antara median umur kawin pertama dengan tingkat ekonomi. Perempuan pada kuintil kekayaan teratas menikah lebih lambat dibandingkan perempuan pada kuintil kekayaan terbawah. Median umur kawin pertama perempuan umur 25-49 tahun pada kuintil kekayaan teratas adalah 22,6 tahun dan pada perempuan kuintil kekayaan terbawah adalah 19,1 tahun. Pola yang sama juga terjadi pada perempuan pernah kawin umur 25-49 tahun. Angka kelahiran pada perempuan umur 15-19 tahun (Age Specific Fertility Rate/ASFR) Penurunan prevalensi perkawinan usia anak dan meningkatnya median usia kawin pertama perempuan menyebabkan penurunan angka kelahiran pada perempuan umur 15-19 tahun, seperti terlihat pada Gambar 5.3. DRAF 5 APRIL 2017 67 80 62 61 60 51 51 48 10.4 8.5 9.5 40 12.2 20 11.2 12.2 0 1991 1994 ASFR 15 - 19 th 1997 2002-03 2007 2012 Persen yang pernah melahirkan Gambar 5.3. Tren Angka Kelahiran Pada Remaja 15-19 tahun per 1000 kelahiran (SDKI ) Sumber: SDKI Jika diperhatikan Tabel 5.2. Penurunan ASFR tersebut terjadi di daerah perdesaan. Namun demikian ASFR kelompok umur 15-19 perempuan yang tinggal di daerah pedesaan masih dua kali lebih tinggi dibandingkan perempuan yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini antara lain disebabkan oleh median umur kawin pertama di perdesaan masih sekitar 19 tahun, sedangkan di perkotaan sudah mencapai 21,2 tahun (SDKI 2012). Tabel 5.2. Age-Specific Fertility Rates Menurut Wilayah SDKI 1997 32 79 62 Perkotaan Perdesaan Total SDKI 2012 32 69 48 Perubahan 0 -10 -14 Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA/SMK/MA/ Sederajat. Data capaian pendidikan menunjukkan bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pada jenjang sekolah menengah sudah tercapai (Gambar 5.4). Hal ini terlihat sejak tahun 2011, dimana rasio APK perempuan terhadap laki-laki pada jenjang SMA/SMK/ MA/sederajat adalah sekitar 100, yang berarti partisipasi perempuan pada jenjang sekolah menengah sama dengan laki-laki. 74.0 74.5 74.0 74.5 66.0 67.2 68.5 69.1 63.9 65.9 2007 63.0 62.7 2006* 59.7 58.4 40.0 59.7 59.2 50.0 56.0 57.4 60.0 62.5 62.6 70.0 74.0 74.5 80.0 Laki-laki Perempuan 30.0 20.0 10.0 0.0 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 DRAF 5 APRIL 2017 Gambar 5.4. Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA/SMK/MA/sederajat menurut Jenis Kelamin di Indonesia, 2006-2016 * Angka tahun 2006 hanya mencakup pendidikan formal Sumber: BPS, Susenas 2006-2016 C. Kesempatan Yang Sama Bagi Perempuan Untuk Memimpin Di Semua Tingkat Pengambilan Keputusan Kemajuan yang dicapai dalam rangka menjamin partisipasi penuh dan efektif, dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan masyarakat dapat dilihat dari: (1) Meningkatnya proporsi perempuan di lembaga legislatif di tingkat pusat dan di sejumlah daerah; dan (2) Meningkatnya proporsi perempuan yg berada di posisi managerial. Uraian masing-masing indikator adalah sebagai berikut: Proporsi Kursi yang Diduduki Perempuan di Lembaga Legislatif di Tingkat Pusat Proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR tingkat nasional memiliki trend meningkat, walaupun berfluktuasi (Gambar 5.5). Pada pemilu tahun 2004 keterwakilan perempuan di DPR sebesar 11,84% dan meningkat menjadi sebesar 17,86% pada tahun 2009. Namun pada tahun 2014 sedikit menurun menjadi 17,3%. 17.32 2009 2014 8.80 11.82 12.50 12.40 11.80 9.13 8.04 10 6.74 15 5.88 Persentase 20 17.86 25 5 0 1955 1971 1977 1982 1987 1992 1997 Tahun Pemilu 1999 2004 Gambar 5.5. Persentase Anggota DPR Perempuan Hasil Pemilu Tahun 1950-2014 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015 Selain itu, setiap provinsi mempunyai empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Gambar 5.6 menunjukkan pada periode 2014-2019 terdapat 3 provinsi yang mempunyai anggota DPD perempuan lebih banyak dari laki-laki (3 banding 1), 6 propinsi memiliki anggota DPD perempuan dan laki-laki sama (masing-masing 2 orang), serta 13 provinsi mempunyai anggota DPD perempuan lebih sedikit dibanding laki-laki (1 banding 3). Sebelas propinsi lainnya tidak memiliki anggota DPD perempuan. DRAF 5 APRIL 2017 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 1 1 1 Jumlah 3 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 3 3 3 0 Laki-laki Perempuan Gambar 5.6. Jumlah Anggota DPD Perempuan Periode 2014-2019 menurut Provinsi Sumber Badan Pusat Statistik, 2015 Proporsi perempuan yang berada di posisi managerial Gambar 5.7. menunjukkan proporsi perempuan di posisi managerial (Eselon 1-IV) di lembaga eksekutif yang cenderung meningkat dalam periode 2011-2015, walaupun pada tahun 2015 menurun dibanding tahun 2014. Persentase 25.86 24.54 15.85 32.38 33.39 31.12 31.18 19.58 16.41 9.17 12.84 20,60 20.09 34.39 30.47 21.19 20.66 15.04 16.39 2013 2014 33.19 Eselon I 32.64 Eselon II 19.72 Eselon III 15.67 Eselon IV Eselon V 13.04 8,30 2011 2012 2015 Gambar 5.7. Persentase PNS Perempuan yang Menduduki Jabatan Eselon IIV Tahun 2011-2015 Sumber: BPS RI, Statistik Indonesia 2012-2016/Badan Kepegawaian Negara D. Akses Universal Terhadap Kesehatan Seksual Dan Reproduksi Capaian dalam menjamin akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi seperti yang telah disepakati dalam Programme of Action dari ICPD (the International Conference on Population and Development; the Beijing Platform for Action) adalah sebagai berikut: Unmet need KB (Kebutuhan Keluarga Berencana/KB yang tidak terpenuhi). DRAF 5 APRIL 2017 Unmet need mengindikasikan demand terhadap alat dan obat kontrasepsi yang tidak terpenuhi. Pengetahuan, biaya, dan jarak dari tempat tinggal ke fasilitas layanan, dan belum optimalnya kualitas layanan dapat menjadi faktor penyebab unmet need. Data menunjukkan, terjadi penurunan unmet need dari 17,0% pada tahun 1991 menjadi 13,1% dan 11,4% pada tahun 2007 dan 2012. Namun angka ini masih tinggi, di atas Unmet need nol persen sesuai harapan universal coverage. 17 1991 15.3 13.6 1994 1997 13.2 2003 13.1 2007 11.4 2012 Gambar 5.8. Tren Unmet Need di Indonesia (SDKI 1991 – 2012) Pengetahuan dan pemahaman Pasangan Usia Subur (PUS) tentang metode kontrasepsi modern. Gambar 5.9. menunjukan pengetahuan tentang metode kontrasepsi untuk semua perempuan kawin umur 15-49 dan pria kawin umur 15-54. Hampir semua perempuan dan pria kawin di Indonesia (99 % dan 97 %) pernah mendengar dan mengetahui paling tidak satu alat/cara KB. Hampir semua responden yang mengetahui paling tidak satu alat/cara KB tersebut mengetahui tentang alat/cara KB modern. Suatu Cara Suatu Cara Modern 99.0 98.9 98.6 98.3 97.3 97.2 94.5 94.1 Perempuan Menikah Laki-laki Menikah 2007 Perempuan Menikah Laki-laki Menikah 2012 Gambar 5.9. Pengetahuan PUS Tentang Alat KB Sumber: SDKI Tahun 2007 - 2012 Suntikan dan pil merupakan alat/cara KB yang paling banyak diketahui oleh perempuan di Indonesia (96 %). Di antara metode kontrasepsi modern, metode yang paling sedikit diketahui responden adalah kontrasepsi darurat, diafragma, dan metode amenore laktasi (MAL). Secara umum, pria kurang mengetahui tentang metode kontrasepsi daripada perempuan, kecuali untuk kondom di mana pengetahuan pria lebih tinggi daripada perempuan. Perempuan mengetahui rata-rata 7 metode kontrasepsi, sedangkan pria kurang dari 6 metode kontrasepsi. DRAF 5 APRIL 2017 Undang-undang atau Peraturan Pemerintah (PP) yang menjamin perempuan umur 15-49 tahun untuk mendapatkan pelayanan, informasi dan pendidikan terkait kesehatan seksual dan reproduksi Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 136 & 137 tentang Kesehatan Reproduksi mengatur tanggung jawab Pemerintah untuk memberikan informasi, pendidikan dan layanan untuk remaja selama itu tidak bertentangan dengan norma moral dan agama. Lebih lanjut sebagai pelaksanaan UU tentang Kesehatan, maka Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dalam Pasal 8 ditegaskan bahwa setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan ibu untuk mencapai hidup sehat dan mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu. Pelayanan kesehatan ibu harus dilakukan sedini mungkin mulai dari masa remaja sesuai dengan perkembangan mental dan fisik. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan ibu melalui: 1. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja 2. Pelayanan Kesehatan Masa sebelum Hamil, Hamil, Persalinan, dan Sesudah Melahirkan 3. Pengaturan Kehamilan, pelayanan kontrasepsidan kesehatan seksual 4. Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi. Sementara UU No. 52 tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, Pasal 20-22 menjelaskan bahwa pemerintah menyelenggarakan Program KB yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan KB dan Kespro. Selanjutnya Pasal 23 menjelaskan Pemerintah dan Pemda wajib meningkatkan akses dan kualitas informasi pendidikan, konseling, dan pelayanan kontrasepsi. E. Meningkatkan penggunaan teknologi yang memampukan, khususnya teknologi informasi & komunikasi untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan Proporsi individu yang menguasai/memiliki telepon genggam Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah menghadirkan berbagai kemudahan dan membuka peluang bagi seluruh manusia, termasuk untuk para perempuan agar lebih berdaya dengan membuka akses bagi perempuan terhadap ilmu pengetahuan untuk kepentingan pendidikan maupun pengembangan karir, memberi peluang untuk menjadi pengusaha sambil tetap menjalankan peran domestiknya, serta memungkinkan perempuan untuk berinteraksi dengan komunitas yang lebih luas. 64.4 63.4 52.1 50.4 2015 Laki-laki Perempuan 2016 Gambar 5.10. Proporsi individu yang menguasai/memiliki telepon genggam menurut jenis kelamin di Indonesia, 2015-2016 DRAF 5 APRIL 2017 Sumber: BPS, Susenas 2015-2016 Gambar 5.10. menunjukkan peningkatan proporsi individu (perempuan dan laki-laki) di Indonesia yang menguasai/memiliki telepon genggam dalam dua tahun terakhir. Persentase perempuan yang memiliki telepon genggam lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Beberapa faktor yang menghambat perempuan dalam mengakses teknologi informasi, termasuk telepon genggam, adalah biaya, kemampuan membaca dan penguasaan bahasa, termasuk juga peran perempuan dalam pengambilan keputusan di rumah tangga.2 II. TANTANGAN DAN CARA MENGATASI 1. Keterwakilan perempuan di parlemen belum mencapai 30% seperti ditargetkan dalam affirmative action (UU No. 8/ Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum), karena streotipi gender yang mengatakan bahwa politik adalah ranah kaum laki-laki. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan pemahaman ranah politik juga mencakup kaum perempuan dalam bentuk sosialisasi, public awareness dan program pengkaderan serta peningkatan kapasitas secara berkala kepada kader maupun caleg perempuan. 2. Masih tingginya angka ASFR 15-19 tahun yaitu 48 per 1000 perempuan yang disebabkan rendahnya usia kawin pertama perempuan, dan tingginya angka pernikahan anak. diperlukan upaya promosi melalui program KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) di masyarakat dan institusi formal dan meningkatkan APK SMA/MA/SMK/sederajat. 3. Regulasi pada Pengarus Utamaan Gender (PUG) di Indonesia sudah cukup kuat, namun implementasinya masih menghadapi tantangan seperti mindset dan political will terkait PUG yang masih beragam, dan ketersediaan data terpilah yang belum optimal. Diperlukan peningkatan pemahaman dan pengetahuan (best practices) serta mempelajari dan mengidentifikasikan apa yang berhasil dan apa yang tidak berhasil. Selain itu, perlu dilakukan adalah dengan fokus pada kasus yang operasional tanpa harus menanti semua prasyarat untuk melakukan PUG terpenuhi. Meskipun kecil dalam skala, tetapi lebih strategis dan instrumental untuk mencapai tujuan. III. INOVASI DAN UPAYA PENTING PENCAPAIAN TUJUAN Inovasi dalam pelaksanaan PUG terkait penetapan dasar hukum: 1. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, yang menginstruksikan kepada seluruh kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah untuk mengintegrasikan gender pada setiap tahapan proses pembangunan (perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi) pada seluruh bidang pembangunan. 2. Rencana Pembangunan Nasional (jangka panjang-20 tahun, menengah-5 tahun, dan pendek-1 tahun) sejak tahun 2000 - saat ini menetapkan gender sebagai salah satu prinsip pengarusutamaan untuk seluruh program/kegiatan pembangunan. Kebijakan PUG diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan dan penganggaran, yang memuat kebijakan, indikator, dan sasaran yang terpilah gender dari berbagai K/L, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait dalam penyusunannya. 2 Hafkin, N. J., & Taggart, N. (2001). Gender, information technology, and developing countries: An analytic study. Office of Women in Development, Bureau for Global Programs, Field Support and Research, United States Agency for International Development. DRAF 5 APRIL 2017 3. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 119/PMK.02/2009 yang terus diperbaharui setiap tahun dan menjadi PMK Nomor 163 tahun 2016 terkait dengan penyusunan dan penelaahan rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L), yang di dalamnya memuat Anggaran Responsif Gender (ARG). 4. Permendagri No. 67/2011 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah, sebagai bentuk upaya percepatan kelembagaan PUG di Pemerintah Daerah. 5. Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG (Stranas PPRG) 2012-2014 yang disertai dengan Petunjuk Pelaksanaan PPRG untuk K/L dan Pemerintah Daerah dan ditandatangani melalui Surat Edaran Bersama (SEB) empar Menteri yaitu Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri PP dan PA, dan Menteri Dalam Negeri. Tujuan disusunnya Stranas PPRG adalah agar pelaksanaan PUG dalam tataran siklus pembangunan menjadi lebih terarah, sistematis dan sinergis, serta berkelanjutan, baik di tingkat nasional, maupun di tingkat daerah. 6. UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memandatkan ‘partisipasi perempuan’ dalam pelaksanaan pembangunan desa, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pembangunan desa. 7. PP dan PA No. 6 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak, yang bertujuan untuk membantu K/L dalam penyusunan PPRG. Peraturan menteri tersebut diperbaharui denganPermen PP dan PA No. 5 Tahun 2014 tentang Sistem Penyelenggaraan Data Gender dan Anak Inovasi terkait tools/alat bantu pelaksanaan strategi PUG melalui PPRG: 1. Pada tahun 1998 dilakukan pengembangan peranti analisis gender yaitu GAP (Gender Analysis Pathway) oleh Bappenas bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Canadian International Development Agency (CIDA). GAP merupakan peranti analisis gender khusus untuk para perencana dalam melakukan analisis dan perumusan kebijakan/program/kegiatan pembangunan agar menjadi responsif gender. 2. Dalam rangka mempercepat pelaksanaan PUG, perspektif gender tidak hanya diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan tetapi juga penganggaran. Kemudian Kementerian Keuangan mengembangkan peranti untuk penganggaran yang responsif gender yaitu Gender Budget Statement (GBS), yang kemudian dikenal dengan Lembar Anggaran Responsif Gender (Lembar ARG). Inovasi terkait implementasi PUG di Kementerian/Lembaga/Pemda: 1. Anugerah Parahita Ekapraya (APE) merupakan bentuk penghargaan bagi K/L dan Pemda yang peduli terhadap kesejahteraan perempuan dan laki-laki dalam upaya perwujudan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak. APE tahun 2016 yang mendapatkan penghargaan kategori mentor untuk tingkat K/L yaitu: Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan Kementerian Pertanian; tingkat Provinsi yaitu: Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau; dan tingkat Kabupaten/Kota yaitu: Surabaya, Badung, Denpasar, Bandung, dan Rembang. 2. Komitmen yang kuat dari Kementerian Keuangan dalam pelaksanaan PUG dapat terlihat dari beberapa inovasi berikut yaitu: 1) perlombaan implementasi PUG tahunan pada satker vertikal lingkup Kementerian Keuangan; 2) Kantor Pajak Ramah Anak di KPP Pratama Demak yang memiliki ruang khusus bermain bagi anak; 3) jalur layanan khusus bagi perempuan hamil, lansia, dan penyandang disablitasi di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Surakarta dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Subang; dan 4) integrasi isu gender dalam SOP kegiatan diklat di Balai Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Palembang melalui penyediaan kamar khusus (double bed) dan ruang bermain anak bagi peserta diklat yang memiliki balita. DRAF 5 APRIL 2017 3. Inovasi juga ditunjukkan oleh Kementerian Pertanian, antara lain: 1) alat analisis gender MultiDimension Scaling yaitu pengembangan piranti analisis gender yang digunakan untuk menemukan isu gender pada program/kegiatan yang diadaptasi dari metode evaluasi di bidang perikanan (Rapfish Software berbasis MS Excel); dan 2) integrasi gender dalam kebijakan teknis seperti Pedoman Pengelolaan Kegiatan Responsif Gender, Panduan Sistem Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Kegiatan Kementerian Pertanian, Pedoman Pengelolaan Irigasi Partisipatif yang Responsif Gender. 4. Inovasi di Kementerian Pendidikan adalah ditetapkannya Permendiknas No. 84 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan dan Kerangka Kerja Pegarusutamaan Gender Bidang Pendidikan, sebagai berikut. 5. Untukmengetahui prevalensi kekerasan kekerasan terhadap perempuan, Kementerian PP dan PA bekerjasama dengan BPS melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada akhir tahun 2016 untuk pertama kali. IV. EMERGING ISSUES Isu Kekerasan terhadap Perempuan tercantum pada Tujuan 5 SDGs yaitu Target 5.2 Menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang publik dan pribadi, termasuk perdagangan orang dan eksploitasi seksual, serta berbagai jenis eksploitasi lainnya. Adapun indikator yang diukur adalah: (1) Proporsi perempuan dewasa dan anak perempuan (umur 15-64 tahun) mengalami kekerasan (fisik, seksual, atau emosional) oleh pasangan atau mantan pasangan dalam 12 bulan terakhir; (2) Prevalensi kekerasan terhadap anak perempuan; (3) Proporsiperempuan dewasa dan anak perempuan(umur 15-64 tahun) mengalami kekerasan seksual oleh orang lain selain pasangan dalam 12 bulan terakhir; (4) Persentase korban kekerasan terhadap perempuan yang mendapat layanan komprehensif. Untuk mengukur indikator kekerasan terhadap perempuan, saat ini BPS melakukan Survei Kekerasan terhadap Anak (SKtA) dan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN). Survei Kekerasan terhadap Anak (SKtA) Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), BPS, Kementerian PPN/Bappenas melakukan kerja sama untuk Survei Kekerasan terhadap Anak (SKtA) untuk pengukuran indikator kekerasan terhadap anak perempuan. Data tentang kekerasan anak sangat terbatas dan kurang comprehensive, selama ini hanya dari laporan kasus, bersifat administratif dan bukan prevalensi. Survei-survei terkait kekerasan (SDKI, Riskesdas, MICS) masih terbatas, baik secara DRAF 5 APRIL 2017 metodologi maupun geografis. RPJMN tahun 2010-2014 menjadikan data perlindungan anak sebagai salah satu prioritas, hal ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi Pemerintah Indonesia, karena data dan informasi yang menyeluruh akan menjadi dasar untuk merencanakan, mengimplementasikan, memonitor, mengevaluasi kebijakan dan program perlindungan anak dengan tepat. Untuk itu Kemensos, melalui Badiklit mengadakan Survei Kekerasan terhadap Anak (SKtA) dengan metodologi yang kuat untuk mendapatkan data Prevalensi atau gambaran estimasi. Kuesioner yang digunakan merupakan kuesioner yang dikembangkan oleh Centre of Disease Control and Prevention (CDC Atlanta/USA), yang telah digunakan di beberapa negara serta diadaptasi sesuai kondisi di Indonesia. Oleh karenanya perlu dilakukan 3 adaptasi kuesioner agar sesuai dengan situasi dan budaya Indonesia. Survei ini juga mempertimbangkan Etik dan Perlindungan Anak, dengan melampaui ethical clearance dari Komite Etik, Litbangkes /Kemenkes dan memperoleh Ethical Approval dengan nomor: LB.02.01/5.2/KE.24.5/2013 tanggal 13 Juni 2013. Namun demikian survei ini masih memeiliki keterbatasan, diantaranya: (1) data konteks pada setiap responden yang mengalami lebih dari satu kejadian untuk setiap jenis kekerasan tidak dapat dikumpulkan; (2) seorang dewasa yang memiliki pengalaman kekerasan seksual pada masa kanak-kanak dan tidak mengingat kembali kejadian tersebut, (recall bias) khususnya saat kejadian kekerasan seksual pada usia yang sangat muda oleh seseorang yang kenal dengan korban; (3) Ada kecenderungan responden kurang mengemukakan suatu kejadian jika pelakunya dikenal oleh mereka. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), BPS, Kementerian PPN/Bappenas melakukan kerja sama untuk Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016. Survei ini dilakukan dalam rangka untuk mengumpulkan data yang terkait dengan pengalaman hidup perempuan Indonesia, yang dapat digunakan sebagai indikator untuk menyusun kebijakan dan evaluasi program perlindungan hak-hak perempuan serta menyajikan data serta informasi yang bermanfaat untuk kajian maupun penyadaran semua pihak bahwa kaum perempuan itu harus dilindungi. Adapun tujuan khusus pelaksanaan SPHPN adalah untuk: (1) Mengetahui prevalensi perempuan yang pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya; (2) Mengetahui prevalensi perempuan yang pernah mengalami kekerasan dari selain pasangan; (3) Mengetahui prevalensi yang pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangan dan atau selain pasangan. . V. PEMBELAJARAN 1. Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang) Perempuan - Tingkat Kabupaten di Lombok Timur dan Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, 2016 3 Musrenbang perempuan merupakan salah satu inisiatif penerapan kebijakan di Indonesia terutama Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasionaldi Indonesia. Secara umum, Musrenbang Perempuan di Indonesia belum populer bahkan hanya sedikit pemerintah daerah memiliki komitmen untuk menyelenggarakannya. Kabupaten Lombok Timur 3 Ditulis oleh Tim Institut KAPAL Perempuan, sebuah organisasi perempuan non pemerintah yang didirikan tahun 2000 dengan kegiatan utama melakukan pemberdayaan perempuan melalui pendidikan kepemimpinan perempuan untuk membangun kesadaran kritis yang berkeadilan gender dan inklusif. Kontak person: Misi dan Justin, email: [email protected], [email protected], telp. 021-7988875, website: www.kapalperempuan.org DRAF 5 APRIL 2017 dan Lombok Utara merupakan salah pemerintah kabupaten yang mempelopori Musrenbang Perempuan di provinsi Nusa Tenggara Barat. Musrenbang perempuan ini berperan dalam mengisi kesenjangan musrenbang reguler yang selama ini cenderung meninggalkan kepentingan perempuan sehingga menghambat upaya kesetaraan gender. Musrenbang Perempuan telah dirasakan manfaatnya oleh perempuan terutama dalam mewadahi partisipasi, membuka akses untuk menyuarakan kepentingan perempuan agar masuk kedalam kebijakan, program dan penganggaran pemerintah. Dengan demikian, Musrenbang perempuan berkontribusi dalam mendorong terwujudnya perencanaan dan penganggaran yang pro-poor dan responsif gender. Musrenbang perempuan juga merupakan upaya melibatkan kelompok yang selama ini tertinggal dalam pembangunan, merealisasi “No one left behind” dan secara khusus “No woman left behind”. Musrenbang Perempuan dapat terwujud dari adanya kolaborasi antara pemerintah daerah, organisasi perempuan dan kelompok perempuan dari kalangan akar rumput. Keberhasilan mengembangkan inisiatif musrenbang perempuan ini dipengaruhi oleh tiga pihak yaitu: Keterbukaan kepala daerah dalam hal ini bupati dan wakil bupati, dan komitmen dan kemauan keras dari para SKPD dalam hal ini Bappeda, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta BPMPD dari kedua kabupaten, Lombok Timur dan Lombok Utara Propinsi NTB. Inisiatif dan dorongan dari masyarakat sipil khususnya gerakan perempuan yaitu organisasiorganisasi perempuan yang melakukukan upaya-upaya pemberdayaan perempuan yang tergabung dalam “Gerakan Gender Watch” di NTB yaitu Lembaga Pemberdayaan Sumber Daya Mitra (LPSDM), Nusa Tenggara Barat dan Institut KAPAL Perempuan, Jakarta. Kesiapan perempuan terutama perempuan akar rumput yang telah memiliki kesiapan berpartisipasi. Mereka telah memiliki kapasitas untuk mengidentifikasiisu-isu gender, melakukan analisa dan kemampuan menyuarakan kepentingannya dalam forum-forum pengambilan keputusan. Kapasitas ini diproses oleh LPSDM dan Institut KAPALPerempuan melalui pendidikan non formal yaitu Sekolah Perempuan yang dikembangkan di desa-desa. Musrenbang Perempuan di Lombok Timur dan Lombok Utara ini telah mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan, antara lain (a) mendorong peningkatan partisipasi perempuan kelompok perempuan independent diluar PKK, khususnya perempuan miskin dan kelompok marjinal untuk terlibat dalam proses perencanaan pembangunan, (b) memastikan isu-isu perempuan dan kelompok marginal masuk dalam perencanaan dan penganggaran sebagai upaya mengisi kesenjangan dalam musrenbang reguler selama ini lebih mementingkan pembangunan fisik seperti pembangunan jalan dan jembatan; (c) DRAF 5 APRIL 2017 mempersiapkan keterwakilan perempuan untuk menjadi tim delegator pada Musrenbang reguler supaya dapat mengawal usulan perempuan masuk dalam dokumen perencanaan dan penganggarannya. Program dan anggaran yang berhasil didorong melalui proses Musrenbang Perempuan ini adalah: 1. Di Lombok Utara: Tahun 2017 pemerintah kabupaten Lombok Utara mereplikasi “Sekolah Perempuan” sebuah model pemberdayaan perempuan untuk kesetaraan gender yang dikembangkan oleh organisasi LPSDM dan Institut KAPAL Perempuan dalam Gerakan Gender Watch. Pemerintah kabupaten Lombok Utara memasukkan Sekolah Perempuan menjadi program pemerintah untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam RPJMD tahun 2016-2021 di 33 desa. Pemerintah kabupaten Lombok Utara memberikan prioritas pencegahan dan penghentian perkawinan anak dengan mengintervensi hukum adat atau Awig-Awig di Desa Bayan kecamatan Bayan Lombok Utara Tahun 2017 ini di kabupaten Lombok Utara akan menjadi musrenbang Perempuan dan Anak dari kelompok remaja dan kelompok muda (pemuda dan mahasiswa). 2. Di Lombok Timur: Kabupaten Lombok Timur menyediakan anggaran untuk partisipasi perempuan dengan mendanai Musrenbang Perempuan pada tahun 2016 sebesar Rp. 12.000.000 dan pada tahun 2017 sebesar Rp. 25.400.000 yang mencakup 20 kecamatan. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak menganggarkan kegiatan Pendidikan Politik untuk Perempuan sebesar Rp. 54.890.000,-. Program dan penganggaran ini dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik. Bappeda Kabupaten Lombok Timur bekerjasama dengan LPSDM dan Mitra Samya menyusun Modul Musrenbang yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan Musrenbang Perempuan. Pemerintah kabupaten Lombok Timur memberikan prioritas pencegahan dan penghentian perkawinan anak dengan mengintervensi hukum adat atau Awig-Awig di Desa Montong Betok kecamatan Montong Gading, Lombok Timur yang isinya mencegah perkawinan anak. 1. 2. Pelaksanaan Musrenbang Perempuan Kabupaten Lombok Utara 2016 dan Peserta Musrenbang perempuan dari delegasi Anggota Sekolah Perempuan di Kabupaten Lombok Utara Tahun 2016 Anggota Sekolah Perempuan aktif dalam Proses Diskusi Klinis (Musrenbang Perempuan Kabupaten Lombok Timur Tahun 2014) DRAF 5 APRIL 2017 Usulan Prioritas Masing-masing kelompok yang akan difinalisasi oleh Tim Perumus (Lombok Timur, 2014) Proses Diskusi Klinis Masing-masing Kelompok (Musrenbang Perempuan Kabupaten Lombok Timur Tahun 2015). Musrenbang perempuan telah dilaksanakan di Lombok Timur yang pertama pada 24 – 25 Februari tahun 2014 dan kedua pada 24 – 25 Februari 2015, dan sejak tahun 2016 hingga tahun 2017 pelaksanaan musrenbang perempuan sampai pada tingkat kecamatan. Sedangkan di Lombok Utara, Musrenbang Perempuan yang pertama dilaksanakan pada tanggal 22 Maret 2016. Peserta Musrenbang Perempuan terutama perwakilan dari anggota Sekolah Perempuan dipersiapkan untuk mengikuti Musrenbang dan mereka aktif dalam forum terutama dalam mengungkap data, mengidentifikasi masalah, menganalisis penyebab dan menyusun usulan-usulan. Di setiap Musrenbang Perempuan ini rata-rata dihadiri oleh 100 perempuan yang terdiri dari unsur perwakilan SKPD-SKPD (BPMPPKB, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan lain-lain), perwakilan dari semua desa, perwakilan komunitas (anggota Sekolah Perempuan, kelompok minoritas, perempuan miskin), kader perempuan tingkat desa, LSM, media, dan organisasi keagamaan.