4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedelai

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Kedelai
Pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima
dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L.) Merill. Klasifikasi tanaman kedelai
sebagai berikut :
Divisio
: Spermatophyta
Classis
: Dicotyledoneae
Ordo
: Rosales
Familia
: Papilionaceae
Genus
: Glycine
Species
: Glycine max (L.) Merill
Tanaman kedelai yang dibudidayakan merupakan tanaman tegak,
bersemak dan berdaun banyak. Apabila tanaman kedelai memiliki ruang tumbuh
yang cukup, tanaman akan membentuk cabang yang sedalam–dalamnya
(Poehlman, 1959).
Adie dan Krisnawati (2007) menambahkan bahwa
karakteristik kedelai yang dibudidayakan (Glycine max L. Merril) di Indonesia
merupakan tanaman semusim, tanaman tegak dengan tinggi 40 - 90 cm,
bercabang, memiliki daun tunggal dan daun bertiga, bulu pada daun dan polong
tidak terlalu padat dan umur tanaman antara 72 - 90 hari. Kedelai introduksi
umumnya tidak memiliki atau memiliki sangat sedikit percabangan dan sebagian
bertrikoma padat baik pada daun maupun polong.
Biji berkembang dalam waktu yang lama beberapa hari setelah
pembuahan. Perpanjangan dimulai sekitar 5 hari dan panjang maksimum
didapatkan setelah 15 – 20 hari. Pembelahan sel pada kotiledon terjadi dua
minggu setelah pembuahan. Perkembangan kotiledon yang cepat ditandai dengan
akumulasi berat protein dan lemak (Shibels et al., 1975). Biji merupakan
komponen morfologi kedelai yang bernilai ekonomis (Adie dan Krisnawati,
2007). Jumlah biji per polong pada kedelai berkisar 1 – 5 biji, umumnya varietas
kedelai yang dipasarkan memiliki 2 atau 3 biji per polong. Ukuran biji kedelai
5
sangat bervariasi yang dapat diukur dari bobot 100 biji. Kisaran bobot 100 biji
kedelai adalah 5 – 35 g (Poehlman, 1959). Pengelompokan ukuran biji kedelai
berbeda antar negara, di Indonesia kedelai dikelompokkan berukuran besar (bobot
> 14 g/100 biji), sedang (10 - 14 g/100 biji), dan kecil (< 10 g/100 biji). Biji
sebagian besar dilapisi oleh kulit biji (testa). Antara kulit biji dan kotiledon
terdapat lapisan endosperm (Adie dan Krisnawati, 2007).
Sistem perakaran pada kedelai terdiri dari sebuah akar tunggang yang
terbentuk dari calon akar sekunder yang tersusun dalam empat barisan sepanjang
akar tunggang, cabang akar sekunder, dan cabang akar adventif yang tumbuh dari
bagian bawah hipokotil. Bintil akar pertama terlihat 10 hari setelah tanam.
Umumnya sistem perakaran terdiri dari akar lateral yang berkembang 10 - 15 cm
di atas akar tunggang. Dalam berbagai kondisi, sistem perakaran terletak 15 cm di
atas akar tunggang, tetap berfungsi mengapsorpsi dan mendukung kehidupan
tanaman (Adie dan Krisnawati, 2007). Akar lateral kedelai muncul 3 – 7 hari
setelah berkecambah. Sebulan kemudian akar primer muncul sepanjang 45 – 60
cm (Shibels et al., 1975).
Batang tanaman kedelai berasal dari poros embrio yang terdapat pada biji
masak. Hipokotil merupakan bagian terpenting pada poros embrio, yang
berbatasan dengan bagian ujung bawah permulaan akar yang menyusun bagian
kecil dari poros bakal akar hipokotil. Bagian atas poros embrio berakhir pada
epikotil yang terdiri dari dua daun sederhana, yaitu primordial daun bertiga
pertama dan ujung batang. Sistem perakaran di atas hipokotil berasal dari epikotil
dan tunas aksilar. Pola percabangan akar dipengaruhi oleh varietas dan
lingkungan, seperti panjang hari, jarak tanam, dan kesuburan tanah (Adie dan
Krisnawati, 2007).
Daun kedelai terbagi menjadi empat tipe, yaitu kotiledon atau daun biji,
dua helai daun primer sederhana, daun bertiga, dan profila. Bentuk daun kedelai
adalah lancip, bulat, dan lonjong, serta terdapat perpaduan bentuk daun misalnya
antara lonjong dan lancip. Sebagian besar bentuk daun kedelai yang ada di
Indonesia adalah berbentuk lonjong dan hanya terdapat satu varietas (Argopuro)
berdaun lancip (Adie dan Krisnawati, 2007).
6
Kedelai merupakan tanaman menyerbuk sendiri yang bersifat kleistogami.
Polen dari anter jatuh langsung pada stigma bunga yang sama. Bunga membuka
pada pagi hari tetapi terlambat membuka pada cuaca yang dingin (Poehlman and
Sleper, 1995). Periode berbunga dipengaruhi oleh waktu tanam, berlangsung 3 - 5
minggu. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa tidak semua bunga kedelai
berhasil membentuk polong, dengan tingkat keguguran 20 - 80%. Umumnya
varietas dengan banyak bunga per buku memiliki persentase keguguran bunga
yang lebih tinggi daripada yang berbunga sedikit. (Adie dan Krisnawati, 2007).
Pertumbuhan tanaman dibagi dalam dua fase (stadia) yakni fase vegetatif
dan fase generatif (reproduktif). Fase vegetatif dilambangkan dengan huruf V,
sedangkan fase generatif atau reproduktif dengan huruf R.
a) Stadia pertumbuhan vegetatif
Fase vegetatif (V) diawali pada saat tanaman muncul dari tanah dan
kotiledon belum membuka (Ve). Jika kotiledon telah membuka dan diikuti oleh
membukanya daun tunggal (unifoliat) maka dikategorikan fase kotiledon (Vc).
Penandaan fase vegetatif berikutnya berdasarkan pada membukanya daun bertiga
(trifoliat) sekaligus menunjukkan posisi buku yang dihitung dari atas tanaman
pada batang utama. (Adie dan Krisnawati, 2007).
Tabel 1. Uraian stadia vegetatif tanaman kedelai
Stadium
Ve
Vc
V1
V2
Tingkat stadium
Stadium pemunculan
Stadium kotiledon
Stadium buku pertama
Stadium buku kedua
V3
Stadium buku ketiga
Vn
Stadium buku ke-n
Uraian
Kotiledon muncul dari dalam tanah
Daun unifoliat berkembang
Daun terurai pada buku unifiloat
Daun bertiga yang terurai penuh pada
buku diatas buku unifoliat
Tiga buah buku pada batang utama
dengan daun terurai penuh
n buku pada batang utama dengan daun
terurai penuh
Sumber : Hidajat (1985)
7
b) Stadia pertumbuhan reproduktif
Stadia pertumbuhan reproduktif (generatif) dihitung sejak tanaman kedelai
mulai berbunga sampai pembentukan polong, perkembangan biji, dan pemasakan
biji.
Tabel 2. Uraian stadia generatif tanaman kedelai
Stadium
R1
Tingkatan stadium
Mulai berbunga
R2
Berbunga penuh
R3
Mulai berpolong
R4
Berpolong penuh
R5
Mulai berbiji
R6
Berbiji penuh
R7
Mulai matang
R8
Matang penuh
Uraian
Bunga terbuka pertama pada buku
manapun di batang utama
Bunga terbuka pada salah satu dari dua
buku teratas pada batang utama dengan
daun terbuka penuh
Polong sepanjang 5 mm pada salah satu
dari 4 buku teratas batang utama
dengan daun terbuka penuh
Polong sepanjang 2 cm pada salah satu
dari 4 buku teratas batang utama
dengan daun terbuka penuh
Biji sebesar 3 mm dalam polong di
salah satu dari 4 buku teratas batang
utama dengan daun terbuka penuh
Polong berisi satu biji hijau di salah atu
dari 4 buku teratas pada batang utama
dengan daun terbuka penuh
Satu polong pada batang utama telah
mencapai warna polong matang
95% polong telah mencapai warna
polong matang
Sumber : Hidajat (1985)
Uraian stadia vegetatif dan generatif dapat terlihat pada Tabel 1 dan 2
dimana tanaman kedelai memiliki dua periode tumbuh, yaitu stadia vegetatif dan
generatif. Stadia vegetatif tergantung genotipe dan lingkungan, terutama panjang
hari dan suhu. Di daerah tropis, stadia vegetatif sebagian besar kultivar berkisar
antara 4 - 5 minggu. Periode vegetatif dihitung sejak tanaman muncul dari dalam
tanah. Setelah stadia kotiledon, penandaan stadia vegetatif berdasarkan jumlah
8
buku. Stadia generatif dinyatakan sejak waktu berbunga hingga perkembangan
polong, perkembangan biji, dan saat matang biji (Hidajat, 1985).
Pertumbuhan tanaman kedelai selain dibagi atas dasar lamanya periode
vegetatif dan generatif, juga dapat dibedakan berdasarkan batang dan bunga.
Maka dari itu tipe pertumbuhan kedelai terdiri dari tipe determinit, indeterminit
dan semi-determiniit. Pada tipe determinit, pertumbuhan vegetatif berhenti setelah
fase berbunga, buku bagian atas mengeluarkan bunga pertama, batang tanaman
teratas cenderung berukuran sama dengan batang bagian tengah sehingga pada
kondisi normal batang tidak melilit. Tipe indeterminit, pertumbuhan vegetatif
berlanjut setelah fase berbunga, buku bagian bawah mengeluarkan bunga pertama,
batang tanaman teratas cenderung berukuran lebih kecil dengan batang bagian
tengah sehingga pada kondisi normal batang melilit. Varietas kedelai yang ada di
Indonesia umumnya bertipe tumbuh determinit (Adie dan Krisnawati, 2007).
Syarat Tumbuh Kedelai
Tanaman kedelai sebagian besar tumbuh di daerah yang beriklim tropis
dan subtropis. Tanaman kedelai dapat tumbuh baik di daerah yang memiliki curah
hujan sekitar 100 - 400 mm/bulan. Untuk mendapatkan hasil optimal, tanaman
kedelai membutuhkan curah hujan antara 100 - 200
mm/bulan. Suhu yang
dikehendaki tanaman kedelai antara 21 – 34 oC, akan tetapi suhu optimum bagi
pertumbuhan tanaman kedelai 23 – 27 oC. Pada proses perkecambahan benih
kedelai memerlukan suhu yang cocok sekitar 30 oC. Varietas kedelai berbiji kecil,
sangat cocok ditanam di lahan dengan ketinggian 0.5 - 300 m dpl. Varietas kedelai
berbiji besar cocok ditanam di lahan dengan ketinggian 300 - 500 m dpl. Kedelai
biasanya akan tumbuh baik pada ketinggian tidak lebih dari 500 m dpl
(Prihatman, 2000).
Komponen lingkungan yang menjadi penentu keberhasilan usaha produksi
kedelai adalah faktor iklim (suhu, sinar matahari, curah dan distribusi hujan), dan
kesuburan fisiko-kimia tanah dan biologi tanah (solum, tekstur, pH, ketersediaan
hara, kelembaban tanah, bahan organik dalam tanah, drainase dan aerasi tanah,
serta mikroba tanah). Rhizobium sp. yang hidup pada akar bersimbiosis dengan
9
tanaman kedelai sangat penting bagi pertumbuhan kedelai. Rhizobium sp.
umumnya memiliki persyaratan hidup yang sama dengan persyaratan tumbuh
kedelai (Sumarno dan Manshuri, 2007). Bakteri penambat nitrogen dalam tanah
dipengaruhi oleh sifat fisik tanah seperti tekstur tanah dan kelembaban tanah.
Tanah yang tergenang mengurangi bintil akar kedelai sekitar 15% (Norman et al.,
1995).
Genotipe (varietas) kedelai memiliki persyaratan adaptasi spesifik
walaupun pada suatu lingkungan ditentukan oleh interaksi antar genotipe dengan
lingkungan. Varietas kedelai dari wilayah subtropik tidak tumbuh atau
berproduksi optimal pada lingkungan tumbuh terbaik di Indonesia. Lingkungan
tumbuh yang sangat sesuai bukan jaminan mutlak untuk keberhasilan usaha
produksi kedelai. Mutu benih, waktu tanam, pengendalian OPT, pengelolaan
tanaman yang optimal merupakan hal yang sama penting dengan lingkungan
tumbuh yang sesuai (Sumarno dan Manshuri, 2007).
Toleransi Kedelai terhadap Tanah Masam
Penyebaran tanah kering di Indonesia sekitar 60 % luas lahannya ditempati
oleh tanah bereaksi masam (Hairiah et al., 2005). Dengan demikian, jelaslah
bahwa potensi tanah masam sangat besar untuk pembangunan pertanian, baik
masa kini maupun masa mendatang. Sejak awal tahun 1970, tanah masam di
Indonesia telah dimanfaatkan untuk keperluan transmigrasi dan sekaligus untuk
pembangunan pertanian, baik untuk tanaman pangan maupun untuk tanaman
perkebunan dan kehutanan.
Tanah masam dicirikan oleh pH yang rendah (<5.5), yang berkaitan
dengan kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa - basa dapat ditukar dan
KTK rendah, kandungan besi dan mangan yang mendekati batas racun, peka
erosi, dan miskin elemen biotik. Tanah – tanah tersebut umumnya terdapat di
wilayah beriklim basah yang mengalami proses pelapukan kimiawi secara sangat
insentif. Lingkungan yang lembab dengan suhu tinggi sangat cepat melapukkan
mineral - mineral primer tanah dan batuan induk tanah yang menghasilkan
lapukan berupa basa - basa tanah (Ca, Mg, K, dan Na). Curah hujan yang tinggi
10
juga mengakibatkan basa - basa dalam tanah tercuci keluar lingkungan tanah dan
yang tertinggal dalam kompleks adsorpsi liat dan humus adalah ion H dan Al.
akibatnya tanah menjadi bereaksi masam dengan kejenuhan basa rendah dan
menunjukkan kejenuhan aluminium yang tinggi (Abdurachman, et al., 2007).
Luas total tanah yang tersedia di Indonesia sebagian besar bereaksi masam
dengan status Al tinggi, kapasitas tukar kation dan kandungan unsur haranya
rendah ini menyebabkan produksi kedelai lebih rendah. Teknologi budidaya
kedelai yang dianjurkan di lahan kering masam adalah penggabungan teknologi
ameliorasi tanah masam dengan penggunaan varietas unggul toleran tanam
masam. Selain itu, waktu tanam, cara tanam, perawatan tanaman, dan panen yang
tepat sangat mempengaruhi peningkatan produksi kedelai (Atman, 2006).
Makmur (2003) menyatakan bahwa derajat ketoleranan terhadap pH
rendah sejalan dengan ketoleranan terhadap tingkat kandungan Al-dd dan efisiensi
terhadap pupuk fosfat. Dalam kondisi tercekam Al, galur - galur toleran lebih
mampu menyerap Ca++ dan Mg++.
Perakitan varietas kedelai adaptif lahan kering masam lebih diarahkan
untuk mendapatkan varietas yang toleran kemasaman tanah dan toleran
kekeringan serta mempunyai sifat-sifat agronomi yang baik yaitu tanaman kokoh,
tinggi, tidak mudah rebah, polong banyak, ukuran biji besar atau sedang
(Balitkabi, 2010).
Pemuliaan Tanaman Kedelai
Pemuliaan tanaman dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang perubahan –
perubahan susunan genetik sehingga diperoleh tanaman yang menguntungkan
manusia (Poespodarsono, 1988). Arsyad et al. (2007) menambahkan strategi
perakitan
varietas
diarahkan
untuk
menghasilkan
varietas
baru
guna
meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Strategi perakitan varietas
ditujukan untuk mengatasi permasalahan atau hambatan produksi pada
agroekosistem yang bersangkutan, yang meliputi permasalahan biologis dan non
biologis (fisik), peluang keberhasilan, dan kemungkinan pengembangan di masa
mendatang.
11
Umumnya proses kegiatan pemuliaan diawali dengan (i) usaha koleksi
plasma nutfah sebagai sumber keragaman, (ii) identifikasi dan karakterisasi, (iii)
induksi keragaman, misalnya melalui persilangan ataupun dengan transfer gen,
yang diikuti dengan (iv) proses seleksi, (v) pengujian dan evaluasi, (vi) pelepasan,
distribusi dan komersialisasi varietas.
Dalam program pemuliaan tanaman untuk ketahanan atau toleransi
terhadap cekaman lingkungan (fisik), teknik seleksi dapat dibedakan ke dalam :
(a) seleksi tidak langsung (indirect breeding), (b) seleksi langsung (direct
breeding), dan (c) seleksi pada lingkungan terkontrol (Lewis and Christiansen,
1981). Seleksi didasarkan pada penampilan individu dalam populasi, antara lain
jumlah polong isi atau tinggi tanaman. Hasil – hasil penelitian korelasi antar ciriciri agronomik tetap penting untuk mengidentifikasi genotipe – genotipe superior,
sedangkan pengukuran hasil diperlukan untuk meningkatkan perbaikan genetik
mengenai kapasitas hasil secara maksimal (Somaatmadja, 1985).
Sumarno dan Harnoto (1983) menyatakan pemuliaan kedelai ditujukan
untuk mendapatkan varietas unggul dengan sifat-sifat potensi hasil tinggi yaitu
mencapai 2 ton/ha, umur genjah (75 - 90 hari), tahan penyakit karat daun
(Phakopsora pachyrhyzi), toleran tanah masam, dan beradaptasi baik pada tanah
tanpa pengolahan intensif. Arsyad (2000) menambahkan tujuan pemuliaan kedelai
antara lain mengembangkan varietas yang dapat beradaptasi baik pada lahan
kurang subur, umur tanaman tergolong tengahan hingga panjang, tahan hama
penyakit utama, memiliki sifat agronomis yang baik, penampilan serta mutu biji
yang baik, beradaptasi baik pada kondisi kekurangan air dan responsif terhadap
lingkungan yang lebih baik atau subur.
Pengembangan varietas unggul pada tanaman kedelai perlu terus
dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu cara yang
dapat dilakukan dalam pengembangan varietas unggul adalah dengan melakukan
perbaikan daya hasil dan adaptasi tanaman. Perakitan varietas baru memerlukan
populasi dasar yang memiliki keragaman genetik yang tinggi. Saat ini keragaman
genetik kedelai di Indonesia masih cukup rendah, sehingga perlu upaya
peningkatan keragaman genetik tanaman. Upaya peningkatan keragaman genetik
12
kedelai dapat dilakukan melalui introduksi, persilangan, transformasi genetik, dan
mutasi (Arsyad et al., 2007).
Tanaman kedelai kini telah dikembangkan galur harapan hasil dari induksi
mutasi dengan irradiasi sinar gamma. Perakitan varietas toleran tanah masam
dilakukan dengan meradiasi massa sel somatik varietas Wilis, Slamet dan Sindoro
dengan sinar gamma 0 dan 400 rad, yang kemudian diseleksi pada pH 4 dan Al
dengan taraf 0, 100, 200, 300, 400 dan 500 ppm. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa varietas Wilis, Sindoro, dan Slamet mampu membentuk struktur embrio
somatik. Dari embrio somatik yang terbentuk, kemudian diperoleh benih somatik
menunjukkan bahwa dari 39 benih yang diaklimatisasi, 12 diantaranya mampu
tumbuh dan menghasilkan polong dengan jumlah bervariasi. (Mariska et al.,
2001).
Arief (2001) melakukan pengujian benih yang berasal dari 12 genotipe
tersebut di tanah masam dan tanah normal. Pengujian dibagi atas dua seri
dikarenakan keterbatasan lahan. Seri pertama dilakukan pada tanah masam
dengan pH 4.80 dan kejenuhan Al 51%, dan pada tanah normal dengan pH 5.20
dan kejenuhan Al 0%. Genotipe yang diuji terdiri atas Wilis radiasi Al-300 (A),
Sindoro radiasi Al-100 (H) dan Sindoro radiasi pH 4 (I), yang mempunyai jumlah
polong lebih besar atau sama dengan 60 polong. Dari pengujian ini dipilih
genotipe Sindoro radiasi Al-100 yang paling toleran dan berpenampilan kompak
di lapangan dengan rataan komponen hasilnya tidak berbeda dengan kontrol
Sindoro untuk diuji lebih lanjut. Seri kedua dilakukan pada tanah masam dengan
pH 4.37dan kejenuhan Al 81%, menggunakan sembilan genotipe lainnya yang
memiliki jumlah polong kurang dari atau sama dengan 60 polong. Pada pengujian
seri kedua diketahui bahwa genotipe Wilis radiasi Al-500 (E) memiliki penurunan
hasil yang lebih kecil dibandingkan dengan delapan genotipe lainnya.
Uji Daya Hasil Kedelai
Potensi hasil suatu galur harapan dapat dilakukan melalui suatu pengujian
yaitu uji daya hasil. Uji daya hasil dilakukan terhadap galur - galur terbaik hasil
seleksi pada generasi tertentu. Beberapa tahapan pengujian daya hasil yaitu uji
13
daya hasil pendahuluan (UDHP), uji daya hasil lanjutan (UDHL), dan uji
multilokasi (UML).
Pengujian tahap awal (uji daya hasil pendahuluan) diutamakan 50 - 60
galur homozigot di lokasi yang terbatas ( 1 – 2 lokasi). Pada musim berikutnya,
pengujian daya hasil lanjutan, diuji 15 – 20 galur di 4 – 5 lokasi. Selanjutnya,
dalam uji multilokasi, diuji 8 – 10 galur di 10 – 12 lokasi selama dua musim
tanam. Ukuran petak percobaan pada pengujian daya hasil pendahuluan lebih
kecil (6 – 8 m2) dan pada pengujian daya hasil lanjutan dan uji multilokasi lebih
besar (10 – 15 m2) (Arsyad et al., 2007).
Pengujian daya adaptasi dan hasil lanjutan beberapa varietas kedelai pada
berbagai lokasi dengan jenis tanah dan iklim yang berbeda akan memberikan
masukan bagi pengembangan benih - benih unggul kedelai serta mendapatkan
calon varietas unggul yang cocok dengan kondisi spesifik lokasi. Arsyad et
al. (2007) menyatakan bahwa pengembangan varietas - varietas kedelai yang
beradaptasi baik pada lahan yang kurang subur (kandungan hara makro rendah),
misalnya lahan masam dengan kandungan aluminium dan mangan tinggi, umur
sedang, tahan hama dan penyakit utama, sifat agronomis baik, dan mutu biji yang
baik. Tipe tanaman ideal (plant-ideotype) yang berdaya hasil tinggi dan dianggap
sesuai adalah memiliki umur berbunga 40 - 45 hari, umur masak 90 - 95 hari, tipe
tumbuh semi-determinate, tinggi tanaman 80 - 100 cm, percabangan banyak (5 - 6
cabang), daun berukuran sedang dan berwarna hijau, batang kokoh (tidak rebah),
polong tidak mudah pecah pada cuaca panas, biji berukuran sedang (12 g/100
biji), bulat, dan berwarna kuning.
Saat ini terdapat 7 varietas unggul kedelai adaptif lahan kering masam,
yaitu varietas Slamet, Sindoro, Tanggamus, Sibayak, Nanti, Ratai dan Seulawah.
Daya hasil varietas-varietas tersebut 2.2 - 2,5 ton/ha pada lahan kering agak
masam (pH 5.5, Al 30 - 35%). Varietas tersebut umumnya berumur sedang (86 93 hari). Enam varietas berukuran biji sedang (10,5 - 12,7g/100 biji) dan satu
varietas (Seulawah) berbiji kecil (9,5/100 biji). Tiga varietas yaitu Nanti, Ratai
dan Seulawah tahan penyakit karat, sedangkan empat varietas yaitu Tanggamus,
Nanti, Ratai dan Seulawah toleran kekeringan (Balitkabi, 2010).
Download